Anda di halaman 1dari 134

BUKU PANDUAN

CLINICAL SKILL LABORATORY


SEMESTER 1
Edisi Ke-3

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung


Jln. Prof Soemantri Bojonegoro No.1
Bandar Lampung-Indonesia
Telp / Fax : (0721) 77665

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 1


Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
………………………………………………………………………………………………………………

Buku Panduan Clinical Skill Laboratory


Semester 1
Edisi Ke-3

Cetakan Ketiga | 2015

Diterbitkan pertama kali oleh :


Tim Pengembangan KBK (Bagian CSL) Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung

Dicetak di Bandar Lampung

………………………………………………………………………………………………………
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi
buku tanpa izin tertulis dari penyusun.

TIM PENYUSUN

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 2


..:: Editor ::..

dr. Tri Umiana Soleha, M. Kes


dr. Agustyas Tjiptaningrum, Sp PK

..:: Kontributor ::..

dr. T.A. Larasati, M.Kes


dr. Nurul Islami, M.Kes
dr. Susianti, M.Sc
dr. Hanna Mutiara
dr. Dian Isti Anggraeni
dr. Iswandi Darwis
dr. Novita Carolia, M.Sc
dr. Muhammad Aditya

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan
kekuatan serta kemudahan sehingga penyusun dapat menyelesaikan buku

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 3


panduan Clinical Skill Laboratorium (CSL) Semeter 1 ini. Buku ini disusun sebagai
panduan bagi mahasiswa maupun instruktur dalam proses pembelajaran CSL
pada Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) di Fakultas Kedokteran Universitas
Lampung (FK Unila) semester 1 tahun ajaran 2015-2016.

Penyajian yang sama dengan tahun sebelumnya dimana CSL tahun


ajaran 2015-2016 ini tidak masuk ke dalam blok yang berjalan. Selain itu revisi
kurikulum tahun 2012 juga berefek pada materi CSL yang disajikan. Akan tetapi,
materi yang diberikan tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
Pada semester 1 ini, mahasiswa diperkenalkan dengan CSL yang mencakup
ketrampilan komunikasi sambung rasa percaya diri dan hubungan dokter
pasien. Pada pemeriksaan fisik diberikan materi mengenai General Survey dan
Vital Sign. Laboratorium memberikan kontribusi pengenalan mikroskop dan
penulisan laporan ilmiah. Sedangkan keterampilan prosedural diberikan materi
mengenai pengenalan alat bedah minor, prinsip sterilitas, dan cuci tangan
WHO. Buku panduan ini disusun dengan mengacu pada kompetensi yang harus
dimiliki oleh seorang dokter yang tertuang dalam Standar Kompetensi Dokter
Indonesia (SKDI) tahun 2012.

Penyusun mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada


konributor yang telah memberikan masukan demi memperkaya materi buku ini,
pengelola KBK PFK unila, maupun pihak-pihak lain yang turut membantu hingga
selesainya buku ini.

Dengan segala kekurangan dan keterbatasan yang ada, semoga buku


ini dapat digunakan dengan sebaik-baiknya. Untuk kesempurnaan
penyempurnaan berikutnya kritik dan saran dapat diharapkan.

Bandar Lampung, 2015

Editor

DAFTAR ISI

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 4


Kata Pengantar ............................................................................................ 4
Daftar Isi....................................................................................................... 5
Daftar Materi Clinical Skills Lab.................................................................... 6
Regulasi CSL.................................................................................................. 7
Lesson Plan & Level of Competences............................................................ 11
CSL 1. Sambung Rasa dan Percaya Diri......................................................... 13
CSL 2. Hubungan Dokter - Pasien................................................................. 20
CSL 3. Cuci Tangan WHO.............................................................................. 30
CSL 4. General Survey................................................................................... 38
CSL 5. Vital Sign............................................................................................ 51
CSL 6. Pengenalan alat kedokteran.............................................................. 67
CSL 7. Pengenalan Mikroskop...................................................................... 104
CSL 8. Patient Safety.....................................................................................118

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 5


DAFTAR MATERI CLINICAL SKILLS LAB (CSL)
SEMESTER 1

Semester : 1
Angkatan Tahun : 2015 Tahun Ajaran : 2015/2016

Jenis Keterampilan CSL


No Judul CSL Pemeriksaa
Komunikasi Prosedural Laboratorium
n Fisik

1 Sambung Rasa Percaya Diri √ - - -

2 Hubungan Dokter-Pasien √ - - -
3 Patient Safety √ - - -
4 Cuci Tangan WHO - - √ -
5 Prinsip Sterilitas - - √ -
6 General Survey - √ - -
7 Vital Sign - √ - -
Pengenalan alat bedah
8 - - √ -
minor
9 Pengenalan Mikroskop - - - √
10 Penulisan laporan ilmiah - - - √

Per Kelompok
Kuliah Besar

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 6


REGULASI CSL
TATA TERTIB :
a. Tata tertib umum
1. Mahasiswa diwajibkan mengikuti semua kegiatan blok CSL 3, yaitu :
 Latihan keterampilan klinik/ CSL, 2 kali seminggu ( Rabu pukul 08.40
– 10.20 WIB dan Jumat pukul 13.00 – 14.40 WIB kecuali jika ada
libur nasional akan disesuaikan).
 Pretest, yang akan diberikan sebelum latihan CSL di pertemuan
pertama
 Inhal dan tugas, bila mahasiswa tidak lulus pretest
 Briefing OSCE dan remediasi
2. Berpakaian rapi
 Tidak diperbolehkan memakai kaus oblong, celana blue jeans,
sandal/sepatu sandal khusus mahasiswi tidak diperbolehkan
berbaju ketat, transparan dan tanpa lengan atau terlihat ketiak
serta harus memakai rok minimal di bawah lutut.
 Rambut harus rapi, tidak diperbolehkan berambut gondrong
untuk laki-laki
 Kuku harus pendek, bersih, dan tidak menggunakan cat kuku
3. Sopan santun dan etika
 Jujur dan bertanggung jawab
 Disiplin
 Tidak merokok di lingkungan kampus
 Tidak diperbolehkan membawa senjata tajam, NAPZA, alat-alat
yang tidak sesuai dengan tupoksi sebagai mahasiswa.
 Tidak diperbolehkan membuat kegaduhan

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 7


 Tidak diperbolehkan memalsukan tanda tangan PA atau para dosen
 Tidak diperbolehkan memalsukan dokumen
 Tidak diperkenankan melakukan kecurangan dalam bentuk apapun
pada saat CSL dan OSCE.
4. Mentaati peraturan akademik FK Universitas Lampung dan peraturan
akademik Universitas Lampung

b. Tata tertib Khusus


1. Kegiatan CSL setiap topik terbagi atas 2 sesi.
2. Pada kegiatan CSL terdapat 2 buku, yakni Buku Panduan CSL dan Buku
Kegiatan CSL yang wajib dibawa setiap sesi.
3. Keikutsertaan 100%.
4. Harap hadir tepat waktu.
5. Jika terlambat ≤ 15 menit dapat mengikuti CSL dengan pre-test susulan di
ruang administrasi CSL dan nilai pre-test dikurangi 10 poin.
6. Jika terlambat >15 menit tidak diperkenankan mengikuti CSL.
7. Pada Sesi 1 akan dilakukan pre-test secara serentak dan dikumpulkan pada
instruktur penanggung jawab pre-test yang bertugas
8. Pelaksanaan pre-test dilakukan serentak di ruang CSL dengan instruktur
masing-masing, atau dikumpulkan di ruang tertentu untuk jenis
keterampilan tertentu seperti keterampilan Laboratorium
9. Saat pre-test mahasiswa tidak diperkenankan melakukan kecurangan
seperti mencontek atau bekerjasama dengan temannya, dan akan langsung
ditarik lembar jawabannya dan jawaban dianulir.

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 8


10. Pada akhir sesi 1 akan diumumkan mahasiswa/i yang mendapat nilai pre-
test <70 dan penugasannya yang wajib dikumpulkan sebelum CSL sesi 2
pada instruktur penanggung jawab pre-test.
11. Jika tugas tidak dikumpulkan tepat waktu dan jika mendapat nilai tugas
<60 maka akan mendapatkan tugas ke-2.
12. Jika tugas 1 dan 2 tidak dikumpulkan dan atau nilai tugas ke-2 <60 maka
CSL yang bersangkutan dianggap tidak hadir.
13. Pada Sesi 2 mahasiswa melakukan keterampilan klinik dengan dinilai oleh
rekannya dibawah pengawasan instruktur.
14. Penilaian dilakukan pada buku kegiatan mahasiswa dan ditandatangani
oleh instruktur saat pelaksanaan skills lab berlangsung sebagai bukti otentik
latihan serta tidak boleh disobek.
15. Nilai pada ceklist latihan terdapat nilai 0, 1, dan 2. Jika poin tersebut tidak
dikerjakan maka diberi nilai 0, jika dilakukan tetapi masih dengan
kekurangan (tidak sempurna) maka diberi nilai 1 dan jika dilakukan dengan
sempurna maka diberi nilai 2.
16. Nilai latihan diperinci sebagai berikut :
a. < 70% : Belum terampil
b. 70% – 85% : Terampil
c. > 85% : Sangat terampil
17. Dimana nilai latihan harus ≥ 70%. Apabila <70% maka mahasiswa yang
bersangkutan diwajibkan untuk mengikuti Belajar Mandiri sebelum OSCE.
18. Mahasiswa yang tidak mengikuti kegiatan CSL baik sesi 1 atau ke-2 dengan
alasan yang dapat dipertanggungjawabkan (forced majeur) harus
mengajukan surat permohonan kepada Pimpinan Program Studi untuk
dapat diadakan CSL susulan sebelum Ujian OSCE diadakan.

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 9


19. Mahasiswa yang tidak mengikuti kegiatan CSL, tanpa alasan yang jelas/
tidak dapat dipertanggungjawabkan, tidak dapat mengikuti Ujian OSCE
20. Mahasiswa yang tidak lengkap kegiatan latihannya tidak dapat mengikuti
Ujian OSCE.
21. Pada halaman terakhir Buku Kegiatan CSL terdapat Lembar Rekapitulasi
Nilai CSL yang harus diparaf setiap selesai latihan oleh instruktur yang
bertugas.
22. Pada akhir blok, rekapitulasi nilai tersebut akan diperiksa dan diberikan
rekomendasi layak/tidaknya mengikuti OSCE oleh PJ CSL blok yang
bersangkutan.
23. Mahasiswa/i yang tidak menghadiri CSL (salah satu atau kedua kegiatan)
maka harus mendapatkan rekomendasi dari ketua program studi
kedokteran unila untuk mengikuti CSL susulan dengan menanggung biaya
pelaksanaan CSL tersebut (seperti biaya BHP dan pemeliharaan alat)
24. Hal-hal yang belum diatur dalam regulasi ini akan ditetapkan kemudian

Bandar Lampung, September 2015


Tim CSL

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 10


DAFTAR KETERAMPILAN CSL SEMESTER 1
No Materi Jenis Level Pemberian
Keterampilan kompetens materi
i
1 Sambung Rasa Percaya Diri Komunikasi 4 Perkelompok
2 Hubungan Dokter-Pasien Komunikasi 4 Perkelompok
3 General Survey Pemeriksaan fisik 4 Perkelompok
4 Vital Sign Pemeriksaan fisik 4 Perkelompok
5 Pengenalan Mikroskop Laboratorium 4 Perkelompok
6 Pengenalan alat kedokteran Prosedural 4 Perkelompok
7 Penulisan laporan ilmiah Laboratorium 4 Kuliah besar
8 Patient safety Komunikasi 4 Kuliah besar
9 Prinsip sterilitas Prosedural 4 Perkelompok
10 Cuci tangan WHO Prosedural 4 Perkelompok

LEVEL OF COMPETENCE
Level Kompetensi 1 Mengetahui dan menjelaskan
Level Kompetensi 2 Pernah melihat / didemonstrasikan
Pernah melakukan atau pernah menerapkan di bawah
Level Kompetensi 3
supervisi
Level Kompetensi 4 Mampu melakukan secara mandiri

LESSON PLAN CSL SESI 1


No Kegiatan Alokasi Waktu
1 Perkenalan instruktur dan absensi mahasiswa/i 5 menit
2 Pre Test 10 menit
3 Overview materi 5 menit
4 Demonstrasi 10 menit
5 Mahasiswa/i berlatih 60 menit
6 Feed back dan penutup 10 menit

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 11


LESSON PLAN CSL SESI 2
No Kegiatan Alokasi Waktu
1 Perkenalan instruktur dan absensi mahasiswa/i 5 menit
2 Persiapan dan pengaturan latihan 5 menit
3 Penilaian terhadap mahasiswa yang berlatih 80 menit
4 Feed back dan penutup 10 menit

..: SAMBUNG RASA DAN PERCAYA DIRI


dr. T.A. Larasati, M. Kes | dr. Hanna Mutiara

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 12


A. TEMA
Sambung Rasa dan Percaya Diri

B. TUJUAN PEMBELAJARAN
Mahasiswa mampu memahami dan menerapkan sambung rasa dan
percaya diri.

C. ALAT DAN BAHAN


 Kursi dokter dan pasien
 Meja dokter

D. SKENARIO
Zaskia, 19 tahun, datang kepada anda yang sedang bertugas di klinik
dokter keluarga. Pasien merasa cemas dan sulit tidur selama menghadapi
ujian semester. Zaskia mengaku keluhan ini sering muncul bila menjelang
ujian. Anda sebagai dokter keluarga diharapkan dapat melakukan sambung
rasa dengan baik dan percaya diri.

E. DASAR TEORI
1. Sambung Rasa
Keterampilan komunikasi sangat penting dimiliki oleh dokter yang
dalam tugasnya harus mengumpulkan informasi dari seseorang atau
sekelompok orang. Dengan komunikasi yang sederhana, cepat, dan
efektif maka akan diperoleh informasi yang akurat. Banyak kelemahan
hasil anamnesis (wawancara) disebabkan keterampilan komunikasi
yang kurang memadai serta sikap dokter yang kurang memperhatikan
aspek psikologis pasien. Atas kenyataan tersebut, maka keterampilan

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 13


komunikasi akan sangat membantu dalam melakukan tugas sebagai
dokter.

Komunikasi secara garis besar adalah proses penyampaian sinyal dan


pesan. Komunikasi dalam dunia medis berbeda dengan komunikasi
dalam bidang lain dilihat dari tiga aspek:
a. Berkaitan dengan hal yang paling penting dalam kehidupan yaitu
kesehatan. Setiap orang dalam masyarakat pada semua tahapan
dan tingkat usia, sangat memperhatikan dengan serius apa yang
dikatakan oleh dokter.
b. Dalam komunikasi medis melibatkan lebih besar emosi alamiah
dan bersifat personal.
c. Secara sosial komunikasi dalam dunia medis mengizinkan profesi
medis menyentuh tubuh pasien untuk tujuan pemeriksaan.

Adapun tujuan komunikasi dengan pasien mencakup tiga hal:


a. Membina hubungan berdasarkan rasa percaya,
b. Untuk mendapatkan informasi dari pasien,
c. Untuk menyampaikan informasi kepada pasien.

Interaksi yang baik antara dokter dan pasien membuat pasien merasa
lebih nyaman ketika memberikan informasi dan itu menjadi dasar
hubungan dokter – pasien, karena dalam keadaan sakit dapat
membuat pasien merasa terisolasi dan segan. Perasaan
ketersambungan dengan dokter, disimak dan dipahami akan
mengurangi perasaan terisolasi tersebut. Perasaan ini adalah inti dari
penyembuhan (Bickley, 2007). Berdasarkan kenyataan tersebut, dalam
komunikasi dokter-pasien perlu dilakukan sambung rasa.

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 14


Sambung rasa adalah komunikasi yang terjadi apabila gagasan dan
perasaan yang disampaikan pembawa pesan dapat menggugah dan
menggerakkan hati penerima pesan (Kamus Besar Bahasa Indonesia).

Sambung rasa merupakan suatu tahap komunikasi yang harus


diciptakan terlebih dahulu agar hal-hal yang menghambat proses
komunikasi dapat dihindari. Dengan terciptanya sambung rasa antara
dokter dan pasien, maka pasien akan senang dan tanpa beban
menjawab pertanyaan yang diajukan oleh dokter. Dalam keadaan
seperti tersebut, pasien akan memberikan jawaban dengan lancar dan
akurat, sehingga dipeoleh data informasi yang sebenarnya.

Agar tercipta adanya sambung rasa antara dokter dan pasien, maka
dokter harus berusaha membina sikap serta pandangan tertentu
terhadap pasien, yaitu agar :
a. Pasien mempercayai dokter, bahwa dokter tidak akan membuka
rahasia pasien kepada siapapun.
Misalnya : “Bapak/Ibu tidak perlu khawatir, semua yang bapak/ibu
sampaikan akan saya jaga kerahasiaannya, jadi saya harapkan
bapak/ibu dapat memberikan informasi yang sejujur-jujurnya”
b. Pasien memahami bahwa hasil wawancara akan digunakan demi
kepentingan serta kebaikan pasien.
Misalnya : ”informasi yang bapak/ibu berikan sangat penting untuk
penegakkan diagnosis penyakit bapak/ibu dan pemberian terapi
yang sesuai dengan penyakit bapak/ibu.”
c. Pasien merasakan bahwa dokter berempati kepadanya (bukan
merasa iba atas penderitaan pasien). Empati bukan simpati, empati

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 15


berarti memahami situasi dari sudut pandang orang yang
mengalaminya, sedangkan simpati mengalami emosi yang sama
dengan orang lain. Dokter dapat melakukan refleksi isi dan refleksi
perasaan untuk menunjukkan empati. Refleksi isi merupakan
refleksi dari informasi yang disampaikan oleh pasien. sedangkan
refleksi perasaan merupakan refleksi dari perasaan pasien.
d. Pasien merasa dokter memberi kesempatan kepadanya untuk
mengemukakan pendapat/informasi ataupun bertanya dengan
leluasa.
Misalnya: “Apakah dari penejelasan saya ada yang kurang jelas,
atau ada hal yang bapak/ibu yang ingin tanyakan?”
e. Pasien merasa wawancara ini merupakan percakapan yang
dilakukan individu yang sederajat (bukan interogasi).

2. Percaya diri
Percaya diri adalah yakin benar atau memastikan akan kemampuan
diri sendiri. Percaya diri seorang dokter adalah keadaan mental yang
yakin akan kemampuan dirinya dalam menjalankan profesi sesuai
standar kompetensi dokter. Agar dapat tampil percaya diri, perlu
dilakukan beberapa hal:
a. Mempersiapkan dengan baik segala sesuatu berkaitan dengan hal
yang akan dilakukan.
b. Melakukan sesuatu dengan tenang dan tidak terburu-buru.
c. Bicara dengan alur yang teratur, tidak berbelit-belit dan tidak
gugup.
d. Melakukan kontak mata dengan lawan bicara (pasien). Dengan
kontak mata, tidak hanya membantu membangun rasa percaya

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 16


diri, tetapi juga dapat menumbuhkan rasa percaya pasien pada
dokter.

3. Komunikasi Non Verbal


Komunikasi non verbal adalah pemberian pesan kepada orang lain
dengan menggunakan bahasa tubuh (gestur). Beberapa bahasa tubuh
dokter maupun pasien yang harus diperhatikan dalam sambung rasa :
• Wajah  menggambarkan emosi seseorang: marah, sedih, bahagia
• Bahu  tinggi bila tegang, turun bila relax atau santai
• Posisi kepala  tinggi menunjukkan keterbukaan, tertarik dan
dapat menguasai keadaan; rendah menunjukkan keraguan,
kelemahan, takut atau terancam.
• Postur tubuh tegap menunjukkan percaya diri.
• Gerakan tangan  gerakan tangan ke hidung mengekspresikan
ketidakpastian, gerakan tangan ke mulut mengindikasikan ragu
tehadap apa yang diucapkan
• Kaki  duduk di kursi dengan telapak kaki dalam posisi “siap lari”
menunjukkan ketidaktertarikan.

F. PROSEDUR
Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam sambung rasa adalah:
1. Berpenampilan yang sederhana, rapi, bersih, dan tepat.
2. Memberikan salam dan membuat pasien merasa disambut dengan
baik.
3. Menunjukkan tempat duduknya, dan memakai bahasa yang sesuai
antara keadaan dokter dan pasien.
4. Memperkenalkan diri.

