Anda di halaman 1dari 27

Bed Side Teaching

Hipotermi, Bayi dengan Sectio Cesarea,


dan Bayi dengan Ibu Hepatitis B

Oleh :
Nadilla Frimadiah Fitri 2040312087

Preseptor :
dr. Lydia Aswati, Sp.A, M.Biomed

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUD DR. ACHMAD MOCHTAR BUKITTINGGI
2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamiin, puji dan syukur atas kehadirat Allah S.W.T


dan shalawat beserta salam untuk Nabi Muhammad S.A.W, berkat rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah bed side teaching dengan judul
“Hipotermi, Bayi dengan Sectio Cesarea, dan Bayi dengan Ibu Hepatitis B”.
Makalah ini diajukan untuk melengkapi tugas kepaniteraan klinik Departemen
Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
preseptor yaitu dr. Lydia Aswati, Sp.A, M.Biomed, yang telah membimbing
penulis dalam menyelesaikan makalah ini. Akhir kata, penulis memohon maaf
apabila terdapat kesalahan dalam penulisan makalah ini.

Bukittinggi, 18 Agustus 2021

Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hipotermia neonatus merupakan kondisi patologis di mana suhu bayi baru
lahir berada di bawah rentang suhu normal. Hipotermia adalah salah satu
penyebab penting pada kematian dan kesakitan neonatus di negara berkemban.
Ketidakstabilan suhu tubuh neonatus memiliki dampak yang panjang dan
kematian yang disebabkan karena hipoksia dan hipotensi. Perlu tatalaksana yang
cepat dan tepat untuk mengatasi hipotermi.1
Pada bayi baru lahir terdapat adaptasi dari kehidupan intrauterine ke
kehidupan ekstrauterine. Periode transisi ini terjadi segera setelah lahir dan dapat
berlangsung hingga 1 bulan atau lebih (untuk beberapa sistem). Pada bayi dengan
kelahiran secara section cesarean, tidak terjadi kompresi dada yang membantu
system pernapasan nantinya, sehingga dapat terjadi asfiksia setelah kelahiran.2
Penyakit hepatitis B meruapakan peradangan hepar disebabkan virus hepatitis
B. Berdasarkan data WHO pada tahun 2015, sebanyak 257 juta penduduk hidup
dengan hepatitis B kronik. Di Indonesia, prevalensi hepatitis mencapai 1,2% dari
seluruh penduduk di Indonesia.3 Hal ini dapat berkembang menjadi sirosis hepatis
dan karsinoma hepar. Penularan dapat terjadi dari ibu dengan hepatitis B kepada
bayi, sehingga perlu pencegahan dengan pemberian vaksin segera setelah lahir.4

1.2 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui mengenai hipotermi,
bayi dengan section cesarean, dan bayi dengan ibu yang menderita hepatitis B.

1.3 Metode Penulisan


Penulisan makalah ini menggunakan tinjauan kepustakaan yang merujuk
kepada berbagai literatur.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

A. Hipotermi

Termoregulasi pada Bayi Baru Lahir


Termoregulasi adalah kemampuan untuk menyeimbangkan antara produksi
panas dan hilangnya panas dalam rangka menjaga suhu tubuh agar tetap dalam
keadaan normal. Kemampuan ini sangatlah terbatas pada bayi baru lahir. Suhu
normal terjadi jika ada keseimbangan antara produksi panas dan hilangnya panas.
Apabila terjadi paparan dingin, maka secara fisiologis tubuh akan memberikan
respon untuk menghasilkan panas berupa5 :
• Shivering thermoregulation/ST
Merupakan mekanisme tubuh berupa menggigil atau gemetar secara
involunter akibat dari kontraksi otot untuk menghasilkan panas.
• Nonshivering thermoregulation/NST
Merupakan mekanisme yang dipengaruhi oleh stimulasi system saraf
simpatis untuk menstimulasi proses metabolik dengan melakukan oksidasi
terhadap jaringan lemak coklat. Peningkatan metabolism jaringan lemak
coklat akan meningkatkan produksi panas dari dalam tubuh.
• Vasokontriksi perifer
Mekanisme ini juga distimulasi oleh system saraf simpatis, kemudian
system saraf perifer akan memicu otot sekitar arteriol kulit untuk
berkontraksi sehingga terjad vasokontriksi. Keadaan ini efektif untuk
mengurangi aliran darah ke jaringan kulit dan mencegah hilangnya panas
yang tidak berguna.

Pada bayi baru lahir, NST merupakan jalur utama untuk meningkatkan
produksi panas secara cepat sebagai reaksi atas paparan dingin.5
Definisi

Hipotermia neonatus merupakan kondisi patologis di mana suhu bayi baru


lahir berada di bawah rentang suhu normal (36,5-37,5oC). Pemeriksaan suhu dapat
dilakukan di axilla, oral, maupun rectal.1 Suhu rektal kira-kira0,5-1°C lebih tinggi
dari suhu oral dan/atau aksiladan umumnya dianggap lebih mewakili suhu inti.
Namun, mengingat risiko yang dapat terjadi dengan pengukuran suhu rektal pada
bayi baru lahir seperti perforasi dan infeksi nosokomial, maka pengukuran suhu
melalui rektal tidak direkomendasikan untuk bayi baru lahir. WHO
merekomendasikan bahwa suhu neonatus adalah diukur di aksila.1
Klasifikasi hipotermi menurut WHO6 :
1. Hipotermi ringan, suhu berkisar antara 36-36,4oC
2. Hipotermi sedang, suhu berkisar antara 32-34,9oC
3. Hipotermi berat, suhu tubuuh <32oC

