Anda di halaman 1dari 230

Catatan Pinggir

Daftar Isi

Mani .............................................................................. 1
Benci ............................................................................. 7
Hatra ............................................................................ 13
Sang Militan ................................................................ 19
TG ............................................................................... 25
Nostalgia ..................................................................... 31
Badui ........................................................................... 35
Fayadh ......................................................................... 41
Paranoia ....................................................................... 47
Amangkurat ................................................................. 51
Sabangau ..................................................................... 57
Einstein........................................................................ 63
Herakleitos .................................................................. 69
Rivera .......................................................................... 73
Pilatus .......................................................................... 77
Subaltern ..................................................................... 83
Maaf ............................................................................ 89
tuhan ............................................................................ 99
Mandalika.................................................................. 105
Almansor ................................................................... 111
Topeng .......................................................................115
Panggung ...................................................................119
Attar ...........................................................................123
JPC .............................................................................127
Terkutuk.....................................................................133
Bekisar .......................................................................139
Eropa ..........................................................................145
Batik… ... ...................................................................149
Fobia ..........................................................................155
Huesca........................................................................161
Molek .........................................................................167
Angsa .........................................................................171
Rakyat ........................................................................177
Aura ...........................................................................183
Bhima.........................................................................189
Dylan..........................................................................193
Komedie.....................................................................199
Dusta ..........................................................................205
Yang Ditampik...........................................................209
Amarah ......................................................................215
Calas ..........................................................................221
Mani
Senin, 04 Januari 2016

There’s been an awakening. Have you felt it? The Dark


side, and the Light.
—Star Wars: The Force Awakens

ejak mula, permusuhan ―sisi Gelap‖ dengan ―sisi


S Terang‖ mendasari pelbagai dongeng segala zaman; di
abad ke-3 seseorang yang disebut ―Nabi Mani‖ di Persia
menegaskannya, dan di abad ke-20 dan 21, Star Wars
mengulanginya.

Dikhotomi Mani, ―Manikheanisme‖, memang tak


mudah mati: kosmologi dualistis ini telah membuat
―Gelap‖ dan ―Terang‖, kekejian dan kebajikan, selamanya
bentrok di alam semesta—begitu jelas dan sederhana,
seolah-olah yang keji dan yang mulia bisa mutlak, seakan-
akan hitam dan putih telah melenyapkan abu-abu, hingga
orang gampang tak membantah.

George Lucas dengan sadar mendaur ulang


kosmologi itu. Kita ingat adegan pembuka Star Wars
empat dasawarsa yang lalu: sederet kalimat bergerak di

Catatan Pinggir | 1
layar, sebuah statemen bahwa kisah ini datang dari
―...zaman nun dahulu kala, di galaksi yang sangat jauh‖.

―Dahulu kala‖: keinginan George Lucas memang


bukan membuat sebuah fantasi futuristik seperti 2001: A
Space Odyssey, film Stanley Kubrick. Ia justru hendak
mengembalikan kisah moralitas yang hidup di masa ketika
film hitam-putih menampilkan Tom Mix. Melalui genre
Western bisu tahun 1910-an, sang ―koboi‖ (misalnya
dalam Saved by the Pony Express) dengan gagah dan
lurus bertempur sebagai si ―topi putih‖ yang melawan si
―topi hitam‖.

Di hampir semua filmnya, Tom Mix adalah


petarung di zaman bergaris lurus. ―Putih‖ berarti suci dan
benar, ―hitam‖ berarti kotor dan jahat.

Dalam wawancaranya dengan The Washington


Post baru-baru ini Lucas mengatakan ia ingin menebus
kembali garis ala Mani itu: hitam-putih-gelap-terang yang
kini telah buram. ―Terakhir kalinya kita lakukan itu ialah
di masa film Western,‖ katanya. Dan ketika genre film ini
nyaris tak beredar lagi, ia merasa kehilangan medium
untuk menegaskan aturan ―ethis‖ yang diyakini di masa
lalu.

