Anda di halaman 1dari 13

Ventilator-associated pneumonia in critically ill patients with

COVID-19

Abstrak
Latar Belakang: Pandemi COVID-19 yang disebabkan oleh virus corona SARS-CoV-2
memiliki insidensi yang tinggi pada pasien dengan sindrom pernafasan akut berat
(SARS). Banyak dari pasien ini memerlukan unit perawatan intensif (ICU) untuk
ventilasi invasif dan terdapat risiko yang signifikan untuk terjadi ventilator‐associated
pneumonia (VAP) sekunder.

Tujuan: Untuk mempelajari kejadian VAP dan komposisi bakteri mikrobioma paru
pada pasien COVID-19 dan non-COVID-19 yang terventilasi.

Metode: Dalam penelitian observasional retrospektif ini, kami membandingkan


kejadian VAP dan infeksi sekunder menggunakan kombinasi kultur mikroba dan
susunan multi-patogen TaqMan. Selain itu, kami menentukan komposisi mikrobioma
paru menggunakan analisis 16S RNA dalam subset sampel. Penelitian ini melibatkan
81 pasien COVID-19 dan 144 pasien non-COVID-19 yang menerima ventilasi invasif di
satu rumah sakit pendidikan antara 15 Maret 2020 sampai 30 Agustus 2020.

Hasil: VAP pada Pasien COVID-19 secara signifikan lebih banyak terjadi dibandingkan
dengan pasien tanpa COVID (Cox proporsional hazard rasio 2,01 95% CI 1,14-3,54, p
= 0,0015) dengan insiden 28/1000 hari ventilator dibandingkan 13/1000 untuk pasien
tanpa COVID (p = 0,009). Meskipun distribusi organisme yang menyebabkan VAP
serupa antara kedua kelompok, dan mikrobioma paru yang mirip, kami
mengidentifikasi 3 kasus aspergillosis invasif di antara pasien dengan COVID-19 tetapi
tidak ada pada kohort non-COVID-19. Aktivasi herpesvirade juga secara numerik lebih
sering terjadi di antara pasien dengan COVID-19.

Kesimpulan: COVID-19 dikaitkan dengan peningkatan risiko VAP dimana tidak


sepenuhnya dapat dijelaskan oleh durasi ventilasi yang panjang. Disbiosis paru yang
disebabkan oleh COVID-19, dan organisme penyebab pneumonia sekunder yang
diamati mirip dengan yang terdapat pada pasien kritis yang menggunakan ventilasi
karena alasan lain.

Kata kunci: COVID-19, SARS-CoV-2, Infeksi nosokomial, Diagnostik molekuler,


Ventilator-associated pneumonia, Perawatan kritis

Latar belakang

Pandemi COVID-19 dikaitkan dengan tingginya jumlah pasien yang menderita


sindroma pernapasan akut (SARS). Pasien tersebut dapat menghabiskan periode
waktu yang signifikan di unit perawatan intensif (ICU), 80% dari pasien yang dirawat di
ICU membutuhkan ventilasi mekanis invasif [1, 2]. Pasien yang sakit kritis berada pada
risiko tinggi pneumonia nosokomial, terutama bila menggunakan ventilasi [3]. Alasan
untuk kejadian ini karena terdapat kerusakan pertahanan alami oleh perangkat invasif
[4], sedasi dan gangguan batuk dan pembersihan mukosiliar, dan efek imunoparetik
dari penyakit kritis [5, 6]. Laporan awal menunjukkan bahwa pasien sakit kritis yang
terinfeksi SARS-CoV-2 memiliki prevalensi pneumonia nosokomial yang tinggi,
terutama ventilator-associated pneumonia (VAP) [7]. Laporan yang terbaru, termasuk
survei besar dari satu rumah sakit [8] dan sintesis literatur [9] menunjukkan bahwa
tingkat infeksi sekunder rendah, meskipun tidak ada penelitian yang berfokus secara
khusus pada perawatan kritis. Ada ketidakpastian yang cukup besar seputar kejadian
infeksi nosokomial pada COVID-19 yang berat, dimana memerlukan analisis lebih
lanjut tentang frekuensi, waktu, dan organisme penyebab dari efek samping yang
penting ini [10].

