Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

“DAMPAK DAN PENANGANAN TRAUMA PADA ORANG DEWASA”

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah:


Bmbingan Konseling Kebencanaan

Dosen Pengampu:
Mulawarman, Ph.D
Dr. Suharso, M.Pd., Kons.

Disusun Oleh:
A Mursal : 0106519045 (B)
Burhanudin : 0106519019 (A)
Dessy Margathyfera T. : 0106519007 (A)
Harry Nurawinata : 0106519025 (B)
Iftitah Indriani : 0106519049 (B)
Tera Pertiwi Atikah : 0106519039 (B)

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING


PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2020

i
KATA PENGANTAR

Sebagai Kata Pengantar. Pertama, saya mengucapkam syukur Alhamdulillah


yang sedalam dalamnya kepada Allah SWT. Yang mana atas berkah dan rahmatnya
dapat memberikan tuntunan jalan dan kemudahan pada kami untuk dapat menyusun
dan menyelesaikan makalah ini.
Tak lupa juga saya ucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada dosen
pengampu yang telah memberikan ilmu dan bimbingannya pada kami, sehingga
dapat mempermudah kami dalam memahami materi yang diberikan.
Makalah ini tersusun dengan berbagai keterbatasan. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang kontruktif akan senantiasa kami nanti dalam upaya evaluasi diri
demi terciptanya makalah yang lebih baik kedepanya.
Dengan demikian saya berharap, bahwa dibalik ketidaksempurnaan kami dan
penyusunan makalah ini bisa ditemukan sesuatu yang dapat memberikan manfaat
atau bahkan hikmah bagi kami selaku penyusun dan para pembaca lainnya. Amin
ya Rabbal Alamin.

Mei, 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................4
A. Latar Belakang....................................................................................................4
B. Rumusan Masalah...............................................................................................5
C. Tujuan Penulisan................................................................................................6
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................7
A. Dampak Trauma pada Orang Dewasa................................................................7
B. Pengaruh Gender terhadap Reaksi dan Trauma Orang Dewasa.........................9
C. Bantuan dan Pendampingan Orang Dewasa dalam Menghadapi Trauma
Bencana.................................................................................................................12
D. Prinsip-prinsip dalam Membantu Orang dewasa untuk Pulih dari Trauma.....15
E. Bentuk-bentuk Penanganan Masalah bagi Penyintas Bencana........................17
F. Tanda tanda orang dewasa yang membutuhkan pertolongan lebih lanjut........22
BAB III PENUTUP...............................................................................................24
A. Kesimpulan.......................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................25

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bencana membawa efek negatif luar biasa bagi kehidupan manusia. Temuan
berbagai penelitian menunjukkan adanya peningkatan yang sangat signifikan dalam
munculnya berbagai masalah baik masalah kesehatan fisik dan psikologis penyintas
bencana dalam jangka panjang.
Pada umumnya bencana memiliki dampak seperti, korban jiwa manusia, kerugian
harta benda, merusak tatalingkungan, serta gangguan kesehatan seperti gangguan fisik
timbulnya berbagai macam penyakit seperti gangguan psikis pada korban bencana.
Apabila tidak ditangani secara keseluruhan dilapangan dan kurangnya pengetahuan
masyarakat tentang penanganan bencana akan mengakibatkan trauma yang
mendalam bagi korban.
Baik pada anak maupun pada orang dewasa dampak bencana bervariasi dari jangka
pendek sampai jangka panjang. Dampak emosional jangka pendek yang masih dapat
dilihat dengan jelas meliputi rasa takut dan cemas yang akut, rasa sedih dan bersalah
yang kronis, serta munculnya perasaan hampa. Pada sebagian orang perasaan-perasaan
ini akan pulih seiring berjalannya waktu. Namun pada sebagian yang lain dampak
emosional bencana dapat berlangsung lebih lama berupa trauma dan problem
penyesuaian pada kehidupan personal, interpersonal, sosial, dan ekonomi pasca bencana.
Gejala- gejala gangguan emosi yang terjadi merupakan sumber distress dan dapat
mempengaruhi kemampuan penyintas bencana untuk menata kehidupannya kembali.
Apabila tidak segera direspons akan menyebabkan penyintas, keluarga, dan masyarakat
tidak dapat berfungsi dalam kehidupan dengan baik
Ada sejumlah besar temuan konseptual dan empiris tentang dampak trauma kronis
dan perampasan ekonomi pada fungsi, kesehatan, dan kesejahteraan orang dewasa. Telah
diketahui dengan baik dari studi epidemiologi nasional PTSD bahwa sekitar 50% hingga
90% orang dewasa di Amerika Serikat telah mengalami satu atau lebih peristiwa
traumatis; dan 10% hingga 20% dari mereka yang terpapar akan mengembangkan semua

4
gejala yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis PTSD. Selain itu, persentase yang
jauh lebih tinggi, hingga 68%, akan mengembangkan beberapa gejala PTSD. Gejala
PTSD termasuk perasaan takut yang intens, ketidakberdayaan, atau kengerian;
mengalami kembali peristiwa traumatis melalui mimpi, kilas balik, atau pengalaman
disosiatif; menghindari pengingat trauma (pemicu konkret seperti orang dan tempat, serta
pikiran dan perasaan), yang dapat menyebabkan perasaan terlepas dan mati rasa secara
emosional; dan peningkatan kecemasan dan gejala hyperarousal lainnya seperti gangguan
tidur, lekas marah, atau kesulitan konsentrasi. Gejala-gejala ini akan berdampak, pada
berbagai tingkat, kemampuan individu untuk berfungsi dalam konteks profesional, sosial
dan keluarga.1
Banyak penelitian tentang trauma sekarang bergerak melampaui konseptualisasi
PTSD untuk mengatasi gejala yang ditunjukkan oleh individu yang telah mengalami
trauma kompleks, yang melibatkan peristiwa traumatis kronis atau multipel dan sering
bersifat interpersonal. Pengalaman trauma kronis telah dihubungkan dengan sejumlah
gejala yang tidak ditangkap dalam diagnosis PTSD, termasuk: perubahan kapasitas diri,
seperti disfungsi pada area identitas, mempengaruhi regulasi, dan hubungan
interpersonal; gangguan kognitif, seperti rendahnya harga diri, menyalahkan diri sendiri,
ketidakberdayaan, keputusasaan, dan harapan penolakan dan kehilangan; gangguan
suasana hati, seperti kecemasan, depresi, kemarahan dan agresi; dan respon penghindaran
yang berkembang, seperti disosiasi, penyalahgunaan zat dan perilaku mengurangi
ketegangan seperti perilaku seksual kompulsif, binging dan purging, dan selfmutilation.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaiman Dampak Trauma pada Orang Dewasa?
2. Bagaiman Pengaruh Gender terhadap Reaksi dan Trauma Orang Dewasa?
3. Bagaiman Bantuan dan Pendampingan Orang Dewasa dalam Menghadapi Trauma
Bencana?
4. Apa saja Prinsip-prinsip dalam Membantu Orang dewasa untuk Pulih dari Trauma?
5. Apa Saja Bentuk-bentuk Penanganan Masalah bagi Penyintas Bencana?
1
Collins, K., Connors, dkk. Understanding The Impact Of Trauma And Urban Poverty On Family Systems: Risks,
Resilience, And Interventions. (Baltimore, MD: Family Informed Trauma Treatment Center, 2010)

