Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
………………………………………………………………………………………………………
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi
buku tanpa izin tertulis dari penyusun.
TIM PENYUSUN
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan
kekuatan serta kemudahan sehingga penyusun dapat menyelesaikan buku
Editor
DAFTAR ISI
Semester : 1
Angkatan Tahun : 2015 Tahun Ajaran : 2015/2016
2 Hubungan Dokter-Pasien √ - - -
3 Patient Safety √ - - -
4 Cuci Tangan WHO - - √ -
5 Prinsip Sterilitas - - √ -
6 General Survey - √ - -
7 Vital Sign - √ - -
Pengenalan alat bedah
8 - - √ -
minor
9 Pengenalan Mikroskop - - - √
10 Penulisan laporan ilmiah - - - √
Per Kelompok
Kuliah Besar
LEVEL OF COMPETENCE
Level Kompetensi 1 Mengetahui dan menjelaskan
Level Kompetensi 2 Pernah melihat / didemonstrasikan
Pernah melakukan atau pernah menerapkan di bawah
Level Kompetensi 3
supervisi
Level Kompetensi 4 Mampu melakukan secara mandiri
B. TUJUAN PEMBELAJARAN
Mahasiswa mampu memahami dan menerapkan sambung rasa dan
percaya diri.
D. SKENARIO
Zaskia, 19 tahun, datang kepada anda yang sedang bertugas di klinik
dokter keluarga. Pasien merasa cemas dan sulit tidur selama menghadapi
ujian semester. Zaskia mengaku keluhan ini sering muncul bila menjelang
ujian. Anda sebagai dokter keluarga diharapkan dapat melakukan sambung
rasa dengan baik dan percaya diri.
E. DASAR TEORI
1. Sambung Rasa
Keterampilan komunikasi sangat penting dimiliki oleh dokter yang
dalam tugasnya harus mengumpulkan informasi dari seseorang atau
sekelompok orang. Dengan komunikasi yang sederhana, cepat, dan
efektif maka akan diperoleh informasi yang akurat. Banyak kelemahan
hasil anamnesis (wawancara) disebabkan keterampilan komunikasi
yang kurang memadai serta sikap dokter yang kurang memperhatikan
aspek psikologis pasien. Atas kenyataan tersebut, maka keterampilan
Interaksi yang baik antara dokter dan pasien membuat pasien merasa
lebih nyaman ketika memberikan informasi dan itu menjadi dasar
hubungan dokter – pasien, karena dalam keadaan sakit dapat
membuat pasien merasa terisolasi dan segan. Perasaan
ketersambungan dengan dokter, disimak dan dipahami akan
mengurangi perasaan terisolasi tersebut. Perasaan ini adalah inti dari
penyembuhan (Bickley, 2007). Berdasarkan kenyataan tersebut, dalam
komunikasi dokter-pasien perlu dilakukan sambung rasa.
Agar tercipta adanya sambung rasa antara dokter dan pasien, maka
dokter harus berusaha membina sikap serta pandangan tertentu
terhadap pasien, yaitu agar :
a. Pasien mempercayai dokter, bahwa dokter tidak akan membuka
rahasia pasien kepada siapapun.
Misalnya : “Bapak/Ibu tidak perlu khawatir, semua yang bapak/ibu
sampaikan akan saya jaga kerahasiaannya, jadi saya harapkan
bapak/ibu dapat memberikan informasi yang sejujur-jujurnya”
b. Pasien memahami bahwa hasil wawancara akan digunakan demi
kepentingan serta kebaikan pasien.
Misalnya : ”informasi yang bapak/ibu berikan sangat penting untuk
penegakkan diagnosis penyakit bapak/ibu dan pemberian terapi
yang sesuai dengan penyakit bapak/ibu.”
c. Pasien merasakan bahwa dokter berempati kepadanya (bukan
merasa iba atas penderitaan pasien). Empati bukan simpati, empati
2. Percaya diri
Percaya diri adalah yakin benar atau memastikan akan kemampuan
diri sendiri. Percaya diri seorang dokter adalah keadaan mental yang
yakin akan kemampuan dirinya dalam menjalankan profesi sesuai
standar kompetensi dokter. Agar dapat tampil percaya diri, perlu
dilakukan beberapa hal:
a. Mempersiapkan dengan baik segala sesuatu berkaitan dengan hal
yang akan dilakukan.
b. Melakukan sesuatu dengan tenang dan tidak terburu-buru.
c. Bicara dengan alur yang teratur, tidak berbelit-belit dan tidak
gugup.
d. Melakukan kontak mata dengan lawan bicara (pasien). Dengan
kontak mata, tidak hanya membantu membangun rasa percaya
F. PROSEDUR
Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam sambung rasa adalah:
1. Berpenampilan yang sederhana, rapi, bersih, dan tepat.
2. Memberikan salam dan membuat pasien merasa disambut dengan
baik.
3. Menunjukkan tempat duduknya, dan memakai bahasa yang sesuai
antara keadaan dokter dan pasien.
4. Memperkenalkan diri.
G. REFERENSI
1. Bickley, Lynn. S. BATES Guide to Physical Examination and History
Taking (Ninth Edition). Lippincott Williams & Wilkins
2. Gan, Goh Lee, at all. 2004. A Primer On Family Medicine Practice,
Singapore International Foundation, Singapore.