Epidemiologi

Hipotermia adalah salah satu penyebab penting pada kematian dan


kesakitan neonatus di negara berkembang, yang meningkatkan kematian lima kali
lipat, dan studi terbaru menunjukkan bahwa setiap penurunan 1 °c suhu tubuh
meningkat kematian sebesar 80%. Laporan pada negara berkembang
menunjukkan bahwa lebih dari 90% neonatus mengalami hipotermia (suhu kurang
dari 36,5 °C) dan 10,7% bayi baru lahir berada pada suhu kurang dari 35,0 °C.1

Mekanisme Hipotermi

Hipotermi dapat disebabkan oleh karena terpapar dengan lingkungan yang


dingin (suhu lingkungan rendah, permukaan yang dingin atau basah) atau bayi
dalam keadaan basah atau tidak berpakaian. Selain itu, bayi baru lahir memiliki
fungsi termoregulasi yang sangat terbatas untuk menyesuaikan suhu tubuhnya
dengan lingkungan di luar rahim ibu. Kegagalan termoregulasi akan menjadi salah
satu faktor penyebab terjadinya hipotermi.5
Mekanisme-mekanisme yang menyebabkan terjadinya hipotermi diuraikan
sebagai berikut :5
1) Penurunan produksi panas
Produksi panas tubuh merupakan hasil tambahan utama dari metabolisme.
Secara umum laju produksi panas tubuh dipengaruhi oleh laju
metabolisme basal dari semua sel tubuh, laju cadangan metabolisme yang
disebabkan oleh aktivitas otot, metabolism tambahan yang disebabkan
oleh pengaruh hormon tiroksin, hormon pertumbuhan, testosteron,
epinefrin, norepinefrin, dan perangsangan saraf simpatis terhadap sel serta
peningkatan aktivitas kimiawi di dalam sel sendiri.
Pusat pengaturan suhu tubuh berada pada hipotalamus yang
mengandung sejumlah besar neuron yang sensitif terhadap panas dan
diyakini berperan penting sebagai sensor suhu untuk mengontrol suhu
tubuh. Hipotalamus juga berperan penting dalam mengontrol kinerja
kelenjar lain, seperti kelenjar pituitari yang nantinya akan mensekresikan
hormon-hormon pemicu sekresi kelenjar tiroid dan adrenal. Sebagai
lanjutannya, tiroid dan adrenal berperan penting dalam menghasilkan
hormon-hormon yang berhubungan erat dengan peningkatan metabolisme
sebagai salah satu sarana produksi panas tubuh sehingga dapat dimengerti
bahwa bila terjadi kegagalan dalam sistem endokrin dan terjadi penurunan
metabolisme basal tubuh, akan diikuti dengan penurunan produksi panas,
misalnya pada keadaan disfungsi kelenjar tiroid, adrenal ataupun pituitaria.
Sebagai contoh, pada bayi baru lahir dengan disfungsi kelenjar
tiroid atau yang lebih dikenal sebagai hipotiroid kongenital akan
mengalami salah satu gejala klinis berupa suhu rektal yang rendah, yakni <
35,5°C dalam 0 – 45 jam pasca lahir. Hal ini disebabkan karena tidak
berfungsi dengan baiknya kelenjar tiroid yang mensistesis hormon-hormon
tiroid, yakni triiodotironin (T3) dan tetraiodotironin (T4 = tiroksin).
Hormon ini akan merangsang metabolisme jaringan yang meliputi
konsumsi oksigen, produksi panas tubuh, fungsi syaraf, metabolisme
protein, karbohidrat, lemak dan vitamin serta kerja daripada hormon-
hormon lain.
2) Peningkatan panas yang hilang
Terjadi bila panas tubuh berpindah ke lingkungan sekitar dan tubuh
kehilangan panas. Mekanisme tubuh kehilangan panas dapat terjadi secara:
a. Konduksi
Yaitu perpindahan panas yang terjadi sebagai akibat perbedaan suhu
antara kedua obyek. Kehilangan panas terjadi saat kontak langsung
antara kulit bayi baru lahir dengan permukaan yang lebih dingin.
Sumber kehilangan panas terjadi pada bayi baru lahir yang berada pada
permukaan atau alas dingin, seperti pada waktu proses penimbangan.
Konduksi ini juga dapat terjadi bila bayi baru lahir memakai selimut
yang dingin atau pakaian yang basah. Akan tetapi, jumlah panas yang
hilang pada bayi baru lahir akibat konduksi ini cenderung sedikit dan
dapat diabaikan.
b. Konveksi
Konveksi merupakan transfer panas yang terjadi secara sederhana
dari selisih suhu antara permukaan kulit bayi dan aliran udara yang
dingin di permukaan tubuh bayi sehingga sangat ditentukan oleh
perbedaan suhu antara udara dan bayi. Kehilangan panas secara
konveksi ini juga bergantung pada kecepatan udara sekitar. Semakin
cepat udara yang melewati permukaan tubuh bayi, maka penyekat
antara bayi dan udara akan hilang sehingga kehilangan panas akan
meningkat. Sumber kehilangan panas disini dapat berupa incubator
dengan jendela yang terbuka, ruangan perawatan yang dingin dan pada
waktu proses transportasi bayi baru lahir ke rumah sakit.
c. Radiasi
Radiasi adalah proses perpindahan panas dari suatu objek panas ke
objek dingin yang ada di sekitar, misalnya dari bayi dengan suhu yang
hangat dikelilingi suhu lingkungan yang lebih dingin. Sumber
kehilangan panas dapat berupa suhu lingkungan yang dingin atau suhu
inkubator yang dingin atau bayi yang telanjang dalam kamar bersalin
saat baru lahir dan langsung terpapar ruangan dingin.
d. Evaporasi
Evaporasi mencakup yang keluar melalui saluran nafas dan difusi pasif
air melalui epidermis (transepidermal water loss/ TEWL). Bayi
prematur memiliki TEWL yang lebih besar daripada bayi aterm,
sekitar 6 kali per unit area permukaan kulit pada bayi preterm usia 26
minggu.