5
6. Apa saja Tanda tanda orang dewasa yang membutuhkan pertolongan lebih lanjut?

C. Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan Dampak Trauma pada Orang Dewasa
2. Mengkaji Pengaruh Gender terhadap Reaksi dan Trauma Orang Dewasa
3. Menjelaskan Bantuan dan Pendampingan Orang Dewasa dalam Menghadapi Trauma
Bencana
4. Menjelaskan Prinsip-prinsip dalam Membantu Orang dewasa untuk Pulih dari
Trauma
5. Menjelaskan Bentuk-bentuk Penanganan Masalah bagi Penyintas Bencana
6. Menjelaskan Tanda tanda orang dewasa yang membutuhkan pertolongan lebih lanjut

6
BAB II
PEMBAHASAN

A. Dampak Trauma pada Orang Dewasa


Bencana merupakan suatu pengalaman sulit bagi para penyitas. Berbagai reaksi
trauma timbul setelah bencana. Semua kelompok usia mengalami dampak dari
pengalaman traumatis tersebut. Jika dilihat dari keterbatasan pengalaman hidup yang
berakibat pada kurangnya keterampilan dalam penyelesaian masalah serta kemampuan
mengekspresikan perasaan maupun kebutuhan-kebutuhannya, kelompok anak-anak
tampak mengalami dampak tauma bencana yang sangat serius. Meskipun demikian,
kelompok orang dewasa yang juga mengalami dampak trauma yang berat. Ketika melihat
kenyataan bahwa setelah bencana, tanggungjawab orang dewasa terasa semakin berat.
Orang dewasa diharapkan dapat merawat, melindungi anak-anak dan juga orang lanjut
usia. Oleh karena itu, penanganan dan usaha membantu pemulihan trauma orang dewasa
sangatlah penting.
Orang dewasa yang mampu memulihkan diri dari trauma yang dialaminya dapat
dengan efektif membantu anak-anak dan orang lanjut usia pulih dari trauma. Kenyataan
di lapangan dan temuan penelitian menunjukkan bahwa reaksi dan dampak trauma orang
dewasa merupakan suatu model bagi anak-anak. Trauma yang berkepanjangan akibat
bencana pada orang dewasa mendorong terjadinya hal yang sama bahkan lebih parah
pada anak-anak. Anak-anak cenderung meniru bagaimana orang dewasa yang dekat
dengannya mengembangkan reaksi trauma bencana. Ketidakmampuan orang dewasa
untuk pulih atau keluar dari trauma yang dialaminya juga berpengaruh secara bermakna
terhadap berkembangnya masalah psikologis serius. Kketidakmampuan orang dewasa
untuk pulih dari mengatasi traumanya menjadi beban tersendiri bagi anak-anak dan orang
lanjut usia yang membutuhkan bantuan dari mereka.
Reaksi trauma orang dewasa tidak jauh berbeda dengan reaksi trauma anak-anak.
Secara fisik, orang dewasa sudah tumbuh dan berkembang secara maksimal. Oleh karena
itu, bencana dapat mengurangi ketahanan fisik orang dewasa. Banyak penyitas yang
mengeluhkan penurunan kondisi fisik akibat bencana. Tidak hanya dalam aspek fisik,

7
aspek pikiran dan emosi orang dewasa juga sudah tumbuh dan berkembang secara
maksimal. Orang dewasa mampu berpikir secara abstrak tentang bencana yang terjadi.
Mereka cenderung mengembangkan makna atas bencana yang terjadi, berusaha untuk
menjelaskan penyebab dari bencana yang terjadi. Pemaknaan yang dikembangkan dalam
pikiran orang dewasa sangat dipengaruhi dan mempengaruhi reaksi trauma mereka. Ada
yang menganggap bahwa bencana merupakan hukuman dari tuhan, ada yang
menganggap bencana yang terjadi merupakan tanda alam supaya manusia bertobat, ada
yang menganggap bencana yang terjadi sebagai peristiwa alam yang dapat dijelaskan
secara ilmiah dan lain sebagainya. Terhadap reaksi emosi, pengalaman hidup orang
dewasa sebelum bencana terjadi sangat mempengaruhi reaksi emosi yang dialami
terhadap bencana. Orang dewasa cenderung mampu membicarakan emosi/ perasaan yang
dialaminya terkait bencana. Umumnya, emosi/perasaan yang dialami orang dewasa
adalah kesedihan yang mendalam diikuti dengan perasaan tertekan akibat perubahan yang
terjadi karena bencana.2
Lebih lanjut Sullivan dan Everstine menjabarkan beberapa reaksi dan respons
orang dewasa paling umum terhadap peristiwa traumatis diantaranya3:
1. Kecemasan tentang kemungkinan terulangnya kejadian
2. Kebingungan, kesulitan konsentrasi, masalah memori, atau ketidakmampuan untuk
memperkirakan waktu secara akurat
3. Perubahan suasana hati sementara, perubahan umum dalam temperamen, dan lekas
marah
4. Kilas balik peristiwa yang mungkin visual atau mengambil bentuk menghidupkan
kembali peristiwa secara emosional
5. Masalah tidur atau mimpi buruk
6. Perubahan nafsu makan atau pola makan
7. Kesulitan emosional yang disebabkan oleh peristiwa atau benda yang mengingatkan
Anda tentang peristiwa traumatis
8. Keinginan untuk menghindari apa pun yang mungkin mengingatkan Anda tentang
peristiwa traumatis

2
Tirja T. laluyan, Nathanael Sumampouw, M. Zulfan Reza, dkk. Pemulihan Trauma : Concepts and Cases. (LPSP3 Fakultas Psikologi: Universitas
Indonesia, 2007) hlm.95
3
Evertaine Diana Sullivan And Louis Everstine. Strategi Intervensi For People In Crisis, Trauma, And Disaster (Revised Edition: New York, 2006).

