PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit tidak menular (PTM) menjadi penyakit penyebab kematian
utama di dunia. Insiden PTM diprediksi akan terus meningkat terutama di
negara-negara berkembang. World Health Organization (WHO)
menyebutkan fenomena PTM terjadi akibat perkembangan dunia yang
semakin modern yang mempengaruhi gaya hidup dan mental emosional
sehingga memicu beberapa macam penyakit yang salah satunya adalah
stroke. ( Kemenkes RI, 2012).
Kasus stroke di seluruh dunia di perkirakan mencapai 50 juta jiwa, dan
9 juta diantaranya menderita kecacatan berat. yang lebih memprihatinkan lagi
10 persen di antara mereka yang terserang stroke mengalami kematian.
(Ovina et.al, 2013). Stroke merupakan penyakit terbanyak ketiga setelah
penyakit jantung dan kanker, serta merupakan penyakit penyebab kecacatan
tertinggi di dunia. Menurut American Heart Association (AHA), angka
kematian penderita stroke di Amerika setiap tahunnya adalah 50 – 100 dari
100.000 orang penderita. (Dinata et al,2013).
Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan di tahun 2013
menunjukan bahwa telah terjadi peningkatan prevalensi stroke di Indonesia.
Dari 8,3 per 1000 penduduk (per mil) pada 2007 menjadi 12,1 per 1000
penduduk pada tahun 2013, di Jawa Barat prevalensi stroke menurut
diagnosis tenaga kesehatan sebesar 6,6 % dan menurut diagnosa dokter dan
gejala sebesar 12,0 %.
Kejadian stroke di Kota Tasikmalaya terutama pada rumah sakit salah
satu milik pemerintah kota yaitu RSUD dr. Soekardjo yang merupakan rumah
sakit rujukan sepriangan timur didapatkan data bahwa Kasus stroke di RSUD
Kota Tasikmalaya selalu menempati urutan pertama dari seluruh kasus sistem
persarafan yang ada, Berdasarkan data hasil rekam medik RSUD
dr.Soekardjo Kota Tasikmalaya menunjukan pasien stroke dari bulan Januari
– Desember 2017 yaitu sebanyak 236 pasien. 126 diantaranya berjenis
kelamin perempuan dan 108 lainnya adalah laki – laki. Dari data tersebut
didapatkan bahwa 183 pasien menderita stroke non hemoragik atau iskemik
dan 53 pasien lainnya menderita penyakit stroke non hemoragik. Kemudian
didapatkan juga kejadian stroke tertinggi terjadi di wilayah kerja Puskesmas
Purbaratu yaitu sebanyak 2.494 dimana kejadian stroke pada laki-laki sebesar
901 dan pada perempuan sebanyak 1.593.
Stroke non hemoragik mempengaruhi pemenuhan kebutuhan hidup
manusia sehari – hari pasien. Masalah umum yang dihadapi diantaranya
seperti gangguan mobilisasi, melemahnya otot- otot saat berbicara,
melemahnya otot menelan, gangguan integritas kulit, hemiplegia dan
hemiparese dan lain sebagainya. Dari masalah tersebut akan berdampak pada
kurangnya mobilisasi, dekubitus, kelemahan otot dan kekakuan sendi,
tersedak karena sulit menelan, hambatan komunikasi verbal dan lain
sebagainya sehingga dapat menghambat pemenuhan kebutuhan dan aktivitas
pasien. Salah satu intervensi untuk mencegah dampak dari kurangnya
mobilisasi yaitu melakukan Range of Motion (ROM) pasif, merupakan suatu
latihan yang diberikan kepada keluarga terhadap pasien yang tidak mampu
bergerak aktif secara mandiri, seperti di bagian persendian tubuh seperti
leher, bahu, siku, pergelangan tangan, jempol, panggul, lutut, engsel dan
jempol kaki. Dalam pelaksanaan praktek klinik keperawatan, perawat dapat
mengaplikasikan tindakan keperawatan sesuai prosedur, dapat mengambil
keputusan secara kritis serta mampu menerapkan proses keperawatan dalam
penanganan pasien dengan stroke non hemoragik.
Perawat mengajarkan ROM pasif kepada keluarga untuk membantu
melatih pergerakan pada pasien stroke secara rutin. Selain merawat yang
sakit, keluarga juga mampu yaitu, “mengenal masalah kesehatan tiap anggota
keluarga”, “mampu mengambil keputusan secara tepat dan cepat dalam
mengatasi masalah kesehatan tiap anggota keluarga yang mempunyai
masalah kesehatan” dan juga “mampu merawat anggota keluarga yang sakit”.
Pelayanan keperawatan keluarga dapat dicapai dengan adanya pemeliharaan
kesehatan keluarga melalui 5 tugas keluarga, yaitu tugas yang pertama adalah
“mengenal masalah kesehatan tiap anggota” seperti mengenal penyakit
stroke, pencegahan, perawatan dari penyakit stroke serta pentingnya
pengobatan pagi penderita stroke. Tugas keluarga yang kedua yaitu “mampu
mengambil keputusan secara tepat dan cepat” dalam mengatasi masalah
kesehatan tiap anggota keluarga yang mempunyai masalah kesehatan seperti
turut merasakan masalah kesehatan yang dialami oleh penderita stroke, selalu
mengingatkan penderita stroke untuk berobat. Tugas keluarga yang ketiga
adalah “mampu merawat anggota keluarga yang sakit” dimana adanya
keluarga yang berperan sebagai Pengawas Minum Obat (PMO). Selain
merawat yang sakit, tugas keluarga yang ke empat mampu “memelihara dan
memodifikasi lingkungan rumah yang sehat” dimana untuk lingkungan
penderita stroke perlu diperhatikan seperti ventilasi dan pencahayaan, serta
fungsi keluarganya yang kelima adalah “keluarga mampu menggunakan
fasilitas pelayanan kesehatan” seperti keluarga mengetahui fasilitas pelayanan
kesehatan terdekat dan pergi ke fasilitas kesehatan untuk berobat.
Tercapainya 5 fungsi pemenuhan pemeliharaan/perawatan kesehatan ini perlu
dilakukan melalui pemberian asuhan keperawatan keluarga. Mengingat
betapa pentingnya penerapan penatalaksanaan tindakan keperawatan dalam
mengurangi kecacatan dan kelemahan otot ektermitas pada pasien gangguan
mobilitas fisik pasien stroke, pemberian penyuluhan kesehatan terhadap
keluarga pasien stroke merupakan salah satu solusi untuk meningkatkan
pengetahuan keluarga tentang pentingnya program rehabilitasi pada pasien
stroke.
Berdasarkan uraian diatas dalam rangka memperbaiki dan memelihara
status kesehatan pasien stroke non hemoragik penulis tertarik untuk
melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien stroke non hemoragik dan
didokumetasikan dalam bentuk karya ilmiah akhir ners dengan judul
“Asuhan Keperawatan Keluarga Tn. M dengan Intervensi Penerapan
Latihan Range of Motion (ROM) terhadap Peningkatan Kekuatan Otot
Ekstremitas pada Pasien Stroke Non Hemoragik di Wilayah Kerja
Puskesmas Purbaratu Kota Tasikmalaya Tahun 2021”.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus
C. Metode Penulisan
D. Ruang Lingkup
E. Sistematika Penulisan
BAB II
TINJAUAN TEORI
Artinya: “Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu dia
jadikan manusia itu (pula) keturunan dan musyaharah (hubungan
kekeluargaan yang berasal dari perkawinan, seperti menantu, ipar, mertua
dan sebagainya)”.
