Anda di halaman 1dari 60

DAFTAR ISI

i Pengantar Qawa'id Fiqhiyyah:


Kajian Utama: 26 Hukum Asal Segala Sesuatu
01 Perbedaan Pendapat Ulama, Adalah Mubah
Rahmat dan Kemudahan Bagi Umat 27 Tidak Sah Puasa Bagi yang Tidak
03 Penyebab Perbedaan Pendapat di Berniat di Malam Hari
Kalangan Ulama 29 Jika Harus Memilih Salah Satu di
07 Perbedaan Pendapat yang Diakui Antara Dua Keburukan, Maka Kita
(Mu'tabar) Harus Memilih yang Lebih Ringan
08 Ikhtilaf yang Tercela Keburukannya
11 Teladan Salaf Dalam Berbeda
Pendapat
Fatwa Ulama:
Tanya Jawab Fiqih: 30 Hukum Shalat Jum'at di Rumah
14 Hukum Menggunakan Produk yang Secara Online
Mengandung Alkohol dan Babi 32 Puasa Wajib Hukumnya Bagi
Untuk Penggunaan di Luar Tubuh Orang yang Berusia Tua yang
20 Sebagian Anggota Wudhu Tidak Masih Mampu Berpuasa
Terbasuh Karena Ada Penghalang, 33 Haram Makan dan Minum Setelah
Sahkah Shalatnya? Mulai Dikumandangkan Adzan
Kedua
Ushul Fiqih:
24 Mungkinkah Ijma' Menyelisihi Dalil 35 Fiqih Ramadhan
Shahih?
24 Ijma' Menurut Imam Asy-Syafi'i Fikrah
25 Apakah Ijma' Sukuti Diakui Sebagai 53 Ru'yah, Hisab, Atau Persatuan
Ijma'? Umat?
PENGANTAR
‫ والصالة والسالم عىل رسول الله‬،‫ والحمد لله‬،‫بسم الله‬
.‫ أما بعد‬.‫وعىل آله وصحبه ومن تبع هداه‬

Ini adalah edisi perdana dari Majalah FIQIH yang diterbitkan


oleh Madrasah Fiqih Banjarmasin, yang memuat tulisan-
tulisan saya dan fatwa-fatwa ulama yang saya terjemahkan,
seputar fiqih, ushul fiqih, qawa’id fiqhiyyah, dan semua hal
yang berkaitan dengannya.

Pada edisi perdana ini, saya mengangkat kajian utama


tentang perbedaan pendapat ulama dan cara menyikapinya.
Tema ini penting, karena banyak pengkaji ilmu dan kalangan
awam yang gagap dan kesulitan saat menghadapi hal ini. Ada
yang begitu kaku dan keras, tidak mau menerima perbedaan
pendapat, padahal semuanya lahir dari proses ijtihad yang
sah dan didukung oleh dalil dan hujjah yang kuat. Sebaliknya,
ada yang terlalu longgar, sampai-sampai pendapat yang
jelas-jelas tidak lahir dari pemikiran Islam, juga diakui dan
dihormati. Pada kajian utama ini, saya ingin menunjukkan
sikap yang benar, sebatas ilmu yang sampai pada saya, dalam
tema ini.
Majalah
Selain itu, pada edisi perdana ini, saya juga menampilkan
puluhan faidah ringkas seputar fiqih Ramadhan, karena FIQIH
penerbitan edisi perdana majalah ini bertepatan masuknya Penulis:
bulan Ramadhan 1442 H. Semoga faidah-faidah ringkas Muhammad Abduh
seputar fiqih Ramadhan tersebut, membantu pembaca Negara
menyambut Ramadhan dengan ilmu.
Editor:
Abu Furqan
Kami berharap, ini bukan edisi perdana sekaligus edisi
terakhir. Semoga –dengan izin Allah ta’ala– majalah ini bisa Desain Cover:
terus diterbitkan secara rutin dalam waktu yang lama, dan ink.Sharia Studio
manfaatnya bisa dirasakan oleh sebanyak-banyaknya orang,
dan tentu menjadi tabungan amal kebaikan bagi saya di Hari Layout:
Perhitungan kelak. ink.Sharia Studio

Akhukum fillah, Diterbitkan Oleh


Muhammad Abduh Negara Madrasah Fiqih
Banjarmasin
Kajian Utama

PERBEDAAN PENDAPAT ULAMA,


RAHMAT DAN KEMUDAHAN
BAGI UMAT

J
ika kita menelusuri kitab-kitab Artinya: “Tidak membuatku senang,
fiqih karya para ulama, ternyata seandainya para Shahabat Muhammad
kita temukan dalam seluruh bab- shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak saling
bab fiqih, terdapat perbedaan berbeda pendapat. Karena jika mereka
pendapat ulama. Dalam persoalan tak berbeda pendapat, tidak akan ada
thaharah, apakah wudhu memerlukan rukhshah (keringanan).”
niat atau tidak, ulama berbeda pendapat.
Hal-hal yang membatalkan wudhu, Atsar ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz ini disebutkan
ulama berbeda pendapat. Dalam shalat, oleh Al-‘Ajluni dalam “Kasyf Al-Khafa” (Juz
hukum tasyahhud awwal, ulama berbeda 1, hlm. 75, Al-Maktabah Al-‘Ashriyyah).
pendapat. Hukum qunut pada shalat
Shubuh, ulama berbeda pendapat. Dalam
persoalan muamalah demikian juga, baik
pada persoalan-persoalan klasik, lebih-
lebih lagi, pada persoalan kontemporer.

Sebagian orang, karena tak memahami


persoalan ini secara baik, menganggap
perbedaan pendapat para ulama ini
semuanya tercela. Karena perbedaan
tercela, maka semua harus disatukan
pada satu pandangan saja. Sayangnya,
upaya mereka menyatukan itu, malah
menambah daftar perbedaan dan
perdebatan yang ada.

‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berkata:

َ ‫ أَ َّن أَ ْص َح‬ ‫س ِن لَ ْو‬


‫اب ُم َح َّم ٍد َص َّل اللَّ ُه َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم لَ ْم‬ َّ َ ‫َما‬
‫ ألَنَّ ُه ْم لَ ْو لَ ْم يَ ْختَلِفُوا لَ ْم تَ ُك ْن ُر ْخ َص ٌة‬،‫يَ ْختَلِفُوا‬

01
Qatadah, salah seorang ulama Tabi’in, ijab qabul, seperti pendapat madzhab
berkata: Asy-Syafi’i, dan tidak ada pendapat lain,
tentu di era serba cepat seperti sekarang
‫ َم ْن لَ ْم يَ ْعر ِِف ِال ْخ ِت َل َف لَ ْم يَشُ َّم أَنْ ُف ُه الْ ِف ْق َه‬ini, kita akan kesulitan mengamalkannya.

Artinya: “Siapa yang tidak mengenal Contoh lain, Al-‘Izz bin ‘Abdis Salam,
perbedaan pendapat (di kalangan ulama), salah seorang ulama bermadzhab Syafi’i,
berarti hidungnya belum mencium aroma memfatwakan bolehnya bertaqlid pada
Fiqih.” Imam Malik dalam persoalan air sedikit
yang terkena najis, pada orang yang
Atsar di atas disebutkan oleh Al-Khathib memiliki beberapa anak kecil, yang terbiasa
Al-Baghdadi dalam “Al-Faqih Wal memasukkan tangannya ke wadah air
Mutafaqqih” (Juz 2, hlm. 40, Dar Ibn Al- yang berukuran kecil, dan diduga kuat
Jauzi). tangannya tersebut bernajis. Seandainya
mengikuti pendapat madzhab Asy-Syafi’i,
Dua atsar di atas sebenarnya sudah otomatis air di wadah tersebut menjadi
memberikan kita gambaran yang benar najis, dan itu sangat menyulitkan bagi
tentang perbedaan pendapat di kalangan orangtua dari anak-anak tersebut, karena
ulama. Bahwa ia tidaklah tercela, bahkan bisa jadi anak-anak tersebut bermain-main
itu adalah sesuatu yang membersamai dengan air tersebut, berulang kali dalam
fiqih itu sendiri. Berbicara fiqih, berbicara sehari. Sehingga mengikuti pendapat
ketentuan Syariat tentang amal-amal Imam Malik yang menyatakan air tersebut
yang kita lakukan, berarti kita juga tidak menjadi najis, kecuali berubah salah
akan menemui perbedaan pendapat di satu sifatnya, lebih memudahkan.
kalangan ulama. Dan ini realita yang tak
perlu dimusuhi. Jadi, perbedaan pendapat dalam
persoalan ijtihadiyyah di kalangan ulama,
Bahkan, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz malah lebih tidak tercela, bahkan ia merupakan
senang adanya khilaf, karena itu akan kemudahan dalam Islam. Selama kita
melahirkan rukhshah (keringanan) bagi menyikapinya dengan tepat, ia adalah
kita. Seandainya fiqih satu warna saja, rahmat bagi umat ini.
tentu akan menimbulkan kesulitan bagi
kita, pada tempat atau keadaan tertentu.

Sebagai contoh, seandainya transaksi jual


beli mengharuskan pengucapan lafazh

02
Kajian Utama

PENYEBAB PERBEDAAN PENDAPAT


DI KALANGAN ULAMA

P
erbedaan pendapat di kalangan ulama, khususnya para ahli Fiqih, dalam
persoalan-persoalan ijtihadiyyah, bukanlah perbedaan pendapat yang
dilahirkan oleh hawa nafsu. Para ulama rabbani (ulama yang beramal dengan
ilmunya) adalah orang yang paling hati-hati, paling wara’ dan paling bertaqwa
kepada Allah ta’ala dibandingkan kita. Mereka tentu tak mengemukakan pendapat
dari hawa nafsunya belaka.

Perbedaan pendapat ini, ternyata memang berasal dari Al-Qur’an dan As-Sunnah
sendiri, yang membuka ruang untuk dipahami secara berbeda, meski tentu dengan
syarat-syarat tertentu. Ia juga disebabkan oleh perbedaan penelaahan dan penelitian
para ulama, yang menyebabkan kesimpulan yang mereka hasilkan berbeda.

Wahbah Az-Zuhaili dalam muqaddimah kitab “Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu” (Juz 1,


hlm. 67-72) menjelaskan bahwa perbedaan pendapat (ikhtilaf ) antar madzhab fiqih
maupun ikhtilaf yang terjadi antar ulama dalam satu madzhab bukanlah sesuatu yang
tercela, selama perbedaan tersebut tidak pada bagian pokok agama dan keyakinan.
Selama dalam perkara cabang dan ijtihadi, perbedaan pendapat tersebut malah
merupakan rahmat dan kemudahan bagi umat serta merupakan bagian dari kekayaan
khazanah pemikiran Islam pada umat ini.

Adanya perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqih ini juga tidak menunjukkan adanya
pertentangan dalam Syariat, melainkan ini terjadi karena kelemahan manusia dalam
memahami Syariat. Dan demi menghilangkan kesempitan dalam beragama, maka kita
dibolehkan beramal dengan salah satu pendapat ahli fiqih yang ada.

Menurut Az-Zuhaili, ada beberapa hal terpenting yang menjadi penyebab terjadinya
perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqih, yaitu:

03
1. Perbedaan makna-makna lafazh dalam bahasa Arab
Ini misalnya terjadi pada lafazh yang mujmal (global, belum jelas maknanya), musytarak
(mengandung beberapa makna sekaligus), atau apakah ia bermakna umum atau
khusus, maknanya haqiqi (makna asli bentukan bahasa) atau majazi (makna yang bukan
bentukan asli bahasa, namun ia ada pada kata tersebut), muthlaq (menunjukkan suatu
makna tanpa ada batasan) atau muqayyad (maknanya dibatasi oleh hal-hal tertentu),
dan lain-lain.

Sebagai contoh, perbedaan memahami makna ‫( القرء‬al-qur’u), apakah ia berarti suci


dari haid, atau sebaliknya artinya adalah haid. Atau kata ‫( الرقبة‬ar-raqabah/budak), dalam
kaffarah sumpah disebutkan pembebasan budak secara mutlak, sedangkan pada
kaffarah pembunuhan tersalah (tak sengaja) disebut dengan taqyid (pembatasan) yaitu
“budak beriman”, apakah kemudian pada kaffarah sumpah budak yang dibebaskan
harus beriman, atau tetap dimutlakkan, beriman maupun tidak beriman?

Atau lafazh perintah dalam nash, apakah konsekuensi hukumnya wajib atau sunnah,
atau lainnya. Kemudian majaz, kadang ia dengan tambahan lafazh, kadang dengan
penghilangan lafazh. Dan berbagai bahasan lainnya terkait makna lafazh dalam bahasa
Arab.

2. Perbedaan dalam riwayat


Misalnya suatu Hadits sampai riwayatnya kepada salah seorang ahli fiqih, sedangkan
kepada ahli fiqih yang lain tidak sampai. Atau sampai kepada seorang ahli fiqih melalui
jalan yang dhaif dan tidak bisa dijadikan hujjah, sedangkan kepada ahli fiqih yang lain
sampai melalui jalan yang shahih.

Atau Hadits itu hanya memiliki satu jalan periwayatan, yang oleh sebagian ahli fiqih
dianggap ada kelemahan pada jalan periwayatan tersebut, sedangkan ahli fiqih yang
lain tak melihat ada kelemahan tersebut. Bisa juga mereka sepakat dalam penilaian
suatu Hadits, namun mereka berbeda pendapat apakah Hadits yang seperti itu bisa
dijadikan hujjah atau tidak, misal Hadits mursal (Hadits yang diriwayatkan oleh selain
Shahabat langsung kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam tanpa
menyebutkan sanad antara dirinya dengan Rasulullah).

04
3. Perbedaan sumber dalil
Ada beberapa dalil yang diperselisihkan oleh para ahli fiqih kebolehannya digunakan
sebagai hujjah, seperti istihsan, mashalih mursalah, qaul shahabi, istishhab, dan lain-
lain. Sangat terbuka peluang terjadi perbedaan pendapat fiqih, misalnya, antara
yang menggunakan mashalih mursalah sebagai dalil dengan ahli fiqih yang tidak
menggunakannya.

4. Perbedaan dalam kaidah ushul fiqih


Seperti kaidah lafazh umum yang dikhususkan tidak menjadi hujjah menurut sebagian
ulama, mafhum (makna tersirat) tidak menjadi hujjah menurut sebagian ulama, dan
semisalnya.

5. Ijtihad dengan menggunakan qiyas


Dalam qiyas terhadap ashlun (perkara asal yang terdapat dalam nash), syarat-syarat,
dan ‘illah (kesamaan sifat yang ada pada perkara asal dan perkara cabang). Dalam
‘illah juga terdapat syarat-syarat dan jalan-jalan (masalik), dan ini semua berpotensi
melahirkan perbedaan pendapat. Demikian juga, dalam proses tahqiq al-manath
(penentuan apakah terdapat ‘illah pada perkara cabang), sangat mungkin terjadi
perbedaan pendapat.

6. Pertentangan (ta’arudh) dan pemilihan (tarjih) di antara dalil-dalil


Perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqih juga banyak terjadi karena hal ini, dan
bahkan melahirkan perdebatan di antara mereka. Perbedaan dalam hal ini mencakup
klaim ta’wil (pengalihan makna), penetapan ‘illah, mengamalkan seluruh dalil atau
menetapkan adanya nasakh, dan lainnya.

Pertentangan bisa terjadi antar nash (menurut pengamatan ahli fiqih, antar nash yang
ada terdapat pertentangan maknanya), atau antar qiyas. Misalnya terjadi pertentangan
antara perkataan Rasul dan perbuatan beliau, atau dalam iqrar (persetujuan) beliau.
Perbedaan pendapat juga bisa terjadi dalam memahami sifat tindakan Rasul, apakah
merupakan bagian dari strategi atau fatwa. Dan banyak yang lainnya.

05
Karena potensi perbedaan pendapat yang cukup besar ini, para mujtahid di kalangan
Shahabat bahkan menghindari menyebut hasil ijtihad mereka sebagai “hukum Allah”
dan “Syariat Allah”. Mereka hanya berkata, “Ini adalah pendapatku, jika pendapat
tersebut benar, itu berasal dari Allah, sebaliknya jika pendapat tersebut keliru, itu
berasal dariku dan dari syaithan, dan Allah dan Rasul-Nya terlepas dari kekeliruan
tersebut”.

Ini adalah kehati-hatian mereka, karena hasil ijtihad masih mungkin keliru, dan berbeda
antar Shahabat, karena itu, jika mereka menyebut ijtihad mereka sebagai Syariat
dari Allah, sedangkan ada Shahabat lain yang pendapatnya berbeda, maka seakan
pendapat yang berbeda tersebut menyelisihi Syariat Allah ta’ala. Dan faktanya tidak
demikian.

06
Kajian Utama

PERBEDAAN PENDAPAT
YANG DIAKUI (MU’TABAR)

T
idak semua perbedaan pendapat 2. Mujtahid tersebut haruslah bersungguh-
itu diakui dan menjadi kebaikan sungguh dan berusaha keras mencapai
bagi umat Islam. Perbedaan kesimpulan dari persoalan yang sedang
pendapat yang diakui (mu’tabar) dikaji.
dalam Islam adalah perbedaan pendapat
yang bersumber dari ijtihad yang 3. Persoalan yang diperselisihkan haruslah
diizinkan oleh syara’. Ijtihad yang diizinkan
persoalan yang menjadi wilayah ijtihad.
oleh syara’ adalah ijtihad yang memenuhi Misalnya perkara baru yang tidak ada nash
ketentuan-ketentuan berikut ini: khusus yang membahasnya, atau terdapat
dalil namun perlu pendalaman dalam
1. Orang yang mengkaji masalah yang memahami maknanya, atau terdapat dua
diperselisihkan tersebut haruslah seorang dalil yang terlihat saling bertentangan.
mujtahid, yang telah memenuhi syarat-
syarat seorang mujtahid. 4. Tujuannya dalam berijtihad adalah
untuk mengikuti kebenaran dan
mengetahui tujuan dari Allah ta’ala yang
Syarat-Syarat Seorang Mujtahid:
membuat Syariat tersebut, bukan dalam
(a) Mengetahui kandungan hukum
Al- Qur’an, nasikh-mansukhnya, rangka mengikuti hawa nafsunya.
dan asbabun nuzulnya.
(b) Mengetahui kandungan hukum 5. Ijtihadnya tidak menjadi sebab terjadi
As-Sunnah, nasikh-mansukhnya, permusuhan dan kebencian antar pihak
serta shahih-dhaifnya. yang berselisih pendapat.
(c) Mengetahui perkara-perkara yang
ijma’ dan yang khilaf, serta ketentuan- Rujukan: Al-Khilaf, Anwaa’uhu wa
ketentuan yang terkait keduanya.
Dhawaabithuhu wa Kayfiyatut Ta’aamul
(d) Memahami bahasa Arab.
Ma’ahu, karya Hasan Hamid Maqbul Al-
(e) Menguasai ilmu ushul fiqih.
(f) Mengetahui fakta yang akan ’Ushaimi, hlm. 35-39 dan hlm. 70, Penerbit
dijelaskan hukumnya. Dar Ibn Al-Jauzi, Riyadh, Saudi Arabia.
(g) Bersungguh-sungguh dalam
pengkajian sampai batas yang
mampu ia tempuh.