8
9. Minat berkurang pada kegiatan signifikan (pekerjaan, sosial, atau keluarga)
10. Merasa tertekan atau terlepas atau terasing dari orang lain
11. Sesak emosi, perasaan marah, atau kurang sabar terhadap diri sendiri atau orang lain.

B. Pengaruh Gender terhadap Reaksi dan Trauma Orang Dewasa


Ketika berbicara tentang dampak trauma bencana orang dewasa menarik untuk dilihat
bagaimana gender mempengaruhi reaksi dan dampak trauma bencana4.
1. Perempuan
Perempuan sangat rentan terhadap trauma karena posisi mereka di berbagai budaya
terutama budaya yang menomorsatukan laki-laki membuat perempuan cenderung
terpinggirkan. Akibatnya, bencana semakin menambah beban mereka. Perempuan
yang ditinggal mati suaminya karena bencana tidak dapat menghindari kenyataan
hidup bahwa ia harus membesarkan anak-anaknya sendirian dan menjadi kepala
keluarga menggantikan suaminya yang meinggal. Bencana menambah beban
perempuan yang suaminya tidak hidup. Sebagai seorang istri dituntut untuk berpikir
keras bagaimana tetap bertahan Ditengah kesulitan ekonomi yang terjadi akibat
bencana. Ketika suami kehilangn pkerjaan, istri harus memutar otak mencari cara
supaya dengan keterbatasan yang ada, keluarganya masih tetap makan. Selain itu,
sebagai orang yang cenderung terpinggirkan, perempuan sangat rentan menjadi
sasaran kekerasan karena dinilai sebagai pihak yang lemah. Hal ini terjadi karena
kesultanan akibat becana menimbulkan frustasi dan kekecewaan. Melalui kekerasan,
frustasi dan kekecewaan yang tersa semakin menumpuk dan semakin berat ini dapat
lebih tersalurkan. Kekerasan domestik rumah tangga di daerah pasca konflik dan
bencana merupakan sesuatu yang sering terjadi. Pepatah: “Ibarat jatuh tertimpa
tangga” menggambarkan penderitaan perumpuan akibat bencana yang mengalami
kekerasan. Akibatnya, perempuan akibat bencana dan trauma kekerasan sebagai
akibat tidak langsungdari bencana, mengembangkan penghayatan sebagai korban.
Penghyatan sebagai korban ini akan terus mengakibatkan perempuan terpuruk, tidak
berdaya dan membuat masalah yang dialaminya semakin kompleks. Misalnya:
seorang ibu yang mendapatkan perlakuan kasar dari suaminya karena suaminya

4
Tirja T. laluyan, dkk Ibid. 98-99

9
kehilanganpekerjaan dan berbagai harta miliknya akibat bencana memilih untuk
pindah kota dan melacurkan dirinya. Konsekuensinya adaah anak-anaknya terlantar
dan suaminya mengalihkan kekerasan yang dilakukannya ke istri menjadi ke anak-
anaknya. Kenyataannya juga menunjukkan bahwa sangat sulit bagi perempuan untuk
mengungkapkan berbagai masalah psikologis yang dialaminya pada pihak yang
berwenang. Rasa marah, malu dan bersalah biasanya mencegah perempuan untuk
berbicara. Selain itu, dalam keluarga, perempuan sebagai ibu sangat berperan dalam
membesarkan dan mendidik anaknya. Oleh karena itu, kesulitan yang terjadi pada ibu
akibat bencana sangat mempengaruhi bagaimana ibu memperlakukan anaknya.
Banyak ibu yang setelah bencana menjadi lebih senang menggunakan cara-cara
kekerasan dalam memperlakukan anaknya. Hal ini terjadi karena kesulitan akibat
bencana menyebabkan seorang ibu menjadi lebih sensitif, mudah marah, dan tertekan.
Beragam perasaan negatif ini cenderung dilampiaskan ke mereka yang posisinya
lemah. Ibu melampiaskannya ke anak-anaknya. Namun disisi lain kenyataan di
lapangan menunjukkan bahwa peristiwa traumatis jug dapat menciptakan peluang dan
peran baru bagi perempun untuk lebih memberdayakan diri. Perempuan terbukti
mampu berperan dalam mengorganisir dan menggerakan masyarakat pasca bencana
menuju pemulihan.
2. Laki-laki
Kelompok ini seringkali terabaikan dalam berbagai program kemanusiaan.
Penyebabnya adalah laki-laki khususnya laki-laki dewasa dianggap memiliki
kemampuan untuk dapat menghadapi pengalaman traumatis dengan kekuatan fisik
yang dimilikinya. Banyak orang menganggap bahwa kemungkinan laki-laki dewasa
mengalami masalah psikologis berkaitan dengan peristiwa traumatis lebih rendah.
dibandingkan kelompok yang Iain. Padahal pengalaman traumatis menyebabkan
perubahan yang bermakna pada laki-laki dewasa seperti kelompok Iainnya. Misalnya:
bencana tsunarni di Aceh mengakibatkan suami menjalankan peran sebagai pengasuh
keluarga, menjalankan peran ibu karena istrinya termasuk mereka yang tewas ketika
bencana. Peran ini merupakan peran yang baru dan sangat sulit bagi seorang suami.
Bencana juga terasa sangat berat karena bencana menyebabkan hilangnya pekerjaan
atau mata pencaharian utama. Sebagai kepala keluarga, laki.laki merasa sangat