Laporan infeksi yang didapat di ICU pada pasien dengan COVID-19 terbatas dan
sering tidak ada laporan rinci tentang organisme penyebab [7], atau berfokus pada
kejadian satu infeksi tertentu seperti aspergillosis invasif [11]. Kami tidak menyadari
tentang laporan infeksi yang terdapat di ICU yang membandingkan pasien dengan
COVID-19 dan mereka yang tidak ditangani secara bersamaan dalam pengaturan
yang sama, dimana hal ini merupakan kunci untuk interpretasi frekuensi, waktu, dan
organisme penyebab yang mengarah ke infeksi tersebut.
Ventilator-associated pneumonia (VAP), infeksi yang paling sering ditemukan di ICU
[3], dapat menjadi tantangan untuk didiagnosis karena berbagai penyakit tidak menular
dapat meniru gambaran klinis infiltrat radiografi, peradangan sistemik dan gangguan
oksigenasi menjadi ciri VAP. [12]. Untuk membatasi overdiagnosis dan memfasilitasi
terapi antimikroba yang tepat di VAP, pedoman menganjurkan menggunakan
pendekatan berbasis kultur [13, 14]. Namun, tes molekuler untuk mendeteksi beberapa
patogen (virus dan bakteri) menjadi lebih mudah diakses dan selanjutnya dapat
mengurangi terapi antimikroba yang tidak perlu [15] sambil meningkatkan deteksi
organisme yang sulit dikultur.

Selama gelombang pertama COVID-19 di rumah sakit kami, tercatat peningkatan


nyata dalam penggunaan VAP. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, kami bertujuan
untuk mengidentifikasi dan membandingkan distribusi VAP pada pasien COVID-19
dengan gejala kritis dibandingkan dengan pasien terinfeksi non-SARS-CoV-2 yang
dirawat di unit yang sama. Kami melakukan kultur mikrobiologi konvensional pada
semua sampel saluran pernapasan bagian bawah. Bronchoalveolar lavage (BAL) juga
dianalisis menggunakan kartu array TaqMan multi-patogen (TAC) yang telah kami
kembangkan dan laporkan sebelumnya [16]. Dalam sub-set BAL, kami menilai
komposisi mikrobioma paru-paru bakteri dalam Bronchoalveolar lavage (BAL) dengan
sekuen 16S.

Material dan Metode

Pengaturan dan desain studi


Penelitian ini dilakukan di ICU liver/umum dewasa di Rumah Sakit Addenbrooke,
Cambridge, Inggris, dan juga melibatkan pasien COVID-19 yang dirawat di
neurotrauma dan ICU khusus COVID-19 di rumah sakit tersebut. Pasien ditinjau
setidaknya dua kali sehari oleh dokter konsultan perawatan intensif dengan
pemantauan VAP yang diperintahkan oleh dokter ini, dan dibahas pada pertemuan tim
perawatan multi-disiplin perawatan intensif mikrobiologi / antimikroba harian. Kami
memiliki ventilator yang diaudit secara teratur, terdiri dari tabung endotrakeal hisap
sub-glotis, mewajibkan kebersihan mulut dua kali sehari dengan pasta gigi fluoride,
pegangan sedasi setiap hari dan peninggian kepala tempat tidur. Rasio satu banding
satu perawat dengan pasien dipertahankan selama gelombang pertama COVID-19,
meskipun kadang-kadang perawat dengan pelatihan perawatan kritis terbatas karena
melampaui kapasitas ICU normal. Sesi penggunaan peralatan pelindung pribadi (gaun
kedap cairan, masker FFP3, sarung tangan dan topi) dengan celemek dan
penggantian sarung tangan kedua antara pasien dipertahankan dari 15 Maret hingga
31 Juli. Pasien yang diventilasi setidaknya selama 48 jam, dari 15 Maret (tanggal
masuk COVID-19 pertama kami) hingga 30 Agustus ditinjau secara retrospektif untuk
keberadaan VAP. VAP didefinisikan menggunakan modifikasi definisi European Centre
for Disease Control [17] untuk definisi kultur BAL kuantitatif (disebut PN1) atau
kuantitatif endotrakeal aspirasi (ETA) atau kultur sputum (disebut PN2) dari pneumonia
(lihat Gambar 1). Modifikasinya menggunakan polymerase chain reaction (PCR) positif
oleh TAC untuk cairan BAL (rincian di bawah) dan menggunakan ambang batas ≥ 105
Unit Pembentuk Koloni (CFU)/ml untuk aspirasi endotrakeal sesuai dengan standar
Inggris [18]. Organisme patogenisitas paru-paru yang rendah (Enterococcus spp.,
Candida albicans, Streptococci non-pneumokokus dan Staphylococci koagulase
negatif) dilaporkan tetapi tidak dianggap sebagai komponen VAP [19]. Herpesviridae
(Herpes simplex, cytomegalovirus dan virus Epstein-Barr) dilaporkan tetapi dianggap
sebagai reaktivasi dan tidak dianggap sebagai komponen VAP [20].

