Anda di halaman 1dari 5

1.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara hukum, pernyataan ini memberikan konsekuensi bahwa segala tindakan yang

dilakukan harus berdasarkan pada peraturan hukum.Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan

hukum yang berlaku disuatu negara yang berisi ketentuan tentang perbuatan yang tidak boleh

dilakukan dengan ancaman bagi yang melakukannya. 1 Arnold H.Lowy sebagaimana yang dikutip oleh

Eddy Hiariej mengatakan salah satu karateristik hukum pidana yang membedakan dengan hukum

lainnya adalah adanya sanksi pidana.2

Jenis sanksi pidana yang ada dalam perundang-undangan pidana secara jelas diatur dalam KUHP pada

Pasal 10 yang terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan.3 Pidana pokok terdiri dari pidana mati,

pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda serta jenis pidana baru yang ditambahkan melalui

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan. Sedangkan pidana tambahan

terdiri dari pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan pengumuman putusan

hakim.

Pidana penjara merupakan jenis sanksi pidana yang jumlahnya paling banyak dirumuskan sebagai

ancaman pidana dalam KUHP. Terlihat dari 776 ancaman pidana yang dirumuskan, 575 diantaranya

diancam dengan pidana penjara (kurang lebih74,10%) baik dirumuskan secara tunggal maupun

dirumuskan secaraalternatif dengan jenis pidana lainnya.4

Pidana penjara di Indonesia dilaksanakan melalui sistem pemasyarakatan berdasarkan Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Pasal 1 butir 2 Undang-Undang tersebut memberikan

pengertian sistem pemasyarakatan sebagai suatu tatanan mengenai arah dan batas, serta cara pembinaan

warga binaan Lembaga Pemasyarakatan berdasarkan pancasila yang dilaksanakan secaraterpadu untuk

1
Moeljatno, 2009, Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta, Rinneka Cipta, hlm. 1.
2
Eddy O.S Hiariej, 2014, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Yogyakarta, Cahaya Atma Pustaka, hlm. 13.
3
Moeljatno, 2001, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta, Bumi Aksara, hlm. 5.
4
Barda Nawawi Arief, 2010, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan PidanaPenjara, Yogyakarta,
Genta Publishing, hlm. 73
meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan. Hal tersebut dilakukan agar warga binaan

menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat

diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, berperan aktif dalam pembangunan, dan dapat hidup

secara wajar sebagai warga yang baik serta bertanggung jawab.

Bertitik tolak dari pemahaman mengenai sistem pemasyarakatan tersebut, pada perkembangannya

pidana penjara banyak menemui kendala dan hambatan dalam mencapai fungsi dari Lembaga

Pemasyarakatan. Dewasa ini Lembaga Pemasyarakatan sering kali dijadikan sebagai tempat kuliahnya

para penjahat yang akan melahirkan penjahat yang lebih profesional.5 Selain itu juga terdapat fenomena

kelebihan penghuni di Lembaga Pemasyarakatan dari kapasitas semestinya sebagaimana terlihat di

Lembaga Pemasyarakatan di Provinsi Lampung sebagai berikut:

Tabel 1. Data Jumlah Penghuni Lapas di Lampung pada Bulan Desember 2019

No. UPT Kapasitas Penghuni Kelebihan


Lapas Lapas Kapasitas (%)

1 LAPAS KELAS 1 BANDAR 620 1.201 94


LAMPUNG

2 LAPAS KELAS II A 300 506 178


KALIANDA

3 LAPAS KELAS II A KOTA 178 438 146


BUMI

4 LAPAS KELAS II A METRO 489 574 17

5 LAPAS KELAS II B GUNUNG 350 720 106


SUGIH

6 LAPAS KELAS II B KOTA 250 397 59


AGUNG

7 LAPAS KELAS 11 B WAY 250 509 104


KANAN

8 LAPAS NARKOTIKA KELAS 668 1.170 75


II A BANDAR LAMPUNG

9 LAPAS PEREMPUAN KELAS 252 342 36


II A BANDAR LAMPUNG

Sumber :Sistem Database Pemasyarakatan, Data Jumlah Penghuni Lapas Provinsi Lampung pada bulan
Desember 2019.6
5
Tongat, 2001, Pidana Kerja Sosial Dalam Pembaharuan Hukum Pidana, Jakarta, Djambatan, hlm. 49.
6
Sistem Database Pemasyarakatan, Data Jumlah Penghuni Lapas Perkanwil di Indonesia pada bulan Desember 2019,
Direktoral Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Ham Republik
Indonesia,http://smslap.ditjenpas.go.id/public/grl/current/monthly, diakses pada tanggal 17 Desember 2019
Kapasitas yang berlebih di Lembaga Pemasyarakatan menyebabkan ruang gerak yang terbatas dalam

melakukan aktivitas sehari-hari. Para penghuni cenderung berdesak-desakan sehingga dapat

menyebabkan perkelahian dan bentrok antar sesama narapidana. Hal ini terakumulasi sehingga dapat

mengakibatkan kerusuhan dan narapidana melarikan diri dari Lembaga Pemasyarakatan. Permasalahan

tingginya batas maksimal kapasitas Lapas di Indonesia merupakan permasalahan kronik yang gejalanya

selalu timbul setiap tahun, yaitu banyaknya kasus kerusuhan yang terjadi di dalam lapas dan rutan.