Banyak ahli menguraikan pengertian keluarga sesuai dengan
perkembangan social masyarakat berikut akan di kemukakan beberapa
pengertian keluarga.
a. Raisner (1980)
Keluarga adalah sebuah kelompok yang terdiri dari dua orang atau
lebih yang masing-masing mempunyai hubungan kekerabatan yang
terdiri dari bapak, ibu, adik, kakek, dan nenek.
b. Gilis (1983)
Keluarga adalah sebagaimana sebuah kesatuan yang kompleks dengan
atribut yang dimiliki tetapi terdiri dari beberapa komponen yang
masing-masing mempunyai sebagaimana individu.
c. Logan’s (1979)
Keluarga adalah sebuah system social dan kumpulan dari beberapa
komponen yang saling berinteraksi satu dengan lainnya.
d. Duvall (1986)
Menguraikan bahwa keluarga adalah sekumpulan orang dengan ikatan
perkawaninan, kelahiran dan adopsi yang bertujuan untuk
menciptakan, mempertahankan budaya dan meningkatkan
perkembangan fisik, mental emosional serta social dari setiap anggota
keluarga.
2. Tipe Keluarga
Menurut Widyanto (2014), keluarga memiliki berbagai macam tipe yang
dibedakan menjadi keluarga tradisional dan non tradisional, yaitu :
a. Keluarga Tradisional
1) The Nuclear Family (Keluarga Inti), yaitu keluarga yang terdiri
suami, istri dan anak.
2) The Dyad Family, yaitu keluarga yang terdiri suami dan istri yang
hidup dalam satu rumah tetapi tanpa anak.
3) Keluarga usila, yaitu keluarga yang terdiri dari suatu istri yang
sudah tua dengan sudah memisahkan diri.
4) The Childless Family, yaitu keluarga tanpa anak karena terlambat
menikah dan untuk mendapatkan anak terlambat waktunya.
Penyebabnya adalah karena mengejar karir atau pendidikan yang
terjadi pada wanita.
5) The Extended Family (keluarga besar), yaitu keluarga yang terdiri
tiga generasi hidup bersama dalam satu rumah seperti nuclear
family disertai paman, bibi, orang tua (kakek dan nenek),
keponakan dan lain sebagainya.
6) The Single Parent Family (keluarga duda atau janda), yaitu
keluarga yang terdiri dari suatu orang tua bisa ayah atau ibu.
Penyebabnya dapat terjadi karena proses perceraian, kematian atau
bahkan ditinggalkan.
7) Commuter Family, yaitu keluarga dengan kedua orang tua bekerja
di kota yang berbeda, tetapi setiap akhir pekan semua anggota
keluarga dapat berkumpul bersama di salah satu kota yang menjadi
tempat tinggal.
8) Multigenerational Family, yaitu keluarga dengan generasi atau
kelompok umur yang tinggal bersama dalam satu rumah.
9) Kin-network Family, yaitu keluarga dengan beberapa keluarga inti
tinggal dalam satu rumah atau saling berdekatan menggunakan
barang-barang serta pelayanan bersama. Seperti, menggunakan
dapur, kamar mandi, televise, atau telepon bersama.
10) Blended Family, yaitu keluarga yang dibentuk oleh duda atau janda
yang menikah kembali dan membesarkan anak dari perkawinan
sebelumnya.
11) The Single adult living alone / single adult family, yaitu keluarga
yang terdiri dari orang dewasa yang hidup sendiri karena
pilihannya (separasi) seperti perceraian atau di tinggal mati.
3. Struktur Keluarga
Struktur sebuah keluarga memberikan gambaran tentang bagaimana suatu
keluarga itu melaksanakan fungsinya dalam masyarakat. Adapun macam-
macam struktur keluarga diantaranya adalah (Setyawan, 2012):
a. Patrilineal
Keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara sedarah dalam
beberapa generasi, dimana hubungan itu disusun melalui jalur garis
ayah.
b. Matrilineal
Keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara sedarah dalam
beberapa generasi, dimana hubungan itu disusun melalui jalur garis
ibu.
c. Matrilokal
Sepasang suami-istri yang tinggal bersama keluarga sedarah istri.
d. Patrilokal
Sepasang suami-istri yang tinggal bersama keluarga sedarah suami.
e. Keluarga menikah
Hubungan suami-istri sebagai dasar bagi pembinaan keluarga dan
beberapa sanak saudara yang menjadi bagian keluarga karena adanya
hubungan dengan suami atau istri.
4. Fungsi Keluarga
Menurut Friedman (1998) dalam Harmoko (2012), mengidentifikasi ada
lima fungsi dasar keluarga yaitu:
a. Fungsi Afektif
Fungsi afektif merupakan sumber energi yang menentukan
kebahagiaan keluarga. Adanya perceraian, kenakalan anak, atau
masalah lain yang sering timbul dalam keluarga dikarenakan fungsi
afektif yang tidak terpenuhi oleh keluarga. Fungsi afektif antara lain:
1) Saling mengasuh, cinta kasih, kehangatan, saling menerima, dan
saling mendukung antar anggota.
2) Adanya sikap saling menghargai dengan mempertahankan iklim
yang positif dimana tiap anggota diakui serta dihargai keberadaan
dan haknya sebagai orangtua maupun anak, sehingga fungsi afektif
akan tercapai.
b. Fungsi Sosialisasi
Fungsi sosialisasi adalah fungsi yang mengembangkan dan melatih
anak untuk hidup bersosial sebelum meninggalkan rumah dan
berhubungan dengan orang lain.
c. Fungsi Reproduksi
Keluarga berfungsi untuk meneruskan kelangsungan keturunan dan
menambah sumber daya manusia.
d. Fungsi ekonomi
Fungsi ekonomi adalah keluarga berfungsi untuk memenuhi
kebutuhan seperti makanan.pakaian, perumahan dan pengelolaan
keuangan Kemampuan keluarga untukmemiliki pengahasilan yang
baik dan mengelola finansialnya denganbijak merupakanfaktor
kritis untuk mencapai kesejahteraan ekonomi.
e. Fungsi perawat keluarga
Keluarga juga berfungsi melakukan asuhan kesehatan terhadap
anggotanya baik untuk mencegah terjadinya gangguan maupun
merawat anggota yang sakit.
Tugas kesehatan keluarga adalah sebagai berikut (Friedman, 1998 dalam
Murwani, 2007):
a. Mengenal masalah kesehatan.
b. Membuat keputusan tindakan kesehatan yang tepat.
c. Memberi perawatan pada anggota keluarga yang sakit.
d. Mempertahankan atau menciptakan suasana rumah yang sehat.
e. Mempertahankan hubungan dengan fasilitas kesehatan masyarakat.
5. Peran Keluarga
Peran keluarga adalah tingkah laku spesifik yang diharapkan
oleh seseorang dalam konteks keluarga. Peranan keluarga
menggambarkan perilaku interpersonal, sifat, kegiatan yang
berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasitertentu.