Kami juga mencari bukti aspergillosis paru invasif (IPA), karena sekarang terdapat
beberapa laporan kasus dimana terjadi perkembangan IPA pada pasien dengan
COVID-19 [11] dan laporan terbaru tentang frekuensinya pada VAP non-COVID [21].
IPA didefinisikan menggunakan kriteria yang ditetapkan dalam laporan yang
menjelaskan aspergillosis paru terkait influenza [22] dimodifikasi untuk memasukkan
diagnosis dengan PCR. Kriterianya adalah bukti klinis infeksi paru, bukti radiologis
infeksi paru dan deteksi aspergillus oleh BAL galactomannan, PCR positif atau kultur
positif.

Diagnostik

Sampel untuk mikrobiologi rutin diproses berdasarkan Standar Inggris untuk Investigasi
Mikrobiologi [18]. Setiap pertumbuhan signifikan dengan CFU ≥104/mL (pada BAL)
atau ≥105/mL ETA diidentifikasi dengan spektrometri massa MALDI-ToF. Laboratorium
kami juga secara rutin menjalankan susunan TaqMan multipatogen pada sampel
bronchoalveolar lavage [16], rinciannya dicatat di bawah ini.
Array multi-patogen TaqMan
Kartu TaqMan Array yang dirancang khusus (TAC; Thermo Fisher Scientific) yang
menargetkan 52 patogen pernapasan terbanyak yang berbeda, digunakan untuk
menguji infeksi sekunder seperti yang dijelaskan sebelumnya [16]. Deteksi kurva
amplifikasi eksponensial yang jelas dengan nilai Cycles to Threshold (CT) ≤ 32 untuk
setiap target gen tunggal dilaporkan sebagai hasil positif untuk patogen yang relevan.
Kami sebelumnya telah menunjukkan bahwa nilai CT ≤ 32 berhubungan dengan
pertumbuhan 104/CFU/ml, oleh karena itu ambang batas ini digunakan untuk
menentukan VAP [16]. Rincian prosedur ekstraksi asam nukleat untuk TAC, SARS-
CoV-2 qPCR dan 16S DNA nanopore sequencing terdapat dalam metode tambahan.

Analisis statistik
Analisis utama adalah waktu untuk pengembangan VAP pertama, disensor untuk
ekstubasi atau kematian, dengan perbandingan dengan model hazard proporsional
Cox univariat. Analisis sekunder VAP sebagai kepadatan kejadian (kasus per 1000 hari
ventilator) dibandingkan dengan uji eksak Mid-P.

Faktor risiko untuk VAP dibandingkan menggunakan model hazard proporsional Cox,
dengan variabel ditolak jika nilai p mereka> 0,05 pada analisis univariabel, variabel
yang signifikan secara statistik memasuki model akhir. Analisis dilakukan dengan
menggunakan SPSS (v25 IBM, Armonk, NY).