3. Azwar Azrul. 1996. Pengantar Pelayanan Dokter Keluarga.Yayasan
Penerbit IDI. Jakarta
4. Mc Whinney. 1989. A Text Book of Family Medicine. Oxford
University.New York
A. TEMA
Hubungan Dokter-Pasien
B. TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Tujuan instruksional umum
Mahasiswa mampu membina hubungan Dokter-Pasien dengan baik
2. Tujuan instruksional khusus
Setelah mempelajari keterampilan klinik ini diharapkan mahasiswa
mampu:
a. Melakukan komunikasi interpersonal dengan pasien dalam lingkup
bidang kesehatan.
b. Menempatkan diri sejajar dengan pasien (pasien dan keluarganya
adalah mitra kerja).
c. Membina hubungan yg terjadi antara dokter dengan pasien karena
adanya tanggung jawab & kewajiban profesi dokter terhadap
pasien.
d. Menjelaskan kedudukan dokter dan kedudukan pasien dalam
pelayanan kesehatan.
e. Menghormati hak-hak dan kewajiban baik pasien maupun dokter
f. Membina hubungan yang baik antara dokter dengan pasien secara
terus-menerus & berkesinambungan.
E. DASAR TEORI
Batasan
Batasan hubungan dokter pasien tidaklah mudah dirumuskan. Secara
sederhana dapat diartikan sebagai hubungan yang terjadi antara dokter
dengan pasien karena adanya tanggung jawab dan kewajiban profesi dokter
terhadap pasien. Tanggung jawab dan kewajiban profesi dokter terhadap
pasien tidak hanya terbatas pada waktu menyelenggarakan pelayanan
kedokteran saja, tetapi harus terus menerus dibina dan berkesinambungan.
Karakteristik
Dasar utama terbentuknya hubungan dokter pasien adalah karena adanya
tanggung-jawab dan kewajiban profesi. Hubungan yang terjadi tidak
terbatas hanya di bidang kesehatan saja, tetapi hampir semua aspek
kehidupan pasien. Ruang lingkup sangat luas serta ditambah ekspektasi
pasien yang sangat beraneka ragam menyebabkan peran dokter tidak hanya
tunggal, melainkan majemuk (ahli kesehatan, konselor, guru, teman).
Tujuan hubungan dokter pasien adalah demi kepentingan pasien dan sifat
hubungan:
1. Hubungan interpersonal
2. Hubungan administratif
Hak pasien
• Hak informasi: hak untuk mengetahui semua informasi yang
dibutuhkan.
• Hak akses: hak untuk memperoleh pelayanan tanpa dibedakan status
sosial, ekonomi dan budaya.
• Hak memilih: hak untuk memutuskan secara bebas penanggulangan
masalah yang dihadapinya.
• Hak keamanan: hak untuk mendapatkan pelayanan yang aman dan
efektif.
• Hak kerahasiaan: hak dijamin kerahasiaan informasi mengenai pasien.
• Hak privasi: hak mendapatkan privasi dalam pelayanan (konseling dan
pemeriksaan).
Kewajiban pasien
• Memberikan keterangan yang benar / berterus terang.
• Menaati kemufakatan yang telah disepakati.
• Memenuhi aturan pada sarana pelayanan kesehatan.
• Memberi imbalan jasa.
• Menyimpan rahasia pribadi dokter yang diketahuinya.
Hak dokter
Menolak bekerja di luar standar pelayanan medik.
Menolak tindakan yang bertentangan dengan kode etik.
Mengakhiri hubungan profesional dengan pasien.
Mendapatkan kehidupan pribadi (privacy).
Memperoleh imbalan jasa.
Menolak memberikan keterangan mengenai pasiennya.
Kewajiban dokter
Bekerja sesuai standar profesi.
Memberikan informed consent.
Menolong pasien gawat darurat.
F. PROSEDUR WAWANCARA
• Memberikan salam.
• Membuat suasana tenteram.
• Membina rapport.
• Mempunyai waktu.
• Bagian awal; terbuka (biarkan pasien bicara dengan kata-katanya sendiri)
patient centered.
• Pertanyaan terbuka untuk menggali masalah pasien, pertanyaan
tertutup untuk klarifikasi masalah. Terlalu banyak pertanyaan tertutup
akan mengekang pasien.
• Mendengarkan dengan pengertian dan merasakan apa yang dikeluhkan
pasien (empati).
• Menstimulasi verbal pasien.
• Melakukan refleksi isi yang berarti mengungkapkan apa yang
disampaikan pembicara/pasien dengan kata-kata kita sendiri. Refleksi isi,
dilakukan untuk mengetahui apakah informasi yang kita terima memang
sesuai dengan yang dimaksud pembicara/pasien.
G. REFERENSI
1. Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Pusat penerbitan Depdiknas. Jakarta
2. Bickley L.S. BATES; Guide to Physical Examination and History Taking
(Ninth Edition), Lippincott Williams & Wilkins
3. Gan G.L. et all. 2004. A Primer On Family Medicine Practice, Singapore
International Foundation, Singapore.
A. TEMA
Cuci tangan standar WHO
B. TUJUAN PEMBELAJARAN
Mahasiswa mampu memahami dan melakukan prosedur mencuci tangan
yang sesuai dengan standar WHO sebelum semua tindakan
D. SKENARIO
Seorang pria berusia 47 tahun datang ke klinik anda dengan keluhan luka
pada kakinya dan berbau. Diketahui dari hasil anamnesis dan pemeriksaan
laboratorium bahwa pasien tersebut mengidap diabetes. Sebelum
melakukan tindakan medis pada luka tersebut anda sebagai dokter yang
profesional melakukan cuci tangan WHO terlebih dahulu.
E. DASAR TEORI
PROFESSIONALISM
1 Melakukan dengan penuh percaya
1 diri
1 Melakukan dengan kesalahan
2 minimal
TOTAL
A. TEMA
Keterampilan Klinis Pemeriksaan Fisik General Survey
B. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah melalui CSL ini diharapkan mahasiswa mampu untuk:
1. melakukan persiapan sebelum pemeriksaan.
2. melakukan pengamatan langsung terhadap pasien secara umum dan
keseluruhan.
3. melakukan pemeriksaan BMI.