Peran individu dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku dari
keluarga, kelompok dan masyarakat. Setiap anggota keluarga
mempunyai peran masing-masing (Harnilawati, 2013):
a. Ayah
Ayah sebagai pemimpin keluarga mempunyai peran sebagai pencari
nafkah, pendidik, pemberi rasa nyaman bagi setiap anggota
keluarga dan sebagaianggota masyarakat kelompok sosial tertentu.
b. Ibu
Ibu sebagai pengurus rumah tangga, pengasuh, pendidik anak-anak
pencari nafkah tambahan dan sebagai anggota masyarakat kelompok
sosial tertentu.
c. Anak
Anak sebagai pelaku psikososial sesuai dengan perkembangan fisik,
sosial, mental dan spiritual.
6. Tahap Perkembangan Keluarga Melepaskan Anak Dewasa Muda
Tahap siklus kehidupan keluarga berikut ini telah dijabarkan oleh Duvall dan
Miller (1985) serta Carter dan McGoldrick (1989) sesuai dengan kasus yang
ditemukan:
Tahap VI: Keluarga Melepaskan Anak Dewasa Muda
Permulaan fase kehidupan keluarga ini ditandai dengan perginya anak pertama
dari rumah orang tua dan berakhir dengan “kosongnya rumah”, ketika anak
terakhir juga telah meninggalkan rumah. Tahap ini dapat didukung atau cukup
singkat atau cukup lama, bergantung pada jumlah anak dalam keluarga atau jika
anak yang belum menikah tetap tinggal di rumah setelah mereka menyelesaikan
SMU atau kuliahnya. Walaupun lama waktu yang biasa terjadi pada tahap ini
adalah atau tujuh tahun, beberapa tahun belakangan ini tahap VI dalam
keluarga menjadi lama karena lebih banyak anak yang telah dewasa tinggal
dirumah setelah mereka menyelesaikan sekolahnya dan mulai bekerja. Motifnya
sering kali adalah masalah ekonomi tingginya biaya hidup mandiri. Akan tetapi
semakin menyebar kecenderungan bagi anak dewasa mudayang umunya
menunda pernikahan untuk meiliki periode tidak terikat selama mereka hidup
mandiri dilingkungan rumah mereka sendiri. Fase kehidupan keluarga ini
ditandai leh puncak tahun-tahun persiapan bagi anak yang telah siap untuk
kehidupan dewasa yang mandiri. Orangtua, pada saat mereka mmelepaskan
anak-anaknya pergi, melepaskan peran mereka sebagai orangtu yang telah
dijadikan selama 20 tahun atau lebih dan mereka kembali ke pasangan hidup
mereka.
2. Klasifikasi
Menurut Pinzon & Asanti (2010), stroke dapat diklasifikasikan menjadi 2:
a. Stroke Non Hemoragik
Stroke non hemoragik yang terjadi karena aliran darah ke otak terhenti
karena aterosklerosis atau adanya bekuan darah yang menyumbat suatu
pembuluh darah. Penyumbatan tersebut terjadi pada sepanjang jalur
arteri menuju otak. Hal ini terjadi setelah lama beristirahat, kemudian
bangun tidur pada pagi hari. Tidak terdapat perdarahan namun iskemia
menimbulkan hipoksia dan edema sekunder, sehingga penderita pada
gejala ini masih mendapatkan kesadaran yang baik. Stroke jenis ini
terbagi menjadi sumbatan yang diakibatkan trombus dan emboli.
Sumbatan thrombus terjadi pada dinding pembuluh darah yang
mengalami pengerasan dengan sebutan lain aterosklerosis. Emboli
menyebabkan kondisi bekuan darah atau udara yang menghambat laju
aliran darah.
b. Stroke Hemoragik
Stroke perdarahan yang terjadi karena adanya pembuluh darah yang
pecah diotak. Darah yang keluar dari pembuluh darah dapat merusak
sel-sel otak dan mengenai area sekitar otak akibatnya sel tersebut dapat
mengakibatkan kematian yang diakibatkan adanya pembengkakan dan
tekanan. Terdapat tiga kategori stroke hemoragik yang dapat terjadi
pada area otak yaitu,
1) Perdarahan sub-arachnoid, terjadi ketika darah memasuki area sub-
arachnoid (daerah yang mengelilingi otak dan spinal cord) akibat
adanya trauma, serta pecahnya pembuluh darah pada intrakranial
yang membengkak atau pecah. Sehingga menyebabkan TIK
meningkat secara mendadak, meregangnya struktur nyeri dan
vasospasme pembuluh darah serebral. Hal inilah yang sumber
terjadi disfungsi otak secara global yang umumnya dirasakan
penderita seperti sakit kepala, penurunan kesadaran, hingga
hemiparase.
2) Perdarahan Instraselebral, perdarahan yang diakibatkan pecahnya
pembuluh darah pada parenkim otak secara yang langsung yang
menyebabkan terjadinya hematoma. Umunya hal ini terjadi karena
keadaan hipertensi yang tidak terkontrol sehingga menimbulkan
edema otak. Peningkatan TIK yang terlalu cepat dapat juga
mengakibatkan kematian mendadakana dikarenakan herniasi otak.
3) Perdarahan Subdural, pembekuan darah pada area dura yang
disebabkan karena adanya trauma sehingga kategori akan lebih
membahayakan suatu kondisi stroke yang besar kemungkinan
menyebabkan kematian.
3. Etiologi
Menurut Siti dkk (2014), berbagai penyebab dari stroke yaitu:
a. Trombosis
Penggumpalan (thrombus) mulai terjadi dari adanya kerusakan pada
bagian garis endotelial dari pembuluh darah. Aterosklerosis merupakan
penyebab utama karena zat lemak tertumpuk dan membentuk otak
pada dinding pembuluh darah. Plak ini terus membesar dan
menyebabkan penyempitan (stenosis) pada arteri. Stenosis
menghambat aliran darah yang biasanya lancar pada arteri. Darah akan
berputar-putar dibagian permukaan yang terdapat plak, menyebabkan
penggumpalan yang akan melekat pada plak tersebut. Akhirya rongga
pembuluh darah menjadi tersumbat.
Trombus bisa terjadi di semua bagian sepanjang arteri karotid atau
pada cabang-cabangnya. Bagian yang biasa terjadi penyumbatan
adalah pada bagian yang mengarah pada percabangan dari karotid
utama ke bagian dalam dan luar dari arteri karotid. Bagian endotelium
dari pembuluh darah kecil dipengaruhi sebagian besar oleh kondisi
hipertensi, yang menyebabkan penebalan dari dinding pembuluh darah
dan penyempitan. Infark lakunar juga sering terjadi pada penderita
diabetes melitus.
b. Embolisme
Sumbatan pada arteri serebral yang disebabkan oleh embolus
menyebabkan stroke embolik. Embolus terbentuk di bagian luar otak,
kemudian terlepas dan mengalir melalui sirkulasi serebral sampai
embolus tersebut melekat pada pembuluh darah dan menyumbat arteri.
Embolus yang paling sering terjadi adalah plak. Trombus dapat
terlepas dari arteri karotis bagian dalam pada bagian luka plak dan
bergerak ke dalam sirkulasi serebral. Kejadian fibralasi atrial kronik
dapat berhubungan dengan tingginya kejadian stroke embolik, yaitu
darah terkumpul didalam atrium yang kosong. Gumpalan darah yang
sangat kecil terbentuk dalam atrium kiri dan bergerak menuju jantung
dan masuk kedalam sirkulasi cerebral. Pompa mekanik jantung buatan
memiliki permukaan yang lebih kasar dibandingkan otot jantung yang
normal dan dapat menyebabkan peningkatan risiko terjadinya
pengumpalan. Endokarditis yang disebabkan oleh bakteri maupun
nonbakteri dapat menjadi sumber terjadinya emboli. Sumber-sumber
penyebab emboli lainnya adalah tumor, lemak, bakteri, dan udara.