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 17


5. Menanyakan identitas pasien.
6. Menyampaikan kalimat sambutan, tergantung apakah pasien
merupakan pasien baru, pasien follow-up atau pasien lama yang
datang untuk konsultasi kembali.
7. Memperlihatkan wajah yang ramah, bersahabat, serta sopan santun.
8. Menciptakan suasana wawancara yang santai dan menyenangkan.
9. Melakukan kontak mata, jangan ada hal yang mengganggu, seperti
komputer yang menghalangi pandangan dokter kepada pasien.
10. Bahasa tubuh dokter, merupakan komunikasi non verbal, akan
memperlihatkan sikap dokter terhadap pasien

G. REFERENSI
1. Bickley, Lynn. S. BATES Guide to Physical Examination and History
Taking (Ninth Edition). Lippincott Williams & Wilkins
2. Gan, Goh Lee, at all. 2004. A Primer On Family Medicine Practice,
Singapore International Foundation, Singapore.
3. Azwar Azrul. 1996. Pengantar Pelayanan Dokter Keluarga.Yayasan
Penerbit IDI. Jakarta
4. Mc Whinney. 1989. A Text Book of Family Medicine. Oxford
University.New York

1. CHECK LIST KETERAMPILAN SAMBUNG RASA

Skor Feed Back


No Aspek
0 1 2
I INTERPERSONAL
1 Berpakaian rapi, bersih dan tepat
2 Berkomunikasi non verbal yang

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 18


mendukung sambung rasa
II CONTENT
3 Mengucapkan salam pada awal
wawancara
4 Menunjukkan tempat duduk dan
meminta pasien duduk berhadapan
5 Memperkenalkan diri
6 Menanyakan identitas
7 Menyampaikan kalimat sambutan
sebagai pembuka
8 Melakukan kontak mata
9 Tersenyum, bersikap terbuka,
ramah dan sopan santun
10 Menyampaikan informed consent
III PROFESIONALISM
11 Melakukan dengan penuh percaya
diri
TOTAL

Nilai = ------------- x 100% = …………

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 19


..: HUBUNGAN DOKTER-PASIEN
dr. Nurul Islamy, M.Kes | dr.Hanna Mutiara

A. TEMA
Hubungan Dokter-Pasien

B. TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Tujuan instruksional umum
Mahasiswa mampu membina hubungan Dokter-Pasien dengan baik
2. Tujuan instruksional khusus
Setelah mempelajari keterampilan klinik ini diharapkan mahasiswa
mampu:
a. Melakukan komunikasi interpersonal dengan pasien dalam lingkup
bidang kesehatan.
b. Menempatkan diri sejajar dengan pasien (pasien dan keluarganya
adalah mitra kerja).
c. Membina hubungan yg terjadi antara dokter dengan pasien karena
adanya tanggung jawab & kewajiban profesi dokter terhadap
pasien.
d. Menjelaskan kedudukan dokter dan kedudukan pasien dalam
pelayanan kesehatan.
e. Menghormati hak-hak dan kewajiban baik pasien maupun dokter
f. Membina hubungan yang baik antara dokter dengan pasien secara
terus-menerus & berkesinambungan.

C. ALAT DAN BAHAN


1. Kursi (untuk dokter dan pasien)
2. Meja dokter

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 20


D. SKENARIO
Pak Rafi, 44 tahun, datang ke klinik anda dengan keluhan sakit kepala. Pak
Rafi cemas akan keluhannya karena sudah 3 hari tidak kunjung membaik
dengan obat warung. Pak Rafi memiliki riwayat darah tinggi kurang lebih
sudah 10 tahun namun tidak terkontrol dengan baik. Riwayat penyakit darah
tinggi dalam keluarga diderita oleh kedua orang tuanya, dan ibunya
meninggal karena stroke. Pak Rafi cemas apakah dirinya akan menderita
stroke sama seperti ibunya. Anda sebagai dokter keluarga diharapkan
mampu membina hubungan dokter-pasien dengan baik.

E. DASAR TEORI
Batasan
Batasan hubungan dokter pasien tidaklah mudah dirumuskan. Secara
sederhana dapat diartikan sebagai hubungan yang terjadi antara dokter
dengan pasien karena adanya tanggung jawab dan kewajiban profesi dokter
terhadap pasien. Tanggung jawab dan kewajiban profesi dokter terhadap
pasien tidak hanya terbatas pada waktu menyelenggarakan pelayanan
kedokteran saja, tetapi harus terus menerus dibina dan berkesinambungan.

Karakteristik
Dasar utama terbentuknya hubungan dokter pasien adalah karena adanya
tanggung-jawab dan kewajiban profesi. Hubungan yang terjadi tidak
terbatas hanya di bidang kesehatan saja, tetapi hampir semua aspek
kehidupan pasien. Ruang lingkup sangat luas serta ditambah ekspektasi
pasien yang sangat beraneka ragam menyebabkan peran dokter tidak hanya
tunggal, melainkan majemuk (ahli kesehatan, konselor, guru, teman).

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 21


Hubungan dokter pasien, terutama dokter keluarga berlangsung lama dan
mencakup banyak anggota keluarga (Koh et al, 1988; Mc Whinney, 1981).

Tujuan hubungan dokter pasien adalah demi kepentingan pasien dan sifat
hubungan:
1. Hubungan interpersonal
2. Hubungan administratif

Prinsip hubungan interpersonal dokter dan pasien:


o Berlandaskan rasa saling percaya
o Demi kepentingan pasien
o Memperhatikan hak dan kewajiban pasien
o Memperhatikan hak dan kewajiban dokter
o Melalui komunikasi efektif

Hak pasien
• Hak informasi: hak untuk mengetahui semua informasi yang
dibutuhkan.
• Hak akses: hak untuk memperoleh pelayanan tanpa dibedakan status
sosial, ekonomi dan budaya.
• Hak memilih: hak untuk memutuskan secara bebas penanggulangan
masalah yang dihadapinya.
• Hak keamanan: hak untuk mendapatkan pelayanan yang aman dan
efektif.
• Hak kerahasiaan: hak dijamin kerahasiaan informasi mengenai pasien.
• Hak privasi: hak mendapatkan privasi dalam pelayanan (konseling dan
pemeriksaan).

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 22


• Hak martabat: hak mendapat pelayanan yang manusiawi (dihargai dan
diperhatikan).
• Hak kenyamanan: hak untuk mendapatkan kenyamanan dalam
pelayanan.
• Hak kesinambungan: hak untuk mendapatkan jaminan ketersediaan
sarana secara lengkap dan pelayanan berkesinambungan selama
diperlukan.
• Hak berpendapat: hak untuk menyatakan pendapat secara bebas.

Kewajiban pasien
• Memberikan keterangan yang benar / berterus terang.
• Menaati kemufakatan yang telah disepakati.
• Memenuhi aturan pada sarana pelayanan kesehatan.
• Memberi imbalan jasa.
• Menyimpan rahasia pribadi dokter yang diketahuinya.

Hak dokter
 Menolak bekerja di luar standar pelayanan medik.
 Menolak tindakan yang bertentangan dengan kode etik.
 Mengakhiri hubungan profesional dengan pasien.
 Mendapatkan kehidupan pribadi (privacy).
 Memperoleh imbalan jasa.
 Menolak memberikan keterangan mengenai pasiennya.

Kewajiban dokter
 Bekerja sesuai standar profesi.
 Memberikan informed consent.
 Menolong pasien gawat darurat.

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 23


Langkah-langkah untuk dapat mewujudkan hubungan dokter pasien yang
baik:
a. Memahami diri sendiri
Langkah pertama adalah mencoba memahami diri sendiri yang
menyangkut kelebihan dan ataupun kekurangan yang dimiliki. Dengan
diketahuinya kelebihan dan kekurangan yang dimiliki tersebut, dapatlah
disesuaikan sikap dan perilaku dokter, sehingga sesuai dengan
kebutuhan dan tuntutan pasien.

b. Meningkatkan komunikasi interpersonal


Meningkatkan kemampuan komunikasi bertujuan untuk dapat mengasah
diri sehingga dapat menjadi lebih sensitive (be sensitive), dapat
menerima (be accepting) serta bersifat sabar (be patient).

c. Memahami pasien seutuhnya


Dokter yang baik tidak hanya memperhatikan keluhan yang disampaikan
pasien dan ataupun organ tubuh yang sakit saja, tetapi memperhatikan
pasien sebagaimana manusia seutuhnya. Untuk ini pemahaman tentang
kepribadian pasien, maksud kunjungan pasien, kebutuhan kesehatan
pasien serta sikap dan perilaku pasien sangat dianjurkan.

d. Melakukan komunikasi interpersonal yang baik


Langkah keempat yaitu melakukan komunikasi interpersonal yang baik
terutama pada waktu kunjungan pertama pasien ke tempat praktek.
Banyak hal yang bisa dilakukan terutama melakukan wawancara
(anamnesis) dengan baik, dengan tujuan utama adalah membina
hubungan atas dasar kepercayaan (rapport).

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 24


e. Membina komunikasi yang terus-menerus dan berkesinam bungan
Membina komunikasi yang terus menerus dan berkesinambungan antara
dokter dengan pasien, misalnya dengan menghubungi pasien melalui
telepon atau mengunjungi rumah pasien. Tetapi dalam melakukan
komunikasi yang terus-menerus dan berkesinambungan jangan sampai
menimbulkan ketergantungan atau kunjungan pasien yang berlebihan.

F. PROSEDUR WAWANCARA
• Memberikan salam.
• Membuat suasana tenteram.
• Membina rapport.
• Mempunyai waktu.
• Bagian awal; terbuka (biarkan pasien bicara dengan kata-katanya sendiri)
 patient centered.
• Pertanyaan terbuka untuk menggali masalah pasien, pertanyaan
tertutup untuk klarifikasi masalah. Terlalu banyak pertanyaan tertutup
akan mengekang pasien.
• Mendengarkan dengan pengertian dan merasakan apa yang dikeluhkan
pasien (empati).
• Menstimulasi verbal pasien.
• Melakukan refleksi isi yang berarti mengungkapkan apa yang
disampaikan pembicara/pasien dengan kata-kata kita sendiri. Refleksi isi,
dilakukan untuk mengetahui apakah informasi yang kita terima memang
sesuai dengan yang dimaksud pembicara/pasien.

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 25


• Melakukan refleksi perasaan yaitu mengungkapkan perasaan/emosi
yang dirasakan pembicara/pasien. Refleksi perasaan dilakukan untuk
mengetahui dan memastikan emosi yang dirasakan pembicara/pasien.
• Refleksi isi dan perasaan biasanya dilakukan bersama-sama
Contoh:
“Dok, saya datang lagi, sebab keluar darah banyak. Waktu itu,saya
dipasang KB apa sih? Saya takut kalau-kalau bahaya, jadi saya cepat-
cepat kesini.”
Refleksi isi:
“Oh ibu datang kembali karena ada masalah perdarahan? Bisa ibu
ceritakan lebih jelas tentang perdarahan ini ?”
Refleksi perasaan:
“Aduh saya ikut prihatin dengan kejadian ini. Ibu merasa cemas dan
takut ya?”
• Merangkum  menyusun informasi yang disampaikan oleh
pembicara/pasien dengan kata-kata kita sendiri. Merangkum dilakukan
setelah pembicara/pasien berbicara untuk jangka waktu tertentu.
Merangkum berarti mengambil intisari dari informasi yang kita terima.
Contoh:
“ jadi bapak/ibu sudah merasakan keluhan ini sejak 4 hari yang lalu dan
keluhan ini menetap meskipun bapak/ibu sudah minum obat warung,
selain itu juga ada beberapa keluhan penyerta yang membuat bapak/ibu
merasa tidak nyaman”
• Menggunakan pertanyaan terbuka yaitu pertanyaan yang menghasilkan
jawaban yang menjelaskan apa yang dipikirkan pasien, membuat pasien
ikut bertanggung jawab atas informasi yang disampaikan.
Contoh :

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 26


-Tolong jelaskan rasa sakit yang dirasakan bapak ?
-Informasi apa yang bapak inginkan ?
• Menggunakan pertanyaan tertutup merupakan pertanyaan yang
menghasilkan jawaban pendek dan spesifik: ya , tidak, setuju, 38 tahun, 3
orang, dll.
Contoh :
- Ibu mau pakai pil KB ?
- Rasa sakitnya seperti ditusuk-tusuk ?
• Menggunakan pertanyaan mendalam merupakan lanjutan dari
pertanyaan terbuka yaitu untuk mengetahui lebih lanjut pernyataan
pasien.
Contoh :
- Mengapa ibu mengatakan bahwa IUD itu kurang baik?
- Tolong jelaskan alasan bapak untuk tidak setuju melakukan olahraga
teratur
• Memberikan kesempatan pasien untuk bertanya
Contoh:
“bagaimana bapak/ibu apakah ada lagi yang ingin ditanyakan, atau
apakah dari penjelasan saya ada yang kurang jelas?”
• Menutup komunikasi pada waktu yang tepat.

G. REFERENSI
1. Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Pusat penerbitan Depdiknas. Jakarta
2. Bickley L.S. BATES; Guide to Physical Examination and History Taking
(Ninth Edition), Lippincott Williams & Wilkins
3. Gan G.L. et all. 2004. A Primer On Family Medicine Practice, Singapore
International Foundation, Singapore.

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 27


4. Azwar A. 1996. Pengantar Pelayanan Dokter Keluarga.Yayasan
Penerbit IDI. Jakarta
5. Mc Whinney. 1989. A Text Book of Family Medicine. Oxford University.
New York

2.CHECK LIST KETRAMPILAN HUBUNGAN DOKTER PASIEN


N Skor Feed Back
Aspek
o 0 1 2
I INTERPERSONAL
1 Membina rapport (menyambut dengan
ramah, salam, menyilakan duduk,

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 28


perkenalan diri, sikap terbuka,
kesejajaran)
2 Membuka pembicaraan ( meminta pasien
bicara terbuka, utk kepentingan pasien,
prinsip kerahasiaan, sehingga dapat
memercayai dokter)
3 Wajah ramah, senyum, posisi tubuh baik,
kontak mata selama interaksi
II CONTENT
4 Banyak menggunakan pertanyaan
terbuka dalam mengeksplorasi
permasalahan pasien
5 Menggunakan pertanyaan tertutup yang
sesuai
6 Mengajukan pertanyaan yang mendalam
jika diperlukan
7 Melakukan refleksi isi
8 Melakukan refleksi perasaan
9 Memberikan informasi yang benar
1 Memberikan informasi dengan bahasa
0 sederhana yang dipahami pasien
1 Memberikan informasi yang lengkap
1
1 Memberikan kesempatan pasien untuk
2 bertanya
1 Memegang kendali selama komunikasi
3
1 Menutup komunikasi pada waktu yang
4 tepat
III PROFESSIONALISM
1 Melakukan dengan penuh percaya diri
5
1 Melakukan dengan kesediaan membantu
6 & empati
1 Melakukan dengan kesalahan minimal
7
TOTAL

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 29


Nilai = ------------- x 100% = …………

..: CUCI TANGAN STANDAR WHO


dr. Dian Isti Angraini | dr. Hanna Mutiara

A. TEMA
Cuci tangan standar WHO

B. TUJUAN PEMBELAJARAN
Mahasiswa mampu memahami dan melakukan prosedur mencuci tangan
yang sesuai dengan standar WHO sebelum semua tindakan

C. ALAT DAN BAHAN


 Kran air
 Sabun cuci tangan atau alkohol 70%
 Lap tangan atau handuk kecil

D. SKENARIO
Seorang pria berusia 47 tahun datang ke klinik anda dengan keluhan luka
pada kakinya dan berbau. Diketahui dari hasil anamnesis dan pemeriksaan
laboratorium bahwa pasien tersebut mengidap diabetes. Sebelum
melakukan tindakan medis pada luka tersebut anda sebagai dokter yang
profesional melakukan cuci tangan WHO terlebih dahulu.

E. DASAR TEORI

Mencuci tangan merupakan hal sederhana yang penting untuk dilakukan


namun seringkali diabaikan. Sebenarnya, mencuci tangan merupakan
suatu keharusan untuk melindungi kita dari bahaya kuman. Banyak kuman

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 30


yang dapat ditularkan melalui tangan dan menyebabkan kita menjadi sakit,
misalnya droplet (percikan ludah) pada saat batuk atau bersin, benda-
benda yang telah terkontaminasi oleh kuman, cairan tubuh penderita
(misalnya keringat, air seni, darah). Mencuci tangan yang baik merupakan
benteng pertahanan tubuh pertama dalam mencegah kita sakit ataupun
menularkan kuman pada orang lain.

Kapan sebaiknya mencuci tangan?

Mencuci tangan umumnya dilakukan saat sebelum menyiapkan makanan,


sebelum dan setelah makan, sebelum dan setelah menyentuh orang sakit,
sesudah menggunakan kamar mandi, setelah batuk atau bersin atau
membuang ingus, setelah mengganti popok atau pembalut, sebelum dan
setelah mengobati luka, setelah membersihkan atau membuang sampah,
setelah menyentuh hewan atau kotoran hewan.

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 31


F. PROSEDUR KETERAMPILAN MENCUCI TANGAN
1. Pastikan kuku jari tangan tidak panjang
2. Lepaskan semua perhiasan yang ada (cincin, gelang, jam tangan)
3. Singsingkan lengan baju jika Anda menggunakan baju berlengan
panjang
4. Putar kran air pada posisi ‘on’ sehingga air mengalir
5. Basahi tangan sampai dengan pergelangan tangan

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 32


6. Ambil sabun cuci tangan (sebaiknya mengandung antiseptik) atau
alkohol 70% (jika menggunakan alkohol 70% tidak melakukan poin 3
dan 4)
7. Lakukan metode cuci tangan 6 langkah (dengan air mengalir jika
menggunakan sabun cuci tangan dan air):
a) Telapak tangan kanan dengan telapak tangan kiri
b) Telapak tangan kanan di atas punggung tangan kiri dan telapak
tangan kiri di atas punggung tangan kanan
c) Telapak tangan kanan dan telapak tangan kiri dengan jari saling
terkait
d) Punggung jari tangan kanan pada telapak tangan kiri dengan jari
saling mengunci dan sebaliknya
e) Ibu jari tangan kanan digosok memutar dengan telapak tangan kiri
dan sebaliknya
f) Jari-jari tangan kanan menguncup, gosok memutar ke kanan dan ke
kiri pada telapak tangan kiri dan sebaliknya
Sumber: WHO
8. Mengeringkan tangan dengan tisue, lap atau handuk bersih
9. Memutar kran air pada posisi ‘off’ dengan menggunakan tisue

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 33


G. REFERENSI
1. Azwar Azrul. 1996. Pengantar Pelayanan Dokter Keluarga.Yayasan
Penerbit IDI. Jakarta
2. Bickley, Lynn. S, BATES; Guide to Physical Examination and History
Taking (Ninth Edition), Lippincott Williams & Wilkins
3. Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia..
Pusat penerbitan Depdiknas. Jakarta
4. Gan, Goh Lee, at all. 2004. A Primer On Family Medicine Practice,
Singapore International Foundation, Singapore.
5. Mc Whinney. 1989A Text Book of Family Medicine.Oxford University.
New York

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 34


3. CHECKLIST LATIHAN CUCI TANGAN WHO
N Skor Feed Back
Aspek
o 0 1 2
INTERPERSONAL
1 Membina rapport (menyambut
dengan ramah, salam, menyilakan
duduk, perkenalan diri, sikap
terbuka, kesejajaran)
2 Informed consent
CONTENT
3 Pastikan kuku jari tangan tidak
panjang, Lepaskan semua
perhiasan yang ada (cincin, gelang,
jam tangan)
4 Singsingkan lengan baju jika Anda
menggunakan baju berlengan
panjang

51. Putar kran air pada posisi ‘on’


sehingga air mengalir

61. Basahi tangan sampai dengan


pergelangan tangan

71. Ambil sabun cuci tangan


(sebaiknya mengandung
antiseptik) atau alkohol 70% (jika
menggunakan alkohol 70% tidak
melakukan poin 3 dan 4)

8 Lakukan metode cuci tangan 6


langkah (dibawah air mengalir jika
menggunakan sabun cuci tangan
dan air):
g) Telapak tangan kanan dengan
telapak tangan kiri
h) Telapak tangan kanan di atas
punggung tangan kiri dan telapak
tangan kiri di atas punggung

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 35


tangan kanan
i) Telapak tangan kanan dan telapak
tangan kiri dengan jari saling
terkait
j) Punggung jari tangan kanan pada
telapak tangan kiri dengan jari
saling mengunci dan sebaliknya
k) Ibu jari tangan kanan digosok
memutar dengan telapak tangan
kiri dan sebaliknya
l) Jari-jari tangan kanan menguncup,
gosok memutar ke kanan dan ke
kiri pada telapak tangan kiri dan
sebaliknya
Sumber: WHO

91. Mengeringkan tangan dengan


tisue, lap atau handuk bersih

11. Memutar kran air pada posisi ‘off’


0 dengan menggunakan tisue

PROFESSIONALISM
1 Melakukan dengan penuh percaya
1 diri
1 Melakukan dengan kesalahan
2 minimal
TOTAL

Nilai = ------------- x 100% = ……………

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 36


..: GENERAL SURVEY
dr. Hanna Mutiara

A. TEMA
Keterampilan Klinis Pemeriksaan Fisik General Survey

B. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah melalui CSL ini diharapkan mahasiswa mampu untuk:
1. melakukan persiapan sebelum pemeriksaan.
2. melakukan pengamatan langsung terhadap pasien secara umum dan
keseluruhan.
3. melakukan pemeriksaan BMI.
4. menyimpulkan status sehat/sakit pasien secara umum.