4. menyimpulkan status sehat/sakit pasien secara umum.
D. SKENARIO
Anda adalah dokter di Puskesmas Sukagalau, siang itu datang pasien laki-
laki gemuk berusia 35 tahun diantar oleh keluarganya dengan keluhan
E. DASAR TEORI
General Survey adalah melakukan observasi/pengamatan terhadap
keseluruhan status kesehatan pasien secara umum. Hal tersebut dapat
mencakup tinggi badan, berat badan, pertumbuhan dan perkembangan
seksual, postur tubuh, cara berjalan, personal hygyene, aroma tubuh dan
nafas, ekspresi wajah, reaksi terhadap lingkungan, cara berbicara dan
tingkat kesadaran.
Kini latihlah diri anda untuk melakukan pengamatan terhadap pasien anda
sejak pertama kali anda berinteraksi. Perhatikan bagaimana kesan pasien
ketika anda menyambutnya? Perhatikan apakah pasien berjalan dengan
mudah atau kaku? Apakah pasien dapat naik ke bed pemeriksaan dengan
mudah? Atau jika pasien menjalani perawatan inap di RS, amati pada saat
anda melakukan visite. Apakah pasien terbaring lemah? atau duduk dan
menonton tv? Perhatikan apa yang ada di sebelahnya apakah majalah?
atau kitab suci? lihat apakah pasien dipasangi alat bantu seperti kateter
urin? dan sebagainya. Hal-hal yang anda amati tersebut dapat membantu
anda dalam membuat hipotesis tentang keadaan kesehatan pasien dan
mungkin prognosisnya.
Dalam melakukan general survey, perhatikanlah:
Keadaan umum Kesan sehat/sakit. Cobalah untuk membuat
kesimpulan umum berdasar pengamatan anda selama berinteraksi
dengan pasien. Keadaan umum dapat terbagi atas kesan sehat, kesan
sakit ringan (misalnya pasien masih dapat berjalan, tersenyum,
memperhatikan penampilan), kesan sakit sedang (pasien tampak agak
lemah, terganggu dengan keadaan sakitnya, sedikit meringgis) dan
kesan sakit berat (pasien tampak lemah, tidak dapat melakukan
aktivitas sehari-hari sendiri (membersihkan diri, menggunakan pakaian,
makan dan minum) dll
Tingkat kesadaran Kesadaran adalah produk neurofisiologik dimana
seorang individu mampu berorientasi secara wajar terhadap diri sendiri
dan lingkungan. Sedangkan definisi yang lain yaitu keadaan yang
Compos mentis Keadaan sistem sensorik utuh, ada waktu tidur dan
sadar penuh serta aktivitas yang teratur.
Somnolen Keadaan mengantuk dan dapat disebut juga sebagai
letargi. Dapat bangun spontan pada waktunya atau
sesudah dirangsang dengan ringan, tapi kembali tidur
setelah stimulasi dihilangkan. Pasien mampu memberi
jawaban verbal dan menangkis rangsang nyeri.
Stupor Kantuk yang dalam. Pasien terlihat tertidur tapi dapat
dibangunkan dengan rangsang verbal yang kuat, dapat
spontan hanya waktu singkat, sistem sensorik berkabut,
dapat mengikuti beberapa perintah sederhana. Tidak
dapat diperoleh jawaban verbal dari pasien. Gerak
motorik untuk menangkis rangsang nyeri masih baik.
Semikoma/ Pasien tidak ada respon dengan rangsang verbal,
soporokomatus dengan rangsang nyeri masih ada gerakan, reflek‐reflek
(cornea, pupil dll) masih baik dan nafas masih adekuat.
Koma Koma adalah suatu keadaan tidak sadar total terhadap
diri sendiri dan lingkungan meskipun distimulasi dengan
kuat. Gerakan spontan negatif, reflek‐reflek negatif,
fungsi nafas terganggu atau negatif. Tidak ada respon
sama sekali terhadap rangsang nyeri yang
bagaimanapun kuatnya.
F. PROSEDUR
1. Sambung rasa sambil memulai melakukan general survey
2. Amati dan perhatikan
Keadaan umum kesan sehat, sakit ringan, sedang, berat.
Tingkat kesadaran komposmentis, somnolen, stupor,
soporokomatus, atau koma. Cobalah memberi beberapa
pertanyaan kepada pasien atau beri rangsang nyeri dan beri
penilaian.
Bentuk tubuh Bentuk tubuh kurus, ramping atau pendek
gemuk? tegap atau bungkuk? simetris atau tidak? perhatikan
apakah pasien terlihat proporsional? perhatikan pula jika terdapat
deformitas.
Overweight 23 - <25
Obesitas 25 - <27
Derajat I
Obesitas ≥27
Derajat II
Seorang dikatakan kurus bila IMT nya < 18.5 dan gemuk bila IMT nya >
23. Bila IMT >25 orang tersebut menderita obesitas dan perlu
diwaspadai karena biasanya orang tesebut juga menderita penyakit
G. DAFTAR PUSTAKA
Bate’s barbara. 2007. Guide to physical examination. Lippincot.
A. TEMA
Pemeriksaan vital sign: suhu, tekanan darah, nadi, nafas
B. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah melalui CSL ini diharapkan mahasiswa mampu untuk:
Melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital (vital sign) meliputi pemeriksaan
tekanan darah, suhu, nadi dan respirasi rate (frekuensi pernafasan) dengan
menggunakan alat yang sesuai secara baik dan benar.
D. SKENARIO
Anda adalah seorang dokter jaga pada Klinik 24 jam. Lalu datanglah Tn. Adi,
30 tahun, dengan keluhan pusing berputar sudah 3 hari. Keluhan disertai
dengan mual, muntah dan badan lemas sejak 1 hari. Setelah melakukan
anamnesis, Anda melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital pada pasien
tersebut. Lakukanlah!