10
tertekan memikirkan kondisi perekonomian keluarganya karena ia sudah tidak lagi
bekerja. Secara psikologis. hal ini mempengaruhi perasaan bermakna terhadap dirinya
sendiri sebagai seorang laki-laki dan kepala keluarga. Perilaku kekerasan yang
dilakukan oleh laki-laki dewasa Sebagai cara meringankan emosi negatif akibat
trauma yang dialaminya karena bencana merupakan suatu dampak negatif dari
kondisi trauma laki- làki dewasa. Oleh karena itu, dampak bencana pada laki-laki
dewasa juga menjadi sesuatu yang sangat penting untuk dibantu supaya mencegah
berkembangnya masalah yang serius. Hal ini terjadi karena ada kecenderungan pada
laki-laki dewasa untuk menyembunyikan masalah psikologis yang dialaminya.
Masih banyak orang yang berpikir bahwa laki-laki terlahir untuk tetap kuat. Sesuatu
yang memalukan jika seorang laki-laki dewasa menangis atau mengalami masalah
psikologis akibat bencana karena hal merupakan suatu bentuk kelemahan diri. Hal ini
merupakan tantangan tersendin bagi mereka yang ingin membantu laki-laki dewasa.
Secara umum, dalam menangani trauma orang dewasa akibat bencana, pemahaman
terhadap berbagai reaksi trauma yang dialami orang dewasa merupakan hal utama
dan mendasar. Dengan memahami berbagai reaksi trauma yang terjadi pada orang
dewasa sebagai sesuatu reaksi yang wajar terhadap situasi yang tidak wajar, sangat
membantu orang dewasa menerima berbagai hal yang terjadi dengan dirimya sebagai
reaksi terhadap trauma bencana. Ketidakmampuan memahami berbagai reaksi trauma
tersebut menghambat usaha pemulihan trauma. Hambatan lainnya dalam membantu
orang dewasa adalah kecenderungan orang dewasa untuk menyangkal masalah
psikologis yang dialaminya. Terus menerus menyangkal menyangkal masalah
psikologis atau menekan masalah psikologis terutama trauma bencana sangat
berdampak negatif terhadap terutama perkembangan diri dan kesehatan seseorang.
Suasana yang menimbulkan perasaan aman dan nyaman pada orang dewasa serta rasa
percaya terhadap orang yang membantu hendaknya diciptakan untuk membantu
orang dewasa mengekspresikan masalah psikologis yang dialaminya.

3. Orang Dewasa sebagai Orang tua

11
Dari uraian diatas tentang dampak trauma pada orang dewasa baik laki-laki maupun
perempuan terlihat bahwa sebagian dampak yang mereka alami sangat terkait dengan
peran mereka sebagai orang tua dalam keluarga. Sebagai orang tua, mereka memiliki
kewajiban untuk menjaga keutuhan, keselarnatan dan kesejahteraan keluarganya.
Keutuhan, keselamatan dan kesejahteraan keluarga menjadi terancam sebagai akibat
bencana. Hal inilah yang mempengaruhi dampak trauma dan kesejahteraan pada
Orang tua.
Hal yang sering dialami orang tua akibat bencana adalah kehilangan anggota keluarga
baik karena meninggal atau hilang. Reaksi yang umumnya dialami oleh orang tua
berkaitan dengan hal ini adalah perasaan bersalah atau menyalahkan diri sendiri
karena tidak mampu menyelamatkan anggota keluarganya. Apabila jenazah anggota
keluarganya belum ditemukan, umumnya mereka terus berusaha mencari tak kenal
Ielah. Pusat perhatian mereka tertuju pada bagaimana menemukan anggota
keluarganya yang belum ditemukan tersebut. Selain itu dinamika keluarga umumnya
berubah akibat bencana. Cukup banyak orang tua (suami atau istri) yang harus
berperan ganda dalam melaksanakan kewajiban menyejahterakan keluarganya.
Kebingungan dan kekhawatiran karena kesulitan memenuhi kebutuhan hidup setelah
bencana mempengaruhi dampak trauma yang dialaminya. Hal ini juga dialami oleh
orang tua yang keluarganya masih utuh.5

C. Bantuan dan Pendampingan Orang Dewasa dalam Menghadapi Trauma Bencana


Usaha membantu dan mendampingi orang dewasa mengatasi trauma semakin tepat jika
disesuaikan dengan periode pasca bencana yang terjadi. Pada periode tanggap darurat,
segera setelah bencana terjadi, pertolongan psikologis perta,a Psychological First Aid
(PFA) tepat untuk dilakukan. PFA memberikan pemenuhan kebutuhan akan rasa aman
yang hilang atau terganggu. Berikut dijelaskan 5 langkah dalam PFA6 :
1. Penuhi kebutuhan mendesak
2. Mendengarkan berbagai keluhan atau kisah penyintas
3. Menerima perasaan yang diekspresikan penyintas dan memahami bahwa hal tersebut
merupakan reaksi yang normal dalam situasi yang tidak normal.
5
Tirja T. laluyan, dkk Ibid. 100-101
6
Tirja T. laluyan, dkk Ibid. 102-103

12
4. Melakukan tindak lanjut dari usaha membantu yang telah dilakukan, misalnya
memberikan informasi yang akurat tentang bencana yang terjadi, mempertemukan
kembali dengan anggota keluarga yang terpisah karena bencana.
5. Melakukan rujukan kesistem dukungan yang ada di masyarakat.

Berikut akan dibahas lebih detail mengenai masing-masing langkah dalam PFA di atas.

1. Penuhi Kebutuhan Yang Mendesak


Segera setelah bencana, pemenuhan kebutuhan akan rasa aman merupakan sesuatu
yang utama. Oleh karena itu, situasi yang aman untuk penyintas, terlindung dari
bahaya yang mengancam keselamatan penting untuk diciptakan. Ciptakan suasana
yang menimbulkan enyamanan untuk penyintas. Petolongan fisik juga merupakan
sesuatu yang penting sesegera mungkin setelah bencana. Perasaan bahwa penyintas
diperhatikan dapat mencegahnya berkembangnya dampak trauma yang negative. Hal
sederhana dapat dilakukan, misalnya : memberikan penyintas segelas air putih,
membawakan makanan untuk penyintas, menyelimuti penyintas yang terbaring dan
lain sebagainya.
2. Mendengarkan
Menceritakan pengalaman sebagai penyintas sangat membantu untuk memahami dan
menerima peristiwa traumatis yang terjadi. Namun perlu diingat, untuk menceritakan
tentang berbagai pengalaman termasuk penghayatan terhadap pengalaman traumatic
bukan sesuatu yang mudah. Rasa percaya terhadap orang yang mendengarkan
pengalaman tersebut perlu dirasakan penyintas terlebih dahulu. Namun, orang yang
ingin membantu penyintas tidak diperkenankan untuk memaksa penyintas berbicara.
Ketika penyintas mau bercerita, hal-hal yang perlu diperhatikan oleh orang yang
membantu adalah :
a) Hati-hati dengan nonverbal (gerak-gerik, ekspresi suara, kontak mata,
sentuhan).
Dalam bercerita, aspek nonverbal lenoh pentong dan lebih mengena bagi
penyintas daripada aspek verbal. Bagaimana seseorang mengatakan sesuatu yang
lebih penting daripada apa yang dikatakan. Demikian pula ketika kita membantu
mereka yang trauma. Penyintas sangat memperhatikan bagaimana reaksi orang