C. ALAT DAN BAHAN


 Bed periksa pasien.
 Meja dan kursi periksa.
 Alkohol 70% atau set cuci tangan + lap.
 Stetoskop.
 Kapas alkohol.
 Microtoise.
 Timbangan Berat Badan.

D. SKENARIO
Anda adalah dokter di Puskesmas Sukagalau, siang itu datang pasien laki-
laki gemuk berusia 35 tahun diantar oleh keluarganya dengan keluhan

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 37


cepat lelah. Pasien tampak berkeringat banyak, nafas cepat, berpenampilan
bersih, berpakaian kaos dan celana pendek, berkulit sawo matang namun
terdapat banyak garis-garis kehitaman di belakang lehernya. Lakukanlah
pengamatan dan pemeriksaan selanjutnya!

E. DASAR TEORI
General Survey adalah melakukan observasi/pengamatan terhadap
keseluruhan status kesehatan pasien secara umum. Hal tersebut dapat
mencakup tinggi badan, berat badan, pertumbuhan dan perkembangan
seksual, postur tubuh, cara berjalan, personal hygyene, aroma tubuh dan
nafas, ekspresi wajah, reaksi terhadap lingkungan, cara berbicara dan
tingkat kesadaran.

Pengamatan tersebut dapat langsung dilakukan sejak permulaan


berhadapan dengan pasien. Seorang klinisi yang baik akan melatih
kemampuan mereka dalam melakukan pengamatan tersebut secara
berkesinambungan sehingga keahlian tersebut semakin terasah. Hal ini
penting untuk meningkatkan ketajaman dan sensitivitas seorang dokter
dalam menilai pengetahuan, sikap dan perilaku pasien sehingga dapat
menemukan perbedaan yang khas dari setiap keadaan pasien.

Banyak faktor yang berperan terhadap keadaan pasien, seperti status


ekonomi, nutrisi, keturunan, pengetahuan, penyakit terdahulu, jenis
kelamin, lokasi geografis, dan usia. Latar belakang pasien tersebut
berpengaruh terhadap status gizi: berat dan tinggi badan, tekanan darah,
postur, mood, kewaspadaan/kesadaran, keadaan rongga mulut, warna
kuku, penampakan otot tubuh dll. Pastikanlah Anda melakukan penilaian

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 38


terhadap berat badan, tinggi badan, BMI, dan resiko obesitas setiap
berhadapan dengan pasien.

Kini latihlah diri anda untuk melakukan pengamatan terhadap pasien anda
sejak pertama kali anda berinteraksi. Perhatikan bagaimana kesan pasien
ketika anda menyambutnya? Perhatikan apakah pasien berjalan dengan
mudah atau kaku? Apakah pasien dapat naik ke bed pemeriksaan dengan
mudah? Atau jika pasien menjalani perawatan inap di RS, amati pada saat
anda melakukan visite. Apakah pasien terbaring lemah? atau duduk dan
menonton tv? Perhatikan apa yang ada di sebelahnya apakah majalah?
atau kitab suci? lihat apakah pasien dipasangi alat bantu seperti kateter
urin? dan sebagainya. Hal-hal yang anda amati tersebut dapat membantu
anda dalam membuat hipotesis tentang keadaan kesehatan pasien dan
mungkin prognosisnya.
Dalam melakukan general survey, perhatikanlah:
Keadaan umum  Kesan sehat/sakit. Cobalah untuk membuat
kesimpulan umum berdasar pengamatan anda selama berinteraksi
dengan pasien. Keadaan umum dapat terbagi atas kesan sehat, kesan
sakit ringan (misalnya pasien masih dapat berjalan, tersenyum,
memperhatikan penampilan), kesan sakit sedang (pasien tampak agak
lemah, terganggu dengan keadaan sakitnya, sedikit meringgis) dan
kesan sakit berat (pasien tampak lemah, tidak dapat melakukan
aktivitas sehari-hari sendiri (membersihkan diri, menggunakan pakaian,
makan dan minum) dll
Tingkat kesadaran  Kesadaran adalah produk neurofisiologik dimana
seorang individu mampu berorientasi secara wajar terhadap diri sendiri
dan lingkungan. Sedangkan definisi yang lain yaitu keadaan yang

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 39


mencerminkan pengintegrasian rangsang aferen dan eferen. Penilaian
tingkat kesadaran dapat dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif.
Tingkat kesadaran kualitatif antara lain:

Compos mentis Keadaan sistem sensorik utuh, ada waktu tidur dan
sadar penuh serta aktivitas yang teratur.
Somnolen Keadaan mengantuk dan dapat disebut juga sebagai
letargi. Dapat bangun spontan pada waktunya atau
sesudah dirangsang dengan ringan, tapi kembali tidur
setelah stimulasi dihilangkan. Pasien mampu memberi
jawaban verbal dan menangkis rangsang nyeri.
Stupor Kantuk yang dalam. Pasien terlihat tertidur tapi dapat
dibangunkan dengan rangsang verbal yang kuat, dapat
spontan hanya waktu singkat, sistem sensorik berkabut,
dapat mengikuti beberapa perintah sederhana. Tidak
dapat diperoleh jawaban verbal dari pasien. Gerak
motorik untuk menangkis rangsang nyeri masih baik.
Semikoma/ Pasien tidak ada respon dengan rangsang verbal,
soporokomatus dengan rangsang nyeri masih ada gerakan, reflek‐reflek
(cornea, pupil dll) masih baik dan nafas masih adekuat.
Koma Koma adalah suatu keadaan tidak sadar total terhadap
diri sendiri dan lingkungan meskipun distimulasi dengan
kuat. Gerakan spontan negatif, reflek‐reflek negatif,
fungsi nafas terganggu atau negatif. Tidak ada respon
sama sekali terhadap rangsang nyeri yang
bagaimanapun kuatnya.

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 40


Sedangkan penilaian kesadaran kuantitatif menggunakan suatu
patokan yang disebut Glasgow Coma Scale (GCS)
Tanda–tanda stress  misalnya: apakah pasien menunjukkan gejala
cadiac atau respiratory distress? nyeri? Ansietas/cemas berlebihan?
atau depresi?
Tinggi dan bentuk tubuh  mintalah pasien untuk membuka alas
kakinya dan lakukanlah pengukuran tinggi badan. Simpulkan apakah
pasien tinggi atau pendek? Bentuk tubuh kurus, ramping atau pendek
gemuk? tegap atau tidak? simetris atau tidak? perhatikan apakah
pasien terlhat proporsional? perhatikan pula jika terdapat deformitas.
Berat badan  perhatikan apakah pasien kurus kering, gemuk,
obesitas, atau mungkin di antaranya? Jika pasien gemuk, perhatikan
apakah penyebaran lemaknya merata atau berpusat pada tungkai,
badan bagian atas, atau sekeliling pinggul?
Warna kulit dan lesi yang mungkin ada, atau bahkan terdapat
pembuluh darah yang melebar
Pakaian dan personal higiene  perhatikan bagaimana penampilan
pasien. Apakah pasien menggunakan pakaian yang sesuai dengan
cuaca? apakah bersih? berkancing atau beresleting? apakah sesuai
dengan usia dan nilai sosial? Lalu perhatikan alas kaki pasien apakah
menggunakan sepatu? sandal? sepatu olah raga? atau bahkan tanpa
alas kaki? Apakah pasien menggunakan perhiasan? cara menggunakan
perhiasan yang wajar? atau tindik (body piercing)? Perhatikan pula
rambut pasien, kuku jari, serta penggunaan kosmetik. Hal-hal tersebut
dapat menjadi petunjuk kepribadian pasien, mood dan gaya hidupnya.

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 41


Ekspresi wajah  perhatikan ekspresi wajah pasien saat diam, saat
berbicara, pemeriksaan fisik dan ketika berinteraksi dengan orang lain.
Amati kontak matanya, apakah natural? Terpaku tidak berkedip? atau
bergerak cepat?
Aroma tubuh dan nafas  Bau-bauan merupakan petunjuk yang
penting, misalnya bau keton pada pasien diabetes, atau bau alkohol.
Postur, cara berjalan dan aktivitas motorik  perhatikan postur
pasien, apakah pasien gelisah atau diam? berapa kali pasien merubah
posisinya? berapa cepat pergerakannya? apakah terdapat pergerakan
yang tidak disadari? apakah ada bagian tubuh yang tidak dapat
digerakkan? bagaimana cara berjalan pasien? perlahan-lahan, tampak
nyaman dan percaya diri, seimbang, atau terlihat kekakuan dari
tungkai, seperti mau jatuh, tidak seimbang, atau gangguan lainnya?

F. PROSEDUR
1. Sambung rasa sambil memulai melakukan general survey
2. Amati dan perhatikan
Keadaan umum  kesan sehat, sakit ringan, sedang, berat.
Tingkat kesadaran  komposmentis, somnolen, stupor,
soporokomatus, atau koma. Cobalah memberi beberapa
pertanyaan kepada pasien atau beri rangsang nyeri dan beri
penilaian.
Bentuk tubuh  Bentuk tubuh kurus, ramping atau pendek
gemuk? tegap atau bungkuk? simetris atau tidak? perhatikan
apakah pasien terlihat proporsional? perhatikan pula jika terdapat
deformitas.

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 42


Warna kulit dan lesi yang mungkin ada, atau bahkan terdapat
pembuluh darah yang melebar
Pakaian dan personal higiene  perhatikan bagaimana
penampilan pasien. Cara berpakaian, jenis pakaian
berkancing/resleting atau tidak, kebersihan, sesuai dengan usia
dan nilai sosial, alas kaki yang pasien gunakan, perhiasan yang
digunakan, cara menggunakan perhiasan tersebut, rambut pasien,
kuku jari, serta penggunaan kosmetik.
Ekspresi wajah  perhatikan ekspresi wajah pasien saat diam,
saat berbicara, saat pemeriksaan fisik dan ketika berinteraksi
dengan orang lain. Amati pula kontak matanya.
Aroma tubuh dan nafas  Bau-bauan merupakan petunjuk yang
penting, misalnya bau keton pada pasien diabetes, atau bau
alkohol.
Postur, cara berjalan dan aktivitas motorik  perhatikan postur
pasien, apakah pasien gelisah atau tidak? berapa kali pasien
merubah posisinya? berapa cepat pergerakannya? apakah
terdapat pergerakan yang tidak disadari? apakah ada bagian tubuh
yang tidak dapat digerakkan? bagaimana cara berjalan pasien?
3. Cuci tangan WHO sebelum memeriksa pasien
4. Lakukan pengukuran tinggi badan
Minta pasien untuk melepaskan alas kaki.
Atur posisi pasien sehingga berdiri tegak lurus di bawah microtoise
membelakangi dinding dengan kepala tegak dan pandangan lurus
ke depan. Pastikan pasien berdiri tegak, kedua lutut dan tumit
rapat, kaki lurus, tumit, pantat, punggung, dan kepala bagian
belakang harus menempel pada dinding. Untuk pasien obesitas

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 43


dimana posisi tersebut sulit dilakukan, maka tidak perlu keempat
titk tersebut menempel pada dinding, asalkan tulang belakang dan
pinggang dalam seimbang (tidak membungkuk atau tengadah).
Tarik kepala microtoise sampai puncak kepala pasien.
Baca angka pada jendela baca dan mata pembaca harus sejajar
dengan garis merah.
Angka yang dibaca adalah yang berada pada garis merah dari
angka kecil ke angka besar.
Baca angka pada skala yang nampak pada lubang dalam gulungan
mikrotoa. Angka tersebut menunjukkan tinggi pasien yang diukur.
Lanjutkan dengan menimbang berat badan pasien
5. Lakukan pengukuran berat badan
Pastikan timbangan badan berfungsi baik dan stel penunjuk pada
titik nol
Pastikan tidak ada beban tambahan ditubuh pasien yang
mempengaruhi penimbangan, dengan cara meminta pasien
melepas semua jaket, tas, perhiasan, atau barang lainnya.
Bimbing pasien untuk naik ke atas timbangan dan diam ditempat
sambil kita melihat angka yang ditunjukkan oleh jarum pengukur
tempat penunjuk berhenti
Catat hasil pengukuran.
Persilahkan pasien untuk turun dengan perlahan dari timbangan

6. Hitunglah BMI (Body Mass Index) pasien dengan menggunakan rumus:

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 44


Berat badan (kg)
Tinggi(m)2

Hasil penghitungan IMT dibulatkan satu desimal

WHO menyatakan bahwa batasan berat badan normal orang dewasa


ditentukan berdasarkan nilai body mass index (BMI) atau indeks Masa
Tubuh (IMT). Body Mass Index efektif digunakan sebagai alat untuk
mensekrening kondisi atau status gizi seseorang khususnya yang
berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan, tetapi bukan
sebagai suatu alat diagnostik.

Penilaian hasil penghitungan Body Mass Index berdasarkan WHO


populasi Asia disajikan pada tabel berikut :

Status Gizi IMT


Kurang <18.5
Normal 18.5 - <23

Overweight 23 - <25

Obesitas 25 - <27
Derajat I

Obesitas ≥27
Derajat II

Seorang dikatakan kurus bila IMT nya < 18.5 dan gemuk bila IMT nya >
23. Bila IMT >25 orang tersebut menderita obesitas dan perlu
diwaspadai karena biasanya orang tesebut juga menderita penyakit

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 45


degeneratif seperti Diabetes Melitus, hipertensi, hiperkolesterol dan
kelainan metabolisme lain yang memerlukan pemeriksaan lanjut baik
klinis atau laboratorium
7. Cuci tangan WHO setelah memeriksa pasien.
8. Tutup interaksi dengan pasien.

G. DAFTAR PUSTAKA
Bate’s barbara. 2007. Guide to physical examination. Lippincot.

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 46


4. CHECK LIST LATIHAN KETERAMPILAN PEMERIKSAAN GENERAL SURVEY
Skor Feed Back
No Aspek
0 1 2
I INTERPERSONAL
1 Sambung Rasa (Membina rapport / menyambut
dengan ramah, salam, menyilakan duduk,
perkenalan diri, komunikasi non verbal)
2 Informed consent untuk pengukuran tinggi dan
berat badan
II CONTENT
3 Amati dan perhatikan (nilai pada poin 16)
 Keadaan umum
(kesan sehat, sakit ringan, sedang, berat)
 Tingkat kesadaran
(komposmentis, somnolen, stupor,
soporokomatus, atau koma)
 Bentuk tubuh
(Bentuk tubuh kurus, ramping atau pendek
gemuk? tegap atau bungkuk? simetris?
Proporsional? Deformitas?)
 Warna kulit dan lesi
 Pakaian dan personal higiene
(Cara berpakaian, jenis pakaian
berkancing/resleting atau tidak, kebersihan,
sesuai dengan usia dan nilai sosial, alas kaki
yang pasien gunakan, perhiasan yang
digunakan, cara menggunakan perhiasan
tersebut, rambut pasien, kuku jari, serta
penggunaan kosmetik)
 Ekspresi wajah
(perhatikan ekspresi wajah pasien saat
diam, saat berbicara, saat pemeriksaan fisik
dan ketika berinteraksi dengan orang lain.
Amati pula kontak matanya)
 Aroma tubuh dan nafas
 Postur, cara berjalan dan aktivitas motorik
(perhatikan postur pasien, cara berjalan,
cara duduk, apakah pasien gelisah atau
tidak? berapa kali pasien merubah

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 47


posisinya? berapa cepat pergerakannya?
apakah terdapat pergerakan yang tidak
disadari? apakah ada bagian tubuh yang
tidak dapat digerakkan? Lainnya)
4 Cuci tangan WHO
Lakukan pengukuran tinggi badan
5 Minta pasien untuk melepaskan alas kaki
6 Atur posisi pasien sehingga berdiri tegak lurus
di bawah microtoise membelakangi dinding
dengan kepala tegak dan pandangan lurus ke
depan. Pastikan pasien berdiri tegak, kedua
lutut dan tumit rapat, kaki lurus, tumit, pantat,
punggung, dan kepala bagian belakang harus
menempel pada dinding.
7 Tarik kepala microtoise sampai puncak kepala
pasien
8 Baca angka pada jendela baca dan mata
pembaca harus sejajar dengan garis merah.
9 Catat hasil pengukuran
Lakukan pengukuran berat badan
10 Pastikan timbangan badan berfungsi baik dan
setel penunjuk pada titik nol.
11 Pastikan tidak ada beban tambahan ditubuh
pasien yang mempengaruhi penimbangan,
dengan cara meminta pasien melepas jaket,
tas, perhiasan, atau barang lainnya.
12 Bimbing pasien untuk naik ke atas timbangan
(tengah) dan diam ditempat sambil kita melihat
angka yang ditunjukkan oleh jarum pengukur
tempat penunjuk berhenti (mata vertikal!)
13 Catat hasil pengukuran
14 Persilahkan pasien untuk turun dengan
perlahan dari timbangan
15 Cuci tangan WHO
16 Hitunglah BMI (Body Mass Index) pasien
17 Tutup interaksi dengan pasien.
18 Laporkan hasil pengamatan general survey:
 Keadaan umum

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 48


 Tingkat kesadaran
 Bentuk tubuh
 Warna kulit dan lesi
 Pakaian dan personal higiene
 Ekspresi wajah
 Aroma tubuh dan nafas
 Postur, cara berjalan dan aktivitas motorik
 Tinggi badan dan Berat badan
 BMI
III PROFESIONALISM
19 Melakukan dengan percaya diri
20 Melakukan dengan kesalahan minimal
TOTAL
Nilai = ------------- x 100% = ……………

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 49


..: PEMERIKSAAN VITAL SIGN
dr. Hanna Mutiara | dr. Novita C., MSc | dr. Dian I. Angraini, MPH

A. TEMA
Pemeriksaan vital sign: suhu, tekanan darah, nadi, nafas

B. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah melalui CSL ini diharapkan mahasiswa mampu untuk:
Melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital (vital sign) meliputi pemeriksaan
tekanan darah, suhu, nadi dan respirasi rate (frekuensi pernafasan) dengan
menggunakan alat yang sesuai secara baik dan benar.

C. ALAT DAN BAHAN


 Alkohol 70% atau set cuci tangan (sabun pencuci tangan + Lap tangan).
 Sphygmomanometer (raksa dan atau aneroid).
 Stetoskop.
 Termometer.
 Stopwatch.
 Kapas dan alkohol.

D. SKENARIO
Anda adalah seorang dokter jaga pada Klinik 24 jam. Lalu datanglah Tn. Adi,
30 tahun, dengan keluhan pusing berputar sudah 3 hari. Keluhan disertai
dengan mual, muntah dan badan lemas sejak 1 hari. Setelah melakukan
anamnesis, Anda melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital pada pasien
tersebut. Lakukanlah!

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 50


E. DASAR TEORI
1. Pemeriksaan Tekanan Darah
Dalam melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital, lakukanlah
pemeriksaan tekanan darah atau pulsasi nadi terlebih dahulu. Jika
terdapat tekanan darah yang tinggi, lakukanlah pemeriksaan ulang
tekanan darah setelah melakukan pemeriksaan yang lain.

Tekanan darah pada sistem arteri bervariasi sesuai dengan siklus


jantung, yaitu memuncak pada waktu sistole dan sedikit menurun pada
waktu diastole. Beda antara tekanan sistole dan diastole disebut
tekanan nadi. Pada waktu ventrikel berkontraksi, darah akan
dipompakan ke seluruh tubuh, keadaan ini disebut keadaan sistole,
dan tekanan aliran darah pada saat itu disebut tekanan darah sistole.
Pada saat ventrikel sedang rileks, darah dari atrium masuk ke ventrikel,
tekanan aliran darah pada waktu ventrikel sedang rileks tersebut
disebut tekanan darah diastole. Tingginya tekanan darah
dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya aktivitas fisik, keadaan
emosi, rasa sakit, suhu sekitar, penggunaan kopi, tembakau, dll.

Sebelum melakukan pemeriksaan tekanan darah, pilihlah dahulu


ukuran cuff (manset) yang sesuai untuk pasien. Manset yang terlalu
kecil (sempit) dapat menyebabkan interpretasi peningkatan tekanan
darah yang salah dalam pemeriksaan.

