Anda di halaman 1dari 10

Nama : Siti Hajar Pulungan

Bp : 1920242004
Sistem Pertanian Berkelanjutan

Pertanian Organik

A. Pengertian dan Tujuan Pertanian Organik

Sistem pertanian organik adalah suatu sistem pertanian yang berusaha untuk
mengembalikan segala jenis bahan organik kedalam tanah baik pada bentuk residu
maupun olahan limbah tanaman dan ternak yang bertujuan untuk menyediakan hara
bagi tanaman. Sasaran utama dari sistem pertanian organik adalah untuk
mengembalikan kesuburan dan produktifitas tanah.
Adapun visi dan misi pertanian organic adalah:
Visi
Visi Organik  adalah mengembangkan budidaya pertanian dengan basis pertanian
organik, Energi Hijau, dan pola penghematan secara menyeluruh.
Misi                
Misi pertanian Organik  adalah menerapkan dan mengembangkan teknik
budidaya organik berbiaya murah, membangun mekanisme komunikasi, dan kondisi
ekonomi,sosial masyarakat petani Indonesia.
Tujuan Sistem Pertanian Organik
1. Menghasilkan produk pertanian yang berkualitas tinggi.
2. Membudidayakan tanaman secara alami.
3. Mendorong dan meningkatkan siklus hidup biologi dan ekosistem pertanian.
4. Memelihara dan meningkatkan kesuburan tanahdalam jangka panjang.
5. Menghindarkan segala bentuk cemaran akibat dari penerapan teknik pertanian.
6. Meningkatkan usaha konservasi tanah dan air serta mengurangi masalah erosi
akibat dari pengolahan tanah yang intensif.
7. Meningkatkan peluang pasar produk organik baik domestik maupun global.
B. Sejarah Pertanian Organik
Sistem pertanian organik sebenarnya adalah sistem pertanian yang pertama kali
dilakukan oleh manusia, bahkan sejak zaman manusia purba. Cara bertani yang
dilakukan dengan memanfaatkan ekologi hutan diyakini sebagai salah satu sistem
produksi pangan yang dilakukan pada masa prasejarah.
Campur tangan bahan kimia dimulai dari penggunaan pupuk sintetis yang dibuat
pada abad ke-18, dalam bentuk superfosfat. Menyusul kemudian pupuk dengan bahan
dasar amonia yang diproduksi pada masa Perang Dunia I. Pupuk ini diproduksi untuk
mempercepat proses pertumbuhan tanaman pertanian demi terpenuhinya kebutuhan
pangan yang meningkat akibat perang dunia. Penggunaan bahan kimia memang
memberikan hasil yang lebih cepat dibanding dengan bahan alami, namun tentu
berdampak terhadap lingkungan alami.
1. Tahun 1920
Pada tahun 1920-an, para pakar biologi tanah mengembangkan teori biodinamika.
Teori ini digunakan untuk menanggulangi dampak negatif penggunaan bahan kimia
tanpa mengurangi hasil pertanian. Teori inilah yang kita kenal dengan sistem
pertanian organik yang digunakan saat ini.
2. Tahun 1940
Pertanian secara organik semakin berkembang dari waktu ke waktu. Awal tahun
1940-an, ahli biologi Inggris, Sir Albert Howard dan istrinya yang merupakan ahli
fisiologi tanaman, Gabriel Howard, mengembangkan sistem pertanian organik di
Eropa.