Emboli bisa terjadi pada seluruh bagian pembuluh darah serebral.
Kejadian emboli pada serebral meningkat bersamaan dengan
meningkatnya usia.
c. Perdarahan (Hemoragik)
Perdarahan intraserebral paling banyak disebabkan oleh adanya ruptur
arteriosklerotik dan hipertensi pembuluh darah, yang bisa
menyebabkan perdarahan ke dalam jaringan otak. Perdarahan
intraserebral paling sering terjadi akibat dari penyakit hipertensi dan
umumnya terjadinya setelah usia 50 tahun. Akibat lain dari perdarahan
adalah aneurisme (pembengkakan pada pembuluh darah). Stroke yang
disebabkan oleh perdarahan sering kali menyebabkan spasme
pembuluh darah serebral dan iskemik pada serebral karena darah yang
berada diluar pembuluh darah membuat iritasi pada jarinngan. Stroke
hemoragik biasanya menyebabkan terjadinya kehilangan fungsi yang
paling banyak dan penyembuhannya paling lambat dibandingkan
dengan tipe stroke yang lain. Keseluruhan angka kematian karena
stroke hemoragik berkisar antara 25%-60%. Jumlah volume
perdarahan merupakan satu-satunya predicator yang paling penting
untuk melihat kondisi klien. Oleh sebab itu, tidak mengherankan
bahwa perdarahan pada otak penyebab paling fatal dari semua jenis
stroke.
d. Penyebab lain
Spasme arteri serebral yang disebabkan oleh infeksi, menurunkan
aliran darah ke arah otak yang disuplai oleh pembuluh darah yang
menyempit. Spasme yang berudrasi pendek tidak selamanya
menyebabkan kerusakan otak yang permanen. Kondisi hiperkoagulasi
adalah kondisi terjadi penggumpalan yang berlebihan pada pembuluh
darah yang bisa terjadi pada kondisi kekurangan protein C dan protein
S, serta gangguan aliran gumpalan darah yang dapat menyebabkan
terjadinya stroke trombosis dan stroke iskemik. Tekanan pada
pembuluh darah serebral bisa disebabkan oleh tumor, gumpalan darah
yang besar, pembengkakan pada jaringan otak, perlukaan pada otak,
atau gangguan lain. Namun, penyebab-penyebab tersebut jarang terjadi
pada kejadian stroke.
4. Faktor Risiko
a. Faktor Resiko Medis
1) Hipertensi
Penyakit darah tinggi atau hipertensi yang ditandai dengan
peningkatan tekanan darah diatas normal. Tekanan darah seseorang
yang berkisar 120/80 mmHg. Hipertensi dapat menyebabkan
kerusakan pada pembuluh darah di jantung, ginjal, dan mata. Jika
kerusakan terjadi pada otak maka akan menyebabkan perdarahan di
otak yang dapat memicu terjadinya stroke (Ridwan, 2017).
2) Penyakit Jantung
Penderita jantung koroner akan menyebabkan terjadinya
penyempitan dan penyumbatan pembuluh arteri koroner yang
disebabkan oleh zat lemak seperti kolesterol dan trigliserida yang
menumpuk pada lapisan terdalam endothelium dari pembuluh nadi.
Jika kondisi ini terus terjadi maka jantung akan kekurangan suplai
oksigen dan nutrien sehingga jantung tidak bisa memompa darah
secara optimal yang dapat mengakibatkan sel-sel otak tidak
mendapat suplai oksigen dengan baik yang bisa menimbulkan
terjadi stroke (Ridwan, 2017).
3) Diabetes Mellitus
Penderita diabetes mellitus apabila kadar glukosa plasma puasa
lebih tinggi dari 126 mg/dL dan diperiksa pada dua waktu yang
berbeda. Diabetes mellitus meningkatkan resiko stroke sebanyak 1
—3 kali lipat dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami
diabetes mellitus (Yulianto, 2011).
Penderita diabetes mellitus sewaktu-waktu darahnya dapat
membeku atau mengkristal sehingga mengganggu jalannya aliran
darah ke fungsi-fungsi penting jaringan tubuh, seperti jantung dan
otak. Kondisi ini dapat menyebabkan stroke dan serangan jantung
(Ridwan, 2017)
4) Fibrilasi Atrium
Tiga hingga empat kali lipat peningkatan risiko stroke yang
berkaitan dengan pembuluh 15 darah, prevalensi atrial fibrilasi
meningkat dengan bertambahnya usia seperempat dari stroke pada
orang yang sangat tua atau berumur 80 tahun disebabkan oleh
fibrilasi atrium. Stroke yang terkait dengan fibrilasi atrium dapat
melumpuhkan (Goldstein, 2006).
5) Dislipidemia
Kadar lemak dalam aliran darah terlalu tinggi atau terlalu rendah.
Tiga studi prospektif di Australia pada laki-laki menunjukkan
peningkatan tingkat stroke iskemik pada tingkat kolesterol total
yang lebih tinggi, terutama untuk tingkat di atas 240 hingga 270
mg/dL. tampaknya bahwa HDL yang rendah adalah faktor risiko
untuk stroke iskemik pada pria (Goldstein, 2006).
5. Patofisiologi
Infark serbral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di
otak. Luasnya infark bergantung pada faktor-faktor seperti lokasi dan
besarnya pembuluh darah dan adekuatnya sirkulasi kolateral terhadap area
yang disuplai oleh pembuluh darah yang tersumbat. Suplai darah ke otak
dapat berubah (makin lmbat atau cepat) pada gangguan lokal (thrombus,
emboli, perdarahan dan spasme vaskuler) atau oleh karena gangguan
umum (hipoksia karena gangguan paru dan jantung). Atherosklerotik
sering/cenderung sebagai faktor penting terhadap otak, thrombus dapat
berasal dari flak arterosklerotik, atau darah dapat beku pada area yang
stenosis, dimana aliran darah akan lambat atau terjadi turbulensi.
Thrombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa sebagai
emboli dalam aliran darah. Thrombus mengakibatkan; iskemia jaringan
otak yang disuplai oleh pembuluh darah yang bersangkutan dan edema dan
kongesti disekitar area. Area edema ini menyebabkan disfungsi yang lebih
besar daripada area infark itu sendiri. Edema dapat berkurang dalam
beberapa jam atau kadangkadang sesudah beberapa hari. Berkurangnya
edema pasien mulai menunjukan perbaikan. Oleh karena thrombosis
biasanya tidak fatal, jika tidak terjadi perdarahan masif. Oklusi pada
pembuluh darah serebral oleh embolus menyebabkan edema dan nekrosis
diikuti thrombosis. Jika terjadi septik infeksi akan meluas pada dinding
pembuluh darah maka akan terjadi abses atau ensefalitis, atau jika sisa
infeksi berada pada pembuluh darah yang tersumbat menyebabkan dilatasi
aneurisma pembuluh darah. Hal ini akan menyebabkan perdarahan
cerebral, jika aneurisma pecah atau ruptur.