07
Kajian Utama

IKHTILAF
YANG TERCELA

P
erbedaan pendapat atau ikhtilaf dalam penyimpangan yang jauh (dari
itu berbeda-beda. Ada yang kebenaran).” (QS. Al-Baqarah [2]: 176)
diizinkan oleh Syariah bahkan
menjadi rahmat bagi umat, ada Orang-orang kafir itu menjadi tercela
juga yang tercela dan diharamkan. Kali bahkan sangat tercela dan telah
ini kita akan membahas beberapa ikhtilaf menyimpang sejauh-jauhnya karena
yang tercela dan diharamkan. Tulisan mereka menyelisihi pokok-pokok ajaran
ini utamanya merujuk pada kitab “Al- Islam, mengingkari Allah dan Rasul-Nya
Khilaf, Anwaa’uhu Wa Dhawaabithuhu serta Kitab yang diturunkan-Nya. Namun,
Wa Kayfiyyah At-Ta’aamul Ma’ahu” karya hari ini sebagian umat Islam seakan
Syaikh Hasan ibn Hamid ibn Maqbul al- menoleransi kekafiran orang-orang kafir,
‘Ushaimi. Berikut penjelasannya: bahkan sebagian yang mengaku Islam
marah ketika dikatakan orang-orang
1. Ikhtilaf orang-orang Kafir kafir itu akan celaka dan disiksa di Hari
Ini adalah seburuk-buruknya ikhtilaf Pembalasan jika mereka masih bertahan
yang tercela, karena orang-orang kafir dengan kekafirannya. Cara berpikir seperti
menyelisihi ajaran Islam dari pokok diin ini jelas bukan berasal dari Islam, mereka
Islam tersebut. Mereka tidak beriman telah terpengaruh paham pluralisme
kepada Allah ta’ala, Rasul-Rasul-Nya dan agama akut, hingga meremehkan bahkan
kitab-kitab yang diturunkan-Nya, padahal meniadakan jurang pemisah antara iman
inilah pokok dan inti diin Islam. dan kekufuran.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: 2. Ikhtilaf para pengikut hawa nafsu dan
pelaku bid’ah
َ َ‫َذلِ َك ِبأَ َّن اللَّ َه نَ َّز َل الْ ِكت‬
‫اب بِالْ َح ِّق َوإِ َّن ال َِّذي َن ا ْختَلَفُوا ِف‬ Ikhtilaf para pengikut hawa nafsu dan
‫اب لَ ِفي ِشقَاقٍ بَ ِع ٍيد‬ ِ َ‫الْ ِكت‬ pelaku bid’ah ini tercela karena mereka
menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah.
Artinya: “Yang demikian itu adalah karena Mereka mendahulukan hawa nafsu mereka
Allah telah menurunkan Al-Kitab dengan dari Syariah. Mereka tidak menjadikan
membawa kebenaran, dan sesungguhnya dalil-dalil syar’i sebagai rujukan pertama
orang-orang yang berselisih tentang dan utama, namun meletakkan dalil-dalil
(kebenaran) Al-Kitab itu, benar-benar tersebut di belakang pemikiran dan hawa

08
nafsu mereka. Jika dalil syar’i itu sesuai dalam agama itu ada tiga macam.
dengan hawa nafsu mereka, diambil Pertama, dalam penetapan adanya
dan digunakan, namun jika tak sesuai, Sang Pencipta dan keesaan-Nya, yang
ditinggalkan bahkan dibuang. mengingkari ini hukumnya kafir. Kedua,
dalam perkara sifat dan masyi-ah Allah
Kelompok pengikut hawa nafsu dan ta’ala, yang mengingkari ini hukumnya
pelaku bid’ah inilah yang memecah-belah bid’ah. Ketiga, dalam perkara furu’
persatuan umat Islam. Ini diindikasikan (cabang) yang memungkinkan lahirnya
oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa beberapa pendapat, ini merupakan
sallam dalam sabdanya: perkara yang dijadikan Allah sebagai
rahmat dan kemuliaan bagi para ulama,
‫اب اف َ َْتقُوا َع َل ثِ ْنتَ ْ ِي َو َس ْب ِع َني‬ ِ َ‫أَ َل إِ َّن َم ْن قَ ْبلَ ُك ْم ِم ْن أَ ْهلِ الْ ِكت‬ dan inilah yang dimaksud oleh hadits,
ِ‫ ثِ ْنتَان‬:‫ْت ُق َع َل �ث َ َل ٍث َو َس ْب ِع َني‬ ِ َ ‫ َوإِ َّن َه ِذ ِه الْ ِملَّ َة َستَف‬،‫ِملَّ ًة‬ ‘ikhtillafu ummati rahmah’.” (Lihat “Syarh
ِ ‫ َو َو‬،ِ‫َو َسبْ ُعو َن ِف ال َّنار‬
‫ َو ِه َي الْ َج َم َع ُة‬،‫اح َد ٌة ِف الْ َج َّن ِة‬ Shahih Muslim”, karya an-Nawawi, Juz 11,
Halaman 258).
Artinya: “Ketahuilah, sesungguhnya
orang-orang sebelum kalian dari kalangan 3. Ikhtilaf pada perkara yang bukan
ahli kitab berpecah belah menjadi 72 wilayah ijtihad
millah, dan sesungguhnya millah ini akan Ada perkara yang bukan wilayah ijtihad,
terpecah belah menjadi 73 golongan, 72 yaitu (a) perkara yang telah disebutkan
golongan di neraka dan satu di surga, yaitu
oleh nash secara sharih (sangat jelas) dan
al-jama’ah.” (HR. Abu Dawud no. 4597) tak ada kemungkinan multi tafsir, dan
(b) perkara yang telah menjadi ijma’ para
Namun, perlu dipahami bahwa pelaku ulama.
bid’ah yang tercela di sini adalah pelaku
bid’ah yang disepakati kebid’ahan dan Asy-Syirazi berkata: “Perkara yang
ketercelaannya, bukan pelaku ibadah tidak dibolehkan ijtihad padanya ada
atau amal yang oleh sebagian umat Islam dua, pertama pengetahuan tentang
disebut bid’ah. Misal, sebagian orang diin Allah ta’ala yang dharuri, seperti
menyatakan qunut shubuh itu bid’ah, kewajiban shalat, zakat, dan haji, serta
namun kita tak bisa mengatakan bahwa keharaman zina, liwath dan khamr.
orang-orang yang melakukan qunut Ini dan yang semisalnya telah jelas
shubuh sebagai pelaku bid’ah yang kebenarannya, wajib mengambil yang
tercela, karena mereka melakukannya telah ditetapkan. Yang menyelisihi hal
juga berdasarkan dalil dan hujjah yang ini, padahal ia telah mengetahuinya, ia
kuat. dihukumi kafir, karena ia adalah perkara
yang diketahui dalam diinullah ta’ala
Al-Khaththabi menyatakan: “Ikhtilaf secara dharuri. Siapa saja menyelisihinya,

09
padahal ia mengetahuinya, berarti ia mereka tidak mau mengikuti kebenaran
telah mendustakan Allah dan Rasul-Nya. jika itu berbeda dengan keinginan mereka.
Dengan ini berarti ia telah kafir. Bentuk Ibn Al-Qayyim berkata: “Adapun
kedua adalah perkara yang tidak diketahui seorang muta’ashshib (fanatikus buta),
pada diinullah secara dharuri, namun ia menjadikan pendapat orang yang
terdapat dalil qath’i padanya, yaitu perkara
diikutinya sebagai standar dan timbangan
yang menjadi ijma’ di kalangan shahabat. atas al-Kitab, as-Sunnah dan pendapat
Yang berbeda dengannya berarti batil. shahabat. Jika ketiganya sesuai dengan
Yang menyelisihinya dihukumi fasik, dan pendapat orang yang diikutinya, ia terima.
keputusan hakim yang bertentangan Namun jika menyelisihi pendapat orang
dengannya tertolak.” (Lihat “Syarh Al- yang diikutinya, ia tolak. Ini lebih dekat
Luma’”, karya Asy-Syirazi, Juz 2, Halaman pada ketercelaan dan siksa daripada
1045-1046). pahala dan kebenaran.” (Lihat “I’lam al-
Muwaqqi’in”, karya Ibn Al-Qayyim, Juz 3,
Imam Asy-Syafi’i berkata: “Setiap perkara Halaman 527).
yang telah Allah tegakkan hujjah
atasnya dalam Kitab-Nya, atau melalui Ketercelaan mereka bukan pada
lisan Nabi-Nya secara jelas dan terang, perkara yang sedang diperselisihkan,
tidak halal ikhtilaf padanya bagi yang karena hakikatnya perkara tersebut
mengetahuinya.” (Lihat “Ar-Risalah”, karya memang perkara furu’ (cabang) yang
Asy-Syafi’i, Halaman 560). memungkinkan terjadi perbedaan
pendapat. Ini menjadi tercela karena
(4) Ikhtilaf pada perkara ijtihadi, namun motivasi orang-orang yang berselisih di
ia melandasi pendapatnya di atas dalamnya. Jadi, jika yang berselisih pada
kezhaliman, hawa nafsu, atau fanatisme perkara ini benar-benar sedang berupaya
kelompok mencari dan mengikuti kebenaran, ia
tidak tercela bahkan terpuji, namun jika
Pada dasarnya, perkara yang motivasinya adalah untuk melakukan
diperselisihkan adalah perkara yang kezhaliman, mengikuti hawa nafsu atau
dalilnya tidak qath’i, memungkinkan memenangkan kelompoknya, maka itu
terjadinya perbedaan pendapat, namun ia tercela.
menjadi tercela karena buruknya motivasi
orang yang melakukannya.

Orang-orang yang melandasi pendapatnya


di atas dasar kezhaliman, mengikuti hawa
nafsu atau membela kelompoknya secara
membabi buta sama-sama tercela, karena

10
Kajian Utama

TELADAN SALAF
DALAM BERBEDA PENDAPAT

P
ara ulama salaf, meski mereka Ahmad menjawab: “Wahai anakku, Asy-
saling berbeda pendapat dalam Syafi’i itu seperti matahari bagi dunia,
banyak persoalan, namun itu dan seperti kesehatan bagi manusia,
sama sekali tak membuat mereka lihatlah dua hal ini, apakah ada yang layak
memusuhi pihak yang berbeda, atau tak menggantikannya?” (“Al-Intiqa”, hlm. 74-
mau beristifadah (mengambil faidah ilmu) 75)
dari mereka dan mengakui ketinggian
ilmu mereka. Banyak lagi riwayat lainnya, yang
menunjukkan para ulama salaf panutan
Imam Asy-Syafi’i berkata tentang Imam umat ini, saling memuji kepada sesama
Malik bin Anas: “Malik bin Anas adalah ulama, meski dalam banyak persoalan,
guruku, dan darinya aku mengambil terjadi perbedaan pendapat di antara
ilmu.” Dalam kesempatan berbeda, beliau mereka. Hal ini karena yang mereka tuju
juga menyatakan: “Jika disebutkan para dari perbedaan pendapat itu adalah
ulama, maka Malik adalah bintangnya.” sampainya mereka kepada kebenaran,
(Disebutkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr, dalam bukan untuk menang-menangan, yang
“Al-Intiqa Fi Fadhail Ats-Tsalatsah Al- hanya mengeraskan hati. Mereka sendiri
Aimmah Al-Fuqaha”, hlm. 23, Dar Al-Kutub menyatakan, “Pendapatku benar, tapi
Al-‘Ilmiyyah) mengandung kemungkinan keliru.
Sedangkan pendapat selainku salah, tapi
Masih dalam “Al-Intiqa”, karya Ibnu ‘Abdil mengandung kemungkinan benar.” Ini
Barr, tentang Abu Hanifah, Asy-Syafi’i bukan hanya mereka ucapkan dengan
berkata: “Siapa saja yang ingin mendalami lisan mereka, tapi mereka tunjukkan
Fiqih, maka ia berutang budi dengan Abu dalam praktek kehidupan mereka. (Silakan
Hanifah.” (Hlm. 136) baca: “Al-Asas Fi Fiqh Al-Khilaf”, karya Abu
Umamah Nawwar bin Asy-Syali, hlm. 247
‘Abdullah bin Ahmad bertanya kepada dan seterusnya, Dar As-Salam)
ayahnya (Ahmad bin Hanbal) tentang Asy-
Syafi’i: “Asy-Syafi’i itu siapa, saya dengar Para ulama juga membangun kaidah,
ayah banyak berdoa untuknya?” Imam “laa inkara fi masail al-ijtihad” (tidak ada

11
pengingkaran dalam persoalan ijtihad). yang terkait dengan ijtihad, orang awam
Artinya, dalam persoalan-persoalan ijtihad, tidak boleh masuk ke dalam bahasan ini,
yang tidak terdapat dalil yang shahih dan tak boleh bagi mereka melakukan
sekaligus sharih (jelas) yang menunjukkan pengingkaran terhadapnya. Ini adalah
hukumnya, atau tidak ada ijma’ dalam hal hak ulama. Kemudian, ulama hanya
itu, maka perbedaan pendapat dalam melakukan pengingkaran terhadap
persoalan tersebut dibolehkan, dan hal yang disepakati. Adapun perkara
tidak boleh ada pengingkaran dalam yang diperselisihkan ulama, tidak ada
persoalan tersebut. Maksud tidak boleh pengingkaran padanya.” (“Syarh Shahih
Muslim”, Juz 2, hlm. 23, Dar Ihya At-Turats
ada pengingkaran di sini bukan berarti
Al-‘Arabi)
tidak boleh ada diskusi untuk melihat
pendapat mana yang lebih kuat. Diskusi
Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat,
boleh, namun dengan kesadaran bahwa
wajib wudhu jika seseorang keluar darah
yang diperdebatkan ini bukanlah sebuah
dari hidungnya atau karena bekam. Beliau
kemungkaran, yang berlaku “nahi
ditanya, “Jika imam shalat keluar darah dari
munkar” padanya. (Silakan baca: “Al-
tubuhnya dan ia tidak berwudhu karena
Khilaf, Anwa’uhu wa Dhawabithuhu wa itu, apakah boleh shalat di belakangnya?”,
Kayfiyatut Ta’amul Ma’ahu”, hlm. 99-100, beliau jawab, “Bagaimana bisa aku tidak
Dar Ibn Al-Jauzi) mau shalat di belakang Imam Malik dan
Sa’id bin Al-Musayyib?”
Ini dari sisi para ulama itu sendiri, atau
minimal para pelajar ilmu syar’i yang Dua orang imam ini, yaitu Malik bin Anas
serius menuntut ilmu. Adapun untuk dan Sa’id bin Al-Musayyib, berpendapat
kalangan awam, lebih jelas lagi, mereka tak perlu wudhu jika keluar darah dari
tak memiliki hak untuk berdebat. tubuh. Sedangkan Ahmad bin Hanbal
Kewajiban mereka hanyalah mengikuti berpendapat sebaliknya. Tapi hal itu tidak
pendapat salah satu ulama yang mereka membuat Imam Ahmad menolak menjadi
percaya kapasitas ilmunya, setelah itu makmum mereka. Meski fakta ini tak
diamalkan. Jika mereka ikut berdebat, pernah terjadi, karena masa hidup Imam
apalagi mengkritik ulama, mereka telah Ahmad berbeda dengan Imam Malik,
jatuh pada keburukan. Berbicara tanpa apalagi dengan Sa’id bin Al-Musayyib
ilmu, sekaligus tak punya adab terhadap yang merupakan Tabi’in senior, tapi ini
ulama. memberikan pelajaran adab yang sangat
penting.
An-Nawawi berkata: “Jika persoalannya
terkait bahasan yang mendalam tentang Berbeda boleh, namun tetap saling
perkataan dan perbuatan, dan semua menghormati, dan tetap menganggap

12
pihak yang berbeda sebagai muslim yang kita sebagai muslim yang punya hak atas
memiliki hak dan kewajiban atas sesama kita. Atau menganggap ia adalah sosok
muslim, termasuk kebolehan shalat di yang harus dijauhi sejauh-jauhnya. Atau
belakang mereka. menumbuhkan permusuhan kepada
Imam Asy-Syafi’i pernah shalat Shubuh di mereka, padahal musuh-musuh Islam
masjid dekat kuburan Abu Hanifah, dan yang sebenarnya, telah siap untuk
beliau tidak membaca doa qunut, padahal menerkam kita.
itu sunnah menurut beliau. Beliau lakukan
itu karena penghormatan kepada Abu Padahal, seandainya ia benar-benar salah
Hanifah. dan melakukan hal yang menyimpang
menurut seluruh ulama, selama ia masih
Abu Hanifah dan murid-muridnya, muslim, ia masih punya hak atas kita,
demikian juga Asy-Syafi’i dan para dan masih ada hak loyalitas padanya,
ulama lainnya, saat di Madinah, menjadi sebesar keislaman dan kebaikannya. Ibnu
makmum shalat di belakang pengikut Taimiyyah berkata: “Jika berkumpul pada
Madzhab Maliki dan lainnya, yang tidak seorang individu kebaikan dan keburukan,
membaca basmalah baik secara sirr taat dan kemaksiatan, Sunnah dan bid’ah,
(pelan) maupun jahr (nyaring). maka ia berhak mendapat loyalitas dan
pahala sesuai dengan kebaikan yang ada
Cerita Imam Ahmad dan setelahnya di padanya, sekaligus ia layak mendapatkan
atas, disebutkan oleh Syah Waliyyullah disloyalitas dan sanksi sesuai dengan
Ad-Dihlawi, di kitabnya “Hujjatullah Al- keburukan yang ia lakukan.” (“Majmu’ Al-
Balighah” (Juz 1, hlm. 270, Dar Al-Jiil). Fatawa”, Juz 28, hlm. 209, Mujamma’ Al-
Malik Fahd)
Ini adalah teladan para ulama salaf.
Perbedaan boleh ada, dan niscaya memangPada orang yang terjatuh pada kesalahan
ada, namun itu bukan penghalang untuk dan penyimpangan yang disepakati
bersatu, untuk shalat di masjid yang sama.
ulama, tetap ada loyalitas padanya.
Bukan penghalang untuk mewujudkan Tentu, pada perkara yang diperselisihkan
ukhuwwah Islamiyyah. Bukan penghalang oleh ulama, yang masing-masing pihak
untuk bekerja sama dan berjuang sedang berusaha mencapai kebenaran
bersama, pada hal-hal yang disepakati. dan mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah
semampu mereka, lebih layak lagi diberi
Tak selayaknya, hanya karena perbedaan loyalitas dan kecintaan.
pendapat pada sebagian persoalan,
kemudian kita tak menganggap saudara

