Anda di halaman 1dari 5

Oldman

Tukimin
Badjo
Oldman
Tukimin
Badjo
Oldman
Tukimin Badjo
Oldman
Tukimin
Badjo

Sudah ada plastik


Sudah ada sabun
Sudah ada handuk
Sudah ada sepeda
Matematika sudah berkembang
Oldman
Tukimin Badjo

Pendulum Pagi
Pulau Batu
Kincir Kanal
Angin Maut dari Utara
Laboratorium Tua
Benih Terakhir

Saayuuuuuuuuuuuur, lengkingan yang setiap hari terdengar yang sudah menjadi alarm pagi
hari penanda jarum jam menunjuk garis dekat angka tujuh. Tampak dengan jelas dari balik
jendela kaca samping meja tempatku duduk setiap pagi. mengisi pagi dengan secangkir
kopi. Gosip pagi kala ibu-ibu berkerumun di gerobak sayur terdengar jelas, Cara mereka
membahas topik berat, suara tegas tidak mau kalah dgn yang lain. Tak jarang Satu dua
cletukan diluapkan membuatku spontan tersenyum tertawa kecil.Mendorongku membuka
jendela lebih lebar.
Tapi tidak untuk akhir-akhir ini. Yang muncul justru rasa iba, tak semestinya ia tetap berada
di luar, di tambah lagi, sudah hampir dua minggu ini ia lewat lebih awal dengan gerobak
sayur yang masih tampak penuh.
Sayuuuuuuuuuuuuuuuuuur, lengkingan panjang pagi hari dari jalan seberang halaman
samping telah terdengar. Penjual sayur.
Jarum pendek jam menunjuk garis dekat angka tujuh.

“Kakaaak..., ambilkan handooouuuk”.

Konsentrasiku buyar,
Belum sempat aku beranjak dari duduk, sekelebat anak kecil telah berlari sambil memegang
baju membalut pinggul menutup bagian depan.

“heh..., kebiasaan!.”

Kulanjutkan kemeja, persoalan gyroscpe yang....mengikatku di kursi dari subuh dari subuh.
“engkau menantang anak muda yang salah, darahku masih merah, tak akan kubiarkan
engkau memiliki pembela kecil yang berlari tanpa baju”. Gerutuku dalam hati dengan
semangat kembali ke meja tak memberi kesempatan bagi persoalan yang sedang kuhadapi.

“Neneeeek...,”
terdengar kembali teriakan anak kecil dari kamar sebelah. Kupejamkan mata dan kutarik
nafas perlahan. “Hadehh..” belum lima menit usahaku untuk mengembalikan konsentrasi,
kacau kembali.

“adek nggak usah ngrepotin neneeek..!,


“pake baju sendiri..!”

“baju biruku mana.!?”

Ku tutup buku dan matikan lampu meja. Ada anak pengacau butuh perhatian.

“lah ini baju biru..!” rupanya ia sudah membuka semua laci lemari kayu kecil berisi baju-
bajunya.

“bukaan..” sahutnya dengan yakin.

Dengan agak terbungkuk nenek menyembul dari tirai pintu kamar,

“Nih.., kemaren nenek cuci lupa belum dimasukkan ke laci”.

Si adek kegirangan.

“anak kecil memang kacau”- gumamku dalam hati sembari merobohkan badan ke kasur
setelah melihat kaus kecil yang di bawa nenek ternyata berwarna hijau.

“kakak, sarapaan...!” kugelengkan kepala, suara anak ini selalu terdengar tiba-tiba.

“iya.., terimakasih..” kujawab tanpa mengalihkan perhatianku.

“Kakak nulis apa?” rupanya anak kecil ini belum pergi dan malah mendekat, menyandarkan
badannya ke paha, kepalanya menyembul di bawah dagu dan mendongak-ndongak ke atas
meja yang lebih tinggi dari kepalanya.

“Kakak sedang menyelamatkan duuniaaa...!” sahutku sembari mengangkat badan kecil yang
harum bedak.
“Wuzzz...... awaaass...” Anak kecil ini terkekeh-kekeh geli kala merasakan badannya lurus
melayang seperti pesawat menumpang di telapak tanganku menyebrangi tirai pintu.
Tak mau kakek dan nenek menunggu kami berdua terlalu lama.

ikut memberi makan ayam, lebih tepatnya mengganggu ayam-ayam yang sedang makan.
Kakek dan nenek senang melihat anak kecil berlari-lari mengejar ayam, tak jarang induk
ayam marah balik mengejar karena anaknya teriak-teriak ketakutan.

Anak ini, lebih mengenal kata kakek dan nenek dari pada “ibu” atau “bapak”. Peristiwa lima
tahun lalu belum dapat ia fahami, meskipun pernah sekali nenek mencoba bercerita. Musim
pancaroba telah menjadi ancaman bagi penduduk pulau, ...(angin).

Matahari semakin tinggi

PULAU BATU
Begitulah, tapi jangan memandang rendah kampus-kampus mereka, pulau ini dulunya
penuh batu. Jangan harap ada tanaman. Kehidupan penduduknya hanya mengandalkan
ikan, barang-barang diperoleh dari barter ikan dgn barang. Sampai suatu ketika, datanglah
seorang laki-laki beserta rombongan kapal ikan, pemuda setengah tua, begitulah ia dijuluki,
karena wajahnya tak memenuhi syarat tampan, dan cenderung tampak lebih tua dari
tebakan usia yang benar.

Ia datang tampa bekal, sebagian penduduk pulau menawari tinggal bersama, tapi ia memilih
tinggal di sendiri di pinggir bukit. Penduduk tak ada yang berani tinggal disana, karena
pernah terjadi batu besar menggelinding dari atas bukit menggilas beberapa rumah.

Ia datang membawa setumpuk daun-daun kering. Berangkat membawa batu, dan pulang
membawa daun. Selama bertahun-tahun.

Cerita kakek. Cara kakek bercerita yang selalu menggunakan kata dulu, tak memunculkan
harapan masih dapat bertemu pak tua ini. Meskipun sebenarnya begitu tertarik dengan
gagasan-gagasannya. Sampai di ujung cerita, kakek mengatakan “entah bagaimana
kabarnya saat ini, setelah ia memutuskan kembali ke pulau seberang. Sempat terdengar
kabar ia telah kembali lagi ke pulau batu ini.

“Jadi, Pak Tukimin ini masih hidup?”

“saya tak tahu” jawab kakek


“dia itu usianya dibawah kakekmu” sahut nenek

“dia lebih muda dari kakek?” seketika muncul tekat untuk menemukan pak tua ini.

KINCIR KANAL

Anda mungkin juga menyukai