Lucas pernah mengatakan ia ingin menciptakan ―a


modern fairy tale‖. Mungkin itu sebabnya Star Wars
terkadang terasa sedikit ―retro‖. Ia bahkan bisa dituduh

Catatan Pinggir | 2
anti-progresif: dalam film pertamanya, sang pahlawan,
pasangannya, sekutu dan musuhnya, semua berkulit putih,
meskipun mereka bukan warga Wyoming atau Kansas,
meskipun mereka konon makhluk planet lain—dan
diciptakan Lucas pada 1977, setelah warga kulit hitam
Amerika secara dramatis menegakkan hak-hak dasar
mereka dan mulai muncul di lanskap kehidupan. Dengan
kata lain, Luke Skywalker, Putri Leia, Obi-Wan Kenobi,
Han Solo, dan lain-lain tak jauh dari tokoh-tokoh Flash
Gordon Alex Raymond dari tahun 1930-an. Dalam cergam
termasyhur itu, Flash Gordon adalah kesatria kebajikan
yang bule dan pirang; lawannya: Ming si Jahat yang bukan
bule dan pirang.

Tapi tentu tak adil menilai Star Wars hanya angan-


angan yang Amerika-sentris dan retrogresif. Kita justru
bisa melihat pengaruh luar yang kuat, terutama dari
Yojimbo dan Seven Samurai Kurosawa: Lucas
menampilkan petarung yang terampil dan elegan dengan
pedang, ethos samurai dalam diri seorang Jedi, film action
dengan latar yang tegang dan eksotis.

Lagi pula Amerika-nya Alex Raymond bukan


Amerika-nya Lucas. Pada 1973 Lucas menuliskan garis
besar kisah Star Wars sebagai kisah ―sebuah imperium
teknologi yang besar yang memburu sekelompok kecil
pejuang kemerdekaan‖. Lucas, yang lahir pada 1944,
mengalami bagaimana generasinya memandang Perang
Vietnam (bermula pada pertengahan 1950-an, berakhir

Catatan Pinggir | 3
1975)—dan kita tahu siapa yang mereka anggap ―Gelap‖
dan siapa yang ―Terang‖, mana yang ―imperium‖ dan
mana yang ―pejuang kemerdekaan‖ dalam konfrontasi di
Asia Tenggara itu.

Tapi ini abad ke-21. The Force Awakens, dongeng


ke-7 Star Wars, masih memperpanjang thema Manikhean
itu. Namun yang ditampilkan J.J. Abrams bukan nostalgia
Lucas kepada ―moral‖ film Western. Konflik antara rezim
―The First Order‖ dan gerakan ―Resistance‖ dalam film ini
tak terasa sebagai gema kekerasan hari ini. Zaman sudah
berubah.

Kini zaman ditandai manikheanisme yang


membingungkan dan sekaligus menakutkan.

Ia membingungkan karena label ―Gelap‖ dan


―Terang‖ dengan cepat berpindah, dalam periode yang
sama dan ruang yang sama: ―Taliban‖, ―IS‖, ―AS‖,
―Israel‖, ―Arab Saudi‖....

Ia menakutkan karena ketika cap ―Gelap‖ dan


―Terang‖ diterapkan, meskipun dengan cepat berpindah
sasaran, tiap kali keduanya dibuat demikian kental,
demikian kekal. Seakan-akan hanya penghancuran total
yang akan jadi penentu—penghancuran bukan efek sejarah
yang serba mungkin, tapi sebagai takdir.

Takdir....

Catatan Pinggir | 4
Di layar putih, Kylo Ren berkata: ―Aku akan
memenuhi takdirku.‖ Di luar bioskop, di antara kebencian
dan pembunuhan di jalan-jalan, kalimat seperti itu terasa
heroik tapi buntu.

Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 5
Catatan Pinggir | 6
Benci
Senin, 11 Januari 2016

"Luapkan kemarahanmu. Hanya kebencianmu yang dapat


menghancurkan aku."
—Darth Vader kepada Luke Skywalker, dalam satu adegan
duel dalam Return of the Jedi

K ebencian adalah kekuatan. Kemarahan adalah tenaga.