13
yang membantunya ketika ia menceritakan tentang berbagai permasalahan yang
dihadapinya.
b) Pahami cerita dari sudut pandang penyintas yang berbicara.
Penyintas berhak mengembangakn pikiran, perasaan dan perilaku tertentu terkait
dengan trauma yang dialaminya. Seringkali pikiran, perasaan dan perilaku
tersebut berbeda dengan pikiran dan perasaan yang mendengarnya. Hal ini
mendorong orang yang hendak membantu penyintas memasukan nilai-nilai
pribadinya ketika berbicara dengan penyintas.
c) Temukan dan sampaikan kata kunci dari cerita penyintas
Penting untuk disampaikan kepada penyintas bahwa berbagai perasaannya dapat
dipahami oleh orang yang mendengarkan ceritanya. Tidak hanya cukup
mengatakan kepada penyintas yang bersangkutan
d) Sediakan waktu yang cukup
Perlu diingat membangun kepercayaan penyintad terhadap orang yang hendak
membantunya bukanlah sesuatu yang mudah butuh waktu dan proses Panjang.
Oleh karenan itu, ketika penyintas sudah merasa nyaman dan dapat mempercayai
orang yang hendak membantunya pastikan bahwa sebagai orang yang hendak
membantunya memiliki cukup waktu.
3. Menerima perasaan yang diekspresikan penyintas
Penting untuk berempati terhadap perasaan yang dialami penyintas. Perlu diingat
bahwa berbagai reaksi penyintas merupakan suatu respon yang wajar terhadapa
bencana. Oleh karena itu, apapun penghayatan penyintas harus diterima apa adanya
oleh orang yang membantunya. Hindri menyalahkan dan menasehati penyintas karena
penhayatan trauma yang dialami.
4. Memberlakukan tindak lanjut
Penyintas perlu terus didampingi untuk mengembangkan rasa bermakna pada dirinya.
Penyintas memrlukan informasai factual tentang dimana dan bagaimana mereka
mendapatkan kebutuahn mereka (misalnya: posko kesehatan. Posko bantuan fisik,
posko pencarian keluarga dan lain-lain). Penyintas juga perlu dibantu
untukmerencanakan suatu aksi pribadi yang konkret dan realitis untuk menghadapi
situasi yang terjadi. Rencana aksi penyintas perlu dibantu, dipantau dan dievaluasi

14
terutama jika penyintas tidak mampu untuk mengaturnya. Sehingga penyintas dapat
menjalankan rencana aksinya. Pada akhirnya, penyintas merasakan adanya kemajuan
dalam dirinya yang dapat mengembangkan perasaan bahwa ia masih memiliki
kemampuan untuk melakukan sesuatu atau menguasai sesuatu sebagai modal dalam
hidupnya.

5. Rujukan
Tidak data dipungkiri bahwa beberapa masalah psikologis yang dialami penyintas
berkembang menjadi masalah sesius karena factor dalam diri dan lingkungannya.
Penyintas merasa sangat tergangu dengan maalah psikologis yang dialaminya.
Tentunya penyintas yang demikian membutuhkan pertolongan dari ahli. Selain itu
penyintas yang tampak tidak berspons atau tidak menunjukan hasil terhadap usaha
pertolongan psikologis yang diberikan juga dapat dipertimbangkan untuk dirujuk ke
pihak lain yang menyediakan bantuan atau ahli. Oleh karena itu, identifikasi dan
membina hubungan dengan system dukungan yang ada dikomunitas pasca bencana
penting untuk dilakukan oleh orang/pihak yang mau membantu.

D. Prinsip-prinsip dalam Membantu Orang dewasa untuk Pulih dari Trauma


Setelah periode tanggap darurat dapat dilewati dan masuk pada periode rehabilitasi,
beberapa usaha untuk pemberdayaan masyarakat pasca bencana merupakan sesuatu yang
tepat untuk dilakukan. Penting dibangun kesadaran dan pemahaman di masyarakat bahwa
tidak selamanya dapat mengandalkan orang lain untuk dapat pulih dari trauma atau
berbagai masalah lainnya. Peningkatan kapasitas orang dewasa melalui pelatihan-
pelatihan yang menitikberatkan pada penambahanketerampilan baru merupakan sesuatu
yang penting untuk dilakukan. Sejak awal, ornag dewasa yang mengalami trauma
sedapat mungkin dilibatkan dalam usaha-usaha membantu pemulihan trauma
masyarakatnya. Sehingga pada akhirnya kelak orang-orang dewasa yang mampu
mengatasi traumanya menjadi agen perubahan atua agen pembaharuan yang membantu
kelompok usia lainnya pulih dari trauma.

15
Untuk dapat melakukan berbagai usaha membantu orang dewasa pulih dari trauma
perinsip-prinsip berikut penting untung diperhatikan7:
1. Berdayakan komunikasi non-verbal
Cara kita berkomunikasi dengan penyintas lebih penting daripada apa yang kita
komunikasikan kepada penyintas. Ekspresi wajah tatapan mata, dan sentuhan yang
menyiratkan keinginan untuk membantu perasaan bahwa orang yang membantu
memahami apa yang dialami oelh penyintas, membantu bahkan mempercepat proses
pemulihan dari trauma bencana. Secara umum, terkesan aspek non verbal dalam
komunikasi merupakan sesuatu yang mudah, kenyataannya tidak demikan. Temukan
bentuk komunikasi non-verbal yang dapat diterima dalam budaya yang ada, hindari
bentuk komunikasi non-verbal yang tidak tepat dalam budaya komunitas penyintas.
2. Kesetaraan
Kesetaraan disini berarti bahwa pendamping atau oaring yng membantu dan orang
yang dibantu sama-sama memiliki peran dan tanggung jawab. Pelaksana program
bukanlah orang yang lebih tahu. Bagaimanapu juga, tiap orang lebih memahami
maalah yang dihadapinya serta kebutuhan-kebutuhannya.
3. Kerahasiaan
Kerahasiaan sangat penting untuk menghindari hal-hal yang negative yang
menghambat pemulihan, misalnya tindak kekerasan terhadap anak yang
menceritakan tentang perlakuan kasar ayahnya setelah bencana terjadi.
4. Keterlibatan aktif
Hubungna yang terjadi dalam proses pemberian bantuan juga didasarkan pada
pandangan bahwa penyintas harus ikut serta dalam melaksanakan keputusan
pilihannya sendiri mengenai kehidupan mereka. Keikutsertaan penyintas
membantu masyarakatnya mengahdapi trauma akan menambah rasa bermakna
yang mendukung proses pemulihan. Rasa bermakna tersebut terkait dengan
pemahaman bahwa mereka mampu/bisa melakukan sesuatu untuk menolong
mereka sendiri melalui pengalaman pahit tersebut. Akibatnya seseorang merasa
memiliki kendali dalam membangun kembali kehidupannya setelah malalui
pengalaman pahit.