Hasil

Secara keseluruhan, kami menangani 94 pasien dengan COVID-19, 81 di antaranya


diberi ventilasi selama lebih dari 48 jam. Dari periode 15 Maret hingga 30 Agustus kami
juga menangani 144 pasien tanpa COVID-19 di unit liver/umum yang membutuhkan
ventilasi selama lebih dari 48 jam. Gambaran demografi dan klinis dari kedua
kelompok ini ditunjukkan pada Tabel 1 dan rincian diagnosis masuk non-COVID dalam
berkas tambahan 1: Tabel S1. Data audit paket ventilator menunjukkan kepatuhan
yang tinggi (kepatuhan terhadap paket lengkap berkisar antara 85 hingga 100%,
dengan 99-100% untuk periode April–Mei saat sebagian besar pasien COVID-19
dirawat).
Pasien dengan COVID-19 secara signifikan lebih memungkinkan diteliti untuk VAP
(Tabel 1), dan memiliki insiden yang lebih tinggi dari pasien COVID-19 yang
dikonfirmasi secara mikrobiologis (39 (48%) dibandingkan dengan 19 (13%) pasien
tanpa COVID -19). Rincian lebih lanjut dari perbandingan investigasi untuk VAP
ditunjukkan pada berkas tambahan 1: Tabel S2 dan S3. Pasien yang diperiksa untuk
VAP menunjukkan penurunan oksigenasi yang signifikan dibandingkan dengan
sebelum diagnosis (Berkas tambahan 1: Gambar S1).

Analisis kelangsungan hidup (Gambar 2) menunjukkan bahwa peningkatan risiko


pengembangan VAP pada pasien dengan COVID-19 bukan hanya fungsi dari durasi
ventilasi yang lebih lama. Bahaya VAP awal serupa pada kedua kelompok pasien,
namun jumlah VAP berikutnya yang lebih banyak pada COVID-19 menyebabkan
peningkatan durasi rata-rata ventilasi sebelum VAP berkembang terlihat pada berkas
tambahan 1: Tabel S2. Pengaruh status COVID pada kelangsungan hidup VAP tetap
signifikan ketika disesuaikan dengan usia dan status immunocompromised (nilai p
yang disesuaikan 0,045 oleh model hazard proporsional Cox, berkas tambahan 1:
Tabel S5). Analisis sensitivitas pasien dengan ventilasi mekanik > 72 jam dan ventilasi
mekanik > 144 jam menghasilkan kurva kelangsungan hidup dan rasio hazard yang
serupa (berkas tambahan 1: Gambar S2A dan B). Temuan serupa terlihat ketika
membandingkan kepadatan insiden kasar, pasien dengan COVID-19 mengembangkan
VAP pada tingkat 28/1000 hari ventilator, sementara mereka yang tidak memiliki
COVID-19 mengalami VAP pada tingkat 13/1000 hari ventilator (p=0,009 oleh uji eksak
mid-P). Sensor kepadatan insiden untuk ventilasi durasi pasca-VAP, yang dibuat oleh
VAP sendiri memperpanjang ventilasi, menunjukkan pola yang sama (40/1000 hari
ventilator untuk COVID-19, 19/1000 hari ventilator untuk non-COVID p=0,004 dengan
uji eksak mid-P). Rincian lebih lanjut tentang waktu VAP tersedia di bagian tambahan
(berkas tambahan 1: Tabel S2). Penggunaan antibiotik saat masuk (Tabel 1) dan pada
periode menjelang penelitian untuk dugaan VAP (berkas tambahan 1: Tabel S3 dan
S4) serupa dalam frekuensi dan spektrum agen yang digunakan.

Organisme yang diidentifikasi pada kultur aspirasi endotrakeal dan kultur dan
pengujian molekuler cairan bronchoalveolar lavage ditunjukkan pada Tabel 2.
Kesesuaian antara kultur dan pengujian molekuler tinggi, meskipun pengujian
molekuler mengidentifikasi sejumlah organisme tambahan.

Distribusi organisme dalam VAP terkait COVID-19 dan non-COVID-19 ditunjukkan


pada Gambar. 3, dan secara umum serupa antara kedua kelompok.