3) Kegagalan termoregulasi
Kegagalan termoregulasi secara umum disebabkan kegagalan hipotalamus
dalam menjalankan fungsinya dikarenakan berbagai penyebab. Keadaan
hipoksia intrauterin /saat persalinan/postpartum, defek neurologik dan
paparan obat prenatal (analgesik/anestesi) dapat menekan respon
neurologik bayi dalam mempertahankan suhu tubuhnya. Bayi sepsis akan
mengalami masalah dalam pengaturan suhu dapat menjadi hipotermi atau
hipertermi.

Faktor Resiko Hipotermi


Beberapa faktor resiko terjadinya hipotermi1,6 :
• Neonatus prematur
Memiliki kemungkinan 4,8 kali lebih besar hipotermia bila dibandingkan
dengan neonatus cukup bulan. Hal ini disebabkan neonatus prematur
memiliki kulit yang immature dan tipis yang meningkatkan kehilangan
panas melalui radiasi, ketidakmampuan kontrol hipotalamus, mereka tidak
memiliki mekanisme saraf yang efisien untuk kontrol suhu dengan
menggigil, memiliki simpanan glikogen rendah, sedikit jaringan adiposa
coklat, sehingga mengalami penurunan kemampuan untuk mengatur suhu
tubuh mereka, dengan memproduksi panas NST.
• Neonatus yang tidak melakukan kontak kulit ke kulit dengan
ibu segera setelah melahirkan
Memiliki kemungkinan untuk terjadinya hipotermia bila dibandingkan
dengan neonatus yang memiliki kontak kulit ke kulit segera setelah
melahirkan. Hal ini disebabkan karena suhu tubuh rahim janin konsisten
dengan suhu ibu. Neonatus yang memiliki kontak kulit ke kulit segera
setelah melahirkan dengan ibu mereka mendapatkan panas melalui
konduksi yang konsisten dengan suhu mereka di dalam rahim selama
paparan bayi baru lahir ke lingkungan ekstra uteri. Menyatukan bayi yang
baru lahir dengan ibu atau perawatan ibu kanguru adalah sarana penting
pencegahan hipotermia.
• Neonatus yang tidak melakukan inisiasi menyusu dini dalam waktu satu
jam setelah lahir cenderung mengalami hipotermia jika dibandingkan
dengan mereka yang sudah mulai menyusui dalam waktu satu jam setelah
lahir. Hal ini dikarekan ASI merupakan sumber energi atau kalori untuk
menghasilkan panas untuk termoregulasi dan mereka tidak memiliki
jaringan adiposa yang memadai untuk pemecahan glukosa yang
mengakibatkan hipotermia
• Neonatus dengan BBLR atau IUGR
• Faktor risiko lingkungan, terkait dengan wilayah geografis di mana bayi
Lahir. Prevalensi hipotermia neonatal lebih tinggi selama musim dingin.
• Faktor risiko budaya yang mungkin berpotensi menyebabkan penurunan
bayi suhu yang mengakibatkan hipotermia, seperti memandikan bayi
segera setelah lahir.

Dampak Hipotermi

Ketidakstabilan suhu tubuh neonatus memiliki dampak yang panjang dan


kematian yang disebabkan karena hipoksia dan hipotensi. Saat adanya penurunan
produksi panas dapat muncul kompensasi pengumpulan produksi panas melalui
peningkatan laju metabolik yang meliputi ketidakcukupan suplai oksigen akibat
peningkatan konsumsi oksigen, hipoglikemi sekunder akibat deplesi penyimpanan
glikogen, asidosis metabolik karena hipoksia dan vasokonstriksi perifer, hambatan
pertumbuhan, apneu dan hipertensi pulmonal sebagai akibat asidosis dan hipoksia.
Gangguan pembekuan seperti disseminated intravascular coagulation dan
perdarahan pulmonal dapat terjadi pada hipotermi berat dan syok sebagai hasil
dari pengurangan tekanan arteri sistemik, volume plasma, curah jantung,
perdarahan intraventrikel dansinus bradikardi berat.