Keduanya terinspirasi dari pengalaman dan pengetahuan mereka tentang sistem


pertanian tradisional yang didapatkan saat Gabriel Howard bekerja sebagai penasehat
pertanian di daerah Pusa, Bengali, India.
Sepasang suami istri inilah yang pertama kali menggunakan prinsip ilmiah pada
berbagai metode pertanian tradisional dan alami. Karena itulah, Howard dikenal
sebagai ‘bapak pertanian organik’ dan apa yang mereka lakukan masih menjadi
‘kiblat’ oleh para petani organik dunia.
C. Perkembangan Pertanian Organik di Dunia
Pertanian organik adalah teknik budidaya pertanian yang mengandalkan bahan-
bahan alami tanpa menggunakan bahan-bahan kimia sintetis. Tujuan utama pertanian
organik adalah menyediakan produk-produk pertanian, terutama bahan pangan yang
aman bagi kesehatan produsen dan konsumennya serta tidak merusak lingkungan.
Gaya hidup sehat demikian telah melembaga secara internasional yang mensyaratkan
jaminan bahwa produk pertanian harus beratribut aman dikonsumsi, kandungan
nutrisi tinggi dan ramah lingkungan. Preferensi konsumen seperti ini dan
perkembangan ekonomi menyebabkan permintaan produk pertanian organik dunia
meningkat pesat.

Selama kurun waktu 10 tahun (1999- 2009) terjadi peningkatan yang cukup pesat
baik dari perluasan lahan pertanian organik maupun pelaku pertanian organik.
Gambar 1 memperlihatkan peningkatan luas lahan pertanian organik di dunia. Pada
tahun 1999, luas lahan pertanian organik hanya 11 juta ha, dan meningkat kira-kira
tiga kali lipat selama kurun waktu 10 tahun menjadi 37,2 juta ha. Luas lahan pertanian
organik ini menunjukkan perkembangan yang pesat di sebagian besar negara, bahkan
terdapat peningkatan pertumbuhan yang cukup tinggi untuk beberapa komoditi
pertanian organik di dunia. Walaupun perkembangan pertanian organik didunia
berkembang cepat, namun persentase luas lahan pertanian organik dunia terhadap dari
total luas lahan pertanian masih rendah yaitu 0,9 % (Tabel 1).
Sejalan dengan berkembangnya lahan pertanian organik didunia, pelaku pertanian
organik juga berkembang dengan pesat. Willer (2010) melaporkan bahwa pada tahun
2009 jumlah pelaku pertanian organik dunia adalah 1,8 juta, meningkat 0,4 juta dari
tahun 2008 (Gambar 2), cukup pesat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Kebanyakan dari pelaku pertanian organik ini berada dinegara berkembang dan
merupakan pasar yang baru muncul. Di India jumlah pelaku pertanian organik
meningkat hampir dua kali lipat. Dilaporkan juga bahwa lebih dari tiga perempat
pelaku pertanian organik berasal Asia, Afrika dan Amerika Latin. Diperkirakan
perdagangan produk organik dunia mencapai USD $ 46,1 milyar (36,2 milyar Euro)
pada tahun 2007 (IFOAM, 2009). Perdagangan produk pangan organik terbesar di
Amerika Serikat, sebesar 15,65 milyar Euro pada tahun 2008 (Gambar 3).
Menurut Gunawan (2007) permintaan luar negeri terhadap pangan organik
Indonesia meningkat, namun hanya bisa terpenuhi sebesar 5 persen dari permintaan
pasar internasional. Besarnya pasar pangan organik dunia dan kebijakan integrasi
ekonomi regional membuka peluang bagi Indonesia untuk mengekspor produk-
produk pangan organik ke pasar internasional. Hal ini dimungkinkan karena Indonesia
sumber daya yang besar baik sumber daya alam dan manusia, ada kecenderungan
bahwa pemerintah lebih peduli pada pengembangan pertanian organik karena
pemerintah ingin merevitalisasi sektor pertanian sebagai tulang punggung
pembangunan ekonomi di Indonesia (Lesmana dan Hidayat, 2008), dan biaya
produksi akan jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain, terutama
negara maju.

D. Perkembangan Pertanian organik di Indonesia


Pertanian organik modern di Indonesia diperkenalkan oleh Yayasan Bina Sarana
Bakti (BSB), dengan mengembangkan usahatani sayuran organik di Bogor, Jawa
Barat pada tahun 1984 (Prawoto and Surono, 2005; Sutanto 2002). Pada tahun 2006,
terdapat 23.605 petani organik di Indonesia dengan luas area 41.431 ha, 0,09 persen
dari total lahan pertanian di Indonesia (IFOAM, 2008). Perkembangan luas areal
pertanian organik dari tahun 2007-2011 diperlihatkan pada Gambar 4.

