Anda di halaman 1dari 69

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit tidak menular (PTM) menjadi penyakit penyebab kematian
utama di dunia. Insiden PTM diprediksi akan terus meningkat terutama di
negara-negara berkembang. World Health Organization (WHO)
menyebutkan fenomena PTM terjadi akibat perkembangan dunia yang
semakin modern yang mempengaruhi gaya hidup dan mental emosional
sehingga memicu beberapa macam penyakit yang salah satunya adalah
stroke. ( Kemenkes RI, 2012).
Kasus stroke di seluruh dunia di perkirakan mencapai 50 juta jiwa, dan
9 juta diantaranya menderita kecacatan berat. yang lebih memprihatinkan lagi
10 persen di antara mereka yang terserang stroke mengalami kematian.
(Ovina et.al, 2013). Stroke merupakan penyakit terbanyak ketiga setelah
penyakit jantung dan kanker, serta merupakan penyakit penyebab kecacatan
tertinggi di dunia. Menurut American Heart Association (AHA), angka
kematian penderita stroke di Amerika setiap tahunnya adalah 50 – 100 dari
100.000 orang penderita. (Dinata et al,2013).
Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan di tahun 2013
menunjukan bahwa telah terjadi peningkatan prevalensi stroke di Indonesia.
Dari 8,3 per 1000 penduduk (per mil) pada 2007 menjadi 12,1 per 1000
penduduk pada tahun 2013, di Jawa Barat prevalensi stroke menurut
diagnosis tenaga kesehatan sebesar 6,6 % dan menurut diagnosa dokter dan
gejala sebesar 12,0 %.
Kejadian stroke di Kota Tasikmalaya terutama pada rumah sakit salah
satu milik pemerintah kota yaitu RSUD dr. Soekardjo yang merupakan rumah
sakit rujukan sepriangan timur didapatkan data bahwa Kasus stroke di RSUD
Kota Tasikmalaya selalu menempati urutan pertama dari seluruh kasus sistem
persarafan yang ada, Berdasarkan data hasil rekam medik RSUD
dr.Soekardjo Kota Tasikmalaya menunjukan pasien stroke dari bulan Januari
– Desember 2017 yaitu sebanyak 236 pasien. 126 diantaranya berjenis
kelamin perempuan dan 108 lainnya adalah laki – laki. Dari data tersebut
didapatkan bahwa 183 pasien menderita stroke non hemoragik atau iskemik
dan 53 pasien lainnya menderita penyakit stroke non hemoragik. Kemudian
didapatkan juga kejadian stroke tertinggi terjadi di wilayah kerja Puskesmas
Purbaratu yaitu sebanyak 2.494 dimana kejadian stroke pada laki-laki sebesar
901 dan pada perempuan sebanyak 1.593.
Stroke non hemoragik mempengaruhi pemenuhan kebutuhan hidup
manusia sehari – hari pasien. Masalah umum yang dihadapi diantaranya
seperti gangguan mobilisasi, melemahnya otot- otot saat berbicara,
melemahnya otot menelan, gangguan integritas kulit, hemiplegia dan
hemiparese dan lain sebagainya. Dari masalah tersebut akan berdampak pada
kurangnya mobilisasi, dekubitus, kelemahan otot dan kekakuan sendi,
tersedak karena sulit menelan, hambatan komunikasi verbal dan lain
sebagainya sehingga dapat menghambat pemenuhan kebutuhan dan aktivitas
pasien. Salah satu intervensi untuk mencegah dampak dari kurangnya
mobilisasi yaitu melakukan Range of Motion (ROM) pasif, merupakan suatu
latihan yang diberikan kepada keluarga terhadap pasien yang tidak mampu
bergerak aktif secara mandiri, seperti di bagian persendian tubuh seperti
leher, bahu, siku, pergelangan tangan, jempol, panggul, lutut, engsel dan
jempol kaki. Dalam pelaksanaan praktek klinik keperawatan, perawat dapat
mengaplikasikan tindakan keperawatan sesuai prosedur, dapat mengambil
keputusan secara kritis serta mampu menerapkan proses keperawatan dalam
penanganan pasien dengan stroke non hemoragik.
Perawat mengajarkan ROM pasif kepada keluarga untuk membantu
melatih pergerakan pada pasien stroke secara rutin. Selain merawat yang
sakit, keluarga juga mampu yaitu, “mengenal masalah kesehatan tiap anggota
keluarga”, “mampu mengambil keputusan secara tepat dan cepat dalam
mengatasi masalah kesehatan tiap anggota keluarga yang mempunyai
masalah kesehatan” dan juga “mampu merawat anggota keluarga yang sakit”.
Pelayanan keperawatan keluarga dapat dicapai dengan adanya pemeliharaan
kesehatan keluarga melalui 5 tugas keluarga, yaitu tugas yang pertama adalah
“mengenal masalah kesehatan tiap anggota” seperti mengenal penyakit
stroke, pencegahan, perawatan dari penyakit stroke serta pentingnya
pengobatan pagi penderita stroke. Tugas keluarga yang kedua yaitu “mampu
mengambil keputusan secara tepat dan cepat” dalam mengatasi masalah
kesehatan tiap anggota keluarga yang mempunyai masalah kesehatan seperti
turut merasakan masalah kesehatan yang dialami oleh penderita stroke, selalu
mengingatkan penderita stroke untuk berobat. Tugas keluarga yang ketiga
adalah “mampu merawat anggota keluarga yang sakit” dimana adanya
keluarga yang berperan sebagai Pengawas Minum Obat (PMO). Selain
merawat yang sakit, tugas keluarga yang ke empat mampu “memelihara dan
memodifikasi lingkungan rumah yang sehat” dimana untuk lingkungan
penderita stroke perlu diperhatikan seperti ventilasi dan pencahayaan, serta
fungsi keluarganya yang kelima adalah “keluarga mampu menggunakan
fasilitas pelayanan kesehatan” seperti keluarga mengetahui fasilitas pelayanan
kesehatan terdekat dan pergi ke fasilitas kesehatan untuk berobat.
Tercapainya 5 fungsi pemenuhan pemeliharaan/perawatan kesehatan ini perlu
dilakukan melalui pemberian asuhan keperawatan keluarga. Mengingat
betapa pentingnya penerapan penatalaksanaan tindakan keperawatan dalam
mengurangi kecacatan dan kelemahan otot ektermitas pada pasien gangguan
mobilitas fisik pasien stroke, pemberian penyuluhan kesehatan terhadap
keluarga pasien stroke merupakan salah satu solusi untuk meningkatkan
pengetahuan keluarga tentang pentingnya program rehabilitasi pada pasien
stroke.
Berdasarkan uraian diatas dalam rangka memperbaiki dan memelihara
status kesehatan pasien stroke non hemoragik penulis tertarik untuk
melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien stroke non hemoragik dan
didokumetasikan dalam bentuk karya ilmiah akhir ners dengan judul
“Asuhan Keperawatan Keluarga Tn. M dengan Intervensi Penerapan
Latihan Range of Motion (ROM) terhadap Peningkatan Kekuatan Otot
Ekstremitas pada Pasien Stroke Non Hemoragik di Wilayah Kerja
Puskesmas Purbaratu Kota Tasikmalaya Tahun 2021”.

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum

2. Tujuan Khusus

C. Metode Penulisan

D. Ruang Lingkup

E. Sistematika Penulisan
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Konsep Dasar Keluarga


1. Pengertian Keluarga
Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang menjadi
klien (penerima) asuhan keperawatan. Keluarga berperan dalam
menentukan asuhan keperawatan yang diperlukan oleh anggota keluarga
yang sakit. Keberhasilan keperawatan di rumah sakit akan menjadi sia-sia
jika tidak dilanjutkan dengan perawatan dirumah secara baik dan benar
oleh klien atau keluarganya. Secara empiris, hubungan antara kesehatan
anggota keluarga terhadap kualitas kehidupan keluarga sangat
berhubungan atau signifikan (Efendi & Makhfudli, 2009).
Menurut Salvicion dan Celis (1993) di dalam keluarga terdapat dua
atau lebih dari dua pribadi yang tergabung karena hubungan darah
perkawaninan atau pengankatan, di hidupnya dalam satu rumah tangga,
berinteraksi satu sama lain dan didalam perannya masing-masing dan
menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan.
Menurut Al-Quran Surat Al-Furqon ayat 54:

‫ك قَ ِديرًا‬ ِ ‫ق ِمنَ ْٱل َمٓا ِء بَ َشرًا فَ َج َعلَهۥُ نَ َسبًا َو‬


َ ُّ‫ص ْهرًا ۗ َو َكانَ َرب‬ َ َ‫َوهُ َو ٱلَّ ِذى َخل‬

Artinya: “Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu dia
jadikan manusia itu (pula) keturunan dan musyaharah (hubungan
kekeluargaan yang berasal dari perkawinan, seperti menantu, ipar, mertua
dan sebagainya)”.
Banyak ahli menguraikan pengertian keluarga sesuai dengan
perkembangan social masyarakat berikut akan di kemukakan beberapa
pengertian keluarga.
a. Raisner (1980)
Keluarga adalah sebuah kelompok yang terdiri dari dua orang atau
lebih yang masing-masing mempunyai hubungan kekerabatan yang
terdiri dari bapak, ibu, adik, kakek, dan nenek.
b. Gilis (1983)
Keluarga adalah sebagaimana sebuah kesatuan yang kompleks dengan
atribut yang dimiliki tetapi terdiri dari beberapa komponen yang
masing-masing mempunyai sebagaimana individu.
c. Logan’s (1979)
Keluarga adalah sebuah system social dan kumpulan dari beberapa
komponen yang saling berinteraksi satu dengan lainnya.
d. Duvall (1986)
Menguraikan bahwa keluarga adalah sekumpulan orang dengan ikatan
perkawaninan, kelahiran dan adopsi yang bertujuan untuk
menciptakan, mempertahankan budaya dan meningkatkan
perkembangan fisik, mental emosional serta social dari setiap anggota
keluarga.

2. Tipe Keluarga
Menurut Widyanto (2014), keluarga memiliki berbagai macam tipe yang
dibedakan menjadi keluarga tradisional dan non tradisional, yaitu :
a. Keluarga Tradisional
1) The Nuclear Family (Keluarga Inti), yaitu keluarga yang terdiri
suami, istri dan anak.
2) The Dyad Family, yaitu keluarga yang terdiri suami dan istri yang
hidup dalam satu rumah tetapi tanpa anak.
3) Keluarga usila, yaitu keluarga yang terdiri dari suatu istri yang
sudah tua dengan sudah memisahkan diri.
4) The Childless Family, yaitu keluarga tanpa anak karena terlambat
menikah dan untuk mendapatkan anak terlambat waktunya.
Penyebabnya adalah karena mengejar karir atau pendidikan yang
terjadi pada wanita.
5) The Extended Family (keluarga besar), yaitu keluarga yang terdiri
tiga generasi hidup bersama dalam satu rumah seperti nuclear
family disertai paman, bibi, orang tua (kakek dan nenek),
keponakan dan lain sebagainya.
6) The Single Parent Family (keluarga duda atau janda), yaitu
keluarga yang terdiri dari suatu orang tua bisa ayah atau ibu.
Penyebabnya dapat terjadi karena proses perceraian, kematian atau
bahkan ditinggalkan.
7) Commuter Family, yaitu keluarga dengan kedua orang tua bekerja
di kota yang berbeda, tetapi setiap akhir pekan semua anggota
keluarga dapat berkumpul bersama di salah satu kota yang menjadi
tempat tinggal.
8) Multigenerational Family, yaitu keluarga dengan generasi atau
kelompok umur yang tinggal bersama dalam satu rumah.
9) Kin-network Family, yaitu keluarga dengan beberapa keluarga inti
tinggal dalam satu rumah atau saling berdekatan menggunakan
barang-barang serta pelayanan bersama. Seperti, menggunakan
dapur, kamar mandi, televise, atau telepon bersama.
10) Blended Family, yaitu keluarga yang dibentuk oleh duda atau janda
yang menikah kembali dan membesarkan anak dari perkawinan
sebelumnya.
11) The Single adult living alone / single adult family, yaitu keluarga
yang terdiri dari orang dewasa yang hidup sendiri karena
pilihannya (separasi) seperti perceraian atau di tinggal mati.

b. Keluarga non tradisional


1) Keluarga dengan orang tua beranak tanpa menikah, biasanya ibu
dan anak.
2) Pasangan yang memiliki anak tetapi tidak menikah, didasarkan
pada hukum tertentu.

3) Pasangan kumpul kebo, kumpul bersama tanpa menikah.


4) Keluarga gay atau lesbian, orang-orang yang berjenis kelamin yang
sama hidup bersama sebagai pasangan yang menikah.
5) Keluarga komuni, keluarga yang terdiri dari lebih satu pasangan
monogamy dengan anak-anak secara bersama sebagai pasangan
yang menikah.