Mikrobiota paru-paru
Untuk meneliti perubahan mikrobiota paru-paru pada pasien positif dan negatif COVID-
19, kami melakukan pengurutan 16S rRNA pada subset sampel BAL dari 24 pasien.
Secara umum, bakteri yang dideteksi oleh TAC atau mikrobiologi konvensional banyak
diidentifikasi dalam sampel dengan sekuensing 16S (Gambar 4). Sampel dengan VAP
yang dikonfirmasi atau kolonisasi dengan organisme patogen rendah umumnya
menghasilkan angka baca keseluruhan yang lebih tinggi. Saat membandingkan pasien
positif COVID-19 dengan pasien negatif COVID-19, tidak ada takson spesifik yang
lebih umum pada kedua kelompok. Selain itu, dalam subset sampel yang relatif kecil
ini, komposisi bakteri BAL dari pasien positif COVID-19 tidak berbeda secara signifikan
baik dalam keragaman spesies (keragaman alfa) atau komposisi mikroba (keragaman
beta).

Untuk meneliti perubahan mikrobiota selama infeksi, kami selanjutnya melihat


komposisi mikroba sampel BAL pada beberapa pasien individu dari waktu ke waktu.
Dua pasien yang didiagnosis dengan VAP (pasien 1 dan 24) menunjukkan penurunan
keragaman spesies dari waktu ke waktu, karena bakteri patogen yang terlibat dalam
penyakit menjadi mikroba yang dominan. Untuk pasien 6, komposisi mikroba berubah
secara signifikan dari waktu ke waktu, karena Enterococcus mengambil alih dari
Staphylococcus sebagai organisme yang paling dominan. Komposisi mikrobioma
pasien 24, yang keduanya VAP dan negatif COVID-19, sebagian besar stabil dari
waktu ke waktu. Secara umum komposisi mikroba sampel BAL dari pasien yang tidak
memiliki VAP pada saat pengambilan sampel (sampel 1 dari pasien 14 dan kedua
sampel dari pasien 24) lebih beragam dibandingkan sampel dari pasien yang telah
didiagnosis dengan VAP.

Aspergillosis invasif
43 pasien diteliti untuk kemungkinan aspergillosis paru dengan PCR dan lavage
galactomannan, berdasarkan kecurigaan klinisi senior terhadap infeksi jamur. 23
pasien dengan COVID-19 dan 20 tanpa COVID 19. Dari 3 pasien COVID-19 ini
memenuhi kriteria IPA yang diuraikan dalam metode di atas (satu positif oleh PCR
dengan borderline galactomannan 0,7 optical density index (ODI), dan 2 PCR negatif
tetapi dengan galactomannan> 1,0 ODI), dan semuanya dirawat dengan liposomal
amfoterisin, 2 dari pasien ini selamat sampai keluar dari rumah sakit sementara satu
meninggal. Satu pasien tanpa COVID-19 memiliki galaktomanan positif ambang (0,8
ODI), dan memenuhi kriteria klinis tetapi tidak dirawat karena perawatan ditarik karena
alasan lain. Kami memperkirakan prevalensi aspergillosis terkait COVID-19 (CAPA)
menjadi 13%, meskipun dengan jumlah kecil, interval kepercayaannya lebar (95% CI
5–32%). Tak satu pun dari tiga pasien dengan CAPA telah menerima steroid sebelum
diagnosis.

Reaktivasi herpesviradevir
49 pasien menjalani tes lavage untuk herpesvirade, 24 dengan COVID-19 dan 25
tanpa COVID 19. Meskipun lima pasien (dua dengan VAP dari organisme lain, dan tiga
tanpa VAP) memiliki deteksi virus herpes simpleks (HSV) di bawah batas Ct dari 32,
dalam reaktivasi virus peran viral load tidak memiliki kepastian. Oleh karena itu kami
memeriksa frekuensi deteksi herpesvirade pada tingkat mana pun dalam lavage pasien
yang diteliti untuk dugaan VAP. Total 10 pasien dengan COVID-19 terdeteksi
herpesvirade (4 HSV, 5 Epstein barr virus (EBV) dan 1 pasien dengan keduanya),
sedangkan 5 pasien tanpa COVID-19 terdeteksi (2 HSV, 1 cytomegalovirus, 1 EBV
dan 1 pasien dengan HSV dan EBV). Karena hanya lavage yang diuji untuk
herpesvirade, prevalensi deteksi herpesvirade di antara populasi yang diuji adalah 42%
(95% CI 24-61%) pada pasien dengan COVID-19 dan 20% (95% CI 9–39%) pada
pasien tanpa COVID-19 (distribusi nilai Ct untuk herpesvirade ditunjukkan pada berkas
tambahan 1: Gambar S3). Hanya satu pasien dengan aktivasi herpesvirade telah
menerima steroid sebelum deteksi.