Pada tahun 2007 luas areal pertanian organik di Indonesia adalah 40.970 ha, pada
tahun 2008 meningkat secara tajam sebesar 409 persen menjadi 208.535 ha.
Pertumbuhan luas pertanian organik dari tahun 2008 hingga 2009 tidak terlalu
signifikan, hanya 3 persen. Luas area pertanian organik Indonesia tahun 2010 adalah
238,872.24 ha, meningkat 10 persen dari tahun sebelumnya (2009). Namun pada
tahun 2011 menurun 5,77 persen dari tahun sebelumnya menjadi 225.062,65 ha.
Penurunan terjadi karena menurunnya luas areal pertanian organik tersertifikasi
sebanyak 13 persen. Hal ini disebabkan karena jumlah pelaku (petani madu hutan)
tidak lagi melanjutkan sertifikasi produknya tahun 2011. Semakin luasnya pertanian
organik, diharapkan bisa memberikan manfaat yang lebih luas dalam pemenuhan
permintaan masyarakat akan pangan yang sehat dan berkelanjutan. Pertanian organik
saat ini telah berkembang secara luas, baik dari sisi budidaya, sarana produksi, jenis
produk, pemasaran, pengetahuan konsumen dan organisasi/ lembaga masyarakat yang
menaruh minat (concern) pada pertanian organik.
Pada tahun 2011 luas area pertanian organik tersertifikat adalah 90.135,30 hektar.
Area tanpa sertifikasi seluas 134.717,66 hektar, area dalam proses sertifikasi seluas
3,80 hektar. Area pertanian organik dengan sertifikasi PAMOR seluas 5,89 hektar
(Tabel 2). PAMOR adalah Penjaminan Mutu Organis Indonesia, sebuah penjaminan
partisipatif yang dikembangkan oleh Aliansi Organis Indonesia.

Luas lahan yang tersedia untuk pertanian organik di Indonesia sangat besar. Dari
188,2 juta ha lahan yang dapat digunakan untuk usaha pertanian, baru sekitar 70 juta
ha yang telah digunakan untuk berbagai sistem pertanian (Mulyani dan Agus, 2006),
sisanya belum dimanfaatkan dan bisa dimanfaatkan untuk pertanian organik.
Disamping itu, menurut Nurdin (2012) terdapat 11,1 juta tanah yang diidentifikasikan
sebagai tanah terlantar yang sebagian dapat digunakan untuk pertanian organik.
Pertanian organik menuntut agar lahan yang digunakan tidak atau belum tercemar
oleh bahan kimia dan mempunyai aksesibilitas yang baik. Kualitas dan luasan
menjadi pertimbangan dalam pemilihan lahan. Lahan yang belum tercemar adalah
lahan yang belum diusahakan, tetapi secara umum lahan demikian kurang subur.
Lahan yang subur umumnya telah diusahakan secara intensif dengan menggunakan
bahan pupuk dan pestisida kimia. Menggunakan lahan seperti ini memerlukan masa
konversi cukup lama, yaitu sekitar 2 tahun.
Menurut Inawati (2011), berkembangnya produsen dan komoditas organik ini
karena pengaruh gaya hidup masyarakat sebagai konsumen yang mulai
memperhatikan pentingnya kesehatan dan lingkungan hidup dengan menggunakan
produk organik yang tidak menggunakan bahan-bahan kimia sintetis buatan. Selain
itu juga karena mulai berkembangnya bisnis produk organik. Selain terus
bertambahnya luas lahan yang digunakan untuk pertanian organik, Aliansi Organis
Indonesia juga mencatat semakin meningkatnya jumlah produsen komoditas organik,
demikian juga ragam komoditas organik yang dibudidaya, merk dagang organik, dan
pemasok ke pengecer seperti super market dan restoran besar.