7
Tirja T. laluyan, dkk Ibid. 106-107

16
5. Netralitas
Netralitas merupakan prinsip yang sangat penting. Orang yang membantu
berhadapan dengan kmunitas/masyarakat pasaca bencana yang memiliki
keyakinan tersendiri dalam hal ideologi politik, agama yang sangat mungkin
berbeda dengan keyakinan pihak pemberi bantuan. Oleh karena itu, bantuan yang
diberikan tidk boleh mempengaruhi keyakinan yang dianut masyarakat pasca
bencana. Bantuan diberikan tanpa ada sesuatu maksud tertentu yang terkandung
di dalamnnya.
6. Independent
Tiap bagian dalam masyarakat pasca bencana memiliki kebebasan untuk terlibat
atau tidak terlibat dalam bantuan yang diberikan. Mereka pun memiliki kebebasan
untuk menerima atau tidak menerima bantuan yang diberikan. Persetujuan untuk
dibantu dari orang dewasa yang trauma sangat penting untuk diperoleh sebelum
melakukan berbagai kegiatan pemberian bantuan.
7. Melibatkan tradisi atau budaya local
Hal ini akan membentuk dan menguatkan kembali nilai dan struktur yang
sebelumnya hidup dalam masyarakat. Dengan melibatkan tradisi atau budaya
local yang disesuikan dangan konteks masyarakat setempat dalam usaha
membantu menghadapi trauma cenderung lebih dapat diterima oleh penyintas
dewasa akibat bencana.
8. Hati-hati dalam penggunaan istilah
Dalam situasi bencana, kata-kata yang digunakan sangat mempengaruhi sikap
pekerja kemanusiaan dan orang dewasa yang dibantu. Sebagai contoh: dalam
penggunaan istilah ‘trauma’ ketika berhadapan secara langsung dengan
masyarakat pasca bencana untuk menggambarkan kondisi sebagian besar
anggotanya sangatlah tidak tepat. Istilah ‘trauma’ yang dikaitkan dengan
ketidakberdayaan masyarakat pasca bencana seringkali menghambat proses
pemulihan yang diharapkan. Gunakan konsep-konsep lokal, seperti: ‘derita',
‘cobaan’ dan ‘kesusahan’ untuk memahami apa yang dialami penyintas.

17
E. Bentuk-Bentuk Penanganan
1. Penanganan Praktis Secara umum8:
a. Sediakan infomasi akurat tentang situasi yang terjadi.
b. Berikan bantuan sesegera mungkin.
c. Memberikan kesempatan penyintas mengekspresikan pikiran dan perasaannya
terkait dengan bencana yang dialaminya dengan 'bahasa” mereka sendiri dan
dengan suasana yang nyaman.
d. Hindari memberikan jaminan terkait perbaikan kondisi yang tidak tepat dan tidak
realistik.
e. Berikan motivasi pada penyintas untuk melakukan aksi sesuai dengan kemampuan
atau kapasitasnya.
f. Bantu penyintas mengembangkan jaringan (ketompok dukungan).
g. Fokus pada kemampuan mengatasi stres yang telah dimiliki individu.
h. Ajak individu melihat keberhasilannya dalam mengatasi berbagai kesulitan yang
pernah dialaminya sebelum bencana.
i. Berdayakan potensi ketangguhan yang dimiliki penyintas dalam menghadapi
situasi sulit bencana.
j. Hal ini dapat dilakukan dengan melibatkan penyintas dalam berbagai kegiatan
menolong penyintas lainnya.
k. Tampil sebagai seseorang yang peduli dan kompeten dalam membantu penyintas.

Kegiatan yang disarankan :


a. Kegiatan untuk mengatasi atau mengekspresikan perasaan atau emosi negatif
(sedih, marah dan kecewa) yang di alami akibat bencana :
1) Bercerita
2) Menulis
3) Kegiatan seni budaya
b. Kegiatan untuk memenuhi kebutuhan rasa aman sehingga dapat mengurangi
kecemasan, misalnya :

8
Tirja T. laluyan, dkk Ibid. 108-109

18
1) Pemberian informasi yang akurat dan terpercaya tentang berbagai peristiea
yang terjadi terkait bencana.
2) Pemberian informasi tentang tempat tempat mendapatkan bantuan sesuai
kebutuhan penyintas.
3) Pemberian informasi tentang reaksi wajar yang terjadi setelah bencana.
4) Menciptakan rutinitas, bisa saja memulai kembali rutinitas yang hilang atau
menciptakan rutinitas baru yang dapat dilakukan oleh penyintas, misalnya :
pengajian, olahraga bersama dan lain lain.
c. Kegiatan untuk menigkatkan rasa bermakna, mengubah pandangan dari korban
menjadi penyintas, misalnya :
1) Membentuk posko kesehatan, posko dapur umum atau posko informasi yang
melibatkan peran aktif penyintas.
2) Bertugas untuk mendampingi anak anak yang kesulitan atau orang lanjut usia
yang mengalami trauma.

2. Model Penanganan
Selain bentuk penganan secara individual yang disediakan kepada individu yang
mengalami masalah, pendekatan komunitas menjadi strategi utama dalam
penanganan masalah masyarakat. Model penanganan trauma berbasis komunitas
tersebut adalah sebagai berikut. Pelatihan untuk pendamping. Setiap daerah yang
menjadi sasaran penanganan konseling trauma menyelenggarakan kegiatan
pendampingan. Pendampingan artinya perkhitmatan yang diberikan subjek terlatih
kepada individu dan (beberapa individu) yang memerlukan penanganan baik yang
sifatnya individual mau- pun kelompok. Mereka yang memperoleh latihan biasanya
guru atau kelompok masyarakat yang menyediakan diri sebagai pendamping
masyarakat. Pendampingan merupakan inti kegiatan konseling trauma pertumpu
kepada komunitas. Kegiatan pendampingan merupakan layanan yang disediakan para
pendamping kepada siswa yang mengalami masalah, berisiko atas masalah, dan siapa
saja yang mengalami trauma. Inti dari kegiatan pendampingan adalah melakukan
recovery kepada individu berupa intervensi krisis jika di- jumpai ada individu yang
mengalami masalah krisis, melakukan konseling individu dan ke- lompok jiika