Diskusi

COVID-19 adalah penyakit baru pada populasi manusia dan ini telah menyebabkan
peningkatan jumlah pasien yang membutuhkan ventilasi mekanis dan akan
menimbulkan risiko VAP. COVID-19 dapat hadir dalam berbagai manifestasi berat dan
laporan co-infeksi bervariasi [7-9]. Namun, seringkali laporan-laporan ini kurang jelas
mengenai tingkat keparahan penyakit, lokasi pasien (perawatan kritis vs perawatan
non-kritis), waktu pengambilan sampel relatif terhadap timbulnya penyakit dan, jika
memungkinkan, penggunaan ventilasi mekanis. Di sini, kami melaporkan pasien
COVID-19 yang paling berat dan memerlukan masuk ICU dengan ventilasi mekanis.
Bila dibandingkan dengan pasien tanpa COVID-19, bahaya VAP meningkat secara
signifikan.

Surveilans konvensional untuk VAP menggunakan kepadatan insiden, yang kami


hitung untuk memungkinkan perbandingan dengan laporan yang diterbitkan
sebelumnya. Kami menemukan kepadatan insiden yang tinggi dari VAP yang
dikonfirmasi (28/1000 hari ventilator) di antara pasien dengan COVID-19, sementara
mereka yang tidak memiliki COVID-19 memiliki tingkat yang mirip dengan laporan dari
unit lain di era pra-COVID-19, di mana kepadatan insiden adalah 6-14/1000 hari
ventilator untuk setiap VAP yang dilaporkan [23]. Karena penggunaan alat pelindung
diri secara rutin tetap berlaku hingga akhir Juli 2020, untuk manajemen pasien COVID-
19 dan non-COVID-19, kami tidak berpikir bahwa ini mempengaruhi perolehan
diferensial VAP di antara kedua kelompok ini.

Distribusi organisme yang menginfeksi serupa antara pasien dengan dan tanpa
COVID-19, dan mencerminkan yang dilaporkan dalam literatur pada survei
sebelumnya tentang infeksi yang didapat di ICU dari sebelum era COVID [3, 19].
Penggunaan TAC memungkinkan identifikasi organisme yang lebih cepat, yang
sebagian besar kemudian diidentifikasi dengan kultur. Khususnya ada beberapa
organisme yang tidak terdeteksi oleh TAC, sebagian besar karena urutan organisme ini
tidak ada pada kartu, ini didistribusikan antara pasien COVID-19 dan non-COVID.

Pada tingkat mikrobioma paru, kami mengamati tidak ada perbedaan komposisi
organisme antara pasien positif COVID-19 dan non-COVID yang berkembang menjadi
VAP. Hal yang meyakinkan, kerentanan antibiotik dari patogen penyebab serupa pada
kedua kelompok (data tidak ditampilkan) dan ini berarti bahwa rejimen antimikroba
konvensional dapat digunakan.
Ada peningkatan pengenalan infeksi jamur di antara pasien dengan pneumonitida virus
dan VAP [11, 21, 22]. Meskipun perdebatan terus berlanjut mengenai perbedaan dan
persamaan antara influenza dan aspergillosis terkait COVID [10], sesuai dengan
temuan kami pada VAP bakteri, tampaknya IPA lebih sering pada pasien COVID-19
daripada pasien ICU tanpa COVID-19. Telah disarankan bahwa CAPA mungkin
berhubungan dengan penggunaan obat imunosupresif [10]. Seperti dapat dilihat dari
Tabel 1, steroid relatif jarang digunakan pada kohort pasien COVID-19 ini yang
sebagian besar dirawat sebelum hasil uji RECOVERY diumumkan [24] dan memang
tidak satu pun dari 3 pasien CAPA yang kami identifikasi telah menerima steroid
sebelum diagnosis mereka ditegakan atau memiliki kondisi imunosupresif yang
mendasari.