3. Struktur Keluarga
Struktur sebuah keluarga memberikan gambaran tentang bagaimana suatu
keluarga itu melaksanakan fungsinya dalam masyarakat. Adapun macam-
macam struktur keluarga diantaranya adalah (Setyawan, 2012):
a. Patrilineal
Keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara sedarah dalam
beberapa generasi, dimana hubungan itu disusun melalui jalur garis
ayah.
b. Matrilineal
Keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara sedarah dalam
beberapa generasi, dimana hubungan itu disusun melalui jalur garis
ibu.
c. Matrilokal
Sepasang suami-istri yang tinggal bersama keluarga sedarah istri.
d. Patrilokal
Sepasang suami-istri yang tinggal bersama keluarga sedarah suami.
e. Keluarga menikah
Hubungan suami-istri sebagai dasar bagi pembinaan keluarga dan
beberapa sanak saudara yang menjadi bagian keluarga karena adanya
hubungan dengan suami atau istri.
4. Fungsi Keluarga
Menurut Friedman (1998) dalam Harmoko (2012), mengidentifikasi ada
lima fungsi dasar keluarga yaitu:
a. Fungsi Afektif
Fungsi afektif merupakan sumber energi yang menentukan
kebahagiaan keluarga. Adanya perceraian, kenakalan anak, atau
masalah lain yang sering timbul dalam keluarga dikarenakan fungsi
afektif yang tidak terpenuhi oleh keluarga. Fungsi afektif antara lain:
1) Saling mengasuh, cinta kasih, kehangatan, saling menerima, dan
saling mendukung antar anggota.
2) Adanya sikap saling menghargai dengan mempertahankan iklim
yang positif dimana tiap anggota diakui serta dihargai keberadaan
dan haknya sebagai orangtua maupun anak, sehingga fungsi afektif
akan tercapai.
b. Fungsi Sosialisasi
Fungsi sosialisasi adalah fungsi yang mengembangkan dan melatih
anak untuk hidup bersosial sebelum meninggalkan rumah dan
berhubungan dengan orang lain.
c. Fungsi Reproduksi
Keluarga berfungsi untuk meneruskan kelangsungan keturunan dan
menambah sumber daya manusia.
d. Fungsi ekonomi
Fungsi ekonomi adalah keluarga berfungsi untuk memenuhi
kebutuhan seperti makanan.pakaian, perumahan dan pengelolaan
keuangan Kemampuan keluarga untukmemiliki pengahasilan yang
baik dan mengelola finansialnya denganbijak merupakanfaktor
kritis untuk mencapai kesejahteraan ekonomi.
e. Fungsi perawat keluarga
Keluarga juga berfungsi melakukan asuhan kesehatan terhadap
anggotanya baik untuk mencegah terjadinya gangguan maupun
merawat anggota yang sakit.
Tugas kesehatan keluarga adalah sebagai berikut (Friedman, 1998 dalam
Murwani, 2007):
a. Mengenal masalah kesehatan.
b. Membuat keputusan tindakan kesehatan yang tepat.
c. Memberi perawatan pada anggota keluarga yang sakit.
d. Mempertahankan atau menciptakan suasana rumah yang sehat.
e. Mempertahankan hubungan dengan fasilitas kesehatan masyarakat.

5. Peran Keluarga
Peran keluarga adalah tingkah laku spesifik yang diharapkan
oleh seseorang dalam konteks keluarga. Peranan keluarga
menggambarkan perilaku interpersonal, sifat, kegiatan yang
berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasitertentu.
Peran individu dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku dari
keluarga, kelompok dan masyarakat. Setiap anggota keluarga
mempunyai peran masing-masing (Harnilawati, 2013):
a. Ayah
Ayah sebagai pemimpin keluarga mempunyai peran sebagai pencari
nafkah, pendidik, pemberi rasa nyaman bagi setiap anggota
keluarga dan sebagaianggota masyarakat kelompok sosial tertentu.
b. Ibu
Ibu sebagai pengurus rumah tangga, pengasuh, pendidik anak-anak
pencari nafkah tambahan dan sebagai anggota masyarakat kelompok
sosial tertentu.
c. Anak
Anak sebagai pelaku psikososial sesuai dengan perkembangan fisik,
sosial, mental dan spiritual.
6. Tahap Perkembangan Keluarga Melepaskan Anak Dewasa Muda
Tahap siklus kehidupan keluarga berikut ini telah dijabarkan oleh Duvall dan
Miller (1985) serta Carter dan McGoldrick (1989) sesuai dengan kasus yang
ditemukan:
Tahap VI: Keluarga Melepaskan Anak Dewasa Muda
Permulaan fase kehidupan keluarga ini ditandai dengan perginya anak pertama
dari rumah orang tua dan berakhir dengan “kosongnya rumah”, ketika anak
terakhir juga telah meninggalkan rumah. Tahap ini dapat didukung atau cukup
singkat atau cukup lama, bergantung pada jumlah anak dalam keluarga atau jika
anak yang belum menikah tetap tinggal di rumah setelah mereka menyelesaikan
SMU atau kuliahnya. Walaupun lama waktu yang biasa terjadi pada tahap ini
adalah atau tujuh tahun, beberapa tahun belakangan ini tahap VI dalam
keluarga menjadi lama karena lebih banyak anak yang telah dewasa tinggal
dirumah setelah mereka menyelesaikan sekolahnya dan mulai bekerja. Motifnya
sering kali adalah masalah ekonomi tingginya biaya hidup mandiri. Akan tetapi
semakin menyebar kecenderungan bagi anak dewasa mudayang umunya
menunda pernikahan untuk meiliki periode tidak terikat selama mereka hidup
mandiri dilingkungan rumah mereka sendiri. Fase kehidupan keluarga ini
ditandai leh puncak tahun-tahun persiapan bagi anak yang telah siap untuk
kehidupan dewasa yang mandiri. Orangtua, pada saat mereka mmelepaskan
anak-anaknya pergi, melepaskan peran mereka sebagai orangtu yang telah
dijadikan selama 20 tahun atau lebih dan mereka kembali ke pasangan hidup
mereka.

7. Tugas Perkembangan Keluarga Melepaskan Anak Dewasa Muda


Tugas perkembangan keluarga menurut Friedman (1998) yaitu:
Tahap VI:
a. Memperluas keluarga inti menjadi keluarga besar.
b. Memperluas lingkaran keluarga terhadap anak dewasa, termasuk
memasukkan anggota keluarga baru yang berasal dari pernikahan anak-
anaknya.
c. Mempertahankan keintiman pasangan.
d. melanjutkan untuk memperbarui dan menyesuaikan kembali hubungan
pernikahan.
e. Membantu orang tua suami/isteri yang sedang sakit dan memasuki
masa tua.
f. Membantu anak untuk mandiri di masyarakat.
g. Penataan kembali peran dan kegiatan rumah tangga.

8. Masalah-masalah yang Muncul pada tahap Keluarga Melepaskan


Anak Dewasa Muda
Masalah-masalah kesehatan pada keluarga yang muncul menurut
Friedman (1998) yaitu:
Tahap VI:
a. Masa komunikasi dewasa muda-orang tua.
b. Transisi peran suami-istri.
c. Memberi perawatan (bagi orang tua lanjut usia).
d. Kondisi kesehatan kronis misalnya kolesterol tinggi, obesitas, tekanan
darah tinggi.
e. Masalah menopause.
f. Efek-efek: minum, merokok, diet.

9. Peran Perawat Keluarga


Perawat kesehatan keluarga adalah pelayanan kesehatan yang ditujukan
kepada keluarga sebagai unit pelayanan untuk mewujudkan keluarga yang
sehat. Fungsi perawat, membantu keluarga untuk menyelesaikan masalah
kesehatan dengan cara meningkatkan kesanggupan keluarga melakukan
fungsi dan tugas perawatan kesehatan keluarga. Menurut Widyanto (2014),
peran dan fungsi perawat dalam keluarga yaitu:
a. Pendidik Kesehatan, mengajarkan secara formal maupun informal
lepada keluarga tentang kesehatan dan penyakit.
b. Pemberi Pelayanan, pemberi asuhan keperawatan kepada angota
keluarga yang sakit dan melakukan pengawasan terhadap
pelayanan/pembinaan yang diberikan guna meningkatkan kemampuan
merawat bagi keluarga.
c. Advokat Keluarga, mendukung keluarga berkaitan dengan isu-isu
keamanan dan akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
d. Penemu Kasus (epidiomologist), mendeteksi kemungkinan penyakit
yang akan muncul dan menjalankan peran utama dalam pengamatan
dan pengawasan penyakit.
e. Peneliti, mengidentifikasi masalah praktik dan mencari penyelesaian
melalui investigasi ilmiah secara mandiri maupun kolaborasi.
f. Manager dan Koordinator, mengelola dan bekerja sama dengan
anggota keluarga, pelayanan kesehatan dan sosial, serta sektor lain
untuk mendapatkan akses pelayanan kesehatan.
g. Fasilitator, menjalankan peran terapeutik untuk membantu mengatasi
masalah dan mengidentifikasi sumber masalah.
h. Konselor, sebagai konsultan bagi keluarga untuk mengidentifikasi dan
memfasilitasi keterjangkauan keluarga/masyarakat terhadap sumber
yang diperlukan.
i. Mengubah/Memodifikasi Lingkungan, memodifikasi lingkungan agar
dapat meningkatkan mobilitas dan menerapkan asuhan secara mandiri.

B. Konsep Dasar Stroke


1. Pengertian
Sekumpulan tanda klinis yang dapat berkembang dengan cepat
hingga mengakibatkan gangguan otak secara fokal dan atau global yang
terjadi secara tak terduga dalam 24 jam hingga menyebabkan kematian
merupakan definisi stroke menurut World Health Organization (WHO).
Stroke merupakan gangguan sistem neurologis yang terjadi secara
mendadak yang dikarenakan sumbatan ataupun pecahnya pembuluh darah
pada otak hingga mengakibatkan perdarahan (Pinzon & Asanti, 2010).
Menurut Sari dan Retno (2014), stroke adalah istilah yang digunakan
untuk menggambarkan perubahan neurologis yang disebabkan oleh
adanya gangguan suplai darah ke bagian otak. Pembuluh darah ke otak
berfungsi mengangkut pasokan oksigen dan nutrisi guna memenuhi dan
menjalankan fungsi otak dengan baik. Jika proses pengangkutan
terhambat, otak mengalami kerusakan hingga dapat mengakibatkan
kematian sel—sel pada sebagian area otak. Ketika seseorang mengalami
hal tersebut, perlu sesegera mungkin mendapatkan penanganan secara
medis (Anies, 2018). Stroke merupakan sindrom neurologi yang
menyebabkan kecacatan dengan sebutan lain cerebrovascular accident atau
brain attack. Gangguan tersebut yang menyebabkan kecacatan karena
terjadinya iskemia atau aliran darah yang berhenti disebagian otak akibat
pembuluh darah yang robek (Lumbantombing, 2013).

2. Klasifikasi
Menurut Pinzon & Asanti (2010), stroke dapat diklasifikasikan menjadi 2:
a. Stroke Non Hemoragik
Stroke non hemoragik yang terjadi karena aliran darah ke otak terhenti
karena aterosklerosis atau adanya bekuan darah yang menyumbat suatu
pembuluh darah. Penyumbatan tersebut terjadi pada sepanjang jalur
arteri menuju otak. Hal ini terjadi setelah lama beristirahat, kemudian
bangun tidur pada pagi hari. Tidak terdapat perdarahan namun iskemia
menimbulkan hipoksia dan edema sekunder, sehingga penderita pada
gejala ini masih mendapatkan kesadaran yang baik. Stroke jenis ini
terbagi menjadi sumbatan yang diakibatkan trombus dan emboli.
Sumbatan thrombus terjadi pada dinding pembuluh darah yang
mengalami pengerasan dengan sebutan lain aterosklerosis. Emboli
menyebabkan kondisi bekuan darah atau udara yang menghambat laju
aliran darah.

b. Stroke Hemoragik
Stroke perdarahan yang terjadi karena adanya pembuluh darah yang
pecah diotak. Darah yang keluar dari pembuluh darah dapat merusak
sel-sel otak dan mengenai area sekitar otak akibatnya sel tersebut dapat
mengakibatkan kematian yang diakibatkan adanya pembengkakan dan
tekanan. Terdapat tiga kategori stroke hemoragik yang dapat terjadi
pada area otak yaitu,
1) Perdarahan sub-arachnoid, terjadi ketika darah memasuki area sub-
arachnoid (daerah yang mengelilingi otak dan spinal cord) akibat
adanya trauma, serta pecahnya pembuluh darah pada intrakranial
yang membengkak atau pecah. Sehingga menyebabkan TIK
meningkat secara mendadak, meregangnya struktur nyeri dan
vasospasme pembuluh darah serebral. Hal inilah yang sumber
terjadi disfungsi otak secara global yang umumnya dirasakan
penderita seperti sakit kepala, penurunan kesadaran, hingga
hemiparase.
2) Perdarahan Instraselebral, perdarahan yang diakibatkan pecahnya
pembuluh darah pada parenkim otak secara yang langsung yang
menyebabkan terjadinya hematoma. Umunya hal ini terjadi karena
keadaan hipertensi yang tidak terkontrol sehingga menimbulkan
edema otak. Peningkatan TIK yang terlalu cepat dapat juga
mengakibatkan kematian mendadakana dikarenakan herniasi otak.
3) Perdarahan Subdural, pembekuan darah pada area dura yang
disebabkan karena adanya trauma sehingga kategori akan lebih
membahayakan suatu kondisi stroke yang besar kemungkinan
menyebabkan kematian.

3. Etiologi
Menurut Siti dkk (2014), berbagai penyebab dari stroke yaitu:
a. Trombosis
Penggumpalan (thrombus) mulai terjadi dari adanya kerusakan pada
bagian garis endotelial dari pembuluh darah. Aterosklerosis merupakan
penyebab utama karena zat lemak tertumpuk dan membentuk otak
pada dinding pembuluh darah. Plak ini terus membesar dan
menyebabkan penyempitan (stenosis) pada arteri. Stenosis
menghambat aliran darah yang biasanya lancar pada arteri. Darah akan
berputar-putar dibagian permukaan yang terdapat plak, menyebabkan
penggumpalan yang akan melekat pada plak tersebut. Akhirya rongga
pembuluh darah menjadi tersumbat.
Trombus bisa terjadi di semua bagian sepanjang arteri karotid atau
pada cabang-cabangnya. Bagian yang biasa terjadi penyumbatan
adalah pada bagian yang mengarah pada percabangan dari karotid
utama ke bagian dalam dan luar dari arteri karotid. Bagian endotelium
dari pembuluh darah kecil dipengaruhi sebagian besar oleh kondisi
hipertensi, yang menyebabkan penebalan dari dinding pembuluh darah
dan penyempitan. Infark lakunar juga sering terjadi pada penderita
diabetes melitus.