13
Tanya Jawab Fiqih

HUKUM MENGGUNAKAN PRODUK


YANG MENGANDUNG ALKOHOL DAN BABI
UNTUK PENGGUNAAN DI LUAR TUBUH

Pertanyaan: Artinya: “Adapun hewan yang diharamkan


Apakah boleh penggunaan produk yang berdasarkan zatnya, ada yang
mengandung alkohol atau pun babi untuk keharamannya disepakati oleh seluruh
penggunaan di luar tubuh, misalnya krim, ulama, ada yang mereka perselisihkan.
minyak rambut, minyak oles, dll? Para ulama kaum muslimin sepakat atas
keharaman dua hal: daging babi dan
Jawaban: darah. Terkait babi, para ulama sepakat
Bismillah. Alhamdulillah. Wash shalatu atas keharaman lemaknya, dagingnya,
was salamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala Alihi wa dan kulitnya…”
Shahbihi wa man waalaah. Amma ba’du.
Saat berbicara tentang kenajisan babi,
Pertanyaan yang diajukan terkait dua Imam Ibnu Qudamah, dalam Al-Mughni
benda, yaitu alkohol dan babi, dan (1/42) mengatakan:
hukumnya bisa jadi berbeda, yang akan
saya uraikan nanti. ،‫َو ُح ْك ُم الْخ ْنزِي ِر ح ْك ُم الْكل ِْب؛ ِلَّ ال َّن َّص َوقَ َع ِف الْكل ِْب‬
َ ‫ ِلّ َّن الل َه تَ َع َال ن ََّص‬،ُ‫ش ِم ْن ُه َوأَ ْغلَظ‬
،‫عل تَ ْح ِرميِ ِه‬ ٌّ َ ‫َوالْخ ْنزِي ُر‬
Kita akan mulai pembahasan mengenai ‫ َو َح ُرم اق ِت َنا ُؤ ُه‬،‫َوأَ ْج َم َع الْ ُم ْسلِ ُمو َن َع َل ذلِ َك‬
keharaman mengonsumsi babi
dan alkohol. Baru setelah itu, status Artinya: “Dan hukum (kenajisan) babi
kenajisannya. Karena berbicara hukum sama dengan hukum anjing, karena nash
menggunakan minyak dari benda-benda berbicara tentang anjing, sedangkan babi
ini dan mengoleskannya pada badan atau lebih buruk dari anjing. Allah ta’ala telah
pakaian kita, sangat tergantung pada menyatakan keharaman babi secara jelas,
hukum kenajisannya. Apakah ia najis, atau dan para ulama kaum muslimin sepakat
suci. atas keharamannya, dan haram juga
memilikinya.”
Keharaman mengonsumsi babi adalah
perkara yang sangat jelas, dan disepakati Di antara dalil yang jelas menunjukkan
oleh seluruh ulama. Dalam Bidayatul keharaman babi, adalah firman Allah
Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid (3/19, ta’ala:
terbitan Darul Hadits, Kairo) dikatakan:
‫إِنَّ َا َح َّر َم َعلَ ْي ُك ُم الْم ْيتَ َة َوال َّد َم ولَ ْح َم ال ِْخ ْنزِي ِر َو َما أُ ِه َّل ِب ِه‬
.‫ َو ِم ْن َها َما ا ْختَلَفُوا ِفي ِه‬،‫َوأَ َّما الْ ُم َح َّر َمات لِ َع ْي ِن َها فَ ِم ْنـ َها ما ات َّـ َفقُوا َعلَ ْي ِه‬ ‫َي الل ِه‬ ِ ْ ‫لغ‬
,‫ لَ ْحمِ ال ِْخ ْنزِير‬:ِ‫فَأَ َّما املُتَّـف َُق ِم ْن َها َعلَيْ ِه فاتَّف ََق الْ ُم ْسلِ ُمو َن ِمن َها َع َل اث ْ َن ْي‬
...‫ فَأَ َّما ال ِْخ ْنزِي ُر فَاتَّ َفقُوا َع َل تَ ْحرِيمِ شَ ْح ِم ِه َولَ ْح ِم َه َو ِجل ِْد َه‬.‫ َوال َّد ِم‬Artinya: “Sesungguhnya Allah
mengharamkan atas kalian bangkai, darah,

14
daging babi, dan hewan yang disembelih
untuk dipersembahkan kepada selain ‫الز َْل ُم‬
َ ْ ‫اب َو‬ ُ ‫الن َْص‬ َ ْ ‫س َو‬ ُ ِ ‫يٰٓاَيُّ َها ال َِّذيْ َن ا ٰ َم ُن ْٓوا اِنَّ َا الْ َخ ْم ُر َوالْ َم ْي‬
Allah.” (QS. Al-Baqarah [2]: 173) ‫ِر ْج ٌس ِّم ْن َع َملِ الشَّ يْطٰنِ فَا ْجتَ ِنبُ ْو ُه لَ َعلَّ ُك ْم ت ُ ْفلِ ُح ْو َن‬
Juga firman-Nya: Artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi,
ِ ْ ‫( ُح ِّر َم ْت َعلَ ْي ُك ُم امل َ ْيتَ ُة وال َّد ُم ولَ ْح ُم ال ِْخ ْنزِير و َما أ ِه َّل لغ‬berkorban untuk) berhala, mengundi
‫َي‬
‫ اللَّ ِه ب ِه‬nasib dengan panah, adalah keburukan
termasuk dari perbuatan syaithan.
Artinya: “Diharamkan bagi kalian bangkai, Jauhilah perbuatan-perbuatan itu, agar
darah, daging babi, dan hewan yang kalian mendapat keberuntungan.” (QS. Al-
disembelih untuk dipersembahkan Maidah [5]: 90)
kepada selain Allah.” (QS. Al-Maidah [5]: 3)
Juga Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa
Adapun hukum alkohol, ia diperselisihkan sallam:
oleh para ulama. Perselisihannya bukan َ ْ ‫ش ُب الخ ْم َر ِحني‬
‫يشبُ َها َو ُه َو ُم ْؤ ِم ٌن‬ َ ْ َ‫َوالَ ي‬
tentang, apakah khamr haram dikonsumsi
atau tidak. Keharaman mengonsumsi Artinya: “Tidaklah seseorang meminum
khamr merupakan perkara yang disepakati khamr, ketika ia meminumnya, ia dalam
seluruh ulama. keadaan beriman.” (HR. Al-Bukhari no.
5578 dan Muslim no. 57).
Dalam Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul
Muqtashid (3/23, terbitan Darul Hadits, Dan banyak lagi dalil-dalil yang
Kairo) dikatakan: menunjukkan keharaman meminum
khamr.
‫ الَّ ِتي‬:‫ أَ ْع ِني‬،‫أَ َّما الْ َخ ْم ُر فإنَّ ُه ُم ات َّـ َفقُوا َع َل ت َ ْحر ِِيم قَلِيلِ َها َوكَ ِثريِ َها‬
‫ َوأَ َّما ْالْنْ ِب َذ ُة فَ ِإنَّ ُه ُم ا ْختَلَفُوا ِف الْ َقلِيلِ ِم ْن َها‬.‫عصريِ الْ ِع َن ِب‬
ِ ‫ ِه َي ِم ْن‬Jika khamr haram dikonsumsi, bagaimana
‫ وأَ ْج َم ُعوا َع َل أَ َّن الْ ُم ْس ِك َر ِمن َها َح َرام‬,‫ ال َِّذي الَ يُ ْس ِك ُر‬dengan hukum alkohol, apakah otomatis
bisa disimpulkan haram juga? Jawabannya,
Artinya: “Adapun khamr, para ulama belum tentu. Senyawa alkohol belum
sepakat atas keharamannya, sedikit dikenal di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
maupun banyak, yaitu yang berasal sallam. Saat menyampaikan keharaman
dari hasil perasan anggur. Adapun hasil khamr, Nabi tidak menjelaskan bahwa
perasan dari tanaman lain, para ulama khamr itu haram karena di dalamnya ada
berbeda pendapat tentang hukumnya, alkohol. Nabi menyatakan:
jika ia sedikit dan tidak memabukkan. Dan
mereka sepakat, seluruh hasil ‫ وك ُُّل ُم ْس ِك ٍر َح َرا ٌم‬,‫ك ُُّل ُم ْس ِك ٍر َخ ْم ٌر‬
perasan tanaman tersebut haram, jika ia
memabukkan.” Artinya: “Setiap yang memabukkan adalah
khamr, dan setiap yang memabukkan
Dalil yang menunjukkan haramnya khamr, haram hukumnya.” (HR. Muslim no. 2003)
di antaranya adalah firman Allah ta’ala:

15
Para ulama memang berbeda pendapat muslimin. Maka wajib menyertakan
tentang definisi khamr. Sebagian fuqaha, seluruh minuman yang memabukkan
di antaranya mayoritas Syafi’iyyah, dalam keharamannya, dari manapun
Hanafiyyah, dan sebagian Malikiyyah, ia berasal, tanpa ada pembedaan sama
bahwa khamr hanya yang berasal dari sekali.”
perasan anggur. Sedangkan kalangan
Hanabilah, sebagian Syafi’iyyah, dan Dan ‘illah keharaman khamr dan minuman
ulama Hijaz menyatakan khamr adalah memabukkan lainnya adalah iskar (sifat
nama bagi setiap yang memabukkan, memabukkan pada minuman tersebut).
baik yang berasal dari perasan anggur, Dan berdasarkan kaidah ‫وعدما وجودا علتھ‬
maupun dari perasan tanaman lainnya. ‫( مع یدور الحكم‬Hukum mengikuti ‘illah-
(Silakan baca: Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah nya, ada dan tiadanya). Artinya, jika ‘illah
Al-Kuwaitiyyah, 5/12. Ada perincian lebih memabukkan ada pada suatu minuman,
lanjut dalam bahasan ini). maka ia haram dikonsumsi. Sebaliknya,
jika ‘illah-nya tidak ada, maka ia halal.
Hanya saja, meskipun mereka berbeda
pendapat tentang apa yang dinamakan Dari sini bisa dipahami, jika ada minuman
khamr, mereka sepakat, jika suatu yang diberi nama apapun, memiliki sifat
minuman memabukkan, maka hukumnya memabukkan, maka ia terkena hukum
haram seperti khamr, sebagaimana sudah khamr, dan haram diminum. Sebaliknya,
disampaikan pada kutipan kitab Bidayatul jika khamr berproses secara alami menjadi
Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid di atas. cuka, maka hukumnya tidak lagi haram,
Penulis kitab AlMu’tamad fi Al-Fiqh Asy- karena sifat memabukkan pada khamr
Syafi’i (2/570) juga menyatakan: telah hilang saat menjadi cuka.

ِ‫ ِلَنَّ َها ت َ ْدخ ُُل ِف َمضْ ُم ْون‬,‫ات‬


ِ ‫عل الْ َخ ْم ِر غ ْ َُي َها ِم َن الْ ُم ْس ِك َر‬
َ ‫َاس‬ُ ‫ ويُق‬Dalam Matn Al-Ghayah wa At-Taqrib (hlm.
‫ الْ َخ ْم ِر‬31, cetakan Haramain, Indonesia, yang
dicetak bersama AtTadzhib fi Adillah Matn
Artinya: “Dan diqiyaskan seluruh minuman Al-Ghayah wa At-Taqrib) dikatakan:
memabukkan lainnya atas khamr, karena
ia masuk pada kandungan makna khamr.” ‫واذا تخللت الخمره بنفسها طهرت‬
Penulis kitab Al-Fiqh Al-Manhaji ‘Ala
Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’I (1/506) Artinya: “Jika khamr berubah menjadi cuka
menyatakan: dengan sendirinya (secara alami), maka ia
suci (tidak lagi menjadi najis).”
‫ با‬,‫ إمنا هو وصف باالسكار فيها‬,‫الن املعنى املسبب لتحريم الخمر‬
,‫ فوجب ان يثرتك معها يف التحريم كل االرشبة املسكرة‬.‫ جامع املسلمني‬Penulis At-Tadzhib fi Adillah Matn Al-
.‫ ايا كان اصلها دون اي تفريق‬Ghayah wa At-Taqrib, masih pada halaman
Artinya: “Karena yang menyebabkan yang sama, mengomentari hal ini:
keharaman khamr adalah sifat
memabukkan yang ada padanya, ‫ وقد زالت بالتخلل‬,‫الن علة النجاسة االسكار‬
berdasarkan ijma’ seluruh ulama kaum

16
Artinya: “Karena ‘illah najisnya adalah Dari sini bisa kita simpulkan, jika ada
memabukkan, dan ia telah hilang saat minyak rambut, sabun atau semisalnya
menjadi cuka.” yang mengandung zat babi, dan zat
babi tersebut masih ada dalam komposisi
Khamr yang berubah menjadi cuka, benda-benda tersebut (tidak hilang
menjadi halal dikonsumsi, dan tidak 100%), maka ia haram digunakan, dan
dianggap najis lagi. tergolong sebagai najis. Bahkan bagi
kalangan Malikiyyah sekalipun, karena
*** tentu zat babi yang menjadi bahan
Sekarang kita berbicara kenajisan babi pembuatan sabun, minyak rambut atau
dan khamr. semisalnya tersebut berasal dari bangkai
babi (babi yang telah mati).
Kalangan Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan
Hanabilah sepakat atas najisnya zat babi Sekarang khamr. Mayoritas ahli fiqih
itu sendiri. Artinya, babi itu najis, meskipun menyatakan khamr itu najis, seperti air
ia masih hidup, dan kenajisannya ada kencing dan darah, karena adanya firman
pada seluruh anggota badannya, serta Allah ta’ala yang mengharamkannya dan
bagian tubuhnya yang terpotong menyebutnya sebagai “rijs” (Surah Al-
darinya. Sedangkan kalangan Malikiyyah Maidah Ayat 90). “Rijs” dalam bahasa Arab
menyatakan bahwa babi suci saat ia masih adalah sesuatu yang kotor atau busuk,
hidup, karena hukum asal segala sesuatu dan ini menunjukkan ia najis.
saat masih hidup adalah suci. (Silakan lihat:
Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Sedangkan sebagian fuqaha menyatakan
20/33, pembahasan tentang “Khinzir”). khamr itu suci, tidak najis. Yang
berpendapat seperti ini misalnya Imam
Sedangkan ketika ia telah menjadi Rabi’ah, guru dari Imam Malik, serta
bangkai, fuqaha empat madzhab sepakat Ash-Shan’ani dan Asy-Syaukani. Mereka
atas kenajisannya. Bahkan Fakhruddin Ar- berpegang pada hukum asal bahwa
Razi menghikayatkan adanya ijma’ ulama segala sesuatu itu asalnya adalah suci.
dalam hal ini. (Silakan lihat: Al-Mausu’ah Sedangkan kata “rijs” dalam Ayat AlQur’an,
AlFiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 39/388, mereka bawa pada makna “kotoran
pembahasan tentang “Maytah”). secara hukum”, yang berarti hukumnya
buruk, dan tidak menunjukkan najisnya
Meskipun ada sedikit perbedaan benda yang disifati dengan kata tersebut.
pendapat tentang perinciannya. Misal, (Silakan baca: Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah
hukum bulu babi. Mayoritas ahli fiqih Al-Kuwaitiyyah, 40/93-94, pembahasan
menyatakannya najis, sedangkan tentang “Najasah”).
Malikiyyah menyatakannya suci, bahkan
meskipun bulu babi itu dipotong dari babi Mengikuti pendapat jumhur (mayoritas)
yang telah menjadi bangkai. (Silakan lihat: ahli fiqih, maka khamr itu bukan hanya
Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, haram dikonsumsi, tapi juga najis. Artinya,
20/35, pembahasan tentang “Khinzir”). jika ia terkena badan kita atau pakaian kita,

17
berarti badan dan pakaian kita terkena sendiri menguatkan pendapat, bahwa
najis dan wajib disucikan. alkohol adalah khamr itu sendiri. Zat
yang menyebabkan khamr memabukkan
Jika badan dan pakaian yang terkena adalah alkohol. Namun, beliau juga
khamr tersebut kita bawa saat shalat, mengemukakan pendapat sebagian
maka shalatnya tidak sah. ulama kontemporer yang menyatakan
alkohol bukan khamr, dan hukumnya suci.
Sekarang tersisa pembahasan, apakah
alkohol itu adalah khamr itu sendiri. Jika Beliau misalnya, mengutip pernyataan
benar, tentu badan dan pakaian yang Prof. dr. Muhammad Sa’id As-Suyuthi,
terkena alkohol, berarti ia terkena najis, dalam kitabnya “Mu’jizat Fi Ath-Thibb Li
dan tidak boleh digunakan ketika shalat An-Nabi Al-‘Arabi Muhammad Shallallahu
dan hal hal lain yang mensyaratkan ‘Alaihi Wa Sallam” bahwa alkohol itu suci.
sucinya badan dan pakaian kita dari najis. Prof. As-Suyuthi (sebagaimana dikutip
Fakta yang disepakati tentang hal ini oleh Prof. Ali Mustafa Yaqub) menyatakan:
adalah, khamr dan semua minuman yang “Mengqiyaskan alkohol kepada khamar
memabukkan, mengandung alkohol. adalah bentuk qiyas yang tidak relevan
Karena itu berbagai minuman yang (al-qiyas ma’a al-fariq) dan tidak benar,
memabukkan sering disebut “minuman karena susunan partikel di dalamnya
beralkohol”. Hanya saja, apakah alkohol berbeda.” (Kriteria Halal-Haram, hlm. 123).
itu adalah khamr itu sendiri, atau ia hanya
bagian dari minuman yang memabukkan Prof. As-Suyuthi juga menyatakan,
itu. Jika ia adalah khamr itu sendiri, maka alkohol jika terpisah dengan khamr,
sepenuhnya berlaku hukum khamr. maka hukumnya adalah suci. Sehari-hari
kita biasa mengonsumsinya dari buah-
Sedangkan jika bukan khamr itu sendiri, buahan, tanpa batas dan perhitungan.
maka ia kembali ke hukum asal segala
sesuatu, yaitu suci. Dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia
(MUI) No. 11 Tahun 2009, dikatakan:
Prof. Dr. Ali Mustafa Yaqub, dalam bukunya “Alkohol sebagaimana dimaksud dalam
“Kriteria Halal-Haram Untuk Pangan, Obat ketentuan umum yang berasal dari khamr
dan Kosmetika Menurut Al-Qur’an dan adalah najis. Sedangkan alkohol yang
Hadis”, yang merupakan terjemahan dari tidak berasal dari khamr adalah tidak
buku hasil disertasi beliau di Universitas najis.”
Nizamia Hyderabad India, yang berjudul
“Ma’ayir Al-Halal Wa Al-Haram Fi Al- Juga dikatakan: “Penggunaan alkohol/
Ath’imah Wa Al-Asyribah Wa Al-Adwiyah etanol hasil industri khamr untuk produk
Wa Al-Mustahdharat At-Tajmiliyyah ‘Ala makanan, minuman, kosmetika, dan obat-
Dhau Al-Kitab Wa As-Sunnah”, membahas obatan, hukumnya haram.” Kemudian,
persoalan alkohol dan khamr. Beliau “Penggunaan alkohol/etanol hasil industri