Perdarahan pada otak lebih disebabkan oleh ruptur arteriosklerotik
dan hipertensi pembuluh darah. Perdarahan intraserebral menyebabkan
kematian dibandingkan dari keseluruhan penyakit cerebro vaskuler, karena
perdarahan yang luas terjadi destruksi massa otak, peningkatan tekanan
intracranial menyebabkan herniasi otak. Jika sirkulasi serebral terhambat,
dapat berkembang anoksia cerebral. Perubahan disebabkan oleh anoksia
serebral dapat reversibel untuk jangka waktu 4-6 menit. Perubahan
irreversibel bila anoksia lebih dari 10 menit. Anoksia serebral dapat terjadi
oleh karena gangguan yang bervariasi salah satunya henti jantung
(Muttaqin, 2008).
6. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis stroke menurut Mansjoer (2014) adalah:
a. Defisit Lapang Penglihatan
1) Homonimus hemianopsia (kehilangan setengah lapang
penglihatan). Tidak menyadari orang atau obyek ditempat
kehilangan, penglihatan, mengabaikan salah satu sisi tubuh,
kesulitan menilai jarak.
2) Kesulitan penglihatan perifer. Kesulitan penglihatan pada malam
hari, tidak menyadari obyek atau batas obyek.
3) Diplopia. Penglihatan ganda
b. Defisit Motorik
1) Hemiparese. Kelemahan wajah, lengan dan kaki pada sisi yang
sama. Paralisis wajah (karena lesi pada hemisfer yang berlawanan)
2) Ataksia. Berjalan tidak mantap, tegak, tidak mampu menyatukan
kaki, perlu dasar berdiri yang luas.
3) Disartria. Kesulitan membentuk dalam kata.
4) Disfagia. Kesulitan dalam menelan.
c. Defisit Verbal
1) Afasia Ekspresif. Tidak mampu membentuk kata yang mampu
dipahami, mungkin mampu bicara dalam respon kata tunggal.
2) Afasia Reseptif. Tidak mampu memahami kata yang dibicarakan,
mampu bicara tetapi tidak masuk akal.
3) Afasia Global. Kombinasi baik afasia ekspresif dan afasia reseptif
d. Defisit Kognitif
Kehilangan memori jangka pendek dan panjang, penurunan lapang
perhatian, kurang mampu untuk berkonsentrasi, perubahan penilaian.
e. Defisit Emosional
Penderita akan mengalami kehilangan kontrol diri, labilitas emosional,
penurunan toleransi pada situasi yang menimbulkan stress, depresi,
menarik diri, rasa takut, bermusuhan dan marah, perasaan isolasi.
7. Komplikasi
Komplikasi stroke menurut Setyanegara (2008):
a. Komplikasi Dini (0-48 jam pertama)
1) Edema serebri: defisit neurologis cenderung memberat, mengalami
peningkatan tekanan intrakranial, herniasi, dan kematian.
2) Infark miokard: penyebab kematian mendadak pada stroke stadium
awal.
b. Komplikasi Jangka Pendek (1-14 hari/7-14 hari pertama)
1) Pneumonia: akibat immobilisasi lama.
2) Infark miokard
3) Emboli paru: cenderung terjadi 7-14 hari pasca stroke, seringkali
pada saat penderita mulai mobilisasi.
4) Stroke rekuren: dapat terjadi pada setiap saat.
8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita stroke
menurut Tarwoto (2007) adalah sebagai berikut:
a. Head CT Scan
Tanpa kontras dapat membedakan stroke iskemik, perdarahan
intraserebral dan perdarahan subarakhnoid. Pemeriksaan ini sudah
harus dilakukan sebelum terapi spesifik diberikan.
9. Penatalaksanaan Medis
a. Penggunaan Terapi Antiplatelet
Pada pasien dengan stroke non-kardioembolik, ada beberapa bentuk
terapi antiplatelet yakni Aspirin 50—325mg/hari, Clopidogrel
75mg/hari, dan extended-release Dipyridamole 200mg plus Aspirin
25mg, penggunaan untuk lini pertama. Semua pasien yang mengalami
stroke iskemik akut atau TIA harus menerima terapi antitrombotik
jangka panjang untuk pencegahan stroke yang berulang (Fagan and
Hess, 2011).
b. Antikoagulan
Antikoagulan mencegah terjadinya gumpalan darah dan embolisis
thrombus direkomendasikan pada penderita stroke dengan kelainan
jantung yang dapat menimbulkan embolus (Junaidi, 2011).
Antikoagulasi oral dianjurkan untuk atrial fibrilasi dan jantung yang
diduga 22 sumber emboli. Antagonis vitamin K (Warfarin) adalah lini
pertama, tetapi oral lainnya antikoagulan (misalnya, dabigatran) dapat
direkomendasikan untuk beberapa pasien (Fagan and Hess, 2011).
c. Statin
Statin mengurangi risiko stroke sekitar 30% pada pasien dengan arteri
koroner penyakit dan peningkatan lipid plasma. Obat pasien stroke
iskemik, terlepas dari garis kolesterol, dengan terapi statin intensitas
tinggi untuk mencapai pengurangan setidaknya 50% dalam LDL untuk
pencegahan stroke sekunder (Fagan and Hess, 2011).
d. Heparin
Berat molekul rendah atau heparin tidak dapat terfraksi subkutan dosis
rendah (5000 unit tiga kali sehari) direkomendasikan untuk
pencegahan trombosis vena pada pasien rawat inap dengan penurunan
mobilitas karena stroke dan harus digunakan dalam semua tetapi stroke
yang paling kecil (Fagan and Hess, 2011).
e. Antihipertensi
Terapi pencegahan stroke sekunder pada pasien dengan stroke ringan
atau akut yang membutuhkan pengurangan tekanan darah atau
perawatan hipertensi dini untuk menurunkan tekanan darah sebesar
15% mungkin aman. Selain pengunaan terapi pengobatan tersebut,
terdapat beberapa kreasi tatalaksana stroke (Pinzon & Asanti, 2010),
salah satunya STROKE singkatan dari: S = Seimbang Gizi, T =
Turukan berat badan Berlebih, R = Rajin Ukur Tekanan Darah, O =
Olahraga teratur, K = Kurangi Stress, dan E = Enyahkan Asap Rokok.
C. Konsep Dasar ROM
1. Pengertian ROM
Rentang gerak (ROM) adalah pergerakan maksimal dapat dilakukan pada
sendi terdiri dari tiga bidang, yaitu: sagital, frontal, transversal. Bidang
sagital adalah bidang yang melewati tubuh dari depan ke belakang,
membagi tubuh menjadi sisi kanan dan sisi kiri. Bidang frontal melewati
tubuh dari sisi ke sisi dan membagi tubuh ke depan dan kebelakang.
Bidang transversal adalah bidang horizontal yang membagi tubuh ke
bagian atas dan bawah (Potter & Perry, 2009).
2. Klasifikasi ROM
Menurut Suratun dkk (2008), ROM terbagi menjadi 2 yaitu:
a. ROM aktif merupakan latihan ROM dilakukan sendiri oleh pasien
tanpa bantuan perawat dari setiap gerakan yang dilakukan. Indikasi
latihan ROM aktif adalah pasien kooperatif dapat melakukan ROM
sendiri.
Cara melakukan ROM aktif:
1) Menjelaskan apa yang akan dilakukan dan tujan kegiatan tersebut.