Jika pasien dalam posisi duduk, sanggalah lengan pasien oleh meja
pemeriksaan, diatas pinggang pasien.
Jika pasien dalam keadaan berdiri, usahakan menyangga lengan
pasien pada pertengahan dada.
2. Pemeriksaan Nadi
Melalui pemeriksaan nadi, kita dapat menghitung denyut jantung,
menentukan irama amplitudo, gelombang pulsasi dan terkadang
mendeteksi obstruksi aliran darah. Pulsasi radialis umumnya dapat
digunakan untuk menilai denyut jantung. Ketika iramanya irregular
maka lakukan evaluasi dengan mendengarkan bunyi jantung
(auskultasi menggunakan stetoskop).
3. Pemeriksaan Pernafasan
Bernafas adalah suatu tindakan yang tidak disadari, diatur oleh batang
otak dan dilakukan dengan bantuan otot-otot pernafasan. Pada waktu
inspirasi, diafragma dan otot-otot interkostalis berkontraksi,
memperluas rongga toraks dan memekarkan paru –paru. Dinding dada
akan bergerak ke atas, ke depan, dan ke lateral, sedangkan diafragma
4. Pemeriksaan Suhu
Suhu badan diperiksa dengan termometer badan, dapat berupa
termometer air raksa atau termometer elektrik/digital. Pemeriksaan
dapat dilakukan pada mulut, aksila atau rektum. Pengukuran suhu
melalui mulut biasanya lebih mudah dan hasilnya lebih tepat
dibandingkan melalui rektum. Rata-rata suhu tubuh yang dilakukan
pengukuran melalui mulut adalah 37 0C (98.60F). Pemeriksaan secara
rektum biasanya memberikan hasil pemeriksaan yang lebih tinggi
sebesar 0,4 – 0,5 derajat dibandingkan lewat mulut. Suhu aksila lebih
rendah 10C dari suhu mulut. Banyak pasien memilih pengukuran suhu
F. PROSEDUR PEMERIKSAAN
1. Prosedur pemeriksaan tekanan darah:
a. Siapkan alat yang diperlukan (tensimeter dan stetoskop)
b. Siapkan pasien dapat dalam keadaan duduk atau berbaring
G. DAFTAR PUSTAKA
Bate’s barbara. 2007. Guide to physical examination. Lippincot.
A. TEMA
Pengenalan alat bedah minor
B. TUJUAN PEMBELAJARAN
Mahasiswa dapat mengetahui alat-alat yang digunakan dalam tindakan
bedah minor
D. SKENARIO
E. DASAR TEORI
1. Nald Voeder
A B
Gambar. (A) Nald Voeder Tipe Crille wood dan (B) Nald Voeder Tipe
Mathew Kusten
2. Gunting
Gunting diseksi
Gunting diskesi (disecting scissor). Gunting ini ada dua jenis yaitu, lurus
dan bengkok. Ujungnya biasanya runcing. Terdapat dua tipe yang sering
digunakan yaitu tipe mayo dan tipe metzenbaum. Kegunaan gunting ini
adalah untuk membuka jaringan, membebaskan tumor kecil dari jaringan
sekitarnya, untuk eksplorasi, maupun merapikan luka.
Gunting Benang
Ada dua macam gunting benang yaitu gunting benang yang bengkok dan
yang lurus. Kegunaannya untuk memotong benang operasi, merapikan
luka.
3. Pisau Bedah
Terdiri atas dua bagian, yaitu gagang dan mata pisau
(mess/bistouri/blade). Pada pisau bedah model lama, mata pisau dan
gagang bersatu, sehingga bila mata pisau tumpul harus diasah kembali.
Pada model baru, mata pisau dapat diganti. Biasanya mata pisau hanya
untuk sekali pakai.
Terdapat dua nomor gagang pisau yang sering dipakai, yaitu gagang nomor
4 (untuk mata pisau besar) dan gagang nomor 3 (untuk mata pisau kecil).
Guna pisau bedah ini adalah untuk menyanyat berbagai organ/bagian
tubuh. Mata pisau, disesuaikan dengan bagian tubuh yang akan disayat.
4. Klem (clamp)
Klem arteri pean
Ada dua jenis yaitu yang lurus dan bengkok. Penggunaannya adalah untuk
hemostasis terutama untuk jaringan tipis dan lunak. Penyediaan : masing-
masing 6 buah.
Klem Kocher
Ada dua jenis yaitu, klem yang lurus dan yang bengkok. Tidak ditujukan
untuk hemostatis. Sifat khasnya adalah mempunyai gigi pada ujungnya
(mirip gigi pada pinset sirurgis). Gunanya adalah untuk menjepit
jaringannya, terutama agar jaringan tidak meleset dari klem, dan hal ini
Klem Mosquito
Mirip dengan klem arteri pean, tetapi ukurannya lebih kecil.
Penggunaannya adalah untuk hemostatis terutama untuk jaringan tipis
dan lunak. Penyediaannya : masing-masing 6 buah.
Klem Babcock
Penggunaannya adalah untuk menjepit tumor yang agak besar dan rapuh.
Retractor Volkman
Penggunaannya adalah untuk menguakkan luka, pemakaian retractor
(ukurannya) disesuaikan dengan lebar luka. Ada yang mempunyai 2 gigi, 3
gigi dan 4 gigi. Dua gigi untuk luka kecil, 4 gigi untuk luka besar. Terdapat
pula retractor bergigi tumpul.
6. Pinset
Pinset Sirurgis
Penggunaannya adalah untuk menjepit jaringan pada waktu diseksi dan
penjahitan luka, memberi tanda pada kulit sebelum memulai insisi.
Pinset Anatomis
Penggunaannya adalah untuk menjepit kasa sewaktu menekan luka,
menjepit jaringan yang tipis dan lunak.