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 51


Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih cuff (manset)
yang tepat adalah:
 Lebar manset sebaiknya meliputi 40% dari keliling lengan atas
(umumnya 12-14 cm pada manset orang dewasa).
 Panjang manset yang dapat digembungkan (bladder) sebaiknya
80% dari lingkar lengan atas (cukup panjang untuk mengelilingi
lengan atas).
 Jika Anaeroid, sebaiknya lakukan kalibrasi ulang secara periodik.

Gambar. Sphygmomanometer air raksa dan aneroid

Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum melakukan


pemeriksaan tekanan darah adalah:
 Idealnya, minta pasien Anda untuk tidak merokok atau meminum
minuman berkafein 30 menit sebelum pemeriksaan.
 Minta pasien anda untuk beristirahat 5 menit sebelum
pemeriksaan.
 Lakukan pemeriksaan pada ruang pemeriksaan yang sunyi dan
nyaman.
 Pastikan lengan yang akan dilakukan pemeriksaan terbebas dari
pakaian, tidak ada fistula, scar atau tanda lymphedema.

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 52


 Palpasi arteri brachial untuk memastikan terdapat pulsasi nadi
 Posisikan lengan pasien sedemikian rupa sehingga arteri brachial
(pada sudut antecubital) sejajar dengan tinggi jantung atau pada
interspace/intercosta ke 4.

Gambar. Posisi lengan dalam pengukuran tekanan darah

 Jika pasien dalam posisi duduk, sanggalah lengan pasien oleh meja
pemeriksaan, diatas pinggang pasien.
 Jika pasien dalam keadaan berdiri, usahakan menyangga lengan
pasien pada pertengahan dada.

2. Pemeriksaan Nadi
Melalui pemeriksaan nadi, kita dapat menghitung denyut jantung,
menentukan irama amplitudo, gelombang pulsasi dan terkadang
mendeteksi obstruksi aliran darah. Pulsasi radialis umumnya dapat
digunakan untuk menilai denyut jantung. Ketika iramanya irregular
maka lakukan evaluasi dengan mendengarkan bunyi jantung
(auskultasi menggunakan stetoskop).

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 53


Jantung bekerja memompa darah ke sirkulasi tubuh (oleh ventrikel kiri)
dan paru (oleh ventrikel kanan). Melalui ventrikel kiri, disemburkan
darah ke aorta dan kemudian diteruskan ke arteri di seluruh tubuh.
Sebagai akibatnya, timbullah suatu gelombang tekanan yang bergerak
cepat pada arteri dan dapat dirasakan sebagai denyut nadi. Dengan
menghitung frekuensi denyut nadi, dapat diketahui frekuensi jantung
dalam satu menit.

Gambar. Pemeriksaan denyut nadi

3. Pemeriksaan Pernafasan
Bernafas adalah suatu tindakan yang tidak disadari, diatur oleh batang
otak dan dilakukan dengan bantuan otot-otot pernafasan. Pada waktu
inspirasi, diafragma dan otot-otot interkostalis berkontraksi,
memperluas rongga toraks dan memekarkan paru –paru. Dinding dada
akan bergerak ke atas, ke depan, dan ke lateral, sedangkan diafragma

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 54


bergerak ke bawah. Setelah inspirasi berhenti, paru-paru akan
mengkerut, diafragma akan naik secara pasif dan dinding dada akan
kembali ke posisi semula.

Dalam melakukan pemeriksaan pernafasan, observasilah frekuensi,


irama, kedalaman dan usaha bernafas (effort of breathing). Hitunglah
frekuensi pernafasan dalam 1 menit melalui inspeksi atau
mendengarkan menggunakan stetoskop. Normalnya frekuensi
pernafasan pada orang dewasa adalah 14-20 kali/menit dengan irama
yang reguler.

Gambar. Pemeriksaan Pernafasan

4. Pemeriksaan Suhu
Suhu badan diperiksa dengan termometer badan, dapat berupa
termometer air raksa atau termometer elektrik/digital. Pemeriksaan
dapat dilakukan pada mulut, aksila atau rektum. Pengukuran suhu
melalui mulut biasanya lebih mudah dan hasilnya lebih tepat
dibandingkan melalui rektum. Rata-rata suhu tubuh yang dilakukan
pengukuran melalui mulut adalah 37 0C (98.60F). Pemeriksaan secara
rektum biasanya memberikan hasil pemeriksaan yang lebih tinggi
sebesar 0,4 – 0,5 derajat dibandingkan lewat mulut. Suhu aksila lebih
rendah 10C dari suhu mulut. Banyak pasien memilih pengukuran suhu

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 55


mulut dibandingkan rektal, namum hal ini tidak seyogyanya dipakai
pada penderita yang tidak sadar, gelisah, atau tidak dapat menutup
mulutnya (terutama jika menggunakan termometer air raksa dengan
kaca untuk menghindari termometer pecah karena pergerakan tiba-
tiba rahang pasien).

Gambar. Jenis-jenis termometer

F. PROSEDUR PEMERIKSAAN
1. Prosedur pemeriksaan tekanan darah:
a. Siapkan alat yang diperlukan (tensimeter dan stetoskop)
b. Siapkan pasien dapat dalam keadaan duduk atau berbaring

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 56


c. Lengan dalam keadaan bebas dan relaks, bebaskan dari tekanan
oleh karena pakaian.
d. Cuci tangan WHO sebelum melakukan pemeriksaan.
e. Letakkan manset pada lengan atas sedemikian rupa sehingga
pusat dari manset yang dapat digembungkan (bladder) berada
tepat di atas arteri brachialis (biasanya terletak disebelah medial
tendo biseps)
f. Ujung bawah manset berjarak 2,5 cm di atas sudut antecubital.
g. Lingkarkan manset pada lengan atas pasien secara pas (tidak
longgar dan juga tidak terlalu ketat).
h. Posisikan lengan pasien sedikit fleksi(menekuk) pada siku

Gambar. Posisi lengan sedikit menekuk pada siku

i. Untuk menentukan seberapa tinggi Anda akan memberikan


tekanan pada manset, tentukanlah perkiraan tekanan systole
dengan cara palpasi terlebih dahulu. Letakkan jari Anda diatas
arteri brachialis atau arteri radialis pasien, naikkan tekanan
manset sampai pulsasi nadi arteri tersebut hilang, lihat tekanan
pada manometer dan tambahkan 30 mmHg.

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 57


j. Turunkan tekanan manset perlahan-lahan sampai denyutan a.
Brachialis teraba kembali. Inilah tekanan sistolik palpatoar.
k. Kempiskan manset dengan segera dan tunggu 15 sampai 30 detik.
l. Ambil stetoskop dan letakkan diafragma stetoskop di atas arteri
brachialis.
m. Naikkan tekanan manset sampai tekanan yang telah ditentukan
tadi (kurang lebih 30 mm Hg di atas tekanan sistolik palpatoar).
n. Turunkan tekanan manset perlahan-lahan (2-3 mmHg/detik).
Perhatikan saat dimana denyutan arteri brachialis terdengar ini
adalah tekanan systole.
o. Turunkan terus tekanan manset sampai suara tersebut melemah
kemudian menghilang  ini adalah tekanan diastole.
p. Kempiskan manset sampai tekanan pada manometer
menunjukkan skala nol.
q. Apabila menggunakan tensimeter air raksa, usahakan agar posisi
manometer selalu vertikal, dan pada waktu membaca hasilnya,
mata harus berada segaris horizontal dengan level air raksa.
r. Penggulangan pengukuran dilakukan setelah menunggu beberapa
menit setelah pengukuran pertama.
s. Lakukan pengukuran pada lengan sebelahnya. Adakah perbedaan
hasil pengukuran? (misalnya pada keadaan lansia dan obesitas).
2. Prosedur pemeriksaan nadi:
a. Siapkan pasien dapat dalam posisi duduk ataupun berbaring,
lengan pasien dalam posisi bebas (relaks), perhiasan dan jam
tangan dilepas.

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 58


b. Periksalah denyut nadi pergelangan tangan pasien dengan
menggunakan jari telunjuk dan jari tengah anda, pada sisi fleksor
bagian lateral dari tangan penderita.
c. Raba dan beri sedikit tekanan di atas arteri radialis sehigga pulsasi
(denyutan) maksimal dapat dirasakan.
d. Perhatikan irama dan kuantitas denyutannya.
e. Jika iramanya reguler dan terasa normal, hitunglah jumlah
denyutan (frekuensi) selama 15 detik dan untuk mendapatkan
jumlah denyutan dalam satu menit kalikanlah 4 (empat). Jika
iramanya cepat atau lambat, hitunglah selama 60 detik. Jika
iramanya irreguler, lakukanla evaluasi dengan auskultasi jantung.
f. Bandingkan hasil pemeriksaan dari lengan kanan dan kiri.

3. Prosedur pemeriksaan pernafasan:


a. Minta pasien untuk melepaskan pakaian sehingga pergerakan
dinding dada dapat jelas terlihat.
b. Secara inspeksi, perhatikan secara menyeluruh gerakan
pernafasan (lakukan ini tanpa mempengaruhi psikis pasien).
c. Terkadang diperlukan cara palpasi, untuk sekalian mendapatkan
perbandingan antara kanan dan kiri.
d. Pada inspirasi, perhatikanlah: masuknya kembali iga, pelebaran
sudut epigastrium dan penambahan besarnya ukuran antero-
posterior dada.
e. Perhatikan pula apakah ada penggunaan otot bantu pernafasan.
f. Catatlah frekuensi, irama, dan ada tidaknya kelainan gerakan.

4. Prosedur pemeriksaan suhu:

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 59


Pemeriksaan Pada Mulut (oral):
a. Jika menggunakan termometer air raksa, kibaskan termometer sampai
permukaan air raksa di bawah 35°C (960F)
b. Tempatkan termometer dibawah lidah penderita.
c. Mintalah penderita untuk menutup mulut, dan tunggu sampai 3 – 5
menit.
d. Kemudian bacalah termometer tersebut, pasangkan lagi selama satu
menit, dan baca kembali. Kalau suhu masih naik, ulangi prosedur di
atas sampai suhu tetap (tidak naik lagi).
e. Apabila penderita baru minum dingin atau panas, baru merokok,
pemeriksaan dengan cara ini harus ditunda selama 10 -15 menit dulu
agar tidak mempengaruhi hasil pengukuran.

Gambar. Pemeriksaan suhu badan melalui mulut

Pemeriksaan pada rektum:


Pemeriksaan melalui rektum ini biasanya dilakukan terhadap bayi.
a. Minta pasien untuk berbaring dengan miring pada salah satu sisi
dengan pinggul menekuk.
b. Pilihlah termometer dengan ujung yang bulat, beri pelumas dan
masukkan dalam anus sedalam 3 – 4 cm (1,5 inchi) dengan arah ke
arah umbilkus.

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 60


c. Tunggulah selama 3 menit.
d. Cabut kembali termometer dan baca hasilnya.

Gambar. Pemeriksaan suhu badan rectal

Pemeriksaan pada ketiak (aksila)


a. Kibaskan termometer sampai permukaan air raksa menunjuk di bawah
35°C
b. Tempatkan ujung termometer yang berisi air raksa pada apex fossa
axillaris kiri dengan sendi bahu adduksi maksimal
c. Tunggu sampai 3 – 5 menit.
d. Cabut kembali termometer dan lakukan pembacaan.

Gambar. Pemeriksaan suhu badan melalui ketiak (aksila)

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 61


Catatan: pada prakteknya untuk menghemat waktu pada saat menunggu
pengukuran suhu juga dibarengi dengan pemeriksaan nadi dan nafas

e. Cuci tangan WHO setelah pemeriksaan fisik.

G. DAFTAR PUSTAKA
Bate’s barbara. 2007. Guide to physical examination. Lippincot.

5. CEKLIS LATIHAN PENILAIAN VITAL SIGN


Skor Feed Back
No Aspek
0 1 2
I INTERPERSONAL
1 Sambung Rasa (Membina rapport (menyambut
dengan ramah, salam, menyilakan duduk,
perkenalan diri, komunikasi non verbal)
2 Informed Consent
II CONTENT
A Pemeriksaan Tekanan Darah
3 Siapkan alat yang diperlukan (stetoskop dan
sphygmomanometer. Buka dan tegakkan

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 62


sphygmo manometer, buka aliran air raksanya,
cek saluran pipa)
4 Cuci tangan WHO
5 Siapkan penderita dapat dalam keadaan duduk
atau berbaring
6 Pemeriksa menempatkan diri disebelah kanan
pasien atau duduk berhadapan
7 Pastikan lengan pasien dalam keadaan bebas
dan relaks, serta bebas dari tekanan karena
pakaian.
8 Pasang manset pada lengan atas pasien
sedemikian rupa sehingga pusat dari manset
yang dapat digembungkan (bladder) berada
tepat di atas arteri brachialis, tidak longgar dan
tidak ketat, 2,5cm-5cm di atas siku
9 Posisikan lengan pasien sedikit fleksi(menekuk)
pada siku
10 Raba a. brachialis pasien, naikkan tekanan
manset sampai pulsasi tidak teraba, tambahkan
30mmHg.
11 Turunkan tekanan manset perlahan-lahan
sampai denyutan a. Brachialis teraba kembali 
tekanan sistolik palpatoar (Laporkan)
12 Kempiskan manset dengan segera dan tunggu 15
sampai 30 detik
13 Ambil dan pasang stetoskop, serta letakkan
bagian bell/diafragma pada tempat perabaan
pulsasi (di atas arteri brachialis)
14 Naikkan kembali tekanan manset sampai 30 mm
Hg di atas tekanan sistolik palpatoar
15 Dengarkan melalui stetoskop sambil
menurunkan tekanan manset perlahan-lahan (2-
3 mmHg/detik). Perhatikan saat
dimana terdengar suara bising pertama
tekanan systole
16 Turunkan terus tekanan manset sampai suara
tersebut melemah kemudian menghilang 
tekanan diastole
17 Kempiskan manset sampai tekanan pada

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 63


manometer menunjukkan skala nol
18 Lepas dan rapikan kembali manset, tutup aliran
air raksa serta tutup kembali
sphygmomanometernya
B Pemeriksaan Nadi
19 Siapkan pasien dapat dalam posisi duduk
ataupun berbaring, lengan pasien dalam posisi
bebas (relaks), perhiasan dan jam tangan dilepas
20 Raba a. Radialis dengan menggunakan jari
telunjuk dan jari tengah anda sehingga pulsasi
(denyutan) maksimal dapat dirasakan
21 Hitung frekuensi denyut nadi
Perhatikan pula irama dan kualitas denyutnya
C Pemeriksaan Pernafasan
22 Minta pasien untuk melepaskan pakaian
sehingga pergerakan dinding dada dapat jelas
terlihat
23 Secara inspeksi, perhatikan secara menyeluruh
gerakan pernafasan Jika tidak jelas, dapat
melalui cara palpasi dengan kedua tangan pada
punggung atau dada pasien
24 Hitung frekuesi nafas pasien selama 15 detik dan
kalikan 4 untuk mendapatkan frekuensi nafas
per menit
D Pemeriksaan Suhu
25 kibaskan termometer sampai permukaan air
raksa di bawah 35°C
261. Tempatkan ujung termometer yang berisi air
raksa pada apex fossa axillaris kiri dengan sendi
bahu adduksi maksimal
272. Tunggu selama 3 – 5 menit
283. Cabut kembali termometer dan lakukan
pembacaan
294. Cuci tangan WHO
III PROFESIONALISME
30 Laporkan hasil pemeriksaan tekanan darah, nadi,
pernafasan dan suhu
31 Mampu melakukan dengan percaya diri
32 Mampu melakukan dengan kesalahan minimal

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 64


TOTAL

Nilai = ------------- x 100% = ……………

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 65


..: PENGENALAN ALAT KEDOKTERAN
dr. Iswandi Darwis | dr. Muhammad Aditya

A. TEMA
Pengenalan alat bedah minor

B. TUJUAN PEMBELAJARAN
Mahasiswa dapat mengetahui alat-alat yang digunakan dalam tindakan
bedah minor

C. ALAT DAN BAHAN


1. Needle holder
2. Gunting diseksi, gunting benang, gunting verban
3. Pisau bedah
4. Klem (arteri pean, kocher, musquitos, allis, babcock, towel clamp).
5. Refractor wound
6. Pinset
7. Deschamps Aneurysm Needle
8. Wound curret
9. Korentang
10. Jarum bedah
11. Benang
12. Sarung tangan steril
13. Doek steril
14. Kassa steril
15. Cairan disinfektan (pov. Iodine)
16. Cairan NaCl 0.9%
17. Spuit 1cc , 3 cc, 5 cc
18. Anastesi : Lidocaine 2% Ampule

D. SKENARIO

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 66


Seorang laki-laki datang ke Puskesmas dengan keluhan terdapat luka robek
di lengan kanan bawah. Anda selaku dokter di puskesmas ingin melakukan
tindakan penjahitan. Sebelum melakukan penjahitan anda harus
mengambil alat bedah minor di tempat steril. Alat-alat apa sajakah yang
diperlukan dalam tindakan bedah minor? Dan lakukanlah penjahitan dasar.

E. DASAR TEORI

Penjahitan luka diperlukan dalam ilmu bedah karena pembedahan


membuat luka sayatan dan penjahitan bertujuan untuk menyatukan
kembali jaringan yang terputus serta meningkatkan proses penyambungan
dan penyembuhan jaringan dan juga mencegah luka terbuka yang akan
mengakibatkan masuknya mikroorganisme atau infeksi.

..: ALAT-ALAT BEDAH MINOR :..

Material penjahitan yang berkualitas adalah yang meliputi sarat-sarat


tertentu. Yang pertama adalah kenyamanan untuk digunakan atau untuk 
dipegang. Lalu pengamanan yang cukup pada setiap alat. Harus selalu
steril. Cukup elastik. Bukan terbuat dari bahn yang reaktif. Kekuatan yang
cukup untuk penyembuhan luka. Kemampuan untuk biodegradasi kimia
untuk menceah perusakan dari benda asing. Berikut alat-alat yang
diperlukan untuk bedah minor.

1. Nald Voeder

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 67


Nama lainnya pemegang jarum atau needle holder. Jenis yang digunakan
bervariasi, yaitu tipe Crille Wood (bentuk seperti klem) dan tipe Mathew
Kusten (bentuk segitiga). Guna nald voeder ini pada penjahitan, sebagai
pemegang jarum jahit (nald heacting) dan sebagai penyimpul benang.

A B

Gambar. (A) Nald Voeder Tipe Crille wood dan (B) Nald Voeder Tipe
Mathew Kusten

2. Gunting
Gunting diseksi
Gunting diskesi (disecting scissor). Gunting ini ada dua jenis yaitu, lurus
dan bengkok. Ujungnya biasanya runcing. Terdapat dua tipe yang sering
digunakan yaitu tipe mayo dan tipe metzenbaum. Kegunaan gunting ini
adalah untuk membuka jaringan, membebaskan tumor kecil dari jaringan
sekitarnya, untuk eksplorasi, maupun merapikan luka.

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 68


A B
Gambar. (A) Gambar gunting tipe mayo, (B) gunting tipe metzenbaum

Gunting Benang
Ada dua macam gunting benang yaitu gunting benang yang bengkok dan
yang lurus. Kegunaannya untuk memotong benang operasi, merapikan
luka.

Gambar. Gunting benang

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 69


Gunting perban/pembalut
Kegunaannya adalah untuk menggunting pembalut dan plester.

Gambar. Gunting perban/pembalut

3. Pisau Bedah
Terdiri atas dua bagian, yaitu gagang dan mata pisau
(mess/bistouri/blade). Pada pisau bedah model lama, mata pisau dan
gagang bersatu, sehingga bila mata pisau tumpul harus diasah kembali.
Pada model baru, mata pisau dapat diganti. Biasanya mata pisau hanya
untuk sekali pakai.

Terdapat dua nomor gagang pisau yang sering dipakai, yaitu gagang nomor
4 (untuk mata pisau besar) dan gagang nomor 3 (untuk mata pisau kecil).
Guna pisau bedah ini adalah untuk menyanyat berbagai organ/bagian
tubuh. Mata pisau, disesuaikan dengan bagian tubuh yang akan disayat.

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 70


Gambar. Pisau bedah

4. Klem (clamp)
Klem arteri pean
Ada dua jenis yaitu yang lurus dan bengkok. Penggunaannya adalah untuk
hemostasis terutama untuk jaringan tipis dan lunak. Penyediaan : masing-
masing 6 buah.

Gambar. Klem arteri pean

Klem Kocher
Ada dua jenis yaitu, klem yang lurus dan yang bengkok. Tidak ditujukan
untuk hemostatis. Sifat khasnya adalah mempunyai gigi pada ujungnya
(mirip gigi pada pinset sirurgis). Gunanya adalah untuk menjepit
jaringannya, terutama agar jaringan tidak meleset dari klem, dan hal ini

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 71


dimungkinkan dengan adanya gigi pada ujung klem. Penyediaannya :
masing-masing 4 buah.