b. Embolisme
Sumbatan pada arteri serebral yang disebabkan oleh embolus
menyebabkan stroke embolik. Embolus terbentuk di bagian luar otak,
kemudian terlepas dan mengalir melalui sirkulasi serebral sampai
embolus tersebut melekat pada pembuluh darah dan menyumbat arteri.
Embolus yang paling sering terjadi adalah plak. Trombus dapat
terlepas dari arteri karotis bagian dalam pada bagian luka plak dan
bergerak ke dalam sirkulasi serebral. Kejadian fibralasi atrial kronik
dapat berhubungan dengan tingginya kejadian stroke embolik, yaitu
darah terkumpul didalam atrium yang kosong. Gumpalan darah yang
sangat kecil terbentuk dalam atrium kiri dan bergerak menuju jantung
dan masuk kedalam sirkulasi cerebral. Pompa mekanik jantung buatan
memiliki permukaan yang lebih kasar dibandingkan otot jantung yang
normal dan dapat menyebabkan peningkatan risiko terjadinya
pengumpalan. Endokarditis yang disebabkan oleh bakteri maupun
nonbakteri dapat menjadi sumber terjadinya emboli. Sumber-sumber
penyebab emboli lainnya adalah tumor, lemak, bakteri, dan udara.
Emboli bisa terjadi pada seluruh bagian pembuluh darah serebral.
Kejadian emboli pada serebral meningkat bersamaan dengan
meningkatnya usia.
c. Perdarahan (Hemoragik)
Perdarahan intraserebral paling banyak disebabkan oleh adanya ruptur
arteriosklerotik dan hipertensi pembuluh darah, yang bisa
menyebabkan perdarahan ke dalam jaringan otak. Perdarahan
intraserebral paling sering terjadi akibat dari penyakit hipertensi dan
umumnya terjadinya setelah usia 50 tahun. Akibat lain dari perdarahan
adalah aneurisme (pembengkakan pada pembuluh darah). Stroke yang
disebabkan oleh perdarahan sering kali menyebabkan spasme
pembuluh darah serebral dan iskemik pada serebral karena darah yang
berada diluar pembuluh darah membuat iritasi pada jarinngan. Stroke
hemoragik biasanya menyebabkan terjadinya kehilangan fungsi yang
paling banyak dan penyembuhannya paling lambat dibandingkan
dengan tipe stroke yang lain. Keseluruhan angka kematian karena
stroke hemoragik berkisar antara 25%-60%. Jumlah volume
perdarahan merupakan satu-satunya predicator yang paling penting
untuk melihat kondisi klien. Oleh sebab itu, tidak mengherankan
bahwa perdarahan pada otak penyebab paling fatal dari semua jenis
stroke.

d. Penyebab lain
Spasme arteri serebral yang disebabkan oleh infeksi, menurunkan
aliran darah ke arah otak yang disuplai oleh pembuluh darah yang
menyempit. Spasme yang berudrasi pendek tidak selamanya
menyebabkan kerusakan otak yang permanen. Kondisi hiperkoagulasi
adalah kondisi terjadi penggumpalan yang berlebihan pada pembuluh
darah yang bisa terjadi pada kondisi kekurangan protein C dan protein
S, serta gangguan aliran gumpalan darah yang dapat menyebabkan
terjadinya stroke trombosis dan stroke iskemik. Tekanan pada
pembuluh darah serebral bisa disebabkan oleh tumor, gumpalan darah
yang besar, pembengkakan pada jaringan otak, perlukaan pada otak,
atau gangguan lain. Namun, penyebab-penyebab tersebut jarang terjadi
pada kejadian stroke.

4. Faktor Risiko
a. Faktor Resiko Medis
1) Hipertensi
Penyakit darah tinggi atau hipertensi yang ditandai dengan
peningkatan tekanan darah diatas normal. Tekanan darah seseorang
yang berkisar 120/80 mmHg. Hipertensi dapat menyebabkan
kerusakan pada pembuluh darah di jantung, ginjal, dan mata. Jika
kerusakan terjadi pada otak maka akan menyebabkan perdarahan di
otak yang dapat memicu terjadinya stroke (Ridwan, 2017).
2) Penyakit Jantung
Penderita jantung koroner akan menyebabkan terjadinya
penyempitan dan penyumbatan pembuluh arteri koroner yang
disebabkan oleh zat lemak seperti kolesterol dan trigliserida yang
menumpuk pada lapisan terdalam endothelium dari pembuluh nadi.
Jika kondisi ini terus terjadi maka jantung akan kekurangan suplai
oksigen dan nutrien sehingga jantung tidak bisa memompa darah
secara optimal yang dapat mengakibatkan sel-sel otak tidak
mendapat suplai oksigen dengan baik yang bisa menimbulkan
terjadi stroke (Ridwan, 2017).
3) Diabetes Mellitus
Penderita diabetes mellitus apabila kadar glukosa plasma puasa
lebih tinggi dari 126 mg/dL dan diperiksa pada dua waktu yang
berbeda. Diabetes mellitus meningkatkan resiko stroke sebanyak 1
—3 kali lipat dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami
diabetes mellitus (Yulianto, 2011).
Penderita diabetes mellitus sewaktu-waktu darahnya dapat
membeku atau mengkristal sehingga mengganggu jalannya aliran
darah ke fungsi-fungsi penting jaringan tubuh, seperti jantung dan
otak. Kondisi ini dapat menyebabkan stroke dan serangan jantung
(Ridwan, 2017)

4) Fibrilasi Atrium
Tiga hingga empat kali lipat peningkatan risiko stroke yang
berkaitan dengan pembuluh 15 darah, prevalensi atrial fibrilasi
meningkat dengan bertambahnya usia seperempat dari stroke pada
orang yang sangat tua atau berumur 80 tahun disebabkan oleh
fibrilasi atrium. Stroke yang terkait dengan fibrilasi atrium dapat
melumpuhkan (Goldstein, 2006).
5) Dislipidemia
Kadar lemak dalam aliran darah terlalu tinggi atau terlalu rendah.
Tiga studi prospektif di Australia pada laki-laki menunjukkan
peningkatan tingkat stroke iskemik pada tingkat kolesterol total
yang lebih tinggi, terutama untuk tingkat di atas 240 hingga 270
mg/dL. tampaknya bahwa HDL yang rendah adalah faktor risiko
untuk stroke iskemik pada pria (Goldstein, 2006).

b. Faktor Resiko Perilaku


1) Merokok
Kandungan nikotin dalam rokok dapat mengganggu sistem saraf
simpatis dan kinerja otak yang memicu peningkatan frekuensi
denyut jantung, tekanan darah, dan gangguan irama jantung.
Nikotin juga dapat mengaktifkan trombosit darah yang dapat
memicu timbulnya stroke (Ridwan, 2017).
Penderita dengan riwayat perokok yang diakibatkan stroke jauh
lebih parah karena dinding bagian dalam (endothelial) pada sistem
pembuluh darah otak (serebrovaskular) menjadi lemah sehingga
menyebabkan kerusakan yang lebih besar lagi pada otak sebagai
akibat jika terjadi stroke tahap kedua (Yulianto, 2011).
2) Stress
Hormon stress diproduksi oleh ginjal sehingga memiliki hubungan
erat dengan pengendalian kondisi tubuh, yaitu pengendalian kadar
gula darah. Hormon stress atau disebut kortisol yang berfungsi
mengubah lemak menjadi gula. Penderita yang mengalami stress
dapat meningkatkan kadar Acetylcholine, yaitu suatu ester asam
asetat dari kolin sebagai neurotransmitter yang berfungsi untuk
menyampaikan pesan dari satu sel saraf dan sel saraf lainnya.
Selain itu terdapat juga vasopressin yang dapat menimbulkan
penurunan daya tahan tubuh hingga mengakibatkan kanker
(Ridwan, 2017).
3) Kurang Olahraga
Olahraga secara teratur dapat mencegah timbulnya penyakit
berbahaya. Kerja jantung yang terpelihara dengan baikyang dapat
membuat sel-sel terhindar dari tanda gejala stroke.

c. Faktor Resiko yang Tidak dapat Dihindari


1) Usia
Usia Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa semakin tua
usia, semakin besar pula risiko terkena stroke. Hal ini berkaitan
dengan adanya proses degenerasi (penuan) yang terjadi secara
alamiah dan pada umumnya pada orang lanjut usia, pembuluh
darahnya lebih kaku oleh sebab adanya plak (atherosklerosis)
(Goldstein, 2006).
2) Jenis Kelamin
Prevalensi terjadinya stroke pada pria lebih tinggi dari pada wanita.
Dimana pada pria memiliki rentang usia tertentu yang memiliki
resiko sroke lebih besar dari pada 17 wanita. Namun ini memiliki
pengecualian pada pasien usia 35—34 tahun dan yang berusia lebih
dari 85 tahun. Pada umumnya, faktor resiko stroke pada wanita usia
muda terjadi karena pengguaan alat kontasepsi oral dan kehamilan.
Sedangkan pada pria faktor terjadinya stroke paling sering karena
penyakit (Goldstein, 2006).
3) Genetik atau Keturunan Riwayat Stroke
Ayah dan ibu terkait dengan peningkatan resiko stroke. Studi-studi
kecil memberikan data kuat yang menyatakan warisan keluarga
dari risiko stroke, tingkat kesesuaian untuk stroke secara nyata
lebih tinggi pada monozigot dibandingkan pada dizygotik kembar,
dengan peningkatan prevalensi stroke hampir 5 kali lipat di antara
monozigot dibandingkan dengan kembar dizigotik. Pengaruh
genetik pada risiko stroke dapat dipertimbangkan pada dasar faktor
risiko individu, genetika dari stroke umum dan jenis stroke
keluarga yang jarang (Goldstein, 2006).
4) Ras/Etnis
Risiko Aterosklerosis Dalam Masyarakat (ARIC), kulit hitam
memiliki insiden stroke 38% lebih tinggi dari pada orang kulit
putih Kemungkinan alasan untuk insiden dan tingkat kematian
yang lebih tinggi dari stroke pada orang 18 kulit hitam termasuk
prevalensi hipertensi yang lebih tinggi, obesitas, dan diabetes
dalam populasi kulit hitam (Goldstein, 2006).

5. Patofisiologi
Infark serbral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di
otak. Luasnya infark bergantung pada faktor-faktor seperti lokasi dan
besarnya pembuluh darah dan adekuatnya sirkulasi kolateral terhadap area
yang disuplai oleh pembuluh darah yang tersumbat. Suplai darah ke otak
dapat berubah (makin lmbat atau cepat) pada gangguan lokal (thrombus,
emboli, perdarahan dan spasme vaskuler) atau oleh karena gangguan
umum (hipoksia karena gangguan paru dan jantung). Atherosklerotik
sering/cenderung sebagai faktor penting terhadap otak, thrombus dapat
berasal dari flak arterosklerotik, atau darah dapat beku pada area yang
stenosis, dimana aliran darah akan lambat atau terjadi turbulensi.
Thrombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa sebagai
emboli dalam aliran darah. Thrombus mengakibatkan; iskemia jaringan
otak yang disuplai oleh pembuluh darah yang bersangkutan dan edema dan
kongesti disekitar area. Area edema ini menyebabkan disfungsi yang lebih
besar daripada area infark itu sendiri. Edema dapat berkurang dalam
beberapa jam atau kadangkadang sesudah beberapa hari. Berkurangnya
edema pasien mulai menunjukan perbaikan. Oleh karena thrombosis
biasanya tidak fatal, jika tidak terjadi perdarahan masif. Oklusi pada
pembuluh darah serebral oleh embolus menyebabkan edema dan nekrosis
diikuti thrombosis. Jika terjadi septik infeksi akan meluas pada dinding
pembuluh darah maka akan terjadi abses atau ensefalitis, atau jika sisa
infeksi berada pada pembuluh darah yang tersumbat menyebabkan dilatasi
aneurisma pembuluh darah. Hal ini akan menyebabkan perdarahan
cerebral, jika aneurisma pecah atau ruptur.
Perdarahan pada otak lebih disebabkan oleh ruptur arteriosklerotik
dan hipertensi pembuluh darah. Perdarahan intraserebral menyebabkan
kematian dibandingkan dari keseluruhan penyakit cerebro vaskuler, karena
perdarahan yang luas terjadi destruksi massa otak, peningkatan tekanan
intracranial menyebabkan herniasi otak. Jika sirkulasi serebral terhambat,
dapat berkembang anoksia cerebral. Perubahan disebabkan oleh anoksia
serebral dapat reversibel untuk jangka waktu 4-6 menit. Perubahan
irreversibel bila anoksia lebih dari 10 menit. Anoksia serebral dapat terjadi
oleh karena gangguan yang bervariasi salah satunya henti jantung
(Muttaqin, 2008).
6. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis stroke menurut Mansjoer (2014) adalah:
a. Defisit Lapang Penglihatan
1) Homonimus hemianopsia (kehilangan setengah lapang
penglihatan). Tidak menyadari orang atau obyek ditempat
kehilangan, penglihatan, mengabaikan salah satu sisi tubuh,
kesulitan menilai jarak.
2) Kesulitan penglihatan perifer. Kesulitan penglihatan pada malam
hari, tidak menyadari obyek atau batas obyek.
3) Diplopia. Penglihatan ganda

b. Defisit Motorik
1) Hemiparese. Kelemahan wajah, lengan dan kaki pada sisi yang
sama. Paralisis wajah (karena lesi pada hemisfer yang berlawanan)
2) Ataksia. Berjalan tidak mantap, tegak, tidak mampu menyatukan
kaki, perlu dasar berdiri yang luas.
3) Disartria. Kesulitan membentuk dalam kata.
4) Disfagia. Kesulitan dalam menelan.

c. Defisit Verbal
1) Afasia Ekspresif. Tidak mampu membentuk kata yang mampu
dipahami, mungkin mampu bicara dalam respon kata tunggal.
2) Afasia Reseptif. Tidak mampu memahami kata yang dibicarakan,
mampu bicara tetapi tidak masuk akal.
3) Afasia Global. Kombinasi baik afasia ekspresif dan afasia reseptif

d. Defisit Kognitif
Kehilangan memori jangka pendek dan panjang, penurunan lapang
perhatian, kurang mampu untuk berkonsentrasi, perubahan penilaian.

e. Defisit Emosional
Penderita akan mengalami kehilangan kontrol diri, labilitas emosional,
penurunan toleransi pada situasi yang menimbulkan stress, depresi,
menarik diri, rasa takut, bermusuhan dan marah, perasaan isolasi.

