Anda di halaman 1dari 4

NAMA : CLARAVIA ADHYNE

NIM : 031711133025 / A1

1. Dalam kasus tersebut, terlihat bahwa pelaku usaha telah melakukan pelanggaran
terhadap norma hukum perlindungan konsumen yakni sebagai berikut:
- Melanggar kewajiban pelaku usaha didalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, dimana dalam Pasal 7 huruf a
pelaku usaha berkewajiban untuk beritikad baik dalam melakukan kegiatan
usahanya, namun dalam kasus diatas pelaku usaha dari awal sudah mempunyai
itikad yang tidak baik terhadap konsumen yang dibuktikan dengan “Masakan yang
disajikan direstoran tersebut sebenarnya mengandung bahan babi”, namun pelaku
usaha tidak memberikan informasi secara transparan kepada konsumen.
- Pelaku usaha juga telah melanggar kewajiban pelaku usaha didalam Pasal 7 huruf
b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,
dimana pelaku usaha memiliki kewajiban untuk “memberikan informasi yang
benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta
memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan”, namun pelaku
usaha menyajikan masakan kepada seluruh konsumen tanpa memberikan
informasi secara transparan, sehingga menimbulkan keresahan bagi masyarakat
luas, mengingat di setiap gerai restoran itu ada tulisan label HALAL yang
dimaksudkan untuk memberikan keyakinan kepada konsumen bahwa setiap
masakan yang disajikan merupakan makanan yang halal, baik dari aspel bahan
maupun pengolahannya.
- Melanggar Pasal 8 ayat (1) huruf d, e, f

2. Pelaku usaha wajib bertanggungjawab untuk memberikan ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran, dan atau/ kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau/
jasa yang dihasilkan/ diperdagangkan sesuai dengan Pasal 19 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Didalam Pasal 19
ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen juga
disebutkan bahwa ganti rugi dapat berupa prengembalian uang atau penggantian
barang dan/ atau jasa yang sejenis/setara nilainya.
Sanksi yang dapat ditegakkan terhadap pelaku usaha:
- Sanksi Administratif sesuai dengan Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan berdasarkan Pasal 60 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, dimana
sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp. 200.000.000
(dua ratus juta rupiah).
- Sanksi pidana sesuai dengan Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen yakni berupa pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000, 00 (dua miliar
rupiah). Lalu lebih lanjut didalam Pasal 63 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen, telah dijelaskan bahwa Terhadap sanksi pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan,
berupa:
a. perampasan barang tertentu;
b. pengumuman keputusan hakim;
c. pembayaran ganti rugi;
d. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian
konsumen;
e. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
f. pencabutan izin usaha

3. Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga
yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau
melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum sesuai dengan Pasal 45
ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar
pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa sesuai Pasal 45
ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
4. Jika telah dipilih penyelesaian secara damai di luar pengadilan, maka substansi nya
adalah untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi
dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau
tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen sesuai dengan
Pasal 47 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
5. Sesuai dengan Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen, maka yang memiliki hak gugat (legal standing) berdasarkan
ketentuan UUPK adalah:
a. seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
b. sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;
c. lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu
berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan
dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan
perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran
dasarnya;
d. pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi
atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang
tidak sedikit.
Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
huruf c, atau huruf d diajukan kepada peradilan umum sesuai Pasal 46 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
6. Kewenangan BPSK telah diatur didalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang meliputi:
a. melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara
melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;
b. memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
c. melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
d. melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam
Undang-undang ini;
e. menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang
terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
f. melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;
g. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap
perlindungan konsumen;
h. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap
mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang ini;
i. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau
setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia
memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen;
j. mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna
penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
k. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;
l. memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran
terhadap perlindungan konsumen;
m. menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan
Undang-undang ini.
Jenis penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK:
Untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen, badan penyelesaian
sengketa konsumen membentuk majelis (Pasal 54 ayat (1)) . Jumlah anggota majelis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ganjil dan sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang
yang mewakili semua unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (3), serta
dibantu oleh seorang panitera sesuai Pasal 54 ayat (2) Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen.
- Prosedur Konsiliasi:

1. Majelis memanggil konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa; 


2. Apabila diperlukan, majelis memanggil saksi dan ahli; 
3. Majelis bersifat pasif dan proses penyelesaian sengketa diserahkan
sepenuhnya kepada konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan, baik
bentuk dan jumlah ganti ruginya;
4. Majelis menerima hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dan
mengeluarkan keputusan;
5. Hasil penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi dibuat
dalam perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh konsumen dan pelaku
usaha.  

- Prosedur Mediasi:
1. Majelis memanggil konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa; 
2. Saksi dan ahli dipanggil oleh majelis apabila diperlukan; 
3. Majelis bersifat aktif mendamaikan dan memberikan saran terkait
sengketa konsumen; 
4. Majelis menerima dan mengeluarkan ketentuan terkait hasil
musyawarah konsumen dan pelaku usaha;
5. Hasil penyelesaian sengketa konsumen dengan cara mediasi dibuat
dalam perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh konsumen dan
pelaku usaha.Hasil dari konsiliasi dan mediasi tidak memuat sanksi
administratif.

- Prosedur Arbitrase:

1. Para pihak memilih arbitor untuk menjadi Ketua dan Anggota Majelis; 
2. Pada hari sidang pertama, Ketua Majelis wajib mendamaikan kedua
pihak yang bersengketa; 
3. Hasil penyelesaian sengketa konsumen dengan cara Arbitrase dibuat
dalam bentuk putusan Majelis BPSK;
4. Atas putusan BPSK dimintakan penetapan eksekusi oleh BPSK ke
Pengadilan Negeri di tempat konsumen yang dirugikan. 

Putusan arbitrase Majelis BPSK dapat berupa perdamaian, gugatan


ditolak, atau gugatan dikabulkan serta dapat memuat sanksi administratif. 

7. Maksud dari Putusan BPSK yang bersifat final dan mengikat seperti dalam Pasal 54
ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen adalah
putusan majelis bersifat final yakni tidak ada upaya banding dan kasasi. Namun, khusus
putusan BPSK, meski tidak ada upaya banding dan kasasi yang dapat dilakukan terhadap
putusan BPSK, namun terhadap putusan BPSK dapat diajukan upaya hukum keberatan
kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14 hari kerja setelah menerima pemberitahuan
putusan tersebut. Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu
tersebut dianggap menerima putusan BPSK dan wajib melaksanakannya paling lambat 5
hari kerja setelah melampaui batas waktu mengajukan keberatan. 
Jika pelaku usaha tidak melaksanakan putusan tersebut, maka BPSK dapat melimpahkan
putusan tersebut kepada penyidik untuk melakukan penyidikan sesuai ketentuan
Undang-Undang yang berlaku. 
Putusan BPSK bersifat final dan mengikat. Apabila para pihak menolak putusan BPSK,
maka: 

1. Para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14
hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut; 
2. Pengadilan Negeri wajib mengeluarkan putusan atas keberatan yang diajukan, paling
lama 21 hari sejak diterimanya keberatan;
3. Pelaku usaha yang tidak puas dengan putusan Pengadilan Negeri dapat mengajukan
kasasi ke Mahkamah Agung dalam jangka waktu paling lambat 14 hari. Mahkamah
Agung akan mengeluarkan putusannya paling lambat 30 hari sejak menerima
permohonan kasasi atas keberatan tersebut. 

Anda mungkin juga menyukai