2) Anjurkan pasien selama latihan bernafas normal.
3) Lakukan latihan ROM.
b. ROM pasif adalah latihan ROM pasif yang dilakukan pasien dengan
bantuan perawat untuk setiap gerakan. Indikasi latihan ROM pasif
yaitu pasien semi koma dan tidak sadar, pasien tirah baring total, atau
pasien dengan paralisis ekstermitas total.
Cara melakukan ROM pasif:
1) Memberi pengetahuan pasien akan tindakan yang dilakukan, area
yang akan di gerakkan.
2) Jaga privasi pasien.
3) Atur pakaian yang menyebabkan hambatan untuk bergerak.
4) Mengangkat selimut apabila diperlukan.
5) Menganjurkan pasien berbaring dengan posisi yang nyaman.
6) Lakukan latihan ROM
3. Tujuan ROM Pasif
Menurut Johnson (2005), Tujuan range of motion (ROM) pasif sebagai
berikut:
a. Mempertahankan tingkat fungsi yang ada dan mobilitas ekstermitas
yang sakit.
b. Mencegah kontraktur dan pemendekan struktur muskuloskeletal.
c. Mencegah komplikasi vaskular akibat mobilitas.
d. Memudahkan kenyamanan.
e. Mempertahankan atau memelihara kekuatan otot.
f. Memelihara mobilitas persendian.
g. Merangsang sirkulasi darah.
h. Mencegah kelainan bentuk.
5. Kontra Indikasi
a. Latihan ROM tidak boleh diberikan apabila gerakan dapat
mengganggu proses penyembuhan cedera.
b. Gerakan yang terkontrol dengan seksama dalam batas-batas
pergerakan yang bebas nyeri selama fase awal penyembuhan akan
memperlihatkan terhadap penyembuhan dan pemulihan.
c. Terdapatnya tanda-tanda terlalu banyak atau terdapat gerakan yang
salah termasuk meningkatnya rasa nyeri dan peradangan.
d. ROM tidak boleh dilakukan bila respon pasien atau kondisinya
membahayakan.
9. Gerakan ROM
Gerakan ROM bisa di lakukan pada leher, ekstermitas atas, dan ektermitas
bawah. Latihan rentang gerak pada leher, meliputi gerakan fleksi, ekstensi,
rotasi lateral, dan fleksi lateral. Menurut Lukman (2009) rentang gerak
(ROM) standar untuk ekstermitas atas dan ekstermitas bawah, adalah
sebagai berikut:
a. Gerakan ROM pasif:
1) Gerakan fleksi dan ekstensi pergelangan tangan
2) Gerakan fleksi dan ekstensi siku
3) Gerakan pronasi dan supinasi lengan bawah
4) Pronasi fleksi bahu
5) Gerak abduksi dan adduksi bahu
6) Rotasi bahu
7) Fleksi dan ekstensi jari-jari
8) Infersi dan efersi kaki
9) Fleksi dan ekstensi pergelangan kaki
10) Fleksi dan ekstensi lutut
11) Rotasi pangkal paha
c. Data Lingkungan
1) Karakteristik rumah:
Bagian ini berfokus pada karakteristik tertentu dari lingkungan
rumah keluarga, yang dapat memengaruhi kesehatan keluarga.
Bagian pertama menggambarkan aspek perumahan keluarga dalam
hal struktur, keamanan, dan bahaya kesehatan lain. Bagian kedua
menjelaskan tentang sumber di rumah yang berhubungan dengan
kesehatan anggota keluarga. Bagian ketiga berfokus pada
lingkungan yang meningkatkan jumlah keluarga dan faktor
lingkungan yang memengaruhi kesehatan anggota keluarga.
2) Karakteristik tetangga dan komunitas:
Keluarga sehat adalah keluarga yang aktif dan mencari cara dengan
inisiatif sendiri untuk berhubungan dengan berbagai kelompok
komunitas. Keluarga yang berfungsi dengan cara yang sehat
memersepsikan diri mereka sendiri sebagai bagian dari komunitas
yang lebih besar. Bagian dari koping yang berhasil adalah
kemampuan mereka untuk memastikan kepatuhan dari lingkungan
atau mempertahankan keluarga yang ramah lingkungan, berarti
bahwa di dalam komunitas keluarga mampu mencari, menerima
dan/atau menerima sumber yang sesuai untuk memenuhi
kebutuhan makanan, pelayanan, dan informasi.
3) Mobilitas geografis keluarga:
Lingkungan dan komunitas yang lebih luas yang ditepati keluarga,
memiliki pengaruh nyata terhadap kesehatan keluarga.
4) Perkumpulan keluaraga dan interaksi dengan masyarakat:
Pada tahap ini yang dikaji adalah tentang interaksi dengan
teteangga disekitar rumah.
d. Struktur Keluarga
1) Pola Komunikasi Keluarga:
Pola komunkasi keluarga merupakan karakteristik, pola interaksi
sirkular yang bersinambung yang menghasilkan arti transaksi
antara anggota keluarga. Pola komunikasi melalui interaksi yang
dapat memenuhi kebutuhan afektif keluarga. Kemampuan anggota
keluarga untuk mengenal dan merespon pesan non verbal
merupakan aspek penting pada keluarga yang sehat. Pola
komunikai keluarga pola-pola komunikasi keluarga menjelaskan
komunikasi antar anggota keluarga.
2) Struktur Peran Keluarga:
Sebuah peran didefenisikan sebagai kumpulan dari perilaku yang
secara relatif homogen dibatasi secara normatif dan diharapakan
dari seorang yang menempati posisi sosial yang diberikan. Peran
berdasarkan pada pengharapan atau penetapan peran yang
membatasi apa saja yang harus dilakukan oleh individu di dalam
situasi tertentu agar memenuhi pengharapan diri atau orang lain
terhadap mereka. Adanya anggota keluarga stroke memerlukan
peran informal keluarga dalam merawat anggota keluarga
sekaligus sebagai system dukungan bagi anggota keluarga.
e. Fungsi Keluarga
1) Fungsi Afektif:
Fungsi afektif merupakan dasar utama baik untuk pembentukan
maupun keberlanjutan unit keluarga itu sendiri, sehingga fungsi
afektif merupakan salah satu fungsi keluarga yang paling penting.
Memelihara saling asuh antara suami dan isteri, perkembangan
hubungan yang akrab, keseimbangan saling menghormati, pertalian
dan identifikasi, perhatian/dukungan suami dan keluarga terdekat.