Darth Vader memahami ini. Dan mungkin juga para
perumus kata dan tindakan politik sejak abad ke-20: dari
Hitler sampai dengan Donald Trump, dari Stalin sampai
dengan IS, dari Ku Klux Klan sampai dengan Pol Pot, dari
Pengawal Merah sampai dengan FPI. Mereka kobarkan
rasa marah, mereka sebar-luaskan rasa benci, dan
kemudian mereka jadikan keduanya ―ideologi‖—dan sejak
itu entah berapa kemenangan dirayakan dan berapa juta
mayat bergelimpangan.

Kemarahan, kebencian, kekerasan—masing-


masing berbeda dan tak senantiasa punya hubungan sebab-
akibat. Tapi betapa sering kita menyaksikan ketiganya
bertaut, baik dalam sejarah maupun dalam imajinasi.

Di Indonesia kita berkali-kali menemukan itu.


Sebelum ―Revolusi Sosial‖ di Sumatera Timur pada 1946,

Catatan Pinggir | 7
sebelum ―pemberantasan G-30-S/PKI‖ pada 1965, dalam
Babad Tanah Jawi bisa kita baca bagaimana Sultan
Amangkurat II memperlakukan Trunajaya, pemberontak
yang pernah jadi sekutunya dan kemudian dikhianatinya
itu. Sang sultan muda menerima sang pemberontak yang
kalah di istananya dengan sangat ramah—seakan-akan ia
tak punya dendam dan benci. Tapi segera setelah sang
tamu menyambut salamnya, ia perintahkan para bupati
yang berkumpul di balairung menghunus keris mereka.
Trunajaya pun ramai-ramai ditikam. Tubuhnya hancur.
Sultan memerintahkan agar bagian hatinya dipotong-
potong, untuk dibagikan kepada para bupati yang harus
mengunyah dan menelannya di situ juga. Kemudian
kepala Trunajaya dipisahkan dari lehernya dan diletakkan
sebagai alas kaki di depan pintu, agar tiap orang yang
keluar-masuk menginjak bagian jasad yang bergelimang
darah dan berbau anyir itu.

Mungkin kita perlu melihat diri sendiri di cermin


dengan lebih lengkap—termasuk melihat adegan itu
sebagai bagian lanskap hidup kita. Kita punya narsisisme
yang sering jadi mithos dan filsafat. Dalam Serat Dewa
Ruci dikisahkan bagaimana Bhima menemui dewa yang
misterius itu dan mendapat ajaran bahwa manusia tinitah
luwih, ditakdirkan jadi makhluk yang unggul. Tapi
kemudian kita menyaksikan, dalam Bharatayudha, perang
perebutan takhta dan pembalasan dendam itu, bagaimana
sang kesatria membunuh Dursasana: ia minum darah
korbannya, lalu ia beri kesempatan Drupadi, perempuan

Catatan Pinggir | 8
para Pandawa itu, mencuci rambutnya dengan darah segar
itu.

Tampaknya di sana hendak diperlihatkan,


―makhluk yang unggul‖ tak terpisahkan dari kebinatangan:
humanisme hanyalah bentuk lain cinta diri sendiri. Selalu
ada dalih untuk kekejian: kita memaklumi mengapa
Bhima dan Drupadi begitu buas. Babad Tanah Jawi tak
mengecam apa yang terjadi pada Trunajaya.

Bisa dimengerti mengapa humanisme kemudian


digugat. Dan bukan tanpa alasan. Sampai jam ini,
pembunuhan dan kebuasan tak juga usai setelah ribuan
tahun berlangsung.

Violence, the bloody sire of all the


world’s value

Kata-kata Robinson Jeffers dalam sajak dari tahun


1940 ini, setelah Perang Dunia I, mengandung nada
sarkastis—dengan rasa kecewa kepada manusia sebagai
sumber sejarah. Maka sang penyair yang meninggalkan
kota dan membangun sendiri rumah terpencil di pantai
dekat Carmel, California, itu memilih:

We must unhumanize our views a little, and


become confident
As the rock and ocean that we were made from.

Catatan Pinggir | 9
―Menidak-manusiawi-kan pandangan kita‖, bagi
sang penyair, justru memperkuat kita: kita bisa percaya
diri sebagaimana batu karang dan lautan dari mana kita
terjadi.

Tapi ―animisme‖ seperti ini tak akan didengar.