Diagnosis
Hipotermi ditandai dengan akral dingin, bayi tidak mau minum, kurang
aktif, kutis marmorata, pucat, takipneu dan takikardia. Hipotermi yang
berkepanjangan akan menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen,
respiratory distress, gangguan keseimbangan asam basa, hipoglikemi, defek
koagulasi, sirkulasi fetal persisten, gagal ginjal akut, enterokolitis nekrotikan dan
pada keadaan yang berat akan menyebabkan kematian.5

Anamnesis Pemeriksaan Fisik Klasifikasi


• Bayi terpapar suhu • Suhu tubuh 32- Hipotermi sedang
lingkungan yang 36,4°C
rendah • Gangguan nafas
• Waktu timbulnya • Denyut jantung <100
kurang dari 2 hari kali /menit
• Malas minum
• Letargi
• Bayi terpapar suhu • Suhu tubuh < 32°C Hipotermi berat
lingkungan yang • Tanda hipotermia
rendah. sedang
• Waktu timbulnya • Kulit teraba
kurang dari 2 hari kerasNafas pelan dan
dalam
Tidak terpapar dengan Suhu tubuh berfluktuasi Suhu tidak stabil
dingin atau panas yang 36-39°C meskipun
berlebihan berada di suhu
lingkungan yang stabil.
Fluktuasi terjadi setelah
periode suhustabil

Tatalaksana

Berdasarkan klasifikasinya, tatalaksana hipotermi secara rinci dapat


dijelaskan sebagai berikut :5
A. Hipotermi berat
1) Segera hangatkan bayi di bawah pemancar panas yang telah dinyalakan
sebelumnya, bila mungkin. Gunakan inkubator atau ruangan hangat, bila
perlu.
2) Beri pakaian yang hangat, pakai topi dan selimut dengan selimut hangat.
3) Hindari paparan panas yang berlebihan dan posisi bayi sering diubah.
4) Bila bayi dengan gangguan nafas (frekuensi nafas lebih dari 60 atau
kurang dari 30 kali/menit, tarikan dinding dada, merintih saat ekspirasi ),
lakukan manajemen gangguan nafas.
5) Pasang jalur IV dan beri cairan IV sesuai dengan dosis rumatan, dan infus
tetap terpasang di bawah pemancar panas, untuk menghangatkan cairan
6) Periksa kadar glukosa darah, bila kadar glukosa darah kurang dari 45
mg/dl, tangani hipoglikemi.
7) Nilai tanda kegawatan bayi (misalnya gangguan nafas, kejang atau tidak
sadar) setiap jam dan nilai juga kemampuan minum setiap 4 jam sampai
suhu tubuh kembali dalam batas normal.
8) Ambil sampel darah dan beri antibiotik sesuai dengan yang disebutkan
dalam penanganan kemungkinan besar sepsis.
9) Anjurkan ibu menyusui segera setelah bayi siap : Bila bayi tidak dapat
menyusu, beri ASI peras dengan menggunakan salah satu alternatif cara
pemberian minum. Bila bayi tidak dapat menyusu sama sekali, pasang
pipa lambung dan beri ASI peras begitu suhu bayi mencapai 35°C.
10) Periksa suhu tubuh bayi setiap jam. Bila suhu naik paling tidak 0,5°C/jam,
berarti upaya menghangatkan berhasil, kemudian lanjutkan dengan
memeriksa suhu bayi setiap 2 jam.
11) Periksa juga suhu alat yang dipakai untuk menghangatkan dan suhu
ruangan setiap jam.
12) Setelah suhu bayi normal :
• Lakukan perawatan lanjutan untuk bayi
• Pantau bayi selama 12 jam kemudian dan ukur suhunya setiap 3
jam.
13) Pantau bayi selama 24 jam setelah penghentian antibiotika. Bila suhu bayi
tetap dalam batas normal dan bayi minum dengan baik dan tidak ada
masalah lain yang memerlukan perawatan di rumah sakit, bayi dapat
dipulangkan dan nasehati ibu bagaimana cara menjaga agar bayi tetap
hangat selama di rumah.

B. Hipotermi sedang

1) Ganti pakaian yang dingin atau basah dengan pakaian yang hangat,
memkai topi dan selimuti dengan selimut hangat.
2) Bila ada ibu / pengganti ibu, anjurkan menghangatkan bayi dengan
melakukan kontak kulit dengan kulit atau perawatan bayi lekat (Kangaroo
Mother Care)
3) Bila ibu tidak ada :
• Hangatkan kembali bayi dengan menggunakan alat pemancar
panas, gunakan inkubator dan ruangan hangat, bila perlu
• Periksa suhu alat dan suhu ruangan, beri ASI peras dengan
menggunakan salah satu alternatif cara pemberian minum dan
sesuaikan pengatur suhu.
• Hindari paparan panas yang berlebihan dan posisi bayi lebih sering
diubah.
4) Anjurkan ibu untuk menyusui lebih sering. Bila bayi tidak dapat menyusu,
berikan ASI peras menggunakan salah satu alternatif cara pemberian
minum.
5) Mintalah ibu untuk mengamati tanda kegawatan (misalnya gangguan
nafas, kejang, tidak sadar) dan segera mencari pertolongan bila terjadi hal
tersebut.
6) Periksa kadar glukosa darah, bila <45 mg/dl, tangani hipoglikemia.
7) Nilai tanda kegawatan, misalnya gangguan nafas, bila ada tangani
gangguan nafasnya
8) Periksa suhu tubuh bayi setiap jam, bila suhu naik minimal 0,5°C/jam,
berarti usaha mengahangatkan berhasil, lanjutkan memeriksa suhu tiap 2
jam.
9) Bila suhu tidak naik, atau naik terlalu pelan, kurang 0,5°c/jam, cari tanda
sepsis.
10) Setelah suhu tubuh normal :
• Lakukan perawatan lanjutan
• Pantau bayi selama 12 jam berikutnya, periksa suhu tiap 3 jam.
11) Bila suhu tetap dalam batas normal dan bayi dapat minum dengan baik
serta tidak ada masalah lain yang memerlukan perawatan di rumah sakit,
bayi dapat dipulangkan. Nasihati ibu cara menghangatkan bayi di rumah.