2) Fungsi Sosialisasi:
Fungsi sosialisasi adalah fungsi yang dibutuhkan untuk
kelangsungan hidup masyarakat. Fungsi sosialisasi merujuk pada
banyaknya pengalaman belajar yang diberikan dalam keluarga
yang ditujukan untuk mendidik anak-anak tentang cara
menjalankan fungsi dan memikul peran orang dewasa.
g. Pemeriksaan Fisik
Pemerikasaan fisik dilakukan pada semua anggota keluarga. Metode
yang digunakan pada pemeriksaan fisik tidak berbeda dengan
pemeriksaan fisik klinik. Pada anggota keluarga dengan stroke dapat
ditemui paralisis/paresis motorik: hemiplegia/hemiperesis, kelemahan
otot wajah, tangan, gangguan sensorik: kehilangan sensasi pada wajah,
lengan, dan ektermitas bawah, disphagia: kesulitan mengunyah,
menelan, paralisis lidah, dan laring, gangguan visual: pandangan
ganda, lapang padang menyempit, kesulitan berkomunikasi: kesulitan
menulis, kesulitan membaca, disatria, kelemahan, otot wajah, lidah,
langitlangit atas, pharing, dan bibir, kemampuan emosi: perasaan,
ekspresi wajah, penerimaan terhadap kondisi dirinya, memori:
pengenalan terhadap lingkungan, orang, tempat, waktu, tingkat
kesadaran, fungsi bladder dan fungsi bowel. Menurut Potter and Perry,
2010, pengkajian keperawatan pada klien meliputi aspek mobilisasi
dan imobilisasi. Perawat biasanya mengkaji dan mengajukan
pertanyaan tentang mobilisasi dan imobilisasi. Pengkajian mobilisasi
klien berfokus pada ROM, gaya berjalan, latihan dan toleransi
aktivitas, serta kesejajaran tubuh. Saat merasa ragu akan kemampuan
klien, lakukan pengkajian mobilisasi dengan klien berada pada tingkat
mobilisasi yang paling tinggi sesuai dengan toleransi klien. Dimulai
saat klien berbaring kemudian mengkaji posisi duduk ditempat tidur,
berpindah ke kursi, dan yang terakhir saat berjalan, hal ini membantu
keselamatan klien. Pada klien dengan gangguan mobilitas fisik dalam
kategori fisiologis dengan subkategori aktivitas dan istirahat, perawat
harus mengkaji data mayor dan minor yang tercantum dalam buku
Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (2017). Gejala dan tanda
mayor secara subjektif yakni mengeluh sulit menggerakkan
ekstremitas, sedangkan secara objektif adalah kekuatan otot menurun
dan rentang gerak menurun. Gejala dan tanda minor secara subjektif
yakni nyeri saat bergerak, enggan melakukan pergerakan, merasa
cemas saat bergerak, sedangkan secara objektif adalah sendi kaku,
gerakan tidak terkoordinasi, gerakan terbatas, dan fisik lemah.
f. Diagnosa Prioritas
Menurut SDKI, diagnosis gangguan mobilitas fisik adalah
keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih ektermitas secara
mandiri. Penyebabnya yaitu a) kerusakan integritas struktur tulang; b)
perubahan metabolisme; c) ketidakbugaran fisik; d) penurunan kendali
otot; e) penurunan massa otot; f) penurunan kekuatan otot; g)
keterlambatan perkembangan; h) kekakuan sendi, kontraktur; i)
malnutrisi; j) gangguan muskuluskletal; k) gangguan neuromuskular; l)
indeks masa tubuh diatas persen 75 sesuai usia; m) efek agen
farmakologis; n) program pembatasan gerak; o) nyeri; p) kurang
terpapar informasi tentang aktivitas fisik; q) kecemasan; r) gangguan
kognitif; s) keenggan an melakukan pergerakan; t) gangguan sensori
persepsi.
Gejala dan tanda mayor:
Subyektif: Mengeluhkan sulit menggerakkan ektermitas.
Obyektif: Kekuatan otot menurun, rentang ROM menurun.
Gejala dan tanda minor:
Subyektif: Nyeri saat bergerak, enggan melakukan pergerakan, dan
merasa cemas saat bergerak.
Obyektif: Sendi kaku, gerakan tidak terkoordinasi, gerakan terbatas,
fisik lemah.
Kondisi klinis terkait: stroke, cedera medule spinalis, trauma, fraktur,
osteoarthritis, osteomalasis, keganasan.
Menurut NANDA (2015), diagnosa keperawatan hambatan
mobilitas fisik yaitu keterbatasan pada pergerakan fisik tubuh atau satu
atau lebih ekstermitas secara mandiri dan terarah. Batasan karakteristik
yaitu penurunan waktu reaksi, kesulitan membolak-balik posisi,
melakukan aktivitas lain sebagai pengganti pergerakan, dispnea setelah
beraktivitas, gerakan bergetar, keterbatasan kemampuan melakukan
motorik kasar dan halus, keterbatasan melakukan pergerakan sendi,
tremor akibat pergerakan, pergerakan lambat, pergerakan tidak
terkoordinasi. Faktor yang berhubungan yaitu pelo, sulit berbicara,
defisit penglihatan, perubahan konsep diri, perubahan sistem saraf
pusat, harga diri rendah kronik, penurunan sirkulasi ke otak, usia
perkembangan, gangguan emosi, kendala lingkungan, kurang
informasi, hambatan fisik, stress, gangguan sensori perseptual, gaya
hidup monoton.
Menurut Doenges, (2010) diagnosa keperawatan kerusakan
mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri dan ketidaknyaman,
gangguan muskuloskeletal, terapi bedah atau pembatasan.
Jadi dapat disimpulkan diagnosa keperawatan gangguan
mobilitas fisik memiliki batasan karakteristik kesulitan membolak-
balikan posisi, keterbatasan kemampuan melakukan motorik kasar dan
halus, keterbatasan pergerakan sendi. Adapun faktor penyebabnya
yaitu penurunan kekuatan otot, kekakuan sendi, gangguan
muskuluskeletal, gangguan neuromuskular, nyeri, hambatan fisik,
penurunan sirkulasi ke otak, terapi bedah.
3. Intervensi Keperawatan
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan keluarga adalah salah satu proses
aktualisasirencana intervensi yang memanfaatkan berbagai sumber
didalam keluarga dan memandirikan keluarga dalam bidang kesehatan.
Keluarga didirikan untuk dapat menilai potensi yang dimiliki mereka dan
mengembangkannnya melalui implementasi yang bersifat memampukan
keluarga untuk (Suhari & Sulistiyono, 2016:
a. Mengenal masalah kesehatannya.
b. Mengambil keputusan berkaitan dengan persoalan kesehatan yang
dihadapi.
c. Merawat dan membina anggota keluarga sesuai dengan kondisi
kesehatannya.
d. Memodifikasi lingkungan yang sehat bagi setiap anggota keluarga.
e. Memanfaatkan sarana pelayanan kesehatan terdekat.
5. Evaluasi Keperawatan
Evalusi disusun dengan menggunakan SOAP secara oprasional
tahapan evalusi dapat dilakukan secara formatif dan sumatif. Evaluasi
formatif dilakukan selama proses asuhan keperawatan, sedangkan evaluasi
sumatif adalah evaluasi akhir.
Perawat asuhan keperawatan keluarga perlu memahami proses standart
praktik yang ditetapkan berdasarkan evident base practice yaitu
menetapkan masalah, merumuskan tujuan, menetapkan kreteria dan
standart evaluasi (Suhari & Sulistiyono, 2016). Kreteria hasil:
a. Bertambahnya kekuatan otot.
b. Klien menunjukkan tindakan untuk meninngkatkan mobilitas
c. Klien dan keluarga dapat mengenal masalah kesehatan anggota
keluarga.
d. Klien dan keluarga dapat mengambil tindakan kesehatan yang tepat.
e. Klien dan keluarga dapat memberikan perawatan pada anggota
keluarga.
f. Klien dan keluarga dapat menciptakan lingkungan rumah yang
nyaman bagi anggota keluarga.
g. Klien dan keluarga dapat memanfaatan fasilitas kesehatan yang ada
untuk mengatasi masalah kesehatan yang ada.