18
non khamr (baik merupakan hasil sintesis Sebagai kesimpulan terkait hukum
kimiawi [dari petrokimia] ataupun hasil penggunaan alkohol sebagai parfum, minyak
industri fermentasi non khamr) untuk rambut, dan semisalnya adalah:
proses produksi produk makanan,
minuman, kosmetika, dan obat-obatan, 1. Dari sisi kenajisan khamr, mayoritas ulama
hukumnya: mubah, apabila secara menganggapnya najis. Namun sebagian
medis tidak membahayakan.”Fatwa MUI fuqaha (sebagaimana sudah disebutkan di
No. 11 Tahun 2009 ini bisa dilihat pada atas) menyatakan ia suci.
tautan berikut ini: mui.or.id/wpcontent/
uploads/2017/02/Hukum-Alkohol.pdf 2. Terkait alkohol, sebagian ulama
(diakses pada 1 Juli 2018). menganggapnya adalah khamr itu sendiri.
Dan tentang kenajisan khamr, penjelasannya
Pada Fatwa MUI di atas, dibedakan antara seperti di poin 1.
alkohol yang diproduksi dari industri
pembuatan khamr, dengan alkohol yang 3. Sedangkan sebagian ulama lainnya
diproduksi di luar industri khamr. Yang menganggap, alkohol bukan khamr. Atau
najis, hanyalah yang berasal dari industri seperti fatwa MUI, alkohol yang diproduksi
khamr. Sedangkan yang di luar industri di luar industri pembuatan khamr, bukanlah
khamr, hukumnya suci. khamr, dan hukumnya suci. Pendapat yang
saya pilih adalah, alkohol yang berada di luar
Syaikh Muhammad bin Ahmad Asy- minuman beralkohol (seperti bir, wiski, dan
Syathiri, dalam kitab beliau “Syarh Al- semisalnya) bukan khamr dan hukumnya
Yaqut An-Nafis Fi Madzhab Ibn Idris” (hlm. suci, kecuali terbukti ia ternyata memabukkan
100-101), saat membahas bab “Najasah”, ketika dikonsumsi. Karena itu, menggunakan
beliau menyatakan bahwa alkohol adalah alkohol sebagai parfum, minyak rambut, dan
ruh dari khamr. Yang berarti obat-obatan semisalnya boleh hukumnya dan tidak najis.
dan parfum yang mengandung alkohol,
berarti hukumnya mengikuti hukum Hanya saja, jika seseorang memilih sikap
khamr, dan khamr itu najis. Namun hati-hati dan menghindari sepenuhnya
beliau menyatakan, penggunaan obat- penggunaan parfum beralkohol dan
obatan yang mengandung alkohol dan semisalnya, itu jauh lebih baik (sebagaimana
semisalnya, jika telah berlaku umum di disampaikan juga oleh Asy-Syathiri). Selain
tengah-tengah manusia atau karena itu juga, para ulama menyatakan, keluar
dharurat, maka dimaafkan. Dan beliau dari perselisihan ulama itu dianjurkan.
mengingatkan, seorang muslim harus Karena kesucian alkohol dalam parfum dan
berupaya untuk menghindarinya semisalnya itu diperselisihkan oleh para
semampunya. ulama, maka dianjurkan menghindarinya.

Wallahu a’lam bish shawab.

19
Tanya Jawab Fiqih

SEBAGIAN ANGGOTA WUDHU


TIDAK TERBASUH KARENA ADA PENGHALANG,
SAHKAH SHALATNYA?

Pertanyaan: Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i (1/55), adalah


Apa yang harus kita lakukan jika setelah Hadits ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu
selesai shalat kita menyadari ada sebagian ‘anhuma, beliau berkata: Kami baru saja
kecil dari tubuh kita yang ketutupan, kembali dari Makkah menuju Madinah
misalnya tertutup getah atau potongan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
lakban, jadi air wudhu tidak masuk sallam. Ketika kami berada di sebuah
pada bagian itu, apakah shalatnya harus sumber air di jalan, sekelompok orang
diulang? Bagaimana jika tertutupnya bergegas untuk melaksanakan shalat
bagian kulit kita itu terjadi selama ‘Ashar. Mereka berwudhu dengan tergesa-
seharian, apakah shalat satu hari itu harus gesa, hingga kami dapati tumit mereka
kita ulang? tidak terkena air. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pun bersabda:
Jawaban:
Bismillah. Alhamdulillah, wash shalatu ‫ أَ ْس ِبغُوا الْ ُوضُ ْو َء‬،ِ‫َاب ِم َن ال َّنار‬
ِ ‫َويْ ٌل لِ ْلَ ْعق‬
was salamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala aalihi wa
shahbihi wa man waalaah. Amma ba’du. Artinya: “Kecelakaan berupa neraka bagi
tumit-tumit (yang tidak terkena basuhan
Menghilangkan segala hal yang bisa wudhu). Sempurnakanlah wudhu kalian.”
menghalangi sampainya air ke anggota (HR. Al-Bukhari [no. 161] dan Muslim [no.
wudhu yang wajib dibasuh, merupakan 241], dan lafazh Hadits dari Imam Muslim).
syarat sah dari wudhu. Jika seseorang
berwudhu dan meninggalkan sebagian Juga berdasarkan Hadits tentang
anggota wudhu tidak terbasuh karena seseorang yang berwudhu dan
adanya sesuatu yang menghalangi meninggalkan satu tempat di kakinya
masuknya air pada anggota wudhu (tidak dibasuh). Ketika Nabi shallallahu
tersebut, maka wudhunya tidak sah. ‘alaihi wa sallam melihatnya, beliau
bersabda:
(Silakan lihat: Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah
Al-Kuwaitiyyah: 43/329, dan Al-Fiqh Al- ‫ا ْر ِج ْع فَأَ ْح ِس ْن ُوضُ و َء َك‬
Islami Wa Adillatuhu: 1/239, dan kitab-
kitab lainnya) Artinya: “Kembalilah (ulanglah), dan
perbaiki wudhumu.” (HR. Muslim [no. 243])
Dalil dari hal ini, sebagaimana disebutkan
dalam kitab Al-Fiqh Al-Manhaji ‘Ala Orang tersebut lalu mengulangi

20
wudhunya, kemudian melaksanakan dari lemak/minyak cair, dengan kondisi
shalat. air masih bisa mengenai dan mengalir
pada kulit, meskipun tidak tertahan,
Dua Hadits di atas menunjukkan bahwa thaharahnya sah.”
wudhu seseorang tidak mencukupi (tidak
sah), jika masih ada bagian dari anggota Saat menjelaskan makna Hadits
wudhu yang wajib dibasuh, namun tidak ‫( ا ْر ِج ْع فَأَ ْح ِس ْن ُوضُ و َء َك‬Kembalilah, dan
terbasuh, meskipun hanya sedikit. perbaiki wudhumu), Imam An-Nawawi
menegaskan bahwa tidak sahnya wudhu
Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarh karena ada sedikit anggota badan (yang
Al-Muhadzdzab (1/467) menyatakan: wajib dibasuh) yang tidak terkena air,
merupakan hal yang disepakati ulama.
‫إذا كان عىل بعض أعضائه شمع أو عجني أو حناء واشتباه‬
‫ ذلك فمنع وصول املاء اىل شئ من العضو مل تصح طهارته‬Beliau menyatakan:
‫سواء كرث ذلك أم قل‬
‫يف هذا الحديث أن من ترك جزءا يسريا مام يجب تطهريه‬
“Kalau di sebagian anggota wudhu ada ‫ال تصح طهارته وهذا متفق عليه‬
lilin, pasta atau hinna (pacar kuku) atau
yang semisal itu, yang menghalangi “Hadits ini menunjukkan bahwa siapa saja
sampainya air ke anggota badan, maka yang meninggalkan (tidak membasuh)
bersuci (thaharah)-nya tidak sah. Baik itu bagian kecil dari anggota badan yang wajib
sedikit maupun banyak.” disucikan, maka tidak sah thaharahnya.
Dan ini merupakan hal yang disepakati
Namun, jika yang tersisa hanya bekas (oleh para ulama).” (Syarh Shahih Muslim:
(atsar) dari zat-zat tersebut, sedangkan zat 3/132)
atau ‘ain-nya sendiri telah hilang, sehingga
air bisa sampai pada anggota badan, ***
maka tidak mengapa, dan thaharahnya Dan wudhu (bagi orang yang tidak
sah. Imam An-Nawawi, masih dalam Al- memiliki ‘udzur, seperti tidaknya adanya
Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (1/467-468) air) merupakan syarat sah Shalat. Tidak
menyatakan: sah shalat bagi orang yang berhadats,
baik kecil maupun besar, berdasarkan
‫ ولو بقي عىل اليد وغريها أثر الحناء ولونه دون عينه أو أثر‬kesepakatan seluruh ulama, kecuali bagi
‫ دهن مائع بحيث ميس املاء برشة العضو ويجري عليها لكن‬orang yang memiliki ‘udzur.
‫ال يثبت صحت طهارته‬
Dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-
“Jika masih tersisa di tangan atau di Kuwaitiyyah (17/124), kitab fiqih
tempat lainnya bekas (atsar) dari hinna perbandingan madzhab terlengkap
(pacar kuku) dan warnanya, namun zatnya sampai saat ini, disebutkan:
sudah tidak ada, atau ada bekas (atsar)

21
“Haram bagi orang yang berhadats (yang Termasuk juga, yang semakna dengan
tidak memiliki ‘udzur) melaksanakan shalat, seperti sujud tilawah, sujud
shalat dengan seluruh jenisnya, syukur, dan khutbah Jum’at, menurut
berdasarkan Ijma’. Hal ini dilandasi oleh sebagian ahli fiqih. Dan dihikayatkan dari
Hadits Shahihain: Asy-Sya’bi dan Ibnu Jarir Ath-Thabari,
kebolehan shalat jenazah tanpa wudhu
َ‫الَ يَ ْق َب ُل اللَّ ُه َصالَ َة أَ َح ِدكُ ْم إِذَا أَ ْح َدثَ َحتَّى يَتَ َوضَّ أ‬ dan tayammum.

Artinya: “Allah tidak menerima Shalat salah Jika terdapat ‘udzur, seperti tangan dan
seorang di antara kalian, jika ia berhadats, kakinya terpotong, atau ada luka di
hingga ia berwudhu (terlebih dulu).” (HR. wajahnya, sebagaimana yang disebutkan
Al-Bukhari [no. 6954] dan Muslim [no. 225], oleh kalangan Hanafiyyah, atau tidak
dan lafazh Hadits dari Imam Al-Bukhari) mendapatkan air dan tanah, sedangkan
waktu hampir habis, sebagaimana
Juga Hadits Nabi ‘alaihish shalatu was dikatakan oleh kalangan Syafi’iyyah, ia
salam: harus shalat sebagai kewajiban baginya
tanpa thaharah. Perincian tentang hal
‫ َل َصال َ َة ِل َم ْن ال َ ُو ُضو َء َل ُه‬ini ada pada pembahasan ‘Faqdu Ath-
Thahurain’.”
Artinya: “Tidak ada Shalat bagi yang
tidak berwudhu.” (HR. Abu Dawud [no. Selesai kutipan dari Al-Mausu’ah Al-
101]. Hadits ini isnadnya lemah, namun Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah.
ia memiliki syawahid yang disebutkan
oleh Ibnu Hajar dalam At-Talkhish, dan Hal ini juga disebutkan dalam Bidayatul
beliau mengatakan: Kumpulan Hadits Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, kitab
yang berbicara tentang hal ini memiliki fiqih perbandingan madzhab yang sangat
kekuatan, yang menunjukkan ia memiliki masyhur, karya Imam Ibnu Rusyd. Dalam
asal) kitab tersebut (1/27, versi Syarah Bidayatul
Mujtahid) dikatakan:
Juga Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam: “Dalil atas wajibnya wudhu adalah Al-
‫َي طُ ُهو ٍر‬
ِ ْ ‫ َل ت ُ ْق َب ُل َص َل ٌة ِبغ‬Kitab, As-Sunnah, dan Ijma’. Dalil dari Al-
Kitab adalah firman Allah ta’ala:
Artinya: “Tidak diterima shalat tanpa
thaharah.” (HR. Muslim [no. 224]) َّ ‫يَاأَيُّ َها ال َِّذي َن آ َم ُنوا إِذَا قُ ْمتُ ْم إِ َل‬
‫الص َل ِة فَاغ ِْسلُوا ُو ُجو َه ُك ْم‬
‫وس ُك ْم َوأَ ْر ُجلَ ُك ْم ِإ َل‬
ِ ‫َوأَيْ ِديَ ُك ْم إِ َل الْ َم َرا ِفقِ َوا ْم َس ُحوا ِب ُر ُء‬
Dan shalat di sini, maknanya umum, ‫الْ َك ْع َب ْ ِي‬
mencakup shalat fardhu dan shalat nafilah
(sunnah), di antaranya shalat jenazah, Artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
berdasarkan kesepakatan para ahli fiqih. jika kalian akan mendirikan shalat,

22
basuhlah wajah kalian, dan tangan kalian tersebut.”
sampai ke siku, usaplah (sebagian) kepala
kalian, dan basuhlah kaki kalian sampai ke Selesai kutipan dari Bidayatul Mujtahid
mata kaki.” (QS. Al-Maidah [5]: 6). wa Nihayatul Muqtashid.

Dan kaum muslimin sepakat bahwa ***


melaksanakan seruan dalam firman Berdasarkan penjelasan di atas, jika
Allah ta’ala ini wajib bagi setiap orang wudhu seseorang tidak sah karena
yang diwajibkan shalat, jika telah masuk sebagian anggota wudhu tidak terbasuh
waktunya. karena terhalang cat, getah, dan
Adapun As-Sunnah, adalah sabda Nabi semisalnya, maka shalatnya ikut tidak sah.
‘alaihish shalatu was salam: Ia wajib mengulang wudhunya, kemudian
mengulang shalatnya. Jika telah keluar
‫َي طُ ُهو ٍر َو َل َص َدقَ ٌة ِم ْن ُغلُو ٍل‬
ِ ْ ‫ َل تُ ْق َب ُل َص َل ٌة ِبغ‬dari waktunya, maka ia wajib meng-
qadha shalatnya tersebut. Jika shalatnya
Artinya: “Tidak diterima shalat tanpa yang tidak sah itu lima kali shalat (satu
thaharah, dan tidak diterima shadaqah hari penuh), maka ia wajib meng-qadha
dari harta haram (khianat).” (HR. Muslim seluruh shalatnya tersebut.
[no. 224]. Sudah disebutkan sebelumnya)
Wallahu a’lam bish shawab.
Dan sabda Nabi ‘alaihish shalatu was
salam:

َ‫الَ يَ ْق َب ُل اللَّ ُه َصالَ َة َم ْن أَ ْح َدثَ َحتَّى يَتَ َوضَّ أ‬

Artinya:“Allah tidak menerima shalat orang


yang berhadats, hingga ia berwudhu.”
(Takhrij Hadits sudah disebutkan
sebelumnya, dengan sedikit perbedaan
redaksi)

Dua Hadits ini tsabit (shahih dari Nabi)


menurut para Imam ahli Hadits.

Adapun Ijma’, tidak ada satupun nukilan


dari para ulama kaum muslimin yang
menunjukkan bahwa ada khilaf tentang
hal ini. Seandainya ada khilaf (perbedaan
pendapat), tentu hal itu akan dinukil,
karena kebiasaan meniscayakan hal

23
Ushul Fiqih

MUNGKINKAH IJMA' IJMA'


MENYELISIHI DALIL MENURUT
SHAHIH? IMAM ASY-SYAFI'I

P I
ara ulama tak mungkin jma' merupakan hujjah menurut Asy-
bersepakat (ijma’) atas suatu Syafi'i, namun beliau membatasinya
perkara, yang menyelisihi dalil hanya pada berbagai kewajiban yang
yang shahih, sharih (jelas, tanpa wajib diketahui oleh setiap orang, serta
ada kesamaran), dan tidak mansukh pada pokok-pokok ilmu dan agama, tidak
(sudah dihapus hukumnya). Para ulama pada selainnya.
hanya bersepakat pada perkara yang hak.
Beliau tidak menganggap ijma' sukuti
Jika kita melihat ada ijma’ ulama yang sebagai hujjah, demikian juga ijma'
sepertinya menyelisihi dalil, maka penduduk Madinah, ijma al-haramayn
kemungkinannya: (ulama dari dua Tanah Haram), ijma' al-
mishrayn (ulama Kufah dan Bashrah),
1. Dalil tersebut tidak shahih dan kesepakatan mayoritas (jumhur)
2. Dalil tersebut maknanya tidak sharih mujtahidin, bukan hujjah menurut beliau.
(tidak pasti menunjukkan makna tersebut)
3. Dalil tersebut mansukh (telah dihapus Ijma' yang dianggap hujjah menurut
hukumnya oleh Asy-Syari’) beliau, yang pertama adalah Ijma'
4. Atau sebenarnya terdapat khilaf Shahabat, setelah itu, ijma' seluruh
di kalangan ulama tentang perkara mujtahidin pada setiap masa.
tersebut, yang tak kita ketahui, sehingga
kita mengira hukumnya disepakati oleh Rujukan: Al-Fiqh Asy-Syafi'i Al-Muyassar,
mereka karya Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Juz 1,
Halaman 47, Penerbit Dar Al-Fikr, Damaskus,
Wallahu a’lam. Suriah.

Rujukan: Al-Ushul Min ‘Ilmil Ushul, karya


Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin,
Halaman 66, Penerbit Dar Ibn Al-Jauzi,
Dammam, Saudi Arabia.

24
Kajian Utama

APAKAH IJMA’ SUKUTI


DIAKUI SEBAGAI IJMA’?