Insiden kerusuhan Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta, Medan, Sumatra Utara adalah salah satu

contoh kerusuhan yang diakibatkan oleh kapasitas Lembaga Pemasyarakatan yang sudah berlebih.

Jumlah hunian di Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta terhitung 11 Juli 2013 adalah 2.600 orang

yang terdiri dari 2.594 orang narapidana dan 6 (enam) orang tahanan. Jumlah tersebut melebihi batas

maksimal daya tampung sebesar 147% dari kapasitas maksimal yang seharusnya 1.054 orang.

Terjadinya kelebihan kapasitas tersebut menjadi salah satu pemicu kerusuhan ketika terjadi

pemadaman listrik dan pemadaman air di Lembaga Pemasyarakatan tersebut pada tanggal 11 Juli 2013.

Akibat dari kerusuhan tersebut, 5 (lima) orang meninggal dunia dan 150 orang narapidana melarikan

diri.7

P.A.F. Lamintang menyatakan bahwa pidana penjara adalah suatu pidana pembatasan kebebasan

bergerak seorang terpidana, dengan menempatkannya dalam Lembaga Pemasyarakatan dan mentaati

semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalamnya.8 Dengan adanya pembatasan ruang gerak

tersebut, maka secara otomatis ada berbagai hak-hak kewarganegaraan yang juga ikut terbatasi,seperti

hak untuk memilih, hak memegang jabatan publik, dan lain-lain.Barda Nawawi Arief mendefinisikan

bahwa setiap pidana penjara yang diputus dibawah 6 bulan adalah pidana penjara jangka pendek.9

Mengenai masalah efektifitas pidana perampasan kemerdekaan, R.M.Jackson sebagaimana dikutip oleh

Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa pidana perampasan kemerdekaan termasuk jenis pidana

yang kurang efektif.Pandangan ini didasarkan studi yang telah dilakukannya dengan membandingkan

rata-rata angka pengulangan tindak pidana kejahatan atau residivis cenderung lebih tinggi setelah orang

7
Lucky Pransiska, “Denny: Kapasitas 1054 Orang, Lapas Tanjung Gusta Dihuni 2.600 Orang”,
Kompas.com,http://nasional.kompas.com/read/2013/07/12/0927195/Denny.Kapasitas.1.054.Orang.Lapas.Tanjung.Gusta.Di
huni.2.600.Orang, diakses pada tanggal 18 Desember 2019
8
P.A.F Lamintang, 1988, Hukum Penitensier Indonesia, Bandung, Armico, hlm. 69.
9
Barda Nawawi Arief, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung, PT Citra Aditya Bhakti, hlm. 35.
tersebut dijatuhi pidana perampasan kemerdekaan daripada bukan pidana perampasan kemerdekaan.10

Upaya untuk mencari alternatif pidana perampasan kemerdekaan bertolakdari kenyataan bahwa pidana

perampasan kemerdekaan semakin tidak disukai baik pertimbangan kemanusiaan, pertimbangan

filosofis, maupun pertimbangan ekonomis.11

Merujuk berbagai studi bahwa pidana perampasaan kemerdekaan cenderung membawa narapidana

kearah hal-hal yang negatif selama di Lembaga Pemasyarakatan, Indonesia dan negara-negara di dunia

dewasa ini mulai mencari alternatif penggunaan pidana tersebut, salah satunya adalah pidana kerja

sosial.12 Saat ini pidana kerja sosial belum diformulasikan dalam peraturan perundang-undangan yang

ada di Indonesia, namun jika dicermati, terdapat perumusan sanksi tindakan dalam Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang mirip dengan sanksi pidana kerja

sosial namun dengan nomenklatur yang berbeda, yakni pidana dengan syarat pelayanan masyarakat.13

KUHP yang masih berlaku sampai sekarang dirasa sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan

zaman dan kondisi masyarakat Indonesia saat ini.Indonesia masih melakukan upaya pembaharuan

dalam hukum pidana.Upaya pembaharuan tersebut dianggap sangat penting dalam agenda

kebijakan/politik hukum di Indonesia.14 Rancangan Undang-Undang KUHP Tahun 2019, dalam Pasal

85 sudah memasukkan pidana alternatif pidana penjara paling lama 6 bulan. Dalam RUU KUHP

tersebut, hakim dapat memilih pidana kerja sosial menjadi sanksi pidana manakala hakim akan

menjatuhkan pidana penjara paling lama 6 bulan atau denda yang tidak melebihi kategori II.15 Pidana

kerja sosial (community service order) yang diadopsi dalam RUU KUHP merupakan salah satu jenis

pidana yang telah dilakukan oleh negara-negara Eropa seperti Belanda dan Inggris yang menjadikan

pidana kerja sosial sebagai alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan.

Berdasarkan latar belakang di atas, konsep sanksi pidana kerja sosial merupakan hal yang relatif baru di

Indonesia, sehingga penulis tertarik menyusun penelitian skripsi dengan judul “Prespektif Penerapan

Sanksi Pidana Kerja Sosial Sebagai Upaya Mengatasi Batas Maksimal Lembaga Pemasyarakatan di

Lampung”.

10
Barda Nawawi Arief, 2010, Op. Cit, hlm. 44.
11
Tongat, Op. Cit, hlm. 4.
12
Ibid, hlm.15.
13
Ibid
14
Ibid
15
Pasal 85 ayat 1 RUU KUHP 2019

Anda mungkin juga menyukai