19
diperlukan, dan usaha usaha pencegahan agar di antara mereka yang memiliki trauma
(sesama korban) saling memberikan bantuan dukungan. Strategi dalam penanganan
trauma lebih bersifat berbasis komunitas, yaitu melibatkan pendamping dan siapa saja
yang bersedia memberikan bantuan kepada yang lainnya. Dalam kegiatan
pendampingan ini sebagian ada yang menempatkan “koordinator lapang” berupa
voluntir dari universitas untuk meman- tau dan memberikan layanan langsung kepada
individu yang bermasalah (untuk masa yang cukup sekitar tiga bulan). Meskipun
lebih berbasis pada kesediaan para pendamping yang telah dilatih dalam memberikan
penangangan recovery.9

3. Konseling Trauma
Layanan konseling trauma pada prinsipnya dibutuhkan oleh semua korban selamat
yang mengalami stres dan depresi berat, baik itu orang tua maupun anak-anak. Anak-
anak perlu dibantu untuk bisa menatap masa depannya dan membangun harapan baru
dengan kon- disi yang baru pula. Bagi orang tua, layanan konseling trauma akan
membantu mereka memahami dan menerima kenyataan hidup saat ini; untuk
selanjutnya mampu melupakan semua tragedi dan memulai kehidupan baru. Di
samping untuk menstabilkan kondisi emosional, layanan konseling trauma bagi orang
tua idealnya juga memberikan keterampilan yang dapat dijadikan modal awal
memulai kehidupan baru dengan pekerjaan-pekerjaan baru sesuai kapasitas yang
dimiliki dan daya dukung lingkungan. Dengan demikian, mereka bisa sesegera
mungkin menjalani hidup secara mandiri sehingga mereka tidak terus-menerus
menyandarkan ke- hidupannya pada orang lain, termasuk pada pemerintah. Untuk
mencapai efektivitas layanan, konseling trauma dilakukan dengan dua format, yaitu:
a) Format individual (untuk korban yang tingkat stres dan depresinya berat), dan
b) Format kelompok (untuk individu yang beban psikologisnya masih pada derajat
sedang).

Sebelum pelaksanaan layanan konseling diberikan, langkah pertama adalah


menciptakan rasa aman. Bagi individu yang mengalami trauma, dunia ini dirasa tidak

9
Latipun. Pemulihan Trauma Berbasis Komunitas: Pengalaman Indonesia Dalam Intervensi Trauma Massal.
(Universitas Muhammadiyah Malang: Jurnal Sains dan Praktik Psikologi,2014) Hal 278-285

20
aman dan nyaman. Oleh sebab itu, mereka memerlukan orang lain yang bisa
memberikan perlindungan dan rasa nyaman pada mereka, sehingga mereka merasa
tidak sendirian dalam hidup ini. Penciptaan rasa aman teresebut bisa dilakukan
dengan mengadakan permainan yang bisa mendorong individu untuk melupakan
sejenak peristiwa traumatis yang dialaminya. Bagi individu yang mengalami trauma
karena perampokan di tempat kerja, penciptaan rasa aman bisa dilakukan dengan
memberi izin untuk tidak masuk kerja dalam beberapa hari; dan bagi yang kena
rampok di rumah, bisa dilakukan dengan pindah rumah buat sementara. Pendekatan
klasikal bisa diterapkan untuk kasus-kasus yang berhubung- an dengan rasa takut
yang tidak adaptif. Salah satu teknik yang digunakan secara luas bagi klien yang
mengalami masalah kecemasan karena peristiwa traumatis adalah disensitisasi
sistematik atau disebut dengan istilah “nirpeka beraturan”. Teknik ini didasarkan atas
prinsip classical conditioning. Asumsi dasar yang mendasari teknik ini adalah bahwa
semua perilaku individu terbentuk melalui pengalaman atau hasil belajar, dan untuk
mengubah, memodifikasi atau menghilangkan perilaku tersebut juga melalui belajar.
Oleh sebab itu, responsi terhadap kecemasan itu bisa dipelajari atau dikondisikan dan
proses ini disebut dengan terapi. Sebelum disensitisasi dimulai, konselor melakukan
konseling untuk mengetahui informasi spesifik tentang kecemasan klien guna
memahami latar belakang diri klien secara komprehensif. Konselor harus
mengidentifikasi gejala- gejala trauma atau PTSD yang dialami oleh klien dengan
menanyakan kepada klien tentang kondisi atau peristiwa khusus yang memicu rasa
takut tersebut. Hal ini bisa dilakukan jika klien merasa nyaman, dan rasa nyaman itu
diciptakan oleh konselor. Setelah penyulut kecemasan terdeteksi, konselor bersama
klein menyusun daftar urutan situasi yang menyulut kecemasan dalam bentuk hirarki,
mulai dari situasi yang menimbulkan kecemasan rendah sampai tinggi. Jumlah
tahapan atau hirarki urutan kecemasan yang disusun tergantung pada tingkat
kecemasan yang dialami klien, biasanya sampai lima, enam, atau lebih. “Dalam
teknik ini, klien dilatih dulu untuk relaksasi ke- mudian secara bertahap relaksasi ini
dipasangkan dengan situasi yang me- nakutkannya sampai akhirnya ia dapat
mengatasi rasa takutnya” Proses disensitisasi dimulai dengan menyuruh klien duduk
dalam keadaan santai dan nyaman sambil memejamkan matanya. Teknik ini disebut

21
latihan rileksasi, yaitu proses penegangan dan pengenduran berbagai otot, seperti
lengan, tangan, wajah, perut, kaki, dan lain sebagainya. Setelah klien merasa rileks, ia
diminta untuk membayangkan sesuatu yang paling sedikit menimbulkan kecemasan
sesuai dengan hirarki yang telah disusun. Apabila klien masih bisa santai dalam
membayangkan peristiwa tersebut, konselor bisa bergerak maju dalam hirarki
selanjutnya sampai klien memberi isyarat bahwa pada situasi itulah dia mengalami
kecemasan, dan pada saat itu pula skenario dihentikan. Klien disuruh membuka
matanya dan disuruh duduh santai. Apabila klien tidak bersedia melanjutkan pada
hirarki kecemasan yang lebih tinggi, konselor bersama klien membahas secara
mendalam apa yang dialaminya, atau melanjutkannya pada konseling berikutnya.
Sebaliknya bila klien bersedia melanjutkan konseling, pengendoran ketegangan
dimulai lagi dan dilanjutkan dengan hirarki kecemasan yang lebih tinggi lagi. Kon
seling dihentikan manakala klien sudah tidak mengalami kecemasan lagi. Dengan
demikian, pada klien yang mengalami PTSD yang tinggi, teknik disensitisasi
cenderung dilakukan berulang-ulang.10