7. Komplikasi
Komplikasi stroke menurut Setyanegara (2008):
a. Komplikasi Dini (0-48 jam pertama)
1) Edema serebri: defisit neurologis cenderung memberat, mengalami
peningkatan tekanan intrakranial, herniasi, dan kematian.
2) Infark miokard: penyebab kematian mendadak pada stroke stadium
awal.
b. Komplikasi Jangka Pendek (1-14 hari/7-14 hari pertama)
1) Pneumonia: akibat immobilisasi lama.
2) Infark miokard
3) Emboli paru: cenderung terjadi 7-14 hari pasca stroke, seringkali
pada saat penderita mulai mobilisasi.
4) Stroke rekuren: dapat terjadi pada setiap saat.

c. Komplikasi Jangka Panjang


Stroke rekuren, infark miokard, gangguan vaskuler lain: penyakit
vaskuler perifer. Komplikasi yang terjadi pada pasien stroke, yaitu:
1) Hipoksia serebral diminimalkan dengan memberi oksigenasi.
2) Penurunan darah serebral
3) Embolisme serebral

Komplikasi stroke menurut (Tarwoto, 2007) adalah:


a. Hipertensi
b. Kejang
c. Peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK)
d. Kontraktur
e. Tonus Otot Abnormal
f. Malnutrisi
g. Aspirasi

8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita stroke
menurut Tarwoto (2007) adalah sebagai berikut:
a. Head CT Scan
Tanpa kontras dapat membedakan stroke iskemik, perdarahan
intraserebral dan perdarahan subarakhnoid. Pemeriksaan ini sudah
harus dilakukan sebelum terapi spesifik diberikan.

b. Elektro Kardografi (EKG)


Sangat perlu karena insiden penyakit jantung seperti: atrial fibrilasi,
MCI (myocard infark) cukup tinggi pada pasienpasien stroke.
c. Ultrasonografi Dopller
Dopller ekstra maupun intrakranial dapat menentukan adanya stenosis
atau oklusi, keadaan kolateral atau rekanalisasi. Juga dapat dimintakan
pemeriksaan ultrasound khususnya (echocardiac) misalnya:
transthoracic atau transoespagheal jika untuk mencari sumber
thrombus sebagai etiologi stroke.
d. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan darah rutin
a) Darah perifer lengkap dan hitung petelet
b) INR, APTT
c) Serum elektrolit
d) Gula darah
e) CRP dan LED
f) Fungsi hati dan fungsi ginjal
2) Pemeriksaan khusus atau indikasi:
a) Protein C, S, AT III
b) Cardioplin antibodies
c) Hemocystein
d) Vasculitis-screnning (ANA, Lupus AC)
e) CSF

9. Penatalaksanaan Medis
a. Penggunaan Terapi Antiplatelet
Pada pasien dengan stroke non-kardioembolik, ada beberapa bentuk
terapi antiplatelet yakni Aspirin 50—325mg/hari, Clopidogrel
75mg/hari, dan extended-release Dipyridamole 200mg plus Aspirin
25mg, penggunaan untuk lini pertama. Semua pasien yang mengalami
stroke iskemik akut atau TIA harus menerima terapi antitrombotik
jangka panjang untuk pencegahan stroke yang berulang (Fagan and
Hess, 2011).
b. Antikoagulan
Antikoagulan mencegah terjadinya gumpalan darah dan embolisis
thrombus direkomendasikan pada penderita stroke dengan kelainan
jantung yang dapat menimbulkan embolus (Junaidi, 2011).
Antikoagulasi oral dianjurkan untuk atrial fibrilasi dan jantung yang
diduga 22 sumber emboli. Antagonis vitamin K (Warfarin) adalah lini
pertama, tetapi oral lainnya antikoagulan (misalnya, dabigatran) dapat
direkomendasikan untuk beberapa pasien (Fagan and Hess, 2011).
c. Statin
Statin mengurangi risiko stroke sekitar 30% pada pasien dengan arteri
koroner penyakit dan peningkatan lipid plasma. Obat pasien stroke
iskemik, terlepas dari garis kolesterol, dengan terapi statin intensitas
tinggi untuk mencapai pengurangan setidaknya 50% dalam LDL untuk
pencegahan stroke sekunder (Fagan and Hess, 2011).
d. Heparin
Berat molekul rendah atau heparin tidak dapat terfraksi subkutan dosis
rendah (5000 unit tiga kali sehari) direkomendasikan untuk
pencegahan trombosis vena pada pasien rawat inap dengan penurunan
mobilitas karena stroke dan harus digunakan dalam semua tetapi stroke
yang paling kecil (Fagan and Hess, 2011).
e. Antihipertensi
Terapi pencegahan stroke sekunder pada pasien dengan stroke ringan
atau akut yang membutuhkan pengurangan tekanan darah atau
perawatan hipertensi dini untuk menurunkan tekanan darah sebesar
15% mungkin aman. Selain pengunaan terapi pengobatan tersebut,
terdapat beberapa kreasi tatalaksana stroke (Pinzon & Asanti, 2010),
salah satunya STROKE singkatan dari: S = Seimbang Gizi, T =
Turukan berat badan Berlebih, R = Rajin Ukur Tekanan Darah, O =
Olahraga teratur, K = Kurangi Stress, dan E = Enyahkan Asap Rokok.
C. Konsep Dasar ROM
1. Pengertian ROM
Rentang gerak (ROM) adalah pergerakan maksimal dapat dilakukan pada
sendi terdiri dari tiga bidang, yaitu: sagital, frontal, transversal. Bidang
sagital adalah bidang yang melewati tubuh dari depan ke belakang,
membagi tubuh menjadi sisi kanan dan sisi kiri. Bidang frontal melewati
tubuh dari sisi ke sisi dan membagi tubuh ke depan dan kebelakang.
Bidang transversal adalah bidang horizontal yang membagi tubuh ke
bagian atas dan bawah (Potter & Perry, 2009).

2. Klasifikasi ROM
Menurut Suratun dkk (2008), ROM terbagi menjadi 2 yaitu:
a. ROM aktif merupakan latihan ROM dilakukan sendiri oleh pasien
tanpa bantuan perawat dari setiap gerakan yang dilakukan. Indikasi
latihan ROM aktif adalah pasien kooperatif dapat melakukan ROM
sendiri.
Cara melakukan ROM aktif:
1) Menjelaskan apa yang akan dilakukan dan tujan kegiatan tersebut.
2) Anjurkan pasien selama latihan bernafas normal.
3) Lakukan latihan ROM.
b. ROM pasif adalah latihan ROM pasif yang dilakukan pasien dengan
bantuan perawat untuk setiap gerakan. Indikasi latihan ROM pasif
yaitu pasien semi koma dan tidak sadar, pasien tirah baring total, atau
pasien dengan paralisis ekstermitas total.
Cara melakukan ROM pasif:
1) Memberi pengetahuan pasien akan tindakan yang dilakukan, area
yang akan di gerakkan.
2) Jaga privasi pasien.
3) Atur pakaian yang menyebabkan hambatan untuk bergerak.
4) Mengangkat selimut apabila diperlukan.
5) Menganjurkan pasien berbaring dengan posisi yang nyaman.
6) Lakukan latihan ROM
3. Tujuan ROM Pasif
Menurut Johnson (2005), Tujuan range of motion (ROM) pasif sebagai
berikut:
a. Mempertahankan tingkat fungsi yang ada dan mobilitas ekstermitas
yang sakit.
b. Mencegah kontraktur dan pemendekan struktur muskuloskeletal.
c. Mencegah komplikasi vaskular akibat mobilitas.
d. Memudahkan kenyamanan.
e. Mempertahankan atau memelihara kekuatan otot.
f. Memelihara mobilitas persendian.
g. Merangsang sirkulasi darah.
h. Mencegah kelainan bentuk.

4. Prinsip Dasar ROM Pasif


a. Range of Motion harus diulang 8 k ali dan dikerjakan minimal 2 kali
sehari.
b. Range of Motion dilakukan perlahan dan hati-hati agar tidak
melelahkan pasien.
c. Perhatikan umur pasien, diagnosis, tanda vital dan lama tirah baring.
d. Range of Motion sering diprogramkan oleh dokter dan dikerjakan oleh
fisioterapis atau perawat.
e. Bagian-bagian tubuh yang dapat dilakukan Range of Motion adalah
leher, jari, lengan, siku, bahu, tumit, kaki dan pergelangan kaki.
f. Range of Motion dapat dilakukan pada semua persendian atau hanya
bagian-bagian yang dicurigai mengalami proses penyakit.
g. Melakukan Range of Motion harus sesuai dengan waktunya.

5. Kontra Indikasi
a. Latihan ROM tidak boleh diberikan apabila gerakan dapat
mengganggu proses penyembuhan cedera.
b. Gerakan yang terkontrol dengan seksama dalam batas-batas
pergerakan yang bebas nyeri selama fase awal penyembuhan akan
memperlihatkan terhadap penyembuhan dan pemulihan.
c. Terdapatnya tanda-tanda terlalu banyak atau terdapat gerakan yang
salah termasuk meningkatnya rasa nyeri dan peradangan.
d. ROM tidak boleh dilakukan bila respon pasien atau kondisinya
membahayakan.

6. Faktor yang memengaruhi ROM


Faktor-faktor yang memengaruhi ROM adalah sebagai berikut:
a. Pertumbuhan pada anak-anak
b. Sakit
c. Fraktur
d. Trauma
e. Kelemahan
f. Kecacatan
g. Usia dan lain-lain

7. Peran Keluarga dalam penerapan ROM


Stroke dapat menyisihkan kelumpuhan, terutama pada sisi yang
terkena, timbul nyeri, sublukasi pada bahu, pola jalan yang salah dan
masih banyak kondisi yang perlu dievaluasi oleh perawat. Perawat
mengajarkan cara mengoptimalkan anggota tubuh sisi yang terkena stroke
melalui suatu aktivitas yang sederhana dan mudah dipahami pasien dan
keluarga (Smeltzer & Bare dalam Budi dkk (2016)).
Keluarga sangat berperan penting dalam proses pemulihan dan
pengoptimalkan kemampuan motorik pasien pasca stroke. Keluarga
merupakan sistem pendukung utama memberikan pelayanan langsung
pada setiap keadaan (sehat-sakit) anggota keluarga. Oleh karena itu,
pelayanan keperawatan yang berfokuspada keluarga bukan hanya
pemulihan keadaan pasien, tetapi juga bertujuan untuk mengembangkan
dan meningkatkan kemampuan keluarga dalam mengatasi masalah
kesehatan dalam keluarga tersebut.
Menurut Suratun dalam Budi dkk (2016), latihan ROM adalah
latihan yang dilakukan pasien pasca stroke dan keluarga. Oleh karena itu,
sebagai pendidik, perawat perlu membantu kemandiriaan keluarga dalam
membantu rehabilitasi awal pasien stroke berupa latihan ROM pasif
sebagai upaya keluarga untuk meningkatkan kemampuan mengatasi
masalah kesehatan keluarga dan berperan dalam meningkatkan kesehatan
keluarga yang nantinya dapat digunakan oleh keluarga di rumah setelah
pasien pulang dari rumah sakit.

8. Hal yang perlu di perhatikan


Lingkungan dan klien perlu diperhatikan sebelum melakukan mobilisasi.
Latihan yang di lakukan harus sesuai dengan kemampuan klien dan harus
memperhatikan kesungguhan serta tingkat konsentrasi klien dalam
melakukan latihan (Lukman, 2009).

9. Gerakan ROM
Gerakan ROM bisa di lakukan pada leher, ekstermitas atas, dan ektermitas
bawah. Latihan rentang gerak pada leher, meliputi gerakan fleksi, ekstensi,
rotasi lateral, dan fleksi lateral. Menurut Lukman (2009) rentang gerak
(ROM) standar untuk ekstermitas atas dan ekstermitas bawah, adalah
sebagai berikut:
a. Gerakan ROM pasif:
1) Gerakan fleksi dan ekstensi pergelangan tangan
2) Gerakan fleksi dan ekstensi siku
3) Gerakan pronasi dan supinasi lengan bawah
4) Pronasi fleksi bahu
5) Gerak abduksi dan adduksi bahu
6) Rotasi bahu
7) Fleksi dan ekstensi jari-jari
8) Infersi dan efersi kaki
9) Fleksi dan ekstensi pergelangan kaki
10) Fleksi dan ekstensi lutut
11) Rotasi pangkal paha

b. Gerakan ROM Aktif


Adapun gerakan ROM aktif yang dilakukan adalah sebagai berikut
(Nursalam, 2012): fleksi, ekstensi, hiperektensi, rotasi, sirkumsisi,
supinasi, pronasi, abduksi, adduksi, dan oposisi. Latihan aktif anggota
gerak atas dan bawah:
1) Latihan I
a) Angkat tangan yang kontraktur menggunakan tangan yang
sehat ke atas.
b) Letakkan kedua tangan diatas kepala.
c) Kembalikan tangan ke posisi semula.
2) Latihan II
a) Angkat tangan yang kontraktur melewati dada ke arah tangan
yang sehat.
b) Kembalikan keposisi semula.
3) Latihan III
a) Angkat tangan yang lemah menggunakan tangan yang sehat ke
atas.
b) Kembalikan ke posisi semula.
4) Latihan IV
a) Tekuk siku yang kontraktur menggunakan tangan yang sehat.
b) Luruskan siku kemudian angkat ke atas.
c) Letakkan kembali tangan yang kontraktur ditempat tidur.
5) Latihan V
a) Pegang pergelangan tangan yang kontraktur menggunakan
tangan yang sehat angkat ke atas dada.
b) Putar pergelangan tangan ke arah dalam dan ke arah keluar.
6) Latihan VI
a) Tekuk jari-jari yang kontraktur dengan tangan yang sehat
kemudian luruskan.
b) Putar ibu jari yang lemah menggunakan tangan yang sehat.
7) Latihan VII
a) Letakkan kaki yang sehat dibawah yang kontraktur.
b) Turunkan kaki yang sehat sehingga punggung kaki yang sehat
dibawah pergelangan kaki
c) Angkat kedua kaki ke atas dengan bantuan kaki yang sehat,
kemudian turunkan pelan-pelan.
8) Latihan VIII
a) Angkat kaki yang kontraktur menggunakan kaki yang sehat ke
atas sekitar 3cm.
b) Ayunkan kedua kaki sejauh mungkin kearah satu sisi kemudian
ke sisi yang satunya lagi.
c) Kembalikan ke posisi semula dan ulang sekali lagi.
9) Latihan IX
a) Anjurkan pasien untuk menekuk lututnya, bantu pegang pada
lutut yang kontraktur dengan tangan yang lain.
b) Dengan tangan yang lainnya penokong memegang pinggang
pasien.
c) Anjurkan pasien untuk memegang bokongnya.
d) Kembalikan ke posisi semula dan ulangi sekali lagi

D. Konsep Dasar Kekuatan Otot


1. Pengertian Kekuatan Otot
Otot merupakan alat gerak aktif, sebagai hasil kerja sama antara otot dan
tulang. Tulang tidak dapat berfungsi sebagai alat gerak jika tidak
digerakkan oleh otot, hal ini karena otot mempunyai kemampuan
berkontraksi (memendek/kerja berat dan memanjang/kerja ringan) yang
mengakibatkan terjadinya kelelahan otot, proses kelelahan ini terjadi saat
waktu ketahanan otot (jumlah tenaga yang dikembangkan oleh otot)
terlampaui (Waters & Bhattacharya, 2009). Kekuatan otot merupakan
kemampuan otot untuk menghasilkan tegangan dan tenaga selama usaha
maksimal baik secara dinamis statis atau kemampuan maksimal otot untuk
berkontraksi (Trisnowiyanto, 2012).