B. Bayi dengan Kelahiran Sectio Cesarea

Adaptasi Neonatus

Neonatus akan mengalami adaptasi sehingga yang semula bergantung


kemudian menjadi mandiri secara fisiologis karena:2
• Mendapatakan oksigen melalui sistem sirkulasi pernapasannya yang baru
• Mendapatkan nutrisi oral untuk mempertahankan kadar gula darah yang
cukup
• Dapat mengatur suhu tubuh
• Dapat melawan setiap penyakit dan infeksie
Sebelum diatur oleh tubuh bayi sendiri, fungsi tersebut dilakukan oleh
plasenta yang kemudian masuk ke periode transisi. Periode transisi terjadi segera
setelah lahir dan dapat berlangsung hingga 1 bulan atau lebih (untuk beberapa
sistem). Transisi yang paling nyata dan cepat adalah sistem pernapasan dan
sirkulasi, sistem termogulasi, dan system metabolisme glukosa.

a. Sistem Pernapasan

Napas yang pertama dipengaruhi oleh dua faktor yang berperan pada
rangsangan napas bayi:
• Hipoksia yang berperan pada rangsangan fisik lingkungan luar rahim
yang merangsang pusat pernafasan di otak.
• Tekanan terhadap rongga dada yang terjadi karena kompresi paru
selama persalinan yang merangsang masuknya udara ke dalam paru
secara mekanis.

Upaya bernapas pertama seorang bayi adalah untuk mengeluarkan cairan


dalam paru dan mengembangkan jaringan alveolus paru. Agar alveolus dapat
berfungsi, harus terdapat cukup sufraktan dan aliran darah ke paru. Produksi
sufraktan dimulai pada usia 20 minggu kehamilan dan jumlahnya akan meningkat
sampai paru matang sekitar 30-40 minggu kehamilan. Sufraktan akan mengurangi
tekanan permukaan paru dan membantu menstabilkan dinding alveolus sehingga
tidak kolaps pada akhir pernapasan.2
Oksigenasi yang memadai merupakan faktor yang sangat penting dalam
mempertahankan kecukupan pertukaran udara. Untuk menciptakan sirkulasi yang
baik guna mendukung kehidupan luar rahim terjadi 2 perubahan besar yaitu
penutupan foramen ovale pada atrium jantung dan penutupan duktus arterious
antara arteri pulmonalis dan aorta.
Oksigen menyebabkan sistem pembuluh darah mengubah tekanan dengan
cara mengurangi atau meningkatkan resistensinya sehingga mengubah aliran arah.
Upaya napas akan mengeluarkan cairan dalam paru dan mengembangkan jaringan
alveolus paru untuk pertama kali (surfaktan dan aliran darah ke paru). 2

b. Sistem Peredaran Darah

Setelah lahir, saat tali pusat dipotong, duktus venosus menutup, resistensi
vascular sistematik meningkat. Peningkatan aliran darah paru akan memperlancar
pertukaran gas dalam alveolus dan cairan paru. Peningkatan aliran darah paru
akan mendorong peningkatan sirkulasi limfe dan merangsang perubahan sirkulasi
janin menjadi sirkulasi luar rahim. Pada sistem peredaran darah, terjadi perubahan
fisiologis pada bayi baru lahir, yaitu setelah bayi itu lahir akan terjadi proses
pengantaran oksigen ke seluruh jaringan tubuh, maka terdapat perubahan, yaitu
penutupan foramen ovale pada atrium jantung dan penutupan duktus arterious
antara arteri paru dan aorta. 2
Perubahan ini terjadi akibat adanya tekanan pada seluruh sistem pembuluh
darah, dimana oksigen dapat menyebabkan sistem pembuluh darah mengubah
tenaga dengan cara meningkatkan atau mengurangi resistensi. Perubahan tekanan
sistem pembuluh darah dapat terjadi saat tali pusat dipotong, resistensinya akan
meningkat dan tekanan atrium kanan akan menurun karena darah kurang ke
atrium berkurang yang dapat menyebabkan volume dan tekanan atrium kanan
juga menurun. Proses tersebut membantu darah mengalami proses oksigenasi
ulang, serta saat terjadi pernapasan pertama dapat menurunkan resistensi dan
meningkatkan tekanan atrium kanan. Kemudian oksigen pada pernapasan pertama
dapat menimbulkan relaksasi dan terbukanya sistem pembuluh darah paru yang
dapat menurunkan resistensi pembuluh darah paru.2
Terjadinya peningkatan sirkulasi paru mengakibatkan peningkatan volume
darah dan tekanan pada atrium kanan, dengan meningkatkan tekanan pada atrium
kanan akan terjadi penurunan atrium kiri , foramen ovale akan menutup, atau
dengan pernapasan kadar oksigen dalam darah akan meningkat yang dapat
menyebabkan duktus arterious mengalami kontriksi dan menutup. 2