Gambar. Klem Kocher

Klem Mosquito
Mirip dengan klem arteri pean, tetapi ukurannya lebih kecil.
Penggunaannya adalah untuk hemostatis terutama untuk jaringan tipis
dan lunak. Penyediaannya : masing-masing 6 buah.

Gambar. Klem Mosquito

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 72


Klem Allis
Penggunaannya adalah untuk menjepit jaringan yang halus dan menjepit
tumor kecil.

Gambar. Klem Allis

Klem Babcock
Penggunaannya adalah untuk menjepit tumor yang agak besar dan rapuh.

Gambar. Klem Babcock

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 73


Towel Clamp (Doek Klem). Penggunaannya adalah untuk menjepit
doek/kain operasi.

Gambar. Towel Clamp

5. Retractor (Wound Hook)


Retractor Langenbeck
Penggunaannya adalah untuk menguakkan luka.

Gambar. Retractor Langenbeck

Retractor Volkman
Penggunaannya adalah untuk menguakkan luka, pemakaian retractor
(ukurannya) disesuaikan dengan lebar luka. Ada yang mempunyai 2 gigi, 3
gigi dan 4 gigi. Dua gigi untuk luka kecil, 4 gigi untuk luka besar. Terdapat
pula retractor bergigi tumpul.

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 74


Gambar. Retractor Volkman

6. Pinset
Pinset Sirurgis
Penggunaannya adalah untuk menjepit jaringan pada waktu diseksi dan
penjahitan luka, memberi tanda pada kulit sebelum memulai insisi.
Pinset Anatomis
Penggunaannya adalah untuk menjepit kasa sewaktu menekan luka,
menjepit jaringan yang tipis dan lunak.

Pinset Splinter
Penggunaannya adalah untuk mengadaptasi tepi-tepi luka (mencegah
overlapping).

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 75


Gambar. Pinset

7. Deschamps Aneurysm Needle


Penggunaannya adalah untuk mengikat pembuluh darah besar.

Gambar. Deschamps Aneurysm Needle

8. Wound Curett
Penggunaannya adalah untuk mengeruk luka kotor, mengeruk ulkus kronis

Gambar. Wound Curett

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 76


9. Korentang
Penggunaannya adalah untuk mengambil instrument steril, dan mengambil
kasa, jas operasi, doek dan laken steril.

Gambar. Korentang

10. Jarum Bedah

Jarum bedah berfungsi untuk mengantarkan benang pada saat melakukan


penjahitan luka operasi.

Klasifikasi
 Pemilihan jarum bedah antara lain : jarum yang digunakan agar
berperan aktif dalam penyembuhan luka dan tidak merubah atau
merusak jaringan tubuh. Bentuk, ukuran, dan rancangan jarum dipilih
yang sesuai dengan prosedur operasi. Terdapat 2 macam jarum bedah
dilihat dari penggunaan benang yaitu berupa jarum lepas dan jarum
atraumatik
o Jarum lepas
 Memerlukan waktu penyambungan benang dengan
jarum
 Memerlukan re–sterilisasi

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 77


 Memerlukan perawatan ujung jarum
 Resiko jarum berkarat
 Resiko benang terlepas dari jarum
 Pemilihan jarum harus tepat dengan benang
o Jarum bedah atraumatik
 Benang bedah menyatu dengan jarum sekaligus
 Penyambungan benang bedah dengan jarum secara
channelateau drilled
 Benang tunggal sehingga menimbulkan trauma yang
minimal pada jaringan
 Dijamin steril dan bebas karat
 Sekali pakai buang sehingga tidak perlu re-sterilisasi

Struktur Jarum Bedah

Gambar. stuktur jarum bedah

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 78


 Bagian – bagian dari jarum bedah, terdiri atas:
o Ujung jarum (point of needle)
o Badan / Batang (body/shaft needle)
o Mata jarum (eye needle)

a. Ujung jarum (point of needle)

 Taper. Ujung jarum taper dengan batang bulat atau empat persegi
cocok digunakan untuk menjahit daerah aponeurosis, otot, saraf,
peritoneum, pembuluh darah, katup.

 Blunt. blunt point dan batang gepeng cocok digunakan untuk


menjahit daerah usus besar, ginjal, limpa, hati

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 79


 Triangular. Ujung segitiga dengan batang gepeng atau empat
persegi. Bisa dipakai untuk menjahit daerah kulit, fascia, ligament,
dan tendon.

 Tapercut. Ujung jarum berbentuk segitiga yang lebih kecil dengan


batang gepeng, bisa digunakan untuk menjahit fascia, ligaments,
uterus, rongga mulut, dan sebagainya.

b. Badan atau batang

 Straight. Digunakan untuk daerah kulit, nervus, saluran


pencernaan, tendon, pembuluh darah, dan sebagainya.

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 80


 Halfcurved. Digunakan untuk kulit (tetapi jarang dipakai)
o Curved dibagi atas:
 1/4 circle – mata, bedah mikro
 3/8 circle – dipakai pada hampir seluruh tubuh
 1/2 circle – dipakai pada hampir seluruh tubuh
 5/8 circle – traktus urinarius dan system
reproduksi
 Combine needle – daerah mata bagian anterior

c. Mata jarum
 Rolled end
 Drilled end
 Regular eye
 Spring eye
 Spring double eyes

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 81


11. Benang bedah
Benang bedah (suture) adalah materi berbentuk benang yang berfungsi
untuk ligasi (mengikat) pembuluh darah atau aproksimasi
(mengikat/menyatukan jaringan).

Spesifik material benang bedah


 Steril, dan harus steril sewaktu digunakan.
 Diketahui kekuatan untuk memegang jaringan (tensil strength) yang
sesuai jenis material benang.
 Diketahui massa penyerapan yaitu lamanya benang habis diserap
tubuh
 Simpul aman, diketahui jumlah minimal tali simpul yang aman untuk
setiap jenis benang, artinya tetap tersimpul selama proses
penyembuhan luka.
 Mudah untuk digunakan.
 Dapat digunakan untuk segala jenis operasi.
 Reaksi/trauma jaringan yang minimal, diameter benang bedah yang
dianjurkan dipergunakan adalah ukuran terkecil yang paling aman
untuk setiap jenis jaringan yang dijahit, massa material benang dan
reaksi jaringan sekecil mungkin.

Ukuran benang bedah


 Ukuran terbesar adalah 7 dan ukuran terkecil adalah 11-0 atau 12-0.

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 82


 Ukuran dimulai dari nomor 1 dan ukuran bertambah besar dengan
bertambah 1, sedangkan apabila ukuran bertambah kecil maka
ditambah 0.
 Ukuran benang sistem Eropa (metric gauge) adalah metric 0,1 (0,010 –
0,019 mm) sampai metric 10 (1,00 – 1,09).
 Ukuran benang sistem Amerika (imperial gauge) ukuran 11-0 (0,010 –
0,019 ) sampai ukuran 7 (1,00 – 1,09).
 Dalam kemasan selain dicantumkan diameter juga panjang benang
dalam cm.

Klasifikasi Benang Bedah


A. Berdasarkan keberadaannya didalam tubuh pasien dibagi atas :
o Diserap (absorbable sutures)
Merupakan jenis benang yang materialnya dibuat dari jaringan
collagen mamalia sehat atau dari sintetik polimer. Material di dalam
tubuh akan diserap yang lamanya bervariasi, sehingga tidak ada
benda asing yang tertinggal di dalam tubuh.
o Tidak diserap (non ansorbable sutures)
 Merupakan benang yang dibuat dari material yang tahan
terhadap enzim penyerapan dan tetap berada dalam tubuh atau
jaringan tanpa reaksi penolakan selama bertahun – tahun.
 Kelebihan dari benang ini adalah dapat memegang jaringan secara
permanen. Kekurangan dari benang ini adalah benang ini menjadi
benda asing yang tertinggal didalam tubuh dan kemungkinan akan
menjadi fistel.

B. Berdasarkan materi / bahan, dibagi atas :

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 83


a. Bahan alami, dibagi atas :
i. Diserap (absorbable)
Dibuat dari collagen yang berasal dari lapisan sub. Mukosa
usus domba dan serabut collagen tendon flexor sapi. 
Contoh : 
a. Surgical catgut plain : Berasal dari lapisan sub. Mukosa
usus domba dan serabut collagen tendon flexor sapi
tanpa campuran.
b. Surgical catgut chromic : Berasal dari lapisan sub.
Mukosa usus domba dan serabut collagen tendon
flexor sapi dicampur dengan chromic aci
ii. Tidak diserap (non absorbable sutures)
Jenis ini terbuat dari linen, ulat sutra (silk) seperti surgical silk,
virgin silk dan dari kapas (cotton) seperti surgical cotton. Ada
juga yang terbuat dari logam sehingga mempunyai tensil
strength yang sangat kuat, contoh : metalik sutures (stainless
steel).

b. Bahan sintetis (buatan), dibagi atas :


i. Diserap (absorbable)
Terbuat dari sintetik polimer, sehingga mudah diserap oleh
tubuh secara hidrolisis dan waktu penyerapan oleh tubuh
mudah diprediksi, 
contoh :
a. Polyglactin 910
b. Polylactin 910 polylastctin 370 dan calcium state
(Coated Vicryl®)

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 84


c. Polylactin 910 polylastctin 370 dan calcium state (Vicryl
Rapide®)
d. Poliglikolik
e. Polyglecaprone 25 (Monocryl®)
f. Polydioxanone (PDS II®)
ii. Tidak diserap (non absorbable)
Terbuat dari bahan buatan (sintetis) dan dibuat sedemikian
rupa sehingga reaksi jaringan yang timbul sangat kecil, 
contoh :
a. Polypropamide (Ethilon®)
b. Polypropylene (Prolene®)
c. Polyester (Mersilene®)

C. Berdasarkan penampang benang, dibagi atas :


a. Monofilamen (satu helai)
i. Terbuat dari satu lembar benang, tidak meneyerap cairan (non
capilarity)
ii. Keuntungan : Kelebihan dari jenis ini adalah permukaan
benang rata dan halus, tidak memungkinkan terjadinya nodus
infeksi dan tidak menjadi tempat tumbuhnya mikroba.
iii. Kelemahan : Kelemahannya adalah memerlukan penanganan
simpul yang khusus karena relatif cukup kaku dan tidak sekuat
multifilament.
iv. Contoh : Catgut, PDS, dan Prolene
b. Multifilamen

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 85


i. Terbuat dari bebeapa filament atau lembar bahan benang
yang dipilih menjadi satu.
ii. Keuntungan : Kelebihan jenis ini adalah benang lebih kuat dari
monofilament, lembut dan teratur serta mudah digunakan.
iii. Kerugian : Kelemahannya adalah karena ada rongga maka
dapat menjadi tempat menempelnya mokroba dan sedikit
tersendat pada saat melalui jaringan.
iv. Contoh : Vicryl, Silk, Ethibond

Pemilihan material benang bedah


 Karakteristik biologi dari material dalam jaringan yaitu diserap atau
tidak diserap dan bersifat capilarity atau non capilarity.
 karakteristik dan penyembuhan jaringan.
 Lokasi dan panjang dari sayatan yang menjadi pertimbangan kosmetik.
 Ada tidaknya infeksi, kontaminasi dan drainese. Pertimbangan ini
mengingat kemungkinan benang akan menjadi pembentukan jaringan
granulasi dan proses yang menjadi rongga (sinus) atau menjadi inti
pengerasan yang kemungkinan berbentuk batu apabila dipakai pada
operasi kandung kemih atau kandung empedu.
 Problem pasien seperti kegemukan, debil, umur penyakit lain yang
mengganggu proses penyembuhan yang lebih lama sehingga
memerlukan penguatan yang lebih lama.
 Karakteristik fisik dari material benang untuk menembus jaringan,
pengikatan simpul dan juga alasan khusus tiap ahli bedah.

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 86


Jenis-Jenis Benang
a. Seide (Silk/Sutera)
Terbuat dari serabut-serabut sutera, terdiri dari 70% serabut protein dan
30% bahan tambahan berupa perekat. Tersedia dalam warna hitam dan
putih. Bersifat tidak licin seperti sutera biasa karena sudah dikombinasi
dengan perekat, tidak diserap tubuh. Pada penggunaan disebelah luar,
maka benang harus dibuka kembali.

Tersedia dalam berbagai ukuran, mulai dari nomor 0000 (5 nol merupakan
ukuran paling kecil) hingga nomor 3 (yang merupakan ukuran terbesar).
Yang paling sering dipakai adalah nomor 00 (2 nol) dan 0 (1 nol) dan
nomor 1

Kegunaannya adalah untuk menjahit kulit, mengikat pembuluh arteri


(terutama arteri besar) sebagai teugel (kendali). Benang harus steril, sebab
bila tidak akan menjadi sarang kuman (focus infeksi) sebab kuman
terlindung didalam jalinan benang, sedang benangnya sendiri tidak dapat
diserap tubuh.

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 87


b. Plain Catgut
Asal katanya adalah cat (kucing), dan gut (usus). Dahulu benang ini dibuat
dari usus kucing, tapi saat ini dibuat dari usus domba atau usus sapi.
Bersifat dapat diserap tubuh, penyerapan berlangsung dalam waktu 7-10
hari, dan warnanya putih dan kekuningan.

Tersedia dalam berbagai ukuran, mulai dari 00000 (5 nol merupakan


ukuran yang paling kecil) hingga nomor 3 (merupakan ukuran yang paling
besar). Sering digunakan nomor 000 (3 nol), 00 (2 nol) 0 (1 nol) nomor 1
dan 2. Kegunaanya adalah untuk mengikat sumber perdarahan kecil,
menjahit subkutis dan dapat pula dipergunakan untuk menjahit kulit
terutama untuk daerah longgar (perut, wajah) yang tak banyak bergerak
dan luas lukanya kecil.

Plain catgut harus disimpul paling sedikit 3 kali, karena dalam tubuh akan
mengembang, bila disimpulkan 2 kali akan terbuka kembali. Plain catgut
tak boleh terendam dalam lisol karena akan mengembang dan menjadi
lunak, sehingga tak dapat digunakan.

c. Chromic Catgut
Berbeda dari plain catgut, sebelum benang dipintal ditambahkan krom.
Dengan adanya krom ini, maka benang menjadi lebih keras dan kuat, serta
penyerapannya lebih lama, haitu 20-40 hari. Warnanya coklat dan
kebiruan. Benang ini tersedia dalam ukuran 000 (3 nol merupakan ukuran
yang paling kecil) hingga nomor 3.

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 88


Penggunaannya pada penjahitan luka yang dianggap belum merapat dalam
waktu 10 hari, untuk menjahit tendo pada penderita yang tak kooperatif
dan bila mobilisasi harus segera dilakukan.

d. Etnilon
Merupakan benang sintetis dalam kemasan atraumatis (benang langsung
bersatu dengan jarum jahit) dan terbuat dari nilon, lebih kuat dari seide
atau catgut. Tidak diserap tubuh, dan tidak menimbulkan iritasi pada kulit
dan jaringan tubuh lainnya.

Tersedia dalam warna biru dan hitam. Tersedia dalam ukuran 10 nol hingga
1 nol. Penggunaannya pada bedah plastik, ukuran yang lebih besar sering
digunakan pada kulit, sedang nomor yang kecil dipakai pada bedah mata.

f. Ethibond
Merupakan benang sintesis (terbuat dari polytetra methylene adipate).
Tersedia dalam kemasan atraumatis. Bersifat lembut, kuat, reaksi terhadap
tubuh minimum, tidak diserap, dan warnanya hijau dan putih. Ukurannya
dari 7 nol hingga nomor 2. Penggunaannya pada bedah kardiovaskuler dan
urologi.

g. Vitalene
Merupakan benang sintetis (terbuat dari polimer profilen). Sangat kuat dan
lembut, tidak diserap, warna biru. Tersedia dalam kemasan atraumatis.
Ukuran dari 10 nol hingga nomor 1. Digunakan pada bedah mikro, terutama
untuk pembuluh darah dan jantung, bedah mata, bedah plastik, cocok pula
untuk menjahit kulit

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 89


h. Vicryl
Merupakan benang sintetis dalam kemasan atraumatis. Diserap oleh tubuh,
dan tidak menimbulkan reaksi pada jaringan tubuh. Dalam subkutis
bertahan selama 3 minggu, dalam otot bertahan selama 3 bulan. Benang ini
sangat lembut dan warnanya ungu. Ukuran dari 10 nol hingga nomor 1.
Penggunaan pada bedah mata, ortopedi, urologi dan bedah plastik.

i. Supramid
Merupakan benang sintetis, dalam kemasan atraumatis. Bersifat kuat,
lembut, fleksibel, reaksi tubuh minimum, dan tidak diserap. Warnanya
hitam dan putih. Digunakan untuk menjahit kutis dan sub kutis.

j. Linen (Catoon)
Dibuat dari serat kapas alam dengan jalan pemintalan. Bersifat lembut,
cukup kuat, mudah disimpul, tidak diserap, reaksi tubuh minimum.
Warnanya putih. Tersedia dalam ukuran 4 nol hingga 1 nol. Digunakan
untuk menjahit usus dan kulit, terutama kulit wajah.

k. Steel Wire
Merupakan benang logam yang terbuat dari polifilamen baja tahan karat.
Sangat kuat, tidak korosif dan reaksi terhadap tubuh minimum. Mudah
disimpul. Warna putih metalik. Terdapat dalam kemasan atraumatis dan
kemasan biasa. Ukurannya dari 6 nol hingga nomor 2. Untuk menjahit
tendo

12. Keperluan rutin bedah

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 90


a. Baju Kamar Bedah, Jas Operasi, Topi, Masker, Doek dan Laken
Pada umumnya semua alat diatas terbuat dari kain yang ringan, lembut,
yang nyaman bila dipakai, mudah menyerap keringat dan mudah dicuci.
Untuk itu dapat dipakai kain belacu atau katun. Warna alat-alat diatas harus
lembut dan tidak cepat melelahkan mata. Biasanya dipilih warna putih, biru
muda, dan hijau.

Saat ini masker yang sering dipakai mempunyai model sekali pakai
(disposable) yang terbuat dari kertas. Masker ini akan dibuang sesudah
digunakan. Untuk alat tenun dari kain, sesudah dipakai harus direndam lalu
dicuci. Setelah kering baru disterilkan. Masker, topi dan baju kamar bedah
tidak perlu disterilkan.

b. Sarung Tangan Operasi


Terbuat dari karet, tipis tetapi cukup kuat dan elastic. Sarung tangan harus
dibubuhi talcum sebelum disterilkan, agar mudah dipergunakan. Sarung
tangan tersedia dalam berbagai nomor, disesuaikan dengan ukuran tangan
pemakai

c. Kasa Hidrofil
Adalah kain dengan anyaman jarang (kasa), lembut dan bersifat mudah
menyerap. Digunakan untuk penyerap darah yang keluar dari luka,
menyerap sekret dan cairan lain serta digunakan sebagai penutup luka
(dressing). Kasa ini tersedia dalam ukuran kecil-kecil, yaitu kira-kira 5 x 7,5
cm, terlipat rapi, tidak boleh ada bagian benang yang menjulur keluar,

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 91


sebab dapat tertinggal pada luka sewaktu membersihkan luka. Kasa harus
steril.

d. Tuffer (spons)
Dibuat dari kasa hidrofil yang dipadatkan dengan cara :
1. Kasa dipotong berbentuk segi empat sesuai dengan ukuran yang
diinginkan
2. Dari salah satu sudutnya dilakukan penggulungan secara padat ke arah
tengah
3. Ekor tadi digulung rapi hingga habis
Tuffer digunakan untuk membebaskan jaringan (terutama jaringan
longgar), menekan perdarahan, menggosok luka. Tuffer harus steril
sebelum dipakai.

e. Drain
Terdapat bermacam-macam drain. Prinsip penggunaannya sama yaitu
untuk memungkinkan pengaliran sekret keluar dari luka. Drain digunakan
untuk luka yang terkontaminasi dengan kemungkinan terbentuknya pus
atau sekret lainnya, atau pada luka dengan perdarahan hebat sewaktu
telah ditutup ada kemungkinan perdarahan masih aktif di bawah jaringan
yang ditutup.
1. Cigarette drain. Berbentuk seperti pipa dengan panjang 5-10 cm.
dipergunakan pada operasi abses apendiks, trauma dan sebagainya,
dimana sekret yang keluar diharapkan tidak terlalu banyak.
2. Corrugated drain (drain bergelombang). Dibuat dari lembaran karet
khusus yang bergelombang halus (seperti pola lembaran seng atap
rumah). Dipakai pada luka sedang, yang sekretnya tidak terlalu banyak.