Gambaran ijma’ sukuti: Sebagian mujtahid 4. Ijma’ sukuti bukan ijma, namun ia hujjah.
pada suatu masa, mengeluarkan Ini adalah pendapat Abu Hasyim bin Abi
pendapat yang sama dalam satu ‘Ali.
persoalan, kemudian para mujtahid
lainnya, di masa tersebut juga, diam Pendapat yang mirip dengan pendapat
terhadap penyampaian pendapat ini, yang keempat ini adalah pendapat Al-
tanpa ada pengingkaran, setelah mereka Amidi, bahwa ijma’ sukuti adalah ijma’
mengetahui dan menelaah pendapat yang zhanni dan ia bisa dijadikan hujjah.
tersebut. Pendapat ini didukung oleh Ibn Al-Hajib
dalam Al-Mukhtashar Al-Kabir, dan Al-
Ada lima pandangan ulama tentang ijma’ Karkhi dari kalangan Hanafiyyah.
sukuti ini, apakah ia diakui sebagai ijma’
atau tidak, yaitu: 5. Ijma’ sukuti bukan ijma’, juga bukan
hujjah, jika yang mengeluarkan pendapat
1. Ijma’ sukuti bukan termasuk ijma’, juga adalah seorang penguasa. Namun, jika
bukan hujjah. Ini adalah pendapat Asy- yang menyampaikan pendapatnya bukan
Syafi’i, ‘Isa bin Aban, Al-Baqillani, dan penguasa, maka ia ijma’ dan hujjah. Ini
kalangan Malikiyyah. adalah pendapat Ibnu Abi Hurairah.

2. Ijma’ sukuti merupakan ijma’ dan hujjah Rujukan: Ushul Al-Fiqh Al-Islami, karya Prof.
yang qath’i. Ini adalah pendapat mayoritas Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Juz 1, Halaman 526-
kalangan Hanafiyyah dan Imam Ahmad. 527, Penerbit Dar Al-Fikr, Damaskus, Suriah.

3. Ijma’ sukuti dianggap sebagai ijma’


setelah berlalunya masa mereka (ketika ahli
ijtihad di masa tersebut telah meninggal
semua). Hal ini karena terus-menerusnya
mereka diam dalam persoalan ini, hingga
kematian mereka, memperkecil peluang
kemungkinan mereka tidak setuju
terhadap pendapat tersebut. Ini adalah
pendapat Abu ‘Ali Al-Jubbaiy.
25
Qawa'id Fiqhiyyah

HUKUM ASAL SEGALA SESUATU


ADALAH MUBAH

K
aidah “al-ashlu fil asy-yaa-i al- Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
ibahah” (‫ )األصل يف األشياء اإلباحة‬adalah
salah satu kaidah fiqih yang ‫ وما سكت عنه‬،‫ وما ح ّرم فهو حرام‬،‫ما أحل الله فهو حالل‬
dipegang oleh jumhur ulama, termasuk ‫ فإن الله مل يكن لينىس‬،‫ فاقبلوا من الله عافيته‬،‫فهو عفو‬
kalangan Syafi’iyyah, yang artinya dalam ‫شيئا‬
bahasa Indonesia, “Hukum asal dari segala
sesuatu adalah mubah”. Maksudnya, jika Terjemah: “Apa yang Allah halalkan maka
ia halal, dan apa yang Allah haramkan
sesuatu tidak ada penjelasannya yang
maka ia haram, sedangkan apa yang
tegas dalam nash Syariat tentang halal-
Dia diamkan maka itu dimaafkan, maka
haramnya, maka ia halal hukumnya.
terimalah oleh kalian pemaafan dari
Allah tersebut, karena Allah tidak pernah
Di antara dalilnya adalah firman Allah
melupakan sesuatu.” (HR. Al-Bazzar, Ath-
ta’ala:
Thabarani, dan Al-Baihaqi, dari Abu Ad-
Darda radhiyallahu ‘anhu, dengan sanad
‫ وسخر لكم ما يف الساموات وما يف األرض جميعا منه‬hasan)

Terjemah: “Dan Dia telah menundukkan Hadits di atas menunjukkan hal-hal yang
untuk kalian semua yang ada di langit dan tidak dijelaskan Allah ta’ala hukumnya,
di bumi, (sebagai rahmat) dari-Nya.” (QS. berarti ia dimaafkan dan boleh diambil
Al-Jatsiyah [45]: 13) atau dilakukan.

Berdasarkan Ayat di atas dan Ayat-Ayat Contoh Penerapan Kaidah:


semisal, Allah ta’ala menjelaskan bahwa 1. Hewan yang musykil (tidak jelas)
Dia menciptakan dan menundukkan keadaannya, menurut pendapat yang
semua yang di langit dan di bumi untuk ashah halal hukumnya, sebagaimana
manusia, dan itu berarti hukum asal untuk dikatakan oleh Ar-Rafi’i.
semua hal tersebut adalah halal dan 2. Tumbuhan yang tidak diketahui
namanya, hukumnya juga halal.
mubah digunakan.
3. Semua makanan, minuman, pakaian

26
Qawa'id Fiqhiyyah

dan tasharruf (perkataan dan TIDAK SAH PUASA


perbuatan), jika tidak ada dalil yang jelas BAGI YANG TIDAK BERNIAT
menghalalkan dan mengharamkan, DI MALAM HARI
maka hukum asalnya mubah.

S
4. Hukum asal akad (transaksi) sah
hukumnya, kecuali yang ditetapkan alah satu dhawabith dalam fiqih
batal oleh Allah dan Rasul-Nya. puasa, ‫ال صيام ملن مل يجمع الصيام من الليل‬
5. Hukum asal benda cair itu suci. (tidak sah puasa bagi orang yang
6. Hukum asal permainan mubah tidak berniat puasa sejak malam
hukumnya menurut Asy-Syafi’i, hari). Hal ini berdasarkan Hadits hasan
kecuali ada dalil yang menunjukkan yang diriwayatkan oleh Ashab As-Sunan
keharamannya. dan lainnya, dari Hafshah radhiyallahu
7. Hukum asal dari air adalah suci. ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
8. Hukum asal dari pakaian itu suci. wa sallam bersabda:

Namun ada beberapa hukum yang keluar ‫من لم يجمع الصيام قبل الفجر فال صيام له‬
dari kaidah “al-ashlu fil asy-yaa-i al-
ibahah” ini, di antaranya: Artinya: “Siapa saja yang tidak berniat
puasa di malam hari sebelum fajar, maka
1. Hukum asal dari kemaluan perempuan tidak ada puasa baginya.”
adalah haram.
2. Hukum asal dari ibadah adalah tauqifi, Berdasarkan dhabith ini, ada beberapa
harus ada dalil dari Syariat, sedangkan ketentuan yang bisa kita dapatkan:
yang tidak didukung oleh dalil maka ia 1. Tidak sah puasa Ramadhan, qadha
bid’ah dan haram. Ramadhan, puasa kaffarah, puasa
3. Hukum asal dari sembelihan adalah nadzar, puasa fidyah haji, dan semua
haram, selama tidak dipastikan (tsabit) puasa wajib lainnya, kecuali jika puasa
bahwa ia melalui penyembelihan yang tersebut diniatkan sejak malam hari
syar’i. sebelum terbit fajar.
2. Orang yang telah berniat puasa wajib
Wallahu a’lam. di malam hari, kemudian makan,
minum atau berjima’ pada malam
Rujukan: Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah Wa tersebut setelahnya, sebelum terbit
Tathbiqatuha Fi Al-Madzhab Asy-Syafi’i, fajar, puasanya tetap sah, dan niat
karya Dr. Muhammad Az-Zuhaili, Juz 2,
sebelumnya tidak batal.
Halaman 59-62, Penerbit Dar Al-Bayan,
3. Karena Allah ta’ala membolehkan
Damaskus.

27
makan, minum dan jima’ di malam hari Hal ini berdasarkan Hadits riwayat
sampai terbit fajar, dan seandainya Imam Muslim dan lainnya, dari ‘Aisyah
hal tersebut membatalkan niat puasa, radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah
tentu Allah ta’ala akan melarang shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya
aktivitas tersebut. ke beliau pada suatu hari, apakah ada
4. Orang yang telah berniat puasa makanan saat itu yang bisa beliau makan,
wajib di malam hari, kemudian tidur kemudian ‘Aisyah menyatakan, tidak ada
makanan. Lalu Rasulullah bersabda: ‫فإين‬
sampai terbit fajar, puasanya sah,
dan niatnya tidak batal, karena tidur
‫صائم‬, dan dalam riwayat An-Nasai, beliau
bersabda: ‫( إذن أصوم‬kalau begitu, saya
tidak membatalkan niat. Dan jika ia
puasa). Artinya, Nabi memulai niat puasa
terbangun sebelum terbit fajar, ia tidak
saat itu, dan itu di siang hari.
wajib memperbarui niatnya.
5. Orang yang telah berniat puasa wajib Tentang waktu zawal, hal ini disebutkan
di malam hari, kemudian ia memutus dalam Hadits ‘Aisyah riwayat Ad-
niatnya sebelum terbit fajar, misal ia Daraquthni, Nabi bertanya dengan
menyatakan dalam hatinya, “Saya tidak redaksi: ‫( هل عندكم من غداء‬apakah kamu
jadi niat puasa besok”, maka niatnya memiliki “ghada”?). “Ghada adalah istilah
batal dan puasanya tidak sah. Memutus untuk menyebut makanan yang dimakan
niat merupakan salah satu pembatal di siang hari sebelum waktu zawal.
niat.
6. Seorang yang niat puasa wajib, dan ia Hadits Hafshah, yang menunjukkan tidak
ragu, apakah ia berniat puasa tersebut sahnya puasa jika tidak berniat di malam
sebelum terbit fajar, atau setelahnya, hari, hukumnya hanya berlaku untuk
tidak sah puasanya. Karena al-ashlu ia puasa wajib, karena untuk puasa sunnah,
belum berniat sebelum fajar, kecuali ada pengecualian dari Hadits ‘Aisyah.
jika ia yakin telah meniatkannya, dan
Wallahu a’lam.
kondisi syakk (tidak sampai yakin) tidak
bisa mengubah al-ashlu ini.
Rujukan: Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah Wa
Tathbiqatuha Fi Al-Madzhab Asy-Syafi’i,
Namun, dikecualikan dari dhabith ini,
karya Dr. Muhammad Az-Zuhaili, Juz 2,
puasa sunnah. Tidak disyaratkan niat di
Halaman 233-237, Penerbit Dar Al-Bayan,
malam hari untuk puasa sunnah. Puasanya
Damaskus.
tetap sah, baik ia berniat di malam hari
sebelum fajar, maupun jika ia baru berniat
di siang hari, setelah terbit fajar, selama
belum masuk waktu zawal (awal waktu
zhuhur).

28
Qawa'id Fiqhiyyah

JIKA HARUS MEMILIH SALAH SATU


DI ANTARA DUA KEBURUKAN, MAKA KITA HARUS
MEMILIH YANG LEBIH RINGAN KEBURUKANNYA

S
alah satu tujuan terpenting (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada-Nya,
dari Syariat adalah mencegah (menghalangi masuk) Al-Masjid Al-Haram
datangnya mafsadah atau dharar dan mengusir penduduknya dari tempat
dan menghilangkannya saat sudah tinggalnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah.
terjadi. Namun jika tidak memungkinkan Dan fitnah lebih besar (dosanya) daripada
untuk menghilangkan atau menghindari pembunuhan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 217)
semuanya secara keseluruhan, maka
wajib meminimalkannya, dan itu dengan Ayat ini menjelaskan bahwa mafsadah
menghilangkan atau menghindari orang yang kufur kepada Allah,
mafsadah dan dharar yang paling besar, menghalangi manusia dari petunjuk Allah,
meski konsekuensinya harus melakukan dan mengeluarkan penduduk di sekitar
atau mendapatkan mafsadah dan dharar Al-Masjid Al-Haram dari tempat tinggal
lain yang lebih ringan. mereka, serta menimbulkan fitnah di
tengah-tengah mereka, lebih besar dosanya
Kondisi ini dalam kaidah fiqih disebut “‫يُختار‬ dibandingkan berperang di bulan Haram.
‫( ”أهون الرشين‬dipilih keburukan yang lebih Sehingga memerangi mereka di bulan
ringan). Saat berhadapan dengan dua atau Haram untuk mencegah mafsadah yang
lebih keburukan atau dharar atau mafsadah, lebih besar adalah suatu keniscayaan.
dan kondisinya tidak memungkinkan bagi
kita untuk menghindari semuanya, maka Yang juga menunjukkan berlakunya
kita pilih dharar yang lebih ringan untuk kaidah ini adalah yang terjadi pada
menghindari dharar yang lebih berat/besar. Shulhu Hudaibiyyah (Perjanjian Damai
Hudaibiyyah), yang isinya kelihatan tidak adil
Di antara dalil yang menunjukkan dan mempersulit umat Islam, dan bahkan
berlakunya kaidah ini adalah firman Allah hal ini sempat diprotes oleh sebagian
ta’ala: Shahabat. Namun sebenarnya ia upaya
menghindari mafsadah yang lebih besar,
‫ َو َص ٌّد‬،‫ ق ُْل ِقتَ ٌال ِفي ِه كَ ِب ٌري‬،‫ يَ ْسأَلُون ََك َعنِ الشَّ ْه ِر الْ َح َر ِام ِقتَا ٍل ِفي ِه‬yaitu terbunuhnya orang-orang beriman
‫ َع ْن َسبِيلِ اللَّ ِه َوكُ ْف ٌر ِب ِه َوالْ َم ْسج ِِد الْ َح َر ِام َوإِ ْخ َر ُاج أَ ْهلِ ِه ِم ْن ُه أَك َ ُْب‬yang tinggal di Makkah. Dengan perjanjian
ِ‫ َوالْ ِفتْ َن ُة أَك َ ُْب ِم َن الْ َقتْل‬،‫ ِع ْن َد اللَّ ِه‬ini keselamatan mereka terjamin.

Terjemah: “Mereka bertanya kepadamu Contoh Penerapan Kaidah:


tentang berperang di bulan Haram. 1. Bolehnya mengambil upah (ujrah) dalam
Katakanlah: Berperang pada bulan itu urusan agama yang sangat penting
adalah dosa besar, tetapi menghalangi untuk kaum muslimin, seperti untuk

29
mengumandankan adzan, menjadi
imam shalat, mengajar Al-Qur’an dan
HUKUM SHALAT
fiqih, dan semisalnya, karena jika tak JUM’AT DI RUMAH
dibolehkan, dikhawatirkan tidak ada
yang mengambil peran ini dan kewajiban SECARA ONLINE
agama terabaikan.
2. Bolehnya diam, tidak melakukan Pertanyaan:
pengingkaran terhadap kemungkaran, Apa hukum shalat Jum’at di rumah secara
jika upaya nahi munkar ini malah online?
melahirkan dharar (bahaya) yang lebih
besar.
Jawaban:
3. Bolehnya membelah perut mayat
perempuan, yang di dalamnya terdapat Alhamdulillah, wash shalatu was salamu
anak yang potensi hidupnya besar. ‘ala Rasulillah, wa ba’du.
Membelah perut mayat adalah dharar,
namun membiarkan anak (janin) yang Ada sejumlah pertanyaan yang masuk
potensi hidupnya besar di dalam perut ke Lajnah tentang hukum melaksanakan
ibunya tanpa dikeluarkan, dharar-nya khutbah dan shalat Jum’at dalam jumlah
lebih besar, karena menyebabkan minimal di masjid, dan menyiarkannya
kematian si anak.
secara langsung kepada penduduk, agar
4. Orang yang hampir mati karena
mereka bisa mendengarkan khutbah
kelaparan, dan ia tak menemukan
apapun untuk dimakan kecuali mayat kemudian ikut shalat Jum’at bersama
manusia, maka ia boleh memakannya, imam secara online di rumah-rumah
agar terhindar dari kematian. mereka. Hal itu untuk menghindari
5. Bolehnya menyumbangkan organ berkumpulnya orang-orang dalam jumlah
tubuh mayat, dengan izin sebelumnya, besar, mengikuti arahan pemerintah
untuk menyelamatkan hidup dan mencegah tersebarnya wabah virus
seseorang. Mengambil organ tubuh corona.
mayat adalah dharar, namun ia lebih
ringan dibandingkan mengabaikan
Dan jawabannya adalah, seluruh madzhab
keselamatan orang lain yang masih
hidup. yang mu’tabar menyatakan tidak boleh
ada pemisah antara shaf-shaf shalat
Wallahu a’lam. dengan jarak yang sangat jauh bermil-
mil dan disekat oleh puluhan jalan dan
Rujukan: Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah Wa bangunan. Meski mereka sepakat bahwa
Tathbiqatuha Fi Al-Madzhab Asy-Syafi’i, karya adanya pemisah antar shaf yang pendek
Dr. Muhammad Az-Zuhaili, Juz 2, Halaman menurut ‘urf tidak masalah, dan mereka
43-44, Penerbit Dar Al-Bayan, Damaskus.
berbeda pendapat tentang pemisah

30
Fatwa Ulama

berupa dinding tembok, jalan, sungai Perlu diketahui, tidak masalah imam
dan semisalnya, serta sebagian mereka khutbah Jum’at di masjid dan diikuti
yang menganggap batas maksimal jarak sejumlah kecil orang, sesuai yang diizinkan
antar shaf yang dibolehkan adalah sekitar oleh protokol kesehatan yang berlaku,
300 hasta, atau setara dengan 500 kaki, meskipun hanya tiga orang makmum, dan
namun mereka semua sepakat bahwa jika khutbah tersebut disiarkan via internet ke
jarak pemisah antar shaf itu terlalu jauh, pemukiman di sekitar masjid, agar para
tidak diperbolehkan, dan itu membuat penduduk bisa mendapatkan faidah dari
shalat Jum’atnya tidak sah. Inilah yang khutbah tersebut. Namun saat shalat
diamalkan oleh umat Islam dan difatwakan Jum’at akan dilakukan, orang-orang yang
dalam empat madzhab yang diikuti, dan di rumah ini tidak ikut shalat Jum’at, tapi
ia hampir teranggap sebagai ijma’ ‘amali shalat zhuhur empat rakaat di rumah
(amal yang disepakati oleh para ulama). mereka masing-masing, baik sendirian
maupun berjamaah bersama keluarga
Selain itu, shalat yang dilakukan tiap yang diimami oleh salah seorang di antara
individu atau beberapa orang di rumah, anggota keluarga.
bermakmum pada imam di masjid,
secara online, menyelisihi tujuan Asy- Semoga Allah memberikan taufiq atas
Syari’, yang bertujuan mengumpulkan umat Islam kepada ilmu yang bermanfaat
dan mempertemukan orang-orang dan amal yang shalih, wa shallallahu ‘ala
untuk shalat berjamaah di satu tempat. Muhammadin wa ‘alaa aalihi wa shahbihi
Ditambah lagi, shalat Jum’at online wa sallam.
ini terbuka kemungkinan terjadinya
gangguan siaran, terputus atau tertunda, Fatwa Lajnah Daimah Lil Ifta Bi Majma’
sehingga makmum terlambat mengikuti Fuqaha Asy-Syari’ah Bi Amrika
ruku’ dan sujud imam.
Sumber:
Salah satu mafsadah yang juga mungkin https://w w w.amjaonline.org/fat wa/
terjadi dari shalat Jum’at secara online ar/87735/‫البث‬-‫عرب‬-‫البيت‬-‫يف‬-‫الجمعة‬-‫صالة‬-‫حكم‬
ini, orang-orang akan tetap mengikuti
shalat Jum’at secara online melalui tv di
rumah-rumah mereka, meski uzur wabah
virus corona sudah berakhir, dan itu akan
menghilangkan keagungan shalat Jum’at.
Juga, tujuan Asy-Syari’ dalam pensyariatan
shalat Jum’at, yaitu agar kaum muslimin
berkumpul di satu tempat, tidak akan
terwujud.
31
Fatwa Ulama