Sectio Cesarea

Sectio caesarea adalah persalinan untuk melahirkan janin dengan berat


500 gram atau lebih, melalui insisi abdomen dan uterus. Di negara berkembang,
sectio caesarea merupakan pilihan terakhir untuk menyelamatkan ibu dan janin
pada saat kehamilan dan atau persalinan kritis. Angka kematian ibu karena sectio
caesarea yang terjadi sebesar 15,6% dari1.000 ibu dan kejadian asfiksia sedang
dan berat pada sectio caesarea sebesar8,7% dari 1.000 kelahiran hidup sedangkan
kematian neonatal dini sebesar26,8% per 1.000 kelahiran hidup. 7
Kejadian asfiksia pada bayi baru lahir dapat disebabkan oleh berbagai
faktor diantaranya adalah dari faktor persalinan dengan tindakan yaitu persalinan
dengan sectio caesarea. Neonatus yang dilahirkan dengan sectio caesarea,
terutama jika tidak ada tanda persalinan, tidak mendapatkan manfaat dari
pengeluaran cairan paru dan penekanan pada toraks sehingga mengalami
gangguan pernafasan yang lebih persistan. Kompresi toraks janin pada persalinan
kala II mendorong cairan untuk keluar dari saluran pernafasan. Proses kelahiran
dengan sectio caesarea memicu pengeluaran hormon stress pada ibu yang
menjadi kunci pematangan paru-paru bayi yang terisi air. Tekanan yang agak
besar seiring dengan ditimbulkan oleh kompresi dada pada kelahiran per vaginam
dan diperkirakan bahwa cairan paru-paru yang didorong setara dengan seperempat
kapasitas residual fungsional. Jadi, pada bayi yang lahir dengan sectio caesarea
mengandung cairan lebih banyak dan udara lebih sedikit di dalam parunya selama
enam jam pertama setelah lahir. Kompresi toraks yang menyertai kelahiran per
vaginam dan ekspansi yang mengikuti kelahiran, mungkin merupakan suatu
faktor penyokong pada inisiasi respirasi. 7
Dalam periode singkat, kurang oksigen menyebabkan metabolisme pada
bayi baru lahir berubah menjadi metabolisme anaerob, terutama karena kurangnya
glukosa yang di butuhkan untuk sumber energi pada saat kedaruratan. Neonatus
yang lahir melalui sectio caesarea, terutama jika tidak ada tanda persalinan, tidak
mendapatkan manfaat dari pengurangan cairan paru dan penekanan pada toraks
sehingga mengalami paru-paru basah yang lebih persisten. Situasi ini dapat
mengakibatkan takipnea sementara pada bayi baru lahir atau disebut juga
transient tachypnea of the newborn (TTN).7

C. Bayi dengan Ibu HbsAg Positif

Hepatitis B adalah peradangan hepar disebabkan virus hepatitis B.


Berdasarkan data WHO pada tahun 2015, sebanyak 257 juta penduduk hidup
dengan hepatitis B kronik. Indonesia merupakan negara dengan endemisitas
hepatitis B tertinggi kedua di antara negara South East Asian Region (SEAR)
setelah Myanmar. Menurut RISKESDAS 2013, prevalensi hepatitis sebesar 1,2%
dari penduduk di Indonesia, dimana 1-5%-nya merupakan ibu hamil dengan virus
hepatitis B. Infeksi yang terjadi sejak awal kehidupan atau bahkan sejak dalam
kandungan, membawa risiko kronisitas sebesar 80 –90%.3

Penularan infeksi VHB dapat terjadi dengan 2 cara, yaitu penularan


horizontal dan vertikal. Penularan horizontal VHB dapat melalui penularan
perkutan, melalui selaput lendir atau mukosa. Penularan vertikal atau mother-to-
child-transmission (MTCT) terjadi jika ibu hamil penderita hepatitis B akut atau
pengidap persisten HBV menularkan ke bayi yang dikandungnya atau
dilahirkannya.3
Penularan HBV vertikal dapat dibagi menjadi penularan VHB in-utero,
penularan perinatal, dan penularan postnatal. Mekanisme penularan VHB in-utero
sampai sekarang belum diketahui pasti, karena salah satu fungsi plasenta adalah
proteksi terhadap bakteri atau virus. Bayi dikatakan mengalami infeksi inutero
jika dalam 1 bulan postpartum sudah menunjukkan HBsAg positif dan DNA
VHB.3
Penularan perinatal adalah penularan yang terjadi saat persalinan.
Sebagian besar ibu HBeAg positif akan menularkan infeksi VHB vertikal ke bayi
yang dilahirkannya, sedangkan ibu yang anti-Hbe positif tidak akan
menularkannya. Penularan post natal terjadi setelah bayi lahir, misalnya melalui
ASI yang diduga tercemar oleh HBV lewat luka kecil dalam mulut bayi. Pada
kasus persalinan lama cenderung meningkatkan penularan vertical (lebih dari 9
jam). Risiko terinfeksi VHB pada bayi yang dilahirkan dengan operasi Caesar
tidak berbeda signifikan dibandingkan persalinan normal. Sekitar 70-90% dari
penularan virus ini berkembang menjadi infeksi kronis dengan resiko terjadinya
sirosis hati dan karsinoma hepatoseluler (HCC).3