F. Tanda tanda orang dewasa yang membutuhkan pertolongan lebih lanjut


Berbagai bentuk gejala atau reaksi trauma yang tampil pada orang dewasa dianggap
sebagai reaksi yang wajar. Namun, reaksi trauma yang terus berkepanjangan maupun
reaksi trauma yang tertunda perlu untuk diperhatikan secara serius. Hal ini merupakan
suatu tanda bahwa orang dewasa yang mengalaminya membutuhkan pertolongan lebih
lanjut dari profesional kesehatan mental.
Tanda tanda yang perlu di perhatikan pada orang dewasa yang memerlukan bantuan
tenaga profesional kesehatan mental11 :
1. Merasa sangat sedih, kesal dan takut hampir setiap waktu dengan intensitas yang
cukup mendalam.
2. Adanya perubahan perilaku yang sangat bermakna (bahkan ada yang menampilkan
perilaku kekanak kanakan)
3. Mengalami ketidakmampuan melakukan kegiatan sehari hari, fungsi sosial
terganggu secara bermakna (kehilangan semangat untuk bekerja, tidak mampu
10
Nirwana, Herman. Konseling Trauma Pasca Bencana. (Jurusan Bimbingan dan Konseling FIP Universitas Negeri Padang, Sumatera Barat,
2010) Vol.15 No.2 Hal 123-162
11
Tirja T. laluyan, dkk Ibid. 110

22
merawat anak anak, tidak mampu mengurus rumah tangganya, menghindari
pertemuan pertemuan di luar rumah).
4. Tidak mampu memenuhi kebutuhannya sendiri (tidak bisa makan sendiri, harus di
temani jika hendak berpergian).
5. Sulit memgambil keputusan bagi diri sendiri.
6. Terus menerus memikirkan pengalaman traumatis yang terjadi di mana saja dalam
saat apapun.
7. Melakukan sesuatu prilaku tertentu secara berulang ulang.
8. Berbicara tentang keinginannya untuk bunuh diri atau melakukan percobaan bunuh
diri.
9. Menampilkan emosi yang datar.
10. Memburuknya hubungan dekat yang telah terbina.
11. Reaksi marah yang berlebihan.
12. Peningkatan penggunaan rokok, alkohol atau narkoba.
13. Merasa tidak dapat menikmati hidup, hilang gairah hidup.
14. Seringkali mudah terkejut dan mengalami mimpi buruk.

23
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Reaksi trauma orang dewasa tidak jauh berbeda dengan reaksi trauma anak-anak.
Secara fisik, orang dewasa sudah tumbuh dan berkembang secara maksimal. Oleh karena
itu, bencana dapat mengurangi ketahanan fisik orang dewasa. Banyak penyitas yang
mengeluhkan penurunan kondisi fisik akibat bencana. Tidak hanya dalam aspek fisik,
aspek pikiran dan emosi orang dewasa juga sudah tumbuh dan berkembang secara
maksimal.
Ketika berbicara tentang dampak trauma bencana bagi orang dewasa tentu hal
menarik untuk dilihat adalah bagaimana gender mempengaruhi reaksi dan dampak
trauma bencana. Perempuan sangat rentan terhadap trauma karena posisi mereka di
berbagai budaya terutama budaya yang menomorsatukan laki-laki membuat perempuan
cenderung terpinggirkan. Akibatnya, bencana semakin menambah beban mereka.
Perempuan yang ditinggal mati suaminya karena bencana tidak dapat menghindari
kenyataan hidup bahwa ia harus membesarkan anak-anaknya sendirian dan menjadi
kepala keluarga menggantikan suaminya yang meinggal. Kemudian, dampak bencana
pada laki-laki dewasa juga menjadi sesuatu yang sangat penting untuk dikaji agar
mencegah berkembangnya masalah yang serius. Hal ini terjadi karena ada kecenderungan
pada laki-laki dewasa untuk menyembunyikan masalah psikologis yang dialaminya.
Apalagi, masih banyak orang yang berpikir bahwa laki-laki terlahir untuk tetap kuat.
Sesuatu yang memalukan jika seorang laki-laki dewasa menangis atau mengalami
masalah psikologis akibat bencana karena hal merupakan suatu bentuk kelemahan diri.

24
Hal ini merupakan tantangan tersendiri bagi mereka yang ingin membantu laki-laki
dewasa.
Salah satu bentuk penanganan psikologis bagi penyintas dewasa dalam
menghadapi trauma yakni layanan konseling trauma. Layanan konseling trauma pada
prinsipnya dibutuhkan oleh semua korban selamat yang mengalami stres dan depresi
berat, baik itu orang tua maupun anak-anak. Bagi orang tua/dewasa, layanan konseling
trauma akan membantu mereka memahami dan menerima kenyataan hidup saat ini; untuk
selanjutnya mampu melupakan semua tragedi dan memulai kehidupan baru. Di samping
untuk menstabilkan kondisi emosional, layanan konseling trauma bagi orang tua idealnya
juga memberikan keterampilan yang dapat dijadikan modal awal memulai kehidupan
baru dengan pekerjaan-pekerjaan baru sesuai kapasitas yang dimiliki dan daya dukung
lingkungan.

25
DAFTAR PUSTAKA

Connors, Collins, K.,, dkk. 2010 Understanding The Impact Of Trauma And Urban Poverty On
Family Systems: Risks, Resilience, And Interventions. Baltimore, MD: Family
Informed Trauma Treatment Center.
Latipun. 2014 Pemulihan Trauma Berbasis Komunitas: Pengalaman Indonesia Dalam
Intervensi Trauma Massal. Universitas Muhammadiyah Malang: Jurnal Sains dan
Praktik Psikologi, Hal 278-285
Nirwana, Herman. 2010 Konseling Trauma Pasca Bencana. Jurusan Bimbingan dan Konseling
FIP Universitas Negeri Padang, Sumatera Barat,Vol.15 No.2 Hal 123-162
laluyan Tirja T., Sumampouw, Nathanael., Reza, M. Zulfan., dkk. 2007. Pemulihan Trauma :
Concepts and Cases. (LPSP3 Fakultas Psikologi: Universitas Indonesia
Sullivan, Evertaine Diana & Everstine Louis. 2006 Strategi Intervensi For People In Crisis,
Trauma, And Disaster Revised Edition: New York

26

Anda mungkin juga menyukai