Pinset Splinter
Penggunaannya adalah untuk mengadaptasi tepi-tepi luka (mencegah
overlapping).
8. Wound Curett
Penggunaannya adalah untuk mengeruk luka kotor, mengeruk ulkus kronis
Gambar. Korentang
Klasifikasi
Pemilihan jarum bedah antara lain : jarum yang digunakan agar
berperan aktif dalam penyembuhan luka dan tidak merubah atau
merusak jaringan tubuh. Bentuk, ukuran, dan rancangan jarum dipilih
yang sesuai dengan prosedur operasi. Terdapat 2 macam jarum bedah
dilihat dari penggunaan benang yaitu berupa jarum lepas dan jarum
atraumatik
o Jarum lepas
Memerlukan waktu penyambungan benang dengan
jarum
Memerlukan re–sterilisasi
Taper. Ujung jarum taper dengan batang bulat atau empat persegi
cocok digunakan untuk menjahit daerah aponeurosis, otot, saraf,
peritoneum, pembuluh darah, katup.
c. Mata jarum
Rolled end
Drilled end
Regular eye
Spring eye
Spring double eyes
Tersedia dalam berbagai ukuran, mulai dari nomor 0000 (5 nol merupakan
ukuran paling kecil) hingga nomor 3 (yang merupakan ukuran terbesar).
Yang paling sering dipakai adalah nomor 00 (2 nol) dan 0 (1 nol) dan
nomor 1
Plain catgut harus disimpul paling sedikit 3 kali, karena dalam tubuh akan
mengembang, bila disimpulkan 2 kali akan terbuka kembali. Plain catgut
tak boleh terendam dalam lisol karena akan mengembang dan menjadi
lunak, sehingga tak dapat digunakan.
c. Chromic Catgut
Berbeda dari plain catgut, sebelum benang dipintal ditambahkan krom.
Dengan adanya krom ini, maka benang menjadi lebih keras dan kuat, serta
penyerapannya lebih lama, haitu 20-40 hari. Warnanya coklat dan
kebiruan. Benang ini tersedia dalam ukuran 000 (3 nol merupakan ukuran
yang paling kecil) hingga nomor 3.
d. Etnilon
Merupakan benang sintetis dalam kemasan atraumatis (benang langsung
bersatu dengan jarum jahit) dan terbuat dari nilon, lebih kuat dari seide
atau catgut. Tidak diserap tubuh, dan tidak menimbulkan iritasi pada kulit
dan jaringan tubuh lainnya.
Tersedia dalam warna biru dan hitam. Tersedia dalam ukuran 10 nol hingga
1 nol. Penggunaannya pada bedah plastik, ukuran yang lebih besar sering
digunakan pada kulit, sedang nomor yang kecil dipakai pada bedah mata.
f. Ethibond
Merupakan benang sintesis (terbuat dari polytetra methylene adipate).
Tersedia dalam kemasan atraumatis. Bersifat lembut, kuat, reaksi terhadap
tubuh minimum, tidak diserap, dan warnanya hijau dan putih. Ukurannya
dari 7 nol hingga nomor 2. Penggunaannya pada bedah kardiovaskuler dan
urologi.
g. Vitalene
Merupakan benang sintetis (terbuat dari polimer profilen). Sangat kuat dan
lembut, tidak diserap, warna biru. Tersedia dalam kemasan atraumatis.
Ukuran dari 10 nol hingga nomor 1. Digunakan pada bedah mikro, terutama
untuk pembuluh darah dan jantung, bedah mata, bedah plastik, cocok pula
untuk menjahit kulit
i. Supramid
Merupakan benang sintetis, dalam kemasan atraumatis. Bersifat kuat,
lembut, fleksibel, reaksi tubuh minimum, dan tidak diserap. Warnanya
hitam dan putih. Digunakan untuk menjahit kutis dan sub kutis.
j. Linen (Catoon)
Dibuat dari serat kapas alam dengan jalan pemintalan. Bersifat lembut,
cukup kuat, mudah disimpul, tidak diserap, reaksi tubuh minimum.
Warnanya putih. Tersedia dalam ukuran 4 nol hingga 1 nol. Digunakan
untuk menjahit usus dan kulit, terutama kulit wajah.
k. Steel Wire
Merupakan benang logam yang terbuat dari polifilamen baja tahan karat.
Sangat kuat, tidak korosif dan reaksi terhadap tubuh minimum. Mudah
disimpul. Warna putih metalik. Terdapat dalam kemasan atraumatis dan
kemasan biasa. Ukurannya dari 6 nol hingga nomor 2. Untuk menjahit
tendo
Saat ini masker yang sering dipakai mempunyai model sekali pakai
(disposable) yang terbuat dari kertas. Masker ini akan dibuang sesudah
digunakan. Untuk alat tenun dari kain, sesudah dipakai harus direndam lalu
dicuci. Setelah kering baru disterilkan. Masker, topi dan baju kamar bedah
tidak perlu disterilkan.
c. Kasa Hidrofil
Adalah kain dengan anyaman jarang (kasa), lembut dan bersifat mudah
menyerap. Digunakan untuk penyerap darah yang keluar dari luka,
menyerap sekret dan cairan lain serta digunakan sebagai penutup luka
(dressing). Kasa ini tersedia dalam ukuran kecil-kecil, yaitu kira-kira 5 x 7,5
cm, terlipat rapi, tidak boleh ada bagian benang yang menjulur keluar,
d. Tuffer (spons)
Dibuat dari kasa hidrofil yang dipadatkan dengan cara :
1. Kasa dipotong berbentuk segi empat sesuai dengan ukuran yang
diinginkan
2. Dari salah satu sudutnya dilakukan penggulungan secara padat ke arah
tengah
3. Ekor tadi digulung rapi hingga habis
Tuffer digunakan untuk membebaskan jaringan (terutama jaringan
longgar), menekan perdarahan, menggosok luka. Tuffer harus steril
sebelum dipakai.
e. Drain
Terdapat bermacam-macam drain. Prinsip penggunaannya sama yaitu
untuk memungkinkan pengaliran sekret keluar dari luka. Drain digunakan
untuk luka yang terkontaminasi dengan kemungkinan terbentuknya pus
atau sekret lainnya, atau pada luka dengan perdarahan hebat sewaktu
telah ditutup ada kemungkinan perdarahan masih aktif di bawah jaringan
yang ditutup.