Kriteria ibu mengidap atau menderita hepatitis B kronik apabila ibu


mengidap HBsAg positif untuk jangka waktu lebih dari 6 bulan dan tetap positif
selama masa kehamilan dan melahirkan.4
Berikut panduan teknis terhadap ibu maupun terhadap bayi4,8 :
1) Ibu ditangani secara multidisiplin antara dokter spesialis kandungan
dengan dokter spesialis penyakit dalam. Selain itu dokter spesialis
kandungan juga perlu memberitahu dokter spesialis anak, Sehingga, dokter
spesialis anak dapat merencanakan tatalaksana segera setelah bayi lahir.
2) Satu – dua minggu sebelum taksiran partus, dokter spesialis anak
memastikan tersedianya vaksin hepatitis B rekombinan dan
immunoglobulin hepatitis B.
3) Pada saat ibu in partu, dokter spesialis anak mendampingi dokter spesialis
kebidanan. Tindakan segera setelah bayi lahir (dalam waktu kurang dari 12
jam) adalah :
• Memberikan vaksin rekombinan hepatitis B secara IM, dosis 5 mg
vaksin HBVax-II atau 10 mg vaksin Engerix-B.
• Pada saat yang bersamaan, di sisi tubuh yang lain diberikan
imunisasi pasif hepatitis B dalam bentuk hepatitis B
immunoglobulin HBIg secara IM, dengan dosis 0.5 ml.
• Mengingat mahalnya harga immunoglobulin hepatitis B, maka bila
orang tua tidak
4) Tatalaksana khusus sesudah periode perinatal
a. Dilakukan pemeriksaan anti HBs dan HBsAg berkala pada usia 7
bulan (satu bulan setelah penyuntikan vaksin hepatitis B ketiga), 1, 3, 5
tahun dan selanjutnya setiap 1 tahun.
• Bila pada usia 7 bulan tersebut anti HBs positif, dilakukan
pemeriksaan ulang anti HBs dan HBsAg pada usia 1, 3, 5 dan
10 tahun.
• Bila anti HBs dan HBsAg negatif, diberikan satu kali tambahan
dosis vaksinasi dan satu bulan kemudian diulang pemeriksaan
anti HBs. Bila anti HBs positif, dilakukan pemeriksaan yang
sama pada usia 1, 3, dan 5 tahun
• Bila pasca vaksinasi tambahan tersebut anti HBs dan HBsAg
tetap negatif, bayi dinyatakan sebagai non responders dan
memerlukan pemeriksaan lanjutan
• Bila pada usia 7 bulan anti HBs negative dan HBsAg positif,
dilakukan pemeriksaan HBsAg ulangan 6 bulan kemudian. Bila
masih positif, dianggap sebagai hepatitis kronis dan dilakukan
pemeriksaan SGOT/PT, USG hati, alfa feto protein, dan
HBsAg, idealnya disertai dengan pemeriksaan HBV-DNA
setiap 1-2 tahun.
b. Bila HBsAg positif selama 6 bulan, dilakukan pemeriksaan SGOT/PT
setiap 2-3 bulan. Bila SGOT/PT meningkat pada lebih dari 2 kali
pemeriksaan dengan interval waktu 2-3 bulan, pertimbangkan terapi
anti virus.
5) Tatalaksana umum
Pemantauan tumbuh-kembang, gizi, serta pemberian imunisasi, dilakukan
sebagaimana halnya dengan pemantauan terhadap bayi normal lainnya.
BAB 3
LAPORAN KASUS

1. Identitas Pasien

Nama : By. Ny. D


Tanggal Lahir : 19 Agustus 2021
Umur : 4 jam
Jenis Kelamin : Laki Laki
Alamat : Surau Pinang, Agam
Tanggal Periksa : 19 Agustus 2021

2. Anamnesis

Keluhan Utama
Bayi berat lahir 3500 gram

Riwayat Penyakit Sekarang


▪ Sesak tidak ada
▪ Batuk tidak ada
▪ Demam tidak ada
▪ Kejang tidak ada
▪ Muntah tidak ada
▪ Warna kulit kekuningan tidak ada
▪ Warna kulit kebiruan tidak ada
▪ Anak menyusui dengan baik
▪ BAB dan BAK belum keluar

Riwayat kelahiran
▪ GPAH : G2P1A0H1
▪ Lahir cukup bulan, 38 – 39 minggu
▪ Lahir secara sectio cesarea di Rumah Sakit Achmad Mochtar ditolong oleh
dokter dan bidan. BB 3500g, PB 50 cm. A/S 7/8
▪ Langsung menangis kuat.
▪ Bayi aktif bergerak.
▪ Sesak nafas tidak ada.
▪ Kulit tampak kebiruan tidak ada
▪ Kulit tampak kuning tidak ada
▪ Ketuban jernih, tidak berbau
▪ Injeksi vitamin K, antibiotik gentamisin dan Hb0 sudah diberikan