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 92


3. Drain Sarung Tangan. Dibuat dari sarung tangan yang tak terpakai lagi
dengan cara menggunting sarung tangan tadi menjadi lembaran-
lembaran yang kemudian digulung seperti menggulung (melinting)
rokok, kemudian dilem dengan lem karet, lalu disterilkan.
4. Tube drain. Berupa pipa panjang yang dapat dibuat dari selang infuse,
sonde lambung, dan sebagainya, dengan ujung selang yang
dimasukkan ke dalam luka diberi lubang-lubang (mata) pada sisinya.
Bila ujung luar selang dihubungkan dengan wadah hampa udara
(vakuum) maka drain tadi disebut vacuum drain. Dengan adanya
tekanan negative dari wadah, maka sekret akan lebih mudah tertarik
keluar.

F. DAFTAR PUSTAKA
1. Karakata S, Bachsinar B. 1995. Bedah Minor. Hipokrates : Jakarta

2. Ethicon Inc. Wound Closure Manual. 1994. Johnson and Johnson


company.

3. Doherty, GM. 2006. Current Surgical Diagnosis and Treatment. USA :


McGraw Hill.

4. Sjamsuhidajat R, De Jong Wim. 2000. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2.


Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

5. Reksoprodjo, S. 2000. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta : Binarupa


Aksara.

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 93


6. Utama, HSY. 2012. Keterampilan Dasar Teknik Bedah dengan
Pengetahuan Material Suture. http:// herrysetyayudha.wordpress.com
diakses tanggal 20 Agustus 2012.

6. PENGENALAN ALAT BEDAH MINOR


N Skor Feed
Aspek
o 0 1 2 Back
I INTERPERSONAL
1 Membina rapport (menyambut dengan ramah, salam,
menyilakan duduk, perkenalan diri, sikap terbuka,
kesejajaran)
2 Informed consent
II CONTENT
3 Cuci Tangan WHO (simulasi)
4 10. Persiapkan alat dan bahan
11. Menyiapkan dan menyebutkan nama alat dan bahan
1. Needle holder
2. Gunting diseksi, gunting benang, gunting
verban
3. Pisau bedah
4. Klem (arteri pean, kocher, musquitos, allis,
babcock, towel clamp).
5. Refractor wound
6. Pinset
7. Deschamps Aneurysm Needle
8. Wound curret
9. Korentang
10. Jarum bedah
11. Benang
12. Sarung tangan steril
13. Doek steril
14. Kassa steril
15. Cairan disinfektan (pov. Iodine)

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 94


16. Cairan NaCl 0.9%
17. Spuit 1cc , 3 cc, 5 cc
18. Anastesi : Lidocaine 2%
5 2. Cuci Tangan WHO setelah melakukan tindakan
(simulasi)
III PROFESSIONALISM
6 Melakukan dengan penuh percaya diri
7 Melakukan dengan kesalahan minimal
TOTAL

Nilai = ------------- x 100% = ……………

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 95


..: PENGENALAN MIKROSKOP
dr. Susianti, M.Sc

A. TEMA
Keterampilan laboratorium penggunaan mikroskop cahaya

B. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah melalui CSL ini diharapkan mahasiswa mampu untuk:
 menyebutkan bagian-bagian mikroskop cahaya.
 menjelaskan fungsi dari bagian-bagian mikroskop cahaya.
 melakukan pemeriksaan spesimen/ preparat menggunakan mikroskop
cahaya.

C. ALAT DAN BAHAN


 Mikroskop cahaya
 Preparat/slide
 Sumber arus listrik

D. SKENARIO
Pada minggu pertama perkuliahan, mahasiswa semester I mendapatkan
materi tentang sel dan jaringan. Salah satu jaringan yang dipelajari adalah
jaringan epitel yang menyusun permukaan kulit. Menurut teori, epitel pada
permukaan kulit (bagian epidermis) adalah epitel berlapis gepeng. Untuk

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 96


melihat hal tersebut mahasiswa dapat mengamati preparat jaringan kulit
menggunakan mikroskop.

E. DASAR TEORI
1. Kegunaan Mikroskop
Penggunaan mikroskop merupakan bagian yang sangat penting dalam
berbagai cabang ilmu seperti biologi, histologi, mikrobiologi,
parasitologi, patologi anatomi, patologi klinik dan sebagainya. Dengan
bantuan mikroskop kita dapat mengamati objek yang sangat kecil yang
tidak dapat diamati hanya dengan menggunakan mata telanjang.
Struktur yang dapat diamati dengan mikroskop antara lain bentuk sel,
ukuran sel, serta susunannya. Dengan mikroskop kita juga dapat
mengamati organisme yang sangat kecil atau bersifat mikroskopik
seperti parasit maupun mikroorganisme.

2. Macam-Macam Mikroskop
Ada beberapa jenis mikroskop yang dapat dipergunakan. Pada
dasarnya mikroskop-mikroskop itu dapat digolongkan menurut jenis
sumber cahaya yang dipakai. Tentu yang paling banyak dipakai adalah
mikroskop cahaya (optik) yang menggunakan cahaya terlihat. Selain
mikroskop cahaya biasa, ada juga beberapa modifikasi tertentu, yaitu
mikroskop interferens, dan mikroskop lapangan (medan) gelap,
mikroskop polarisasi dan mikroskop fase kontras. Semua mikroskop
yang menggunakan radiasi tak terlihat dan sinar ultraviolet serta
mikroskop elektron, merupakan perkembangan yang lebih baru.

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 97


3. Mikroskop Cahaya (optik)
Pada dasarnya mikroskop cahaya bekerja sebagai suatu alat pembesar
dua tingkat. Suatu lensa objektif melakukan pembesaran awal, dan
suatu lensa okuler ditempatkan sedemikian rupa sehingga
memperbesar bayangan pertama untuk kedua kalinya. Pembesaran
seluruhnya diperoleh dengan mengalikan kekuatan pembesaran lensa
objektif dan lensa okuler. Suatu lensa kondensor tambahan biasanya
ditempatkan di bawah meja mikroskop untuk memusatkan cahaya dari
sumbernya menjadi suatu berkas sangat terang yang menyinari obyek,
sehingga memberikan cahaya yang cukup untuk mengamati bayangan
yang diperbesar itu. Faktor utama dalam memperoleh bayangan yang
baik dengan mikroskop adalah daya resolusi, yaitu jarak terkecil antara
dua partikel sehingga kedua partikel tersebut tampak sebagai objek
yang terpisah. Daya resolusi maksimal dari mikroskop cahaya adalah
sekitar 0,2 m, yang memberikan bayangan yang cukup baik pada
perbesaran 1000-1500 kali. Objek yang lebih kecil dari 0,2 m tidak
dapat dibedakan dengan alat ini. Kualitas bayangan, kejelasan dan
rincian bergantung pada daya resolusi mikroskop. Pembesaran hanya
akan bermanfaat jika dibarengi dengan resolusi yang tinggi. Daya
resolusi sebuah mikroskop terutama bergantung pada lensa
objektifnya. Lensa okuler hanya memperbesar bayangan yang
diperoleh dari lensa objektif, tidak mempertinggi resolusi. Ukuran
spesimen yang diamati dapat diperoleh dengan mengalikan perbesaran
lensa okuler dengan lensa objektif, misal: Okuler (10X) x Objektif (40X)
= 400X.

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 98


4. Bagian-Bagian Mikroskop Cahaya
Mikroskop cahaya terdiri dari dua bagian besar, yaitu:
 Bagian optik, yang berhubungan langsung dengan cahaya, terdiri
dari: cermin, kondensor, lensa objektif, lensa okuler, tubus (di
antara lensa objektif dan okuler).
 Bagian mekanik, penyokong terhadap bagian optik dan
mengadakan mekanisme untuk dapat merubah jarak antara alat-
alat bagian optik dan sediaan.
Berikut merupakan gambar mikroskop cahaya serta bagian-bagiannya
dan fungsi masing-masing bagian tersebut:

11
13 12
16

14

18
15

20
17

21
19

Sumber: Olympus® Instruction Manual, dimodifikasi

N NAMA BAGIAN MIKROSKOP FUNGSI

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 99


O
1 Tombol utama (Main switch) Untuk menghidupkan dan mematikan
mikroskop
2 Sekrup pengatur intensitas Mengatur kuat lemahnya intensitas
cahaya (Light intensity cahaya dari lampu mikroskop
adjustment knob)
3 Pemegang spesimen Memfiksasi dan menggerakkan preparat
(Specimen holder) dengan aman pada meja
4 Penggerak slide horizontal Menggerakkan preparat ke depan dan
dan vertikal (X-axis/ Y-axis belakang, serta ke kiri dan ke kanan
feed knob)
5 Pemutar lensa objektif Memutar lensa objektif sesuai posisi
(revolving nosepiece) (perbesaran) yang diinginkan
6 Sekrup pengatur fokus kasar Memfokuskan spesimen secara cepat
dan halus (Coarse/fine dan secara lambat
adjustment knobs)
7 Tabung binokuler (Binokuler Tempat kedua lensa objektif
tube)
8 Cincin pengatur diopter Mengkompensasi perbedaan
(Diopter adjustment ring) pandangan antara kedua mata
9 Cincin diafragma apertura Mengatur jumlah cahaya yang masuk
(Aperture iris diaphragm melalui celah pada meja objek
ring)
10 Filter Mengkondisikan cahaya dari cahaya
lampu menjadi natural
11 Sekrup pengunci kepala Mengunci kepala setelah diputar
(Observation tube clamping
knob)
12 Pre focusing knob Mengatur mekanisme untuk mencegah
tabrakan antara spesimen dan lensa
objektif, membatasi gerakan naik
maupun turun meja saat memfokuskan
13 Kepala (head) Menahan lensa okuler
14 Lengan Menahan kepala dan meja
15 Meja (stage) Tempat meletakkan spesimen
16 Lensa okuler (Eyepiece / Memperbesar bayangan objek (biasanya
oculars) 10x) dan diproyeksikan ke retina.
17 Kondenser (condenser) Mengumpulkan dan memfokuskan

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 100


cahaya sehingga terbentuk kerucut
cahaya yang mengiluminasi objek yang
diamati
18 Lensa objektif Memperbesar (biasanya 4x,10x,40x dan
100x) dan meneruskan bayangan objek
teriluminasi ke arah lensa okuler
19 Sumber cahaya Mengiluminasi spesimen
20 Sekrup pengatur ketinggian Menaikkan dan menurunkan kondenser
kondenser (Condenser
height adjustment knob)
21 Dasar (base) Menyokong mikroskop
F. PROSEDUR PENGGUNAAN MIKROSKOP CAHAYA
1. Mengambil mikroskop dari lemari penyimpanan
 Bawalah mikroskop dengan menggunakan kedua tangan (tangan
yang satu memegang lengan mikroskop, dan yang satu lagi
memegang dasar mikroskop), dan taruh di meja yang datar.
Pehatikan gambar di bawah!

Sumber: Alexander, S.K. 2004

 Bukalah sarung/ pembungkus mikroskop


2. Menyalakan mikroskop
 Hubungkan kabel mikroskop ke sumber arus listrik.

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 101


 Nyalakan mikroskop dengan menekan tombol utama pada posisi
‘’I’’.
 Atur intensitas cahaya dengan memutar sekrup pengatur
intensitas cahaya sesuai yang dikehendaki (angka di sekeliling
sekrup menandakan watt).

3. Meletakkan spesimen pada meja mikroskop


 Putar sekrup pengatur fokus kasar ke arah yang berlawanan
dengan jarum jam sampai posisi meja paling rendah.
 Buka penjepit preparat sambil terus di tahan, letakkan spesimen
pada meja mikroskop dari arah depan, dan lepaskan penjepit
preparat dengan hati-hati sehingga posisi spesimen terfiksasi.
 Spesimen yang dimaksud biasanya berupa preparat (slide)
yang terdiri dari gelas objek (slide glass/object glass) dan gelas
penutup (cover glass).

Sumber: Olympus® Instruction Manual

 Gunakan penggerak slide horizontal dan vertikal untuk mengatur


spesimen supaya berada di tengah tepat di atas kondenser.

4. Mengatur fokus

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 102


 Putar pemutar lensa objektif dan posisikan lensa objektif pada
perbesaran 4X.
 Setelah lensa objektif tersebut tepat di atas spesimen, gerakkan
sekrup pengatur fokus kasar searah jarum jam sampai meja
berada sedekat mungkin dengan lensa objektif.
 Sambil melihat melalui lensa okuler gerakkan sekrup pengatur
fokus kasar berlawanan dengan arah jarum jam secara perlahan
untuk menambah jarak antara lensa objektif dan spesimen, dan
berhentilah saat gambar spesimen telah terlihat fokus.
 Sambil melihat melalui lensa okuler gerakkan kedua tabung
binokuler untuk mengatur jarak interpupil, sehingga gambar yang
dilihat antar kedua mata menyatu.
 Tutuplah mata kiri dan gunakan mata kanan untuk memfokuskan
gambar dengan memutar sekrup pengatur fokus kasar dan halus,
sampai terlihat fokus (jika diperlukan).
 Tutuplah mata kanan dan gunakan mata kiri untuk memfokuskan
gambar dengan memutar cincin pengatur diopter pada lensa
okuler kiri, sampai fokus (jika diperlukan).
 Bukalah kedua mata dan untuk memfokuskan kembali gerakkan
sekrup pengatur fokus halus untuk memperoleh gambar yang
paling jelas.

5. Mengatur posisi kondenser dan diafragma apertura (jika diperlukan)


 Putar pengatur tinggi kondensor (lihat gambar di bawah) untuk
menggerakkan kondenser pada posisi paling tinggi (cahaya penuh).

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 103


 Cincin diafragma apertura (lihat gambar di bawah) memiliki skala
perbesaran objektif (4X, 10X, 40X, 100X). Putarlah cincin tersebut
sehingga skala perbesaran objektif yang digunakan berada di arah
depan.

Sumber: Olympus® Instruction Manual


1. Pengatur tinggi kondensor, 2. Cincin diafragma apertura

6. Memindahkan lensa objektif untuk pengamatan


 Pegang dan putar pemutar lensa objektif, sehingga objektif yang
akan digunakan (sesuai dengan perbesaran yang diinginkan: 10X,
40X, 100X) berada di atas spesimen.
 Untuk Lapangan Pandang Besar (LPB) : 10okulerx100objektif =
1000x
 Untuk Lapangan Pandang Kecil (LPK) : 10okulerx40objektif = 400x
 Putar sekrup pengatur fokus halus untuk memfokuskan gambar
sampai terlihat jelas.
 Amatilah spesimen/preparat dengan detil dan geser spesimen
menggunakan penggerak slide horizontal dan vertikal untuk
mengamati seluruh bagian preparat tersebut.

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 104


7. Mengambil spesimen dari meja mikroskop
 Jika pengamatan telah selesai, posisikan kembali lensa objektif
pada perbesaran 4X.
 Bukalah penjepit preparat sambil terus di tahan, ambil spesimen
pada meja mikroskop dari arah depan, dan lepaskan penjepit
preparat.

8. Mematikan mikroskop
 Matikan lampu mikroskop dengan menekan tombol utama pada
posisi ‘’O’’.
 Lepaskan kabel dari sumber arus listrik.

9. Menyimpan mikroskop ke tempat penyimpanan


 Pasang kembali sarung/ pembungkus mikroskop.
 Masukkan mikroskop ke lemari penyimpanan (cara membawanya
sama dengan saat mengambilnya).

10. Penggunaan minyak immersi (untuk perbesaran objektif 100X)


Semakin kecil nilai daya pisah, akan semakin kuat kemampuan lensa
untuk memisahkan dua titik yang berdekatan pada preparat sehingga
struktur benda terlihat lebih jelas. Daya pisah dapat diperkuat dengan
memperbesarkan indeks bias atau menggunakan cahaya yang memiliki
panjang gelombang (λ) pendek. Biasanya dapat digunakan minyak
imersi untuk meningkatkan indeks bias pada perbesaran 10 X 100.
Caranya adalah sebagai berikut:

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 105


 Jika fokus pada perbesaran 10X40 telah didapatkan maka putar ke
perbesaran objektif 100X.
 tetesi minyak imersi 1 – 2 tetes dari sisi lensa.
 Jika telah selesai menggunakan mikroskop, bersihkan lensa
objektif 100X dengan kertas lensa yang dibasahi xylol.

G. DAFTAR PUSTAKA
1. Olympus® Educational Microscope CX21 Instruction Manual. Olympus
Optical co. Ltd. Tokyo.
2. Junqueira, L.C, Carneiro, J. 2003. Basic Histology, Tenth Edition, Lange
Medical Books McGraw-Hill, United States of America.
3. Alexander, S.K., Strete, D., and Niles, M. J. 2004. Laboratory Exercises
in Organismal and Molacular Microbiology. McGraw-Hill. United States
of America.
4. Gartner, L.P., and Hiatt, J. L. 2007. Color Atlas of Histology, Fourth
Edition. McGraw-Hill. United States of America.
5. Staf Pengajar FK Unsoed. 2008. Petunjuk Praktikum Mikrobiologi
Dasar.. Fakultas Kedokteran Unsoed. Semarang
6. Staf Pengajar FK Unila. 2003. Buku Praktikum Histologi Bagian I..
Program Studi Pendidikan Dokter Unila. Bandar Lampung

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 106


CHECKLIST LATIHAN PENGENALAN MIKROSKOP
N Skor Feed Back
Aspek
o 0 1 2
A Mengambil mikroskop dari lemari penyimpanan
1 Bawalah mikroskop dengan
menggunakan kedua tangan (tangan
yang satu memegang lengan
mikroskop, dan yang satu lagi
memegang dasar mikroskop)
2 Letakkan mikroskop di meja yang
datar
B Menyalakan mikroskop
3 Hubungkan kabel mikroskop ke
sumber arus listrik.
4 Nyalakan mikroskop dengan menekan
tombol utama pada posisi ‘’I’’.
5 Atur intensitas cahaya dengan
memutar sekrup pengatur intensitas
cahaya sesuai yang dikehendaki.
C Meletakkan spesimen pada meja mikroskop
6 Putar sekrup pengatur fokus kasar ke
arah yang berlawanan dengan jarum
jam sampai posisi meja paling rendah.
7 Buka penjepit preparat sambil terus di
tahan, letakkan spesimen pada meja
mikroskop dari arah depan, dan
lepaskan penjepit preparat.

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 107


D Mengatur focus
8 Gunakan penggerak slide horizontal
dan vertikal untuk mengatur spesimen
supaya berada di tengah tepat di atas
condenser
9 Putar pemutar lensa objektif dan
posisikan lensa objektif pada
perbesaran 4X.
10 Setelah lensa objektif tersebut tepat di
atas spesimen, gerakkan sekrup
pengatur fokus kasar searah jarum jam
sampai meja berada sedekat mungkin
dengan lensa objektif.
11 Sambil melihat melalui lensa okuler
gerakkan gerakkan sekrup pengatur
fokus kasar berlawanan dengan arah
jarum jam secara perlahan untuk
menambah jarak antara lensa objektif
dan spesimen, dan berhentilah saat
gambar spesimen telah terlihat fokus.
12 Sambil melihat melalui lensa okuler
gerakkan kedua tabung binokuler
untuk mengatur jarak interpupil,
sehingga gambar yang dilihat antar
kedua mata menyatu.
13 Tutuplah mata kiri dan gunakan mata
kanan untuk memfokuskan gambar
dengan memutar sekrup pengatur
fokus kasar dan halus, sampai terlihat
fokus.
14 Tutuplah mata kanan dan gunakan
mata kiri untuk memfokuskan gambar
dengan memutar cincin pengatur
diopter pada lensa okuler kiri, sampai
fokus.
15 Bukalah kedua mata dan untuk
memfokuskan kembali gerakkan
sekrup pengatur fokus halus untuk
memperoleh gambar yang paling jelas.