Secara lebih luas, dalam pengaturan kami obat imunomodulator tidak umum
digunakan pada saat puncak penerimaan COVID-19, namun tetap ada prevalensi
tinggi bakteri VAP pada pasien ini. Meskipun VAP pada COVID-19 dapat menimbulkan
masalah kuantitas, kami tidak menemukan bukti dalam laporan ini tentang perbedaan
kualitatif dalam hal organisme penyebab infeksi, meskipun seperti disebutkan di atas
aspergillosis mungkin lebih sering tetapi hal ini perlu dilihat pada konteks tingkat VAP
yang jauh lebih tinggi secara keseluruhan. Dalam subset di mana kami melakukan
profil mikrobioma, pasien kami menunjukkan profil serupa dengan yang dilaporkan oleh
kelompok lain yang meneliti mikrobioma paru pasien berventilasi [25, 26]. Faktor-faktor
yang menyebabkan disbiosis paru pada penyakit kritis masih belum sepenuhnya
dipahami, tetapi mungkin termasuk penggunaan antibiotik intercurrent, translokasi
enterik, disfungsi imun paru dan metabolisme yang berubah [27].

Meskipun pasien tanpa COVID-19 mengembangkan VAP lebih 'awal' secara


proporsional, dalam 4 hari pertama ventilasi (berkas tambahan 1: Tabel S2),
pemeriksaan kurva kelangsungan hidup VAP (Gambar. 2) mengungkapkan bahaya
VAP awal serupa antara kedua kelompok. Namun, yang mencolok adalah risiko
berkelanjutan dari VAP yang terlihat pada pasien dengan COVID-19 lebih besar
daripada yang terlihat pada pasien tanpa COVID 19. Risiko berkelanjutan ini
mengingatkan pada efek yang kami laporkan sebelumnya pada pasien sakit kritis
dengan imunoparesis [5].
Meskipun dari penelitian observasional kami, kami tidak dapat memastikan mengapa
pasien yang menggunakan ventilator dengan COVID-19 memiliki peningkatan risiko
infeksi yang begitu signifikan, penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa
prediktor terkuat infeksi nosokomial pada pasien yang sakit kritis adalah gangguan
fungsi sel kekebalan [5, 28]. Pasien dengan COVID-19, sesuai dengan sindroma
penyakit kritis lainnya seperti sepsis bakteri dan trauma mayor, mengalami disregulasi
kompleks sistem imun dengan fitur aktivasi hiperinflamasi dan kerusakan organ serta
gangguan fungsi antimikroba [6, 29 ]. Khususnya, salah satu pendorong utama
penurunan neutrofil pada penyakit kritis adalah komponen komplemen C5a [30, 31]
dan tingkat aktivasi komplemen dan pelepasan C5a yang tinggi telah dilaporkan pada
COVID-19 [32]. Laporan terbaru lainnya tentang imunologi COVID-19 menyoroti
adanya penekanan fungsi sistem imun pada pasien yang paling tidak sehat [29].
Kerusakan pada membran alveolar, meskipun tidak spesifik untuk COVID-19, juga
dapat memfasilitasi invasi bakteri [33]. Perkiraan prevalensi aspergillosis paru invasif
dan reaktivasi herpesvirade terbatas pada pasien yang diteliti dengan bronchoalveolar
lavage dan oleh karena itu hanya mewakili sebagian dari mereka yang diteliti untuk
VAP. Dalam kasus aspergillosis invasif, juga diperlukan pemesanan galaktomanan
oleh dokter senior, dan sebagai penelitian retrospektif kami tidak dapat memastikan
bahwa dokter yang meminta tes ini memiliki ambang batas yang sama. Oleh karena itu
kami mengakui bahwa data ini mungkin meremehkan prevalensi kondisi ini, namun
tren ke arah prevalensi yang lebih tinggi di antara pasien dengan COVID-19
menambahkan beberapa dukungan pada hipotesis bahwa pasien ini menderita beban
imunoparesis yang cukup besar. Patut dicatat bahwa pasien dengan COVID-19 jauh
lebih mungkin untuk mengalami sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS) (Tabel 1)
dan akibatnya memiliki defek oksigenasi yang lebih parah dan lebih cenderung rentan
terhadap ventilasi. ARDS merupakan faktor risiko yang ditetapkan untuk VAP [34], dan
peradangan paru yang intens dapat menyebabkan pemrograman ulang imunologis
yang dapat mengganggu respons anti-mikroba [35]. Posisi proning dapat
meningkatkan risiko mikroaspirasi, namun meneliti efek spesifik dari proning yang
bertentangan dengan tingkat keparahan peradangan paru tetap menjadi tantangan
[36]. Sementara terapi antimikroba spektrum luas yang sebelumnya merupakan faktor
risiko untuk VAP [15] tidak terbukti adanya perbedaan substansial dalam penggunaan
antimikroba atau spektrum pada pasien dengan dan tanpa COVID19.
VAP tetap sulit untuk dikonfirmasi secara definitif tanpa konfirmasi histologis, yang
jarang dan tidak diinginkan pada pasien berventilasi, oleh karena itu kami tidak dapat
memastikan bahwa pasien dengan mikrobiologi positif memiliki pneumonia meskipun
penggunaan kultur kuantitatif mengurangi risiko deteksi kolonisasi [17, 37]. Kami
menggunakan definisi yang relevan secara klinis serupa dengan yang digunakan
dalam penelitian sebelumnya [17, 37] dan menerapkan ini secara konsisten di kedua
kelompok. Kami mencatat bahwa teknik diagnostik dapat mengubah tingkat diagnosis
[37], dan karena itu kami yakin bahwa proporsi diagnosis bronkoskopi ko Demikian
pula, penggunaan diagnostik molekuler TAC yang lebih sensitif dapat meningkatkan
tingkat VAP yang dikonfirmasi secara mikrobiologis, ini meyakinkan bahwa TAC
digunakan sedikit lebih sering pada pasien non-COVID dan ini juga menunjukkan
perbedaan yang terlihat karena faktor biologis daripada alasan teknis.nsisten di kedua
kelompok (Tabel 1).