Riwayat Kehamilan
• Keluhan selama hamil : Demam tidak ada, demam intrapartum tidak ada,
tekanan darah tinggi tidak ada
• Pemeriksaan kehamilan : ANC rutin ke Dokter spesialis 1x sebulan
• Pemeriksaan HbsAg (+)

Riwayat Keluarga
• Ayah
• Nama : Tn. X
• Umur : 39 tahun
• Pekerjaan : Swasta
• Pendidikan : S1
• Riwayat Penyakit :-

• Ibu
• Nama : Ny. D
• Umur : 35 tahun
• Pekerjaan : Guru
• Pendidikan : S1
• Riwayat Penyakit : Hepatitis B
3. Pemerisaan Fisik
Umum
Usia : 4 jam
Keadaan Umum : Tidak Tampak Sakit
Kesadaran : Composmentis
Frekuensi nadi : 128x/menit
Frekuensi napas : 45x/menit
Suhu : 36,4oC
Ikterik : tidak ada
Sianosis : ada
Anemis : tidak ada

Khusus
• Kulit
Inspeksi : terlihat kemerahan
Palpasi: teraba hangat, turgor kembali cepat
• Kepala
Normochepal, deformitas tidak ada, ubun-ubun datar, terbuka, rambut
hitam, lurus
• Mata
Konjungtiva tidak anemis, sklera ikterik, sekret tidak ada
• Telinga
Telinga luar normal, Serumen tidak ada, recoil daun telinga baik
• Hidung
Nafas cuping hidung tidak ada, sekret tidak ada, septum deviasi tidak ada
• Mulut
Sianosis sirkumoral ada, bibir tidak kering, mukosa mulut merah muda,
palatoskisis (-)
• Thoraks
• Paru
Inspeksi : dinding dada simetris kiri dan kanan, retraksi tidak ada
Palpasi dan perkusi tidak dilakukan
Auskultasi: suara napas bronkovesikuler, rhonkhi tidak ada, wheezing
tidak ada
• Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba 1 jari lateral LMCS RIC V
Auskultasi : irama reguler, murmur tidak ada, gallop tidak ada
• Abdomen
Inspeksi : distensi tidak ada, venektasi tidak ada, tali pusat ada, berwarna
kekuningan, tidak hiperemis, tidak udem, tidak bau, tidak berair
Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba
Auskultasi : bising usus ada, dalam batas normal
• Ekstremitas
Atas : akral hangat, CRT <2s
Bawah : akral hangat, CRT <2s
• Anus dan Genitlia :
Lubang anus ada, BAB belum keluar
Orifisium Uretra Eksterna di ujung gland penis, rugae scrotum jelas,
testis kiri dan kanan berada di dalam scrotum,
BAK belum keluar
• Reflek
• Moro : ada (++)
• Rooting : ada (++)
• Isap : ada (++)
• Pegang : ada (++)

Antropometri
Berat Badan : 3500 g
Panjang Badan : 50 cm
Lingkar Kepala : 35 cm
Lingkar Dada : 33 cm
Lingkar Perut : 31 cm
Panjang Lengan : 14 cm
Panjang Tungkai : 20 cm

Ballard Score
4. Diagnosis Kerja
● Neonatus cukup bulan, sesuai masa kehamilan (BBL 3500 gram, gravid 38
minggu)
● Hipotermi ringan

5. Rencana Pemeriksaan
• Cek suhu tiap jam
• Pemeriksaan HbsAg pada usia 7 Bulan

6. Tatalaksana
• Bayi dimasukkan kedalam inkubator
DAFTAR PUSTAKA

1. Demissie BM, et all. Neonatal hypothermia and associated factors among


neonates admitted to neonatal intensive care unit of public hospitals in
Addis Ababa, Ethiopia. BMC Pediatric. 2018:8(263);1-10.
2. Sinta LE, dkk. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Pada Neonatus, Bayi dan
Balita. Indomedia Pustaka. Sidoarjo. 2019
3. Gozali PA. Diagnosis, Tatalaksana, dan Pencegahan Hepatitis B dalam
Kehamilan. CDK. 2020: 5(47);354-8.
4. Pujiarto PS, dkk. Bayi Terlahir Dari Ibu Pengidap Hepatitis B. Sari
Pediatri. 2000: 2(1);48-9.
5. Yunanti A. Termoregulasi dalam Buku Ajar Neonatologi. Editor Kosim
MS, dkk. 2008
6. Redmond AV, Sheridann A. Hypothermia in the newborn—an exploration
of its cause, effect and prevention. British Journal of Midwifery.
2014:22(8);395-9.
7. Fanny F. Sectio Caesarea sebagai Faktor Risiko Kejadian Asfiksia
Neonatorum. Mahority. 2015:4(8);56-61.
8. Agustin DA, Sjahriani T. Angka Penularan Hepatitis B dari Ibu ke Bayi
pada Bayi yang mendapat HBIg. Jurnal Ilmu Kesehatan dan Kedokteran.
2018:5(4);287-93.

Anda mungkin juga menyukai