2. Faktor-faktor yang memengaruhi Kekuatan Otot


Faktor fisiologis yang memengaruhi kekuatan otot yaitu (Irfan, 2010):
a. Usia
Usia memiliki hubungan korelasi negatif sehingga semakin tua usia
baik pria maupun wanita, kekuatan otot akan semakin menurun.
b. Jenis Kelamin
Perbedaan kekuatan otot pada pria dan wanita (rata-rata kekuatan otot
wanita 2/3 dari pria) disebabkan karena ada perbedaan otot dalam
tubuh.
c. Suhu Otot
Kontraksi otot akan lebih kuat dan lebih cepat bila suhu otot sedikit
lebih tinggi darpada suhu normal.
d. Makanan
Seperti pada pola makan sehat, aturlah asupan makanan dengan
konsumsi bahan-bahan makanan yang memiliki kandungan protein
tinggi. Bukan berarti rendah karbohidrat harus menahan lapar, karena
selain membantu memperlancar metabolisme tubuh, makanan yang
mengandung protein tinggi dan rendah karbohidrat juga bisa memberi
rasa kenyang yang cukup lama sehingga dapat memengaruhi kekuatan
otot.
e. Tingkat Aktivitas Sehari-hari
Tingkat aktivitas yang dilakukan dapat mempengaruhi kekuatan otot.
Seseorang yang memiliki aktivitas tinggi cenderung memiliki kekuatan
otot yang lebih besar dibandingkan dengan seseorang yang
aktivitasnya rendah.

3. Mekanisme Umum Kontraksi Kekuatan Otot


Menurut Guyton dan Hall (2007) bila sebuah otot berkontaksi,
timbul suatu kerja dan energi yang diperlukan. Sejumlah besar adenosine
trifosfat (ATP) dipecah membentuk adenosine difosfat (ADP) selama
proses kontraksi. Semakin besar jumlah kerja yang dilakukan oleh otot,
semakin besar jumlah ATP yang dipecahkan, yang disebut efek fenn.
Sumber energi sebenarnya yang digunakan untuk kontraksi otot adalah
ATP yang merupakan suatu rantai penghubung yang esensial antara fungsi
penggunaan energi dan fungsi penghasil energi di tubuh.
Proses gerak diawali dengan adanya rangsangan proses gerak ini,
dapat terjadi apabila potensial aksi mencapai nilai ambang, tahapantahapan
timbul dan berakhirnya kontraksi otot yaitu:
a. Suatu potensial aksi berjalan disepanjang saraf motorik sampai ke
ujungnya pada serabut otot.
b. Disetiap ujung, saraf menyekresi substansi neurotransmitter, yaitu
asetilkolin dalam jumlah yang sedikit.
c. Asetilkolin bekerja pada membran serabut otot untuk membuka
banyak kanal bergerbang astilkolin melalui molekul-molekul protein
yang terapung pada membran.
d. Terbukanya kanal bergerbang asetilkolin, memungkinkan sejumlah
besar ion natrium berdifusi ke bagian dalam membrane serabut otot.
Peristiwa ini akan menimbulkan suatu potensial aksi membran.
e. Potensial aksi akan berjalan disepanjang membrane serabut otot
dengan cara yang sama seperti potensial aksi berjalan disepanjang
membran serabut saraf.
f. Potensial aksi akan menimbulkan depolarisasi membran otot, dan
banyak aliran listrik potensial aksi menyebabkan reticulum
sarkoplasma melepaskan sejumlah besar ion kalsium, yang telah
tersimpan didalam retikulum.
g. Ion-ion kalsium menimbulkan kekuatan menarik antara filament aktin
dan miosin, yang menyebabkan kedua filament tersebut bergeser satu
sama lain, dan menghasilkan proses kontraksi.
h. Setelah kurang dari satu detik, ion kalsium dipompa kembali ke dalam
retikulum sarkoplasma oleh pompa membrane Ca++, dan ion-ion ini
tetap di simpan dalam retikulum sampai potensial aksi otot yang baru
datang lagi, pengeluaran ion kalsium dari miofibril akan menyebabkan
kontraksi otot terhenti.

4. Pengukuran Kekuatan Otot


Perubahan struktur otot sangat bervariasi. Penurunan jumlah dan
serabut otot, atrofi, pada beberapa serabut otot dan hipertropi pada
beberapa serabut otot yang lain, peningkatan jaringan lemak dan jaringan
penghubung dan lain-lain mengakibatkan efek negatif. Efek tersebut
adalah penurunan kekuatan, penurun fleksibilitas, perlambatan waktu
reaksi dan penurunan kemampuan fungsional (Pudjiastuti & Utomo,
2008).Penilaian Kekuatan Otot mempunyai skala ukur yang umumnya
dipakai untuk memeriksa penderita yang mengalami kelumpuhan selain
mendiagnosa status kelumpuhan juga dipakai untuk melihat apakah ada
kemajuan yang diperoleh selama menjalani perawatan atau sebaliknya
apakah terjadi perburukan pada penderita. Penilaian kekuatan otot
(Nursalam, 2011):
a. Nilai 0: paralisis, tidak ada kontrasi otot sama sekali,
b. Nilai 1: tidak ada gerakan ekstremitas sama sekali, terlihat/teraba
getaran kontraksi otot
c. Nilai 2: Dapat menggerakkan ekstremitas, tidak kuat menahan berat,
tidak dapat melawan tekanan pemeriksa
d. Nilai 3: Dapat menggerakkan ekstremitas, dapat menahan berat, tidak
dapat melawan tekanan
e. Nilai 4: Dapat menggerakkan sendi untuk menahan berat, dapat
melawan tahanan ringan dari pemeriksa
f. Nilai 5: kekuatan otot normal.
5. Penilaian Kekuatan otot sebelum dan sesudah dilakukan ROM aktif
Penilaian kekuatan otot sebelum dan sesudah dilakukan ROM aktif
meliputi (Nursalam, 2011):
a. 0 = Tidak normal
b. 1 = Buruk
c. 2 = Sedikit buruk
d. 3 = Sedang
e. 4 = Baik
f. 5 = Normal
E. Konsep Asuhan Keperawatan Keluarga
1. Pengkajian
a. Data Umum:
1) Komposisi keluarga
Komposisi keluarga berkenaan dengan siapa anggota keluarga
yang diidentifikasi sebagai bagian dari keluarga mereka.
Identifikasi tidak hanya meliputi penghuni rumah, tetapi keluarga
besar lainnya atau anggota keluarga fiktif yang merupakan bagian
dari “suatu keluarga”, tetapi tidak hidup dalam satu rumah tangga.
Dengan memperoleh data tentang komposisi keluarga lebih
memungkinkan anggota keluarga mengetahui minat terhadap
keluarga secara keseluruhan dari pada hanya memperoleh data
klien individu
2) Genogram
Genogram keluarga adalah suatu diagram yang menggambarkan
konstelasi atau pohon keluarga. Genogram ini merupakan suatu
alat pengkajian informatif yang digunakan untuk mengetahui
keluarga dan riwayat keluarga serta sumbernya.
3) Tipe keluarga
Tipe keluarga didasari oleh anggota keuarga yang berada dalam
satu atap. Tipe keluarga dapat dilihat dari komponen dan genogram
dalam keluarga.
4) Latar belakang budaya
Pengkajian kebudayaan klien (individu dan keluarga) merupakan
hal penting dari pengkajian dalam pemberian asuhan yang sesuai
dengan kebudayaan. Pengkajian kebudayaan memerlukan
penerimaan terhadap realitas ganda, suatu pemahaman tentang
perbedaan dan keterbukaan, kepekaan, dan sikap ingin tahu. Latar
belakang budaya dapat dikaitkan dengan anggota keluarga dengan
stroke misalnya dengan pola makan Sumatera Barat/ orang minang
suka makan-makanan yang bersantan.
5) Area pengkajian etnik dan agama
Bagi kebanyakan keluarga, pengkajian kebudayaan dan etnik
secara lengkap merupakan hal yang tidak mungkin dilakukan,
namun pengkajian latar belakang etnik keluarga dan tingkat yang
mereka identifikasi dengan kebudayaan lain atau kebudayaan
tradisional mereka yang dominan, merupakan informasi dasar yang
diperlukan dalam tiap pengkajian keluarga. Masalah yang
komplek, latar belakang etnik atau pasangan dapat berbeda, dan
jika berbeda maka, penting untuk mengkaji bagaimana perbedaan
ini diatasi dan bagaimana perbedaan tersebut memengaruhi
kehidupan keluarga. Informasi tentang keyakinan agama keluarga
dan praktiknya sangat berhubungan erat dengan etnisitas sehingga
harus juga dimasukkan sebagai dari pengkajian. Keyakinan
beragama sering memengaruhi konsepsi keluarga tentang sehat-
sakit dan bagaimana anggota keluarga yang sakit ditangani.
6) Bahasa
Bahasa yang digunakan secara ekslusif atau sering di rumah,
kemampuan anggota keluarga berbahasa, dan bahasa apa yang
digunakan di luar rumah.
7) Status sosial ekonomi
Status ekonomi keluarga adalah suatu komponen kelas social yang
menunjukkan tingkat dan sumber penghasilan keluarga.
Penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga
secara umum diperoleh dari anggota keluarga yang bekerja atau
dari sumber penghasilan sendiri seperti uang pensiun dan
tunjangan, sebagian penghasilan lain yang diperoleh dari dinas
sosial atau asuransi bagi orang yang tidak bekerja umumnya kecil,
tidak stabil atau hampir tidak maupun.
8) Aktifitas rekreasi atau waktu luang keluarga
Menjelaskan kemampuan dan kegiatan keluarga untuk melakukan
rekreasi secara bersama baik di luar dan dalam rumah, juga tentang
kuantitas yang dilakukan. Teori yang menyatakan aktivitas rekreasi
seseorang dapat dapat mempengaruhi setres yang dirasakan, karena
dalam diri seseorang perlu merelaksasikan pikiran agar dapat
mengurangi beban stres dengan cara berekreasi.

b. Riwayat dan Tahap Perkembangan Keluarga


1) Tahap perkembangan keluarga saat ini:
Tahap perkembangan keluarga ditentukan dengan anak tertua dari
keluarga ini.
2) Tahap perkembangan keluarga yang belum terpenuhi:
Tugas perkembangan keluarga saat ini yang belum dilaksanakan
secara optimal oleh keluarga.
3) Riwayat keluarga inti:
Riwayat keluarga inti pada tahap ini yang dikaji adalah hubungan
keluarga inti, dan apa apa latar belakang terbentuknya sebuah
keluarga.
4) Riwayat kesehatan keluarga sebelumnya
Dijelaskan mengenai riwayat kesehatan pada keluarga dari anggota
dari pihak suami dan istri. Pada anggota keluarga stroke dapat
diturunkan. Dijelaskan mengenai riwayat kesehatan pada keluarga
dari pihak suami dan istri.
5) Riwayat keluarga stroke dapat diturunkan dari anggota keluarga
sebelumnya atau dari orang tua.

c. Data Lingkungan
1) Karakteristik rumah:
Bagian ini berfokus pada karakteristik tertentu dari lingkungan
rumah keluarga, yang dapat memengaruhi kesehatan keluarga.
Bagian pertama menggambarkan aspek perumahan keluarga dalam
hal struktur, keamanan, dan bahaya kesehatan lain. Bagian kedua
menjelaskan tentang sumber di rumah yang berhubungan dengan
kesehatan anggota keluarga. Bagian ketiga berfokus pada
lingkungan yang meningkatkan jumlah keluarga dan faktor
lingkungan yang memengaruhi kesehatan anggota keluarga.
2) Karakteristik tetangga dan komunitas:
Keluarga sehat adalah keluarga yang aktif dan mencari cara dengan
inisiatif sendiri untuk berhubungan dengan berbagai kelompok
komunitas. Keluarga yang berfungsi dengan cara yang sehat
memersepsikan diri mereka sendiri sebagai bagian dari komunitas
yang lebih besar. Bagian dari koping yang berhasil adalah
kemampuan mereka untuk memastikan kepatuhan dari lingkungan
atau mempertahankan keluarga yang ramah lingkungan, berarti
bahwa di dalam komunitas keluarga mampu mencari, menerima
dan/atau menerima sumber yang sesuai untuk memenuhi
kebutuhan makanan, pelayanan, dan informasi.
3) Mobilitas geografis keluarga:
Lingkungan dan komunitas yang lebih luas yang ditepati keluarga,
memiliki pengaruh nyata terhadap kesehatan keluarga.
4) Perkumpulan keluaraga dan interaksi dengan masyarakat:
Pada tahap ini yang dikaji adalah tentang interaksi dengan
teteangga disekitar rumah.

5) Sistem pendukung keluarga:


Sistem pendukung keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang
sehat, fasilitas-fasilitas yang dimiliki keluarga untuk menunjang
kesehatan.Fasilitas yang mencakup fasilitas fisik, fasilitas psikologi
atau dukungan dari anggota keluarga dan fasilitas social atau
dukungan dari masyarakat setempat.
Pada anggota stroke perlu adanya dukungan dari anggota keluarga
karena penyakit stroke bersifat menahun.

d. Struktur Keluarga
1) Pola Komunikasi Keluarga:
Pola komunkasi keluarga merupakan karakteristik, pola interaksi
sirkular yang bersinambung yang menghasilkan arti transaksi
antara anggota keluarga. Pola komunikasi melalui interaksi yang
dapat memenuhi kebutuhan afektif keluarga. Kemampuan anggota
keluarga untuk mengenal dan merespon pesan non verbal
merupakan aspek penting pada keluarga yang sehat. Pola
komunikai keluarga pola-pola komunikasi keluarga menjelaskan
komunikasi antar anggota keluarga.
2) Struktur Peran Keluarga:
Sebuah peran didefenisikan sebagai kumpulan dari perilaku yang
secara relatif homogen dibatasi secara normatif dan diharapakan
dari seorang yang menempati posisi sosial yang diberikan. Peran
berdasarkan pada pengharapan atau penetapan peran yang
membatasi apa saja yang harus dilakukan oleh individu di dalam
situasi tertentu agar memenuhi pengharapan diri atau orang lain
terhadap mereka. Adanya anggota keluarga stroke memerlukan
peran informal keluarga dalam merawat anggota keluarga
sekaligus sebagai system dukungan bagi anggota keluarga.