E. Kendala dan Solusi dalam Sistem Pertanian Organik

Kendala
a. Adanya hama transmigran dari kebun non-organik yang menyebabkan
menurunnya produksi.
b. Tanah sudah banyak mengandung residu.
c. Tanah untuk sistem pertanian organik sebaiknya tanah yang masih perawan
atau asli, sementara banyak penelitian yang menyatakan bahwa tanah
pertanian di Indonesia sudah jenuh Fosfat.
d. Pasar terbatas karena hasil produk organik hanya di konsumsi oleh kalangan
tertentu saja.
e. Kesulitan menggantungkan pasokan dari alam, contohnya pupuk yang harus
mengerahkan suplai kotoran ternak dalam jumlah besar dan kontinu.
f. Sulitnya meninggalkan kebiasaan petani yang bergantung pada pupuk dan
pestisida kimia.
Solusi
a. Sosialisasi pada masyarakat mengenai pertanian yang ramah lingkungan.
b. Menggalakkan konsumsi produk hasil pertanian organik. 
c. Diperlukan kajian lebih banyak untuk mendapatkan SAPROTAN (Sarana
Produksi Pertanian) organik yang terbaik.
Hasil dari program system pertanian organic saat ini yaitu banyaknya petani
memakai teknik system pertanian organic ini dan telah banyak produk-produk
pertanian di pasaran hasil dari pertanian organic, hanya saja harga jualnya lumayan
mahal dibandingkan produk dengan menggunakan system pertanian kimia karena
memiliki mutu yang bagus dan baik untuk kesehatan apabila dikonsumsi.

F. Praktik Pertanian Berkelanjutan di Indonesia


1. Fertilizer / pupuk
Karena pupuk sintetis tidak digunakan, membangun dan memelihara tanah yang
subur, hidup melalui penambahan bahan organik adalah prioritas bagi petani organik.
Bahan organik dapat diaplikasikan melalui aplikasi pupuk kandang, kompos, dan
produk samping hewani, seperti tepung bulu atau tepung darah. Karena potensi untuk
menyimpan patogen manusia, Standar Organik Nasional USDA mengamanatkan
bahwa pupuk mentah harus diterapkan selambat-lambatnya 90 atau 120 hari sebelum
panen, tergantung pada apakah bagian panen dari tanaman tersebut bersentuhan
dengan tanah. Pupuk kompos yang telah diputar 5 kali dalam 15 hari dan mencapai
suhu antara 55–77,2 ° C (131–171 ° F) tidak memiliki batasan waktu aplikasi.
Kompos menambah bahan organik, menyediakan berbagai nutrisi untuk tanaman, dan
menambahkan mikroba yang bermanfaat ke tanah. Mengingat bahwa nutrisi ini
sebagian besar dalam bentuk tidak mineral yang tidak dapat diambil oleh tanaman,
mikroba tanah diperlukan untuk memecah bahan organik dan mengubah nutrisi
menjadi keadaan “mineralisasi” yang tersedia secara bioavailabilitas. Sebagai
perbandingan, pupuk sintetis sudah dalam bentuk mineral dan dapat diambil oleh
tanaman secara langsung.
2. Pengendalian hama ( pesticide matter)
Pestisida organik berasal dari sumber alami. Ini termasuk organisme hidup seperti
bakteri Bacillus thuringiensis, yang digunakan untuk mengendalikan hama ulat bulu,
atau turunan tanaman seperti piretrin (dari kepala bunga kering Chrysanthemum
cinerariifolium) atau minyak neem (dari biji Azadirachta indica). Pestisida anorganik
berbasis mineral seperti belerang dan tembaga juga diperbolehkan.
Selain pestisida, pengendalian hama organik mengintegrasikan kontrol biologis,
budaya, dan genetik untuk meminimalkan kerusakan hama. Kontrol biologis
memanfaatkan musuh alami hama, seperti serangga pemangsa (mis., Kepik) atau
parasitoid (mis. Tawon tertentu) untuk menyerang hama serangga. Siklus hama dapat
terganggu dengan kontrol budaya, yang rotasi tanamannya paling banyak digunakan.
Akhirnya, pemuliaan tanaman tradisional telah menghasilkan banyak varietas
tanaman yang tahan terhadap hama tertentu. Penggunaan varietas tersebut dan
penanaman tanaman yang beragam secara genetik memberikan kontrol genetik
terhadap hama dan banyak penyakit tanaman.