1. Cigarette drain. Berbentuk seperti pipa dengan panjang 5-10 cm.
dipergunakan pada operasi abses apendiks, trauma dan sebagainya,
dimana sekret yang keluar diharapkan tidak terlalu banyak.
2. Corrugated drain (drain bergelombang). Dibuat dari lembaran karet
khusus yang bergelombang halus (seperti pola lembaran seng atap
rumah). Dipakai pada luka sedang, yang sekretnya tidak terlalu banyak.
F. DAFTAR PUSTAKA
1. Karakata S, Bachsinar B. 1995. Bedah Minor. Hipokrates : Jakarta
A. TEMA
Keterampilan laboratorium penggunaan mikroskop cahaya
B. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah melalui CSL ini diharapkan mahasiswa mampu untuk:
menyebutkan bagian-bagian mikroskop cahaya.
menjelaskan fungsi dari bagian-bagian mikroskop cahaya.
melakukan pemeriksaan spesimen/ preparat menggunakan mikroskop
cahaya.
D. SKENARIO
Pada minggu pertama perkuliahan, mahasiswa semester I mendapatkan
materi tentang sel dan jaringan. Salah satu jaringan yang dipelajari adalah
jaringan epitel yang menyusun permukaan kulit. Menurut teori, epitel pada
permukaan kulit (bagian epidermis) adalah epitel berlapis gepeng. Untuk
E. DASAR TEORI
1. Kegunaan Mikroskop
Penggunaan mikroskop merupakan bagian yang sangat penting dalam
berbagai cabang ilmu seperti biologi, histologi, mikrobiologi,
parasitologi, patologi anatomi, patologi klinik dan sebagainya. Dengan
bantuan mikroskop kita dapat mengamati objek yang sangat kecil yang
tidak dapat diamati hanya dengan menggunakan mata telanjang.
Struktur yang dapat diamati dengan mikroskop antara lain bentuk sel,
ukuran sel, serta susunannya. Dengan mikroskop kita juga dapat
mengamati organisme yang sangat kecil atau bersifat mikroskopik
seperti parasit maupun mikroorganisme.
2. Macam-Macam Mikroskop
Ada beberapa jenis mikroskop yang dapat dipergunakan. Pada
dasarnya mikroskop-mikroskop itu dapat digolongkan menurut jenis
sumber cahaya yang dipakai. Tentu yang paling banyak dipakai adalah
mikroskop cahaya (optik) yang menggunakan cahaya terlihat. Selain
mikroskop cahaya biasa, ada juga beberapa modifikasi tertentu, yaitu
mikroskop interferens, dan mikroskop lapangan (medan) gelap,
mikroskop polarisasi dan mikroskop fase kontras. Semua mikroskop
yang menggunakan radiasi tak terlihat dan sinar ultraviolet serta
mikroskop elektron, merupakan perkembangan yang lebih baru.
11
13 12
16
14
18
15
20
17
21
19
4. Mengatur fokus
8. Mematikan mikroskop
Matikan lampu mikroskop dengan menekan tombol utama pada
posisi ‘’O’’.
Lepaskan kabel dari sumber arus listrik.
G. DAFTAR PUSTAKA
1. Olympus® Educational Microscope CX21 Instruction Manual. Olympus
Optical co. Ltd. Tokyo.
2. Junqueira, L.C, Carneiro, J. 2003. Basic Histology, Tenth Edition, Lange
Medical Books McGraw-Hill, United States of America.
3. Alexander, S.K., Strete, D., and Niles, M. J. 2004. Laboratory Exercises
in Organismal and Molacular Microbiology. McGraw-Hill. United States
of America.
4. Gartner, L.P., and Hiatt, J. L. 2007. Color Atlas of Histology, Fourth
Edition. McGraw-Hill. United States of America.
5. Staf Pengajar FK Unsoed. 2008. Petunjuk Praktikum Mikrobiologi
Dasar.. Fakultas Kedokteran Unsoed. Semarang
6. Staf Pengajar FK Unila. 2003. Buku Praktikum Histologi Bagian I..
Program Studi Pendidikan Dokter Unila. Bandar Lampung
A. TEMA
Patient Safety
B. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah melalui CSL ini diharapkan mahasiswa mampu:
1. Memahami patient safety
2. Memahami faktor manusia dan kegunaanya dalam patient safety
3. Memahami sistem dan dampak kompleksitasnya terhadap
penatalaksanaan pasien
4. Berperan dalam tim medis yang efektif
5. Memahami dan belajar dari kesalahan
6. Memahami dan mengatur manajemen risiko klinis
7. Mengenal metode peningkatan kualitas
8. Memahami pentingnya melibatkan pasien, keluarga pasien ataupun
yang merawatnya
9. Meminimalisir infeksi melalui peningkatan pengendalian infeksi
C. Materi
Tujuan
Mahasiswa memahami disiplin ilmu patient safety dan peranannya dalam
menurunkan insidensi dan dampak kejadian yang tidak diinginkan dan
meningkatkan perbaikannya.
Studi Kasus
Caroline’s story
This case illustrates the importance of attention to continuity of care and
how a system of care can go badly wrong.