3) Nilai dan Norma Keluarga:


Nilai keluarga didefenisikan sebagai suatu sistem ide, perilaku, dan
keyakinan tentang nilai suatu hal atau konsep yang secara sadar
maupun tidak sadar mengikat anggota keluarga dalam kebudayaan
sehari-hari atau kebudayaan umum.
Norma keluarga adalah pola perilaku yang dianggap benar oleh
masyarakat, sebagai sesuatu yang berdasarkan pada sistem nilai
keluarga. Norma menentukan perilaku peran bagi setiap posisi di
dalam keluarga dan masyarakat serta menetapkan bagaimana
mempertahankan atau menjaga hubungan timbal balik, dan
bagaimana perilaku peran dapat berubah dengan perubahan usia.
4) Struktur kekuatan keluarga:
Dukungan pada anggota keluarga stroke diperlukan bagi anggota
keluarga seperti mengigatkan atau menghindari factor resiko, dan
mengigatkan untuk melakukan kontrol.

e. Fungsi Keluarga
1) Fungsi Afektif:
Fungsi afektif merupakan dasar utama baik untuk pembentukan
maupun keberlanjutan unit keluarga itu sendiri, sehingga fungsi
afektif merupakan salah satu fungsi keluarga yang paling penting.
Memelihara saling asuh antara suami dan isteri, perkembangan
hubungan yang akrab, keseimbangan saling menghormati, pertalian
dan identifikasi, perhatian/dukungan suami dan keluarga terdekat.
2) Fungsi Sosialisasi:
Fungsi sosialisasi adalah fungsi yang dibutuhkan untuk
kelangsungan hidup masyarakat. Fungsi sosialisasi merujuk pada
banyaknya pengalaman belajar yang diberikan dalam keluarga
yang ditujukan untuk mendidik anak-anak tentang cara
menjalankan fungsi dan memikul peran orang dewasa.

3) Fungsi Perawatan Kesehatan:


Fungsi fisik keluarga dipenuhi oleh orang tua yang menyediakan
makanan, pakaian, tempat tinggal, perawtan kesehatan, dan
perlindungan terhadap bahaya. Pelayanan dan praktik kesehatan
adalah fungsi keluarga yang paling relevan bagi keluarga. Pada
anggota keluarga dengan stroke dapat ditemukan pola makan yang
tidak sehat, adanya merokok pada anggota keluarga, tidak
melakuakn aktivitas fisik. Ditemukan juga kelemahan anggota
gerak di sebelah kiri pada anggota keluaga dan agak sulit
melakukan aktivitas. Lima tugas kesehatan keluarga:
a) Mengenal masalah kesehatan.
Kesehatan merupakan bagian dari kebutuhan keluarga yang di
abaikan, karena kesehatan berperan penting dalam keluarga.
b) Memutuskan tindakan yang tepat bagi keluarga.
Peran ini merupakan upaya keluarga untuk mencari
pertolongan yang tepat sesuai dengan keadaan keluarga.
Adapun klarifikasinya adalah:
(1) Apakah masalah dirasakan oleh keluarga?
(2) Apakah anggota keluarga merasa menyerah terhadap
masalah yang dihadapi salah satu anggota keluarga?
(3) Apakah anggota keluarga takut akibat dari terapi yang
dilakukan terhadap salah satu anggota keluarganya?
(4) Apakah anggota keluarga percaya pada petugas
kesehatan?
(5) Apakah keluraga mempunyai kemampuan untuk
menjangkau fasilitas kesehatan?
c) Memberikan perawatan pada keluarga yang sakit.
Pemberian secara fisik merupakan beban paling berat yang
dirasakan keluarga, menyatakan bahwa keluarga memiliki
keterbatasan dalam mengatasi masalah keperawatan keluarga,
untuk mengetahui yang dapat dikaji yaitu:
(1) Apakah keluarga aktif dalam ikut merawat pasien?
(2) Bagaimana keluarga mencari pertolongan dan mengerti
tentang perawatan yang diperlukan pasien?
(3) Bagaimana sikap keluarga terhadap pasien?
d) Memodifikasi lingkungan keluarga untuk menjamin kesehatan
keluarga:
(1) Pengetahuan keluarga tentang sumber yang dimiliki
disekitar lingkungan rumah.
(2) Pengetahuan tentang pentingnya sanitasi lingkungan dan
manfaatnya.
(3) Kebersamaan dalam meningkatkan dan memelihara
lingkungan rumah yang menunjang kesehatan.
e) Menggunakan pelayanan kesehatan.
Mengetahui kemampuan keluarga dalam memanfaatkan sarana
kesehatan yang perlu dikaji tentang:
(1) Pengetahuan keluarga tentang fasilitas kesehatan yang
dapat dijangkau keluarga.
(2) Keuntungan dari adanya fasilitas kesehatan.
(3) Kepercayaan keluarga terhadap pelayana kesehatan yang
ada.
(4) Apakah fasilitas kesehatan dapat terjangkau oleh keluarga.
4) Fungsi Reproduksi
Salah satu fungsi dasar keluarga adalah untuk menjamin
kontinuitas antar generasi keluarga dan masyarakat yaitu
menyediakan anggota baru untuk masyarakat.
5) Fungsi Ekonomi
Fungsi ekonomi melibatkan penyediaan keluarga akan sumber
daya yang cukup finansial, ruang, dan materi serta alokasi yang
sesuai melalui proses pengambilan keputusan. Suatu pengkajian
sumber ekonomi untuk mengalokasikan sumber yang sesuai guna
memenuhi kebutuhan keluarga seperti sandang, papan, pangan, dan
perawatan kesehatan yang adekuat.
f. Stress Dan Koping Keluarga
1) Stresor jangka pendek dan jangka panjang
a) Jangka pendek (<6 bulan)
Stresor jangka pendek yaitu stressor yang dialami keluarga
yang memerlukan penyelesaian dalam waktu kurang lebih 6
bulan. Pada anggota keluarga dengan stroke dapat ditemui
adanya stress dan juga penakit ini sendiri dapat menimbulkan
stress pada anggota keluarga
b) Jangka panjang (>6 bulan)
Stressor jangka panjang yaitu stressor yang dialami keluarga
yang memerlukan penyelesaian dalam waktu lebih dari 6 bulan.
Pada anggota keluarga dengan stroke dapat ditemui adanya
yang perlu stress dan juga penyakit ini sendiri dapat
menimbulkan stress pada anggota keluarga.
2) Kemampuan keluarga berespon terhadap situasi dan stressor
Hal yang perlu dikaji adalah sejauh mana keluarga berespon
terhadap situasi/stressor. Pada anggota keluarga stroke dapat
ditemui kemampuan negative terhadap atau respon terhadap stress.
3) Strategi koping yang digunakan
Strategi koping apayang dugunakan keluarga bila menghadapi
permasalahan
4) Strategi adaptasi disfungsional
Dijelaskan mengenai strategi adaptasi disfungsional yang
digunakan bila menghadapi permasalahan. Pada anggota keluarga
stroke dapat ditemui kemampuan negative terhadap atau respon
teradap stress.

g. Pemeriksaan Fisik
Pemerikasaan fisik dilakukan pada semua anggota keluarga. Metode
yang digunakan pada pemeriksaan fisik tidak berbeda dengan
pemeriksaan fisik klinik. Pada anggota keluarga dengan stroke dapat
ditemui paralisis/paresis motorik: hemiplegia/hemiperesis, kelemahan
otot wajah, tangan, gangguan sensorik: kehilangan sensasi pada wajah,
lengan, dan ektermitas bawah, disphagia: kesulitan mengunyah,
menelan, paralisis lidah, dan laring, gangguan visual: pandangan
ganda, lapang padang menyempit, kesulitan berkomunikasi: kesulitan
menulis, kesulitan membaca, disatria, kelemahan, otot wajah, lidah,
langitlangit atas, pharing, dan bibir, kemampuan emosi: perasaan,
ekspresi wajah, penerimaan terhadap kondisi dirinya, memori:
pengenalan terhadap lingkungan, orang, tempat, waktu, tingkat
kesadaran, fungsi bladder dan fungsi bowel. Menurut Potter and Perry,
2010, pengkajian keperawatan pada klien meliputi aspek mobilisasi
dan imobilisasi. Perawat biasanya mengkaji dan mengajukan
pertanyaan tentang mobilisasi dan imobilisasi. Pengkajian mobilisasi
klien berfokus pada ROM, gaya berjalan, latihan dan toleransi
aktivitas, serta kesejajaran tubuh. Saat merasa ragu akan kemampuan
klien, lakukan pengkajian mobilisasi dengan klien berada pada tingkat
mobilisasi yang paling tinggi sesuai dengan toleransi klien. Dimulai
saat klien berbaring kemudian mengkaji posisi duduk ditempat tidur,
berpindah ke kursi, dan yang terakhir saat berjalan, hal ini membantu
keselamatan klien. Pada klien dengan gangguan mobilitas fisik dalam
kategori fisiologis dengan subkategori aktivitas dan istirahat, perawat
harus mengkaji data mayor dan minor yang tercantum dalam buku
Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (2017). Gejala dan tanda
mayor secara subjektif yakni mengeluh sulit menggerakkan
ekstremitas, sedangkan secara objektif adalah kekuatan otot menurun
dan rentang gerak menurun. Gejala dan tanda minor secara subjektif
yakni nyeri saat bergerak, enggan melakukan pergerakan, merasa
cemas saat bergerak, sedangkan secara objektif adalah sendi kaku,
gerakan tidak terkoordinasi, gerakan terbatas, dan fisik lemah.

h. Harapan Keluarga Terhadap Perawat


Pada akhir pengkajian, perawat menanyakan harapan keluarga
terhadap petugas kesehatan yang ada.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Tipologi Diagnosis Keperawatan Keluarga
Diagnosis keperawatan keluarga yang muncul dapat bersifat actual,
resiko dan sejahtera dengan penjabaran sebagai berikut:
1) Aktual (terjadi defisit/gangguan kesehatan)
Menjelaskan masalah nyata saat ini sesuai data yang ditemukan
yaitu dengan ciri dari pengkajian tanda dan gejala dari gangguan
kesehatan, seperti: Hambatan Mobilitas Fisik berhubungan dengan
ketidak mampuan keluarga merawat salah satu anggota keluarga
yang stroke.
2) Resiko (Ancaman Kesehatan)
Sudah ada data yang menunjang tetapi belum terjadi gangguan,
misalnya lingkungan rumah kurang bersih, stimulasi tumbuh
kembang yang tidak adekuat, seperti: resiko cidera berhubungan
dengan ketidakmampuan keluarga memodifikasi lingkungan
rumah.
3) Wellness (Keadaan Sejahtera)
Suatu keadaan dimana keluarga dalam keadaan sejahtera sehingga
kesehatan keluarga dapat ditingkatkan. Khusus untuk diagnose
keperawatan potensial (sejahtera) boleh tidak menggunakan
etiologi (ADP, 2013). Seperti: kesiapan kesejahteraan spiritual
yang lebih baik.

b. Perumusan Masalah Diagnosa keperawatan


Perumusan diagnosa keperawatan dapat diarahkan kepada sasaran
individu atau keluarga. Komponen diagnosis keperawatan meliputi
masalah (problem), penyebab (etiologi), dan tanda (sign). Perumusan
diagnosis keperawatan keluarga menggunakan aturan yang telah
disepakati, terdiri dari:
1) Masalah (problem, P) adalah suatu pernyataan tidak terpenuhinya
kebutuhan dasar manusia yang dialami oleh keluarga atau anggota
(individu) keluarga.
2) Penyebab (etiologi, E) adalah suatu pernyataan yang dapat
menyebabkan masalah yang mengacu pada lima tugas keluarga,
yaitu: ketidak mampuan keluarga mengenal masalah kesehatan.
Ketidakmampuan keluarga mengambil keputusan,
ketidakmampuan keluarga merawat anggota keluarga,
ketidakmampuan keluarga memanfaatkan fasilitas kesehatan yang
ada.
3) Tanda (sign, S) adalah data subjektif dan objektif yang diperoleh
perawat dari keluarga secara langsung atau tidak yang mendukung
masalah penyebab, (Suprajitno, 2004).

c. Penilaian (Skoring) Diagnosa Keperawatan


Skoring dilakukan bila perawat merumuskan diagnosis keperawatan
lebih dari satu. Proses skoringnya dilakukan untuk setiap diagnosis
keperawatan.
1) Tentukan skornya sesuai dengan kreteria yang dibuat perawat.
2) Selanjutnya skor dibagi dengan skor tertinggi dan dikalikan dengan
bobot.
3) Jumlah skor untuk semua kriteria (skor maksimum sama dengan
jumlah bobot, yaitu 5) (Suprajitno, 2004).
Skor yang diperoleh
Skor Tertinggi X Bobot

d. Penentuan Prioritas Masalah Keperawatan Keluarga


No Kriteria Komponen Skor Bobot
1 Sifat Masalah Aktual 3
Resiko 2 1
Potensial 1
2 Kemungkinan Mudah 2
masalah dapat Sebagian 1 2
diubah Tidak dapat 0
3 Potensi masalah Tinggi 3
untuk dicegah Cukup 2 1
Rendah 1
4 Menonjolnya Masalah berat, segera ditangani 2 1
masalah Ada masalah, tidak perlu segera 1
ditangani
Tidak dirasakan ada masalah 0
e. Penyusunan prioritas diagnosa keperawatan
Prioritas didasarkan pada diagnosis keperawatan yang mempunyai skor
tertinggi dan disusun berurutan sampai yang mempunyai skor
terendah. Namun, perawat perlu mempertimbangkan juga persepsi
keluarga terhadap masalah keperawatan mana yang perlu ditangani
dengan segera.