Laporan VAP di antara pasien berventilasi dengan COVID-19 bervariasi, dengan


tingkat 40-86% yang dilaporkan [38-40] dan tingkat yang kami laporkan sebesar 49%
sesuai dengan laporan dari pusat lain. Meskipun pada beberapa laporan, tidak terfokus
secara khusus pada VAP, menunjukkan tingkat yang lebih rendah dari 10% [8], tidak
jelas berapa banyak pasien ICU dalam kelompok itu yang diventilasi setidaknya
selama 48 jam. Tingkat VAP antar pusat yang menangani COVID-19 cenderung
bervariasi tergantung pada karakteristik klinis pasien yang ditangani, kebijakan
penerimaan ICU yang berbeda, dan faktor klinis seperti penggunaan terapi
imunosupresif. Meskipun kami berhasil mempertahankan rasio keperawatan satu
banding satu selama gelombang pertama COVID-19, ada kemungkinan peningkatan
jumlah perawat dengan pelatihan singkat dalam perawatan kritis menyebabkan
peningkatan tingkat VAP. Namun, kepatuhan tinggi yang berkelanjutan dengan paket
perawatan ventilator yang mencakup intervensi keperawatan utama seperti kebersihan
mulut dan elevasi kepala tempat tidur menentang hal ini menjadi faktor utama. Kami
mengakui ukuran sampel dan keterbatasan pusat tunggal dengan pengamatan kami
dan menyarankan penelitian yang lebih besar dari lokasi geografis yang berbeda dapat
membantu sepenuhnya memahami risiko pengembangan infeksi bakteri sekunder
pada pasien dengan COVID-19 dengan gejala berat.

Kesimpulan
COVID-19 membuat orang lebih rentan untuk mengembangkan VAP, sebagian karena
peningkatan durasi ventilasi. Perubahan mikrobioma paru dan penyebab infeksi
sekunder serupa dengan yang terlihat pada pasien sakit kritis yang dipasang ventilasi
karena alasan lain. Pengambilan sampel saluran pernapasan dengan hati-hati sambil
meminimalkan kontaminasi dari saluran proksimal, dikombinasikan dengan pengujian
diagnostik sensitif untuk mengurangi risiko kultur negatif palsu akan membantu
optimalisasi antimikroba pada pasien dengan COVID-19.

Anda mungkin juga menyukai