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 108


E Mengatur posisi kondenser dan diafragma apertura
16 Putar pengatur tinggi kondensor untuk
menggerakkan kondenser pada posisi
paling tinggi (cahaya penuh).
17 Putarlah cincin diafragma apertura
sehingga skala perbesaran objektif
yang digunakan berada di arah depan.
F Memindahkan lensa objektif untuk pengamatan
18 Pegang dan putar pemutar lensa
objektif, sehingga objektif yang akan
digunakan (misal: 40X) berada di atas
spesimen.
19 Putar sekrup pengatur fokus halus
untuk memfokuskan gambar sampai
terlihat jelas.
20 Amatilah spesimen/preparat dengan
detil dan geser spesimen
menggunakan penggerak slide
horizontal dan vertikal untuk
mengamati seluruh bagian preparat
tersebut.
G Mengambil spesimen dari meja mikroskop
21 Jika pengamatan telah selesai,
posisikan kembali lensa objektif pada
pembesaran 4X.
22 Bukalah penjepit preparat sambil terus
di tahan, ambil spesimen pada meja
mikroskop dari arah depan, dan
lepaskan penjepit preparat
H Mematikan mikroskop
23 Matikan lampu mikroskop dengan
menekan tombol utama pada posisi
‘’O’’.
24 Lepaskan kabel dari sumber arus
listrik.
I Menyimpan mikroskop ke tempat penyimpanan
25 Pasang kembali sarung/pembungkus
mikroskop.
26 Masukkan mikroskop ke lemari

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 109


penyimpanan (cara membawanya
sama dengan saat mengambilnya).
27 Melakukan dengan penuh percaya diri
28 Melakukan dengan kesalahan minimal
TOTAL

Nilai = ------------- x 100% = ……………

..: PATIENT SAFETY


dr. Muhammad Aditya

A. TEMA
Patient Safety

B. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah melalui CSL ini diharapkan mahasiswa mampu:
1. Memahami patient safety
2. Memahami faktor manusia dan kegunaanya dalam patient safety
3. Memahami sistem dan dampak kompleksitasnya terhadap
penatalaksanaan pasien
4. Berperan dalam tim medis yang efektif
5. Memahami dan belajar dari kesalahan
6. Memahami dan mengatur manajemen risiko klinis
7. Mengenal metode peningkatan kualitas
8. Memahami pentingnya melibatkan pasien, keluarga pasien ataupun
yang merawatnya
9. Meminimalisir infeksi melalui peningkatan pengendalian infeksi

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 110


10. Memahami Patient safety dan prosedur invasif
11. Meningkatkan keselamatan medis

C. Materi

1. Apa itu patient safety?

Merupakan disiplin ilmu dari sektor pelayanan kesehatan yang


menerapkan pengetahuan tentang metode keselamatan untuk
menurunkan insidensi dan dampak kejadian yang tidak diharapkan serta
meningkatkan perbaikannya.

Patient safety atau keselamatan pasien merupakan isu bagi seluruh


pelayanan kesehatan di semua negara, baik umum maupun swasta.
Pemberian antibiotic tanpa melihat kondisi yang mendasari sakit si pasien
ataupun pemberian obat-obatan yang begitu banyak tanpa
memperhatikan aspek efek samping dan reaksi obat, hal-hal tersebut
berpotensi merugikan pasien dan memperburuk penyakit pasien. pasien
tidak hanya dapat dirugikan oleh karena penerapan teknologi baru dalam
medikasi namun dapat juga dirugikan tidak hanya karena keterlambatan
pengobatan namun juga oleh komunikasi yang buruk antar dokter dan
pasien ataupun antara dokter dengan tim medis lainnya.

Mengapa mahasiswa kedokteran perlu pendidikan patient safety?


Mahasiswa kedokteran, sebagai dokter dan pemimpin pelayanan
kesehatan di masa depan, harus dipersiapkan untuk menerapkan prinsip
pelayanan kesehatan yang aman bagi pasien. Membangun pengetahuan
tentang patient safety perlu dilakukan semenjak dalam pendidikan
kedokteran. Sedangkan keterampilan dan perilaku patient safety harus
dimulai sejak mahasiswa mulai memasuki pendidikan klinis di rumah sakit,
klinik, maupun pelayanan kesehatan lainnya.

Tujuan
Mahasiswa memahami disiplin ilmu patient safety dan peranannya dalam
menurunkan insidensi dan dampak kejadian yang tidak diinginkan dan
meningkatkan perbaikannya.

Yang harus dilakukan mahasiswa kedokteran:


- Menerapkan pola fikir patient safety di semua kegiatan klinis

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 111


- Mengenali peranan patient safety di lingkungan pelayanan kesehatan

Yang mahasiswa kedokteran harus pahami


- Dampak yang ditimbulkan dari kesalahan pelayanan kesehatan dan
kegagalan sistem
- Sejarah patient safety dan asal muasal budaya menyalahkan.
- Perbedaan antara kegagalan sistem, kejahatan, dan kesalahan
- Model patient safety

Studi Kasus

Caroline’s story
This case illustrates the importance of attention to continuity of care and
how a system of care can go badly wrong.

On 10 April 2001, Caroline, aged 37, was admitted to a city hospital and
gave birth to her third child in an uncomplicated caesarean delivery.

Dr A was the obstetrician and Dr B was the anaesthetist who set the
epidural catheter. On 11 April, Caroline reported that she felt a sharp pain
in her spine and on the night before the epidural was removed she
accidentally bumped the epidural site. During this time, Caroline
repeatedly complained of pain and tenderness in the lumbar region. The
anaesthetist, Dr B, examined her and diagnosed “muscular” pain. Still in
pain and limping, Caroline was discharged (transferred) from the city
hospital on 17 April.

For the next seven days Caroline remained at her home in the country. She
telephoned her obstetrician, Dr A, about her fever, shaking, intense low
back pain and headaches. On 24 April, the local medical officer, Dr C,
examined Caroline and her baby and recommended they both be admitted
to the district hospital for back pain and jaundice, respectively.

The admitting doctor at the district hospital, Dr D,recorded that Caroline’s


back pain appeared to be situated at the S1 joint rather than at the
epidural site. On 26 April, the baby’s jaundice had improved, but Caroline
had not yet been seen by the general practitioner, Dr E, who admitted he
had forgotten about her. The medical registrar, Dr F, examined Caroline
and diagnosed sacroiliitis. He discharged her with prescriptions for

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 112


oxycodone, paracetamol and diclofenac. He also informed Caroline’s
obstetrician, Dr A, of his diagnosis.

Caroline’s pain was assisted by the medications until 2 May when her
condition deteriorated. Her husband then took Caroline, who was in a
delirious state, to the local country hospital. Shortly after arriving at the
hospital on 3 May she started convulsing and mumbling incoherently. The
local medical officer, Dr C, recorded in the medical records “? excessive
opiate usage, sacroiliitis”.

Her condition was critical by this stage and she was rushed by ambulance
to the district hospital. By the time she arrived at the district hospital,
Caroline was unresponsive and needing intubation. Her pupils were noted
to be dilated and fixed. Her condition did not improve and on 4 May she
was transferred by ambulance to a second city hospital. At 13:30 on
Saturday, 5 May, she was determined to have no brain function and life
support was withdrawn.

A postmortem examination revealed an epidural abscess and meningitis


involving the spinal cord from the lumbar region to the base of the brain
with cultures revealing a methicillin-resistant staphylococcus aureus
(MRSA) infection. Changes to the liver, heart and spleen were consistent
with a diagnosis of septicaemia. The coronial investigation concluded that
Caroline’s abscess could and should have been diagnosed earlier than it
was.

The observation that surfaced again and again in this story was the
inadequacy in recording detailed and contemporaneous clinical notes and
the regular incidence of notes being lost. The anaesthetist, Dr B, was so
concerned about Caroline’s unusual pain that he consulted the medical
library, but he did not record this in her clinical notes. He also failed to
communicate the risk of what he now thought to be “neuropathic” pain to
Caroline or ensure that she was fully investigated before being discharged.
There were also concerns that evidence-based guidelines were not
followed with respect to Dr B scrubbing prior to the epidural insertion as it
was the view of an independent expert that the bacteria that caused the
abscess was most likely to have originated from the staff or environment
at the city hospital.

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 113


It was clear that Caroline would be managed by others after her discharge;
however, she was not involved as a partner in her health care by being
given instructions about the need to seek medical attention if her back pain
worsened. Similarly, no referral letter or phone call was made to her local
medical officer, Dr C.

It was the coroner’s opinion that each of the doctors who examined
Caroline after she returned to the country was hasty in reaching a
diagnosis, mistakenly believing that any major problem would be picked
up by someone else down the track. Her local medical officer, Dr C, only
made a very cursory examination of Caroline as he knew she was being
admitted to the district hospital. The admitting doctor, Dr D, thought there
was a 30% chance of Caroline having an epidural abscess but did not
record it in the notes because he believed it was obvious. In a major
departure from accepted medical practice, Dr E agreed to see Caroline and
simply forgot about it.

The last doctor to examine Caroline at the district hospital was the medical
registrar, Dr F, who discharged her with prescriptions for strong analgesics
without fully investigating his provisional diagnosis of sacroiliitis, which he
thought could have been postoperative or infective. With regards to
medicating safely, Dr F’s handwritten notes to Caroline were considered
vague and ambiguous in instructing her to increase the dose of oxycodone
if the pain increased, while at the same time monitoring specific changes.
The notes Dr F made on a piece of paper detailing his examination and the
possible need for magnetic resonance imaging (MRI) were never found.

The one doctor who the coroner believed could have taken global
responsibility for Caroline’s care was her obstetrician, Dr A. He was phoned
at least three times after her discharge from the city hospital with reports
of her continuing pain and problems, but failed to realize the seriousness
of her condition.

From the birth of her child to her death 25 days later, Caroline was
admitted to four different hospitals and there was a need for proper
continuity of care in the handover of responsibilities from each set of
medical and nursing staff to another. The failure to keep adequate notes
with provisional/differential diagnoses and investigations and provide
discharge summaries and referrals led to a delay in the diagnosis of a life-
threatening abscess and ultimately Caroline’s death.

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 114


Reference
Inquest into the death of Caroline Barbara Anderson, Coroner’s Court,
Westmead, Sydney Australia, 9 March 2004. (Merrilyn Walton was given
written permission by Caroline’s family to use in teaching medical students
and other health professionals so that they could learn about patient
safety from the perspective of patients and families.)

2. Apa itu faktor manusia dan kegunaanya dalam patient safety?

Mahasiswa perlu memahami bahwa faktor manusia dapat diterapkan


untuk menurunkan insiden yang tidak diharapkan (adverse event) dan
kesalahan (error) dengan cara mengidentifikasi bagaimana dan mengapa
sistem pelayanan kesehatan tidak berjalan baik, dan dapat mengetahui
bagaimana dan mengapa komunikasi tidak berjalan dengan baik. Dengan
menggunakan pendekatan faktor manusia, sistem pelayanan dapat
diperbaiki dengan merancang sistem yang lebih baik, mengatur proses
yang lebih sederhana, standarisasi prosedur, meningkatkan komunikasi,
merancang dan menerapkan peralatan, teknis, maupun teknologi yang
dapat meminimalisir kesalahan.

Tujuan
Mahasiswa memahami faktor manusia dan kaitannya dengan patient
safety

Apa yang mahasiswa kedokteran harus lakukan: menerapkan pola fikir


human factor di pelayanan kesehatan.

Apa yang mahasiswa kedokteran harus pahami:


- Memahami apa yang dimaksud dengan faktor manusia
- Memahami kaitan antara faktor manusia dengan patient safety

Studi Kasus

An unaccounted retractor
This case illustrates the importance of using checklists and listening to
patients.

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 115


Suzanne’s medical history included four caesarean sections in a 10-year
period. The second and third operations were held at hospital B and the
fourth at hospital C. Two months after her fourth caesarean, Suzanne
presented to hospital C suffering from severe anal pain.

A doctor performed an anal dilation under general anaesthesia and


retrieved a surgical retractor from the rectum that was 15 cm long by 2 cm
wide, with curved ends. It was of a type commonly used by New South
Wales hospitals and the engraved initials indicated it came from hospital
B. The doctor thought that the retractor had been left inside Suzanne after
one of her caesareans and it had worked its way gradually through the
peritoneum into the rectum.

During her fourth caesarean, the surgeon noted the presence of gross
adhesions, or scarring, to the peritoneum; whereas, no scarring had been
seen by the doctor who had performed the third caesarean two years
earlier. While it is not known for certain what had occurred, the instrument
was most likely to have been left inside Suzanne during her third caesarean
and remained there for more than two years.

Reference
Case studies—investigations. Health Care
Complaints Commission, New South Wales.
Annual Report 1999–2000, p. 58.

3. Memahami sistem dan dampak kompleksitasnya terhadap


penatalaksanaan pasien

Mahasiswa perlu memahami konsep sistem pelayanan kesehatan tidak


hanya satu sistem, namun terdiri dari banyak sistem melibatkan
organisasi-organisasi, departemen-departemen, unit-unit, maupun praktek
dan pelayanan. Sejumlah besar hubungan antara pasien, perawat, dokter,
staff pembantu, administrator, ahli ekonomi, komunitas, dan juga antara
pelayanan-pelayanan kesehatan dan non-kesehatan ikut dalam
kompleksitas sistem pelayanan kesehatan.

Mahasiswa kedokteran perlu memahami bahwa dokter yang bekerja


sendiri dapat melakukan pengobatan yang terbaik yang dapat dilakukan
terhadap suatu pasien namun tidak cukup dapat memberikan pelayanan

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 116


yang aman dan berkualitas, hal ini dikarenakan bahwa pasien bergantung
dengan banyak orang selain dokter (keluarga, perawat, dan staf lainnya)
yang memberikan pelayanan yang baik dan benar serta pada saat yang
tepat, dengan kata lain pasien bergantung dengan sistem pelayanan
kesehatan. Mahasiswa kedokteran diharapkan dapat melakukan
pendekatan secara sistem dalam mengatasi masalah.

Salah satu contoh berfikir secara sistem dalam memecahkan masalah


misalnya pada contoh di bawah ini. Dimana dalam memecahkan masalah
tidak berfikir dengan pendekatan perorangan, namun dengan pendekatan
sistem. Sehingga didapatkan penyebab-penyebab dari timbulnya suatu
kejadian yang tidak diharapkan.

Pendekatan perorangan dalam memecahkan masalah hanya akan


menimbulkan budaya menyalahkan dibanding mencari dan memperbaiki
sistem pelayanan kesehatan yang lebih aman bagi pasien.

Tujuan

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 117


Mahasiswa memahami bahwa berfikir secara sistem dapat meningkatkan
pelayanan kesehatan dan dapat menurunkan angka kejadian yang tidak
diharapkan.

Studi Kasus

Case 1. Miscommunication to a patient about the type of anaesthesia to


expect for surgery
This example highlights system complexities that reach outside of the
immediate operating room setting and includes communication between
individuals not immediately involved in the current surgical procedure,
both between and across professions.

A patient arrived in the operating room for an inguinal hernia repair.


Although the procedure had been booked as a general anaesthesia case,
the anaesthetist discussed a local anaesthetic with the patient. During his
pre-operative anaesthesia consultation, it had been established that the
patient would receive a local anaesthetic. When the surgeon entered the
room several minutes later, the patient told him that he wanted to have a
local anaesthetic.

The surgeon examined the hernia and reported that the hernia was too big
for a local anaesthetic and would require either a spinal or general
anaesthesia. The surgeon was irritated and said that, “if (the anaesthetist
who did the pre-op consult) wants to do the procedure under a local that’s
fine, but I do not”. The patient and the anaesthetist discussed the side-
effects of a spinal and the patient asked the surgeon which one he would
recommend. The surgeon suggested general anaesthesia and the patient
agreed to this.

After the patient had been induced and intubated the surgeon asked the
anaesthetist to tell the other anaesthetists that they should not speak to
patients in pre-admit about local versus general anaesthesia because they
had not examined the patient. It has happened three or four times that the
pre-admit anaesthetists have told patients something different in their pre-
op consult than what the surgeon has recommended. The anaesthetist
agreed to speak to his colleagues and the chief of anaesthesia.

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 118


Case from the WHO Patient Safety Curriculum Guide for Medical Schools
working group. Supplied by Lorelei Lingard, University of Toronto. Toronto,
Canada.

Case 2. Chain of errors leading to wrong site surgery


This case raises the latent problems that exist in the system and can result
in errors at the sharp end of care.

Neurosurgeon A was performing a craniotomy on a child called Jim. The


flap was made on the right side in preparation for the removal of a
suspected meningioma. The surgeon paused to recalled the history of the
patient. He is puzzled, as he recalls that the meningioma was on the left
side, not the right. The neurosurgeon re-checked the computed axial
tomography (CT) scans. The scans showed that the lesion was in the right
frontal lobe.

The neurosurgeon checked his own notes on Jim, and saw that he has
written a diagnosis of a left-sided cerebral lesion. Seeing, however, that
the CT scan shows the lesion to be on the right side, he went ahead with
the surgery.

To his surprise, there is no evidence of any tumour. The neurosurgeon


closed up the flap and sent the boy to recovery. The next day, Jim was sent
for a second CT scan. The second set of scans showed that the lesion was
indeed on the left, as he had remembered.

The following errors had occurred:


CT scan had been mislabelled; the marker for “R” (right) had been placed
incorrectly. Mistake made in the booking of the operating theatre, which
should have stated the site of the procedure. Neurosurgeon did not double-
check CAT scan and notes prior to surgery.

Reference
Case from the WHO Patient Safety Curriculum Guide for Medical Schools
working group. Supplied by Ranjit De Alwis, International Medical
University, Kuala Lumpur,Malaysia.

Case 3. A failure to administer preoperative antibiotic prophylaxis in a


timely manner according to protocol

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 119


This example highlights how system complexities cannot accommodate
last minute changes and requests.

The anaesthetist and the surgeon discussed thepreoperative antibiotics


required for the laparoscopic cholecystectomy that was about to begin.

The anaesthetist informed the surgeon of the patient’s allergy to penicillin


and the surgeon suggested clindamycin as an alternative preoperative
antibiotic.

The anaesthetist went into the sterile corridor to retrieve the antibiotics
but returned and explained to the circulating nurse that he could not find
any suitable antibiotics in the sterile corridor. The circulating nurse got on
the phone to request the preoperative antibiotics. The anaesthetist
explained that he could not order them because there were no order forms
(he looked through a file folder of forms).

The circulating nurse confirmed that the requested antibiotics “are


coming”. The surgical incision was performed. Six minutes later the
antibiotics were delivered to the OR and immediately injected into the
patient. This injection happened after the time of incision, which was
counter to protocol that requires antibiotics to be administered prior to the
surgical incision in order to avoid surgical site infections.

Case from the WHO Patient Safety Curriculum Guide for Medical Schools
working group. Supplied by Lorelei Lingard, University of Toronto,Toronto,
Canada.

4. Berperan dalam tim medis yang efektif

Mahasiswa kedokteran memahami kerja tim tidak hanya sebagai


keterlibatan dalam tim medis. Dibutuhkan pemahaman yang baik tentang
keuntungan dari tim multidisiplin, dan bagaimana suatu tim multidisiplin
dapat secara efektif meningkatkan kualitas pelayanan dan menurunkan
kesalahan. Tim yang efektif adalah tim yang mana anggotanya aktif
berkomunikasi dengan anggota lainnya, berbagi pengalaman, observasi,
kepakaran, dan tanggung jawab penentuan keputusan untuk
mengoptimalkan pelayanan kesehatan pasien.

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 120


Mahasiswa perlu mengetahui bagaimana suatu tim kesehatan bekerja
dengan efektif, termasuk teknik dalam melibatkan pasien dan keluarga
pasien sebagai bagian dari tim. Tim multidisiplin terbukti dapat
meningkatkan kualitas pelayanan dan menurunkan biaya pengobatan.
kerja tim yang baik juga terbukti dapat menurunkan angka kesalahan dan
meningkatkan kesehatan pasien.

Tujuan
- Memahami pentingnya kerja tim dalam pelayanan kesehtan
- Mengetahui bagaimana menjadi anggota tim yang efektif
- Menyadari anda akan menjadi anggota dari tim kesehatan sebagai
mahasiswa kedokteran

Yang mahasiswa kedokteran perlu lakukan: menerapkan prinsip kerja tim


seperti
- Memahami bahwa penilian ataupun asumsi seseorang dapat
mempengaruhi interaksi antar anggota tim
- Memahami faktor psikologis mempengaruhi interaksi anggota tim
- Menyadari dampak dari perubahan yang terjadi pada tim
- Mengikutsertakan pasien sebagai tim
- Menggunakan teknik komunikasi efektif
- Penyelesaian konflik
- Mampu mendukung tim secara mutual
- Mengobservasi dan merubah prilaku

Yang mahasiswa kedokteran perlu pahami


- Perbedaan tipe-tipe tim dalam pelayanan kesehatan
- Memahami karakteristik tim yang efektif
- Memahami peranan pasien dalam tim

Studi Kasus
Right Action Wrong Result

A doctor was coming to the end of his first week in the emergency
department. His shift had ended an hour before, but the department was
busy and his registrar asked if he’d see one last patient. The patient was an
18-year-old man. He was with his parents who were sure he’d taken an
overdose. His mother had found an empty bottle of paracetamol that had
been full the day before. He had taken overdoses before and was under the
care of a psychiatrist. He was adamant he’d only taken a couple of tablets

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 121


for a headache. He said he’d dropped the remaining tablets on the floor so
had thrown them away. The parents said they’d found the empty bottle six
hours ago and felt sure that he couldn’t have taken the paracetamol more
than ten hours ago. The doctor explained that a gastric lavage would be of
no benefit. He took a blood test instead to establish paracetamol and
salicylate levels.