f. Diagnosa Prioritas
Menurut SDKI, diagnosis gangguan mobilitas fisik adalah
keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih ektermitas secara
mandiri. Penyebabnya yaitu a) kerusakan integritas struktur tulang; b)
perubahan metabolisme; c) ketidakbugaran fisik; d) penurunan kendali
otot; e) penurunan massa otot; f) penurunan kekuatan otot; g)
keterlambatan perkembangan; h) kekakuan sendi, kontraktur; i)
malnutrisi; j) gangguan muskuluskletal; k) gangguan neuromuskular; l)
indeks masa tubuh diatas persen 75 sesuai usia; m) efek agen
farmakologis; n) program pembatasan gerak; o) nyeri; p) kurang
terpapar informasi tentang aktivitas fisik; q) kecemasan; r) gangguan
kognitif; s) keenggan an melakukan pergerakan; t) gangguan sensori
persepsi.
Gejala dan tanda mayor:
Subyektif: Mengeluhkan sulit menggerakkan ektermitas.
Obyektif: Kekuatan otot menurun, rentang ROM menurun.
Gejala dan tanda minor:
Subyektif: Nyeri saat bergerak, enggan melakukan pergerakan, dan
merasa cemas saat bergerak.
Obyektif: Sendi kaku, gerakan tidak terkoordinasi, gerakan terbatas,
fisik lemah.
Kondisi klinis terkait: stroke, cedera medule spinalis, trauma, fraktur,
osteoarthritis, osteomalasis, keganasan.
Menurut NANDA (2015), diagnosa keperawatan hambatan
mobilitas fisik yaitu keterbatasan pada pergerakan fisik tubuh atau satu
atau lebih ekstermitas secara mandiri dan terarah. Batasan karakteristik
yaitu penurunan waktu reaksi, kesulitan membolak-balik posisi,
melakukan aktivitas lain sebagai pengganti pergerakan, dispnea setelah
beraktivitas, gerakan bergetar, keterbatasan kemampuan melakukan
motorik kasar dan halus, keterbatasan melakukan pergerakan sendi,
tremor akibat pergerakan, pergerakan lambat, pergerakan tidak
terkoordinasi. Faktor yang berhubungan yaitu pelo, sulit berbicara,
defisit penglihatan, perubahan konsep diri, perubahan sistem saraf
pusat, harga diri rendah kronik, penurunan sirkulasi ke otak, usia
perkembangan, gangguan emosi, kendala lingkungan, kurang
informasi, hambatan fisik, stress, gangguan sensori perseptual, gaya
hidup monoton.
Menurut Doenges, (2010) diagnosa keperawatan kerusakan
mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri dan ketidaknyaman,
gangguan muskuloskeletal, terapi bedah atau pembatasan.
Jadi dapat disimpulkan diagnosa keperawatan gangguan
mobilitas fisik memiliki batasan karakteristik kesulitan membolak-
balikan posisi, keterbatasan kemampuan melakukan motorik kasar dan
halus, keterbatasan pergerakan sendi. Adapun faktor penyebabnya
yaitu penurunan kekuatan otot, kekakuan sendi, gangguan
muskuluskeletal, gangguan neuromuskular, nyeri, hambatan fisik,
penurunan sirkulasi ke otak, terapi bedah.
3. Intervensi Keperawatan

Rencana keperawatan adalah merupakan suatu proses penyusunan berbagai


intervensi keperawatan yang dibutuhkan untuk mencegah, menurunkan, atau
mengurangi masalah-masalah klien. Perencanaan ini merupakan langkah ketiga
dalam membuat suatu proses keperawatan.
A. Hambatan Mobilitas Fisik
No Data Diagnos NOC NIC
. a
1. Do : • Ibu.A DOMAIN Keluarga mampu Keluarga
mengatakan IV mengenal Level 1 mampu
lemah pada Aktifitas/ Domain IV : mengenal
anggota gerak istirahat pengetahuan tentang Level 1
sebelah kiri KELAS 2 kesehatan dan peilaku Domain 3 :
terutama kaki Aktifitas / Hasil yang Perilaku
An.W belumbisa olah raga menggambarkan sikap, memberikan
digerakkan Diagnosis pemahaman, dan dukungan
dengan baik • Hambata tindakan dengan fungsi
Ibu.A n menghormati psikososial
mengatakan jika mobilitas kesehatan dan dan
DOMAINIV fisik penyakitnya memfasilitasi
Aktifitas/ (00085) Level 2 Kelas S : perubahan
istirahat KELAS 2 pengetahuan tentang gaya hidup.
Aktifitas / olah kesehatan Hasil yang Level 2 Kelas
raga Diagnosis menggambarkan S : pendidikan
Hambatan pemahaman individu kesehatan
mobilitas fisik dalam mengaplikasikan Intervensi
(00085) Keluarga informasi untuk untuk
mampu meningkatkan, memfasilitasi
mengenal Level mempertahankan dan keluarga
1 Domain IV : memelihara kesehatan untuk belajar
pengetahuan Level 3 Hasil : (1803) intervensi
tentang pengetahuan : proses (5515)
kesehatan dan penyakit Peningkatan
peilaku Hasil Keluarga mampu kesadaran
yang mengambil keputusan kesehatan
menggambarkan Domain IV : (5602)
sikap, pengetahuan tentang Pengajaran
pemahaman, kesehatan dan perilaku proses
dan tindakan Kelas Q : perilaku penyakit
dengan kesehatan Hasil
menghormati menggambarkan Keluarga
kesehatan dan tindakan individu mampu
penyakitnya dalam meningkatkan mengambil
Keluarga mampu atau memperbaiki keputusan
mengenal Level kesehatan Hasil : Kelas P :
1 Domain 3 : (1606) partisipasi terapi kognitif
Perilaku dalam keputusan Intervensi
memberikan perawatan kesehatan yang
dukungan fungsi Kelas R : kepercayaan dilakukan
psikososial dan tentang kesehatan untuk
memfasilitasi Hasil yang memperkuat
perubahan gaya menggambarkan ide atau
hidup. Level 2 dan persepsi individu meningkatka
Kelas S : yang mempengaruhi n fungsi
pendidikan perilaku kesehatan kognitif yang
kesehatan Hasil : (1700) diharapkan
Intervensi untuk kepercayaan mengenal atau
memfasilitasi kesehatan. Keluarga merubah
beraktifitas mampu merawat tugas kognitif
selalu dibantu anggota keluarga yang tidak
menggunakan Domain 1 : Fungsi diharapkan
tongkat • Ibu.A kesehatan Kelas : C : Intervensi :
mengatakan Mobiitas Fisik (5540)
sering sakit peningkatan
pinggang jika Keluarga mampu kesiapan
terlalu banyak memodifikasi pembelajaran
aktifitas sakinya lingkungan Level 1 Kelas R :
kadang-kadang Domain IV : bantuan
muncul Do : • pengetahuan tentang koping
Ibu.A tampak kesehatan dan perilaku Intervensi
lemah pada Kelas T : kontrol risiko untuk
anggota gerak dan keamanan Hasil membantu
sebelah kiri. • yang menggambarkan orang lain
Ibu.A tampak status keamanan untuk
selalu Level 2 individu dan membangun
Kelas S : tindakan untuk kekuatan diri,
pengetahuan menghindari, untuk
tentang membatasi, beradaptasi
kesehatan Hasil mengontrol ancaman pada
yang kesehatan yang telah perubahan
menggambarkan teridentifikasi Hasil : fungsi atau
pemahaman (1904) kontrol risiko : menrima
individu dalam penggunaan obat tingkatan
mengaplikasikan Keluarga mampu fungsi yang
informasi untuk memanfaatkan fasilitas lebih tinggi
meningkatkan, kesehatan Level 1 Intervensi :
mempertahanka Domain VII : kesehatan (5250)
n dan komunitas Hasil yang dukungan
memelihara menggambarkan pengambilan
kesehatan Level kesehatan,kesejahteraa keputusan
3 Hasil : (1803) n, dan fungsi dari Keluarga
pengetahuan : komunitas atau mampu
proses penyakit populasi Level 2 Kelas merawat
keluarga untuk CC : Perlindungan anggota
belajar kesehatan komunitas keluarga
intervensi (5515) Hasil yang DOMAIN 1
Peningkatan menggambarkan FISIOLOGIS
kesadaran struktur dan program DASAR Kelas
kesehatan komunitas untuk A :
(5602) menghilangkan atau manajemen
Pengajaran menurunkan risiko aktifitas dan
proses penyakit kesehatan dan latihan
meggunakan peningkatan resistensi intervensi
tongkat jika terhadap ancaman untuk
berdiri / kesehatan mengatur /
berjalan. • Ibu.A Level 3 Hasil : (2807) membantu
tampak sering keefektifan skrining aktifitas fisik
banyak duduk kesehatan komunitas. konservasi
 Kekuatan
otot dan
5 3 pengeluaran
5 3
energi
Intervensi :
(0201)
peningakatan
latihan :
latihan
kekuatan
Keluarga
mampu
memodifikasi
lingkungan
Level 1
Domain IV :
keagamaan
Perawatan
yang
mendukung
perlindungan
terhadap
ancaman
Kelas V :
manajemen
risiko
Intervensi
yang
dilakukan
untuk
menurunkan
risiko dan
memantau
risiko yang
secara terus-
menerus
sepanjang
waktu
Intervensi :
(6486)
manajemen
lingkungan
keselamatan.
Keluarga
mampu
memanfaatka
n fasilitas
kesehatan
Level 1
Domain VII :
komunitas
Perawatan
yang
mendukung
kesehatan
komunitas
Level 2 Kelas
D :
manajemen
risiko
komunitas
Intervensi
yang
membantu
mendeteksi
atau
mencegah
risiko
kesehatan
pada seluruh
komunitas
Intervensi :
(6520)
skrining
kesehatan

4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan keluarga adalah salah satu proses
aktualisasirencana intervensi yang memanfaatkan berbagai sumber
didalam keluarga dan memandirikan keluarga dalam bidang kesehatan.
Keluarga didirikan untuk dapat menilai potensi yang dimiliki mereka dan
mengembangkannnya melalui implementasi yang bersifat memampukan
keluarga untuk (Suhari & Sulistiyono, 2016:
a. Mengenal masalah kesehatannya.
b. Mengambil keputusan berkaitan dengan persoalan kesehatan yang
dihadapi.
c. Merawat dan membina anggota keluarga sesuai dengan kondisi
kesehatannya.
d. Memodifikasi lingkungan yang sehat bagi setiap anggota keluarga.
e. Memanfaatkan sarana pelayanan kesehatan terdekat.

5. Evaluasi Keperawatan
Evalusi disusun dengan menggunakan SOAP secara oprasional
tahapan evalusi dapat dilakukan secara formatif dan sumatif. Evaluasi
formatif dilakukan selama proses asuhan keperawatan, sedangkan evaluasi
sumatif adalah evaluasi akhir.
Perawat asuhan keperawatan keluarga perlu memahami proses standart
praktik yang ditetapkan berdasarkan evident base practice yaitu
menetapkan masalah, merumuskan tujuan, menetapkan kreteria dan
standart evaluasi (Suhari & Sulistiyono, 2016). Kreteria hasil:
a. Bertambahnya kekuatan otot.
b. Klien menunjukkan tindakan untuk meninngkatkan mobilitas
c. Klien dan keluarga dapat mengenal masalah kesehatan anggota
keluarga.
d. Klien dan keluarga dapat mengambil tindakan kesehatan yang tepat.
e. Klien dan keluarga dapat memberikan perawatan pada anggota
keluarga.
f. Klien dan keluarga dapat menciptakan lingkungan rumah yang
nyaman bagi anggota keluarga.
g. Klien dan keluarga dapat memanfaatan fasilitas kesehatan yang ada
untuk mengatasi masalah kesehatan yang ada.
Ananda, Irma Putri. (2017). Pengaruh Range Of Motion (ROM) Terhadap
Kekuatan Otot Pada Lansia Bedrest Di PSTW Budhi Mulia 3 Margaguna
Jakarta Selatan. Dikutip dari repository.uinjkt.ac.id pada tanggal 22
Januari 2018.
Budi, Hendri dan Agonwardi. (2016). Pengaruh Pendidikan Kesehatan Latihan
Range Of Motion (ROM) Terhadap Keterampilan Keluarga Melakukan
ROM Pasien Stroke. Dikutip dari ejournal.kopertis10.or.id pada tanggal
22 Januari 2018.
Diba, Farah, Diah Nur Fitriani, onny Tampubolo. (2010). Fundamental
Keperawatan Edisi 3. Jakarta: Salemba Medika.
Endarwati, Titik, dkk. (2016). Buku Panduan Praktik Klinik Keperawatan Dasar.
Poltekkes Jogja Press: Yogyakarta.
Geissler, C Alice, Marilynn E Doenges, dan Mary Frances Moorhouse. (2010).
Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.
Hasanah, Nurul. (2015). Laporan Pendahuluan Hambatan Mobilitas Fisik.
Diakses dari htpp://www. Laporan-pendahuluan-hambatan- mobilitasfisikpdf.com
pada tanggal 18 januari 2018.
Irdawati. (2012). Pengaruh Latihan Gerak Terhadap Keseimbangan Pasien Stroke
Non-Hemoragik. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 7 (2), 129-136.
Kusuma, Hardhi dan Amin Huda Nurarif. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA NIC NOC Jilid 1,2,3.
Yogyakarta: MediAction.
Marina, Yuniarti. (2013). Laporan Asuhan Keperawatan pada Pasien Ny. S
dengan Stroke Non Hemoragik di Unit Stroke RSUP DR Sardjito Jurusan
Keperawatan Poltekkes Kemenkes Yogyakarta.
Marlina. (2011). Pengaruh ROM Terhadap Peningkatan Otot Pada Pasien Stroke
Iskemik Di RSUDZA Banda Aceh. Idea Nursing Journal, Vol III No 1.
.2008. Mobilisasi dan Imobilisasi Ilmu Keperawatan. Dikutip dari
nursingscience-2008.jpg pada tanggal 28 Januari 2018.
Palandeng, Henry, Claudia Agutina Sikawin, Mulyadi. (2013). Pengaruh Latihan
Range Of Motion Terhadap Kekuatan Otot Pada Pasien Stroke Di Irina F
Neurologi BLU RSUP PROF. DR. R. D. KANDOUMANADO.
ejournalKeperawatan (e-Kp), Vol 1, No1.
Potter and Perry. (2010). Fundamental Of NurshingBuku 3 Edisi. Salemba
Medika: Jakarta.
72
Purwanto, Edi. 2012. Implementasi dan Evaluasi Keperawatan. Dikutip dari s1-
keperawatan.umm.ac.id pada 22 Januari 2018.
Samiadi, Lika Aprilia. (2017). Kelumpuhan Hemiplegia dan Hemiparesis Akibat
Stroke. Diakses dari https://hellosehat.com/pusat-kesehatan/stroke2/kelumpuhan-
hemiplegia-dan-hemiparesis-akibat-stroke/amp/ pada
tanggal 28 Januari 2018.
Sari Arum, Wulan Retno. (2014). Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8. Jakarta:
PT Salemba Emban Patria.
Sari Kumala, Nengsi Olga. (2012). Studi Kasus Asuhan Keperawatan Pemenuhan
Kebutuhan Mobilisasi Pada Tn. J Dengan Stroke Diruang Anggrek 2
RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Dikutip dari 01-gdl-nengsiolga-236-1-
nengsio-5.pdf pada tanggal 18 Januari 2018.
So’emah, Eko Nur. (2014). Pengaruh Latihan ROM (Range Of Motion) Pasif
Terhadap Peningkatan Kemampuan Motorik Pada Pasien CVA Infark Di
Ruang Pajajaran RSUD Prof Dr. Soekandar Moosari Mojokerto. Dikutip
dari ejournal.stikes–ppni.ac.id pada tanggal 27 Januari 2017.
Suryati Eros Siti, Tarwoto, Wartonah. (2014). Keperawatan Medikal Bedah
Gangguan Sistem Persyarafan. Yogyakarta Rapha Publishing:
Yogyakarta.
Sudaryanto. 2011. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pemahaman. Dikutip dari
ejournal.kesehatanlingkungan pada tanggal 22 Juli 2018.
Swanson, Elizabeth, Sue Moorhead, Marion Johnson, dan Meridean L Maas.
(2016). Nursing Outcomes Classification (NOC). Jakarta: Elsevier.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Edisi 1. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Indonesia.
Ulliya, Sarah.2010.Pengaruh Latihan Range of Motion (ROM. Dikutip dari
https://ejournal.undip.ac.id pada tanggal 22 Juli 2018.
Wagner, Cheryl M, Gloria M Bulechek, Howard K Butcher, dan Joanne M
Dochterman.(2016). Nursing Interventions Classification (NIC). Jakarta:
Elservair.
Walgito. 2008. Tinjauan Pustaka Motivasi. Dikutip dari digilib.unimus.ac.id pada
tanggal 17 Juli 2018.