G. Prospek Pertanian Organik


Pertanian organik di Indonesia memiliki prospek bisnis yang bagus. Pertama,
harganya yang tinggi di pasar, akan memberi keuntungan yang dapat meningkatkan
kesejahteraan petani organik. Dibanding dengan pertanian anorganik, harga jual hasil
pertanian alami bisa mencapai dua kali lipat bahkan lebih.
Akan semakin menguntungkan lagi, bila para petani dapat memanfaatkan limbah
alami di sekitar untuk membuat pupuk kompos maupun pupuk kandang. Artinya,
biaya pembelian pupuk bisa lebih dipangkas.
Kedua, untuk menerapkan sistem pertanian organik, petani tidak membutuhkan
lahan yang luas, terlebih dalam satu lahan yangbisa ditanami dengan berbagai jenis
tanaman. Ditambah dengan memilih jenis sayur-sayuran yang bisa ditanam secara
bergiliran, maka petani tak perlu pusing memikirkan lahan pertanian dan bisa
melakukan panen secara terus-menerus.
Indonesia memiliki potensi dan peluang yang cukup besar dalam rangka
pengembangan pertanian organik. Potensi sumber daya pertanian antara lain lahan,
tanaman, manusia, teknologi dan lain-lain, cukup tersedia. Sistem pertanian organik
sudah sejak dulu dilakukan oleh petani sebelum program BIMAS (Revolusi hijau).
Hingga saat ini masih dijumpai di beberapa daerah, petani tetap mempertahankan cara
pertanian tersebut. Oleh karena itu teknologi pengembangan pertanian organik tidak
akan menghadapi problem yang berarti dalam penerapannya. Teknologi pertanian
organik relatif tersedia dan mudah dilakukan. Teknologi pembuatan kompos, pupuk-
pupuk organik, telah siap. Jerami, pupuk kandang, sisa (limbah) tanaman, sampah
kota, juga tersedia dan melimpah serta mudah diperoleh di lapang (Tandisau, 2009).
Beberapa tahun terakhir dan di masa yang akan datang, konsumen semakin sadar
untuk mengkonsumsi produk-produk yang sehat, tidak tercemar, aman dari racun
sebagaimana yang disinyalir dihasilkan oleh pertanian modern yang banyak
menggunakan bahan-bahan sintetik dan kimia. Diperkirakan pangsa pasar produk
pertanian organik di dunia sekitar 20 % dari total produk pertanian dunia (Surip et al.
1994), dan total penjualan diperkirakan sekitar $USD 20 M (Winaryo 2002).
Sayangnya pangsa pasar produk organik di Indonesia belum termonitor. Di Indonesia,
perhatian terhadap produk organik masih kurang, namun sebagian masyarakat telah
memahami akan pentingnya mengkonsumsi makanan yang aman dan sehat. Karena
itu produk organik memiliki prospek yang cukup baik untuk dikembangkan di masa
depan, baik untuk pasar domestik maupun luar negeri. Harga pupuk dan pestisida
semakin mahal, tidak terjangkau petani sehingga petani akan mencari alternatif
pengganti yang lebih murah dan selalu tersedia dan melimpah di daerah yaitu bahan-
bahan organik (alamiah).
Harga produk pertanian organik umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan non
organik. Selisih harga mencapai ≥ 30%. Dengan penerapan teknologi pertanian
organik secara baik, diharapkan hasil yang diperoleh relatif sama dengan pertanian
non organik. Dengan demikian pendapatan petani akan meningkat, lingkungan sehat
dan aman, kondisi lahan tetap sunur, mampu memberikan hasil yang tinggi secara
kontinyu. Karena itu dengan tingkat harga yang menarik tersebut, petani akan
tergerak dan termotivasi untuk mengembangkan pertanian organik. Dukungan
pemerintah baik pusat maupun daerah sangat kuat dalam rangka pengembangan
pertanian organik karena cara tersebut dapat mengatasi masalah lingkungan. Karena
itu, pengembangan pertanian organik di Indonesia cukup prospektif di masa depan.

Anda mungkin juga menyukai