He asked the lab to phone the emergency department with the results as
soon as possible. A student nurse was at the desk when the lab technician
phoned. She wrote the results in the message book. The salicylate level
was negative. When it came to the paracetamol result, the technician said,
“two” paused, and then, “one three”, “two point one three” repeated the
nurse, and put down the phone. She wrote “2.13” in the book. The
technician didn’t say whether this level was toxic and he didn’t check
whether the nurse had understood. When the doctor appeared at the desk,
the nurse read out the results. The doctor checked a graph he’d spotted
earlier on the notice board. It showed when to treat overdoses. There was
also a protocol for managing paracetamol overdoses on the notice board,
but it was covered by a memo. The graph showed that 2.13 was way
below treatment level. The doctor thought briefly about checking with the
registrar, but she looked busy. Instead, he told the student nurse that the
patient would need admitting overnight so that the psychiatrist could
review him the next day. The doctor went off duty before the printout
came back from the lab. It read “paracetamol level: 213”. The mistake
wasn’t discovered for two days, by which time the patient was starting to
experience the symptoms of irreversible liver failure. It wasn’t possible to
find a donor liver for transplant and the patient died a week later. If he’d
been treated when he arrived at the emergency department, he might not
have died.

The doctor was told what had happened by his consultant on Monday
when he started his next shift and, while still in a state of shock, explained
that he had acted on what he thought was the correct result. He had not
realised, he admitted, that paracetamol levels are never reported with a
decimal point. Because he had not seen the protocol he had also not
appreciated that it might have been appropriate to start treatment before
the paracetamol level had come back anyway, bearing in mind that the
history, although contradictory, suggested the patient might well have
taken a considerable number of tablets. It would be unfair to blame the
doctor or the student nurse individually. The real weakness is the lack of

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 122


safety checks in the system of communicating test results. In fact, no-one
made a really big mistake. At least three people made a series of small
ones, and the system failed to pick these up.

Reference
National Patient Safety Agency 2005. Copyright and other intellectual
property rights in this material belong to the NPSA and all rights are
reserved. The NPSA authorises healthcare organisations to reproduce this
material for educational and non-commercial use.

5. Memahami dan belajar dari kesalahan

Memahami mengapa tenaga-tenaga medis profesional membuat


kesalahan penting agar faktor-faktor yang berkontribusi dalam terjadinya
kesalahan dapat diidentifikasi. Kesalahan merupakan sesuatu yang dapat
terjadi dalam hidup, namun konsekuensi kesalahan tersebut terhadap
pasien dapat berdampak buruk. Mahasiswa kedokteran dan tenaga medis
perlu memahami mengapa suatu kesalahan terjadi sehingga mereka dapat
bertindak untuk mencegak dan belajar dari kesalahan tersebut.
Pemahaman akan kesalahan pelayanan kesehatan dapat dijadikan dasar
untuk membuat suatu sistem pelayanan kesehatan agar menjadi lebih baik
dan efektif. Selain itu dengan mahasiswa kedokteran memahami suatu
masalah menggunakan pendekatan sistem, dimana pencarian sebab
berdasarkan atas semua faktor-faktor yang terlibat dalam sistem
pelayanan kesehatan, jauh lebih baik dan signifikan dibandingkan dengan
pendekatan perorangan yang mana mencari kesalahan pada orang atau
individu yang bersalah.

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 123


Tujuan
Mahasiswa memahami penyebab alami kesalahan dan bagaimana tenaga
kesehatan belajar dari kesalahan untuk meningkatkan keselamatan pasien.

Yang mahasiswa kedokteran perlu lakukan:


- Mengetahui cara belajar dari kesalahan
- Ikut berpartisipasi dalam analisis suatu kejadian yang tidak diharapkan
- Menerapkan strategi untuk menurunkan error.

Yang mahasiswa kedokteran perlu pahami


- Mampu menjelaskan apa itu error, violation, near miss, dan hindsight
bias.

Studi Kasus

Vincristine administration alert


The following alert No. 115 was published by WHO on 18 July 2007. It
relates to the administration of the drug vincristine

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 124


Hong Kong, 7 July 2007
A 21-year-old female has died after being administered vincristine
accidentally via a spinal route in error. An inquiry is under way. Vincristine
(and other vinca alkaloids) should only be given intravenously via a
minibag. Vincristine, a widely used chemotherapeutic agent, should only
be administered intravenously, and never by any other route. Many
patients receiving IV vincristine also receive other medication via a spinal
route as part of their treatment protocol. This has led to errors where
vincristine has been administered via a spinal route. Since 1968, this error
has been reported in a variety of international settings 55 times. There
have been repeated warnings over time and extensive labelling
requirements and standards. However, errors related to the accidental
administration of vincristine via a spinal route continue to occur.

6. Memahami dan mengatur manajemen risiko klinis

Manajemen risiko klinis merupakan fokus utama dalam menjaga sistem


kesehatan yang aman. Biasanya melibatkan sistem organisasi maupun
proses yang dirancang untuk mengidentifikasi, mengatur, dan mencegah
kejadian yang tidak diharapkan. Manajemen risiko klinis berfokus pada
peningkatan kualitas dan keselamatan pelayanan kesehatan dengan
mengidentifikasi kejadian dan kemungkinan yang menempatkan pasien
dalam risiko yang merugikan dan bertindak untuk mencegah maupun
mengendalikan risiko.

Tujuan
Mahasiswa mampu menerapkan prinsip manajemen risiko dengan cara
mengidentifikasi, menilai, dan melaporkan suatu bahaya atau potensi
risiko di pelayanan kesehatan.

Yang mahasiswa kedokteran perlu lakukan:


- Tahu bagaimana melaporkan risiko atau bahaya yang diketahui di
tempat pelayanan kesehatan
- Mengisi rekam medis dengan akurat dan lengkap
- Tahu kapan dan bagaimana cara meminta pertolongan dari
supervisor, senior, atau tenaga kesehatan lainnya.

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 125


- Perpartisipasi dalam diskusi manajemen risiko dan keselamatan
pasien.

Yang mahasiswa kedokteran perlu pahami:


- Aktivitas untuk mengumpulkan informasi tentang risiko
- Kemampuan personal untuk mengontrol risiko klinis

Studi Kasus

Inadequacy in orthopaedic surgeon’s practice management systems

Accurate and legible records are essential for maintaining continuity of


care. Brian was being treated by a new specialist and needed his records
from the orthopaedic surgeon who operated on his knee two years earlier.
When the records finally arrived, Brian’s new doctor informed him that
they were not “up to scratch”.

The records were poorly documented with no meaningful notes concerning


the consent discussion for Brian’s operation. There were also gaps in the
information recorded in the operation report and there was no
documentation of the orthopaedic surgeon’s verbal advice about the risks
and complications of the operation. Brian was dismayed to discover that
the surgeon had not followed up on a missed postoperative review.

Reference
Case adapted from Payne S. case study: managing risk in practice. United
Journal, 2003, Spring, p. 19.

7. Mengenal metode peningkatan kualitas

Selama beberapa dekade terakhir, pelayanan kesehatan telah berhasil


mengadopsi berbaga macam metode peningkatan kualitas yang telah
digunakan oleh industri lain. Metode ini memfasilitasi klinisi dengan
rancangan berupa (i) identifikasi masalah; (ii) pengukuran masalah; (iii)
pengembangan skala intervensi untuk memecahkan masalah; dan (iv) tes
untuk mengetahui apakah intervensi berhasil atau tidak.

Tujuan

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 126


Mahasiswa kedokteran memahami prinsip peningkatan kualitas dan
mengenal metode dan perangkat dasar untuk meningkatkan kualitas
pelayanan kesehatan

Yang mahasiswa kedokteran perlu lakukan:


- Tahu bagaimana melakukan aktivitas-aktivitas untuk meningkatkan
kualitas

Yang mahasiswa kedokteran perlu pahami:


- Model peningkatan kualitas
- Konsep perubahan
- Contoh metode peningkatan kualitas
- Pengetahuan akan peningkatan kualitas

8. Pentingnya melibatkan pasien, keluarga pasien, dan pengasuhnya

Mahasiswa kedokteran dikenalkan pada konsep tim pelayanan kesehatan


melibatkan perawat, pengasuh, pasien, dan atau keluarga yang
merawatnya. Pasien dan keluarga pasien memegang peran kunci dalam
pemberian pelayanan kesehatan yang aman karena dapat: (i) membantu
dalam diagnosis; (ii)menentukan pengobatan yang tepat; (iii) memilih
pelayanan kesehatan yang aman dan berpengalaman; (iv) memastikan
pengobatan diberikan dan dikonsumsi dengan baik dan tepat; dan (v)
identifikasi kejadian yang tidak diharapkan dan langkah penanganan yang
tepat.

Penelitian menunjukkan bawah angka kesalahan yang lebih rendah dan


hasil pengobatan yang lebih baik terdapat pada dokter yang memiliki
komunikasi yang baik terhadap perawat yang merawat pasien, pasien, dan
keluarga pasien. Komunikasi yang buruk antara dokter dengan pasien dan
pengasuhnya tak jarang berakhir dengan tuntutan hukum terhadap
dokter.

Tujuan
Mahasiswa kedokteran memahami bagaimana pasien, keluarga pasien,
serta pengasuhnya dapat dilibatkan sebagai rekan dalam pelayanan
kesehatan, untuk mencegah kejadian yang tidak diharapkan.

Yang mahasiswa kedokteran perlu lakukan:

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 127


- Aktif meminta pasien, keluarga, atau pengasuhnya untuk berbagi
informasi
- Menunjukkan empati, kejujuran, dan rasa hormat pada pasien,
keluarga, dan pengasuhnya
- Komunikasi efektif
- Melakukan informed consent
- Menghormati perbedaan pasien, agama, kepercayaan budaya, dan
keperluan individual
- Mampu untuk melakukan open disclosure (komunikasi jujur kepada
pasien atau keluarganya akan terjadinya kejadian yang tidak
diharapkan)
- Menerapkan pola pikir untuk melibatkan pasien dalam semua
aktivitas klinis

Yang mahasiswa kedokteran perlu pahami


- Teknik dasar komunikasi
- Prosedur informed consent
- Teknik mengutarakan open disclosure

Studi Kasus

Acknowledgment of medical error

Frank is a resident of an aged care facility. One night, a nurse mistakenly


gave Frank insulin, even though he does not have diabetes. The nurse
immediately recognised his error and brought it. the attention of the other
staff, who in turn informed Frank and his family. The facility took
immediate action to help Frank and arranged his transfer to a hospital
where he was admitted and observed before being returned to the aged
care facility. The nurse was commended for fully and immediately
disclosing the incorrect administration of the insulin. Following this
incident, the nurse undertook further training in medications to minimise
the possibility of a similar error occurring.

Reference
Open Disclosure. Case Studies Volume 1. Sydney: Health Care Complaints
Commission, 2003: 16–18.

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 128


9. Meminimalisir infeksi melalui peningkatan pengendalian infeksi

Pasien-pasien yang menjalani tindakan operatif dan prosedur invasive


diketahui memiliki risiko untuk infeksi sebesar 40% dari semua infeksi
hospital-acquired. Mahasiswa kedokteran perlu memahami penyebab
utama dan tipe-tipe infeksi dan mampu mengidentifikasi tindakan-
tindakan ataupun aktivitas yang dapat menempatkan pasien pada kondisi
berisiko untuk terinfeksi serta menyiapkan mahasiswa kedokteran agar
mampu melakukan tindakan yang dapat meminimalisirkan transmisi
infeksi.

Tujuan
Memahami efek dari pengendalian infeksi yang tidak baik dan menyadari
bahwa mahasiswa kedokteran mampu untuk meminimalisir risiko dari
kontaminasi infeksi penyakit.

Yang mahasiswa perlu lakukan:


- Menerapkan universal precautions
- Imunisasi hepatitis B
- Menerapkan metode proteksi personal
- Tahu apa yang harus dilakukan bila terpapar oleh kontaminan
- Mendorong orang lain untuk menerapkan universal precaution

Yang mahasiswa perlu pahami:


- Memahami masalah pengendalian infeksi
- Mengetahui penyebab utama dan tepi infeksi

Studi Kasus

Hepatitis C: reusing needles


This case shows how easy it is to inadvertently reuse a syringe.

Sam, a 42-year-old man, was booked for an endoscopy at a local clinic.


Prior to the procedure he was injected with sedatives, but after several
minutes the nurse noticed Sam seemed uncomfortable and required
additional sedation. She used the same syringe, dipped it in the open
sedative vial and re-injected him. The procedure continued as normal.

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 129


Several months later, Sam, suffering from swelling of the liver, stomach
pain, fatigue and jaundice, was diagnosed with Hepatitis C. The Centers
for Disease Control was contacted, as 84 other cases of liver disease were
linked to the clinic. It was believed that the sedative vial may have been
contaminated from the backflow into the syringe and that the virus may
have been passed on from the contaminated vial. Several health-care
workers commented that reusing the syringe on the same patient (and
thus dipping a used syringe into a common vial) was common practice.

10. Patient safety dan prosedur invasif


Salah satu penyebab utama dari kesalahan yang melibatkan salah pasien
yang akan dioperasi, salah lokasi/posisi, salah prosedur adalah gagalnya
pelayanan kesehatan dalam melakukan komunikasi efektif pada prosedur
preoperatif. Salah satu contoh salah lokasi/prosedur/pasien antara lain (i)
salah pasien pada ruang operasi; (ii) tindakan bedah pada lokasi yang
salah; (iii) salah prosedur; (iv) kegagalan dalam komunikasi dan informasi
perubahan kondisi pasien; (v) ketidaksetujuan dalam menghentikan
prosedur; and (vi) kegagalan dalam melaporkan kesalahan

Tujuan
Mahasiswa kedokteran memahami penyebab utama dari kejadian yang
tidak diharapkan dalam tindakan bedah maupun prosedur invasive, dan
bagaimana cara menggunakan guideline dan proses verifikasi dapat
memfasilitasi ketepatan prosedur yang dijalankan oleh pasien dengan
tepat dan benar.

Yang mahasiswa kedokteran perlu lakukan:


- Melakukan verifikasi untuk menghindari salah pasien, salah lokasi
tindakan, maupun salah prosedur.

Yang mahasiswa kedokteran perlu pahami:


- Tipe-tipe kejadian yang tidak diharapkan yang mungkin terjadi dalam
prosedur bedah maupun invasive.
- Proses verifikasi untuk menghindari kejadian yang tidak diharapkan
pada tindakan bedah maupun prosedur invasive

Studi Kasus

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 130


A routine operation.
The case illustrates the risks of anaesthetics

A 37-year-old woman in good health was scheduled for non-emergency


sinus surgery under general anaesthesia. The consultant anaesthetist had
16 years of experience; the ear, nose and throat surgeon had 30 years
experience, and three of the four nurses in theatre were also very
experienced. The operating room was very well equipped.

Anaesthesia was induced at 08:35 but it was not possible to insert the
laryngeal mask airway. Two minutes later, the patient’s oxygenation
began to deteriorate and she looked cyanosed (turning blue). Her oxygen
saturation at this time was 75% (anything less than 90% is significantly
low) and her heart rate was raised. At 08:39, her oxygen saturation
continued to deteriorate to a very low level (40%). Attempts to ventilate
the lungs with 100% oxygen using a face mask and oral airway proved
extremely difficult.

The anaesthetist, who was joined by a consultant colleague tried


unsuccessfully to achieve tracheal intubation to overcome the problems
with the airway. By 08:45, there was still no airway access and the
situation had become “cannot intubate, cannot ventilate”, a recognized
emergency in anaesthetic practice for which guidelines are available. The
nurses present appear to have recognized the severity of the situation,
one fetching a tracheotomy tray, another going to arrange a bed in ICU.

The doctors’ intubation attempts continued using different laryngoscopes,


but these were also unsuccessful and the procedure was abandoned with
the patient transferred to the recovery room. Her oxygen saturation had
remained at less than 40% for 20 minutes. Despite being subsequently
transferred to ICU, she never regained consciousness and died 13 days
later as a result of severe brain damage.

Reference
Bromiley, M. Have you ever made a mistake? Bulletin of the Royal College
of Anaesthetists, March. Just a Routine Operation. 2008. DVD available
from the Clinical Human Factors Group
web site at www.chfg.org.

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 131


11. Meningkatkan keselamatan medis

Penyebab kesalahan dalam medikasi melibatkan faktor yang luas antara


lain : (i) pengetahuan pasien yang kurang dan kurangnya pemahaman
pasien akan kondisi medisnya; (ii) kurangnya pengetahuan akan
pengobatan; (iii) kesalahan penghitungan; (iv) tulisanyang tidak
terbaca/tidak jeals; (v) nama obat yang membingungkan/mirip dengan
nama obat lain; and (vi) anamnesis yang kurang.

Tujuan
Agar mahasiswa kedokteran mampu untuk terus belajar dan
mempraktikan berbagai macam cara untuk meningkatkan keselamatan
pelayanan kesehatan.

Yang mahasiswa perlu lakukan:


- Menggunakan nama generic dalam peresepan
- Belajar dan berlatih dari riwayat pengobatan
- Selalu berfikir medikasi tidak sama untuk tiap orang.
- Mengetahui risiko besar dari medikasi, selalu ingat 5R (right drug,
right route, right time, right dose, right patient)
- Komunikasi dengan jelas dan efektif
- Membangun kebiasaan melakukan checking
- Mendorong pasien untuk aktif terlibat dalam proses pengobatannya
- Belajar dari kesalahan dan melaporkan kesalahan
- Belajar dan berlatih perhitungan dosis obat
- Membuat alat bantu untuk mengingat (kartu dosis obat, kartu
tatalaksana kejang, dll)

Yang mahasiswa perlu pahami:


- Memahami skala kesalahan medikasi
- Memahami penggunaan medikasi memiliki risiko
- Memahami penyebab utama kesalahan medis
- Memahami di bagian mana proses kesalahan dapat terjadi
- Memahami tanggung jawab dokter ketika meresepka obat dan
memberikan medikasi
- Mampu menyadari situasi bahaya
- Belajar bagaimana cara agar pemberian medikasi menjadi lebih aman
- Memahami pentingnya pendekatan multidisiplin untuk keselamatan
pelayanan kesehatan

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 132


Studi Kasus

Case 1 with questions for discussion:


a prescribing error

A 74-year-old man sees a community doctor for treatment of new onset


stable angina. The doctor has not met this patient before and takes a full
past history and medication history. He discovers the patient has been
healthy and only takes medication for headaches. The patient cannot
recall the name of the headache medication. The doctor assumes it is an
analgesic that the patient takes whenever he develops a headache. But
the medication is actually a beta-blocker which he takes every day for
migraine. A different doctor prescribed this medication.

The doctor commences the patient on aspirin and another beta-blocker


for the angina. After commencing the new medication, the patient
develops bradycardia and postural hypotension. Unfortunately, the
patient has a fall three days later due to dizziness on standing. He
fractures his hip in the fall.

Case 2 with questions for discussion:


an administration error

A 38-year-old woman comes to the hospital with 20 minutes of itchy red


rash and facial swelling. She has a history of serious allergic reactions. A
nurse draws up 10 mls of 1:10,000 adrenaline (epinephrine) into a 10 ml
syringe and leaves it at the bedside ready to use (1 mg in total) just in
case the doctor requests it. Meanwhile, the doctor inserts an IV cannula.
The doctor sees the 10 ml syringe of clear fluid that the nurse has drawn
up and assumes it is normal saline. There is no communication between
the doctor and the nurse at this time.

The doctor gives all 10 mls of adrenaline (epinephrine) through the IV


cannula thinking he is using saline to flush the line. The patient suddenly
feels terrible, anxious, becomes tachycardic and then becomes
unconscious with no pulse. She is discovered to be in ventricular
tachycardia, is resuscitated and fortunately makes a good recovery.
Recommended dose of adrenaline (epinephrine) in anaphylaxis is 0.3–0.5
mg IM. This woman received 1 mg IV.

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 133


Case 3 with questions for discussion:
a monitoring error

A patient is commenced on oral anticoagulants in hospital for treatment


of a deep venous thrombosis following an ankle fracture. The intended
treatment course is three to six months. However, neither patient nor
community doctor are aware of the planned duration of treatment.
Patient continues medication for several years, being unnecessarily
exposed to the increased risk of bleeding associated with this medication.
The patient is prescribed a course of antibiotics for a dental infection. Nine
days later the patient becomes unwell with back pain and hypotension, a
result of a spontaneous retroperitoneal haemorrhage, requiring
hospitalization and a blood transfusion. Blood coagulation test reveals a
grossly elevated result; the antibiotics have potentiated the therapeutic
anticoagulant effect.

D. Daftar Pustaka

WHO. 2009. WHO patient safety curriculum guide for medical schools.
http://www.who.int

WHO. 2013. Ethical issues in patient safety research: interpreting existing


guidance. http://www.who.int

Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester 1 134

Anda mungkin juga menyukai