Ananda, Irma Putri. (2017). Pengaruh Range Of Motion (ROM) Terhadap
Kekuatan Otot Pada Lansia Bedrest Di PSTW Budhi Mulia 3 Margaguna
Jakarta Selatan. Dikutip dari repository.uinjkt.ac.id pada tanggal 22
Januari 2018.
Budi, Hendri dan Agonwardi. (2016). Pengaruh Pendidikan Kesehatan Latihan
Range Of Motion (ROM) Terhadap Keterampilan Keluarga Melakukan
ROM Pasien Stroke. Dikutip dari ejournal.kopertis10.or.id pada tanggal
22 Januari 2018.
Diba, Farah, Diah Nur Fitriani, onny Tampubolo. (2010). Fundamental
Keperawatan Edisi 3. Jakarta: Salemba Medika.
Endarwati, Titik, dkk. (2016). Buku Panduan Praktik Klinik Keperawatan Dasar.
Poltekkes Jogja Press: Yogyakarta.
Geissler, C Alice, Marilynn E Doenges, dan Mary Frances Moorhouse. (2010).
Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.
Hasanah, Nurul. (2015). Laporan Pendahuluan Hambatan Mobilitas Fisik.
Diakses dari htpp://www. Laporan-pendahuluan-hambatan- mobilitasfisikpdf.com
pada tanggal 18 januari 2018.
Irdawati. (2012). Pengaruh Latihan Gerak Terhadap Keseimbangan Pasien Stroke
Non-Hemoragik. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 7 (2), 129-136.
Kusuma, Hardhi dan Amin Huda Nurarif. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA NIC NOC Jilid 1,2,3.
Yogyakarta: MediAction.
Marina, Yuniarti. (2013). Laporan Asuhan Keperawatan pada Pasien Ny. S
dengan Stroke Non Hemoragik di Unit Stroke RSUP DR Sardjito Jurusan
Keperawatan Poltekkes Kemenkes Yogyakarta.
Marlina. (2011). Pengaruh ROM Terhadap Peningkatan Otot Pada Pasien Stroke
Iskemik Di RSUDZA Banda Aceh. Idea Nursing Journal, Vol III No 1.
.2008. Mobilisasi dan Imobilisasi Ilmu Keperawatan. Dikutip dari
nursingscience-2008.jpg pada tanggal 28 Januari 2018.
Palandeng, Henry, Claudia Agutina Sikawin, Mulyadi. (2013). Pengaruh Latihan
Range Of Motion Terhadap Kekuatan Otot Pada Pasien Stroke Di Irina F
Neurologi BLU RSUP PROF. DR. R. D. KANDOUMANADO.
ejournalKeperawatan (e-Kp), Vol 1, No1.
Potter and Perry. (2010). Fundamental Of NurshingBuku 3 Edisi. Salemba
Medika: Jakarta.
72
Purwanto, Edi. 2012. Implementasi dan Evaluasi Keperawatan. Dikutip dari s1-
keperawatan.umm.ac.id pada 22 Januari 2018.
Samiadi, Lika Aprilia. (2017). Kelumpuhan Hemiplegia dan Hemiparesis Akibat
Stroke. Diakses dari https://hellosehat.com/pusat-kesehatan/stroke2/kelumpuhan-
hemiplegia-dan-hemiparesis-akibat-stroke/amp/ pada
tanggal 28 Januari 2018.
Sari Arum, Wulan Retno. (2014). Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8. Jakarta:
PT Salemba Emban Patria.
Sari Kumala, Nengsi Olga. (2012). Studi Kasus Asuhan Keperawatan Pemenuhan
Kebutuhan Mobilisasi Pada Tn. J Dengan Stroke Diruang Anggrek 2
RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Dikutip dari 01-gdl-nengsiolga-236-1-
nengsio-5.pdf pada tanggal 18 Januari 2018.
So’emah, Eko Nur. (2014). Pengaruh Latihan ROM (Range Of Motion) Pasif
Terhadap Peningkatan Kemampuan Motorik Pada Pasien CVA Infark Di
Ruang Pajajaran RSUD Prof Dr. Soekandar Moosari Mojokerto. Dikutip
dari ejournal.stikes–ppni.ac.id pada tanggal 27 Januari 2017.
Suryati Eros Siti, Tarwoto, Wartonah. (2014). Keperawatan Medikal Bedah
Gangguan Sistem Persyarafan. Yogyakarta Rapha Publishing:
Yogyakarta.
Sudaryanto. 2011. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pemahaman. Dikutip dari
ejournal.kesehatanlingkungan pada tanggal 22 Juli 2018.
Swanson, Elizabeth, Sue Moorhead, Marion Johnson, dan Meridean L Maas.
(2016). Nursing Outcomes Classification (NOC). Jakarta: Elsevier.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Edisi 1. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Indonesia.
Ulliya, Sarah.2010.Pengaruh Latihan Range of Motion (ROM. Dikutip dari
https://ejournal.undip.ac.id pada tanggal 22 Juli 2018.
Wagner, Cheryl M, Gloria M Bulechek, Howard K Butcher, dan Joanne M
Dochterman.(2016). Nursing Interventions Classification (NIC). Jakarta:
Elservair.
Walgito. 2008. Tinjauan Pustaka Motivasi. Dikutip dari digilib.unimus.ac.id pada
tanggal 17 Juli 2018.
Ke 2
Aras, Djohan., Ahmad, Hasnia., Andy, Ahmad. 2016. The New Concept of
Publishing
Fagan, S.C., dan Hess, D.C., 2008, Stroke dalam Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee,
G.C., Matzke, G., Wells, B.C., & Posey, L.M., 2008, Pharmacotherapy :
A Pathophysiologic Approach, seventh Edition, Appleton and Lange
New York.
Farida Ida & Ade Listiana. 2019. Jurnal Penelitian Gambaran Kecemasan dan
Hamjah et al, 2019. Jurnal Kecemasan Kematian pada Pasien Pasca Stroke.
FKUI.
Ifdil & Dona. 2016. Jurnal Penelitian Konsep Kecemasan (Anxiety) pada Lanjut
Lee GKY, Wang HHX, Liu KQL, Cheung Y, Morisky DE, Wong MCS.
Determinants of medication adherence to antihypertensive medications
among a Chinese population using morisky medication adherence scale.
PLoS ONE. 2013;8(4):e62775. doi: 10.1371/journal. pone.0062775
Morisky E Donald, Larry S Webber, Marie Krousel-Wood.2010 ‘New Medication
Center
Jakarta:EGC
Medika
Pinzon R,. 2010. Awas Stroke, Pengertian, Gejala Tindakan, Perawatan dan
Denpasar. Denpasar
Tirtasari Silviana & Nasrin K. 2019. Jurnal Penelitian Prevalensi dan Karakteristik
A. 1. a. 1) a) (1)
A. Rumusan Masalah
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan khusus dari penulisan laporan kasus ini adalah agar penulis dapat :
iskemik
iskemik
1. Penulis
2. Institusi
3. Rumah Sakit
Sebagai bahan masukan bagi perawat-perawat yang bekerja di rumah
A. Rumusan Masalah
B. Tujuan
1. Tujuan umum
2. Tujuan Khusus
hemoragik.
non hemoragik..
C. Manfaat
1. Bagi Pasien
hemoragik.
bidang keperawatan.
4. Bagi Penulis