PUASA WAJIB HUKUMNYA


BAGI ORANG YANG BERUSIA TUA
YANG MASIH MAMPU BERPUASA

Tanya: Salah satu contoh kemudahan yang


Apakah ada ruang ijtihad dalam agama disyariatkan Allah dalam ibadah, di
kita yang lurus ini, untuk meneliti antaranya puasa, adalah dijadikannya
kebolehan seorang muslim yang telah sakit dan usia tua sebagai rukhshah
mencapai usia 60 tahun, tidak berpuasa di (keringanan) yang membolehkan
bulan Ramadhan? seseorang tidak berpuasa di bulan
Ramadhan. Allah ta’ala berfirman:
Jawab:
Segala puji bagi Allah. Shalawat serta ‫فَ َم ْن شَ ِه َد ِم ْن ُك ُم الشَّ ْه َر فَلْ َي ُص ْم ُه َو َم ْن كَا َن َمرِيضً ا أَ ْو َع َل‬
salam atas Sayyidina Rasulillah. َ ْ ‫َس َف ٍر فَ ِع َّد ٌة ِم ْن أَيَّ ٍام أُ َخ َر يُرِي ُد اللَّ ُه ِب ُك ُم الْ ُي‬
‫س َو َل يُرِي ُد ِب ُك ُم‬
‫س‬َ ْ ‫الْ ُع‬
Salah satu karakter terpenting dalam
Syariat Islam, ia tegak di atas landasan Artinya: “Siapa saja di antara kalian yang
kemudahan dan menghilangkan menyaksikan datangnya bulan Ramadhan
kesulitan, baik dalam urusan ibadah (ia mukim di negerinya saat datangnya
maupun muamalah. Allah ta’ala berfirman: bulan Ramadhan), wajib baginya puasa.
Dan yang sakit atau sedang bepergian
‫( َو َما َج َع َل َعلَ ْي ُك ْم ِف الدِّينِ ِم ْن َح َر ٍج‬safar), (kemudian ia tidak berpuasa),
wajib baginya berpuasa sejumlah hari
Artinya: “Dia (Allah) tidak menjadikan bagi yang ditinggalkan, pada hari-hari yang
kalian dalam agama ini suatu kesempitan/ lain (di luar bulan Ramadhan). Allah
kesulitan.” (QS. Al-Hajj [22]: 78) menginginkan kemudahan bagi kalian,
bukan kesulitan bagi kalian.” (QS. Al-
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: Baqarah [2]: 185)

‫ول الل ِه َص َّل الل ُه َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم بَ ْ َي أَ ْم َريْنِ إِ َّل أَ َخ َذ‬ ُ ‫ َما ُخ ِّ َي َر ُس‬Kemudian, salah satu bentuk ketelitian
‫اس ِم ْن ُه‬ِ ‫ فَ ِإ ْن كَا َن إِثْ ًا كَا َن أَبْ َع َد ال َّن‬،‫س ُه َم َما لَ ْم يَ ُك ْن إِثْ ًا‬ َ َ ْ‫ أَي‬dan realistisnya para ahli fiqih, mereka
meletakkan berbagai ketentuan untuk
Artinya: “Setiap Rasulullah shallallahu sakit dan kesulitan (masyaqqah) yang
‘alaihi wa sallam diberikan dua pilihan, membolehkan seorang yang sedang
beliau selalu memilih yang paling mudah, berpuasa membatalkan puasanya.
selama itu bukan dosa. Jika itu dosa, beliau Demikian juga untuk usia tua yang
adalah orang yang paling menjauhinya.” membuatnya boleh mengeluarkan fidyah
(HR. Muslim) saja, dan tidak berpuasa. Bahkan para
ahli fiqih tersebut mewajibkan berbuka

32
Fatwa Ulama

(tidak berpuasa) bagi orang yang sakit, HARAM MAKAN DAN MINUM
yang khawatir jatuh pada kebinasaan SETELAH MULAI
(kematian), atau sakitnya bertambah, atau
semakin lama sembuhnya.
DIKUMANDANGKAN ADZAN
KEDUA (ADZAN SHUBUH) DI
Ketentuan-ketentuan ini tidak terkait BULAN RAMADHAN
dengan batas usia tertentu. Mungkin saja,
orang yang masih muda menderita sakit Tanya:
kronis, sehingga ia tak mampu berpuasa.
Apakah makan dan minum saat muadzin
Dan mungkin juga, orang yang sudah
mengucapkan “Allahu Akbar” pada saat
berusia tua, tapi ia sehat wal ‘afiyat, dan
mampu berpuasa. adzan Shubuh berpengaruh pada sahnya
Puasa?
Kami melihat banyak orang yang telah
berusia tua, namun ia tetap mampu Jawab:
bekerja keras, menikah lagi,atau bepergian Segala puji bagi Allah, Shalawat serta
dan bertemu banyak orang. Tidak bisa Salam kepada Sayyidina Rasulillah.
dipastikan, orang yang telah berusia 60
tahun, puasa akan menyebabkan dharar
Tidak boleh makan dan minum setelah
(bahaya) bagi dirinya. Karena itu, usia 60
dimulainya adzan kedua (adzan tanda
tahun tidak bisa dijadikan batasan untuk
kebolehan tidak berpuasa. Tidak juga masuknya waktu Shalat Shubuh). Hal itu
bisa dipastikan, puasa menyebabkan menyelisihi firman Allah ta’ala:
orang yang telah berusia 60 tahun
akan mendapatkan penyakit tertentu. ‫اشبُوا َحتَّى يَتَ َب َّ َي لَ ُك ُم الْ َخ ْي ُط الْ َبْ َي ُض ِم َن‬ َ ْ ‫َوكُلُوا َو‬
Menetapkan ketentuan semisal ini tidak ‫الْ َخ ْي ِط الْ َ ْس َو ِد ِم َن الْ َف ْج ِر‬
bisa dilakukan, karena setiap orang yang
sakit atau yang berusia tua, berbeda-beda Artinya: “Makan dan minumlah, hingga
keadaannya.
jelas benang putih dari benang hitam,
yaitu waktu fajar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 187)
Terakhir, kami tegaskan, bahwa jika
menurut keterangan dokter (ahli
kesehatan), puasa akan menyebabkan Dan Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa
seseorang celaka, maka haram baginya sallam:
puasa, tanpa memperhatikan berapa
usianya saat itu. Wallahu ta’ala a’lam. ‫اشبُوا َحتَّى يُ َنا ِد َي ا بْ ُن‬
َ ْ ‫ فَ ُكلُوا َو‬، ٍ‫إِ َّن ِبال ًَل يُ َنا ِد ي ِبلَ ْيل‬
ٍ ُ‫أُ ِّم َم ْكت‬
‫وم‬
Fatwa Dar Ifta Jordania
Diterjemahkan dari: https://www.aliftaa.jo/
Artinya: “Bilal mengumandangkan adzan
Question2.aspx?QuestionId=2929
pada waktu malam hari. Makan dan

33
minumlah, hingga Ibnu Ummi Maktum maknanya pada adzan yang pertama,
mengumandangkan adzan.” (HR. Al- yang dikumandangkan di malam hari,
Bukhari) bukan saat fajar. Sedangkan adzan
yang kedua (adzan yang menunjukkan
Hal ini karena dia (Ibnu Ummi Maktum) terbitnya fajar secara hakiki), tidak halal
mengumandangkan adzan Shalat saat makan setelahnya.
terbit fajar. Dan ini merupakan hal yang
tidak diperselisihkan di kalangan kaum Karena itu, wajib bagi yang telah
muslimin. mengonsumsi sesuatu yang bisa
membatalkan puasa, setelah mulai
Adapun Hadits yang mulia: dikumandangkan adzan, agar menahan
dirinya tidak makan apapun di hari
ِ ْ ‫ إِذَا َس ِم َع أَ َح ُدكُ ُم ال ِّن َدا َء َو‬tersebut, dan ia wajib mengqadha
‫ ف ََل يَضَ ْع ُه َحتَّى‬،‫النَا ُء َع َل يَ ِد ِه‬
‫ْض َحا َجتَ ُه ِم ْن ُه‬
َ ِ ‫ يَق‬puasanya setelah Ramadhan. Karena awal
adzan menunjukkan masuknya waktu
Artinya: “Jika salah seorang di antara fajar. Jika ia sengaja melakukan itu (makan
kalian mendengar adzan, sementara atau minum setelah dikumandangkan
gelas masih ada di tangannya, janganlah adzan), maka ia berdosa, dan wajib
ia meletakkannya, sampai ia memenuhi baginya, selain imsak (tidak makan
hajatnya (meminumnya sesuai dan minum pada hari itu) dan qadha
keperluan).” (HR. Abu Dawud) puasa, melakukan taubat nasuha,
dengan menyesali perbuatannya dan
Dalam “’Ilal Ibni Abi Hatim” (No. 340, 759) berkomitmen untuk tidak mengulanginya
disebutkan: “Ayahku berkata: Hadits ini lagi, serta memperbanyak istighfar.
tidak shahih”. Selesai, dengan sedikit
perubahan. Dan seorang muslim wajib bersikap hati-
hati dalam agama dan ibadahnya, dengan
Ibnu Al-Qaththan rahimahullah berkata: mengikuti pendapat mayoritas ulama,
“Ia Hadits yang diragukan ke-marfu’- dan menjauhi pendapat-pendapat yang
annya”. Selesai, dari “Bayan Al-Wahm wa syadz (nyeleneh) dan menyelisihi jumhur.
Al-Iham” (2/282). Wallahu ta’ala a’lam.

Jika pun diterima keshahihannya, para Fatwa Dar Ifta Jordania


ulama membawa makna Hadits ini pada Diterjemahkan dari: http://aliftaa.jo/
adzan yang diragukan, apakah ia telah Question.aspx?QuestionId=2927
menunjukkan terbitnya fajar atau tidak.
Ada juga pendapat lain, yang membawa

34
12
#01 #02
HUKUM ORANG YANG TIDAK PUASA ORANG YANG TIDAK
MENGERJAKAN PUASA SHALAT, APAKAH SAH DAN
RAMADHAN DITERIMA OLEH ALLAH TA’ALA

Puasa Ramadhan merupakan salah 1. Shalat dan puasa adalah dua ibadah
satu rukun Islam dan kewajiban agama yang masing-masing berdiri sendiri. Yang
yang ma’lum minad diin bidh dharurah satu tidak menjadi syarat bagi yang lain.
(kewajiban yang diketahui oleh semua Berbeda halnya dengan wudhu misalnya,
orang, baik alim maupun awamnya). Yang yang menjadi syarat sah shalat.
mengingkari kewajibannya dihukumi
kafir, dan diperlakukan sebagaimana Karena masing-masing berdiri sendiri,
orang murtad, ia diminta taubat, dan meninggalkan salah satu ibadah tidak
jika tak mau bertaubat dihukum bunuh mempengaruhi keabsahan ibadah yang
sebagai hadd baginya. lain. Shalatnya orang yang tak puasa di
bulan Ramadhan tanpa uzur, tetap sah.
Orang yang mengingkari kewajiban puasa Demikian juga, puasanya orang yang tak
Ramadhan ini hanya diberi uzur jika: shalat lima waktu tetap sah.

1. Ia baru masuk Islam 2. Sebagian ulama, semisal Imam Ahmad


2. Atau hidup jauh dari ulama (orang- bin Hanbal dan para pengikut beliau,
orang yang alim terhadap kewajiban menjadikan pelaksanaan shalat lima
puasa Ramadhan ini) waktu sebagai standar iman dan kufur.
Sederhananya, orang yang meninggalkan
Adapun orang yang tidak mau berpuasa shalat lima waktu, meski hanya karena
Ramadhan tanpa ada uzur, namun ia tak malas (tetap mengakui kewajiban shalat)
mengingkari kewajibannya, ia dihukumi dihukumi kafir. Karena dihukumi kafir,
fasiq tidak kafir. Dan pemerintah wajib maka berlaku kaidah “ibadahnya orang
menahannya dan melarangnya makan kafir tidak sah”. Karena itu, bagi yang
dan minum di siang hari Ramadhan. mengikuti pendapat ini, puasanya orang
yang tak shalat lima waktu, tidak sah,
karena ia dihukumi kafir, dan puasanya
orang kafir tak sah.

36
Namun, jumhur (mayoritas) ulama tidak Ini fiqih dakwah. Yang dituju sama, namun
berpendapat demikian. Orang yang dilakukan atau diungkapkan dengan
meninggalkan shalat karena malas dan cara berbeda, akan mendapatkan hasil
semisalnya, selama masih mengakui yang berbeda. Cara penyikapan dan
kewajiban shalat lima waktu tersebut, penyampaian yang lebih baik kepada
tidak dihukumi kafir. Ia masih muslim, mad’u, akan menghasilkan penerimaan
namun pelaku maksiat dan dosa besar. yang lebih baik.

#03
Ibadah pelaku dosa besar, selama masih
muslim, tetap diterima. Karena itu,
menurut jumhur, puasa orang yang tak BATAS AKHIR MAKAN SAHUR
shalat lima waktu tetap sah.
1. Waktu imsak seperti yang tercantum
3. Poin 1 dan 2 adalah terkait keabsahan di jadwal imsakiyyah itu bukan perkara
puasa, yang berarti puasanya sudah bid’ah munkarah, selama tidak diyakini
tertunaikan dan ia tidak diwajibkan sebagai batas akhir kebolehan makan
mengqadhanya. Kewajiban puasanya sahur.
telah terlaksana.
Ia hanya panduan yang dibuat ulama,
Hanya saja, puasa orang yang tidak shalat yang diambil dari Hadits jarak antara sahur
lima waktu ini, serupa dengan orang Nabi dan waktu Shalat sekitar bacaan
yang puasa namun masih mengerjakan 50 Ayat, dan itu diperkirakan sekitar 10
perbuatan-perbuatan buruk dan keji, menit. Panduan jika masuk waktu imsak
yang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa tersebut, harus sudah siap-siap karena
sallam dikatakan yang ia dapatkan dari waktu Shubuh sudah dekat.
puasanya hanyalah rasa lapar dan haus.
Sah memang, tapi tak bernilai. 2. Batas akhir boleh makan sahur adalah
masuknya waktu Shubuh, yaitu terbitnya
4. Namun meski“tak bernilai”, tetap tak elok fajar kedua. Sebelumnya masih boleh
jika dikatakan “lebih baik tidak usah puasa makan dan minum, meski sudah masuk
saja...”. Yang lebih tepat, sebagaimana waktu imsak seperti di jadwal imsakiyyah.
disampaikan Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi,
“Puasa yang anda lakukan sudah bagus, 3. Tepat saat adzan berkumandang, yang
teruskan. Dan lebih baik lagi jika diikuti menunjukkan terbitnya fajar kedua,
juga dengan melaksanakan shalat lima sudah tidak boleh makan dan minum
waktu.” lagi. Jika ada makanan di mulut harus
dimuntahkan.

37
Adapun Hadits Abu Hurairah radhiyallahu 2. Meski puasanya sah, namun jika dokter
‘anhu yang seakan menunjukkan mengatakan bahwa mengonsumsi obat
kebolehan makan dan minum saat tersebut berbahaya bagi tubuh, maka
adzan sudah berkumandang, dijelaskan haram hukumnya mengonsumsinya.
oleh Al-Baihaqi bahwa umumnya ulama Puasa sah, tapi mengonsumsi obatnya
membawanya pada kemungkinan haram.
bahwa Nabi mengetahui adzan yang
dikumandangkan saat itu sebelum masuk Jika tidak berbahaya menurut penjelasan
waktu Shubuh, agar Hadits tersebut tak dokter, hukumnya boleh, tidak haram.
bertentangan dengan Ayat Al-Qur’an dan
Hadits-Hadits lain yang shahih dan sharih 3. Namun yang afdhal, tidak menggunakan
yang menyatakan batas waktu makan dan obat semacam ini. Lebih baik mengikuti
minum adalah sebelum terbit fajar (waktu fitrah yang ditetapkan Allah ta’ala yang
Shubuh). berlaku bagi perempuan, tanpa harus
melakukan upaya-upaya tertentu untuk

#04
menundanya.

PENGGUNAAN OBAT Allah ta’ala memberikan pahala bagi


PENUNDA HAID AGAR BISA perempuan yang mengerjakan puasa saat
PUASA SEBULAN PENUH itu wajib baginya, juga memberikan pahala
bagi perempuan yang meninggalkan
Fatwa Syaikh Nuh ‘Ali Salman, mufti puasa saat itu haram baginya (misal: saat
Dar Ifta Jordania periode lalu, tentang haid).
penggunaan obat penunda haid agar

#05
bisa puasa penuh di bulan Ramadhan
(dengan sedikit peringkasan, perubahan
dan tambahan penjelasan di beberapa SAKIT DAN SAFAR
tempat): YANG BOLEH TIDAK PUASA

1. Seorang perempuan yang mengonsumsi 1. Ketentuan sakit yang membuat


obat penunda haid, sehingga haid seseorang boleh tidak puasa di bulan
tidak keluar, puasanya sah. Karena yang Ramadhan: Sakit yang jika ia puasa
membatalkan puasa adalah haid, dan saat dikhawatirkan membahayakan nyawanya,
tidak ada haid baik kondisi normal atau atau penyakitnya bertambah parah, atau
dipicu obat penunda haid, maka puasanya menjadi lambat proses penyembuhannya.
sah.

