Anda di halaman 1dari 5

2.1.

1 Pemeriksaan penunjang dan diagnosis

Media kultur yang dipakai untuk biakan C. albicans adalah Sabouraud dextrose agar/SDA dengan atau tanpa

antibiotik (Greenwood D et al, 2007). Media tersebut ditemukan oleh Raymond Sabouraud (1864-1938) seorang ahli

dermatologi berkebangsaan Perancis. Pemeriksaan kultur dilakukan dengan mengambil sampel cairan atau kerokan sampel

pada\ tempat infeksi, kemudian diperiksa secara berturutan menggunakan


23 Sabouraud’s dextrose broth kemudian

Sabouraud’s dextrose agar plate. Pemeriksaan kultur darah sangat berguna untuk endokarditis kandidiasis dan sepsis. Kultur

sering tidak memberikan hasil yang positif pada bentuk penyakit diseminata lainnya (Bhavan PS et al, 2010).

Sabouraud’s dextrose broth/SDB berguna untuk membedakan C. albicans dengan spesies jamur lain seperti

Cryptococcus, Hasenula, Malaesezzia. Pemeriksaan ini juga berguna mendeteksi jamur kontaminan untuk produk farmasi.

Pembuatan SDB dapat ditempat dalam tabung atau plate dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 24-48 jam, setelah 3 hari

tampak koloni C. albicans sebesar kepala jarum pentul, 1-2 hari kemudian koloni dapat dilihat dengan jelas. Koloni C.

albicans berwarna putih kekuningan, yang menimbul di atas permukaan media, dengan bau ragi yang khas.

Pertumbuhan pada SDB baru dapat dilihat setelah 4-6 minggu, sebelum dilaporkan sebagai hasil negatif. Jamur

dimurnikan dengan mengambil koloni yang terpisah, kemudian ditanam seujung jarum biakan pada media yang baru untuk

selanjutnya dilakukan identifikasi jamur (Muetiawati V., 2016).


(1) (2)

Gambar 2.5 (1) Pertumbuhan C. albicans dan C. dublinensis pada SDB. (2) Pertumbuhan C. albicans pada SDA
berbentuk krim berwarna putih, licin disertai bau yang khas (Manual of Clinical Microbiology, 8th ed., 2013).

Dalam buku Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine Eight Edition (2012) dijelaskan bahwa pemeriksaan

mikroskopis langsung pada spesimen untuk mengetahui adanya yeast atau isolasi yeast dalam kultur mengkonfirmasi adanya

infeksi. Pada infeksi kandida superfisial, diagnosis dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan kulit mikroskopik atau bekas luka

yang diperoleh dari permukaan kulit, kuku, atau mukosa yang menunjukkan hifa, pseudohyphae, atau sel yeast. Potassium

hydroxide smear, atau Gram atau methylene blue stain berguna untuk pengecatan langsung sel jamur. Kultur dari kuku yang

terkena infeksi kandidiasis dapat membantu mengidentifikasi agen etiologi yang menyebabkan onikomikosis (dermatofit atau

yeast). C.albicans menghasilkan koloni mukoid berwarna keputihan dalam 2-5 hari pada SDA dengan antibiotik tambahan.

Pada kandidiasis sistemik dengan erupsi, diagnosis dapat dikonfirmasi dari pemeriksaan histopatologis dan kultur jaringan

kulit dari lesi. Teknik yang lebih baru untuk mendeteksi antigen antiretroviral yang beredar (misal, Mannan atau enolase)
24
25

atau produk metabolik (misalnya, arabinitol) menunjukkan sensitivitas dan spesifitas yang lebih baik dalam pengujian serial.

Secara khusus, uji deteksi serum 1,3 β-D-glucan assay (Glucatell, Fungitell)
25 adalah uji nonkultur yang mengukur tingkat β-

glukan, komponen dinding sel jamur. Dalam sebuah penelitian multisenter yang besar, uji tersebut menghasilkan sensitivitas

tinggi (75% -100%), spesifisitas (88% -100%) dan nilai prediksi positif dengan hasil yang dapat diulang.

Pemeriksaan langsung dengan Larutan KOH dapat berhasil bila jumlah jamur cukup banyak. Keuntungan

25
pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cara sederhana, dan terlihat hubungan antara jumlah dan bentuk jamur dengan reaksi

jaringan (Greenwood D et al, 2007). Pemeriksaan langsung harus segera dilakukan setelah bahan klinis diperoleh sebab C.

albicans berkembang cepat dalam suhu kamar sehingga dapat memberikan gambaran yang tidak sesuai dengan keadaan

klinis. Gambaran pseudohifa pada sediaan langsung/apus dapat dikonfirmasi melalui pemeriksaan kultur, merupakan pilihan

untuk menegakkan diagnosis kandidiasis superfisial. Bentuk pseudohifa pada pewarnaan KOH dapat dilihat pada gambar 2.6

(Bhavan PS et al, 2010).

(1) (2)
Gambar 2.6 (1) Pseudohifa pada pewarnaan KOH (mata anak panah). (2) Budding yeast cells (anak panah). (Dikutip dari:
Murray 20).

Wood’s lamp ditemukan oleh Robert Willams Wood pada


26 tahun 1903. Pertama digunakan dalam praktik

dermatologis untuk mendeteksi infeksi jamur rambut oleh Margarot dan Deveze pada tahun 1925. Pemeriksaan Wood’s lamp
27 dermatologis. Wood’s lamp menghasilkan radiasi
adalah tes yang berguna untuk membantu dalam mendiagnosis kelainan

ultraviolet gelombang panjang yang tak terlihat pada panjang gelombang 340-450 nm (maksimum pada 365 nm). Dermatosis

tersebut memiliki karakteristik fluoresensi tersendiri. Misalnya, tinea versicolor


26 menunjukkan putih kekuningan atau oranye

tembaga. Tinea capitis menunjukkan biru-hijau (kebanyakan Microsporum spesies) atau kadang-kadang kuning kusam

(Microsporum gypseum) dan biru kusam (Trichophyton schoenleinii) (Ponka D dan Baddar F., 2012). Wood’s lamp ini kecil,

tahan lama, murah, aman dan sangat mudah digunakan. Ada beberapa kondisi dermatologis umum yang dapat didiagnosis

dengan pemeriksaan Wood’s lamp. Wood’s lamp dapat menunjukkan hasil berupa cahaya neon pada beberapa infeksi seperti

tinea capitis, tinea versicolor dan eritrasma. Tidak hanya bisa menghasilkan diagnosis yang akurat, namun juga bisa

menunjukkan lokasi yang tepat untuk mengumpulkan specimen (Suraprasit, M.D, et al., 2016). Dapat disimpulkan

bahwasanya pemeriksaan penunjang dengan Wood’s lamp tidak menjadi pemeriksaan wajib untuk infeksi kandidiasis.

Gambar 2.7 The blue-


green fluorescence under
Wood’s lamp examination.
dikutip dari Sirijaj Medical
Journal
Untuk menegakkan diagnosis infeksi kandidiasis dilakukan melalui anamnesis dan gejala klinis yang khas yang

dilihat dari pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan mikroskopik dengan menggunakan larutan

KOH dan pengecatan gram untuk melihat elemen jamur dan biakan untuk spesiesnya. Dan pemeriksaan histopatologi

dilakukan bila diagnosis meragukan. Namun, bila hasil pemeriksaan penunjang negatif dan anamnesis serta pemeriksaan

klinis positif maka tidak menyingkirkan diagnosis (Murtiastutik D., et al, 2016).

Anda mungkin juga menyukai