Ke 2

Arikunto, Suharsini. (2010). Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.


Baticaca, Fransisca. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika
Corwin, J. Elizabet. 2008. Buku Saku Patofisiologi. Edisi 3. Jakata: Buku
Kedokteran EGC.
Guyton, Arthur C. (2007). Buku ajar fisiologi kedokteran. Jakarta : EGC.
Hidayat, A Aziz Alimul. (2010). Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah.
Jakarta: Salemba Medika.
Irfan, Muhammad. (2010). Fisioterapi bagi insan stroke non hemoragik.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Junaidi, Iskandar. (2006). Stroke A-Z Pengenalan, Pencegahan, Pengobatan,
Rehabilitasi Stroke. Jakarta: PT.Buana Ilmu Populer.
KEMENKES RI, (2014). Surabaya.
Lumantobing. (2008). Stroke, Bencana Peredaran Darah di Otak. Jakarta: FKUI.
Lukman, Ningsih. (2009). Asuhan Keperawtan padaKlien dengan Gangguan
Sistem Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika.
Muttaqin, Arif. (2011). Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Muttaqin, Arif (2013). Metode Pengkajian Keseatan Paradigma Kuntitatif. Health
Books Pulishing. Jakarta: Helath Books.
Muttaqin, Arif. (2014). Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Ningsih, L. N. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba medika.
Notoatmodjo, S. 2010. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Nursalam. 2011. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.
Nursalam. 2013. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.
73
Perry & Potter. (2009). Fundamental Of Nursing. Jakarta: Salemba medika.
Perry & Potter. (2010). Fundamental Of Nursing. Buku ke-3. Edisi 7. Jakarta:
Salemba medika.
Pudiastuti, R. D. 2011. Penyakit Pemicu Stroke. Yogyakarta: Nuha Medika.
Perry & Potter. 2012. Fundamental Of Nursing. Jakarta: Salemba medika.
Purwanti, O.S & Maliya A. (2008). Rehabilitasi Pasien Stroke Non Hemoragik.
Berita Ilmu Keperawatan (Online). Jakarta. Diakses pada tanggal 08 Juli 2018
http://eprints.ums.ac.id/1027/2008v1-08.pdf.
Smeltzer, Suzanne C & Bare, Brenda G. (2011). Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah. Edisi 8. Jakarta: EGC
Suratun, H. M. (2008). Klien Gangguan muskuloskeletal: seri asuhan
keperawatan. Jakarta : EGC.
Suratun, dkk. (2013). Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletan. Jakarta: EGC.
Susan (1996). Physiologi for nursing practice. Edisi 2. London: Philadelphia
Toronto Sydneya
Sugiyono. (2013). Metode penelitian kuantitatif kualitatif R & D. Bandung:
Alfabeta.

Aras, Djohan., Ahmad, Hasnia., Andy, Ahmad. 2016. The New Concept of

Physical Therapist Test and Measurement. Makassar: Physio Care

Publishing

Ardanti, R.F. 2016. Hubungan Persepsi Dukungan Keluarga Terhadap

Kepatuhan Minum Obat Pada Pasien Diabetes Melitus Di Puskesmas 1

Gamping. Skripsi. FKIK UMY.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI. 2018. Laporan

Nasional RISKESDAS 2018.Kemenkes RI.

Fagan, S.C., dan Hess, D.C., 2008, Stroke dalam Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee,
G.C., Matzke, G., Wells, B.C., & Posey, L.M., 2008, Pharmacotherapy :
A Pathophysiologic Approach, seventh Edition, Appleton and Lange
New York.
Farida Ida & Ade Listiana. 2019. Jurnal Penelitian Gambaran Kecemasan dan

Depresi Tentang Dukungan Keluarga Klien Stroke di Poliklinik Saraf


Rumah Sakit PMI Kota Bogor Tahun 2019. Bandung: Prodi

Keperawatan Poltekkes Kemenkes Bandung

Hamjah et al, 2019. Jurnal Kecemasan Kematian pada Pasien Pasca Stroke.

Bandung: Jurusan Keperawatan ‘Aisyiyah

Hawari, D. 2013. Manajemen Stress, Cemas, Depresi. Jakarta: Badan Penerbit

FKUI.

Ifdil & Dona. 2016. Jurnal Penelitian Konsep Kecemasan (Anxiety) pada Lanjut

Usia (Lansia). Jakarta: Konselor Vol. 5 No. 2.

Lee GKY, Wang HHX, Liu KQL, Cheung Y, Morisky DE, Wong MCS.
Determinants of medication adherence to antihypertensive medications
among a Chinese population using morisky medication adherence scale.
PLoS ONE. 2013;8(4):e62775. doi: 10.1371/journal. pone.0062775
Morisky E Donald, Larry S Webber, Marie Krousel-Wood.2010 ‘New Medication

adherence scale versus pharmacy fill rates in hypertensive seniors’ 15

(1), pp. 59-66. New Orleans, La. Departements of Epidemiology and

Family and Community Medicine, Tulane University Health Sciences

Center

Muttaqin. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskuloskletal.

Jakarta:EGC

Nevid J. S, et al. 2003. Psikologi Abnormal. Jakarta:Erlangga

Notoatmodjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta

Nurfauziyah. 2019. Jurnal Gambaran Tingkat Kecemasan pada Pasien Stroke di

Poliklinik Saraf RS PMI Kota Bogor. Bandung: Poltekkes Kemenkes

Bandung Jurusan Keperawatan Bogor


Nursalam. 2017. Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba

Medika

Pinzon R,. 2010. Awas Stroke, Pengertian, Gejala Tindakan, Perawatan dan

Pencegahan. Yogyakarta: Ardana Media

Prasetyaningrum, et al. 2012. Jurnal Terapi Kognitif Perilaku untuk Mereduksi

Tingkat Kecemasan pada Pasien Pasca Stroke. Malang: Jurnal

Intervensi Psikologi Vol 14 No 1 UMM

Pratiwi. 2017. Reliability Indonesian Version of the Hospital Anxiety and

Depression Scale (HADS) of Stroke Patient in Sanglah General Hospital

Denpasar. Denpasar

Ramadhon Rizki, dkk. 2020. Jurnal Penelitian Kepatuhan terhadap Pengobatan

Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 di Puskesmas Jakarta Timur. Jakarta:

Jurnal Farmasi Galenika 2020:6 (1) 94—103.

Rano K Sinury, dkk. 2018. Jurnal Penelitian Tingkat Kepatuhan

Pengobatan Pasien Hipertensi di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama

di Kota Bandung. Bandung: Jurnal Farmasi Klinik Indonesia.

Ridwan, M. 2017. Jantung. Yogjakarta: Romawi Press.

Riskesdas. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI

Smeltzer. 2011. Keperawatan Medikal-Bedah: Brunner& Sudarth edisi 12. EGC:

Penerbit Buku Kedokteran

Sugiono. 2019 .Metode Penelitian Pendidikan (Kuantitatif, Kualitatif, Kombinasi,

R&D dan Penelitian Pendidikan).Bandung:Alfabeta.


Susilawati Fepi & Nurhayati. 2018. Jurnal Penelitian Faktor Resiko Kejadian

Stroke di Rumah Sakit Tanjung Karang. Tanjung Karang: Jurna

Keperawatan Volume XIV No I.

Stuart W. G,. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: ECG

Tirtasari Silviana & Nasrin K. 2019. Jurnal Penelitian Prevalensi dan Karakteristik

Hipertensi pada Usia Dewasa Muda di Indonesia. Jakarta:

Tarumanagara Medical Journey Volume I No 2 395—402

A. 1. a. 1) a) (1)

A. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis merumuskan

rumusan masalah sebagai berikut: “Bagaimana Asuhan keperawatan pada

pasien dengan gangguan sistem persarafan stroke iskemik di Ruang V RSUD

dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya”

B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Penulis mampu melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien dengan

gangguan sistem persarafan stroke iskemik secara langsung dan

komprehensif meliputi aspek biopsikososial dengan pendekatan proses

keperawatan yang terdiri dari : pengkajian, menegakkan diagnosa

keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.


2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penulisan laporan kasus ini adalah agar penulis dapat :

a. Melakukan pengkajian keperawatan pada pasien dengan stroke

iskemik

b. Merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan stroke

iskemik

c. Menyusun rencana tindakan sesuai dengan diagnosa keperawatan

pada pasien stroke iskemik

d. Melakukan implementasi tindakan keperawatan sesuai dengan

perencanaan pada pasien dengan stroke iskemik

e. Melakukan evaluasi dan hasil akhir dari asuhan keperawatan pada

pasien dengan stroke iskemik.

C. Manfaat Karya Tulis Ilmiah

1. Penulis

Dapat memperoleh pengetahuan dan pengalaman dalam melakukan

asuhan keperawatan pada pasien dengan stroke iskemik, dan untuk

mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh selama pendidikan.

2. Institusi

Dapat menjadi suatu bahan bacaan ilmiah, kerangka perbandingan untuk

mengembangkan ilmu keperawatan, juga menjadi sumber informasi bagi

penelitian lebih lanjut.

3. Rumah Sakit
Sebagai bahan masukan bagi perawat-perawat yang bekerja di rumah

sakit untuk mengambil langkah-langkah kebijakan dalam rangka upaya

peningkatan mutu pelayanan keperawatan khususnya asuhan keperawatan

pasien dengan stroke.

A. Rumusan Masalah

Berdasarkan data-data yang telah dijelaskan dalam latar belakang maka

penulis merumuskan masalah : “ Bagaimana asuhan keperawatan kepada

klien dengan gangguan sistem persarafan : Stroke Non hemoragik di Ruang

V RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya ? “

B. Tujuan

1. Tujuan umum

Mendeskripsikan penerapan asuhan keperawatan secara langsung

dan komprehensif pada pasien dengan gangguan sistem persarafan

akibat stroke non hemoragik dengan menggunakan pendekatan proses

keperawatan melalui tahapan pengkajian, diagnosa, intervensi,

implementasi, evaluasi dan dokumentasi.

2. Tujuan Khusus

Setelah melakukan asuhan keperawatan penulis dapat :

a. Mendeskripsikan hasil pengkajian pada pasien dengan gangguan

sistem persarafan akibat stroke non hemoragik.


b. Mendeskripsikan hasil analisa data pada pasien dengan

gangguan sistem persarafan akibat stroke non hemoragik.

c. Mendeskripsikan diagnosa keperawatan pada pasien dengan

gangguan sistem persarafan akibat stroke non hemoragik.

d. Mendeskripsikan intervensi keperawatan pada pasien dengan

gangguan sistem persarafan akibat stroke non hemoragik.

e. Mendeskripsikan implementasi keperawatan pada pasien dengan

gangguan sistem persarafan akibat stroke non hemoragik.

f. Mendeskripsikan evaluasi dari implementasi keperawatan pada

pasien dengan gangguan sistem persarafan akibat stroke non

hemoragik.

g. Mendokumentasikan proses asuhan keperawatan yang dilakukan

pada pasien dengan gangguan sistem persarafan akibat stroke

non hemoragik..

C. Manfaat

1. Bagi Pasien

Untuk meningkatkan derajat kesehatan yang optimal dengan

terpenuhinya kebutuhan dasar manusia melalui penatalaksanaan

asuhan keperawatan khususnya pada pasien gangguan sistem

persarafan : stroke non hemoragik.

2. Bagi Tenaga Pelayanan Kesehatan

Sebagai evaluasi dalam upaya peningkatan mutu pelayanan

dalam memberikan asuhan keperawatan secara komprehensif


terutama pada pasien gangguan sistem persarafan akibat stroke non

hemoragik.

3. Bagi Institusi Pendidikan

Sebagai bahan referensi pelaksanaan asuhan keperawatan pada

pasien dengan gangguan sistem persarafan : stroke non hemoragik,

sehingga hasilnya diharapkan dapat digunakan pembaca untuk

mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya di

bidang keperawatan.

4. Bagi Penulis

Dapat memperoleh pengetahuan dan pengalaman dalam

melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan

sistem persarafan : stroke non hemoragik serta mengaplikasikan

ilmu yang telah diperoleh selama pendidikan.

Anda mungkin juga menyukai