38
2. Ketentuan safar (bepergian) yang
membuat seseorang boleh tidak puasa #07
di bulan Ramadhan: Safarnya safar yang QADHA BAGI ORANG
mubah, menempuh jarak boleh jama’ YANG TIDAK PUASA RAMADHAN
dan qashar shalat (sekitar 82 KM), dan ia TANPA UZUR
memulai safarnya sebelum terbit fajar.
Orang yang tidak puasa Ramadhan tanpa
udzur, misal karena malas, maka ia wajib
#06 mengqadhanya ‘alal faur (segera). Artinya,
segera setelah Ramadhan dan ‘Idul
PENDAPAT YANG MEWAJIBKAN
BERBUKA SAAT SAFAR ADALAH Fithri ia wajib mengqadha puasa yang
PENDAPAT SYADZ tertinggal dan tidak boleh ditunda. Juga
tidak boleh mengerjakan puasa sunnah
Salah satu syarat agar khuruj minal khilaf yang membuatnya menunda pelaksanaan
(keluar dari perbedaan pendapat ulama) qadha puasa Ramadhan yang fardhu.
diperhatikan, sebagaimana disebutkan
As-Suyuthi dalam Al-Asybah Wa An- Sedangkan orang yang tidak puasa
Nazhair, adalah dasar pendalilannya kuat. Ramadhan karena udzur syar’i, semisal
haid, nifas, sakit dan safar, ia wajib
Karena itu, puasa bagi orang yang safar mengqadha puasanya, tapi kewajiban
(dalam perjalanan) lebih utama dari ‘alat tarakhi (boleh diakhirkan). Artinya ia
berbuka, jika ia masih kuat menjalankannya. tak harus segera menunaikannya setelah
Dan tidak dianggap pendapat Dawud Azh- Ramadhan. Boleh baginya menunda
Zhahiri yang menyatakan puasanya orang pelaksanaannya, selama masih belum
safar tidak sah, karena pendalilan yang masuk Ramadhan tahun berikutnya.
digunakannya sangat lemah dan layak Namun ia tetap dianjurkan (mandub)
dianggap syadz (pendapat nyeleneh). menyegerakan pelaksanaan qadha puasa
Ramadhan ini.
Seandainya pendapat Dawud
diperhatikan, maka berbuka lebih afdhal
dari puasa saat safar, khuruj minal khilaf
atas yang mewajibkan berbuka saat
safar. Namun karena pendapatnya tak
dianggap, maka puasa tetap lebih afdhal
bagi yang masih kuat puasa.

39
#08 #09
PUASA PUASA DI SIANG HARI
BAGI PEKERJA BERAT YANG SANGAT PANJANG

Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi, dalam situs 1. Dar Ifta Mishriyyah sebagaimana dimuat
resminya, memfatwakan bolehnya di situs resminya, memfatwakan di negeri
pekerja berat tidak puasa di bulan yang siangnya 18 jam atau lebih, orang
Ramadhan dan mengqadhanya di hari yang puasa di sana mengikuti jumlah jam
lain, jika puasa tersebut membuatnya puasa di Makkah Al-Mukarramah, karena
mengalami masyaqqah (kesulitan) serta ia adalah Ummul Qura.
rasa lapar dan haus yang sangat berat,
yang membahayakan diri. Fatwa ini didasari penjelasan para ahli
bahwa puasa, tidak makan dan minum,
Masyaqqah ada dua: selama 18 jam itu bisa membahayakan
1. Masyaqqah biasa (masyaqqah diri, dan ini tidak selaras dengan tujuan
muhtamalah) yang memang harus disyariatkannya puasa. Karena itu, standar
ditanggung setiap mukallaf ketika jumlah jam yang digunakan adalah
menjalankan taklif Syariat. Puasa standar Makkah Al-Mukarramah.
mengandung masyaqqah, di antaranya
rasa haus dan lapar dalam batas wajar, Misal, jika di negeri tersebut fajar jam 3
dan itu harus ditanggung setiap orang pagi, dan jumlah jam puasa penduduk
yang berpuasa. Makkah hari itu 15 jam, maka orang-orang
2. Masyaqqah di atas batas kewajaran di negeri tersebut buka puasa jam 18
(masyaqqah syadidah ghayru waktu setempat, meski matahari di negeri
muhtamalah), yang berpotensi tersebut belum terbenam.
menimbulkan bahaya bagi seseorang,
maka jika bertemu dengan masyaqqah 2. Syaikh Bin Bayyah, di situs resminya,
seperti ini, Syariat datang membawa memfatwakan bahwa orang yang tinggal
kemudahan dan keringanan. di negeri yang siangnya 20 jam atau
lebih, selama siang dan malam masih bisa
dibedakan, ia tetap wajib puasa di hari
tersebut, dan tidak boleh berbuka sejak
awal (tidak berniat puasa di hari tersebut).

40
Namun jika di tengah puasanya ia sekali di awal Ramadhan untuk satu
mengalami masyaqqah (kesulitan) di bulan penuh.
atas batas kewajaran, semisal orang 6. Dianjurkan, selain niat tiap malam,
yang bekerja tak sanggup melakukan juga niat untuk satu bulan penuh di
pekerjaannya karena lapar dan haus yang awal Ramadhan, mengikuti pendapat
terlalu lama, maka ia boleh berbuka saat Malikiyyah, agar jika ada satu hari
itu. Kebolehan berbukanya sesuai kadar ia lupa niat puasa, puasanya di hari
masyaqqah yang didapatkan, dan bukan tersebut tetap sah.
karena faktor panjangnya siang.

#11
#10 YANG DISUNNAHKAN
SEPUTAR NIAT PUASA UNTUK DIKONSUMSI SAAT
BERBUKA PUASA
1. Salah satu rukun puasa adalah niat.
Tidak sah puasa tanpa niat, dan tempat Disunnahkan menyegerakan berbuka
niat adalah dalam hati dan tidak puasa, jika telah dipastikan masuknya
disyaratkan harus mengucapkannya waktu maghrib. Dan disunnahkan
dengan lisan. berbuka dengan hal-hal berikut ini secara
2. Mengucapkan niat dengan lisan tidak berurutan:
wajib, tapi dianjurkan (mustahab), 1. Ruthab (kurma matang)
untuk menguatkan niat di dalam hati. 2. Tamr (kurma yang dikeringkan)
3. Waktu niat puasa Ramadhan dari sejak 3. Air Zamzam
terbenam matahari sampai sebelum 4. Air biasa
fajar. Dan dianjurkan niat setelah 5. Hulwun (yang manis-manis yang tak
tengah malam. dimasak dengan api)
4. Jika seseorang bangun sahur di bulan 6. Halwa (yang manis-manis yang
Ramadhan untuk puasa, atau agar dimasak dengan api)
kuat menahan lapar saat puasa esok
harinya, maka itu sudah cukup sebagai Hal ini disebutkan dalam Mughnil Muhtaj,
niat baginya, selama ia sadar puasanya Hasyiyah Al-Qalyubi, At-Taqrirat As-
adalah puasa fardhu Ramadhan. Sadidah, dan lainnya.
5. Niat puasa wajib dilakukan tiap malam,
karena puasa Ramadhan setiap Dan dinukil dari Ar-Ruyani bahwa setelah
harinya adalah ibadah tersendiri, yang tamr adalah “yang manis-manis”, bukan
memerlukan niat. Tidak cukup niat air, dan ini menyelisihi Hadits.

41
#12
berubah. Selama penggunaan kosakata
ini sesuai makna yang dikehendaki bahasa
TAKJIL tersebut.
DAN MAKANAN BERBUKA
Beda halnya dengan penggunaan kata
Salah satu hal yang disunnahkan saat “silaturahmi” misalnya, yang di KBBI
puasa Ramadhan adalah menyegerakan diartikan “tali persahabatan” (Cek di sini:
berbuka, jika sudah jelas masuk waktu https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/
berbuka. silaturahmi). Perubahan makna ini tidak
masalah sebenarnya. Namun sayangnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam orang-orang yang menggunakan kata
bersabda: ini sesuai makna KBBI atau sesuai ‘urf
‫ال يزال الناس بخري ما عجلوا الفطر‬ Indonesia, menggunakan dalil-dalil ‫صلة‬
‫ الرحم‬yang punya makna khas dalam
Artinya: “Orang-orang senantiasa Syariat, yang berbeda dengan makna
berada dalam kebaikan selama mereka yang biasa mereka gunakan.
menyegerakan berbuka.” (HR. Al-
Bukhari dan Muslim, dari Sahl bin Sa’ad Kesalahan mereka pada penggunaan kata
radhiyallahu ‘anhu) “silaturahmi” adalah pada penempatan
dalil-dalil Syariat tidak pada tempatnya.
Menyegerakan berbuka puasa dalam Adapun pada penggunaan kata “takjil”,
bahasa Arab disebut “ta’jilul fithr” (‫ تعجيل‬masalah itu tak terjadi. Jadi sah-sah
‫)الفطر‬. Dari ungkapan inilah kemudian saja menggunakan kata “takjil” untuk
populer istilah “takjil”, yang di negeri kita “makanan untuk berbuka puasa”.
berkembang (atau: berubah?) maknanya

#13
menjadi: makanan untuk berbuka puasa.
Dan makna ini sudah masuk ke Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Silakan HAL-HAL YANG MERUSAK PUASA
cek KBBI daring di sini: https://kbbi.
kemdikbud.go.id/entri/Takjil Hal-hal yang merusak puasa terbagi
menjadi dua kelompok:
Pertanyaan, apakah perubahan makna
takjil ini sesuatu yang salah? Jawabannya 1. Yang menghapus pahala puasa, namun
tidak salah dan tidak masalah. Sudah puasanya sendiri tetap sah, sehingga ia
biasa, satu bahasa menyerap kosakata dari tidak wajib mengqadhanya. Ini dinamakan
bahasa lain kemudian maknanya sedikit muhbithat (‫)محبطات‬.

42
Yang termasuk kelompok ini: tidak batal puasanya.
a. Ghibah
b. Namimah Jika seseorang makan karena tidak tahu
c. Berkata dusta (jahil) bahwa makan itu membatalkan
d. Memandang hal yang haram puasa, puasanya tidak batal pada dua
e. Sumpah palsu keadaan:
f. Berkata atau berbuat hal yang buruk
dan kotor 1. Ia baru masuk Islam
2. Atau ia tinggal di tempat terpencil atau
2. Yang membatalkan puasa, sehingga jauh dari peradaban, yang tidak ada orang
puasanya tidak sah dan ia wajib yang tahu hukum seputar hal ini
mengqadhanya. Ini dinamakan
mufaththirat (‫)مفطرات‬. Selain dua keadaan di atas, kejahilannya
tak diterima, dan batal puasanya.
Yang termasuk kelompok ini:

#15
a. Murtad meskipun hanya sesaat
b. Haid, nifas dan melahirkan
c. Gila meskipun hanya sebentar MEMAKAI OBAT TETES MATA
d. Pingsan dan mabuk sepanjang siang DAN TETES TELINGA
e. Berhubungan badan (jima’)
f. Masuknya benda dari lubang tubuh Memakai obat tetes mata di siang hari
yang terbuka ke dalam rongga tubuh Ramadhan tidak membatalkan puasa,
g. Istimna (mengeluarkan mani) menurut madzhab Imam Asy-Syafi’i.
h. Muntah dengan sengaja Demikian juga memakai obat tetes telinga,
tidak membatalkan puasa, menurut

#14
pendapat Imam Al-Ghazali.

MAKAN DI SIANG HARI


RAMADHAN KARENA LUPA #16
APAKAH KELUAR AIR MANI
Jika seseorang makan di siang hari MEMBATALKAN PUASA?
Ramadhan karena lupa ia sedang puasa,
jika yang dimakan sedikit, puasanya tidak Keluar air mani tidak membatalkan puasa
batal. Adapun jika yang dimakan banyak, pada keadaan:
ada khilaf, dan pendapat yang ashah 1. Ihtilam (mimpi basah)
(paling shahih) di kalangan Syafi’iyyah, 2. Keluar mani saat bercumbu tapi dengan

43
ada hail (pembatas) Ini tentang nazhar ilal makhthubah
3. Keluar air mani karena memandang atau (memandang perempuan yang dilamar).
berpikir, tapi tanpa disertai kesengajaan
untuk mengeluarkan mani Baru-baru ini ramai juga pembicaraan
tentang hukum istimna (onani),
Keluar air mani membatalkan puasa pada membatalkan puasa atau tidak.
keadaan: Ternyata ada juga yang senang memilih
1. Jima’ (berhubungan badan), dan pendapat minor yang menyatakan ia
pelakunya wajib membayar kaffarah tidak membatalkan puasa. Apa efek
2. Istimna/onani (sengaja mengeluarkan dari pendapat ini? Para pemuda labil
mani), dengan cara apapun, baik akan mendapatkan pembenaran atas
dengan tangan sendiri, tangan istri, kebiasaan buruknya.
berpikir dan memandang yang
disengaja untuk mengeluarkan mani, Ditambah lagi, sebagian pihak (contoh:
dan lain-lain Ibnu Hazm) yang berpendapat istimna
3. Keluar mani saat bercumbu yang tidak tidak membatalkan puasa ini, juga tidak
disertai hail (penghalang) menganggapnya sebagai perbuatan
haram. Dan pendapat ini, jika diikuti, jelas

#17
akan menimbulkan kerusakan.

PENDAPAT SYADZ Maka yang seperti ini, bisa juga kita


TENTANG HUKUM ONANI katakan: Ini pendapat yang syadz, bisa
mengarahkan pada kerusakan.
Saat mengomentari pendapat Dawud

#18
Azh-Zhahiri yang menyatakan bolehnya
laki-laki pelamar perempuan melihat
seluruh tubuh perempuan yang dilamar, KAFFARAH JIMA’
An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim SAAT PUASA RAMADHAN
menyatakan: Ini jelas sebuah kesalahan
dan menyelisihi pokok Sunnah dan ijma’. 1. Yang wajib membayar kaffarah adalah
orang yang melakukan jima’ (hubungan
Az-Zuhaili dalam Al-Fiqh Al-Islami Wa badan) di siang hari Ramadhan, dengan
Adillatuhu juga berkomentar tentang syarat: (a) Orang yang jima’ ingat bahwa ia
pendapat ini: Ini munkar dan syadz, serta sedang puasa, (b) ia tahu keharamannya,
bisa menyebabkan kerusakan. dan (c) ia tidak sedang mendapatkan
rukhshah karena safar.

44
2.Tidak wajib kaffarah bagi: (a) Orang yang diberikan Nabi untuk keluarganya, karena
jima’ yang lupa bahwa ia sedang puasa, tidak ada yang lebih faqir dari dirinya dan
(b) orang yang tidak tahu (jahil) akan keluarganya, menurut para ulama, itu
keharamannya, (c) orang yang melakukan khusus bagi laki-laki tersebut, dan tidak
jima’ pada puasa wajib di luar puasa boleh dilakukan oleh yang lain.
Ramadhan, (d) orang yang mendapatkan

#19
rukhshah karena safar, kemudian ia
berbuka, lalu jima’, dan (e) orang yang
batal puasanya bukan karena jima’ tapi ORANG YANG MAKAN DI SIANG
karena hal lain. Pada semua kondisi ini, ia HARI RAMADHAN TANPA UZUR,
tidak wajib kaffarah, hanya wajib qadha KEMUDIAN MELAKUKAN JIMA’
puasa saja.
Jika seseorang yang tidak sedang safar,
3. Yang wajib membayar kaffarah hanya makan di siang hari bulan Ramadhan
suami saja, sedangkan istri tidak, karena secara sengaja tanpa uzur, kemudian
wathi (laki-laki yang menyetubuhi) setelah itu ia berhubungan badan dengan
kesalahannya lebih besar dari mauthu’ah istrinya secara sengaja, apakah ia wajib
(perempuan yang disetubuhi). membayar kaffarah?

4. Kaffarahnya adalah: (a) Membebaskan An-Nawawi menyatakan, ia tidak wajib


budak beriman, jika tidak membayar kaffarah, namun ia berdosa,
menemukan budak atau tidak mampu dan ia wajib tidak makan dan minum
membebaskannya, maka (b) puasa dua (imsak) di sisa siang hari tersebut, ia juga
bulan berturut-turut, jika tidak sanggup, wajib qadha puasa dan taubat.
maka (c) memberi makan 60 orang miskin,

#20
setiap orang miskin diberi 1 mud makanan
pokok.
HUKUM BERSIWAK SAAT PUASA
Jika tidak mampu juga, maka itu terus
menjadi tanggungannya, sampai ia bisa Siwak hukumnya sunnah dalam semua
memenuhi salah satunya. keadaan, dan tidak dimakruhkan kecuali
setelah tergelincirnya matahari ke arah
5. Hadits muttafaq ‘alaih dari Abu Hurairah barat di tengah hari (zawal) bagi orang
radhiyallahu ‘anhu, yang menunjukkan yang berpuasa, baik puasa fardhu maupun
seseorang yang tidak mampu memenuhi puasa sunnah.
kaffarah, ia memberikan makanan yang Ini disebutkan oleh Asy-Syafi’i dalam Al-

45
Umm, juga dalam Mukhtashar Al-Muzani di mana perempuan yang hamil dan
dan lainnya. Hal ini berdasarkan Hadits: menyusui hanya wajib bayar fidyah saja
dan tidak ada qadha.
‫الصائِ ِم أَطْ َي ُب ِع ْن َد اللَّ ِه ِم ْن رِي ِح الْ ِم ْس ِك‬ ُ ‫لَ ُخل‬
َّ ‫ُوف ف َِم‬

Artinya: “Bau mulut orang yang berpuasa #22


lebih wangi di sisi Allah dari minyak FATWA BOLEHNYA PEREMPUAN
kasturi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari HAMIL DAN MENYUSUI HANYA
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu) BAYAR FIDYAH SAJA

Sisi pendalilannya, bersiwak akan Fatwa Majma’ Al-Buhuts Al-Islamiyyah Al-


menghilangkan bau mulut orang yang Azhar Asy-Syarif (sebagaimana dimuat di
puasa, padahal ia lebih wangi dari minyak halaman FB resminya):
kasturi di sisi Allah, karena Itu bersiwak
dimakruhkan. Perempuan yang hamil dan menyusui
hukumnya sama seperti hukum orang
Namun kebanyakan ulama berpendapat yang sakit yang masih berpeluang
bersiwak setelah zawal tidak makruh. sembuh. Jika ia tak sanggup berpuasa,
Dan ini juga pendapat Al-Muzani serta boleh baginya tidak puasa, dan ia wajib
ikhtiyarat An-Nawawi, dan An-Nawawi mengqadhanya jika ia mampu. Dan ini
menyatakan pendapat ini kuat secara adalah pendapat yang rajih.
dalil.