On 10 April 2001, Caroline, aged 37, was admitted to a city hospital and
gave birth to her third child in an uncomplicated caesarean delivery.
Dr A was the obstetrician and Dr B was the anaesthetist who set the
epidural catheter. On 11 April, Caroline reported that she felt a sharp pain
in her spine and on the night before the epidural was removed she
accidentally bumped the epidural site. During this time, Caroline
repeatedly complained of pain and tenderness in the lumbar region. The
anaesthetist, Dr B, examined her and diagnosed “muscular” pain. Still in
pain and limping, Caroline was discharged (transferred) from the city
hospital on 17 April.
For the next seven days Caroline remained at her home in the country. She
telephoned her obstetrician, Dr A, about her fever, shaking, intense low
back pain and headaches. On 24 April, the local medical officer, Dr C,
examined Caroline and her baby and recommended they both be admitted
to the district hospital for back pain and jaundice, respectively.
Caroline’s pain was assisted by the medications until 2 May when her
condition deteriorated. Her husband then took Caroline, who was in a
delirious state, to the local country hospital. Shortly after arriving at the
hospital on 3 May she started convulsing and mumbling incoherently. The
local medical officer, Dr C, recorded in the medical records “? excessive
opiate usage, sacroiliitis”.
Her condition was critical by this stage and she was rushed by ambulance
to the district hospital. By the time she arrived at the district hospital,
Caroline was unresponsive and needing intubation. Her pupils were noted
to be dilated and fixed. Her condition did not improve and on 4 May she
was transferred by ambulance to a second city hospital. At 13:30 on
Saturday, 5 May, she was determined to have no brain function and life
support was withdrawn.
The observation that surfaced again and again in this story was the
inadequacy in recording detailed and contemporaneous clinical notes and
the regular incidence of notes being lost. The anaesthetist, Dr B, was so
concerned about Caroline’s unusual pain that he consulted the medical
library, but he did not record this in her clinical notes. He also failed to
communicate the risk of what he now thought to be “neuropathic” pain to
Caroline or ensure that she was fully investigated before being discharged.
There were also concerns that evidence-based guidelines were not
followed with respect to Dr B scrubbing prior to the epidural insertion as it
was the view of an independent expert that the bacteria that caused the
abscess was most likely to have originated from the staff or environment
at the city hospital.
It was the coroner’s opinion that each of the doctors who examined
Caroline after she returned to the country was hasty in reaching a
diagnosis, mistakenly believing that any major problem would be picked
up by someone else down the track. Her local medical officer, Dr C, only
made a very cursory examination of Caroline as he knew she was being
admitted to the district hospital. The admitting doctor, Dr D, thought there
was a 30% chance of Caroline having an epidural abscess but did not
record it in the notes because he believed it was obvious. In a major
departure from accepted medical practice, Dr E agreed to see Caroline and
simply forgot about it.
The last doctor to examine Caroline at the district hospital was the medical
registrar, Dr F, who discharged her with prescriptions for strong analgesics
without fully investigating his provisional diagnosis of sacroiliitis, which he
thought could have been postoperative or infective. With regards to
medicating safely, Dr F’s handwritten notes to Caroline were considered
vague and ambiguous in instructing her to increase the dose of oxycodone
if the pain increased, while at the same time monitoring specific changes.
The notes Dr F made on a piece of paper detailing his examination and the
possible need for magnetic resonance imaging (MRI) were never found.
The one doctor who the coroner believed could have taken global
responsibility for Caroline’s care was her obstetrician, Dr A. He was phoned
at least three times after her discharge from the city hospital with reports
of her continuing pain and problems, but failed to realize the seriousness
of her condition.
From the birth of her child to her death 25 days later, Caroline was
admitted to four different hospitals and there was a need for proper
continuity of care in the handover of responsibilities from each set of
medical and nursing staff to another. The failure to keep adequate notes
with provisional/differential diagnoses and investigations and provide
discharge summaries and referrals led to a delay in the diagnosis of a life-
threatening abscess and ultimately Caroline’s death.
Tujuan
Mahasiswa memahami faktor manusia dan kaitannya dengan patient
safety
Studi Kasus
An unaccounted retractor
This case illustrates the importance of using checklists and listening to
patients.
During her fourth caesarean, the surgeon noted the presence of gross
adhesions, or scarring, to the peritoneum; whereas, no scarring had been
seen by the doctor who had performed the third caesarean two years
earlier. While it is not known for certain what had occurred, the instrument
was most likely to have been left inside Suzanne during her third caesarean
and remained there for more than two years.
Reference
Case studies—investigations. Health Care
Complaints Commission, New South Wales.
Annual Report 1999–2000, p. 58.
Tujuan
Studi Kasus
The surgeon examined the hernia and reported that the hernia was too big
for a local anaesthetic and would require either a spinal or general
anaesthesia. The surgeon was irritated and said that, “if (the anaesthetist
who did the pre-op consult) wants to do the procedure under a local that’s
fine, but I do not”. The patient and the anaesthetist discussed the side-
effects of a spinal and the patient asked the surgeon which one he would
recommend. The surgeon suggested general anaesthesia and the patient
agreed to this.
After the patient had been induced and intubated the surgeon asked the
anaesthetist to tell the other anaesthetists that they should not speak to
patients in pre-admit about local versus general anaesthesia because they
had not examined the patient. It has happened three or four times that the
pre-admit anaesthetists have told patients something different in their pre-
op consult than what the surgeon has recommended. The anaesthetist
agreed to speak to his colleagues and the chief of anaesthesia.
The neurosurgeon checked his own notes on Jim, and saw that he has
written a diagnosis of a left-sided cerebral lesion. Seeing, however, that
the CT scan shows the lesion to be on the right side, he went ahead with
the surgery.