#21
Dan jika ia tak sanggup mengqadha
puasanya, boleh baginya mengikuti
QADHA PEREMPUAN HAMIL DAN pendapat yang hanya mewajibkan
MENYUSUI YANG TIDAK PUASA membayar fidyah saja, dan itu adalah
pendapat dari Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar
Perempuan yang hamil dan menyusui, radhiyallahu ‘anhum.
boleh tidak puasa, dan ia hanya wajib
qadha saja, kecuali pada satu keadaan
yaitu ketika ia tak puasa tanpa khawatir
dirinya jatuh sakit jika puasa, namun ia
hanya khawatir anaknya kekurangan
nutrisi. Pada keadaan ini, ia wajib qadha,
juga wajib membayar fidyah.
Dalam madzhab Syafi’i, tidak ada keadaan

46
#23 #24
QADHA DAN FIDYAH QADHA PUASA ORANG YANG
TELAH MENINGGAL DUNIA
Orang yang tidak puasa, dan tidak wajib
qadha, hanya wajib fidyah: Jika seseorang yang tidak puasa Ramadhan
karena uzur, kemudian meninggal dunia
1. Orang yang berusia tua yang tak sebelum mengqadha puasanya, keadaannya
sanggup lagi puasa ada dua kemungkinan:
2. Orang yang sakit yang sangat kecil
kemungkinannya bisa sembuh 1. Jika ia meninggal sebelum punya
kemampuan dan kesempatan untuk
Orang yang tidak puasa, dan wajib qadha mengqadha puasanya, maka ia tak
sekaligus fidyah: berdosa dan tidak ada tanggungan
kewajiban apapun atasnya, karena ia tidak
1. Orang yang tak puasa karena khawatir melakukan taqshir (kelalaian).
terhadap orang lain. Misal perempuan
hamil dan menyusui yang khawatir 2. Jika ia meninggal, padahal sebelumnya
janin atau bayinya kekurangan nutrisi ada kemampuan dan kesempatan untuk
atau mendapat bahaya, jika ia puasa. qadha puasa, tapi tidak ia lakukan, maka
2. Orang yang punya tanggungan qadha ini adalah taqshir.
puasa, dan tidak mengqadhanya
sampai masuk Ramadhan tahun Walinya (karib kerabatnya) dianjurkan
berikutnya, tanpa uzur. (mandub) puasa untuknya, sejumlah hari
yang menjadi tanggungannya. Boleh juga
Fidyah: Mengeluarkan satu mud makanan selain kerabatnya (ajnabi) yang puasa
pokok tiap satu hari yang ditinggalkan untuknya, jika diizinkan oleh salah satu
(tidak puasa Ramadhan). kerabatnya, atau berdasarkan wasiat
darinya (yang meninggal).

Jika tidak ada izin dari kerabat yang


meninggal dan tidak ada wasiat dari yang
meninggal, tidak sah puasa dari ajnabi.

Jika tidak ada yang puasa untuknya, maka


diambil dari harta peninggalannya untuk

47
memberi makan orang miskin satu mud 1. Melihat munculnya bulan sabit (hilal)
setiap hari yang menjadi tanggungannya. Ramadhan di malam ke-30 di bulan
Dan ini wajib, sebagaimana wajib melunasi Sya’ban. Jika ia terlihat, maka Sya’ban
utangnya dari hartanya tersebut. dianggap hanya 29 hari, dan besoknya
sudah masuk 1 Ramadhan.
Jika ia tidak memiliki harta, boleh orang 2. Dengan menyempurnakan bilangan
lain yang mengeluarkan harta untuknya bulan Sya’ban menjadi 30 hari
dan membebaskannya dari tanggungan (istikmal). Hal ini dilakukan jika pada
kewajibannya. malam ke-30 Sya’ban, tidak terlihat

#25
hilal Ramadhan, baik karena memang
belum mungkin tampak menurut
TIGA TINGKATAN PUASA perhitungan astronomi, atau karena
tertutup mendung, hujan, dan lainnya.
Al-Ghazali menyatakan puasa itu ada tiga
tingkatan: Sebagian ulama menambahkan satu
1. Puasa orang kebanyakan (‫)عموم‬, yaitu metode lagi, yaitu dengan metode hisab
menahan perut dan kemaluan dari (perhitungan astronomi).

#27
syahwat yang membatalkan puasa.
2. Puasa orang-orang pilihan (‫)خصوص‬,
yaitu menahan pendengaran, APAKAH METODE HISAB
penglihatan, lisan, tangan, kaki dan ASTRONOMI BISA DIGUNAKAN
seluruh anggota tubuh dari maksiat. DALAM MENENTUKAN AWAL
3. Puasa orang-orang istimewa (‫خصوص‬ RAMADHAN?
‫)الخصوص‬, yaitu menahan hati dari
memberi perhatian kepada selain Allah Ada tiga pendapat tentang boleh tidaknya
ta’ala. menggunakan metode hisab astronomi
dalam menentukan awal Ramadhan:

#26 1. Tidak boleh secara mutlak


BAGAIMANA MENENTUKAN AWAL 2. Hanya bisa digunakan dalam penafian
RAMADHAN? dan tidak boleh dalam penetapan
3. Bisa digunakan dalam penetapan dan
Menurut mayoritas ulama, cara penafian
menentukan masuknya bulan Ramadhan
(dan bulan-bulan qamariyyah lainnya), Pendapat pertama adalah pendapat
adalah dengan dua cara, yaitu: mayoritas ulama klasik, dan dari kalangan

48
ulama kontemporer yang mengikuti ru’yatul hilal, yang didukung (tidak
pendapat ini salah satunya adalah dianggap mustahil) oleh ilmu hisab.
Syaikh Bin Baz. Menurut mereka, jika
ada saksi yang memenuhi syarat saksi, Pendapat ketiga, ulama klasik yang
menyatakan telah melihat hilal Ramadhan, berpendapat seperti ini misalnya
kesaksiannya diterima, meskipun menurut adalah Mutharrif bin ‘Abdillah (Tabi’in
hisab astronomi, hilal tak mungkin bisa senior), Abul ‘Abbas Ibnu Suraij (ulama
terlihat malam itu. Syafi’iyyah abad ke-3 Hijriyyah), dan Ibnu
Pendapat kedua, yang masyhur Qutaibah Ad-Dainuri. Sedangkan ulama
berpendapat seperti ini adalah Imam kontemporer yang berpendapat seperti
Taqiyuddin As-Subki, ulama besar madzhab ini misalnya adalah Syaikh Ahmad Syakir,
Syafi’i yang hidup sekitar abad 8 Hijriyyah. Syaikh Mushtafa Az-Zarqa, dan Syaikh
Yang juga dianggap berpendapat seperti Yusuf Al-Qaradhawi.
ini adalah Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim,
Al-Qarafi, dan Ibnu Rusyd. Dari kalangan Menurut pendapat ini, jika menurut hisab
ulama kontemporer, yang berpendapat falaki, malam ini hilal telah muncul, yang
seperti ini misalnya adalah Syaikh berarti telah masuk bulan Ramadhan,
Muhammad Musthafa Al-Maraghi, Syaikh maka perhitungan ahli hisab itu bisa
‘Ali Thanthawi, Syaikh ‘Abdullah bin Mani’ diterima, dan tak disyaratkan harus ada
dan Syaikh Muhammad Hasan Hitu. yang melihat hilal secara langsung.

#28
Menurut pendapat ini, jika seseorang
bersaksi bahwa ia telah melihat hilal,
namun menurut perhitungan para ahli SALAH SATU ARGUMENTASI
hisab, hilal mustahil terlihat malam itu, METODE HISAB DALAM
maka kesaksian orang yang melihat PENENTUAN AWAL RAMADHAN
hilal tersebut tertolak. Alasannya adalah
karena penafian berdasarkan hisab itu Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi menyatakan
qath’i sedangkan kesaksian dan khabar bahwa Hadits masyhur ‫صوموا لرؤيته وأفطروا‬
itu zhanni, dan sesuatu yang zhanni tidak ‫لرؤيته‬... itu mengisyaratkan pada tujuan
boleh menyelisihi yang qath’i. dan menyebutkan secara langsung
wasilahnya. Maksud beliau, wasilah itu bisa
Namun, kelompok ini tidak membolehkan berubah, yang penting tujuan dari Hadits
menetapkan awal Ramadhan dengan tersebut terpenuhi, yaitu diketahuinya
hisab falaki secara mandiri. Penetapan awal masuk bulan Ramadhan.
awal Ramadhan tetap harus dengan

49
Ini adalah salah satu argumentasi beliau itu dianjurkan, menurut As-Suyuthi dalam
dari sekian argumentasi yang menguatkan Al-Asybah Wa An-Nazhair adalah, ia tidak
penggunaan hisab astronomi untuk jatuh pada khilaf yang lain.
menetapkan awal dan akhir Ramadhan.
Karena itu, dalam madzhab Imam Asy-

#29
Syafi’i, memisah shalat Witir yang tiga
rakaat menjadi dua rakaat salam kemudian
JUMLAH RAKAAT satu rakaat salam, itu lebih utama, karena
SHALAT TARAWIH terdapat tambahan aktivitas shalat,
berupa salam dan lainnya.
Menurut mayoritas ulama, jumlah
rakaat Shalat Tarawih adalah 20 rakaat. Dan pendapat Abu Hanifah yang
Sedangkan menurut Malikiyyah 36 rakaat. mewajibkan washl (menyambung tiga
Sedangkan Ibnu Taimiyyah menyatakan rakaat Witir dengan hanya satu kali
yang utama sesuai keadaan masing- salam saja), tidak diperhatikan dalam
masing. konteks khuruj minal khilaf. Karena
Dan yang mengerjakannya 8 rakaat, tidak ada pendapat ulama lain yang malah
diingkari, dan ia mendapatkan pahala atas mewajibkan fashl (memisah rakaat Witir
shalatnya tersebut. Meski jika ingin pahala menjadi 2+1) dan tidak membolehkan
sempurna, maka ia dikerjakan 20 rakaat, washl. Memperhatikan pendapat Abu
sebagaimana yang dikerjakan di masa Hanifah sebagai khuruj minal khilaf dalam
‘Umar radhiyallahu ‘anhu dan setelahnya. persoalan ini akan menyebabkan jatuh
pada khilaf dengan ulama lain (dalam hal
Setelah mengerjakan Shalat Tarawih, ini, Malikiyyah).
dan masih ingin menambah shalat, bisa
menambah qiyamul lail mutlak berapa Seandainya diperhatikan khilafnya
rakaat pun, atau menambah dengan Abu Hanifah, maka akan kita katakan
Tahajjud setelah tidur. melaksanakan shalat Witir tiga rakaat satu
kali salam itu lebih utama, khuruj minal

#30
khilaf atas yang mewajibkannya. Namun
pada persoalan ini, itu tidak kita lakukan.
KEUTAMAAN MEMISAH
SHALAT WITIR MENJADI 2 + 1

Salah satu syarat khuruj minal khilaf


(keluar dari perbedaan pendapat ulama)

50
#31
Masjid rumah itu maksudnya tempat yang
dikhususkan untuk shalat di dalam rumah.
KADAR THUMA’NINAH Di antara alasan mayoritas ulama adalah,
DALAM SHALAT masjid rumah itu bukan masjid dan tidak
berlaku hukum masjid di dalamnya,
Thuma’ninah itu wajib dalam ruku’, i’tidal, karena itu tidak sah i’tikaf di dalamnya.
sujud dan duduk di antara dua sujud. Juga karena ummahatul mu’minin tidak
Dan yang dimaksud dengan thuma’ninah pernah melakukannya. Seandainya
adalah bertahan dalam posisinya minimal boleh i’tikaf di masjid rumah, tentu akan
sekadar waktu ucapan satu kali tasbih. ada riwayat yang menyebutkan mereka
Ucapan tasbihnya tidak wajib, yang wajib melakukannya.
adalah thuma’ninah dengan kadar waktu Bagi Syafi’iyyah, i’tikaf di masjid manapun
kira-kira kita membaca satu kali tasbih. sah hukumnya. Namun yang afdhal adalah
di masjid jami’ (masjid yang dikerjakan
Dengan durasi seperti ini, untuk shalat Jum’at di dalamnya), sebagai
mewujudkan thuma’ninah sebenarnya khuruj minal khilaf (keluar dari perbedaan
tak memerlukan waktu lama. Karena itu, pendapat) atas ulama yang mewajibkan
jangan bermudah-mudahan menuduh i’tikaf di masjid jami’, juga karena jumlah
shalat (termasuk Shalat Tarawih) seseorang jamaah di dalamnya yang lebih banyak,
tidak thuma’ninah, karena bisa jadi ia dan agar tak perlu lagi keluar dari masjid
tetap thuma’ninah pada kadar minimal, tersebut untuk shalat Jum’at.
dan shalatnya tetap sah.
Mushalla, langgar dan surau, yang berupa

#32
bangunan utuh yang dibuat untuk shalat
berjamaah secara rutin, adalah masjid dan
SYARAT MASJID YANG BOLEH berlaku hukum-hukum seputar masjid di
DIJADIKAN TEMPAT I’TIKAF dalamnya. Hanya saja, ia ghairu jami’, tidak
dilaksanakan shalat Jum’at di dalamnya.
Dalam Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu

#33
disebutkan bahwa i’tikaf bagi laki-laki
hanya sah di masjid. Adapun perempuan,
mayoritas ulama juga mensyaratkan ZAKAT YANG TERKAIT
di masjid, kecuali Hanafiyyah yang DENGAN BULAN RAMADHAN
membolehkan di masjid rumahnya.
Zakat yang terkait dengan bulan
Ramadhan adalah zakat fithri. Sedangkan

51
#35
zakat mal, dengan semua rinciannya,
tak berhubungan dengan Ramadhan,
dan tak wajib dikeluarkan tepat di bulan BOLEHKAH QADHA PUASA
Ramadhan. RAMADHAN SEKALIGUS
DINIATKAN PUASA ENAM HARI
DI BULAN SYAWWAL?
#34
HARTA ANAK KECIL Dar Ifta Mishriyyah, dengan mengutip
JUGA WAJIB DIZAKATI pernyataan dari As-Suyuthi dalam Al-
Asybah wan Nazhair dan Ar-Ramli dalam
Anak kecil yang belum baligh bukan Nihayatul Muhtaj, menyatakan bahwa
mukhathab (orang yang diseru) dengan boleh seseorang puasa di bulan Syawwal
taklif-taklif Syariat. Tapi mengapa harta dengan berniat mengqadha puasa
milik mereka juga wajib dizakati (zakat Ramadhan, sekaligus meniatkannya
mal)? sebagai puasa sunnah enam hari di bulan
Syawwal, dan ia meraih pahala keduanya
Dr. ‘Abdurrahman As-Saqqaf dalam Al- (pahala qadha Ramadhan dan pahala
Madkhal Ila Ushul Al-Fiqh menjelaskan puasa enam hari di bulan Syawwal).
bahwa harta milik anak kecil wajib
dikeluarkan zakatnya, karena adanya Meski yang lebih sempurna dan utama,
sabab (‫ )السبب‬yang mewajibkannya, yaitu dipisah dan dikerjakan masing-masing.
kepemilikan harta sejumlah nishab zakat. Qadha puasa Ramadhan sendiri, dan
Adanya sabab meniscayakan adanya puasa enam hari bulan Syawwal sendiri.
hukum, dalam hal ini wajibnya zakat atas
harta tersebut.

Adapun mukhathabnya sendiri, yang


mendapatkan taklif Syariat, bukanlah
si anak kecil, karena ia belum baligh.
Mukhathabnya, yang diwajibkan
mengeluarkan zakat dari harta anak kecil
tersebut adalah walinya.

52
Fikrah

RU'YAH, HISAB,
ATAU PERSATUAN UMAT?

Para ulama Syafi’iyyah berpendapat Untuk mengetahui hujjah yang


bahwa penentuan awal Ramadhan dan mendukung hisab, bisa membaca
Syawwal itu mengikuti hasil ru’yatul hilal
--sebagai contoh-- penjelasan Syaikh Yusuf
masing-masing penduduk negeri, dan Al-Qaradhawi di “Al-Madkhal Li Dirasah
tidak mengikat penduduk negeri lain. As-Sunnah An-Nabawiyyah”. Selain itu,
pendapat ini juga --menurut penelitian
Dalam “Fiqh Ash-Shiyam” karya Syaikh sebagian peneliti-- didukung oleh Ibn
Muhammad Hasan Hitu dikatakan: Suraij dari kalangan Syafi’iyyah di masa
lalu, dan banyak ulama kontemporer.
‫ذهب الشافعية يف أصح األقوال عندهم إىل أنه إن ريئ الهالل‬
‫ ببلد ال يجب عىل أهل البالد األخرى الذين يخالفونهم يف‬Namun ide kalender internasional itu
.‫ املطلع‬sangat perlu dukungan politik dari
seluruh pemimpin politik, dan saat ini
Artinya, hasil ru’yah di Indonesia hanya masih jauh dari kenyataan. Jadi biarlah ini
mengikat orang Indonesia, dan tidak jadi gagasan ideal yang semoga nanti bisa
mengikat negeri-negeri lain. terwujud.

Namun, saya juga menginginkan seluruh Saat ini untuk menunjukkan persatuan
muslim di dunia satu kesatuan dalam umat, minimal di masing-masing negeri,
Ramadhan dan Syawwal-nya, dan itu kita perlu berpuasa pada saat orang
paling memungkinkan dengan adanya banyak berpuasa dan berbuka saat orang
kalender internasional yang diikuti semua banyak berbuka. Dan itu paling mudah
negeri, dan itu basisnya tentu metode tentu dengan mengikuti hasil itsbat
hisab. Metode hisab, meski hanya sedikit pemerintah, karena hasil itsbat tersebut
didukung ulama terdahulu, sebenarnya yang faktanya paling banyak diikuti oleh
cukup kuat hujjahnya, apalagi di masa penduduk Indonesia.
sekarang, saat sains dan teknologi sudah
mencapai hal yang ajaib seandainya orang Entah pemerintah saat ini dianggap sah
di masa lalu mengetahuinya. sebagai ulil amri atau tidak (sebagaimana
sering diperdebatkan orang-orang), yang

53
jelas untuk penentuan awal Ramadhan dan mengikuti hasil ru’yah penduduk negeri
Syawwal, mengikuti hasil itsbat mereka ini sebagaimana pendapat madzhab
lebih mampu mewujudkan persatuan dan Syafi’i, yang kemudian di-itsbat oleh
mewujudkan kemaslahatan. Kita tentu tak pemerintah. Inilah wujud persatuan umat
ingin antar tetangga satu kompleks malah dalam Ramadhan dan Syawwal yang
beda 1 Syawwal-nya. memungkinkan saat ini.

Syaikh Muhammad Hasan Hitu Wallahu a’lam.


menyebutkan satu ketentuan dalam
madzhab Syafi’i, bahwa jika seseorang
safar ke negeri yang lebih dulu berhari
raya, karena lebih dulu ru’yatul hilal
Ramadhannya, maka ia wajib ikut
berbuka sebagaimana penduduk negeri
tersebut, meskipun ia baru puasa 28 hari,
dan satu harinya ia qadha nantinya. Beliau
menyebutkan dalil atas hal ini, yaitu
Hadits:

‫ َو ْالَضْ َحى يَ ْو َم‬،َ‫ َوالْ ِفطْ ُر يَ ْو َم تُف ِْط ُرون‬،َ‫الص ْو ُم يَ ْو َم ت َُصو ُمون‬
َّ
‫تُضَ ُّحو َن‬

Artinya: “Puasa itu pada hari kalian


berpuasa, berbuka (‘Idul Fithri) itu pada
hari kalian berbuka, dan ‘Idul Adha itu
pada hari kalian Ber-’idul adha.” (HR. At-
Tirmidzi)

Imam At-Tirmidzi menyatakan tentang


Hadits ini: “Sebagian ulama menafsirkan
Hadits ini bahwa maknanya adalah puasa
dan berbuka itu bersama jamaah muslimin
dan kebanyakan manusia.”

Jadi, kapan kita mulai puasa? Jawabannya,


saat orang-orang berpuasa, dan itu

54

Anda mungkin juga menyukai