Reference
Case from the WHO Patient Safety Curriculum Guide for Medical Schools
working group. Supplied by Ranjit De Alwis, International Medical
University, Kuala Lumpur,Malaysia.
The anaesthetist went into the sterile corridor to retrieve the antibiotics
but returned and explained to the circulating nurse that he could not find
any suitable antibiotics in the sterile corridor. The circulating nurse got on
the phone to request the preoperative antibiotics. The anaesthetist
explained that he could not order them because there were no order forms
(he looked through a file folder of forms).
Case from the WHO Patient Safety Curriculum Guide for Medical Schools
working group. Supplied by Lorelei Lingard, University of Toronto,Toronto,
Canada.
Tujuan
- Memahami pentingnya kerja tim dalam pelayanan kesehtan
- Mengetahui bagaimana menjadi anggota tim yang efektif
- Menyadari anda akan menjadi anggota dari tim kesehatan sebagai
mahasiswa kedokteran
Studi Kasus
Right Action Wrong Result
A doctor was coming to the end of his first week in the emergency
department. His shift had ended an hour before, but the department was
busy and his registrar asked if he’d see one last patient. The patient was an
18-year-old man. He was with his parents who were sure he’d taken an
overdose. His mother had found an empty bottle of paracetamol that had
been full the day before. He had taken overdoses before and was under the
care of a psychiatrist. He was adamant he’d only taken a couple of tablets
He asked the lab to phone the emergency department with the results as
soon as possible. A student nurse was at the desk when the lab technician
phoned. She wrote the results in the message book. The salicylate level
was negative. When it came to the paracetamol result, the technician said,
“two” paused, and then, “one three”, “two point one three” repeated the
nurse, and put down the phone. She wrote “2.13” in the book. The
technician didn’t say whether this level was toxic and he didn’t check
whether the nurse had understood. When the doctor appeared at the desk,
the nurse read out the results. The doctor checked a graph he’d spotted
earlier on the notice board. It showed when to treat overdoses. There was
also a protocol for managing paracetamol overdoses on the notice board,
but it was covered by a memo. The graph showed that 2.13 was way
below treatment level. The doctor thought briefly about checking with the
registrar, but she looked busy. Instead, he told the student nurse that the
patient would need admitting overnight so that the psychiatrist could
review him the next day. The doctor went off duty before the printout
came back from the lab. It read “paracetamol level: 213”. The mistake
wasn’t discovered for two days, by which time the patient was starting to
experience the symptoms of irreversible liver failure. It wasn’t possible to
find a donor liver for transplant and the patient died a week later. If he’d
been treated when he arrived at the emergency department, he might not
have died.
The doctor was told what had happened by his consultant on Monday
when he started his next shift and, while still in a state of shock, explained
that he had acted on what he thought was the correct result. He had not
realised, he admitted, that paracetamol levels are never reported with a
decimal point. Because he had not seen the protocol he had also not
appreciated that it might have been appropriate to start treatment before
the paracetamol level had come back anyway, bearing in mind that the
history, although contradictory, suggested the patient might well have
taken a considerable number of tablets. It would be unfair to blame the
doctor or the student nurse individually. The real weakness is the lack of
Reference
National Patient Safety Agency 2005. Copyright and other intellectual
property rights in this material belong to the NPSA and all rights are
reserved. The NPSA authorises healthcare organisations to reproduce this
material for educational and non-commercial use.
Studi Kasus
Tujuan
Mahasiswa mampu menerapkan prinsip manajemen risiko dengan cara
mengidentifikasi, menilai, dan melaporkan suatu bahaya atau potensi
risiko di pelayanan kesehatan.
Studi Kasus
Reference
Case adapted from Payne S. case study: managing risk in practice. United
Journal, 2003, Spring, p. 19.
Tujuan
Tujuan
Mahasiswa kedokteran memahami bagaimana pasien, keluarga pasien,
serta pengasuhnya dapat dilibatkan sebagai rekan dalam pelayanan
kesehatan, untuk mencegah kejadian yang tidak diharapkan.
Studi Kasus
Reference
Open Disclosure. Case Studies Volume 1. Sydney: Health Care Complaints
Commission, 2003: 16–18.
Tujuan
Memahami efek dari pengendalian infeksi yang tidak baik dan menyadari
bahwa mahasiswa kedokteran mampu untuk meminimalisir risiko dari
kontaminasi infeksi penyakit.
Studi Kasus
Tujuan
Mahasiswa kedokteran memahami penyebab utama dari kejadian yang
tidak diharapkan dalam tindakan bedah maupun prosedur invasive, dan
bagaimana cara menggunakan guideline dan proses verifikasi dapat
memfasilitasi ketepatan prosedur yang dijalankan oleh pasien dengan
tepat dan benar.
Studi Kasus
Anaesthesia was induced at 08:35 but it was not possible to insert the
laryngeal mask airway. Two minutes later, the patient’s oxygenation
began to deteriorate and she looked cyanosed (turning blue). Her oxygen
saturation at this time was 75% (anything less than 90% is significantly
low) and her heart rate was raised. At 08:39, her oxygen saturation
continued to deteriorate to a very low level (40%). Attempts to ventilate
the lungs with 100% oxygen using a face mask and oral airway proved
extremely difficult.
Reference
Bromiley, M. Have you ever made a mistake? Bulletin of the Royal College
of Anaesthetists, March. Just a Routine Operation. 2008. DVD available
from the Clinical Human Factors Group
web site at www.chfg.org.
Tujuan
Agar mahasiswa kedokteran mampu untuk terus belajar dan
mempraktikan berbagai macam cara untuk meningkatkan keselamatan
pelayanan kesehatan.
D. Daftar Pustaka
WHO. 2009. WHO patient safety curriculum guide for medical schools.
http://www.who.int