Sejak manusia merasa dipilih Tuhan. Apa beda mendasar
Yoshua dan amarah Tuhan yang membantai semua
penduduk Kota Yerikho dalam Perjanjian Lama dengan
pasukan IS yang menyembelih tawanan mereka dengan
kebencian yang diperam? Tidak ada.

Saya ingat yang dikatakan Vaclav Havel dalam


sebuah simposium tentang ―anatomi kebencian‖ di Oslo,
akhir Agustus 1990: bagi seorang pembenci, ―Kebencian
lebih penting ketimbang sasarannya.‖ Ia tak membenci
seseorang tertentu, melainkan apa yang ia anggap diwakili
orang itu: jalinan hambatan untuk mencapai apa yang
mutlak, ―pengakuan mutlak, kekuasaan mutlak, persamaan
diri secara mutlak dengan Tuhan, kebenaran, dan
ketertiban dunia‖.

Tapi benci tak bisa sendiri. Darth Vader ingin agar


Luke Skywalker membenci, menghancurkan, dan kuat.
Untuk berkuasa. Tapi ia gagal. Dalam Return of the Jedi,
yang menang dalam pergulatan hati itu adalah sesuatu
yang juga kuno tapi sering terselip: kasih sayang, empati,
juga pada momen yang paling mustahil.

Catatan Pinggir | 10
Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 11
Catatan Pinggir | 12
Hatra
Senin, 18 Januari 2016

A pa yang bisa kita lakukan terhadap masa lalu, ketika


kita berdiri tercengang di puing-puing Hatra?

Hanya beberapa tahun yang silam, di padang pasir


antara Sungai Tigris dan Eufrat, di tengah wadi datar yang
kecokelatan hampir 300 kilometer dari Bagdad,
reruntukan kota purba itu terbentang di arah utara. Sisa-
sisa dinding kota menjulang tinggi. Para arkeolog
mengatakan tembok itu, yang dibuat dari batu bata,
pelindung sebuah kehidupan 2.200 tahun yang lalu—
semacam benteng melingkar dengan diameter dua
kilometer. Juga sebuah karya arsitektural yang memukau:
berjalan mengelilinginya, kita akan menemukan empat
pintu gerbang, sebelas bastion, 28 menara besar, dan 160
menara kecil.

Di pusat kota, ada ―temenos‖. Di sini, di wilayah


berbentuk persegi panjang yang luasnya satu hektare lebih
ini—juga dikelilingi tembok—tak ada rumah, tak ada
istana. Yang ada hanya kuil demi kuil, dengan balai agung
yang terbuka di depannya, dengan dekorasi topeng-topeng
wajah muda, dengan atap berbentuk kubah.

Catatan Pinggir | 13
Mungkin jajaran kuil itu yang menyebabkan orang
Arab yang 500 tahun sebelum Islam adalah penghuni
Hatra—setelah orang Parthia, setelah orang Persia—
menamakan kota ini, dalam bahasa Aramaik, Beit ‗Elh‘,
atau ―Rumah Tuhan‖.

Tuhan atau dewa-dewa memang tak kurang di sini.


Bersama itu, lapisan sejarah. Hatra, seperti halnya kota-
kota lain di wilayah yang dulu disebut Mesopotamia itu,
adalah sebuah dokumen yang tak tepermanai tentang
manusia.

Tapi yang ―tak tepermanai‖ itu hanya terasa bila


kita merasakan kharisma masa lalu, bila kita menemui
masa lalu dengan rasa ingin tahu, atau takjub, atau
bersyukur, atau rindu. Sebagaimana umumnya manusia.
Itulah yang membuat turisme tumbuh, arkeologi jadi ilmu,
museum berdiri, hikayat ditulis, dan tambo jadi ritual.

Tapi tidak bagi IS, atas nama ―Islam‖. Tak ada


kharisma masa lalu itu bagi mereka.

Selama beberapa bulan dalam tahun 2015, ketika


mereka menduduki Hatra, mereka hanya menjalankan apa
yang mereka anggap ―hukum Islam‖: kuil, patung, ukiran,
prasasti, semua harus dihancurkan. Dari artefak di
museum Kota Mosul, Irak, sampai dengan kuil berumur
2.000 tahun di Palmira, Suriah, IS menunjukkan salah satu
bentuk ikonoklasme yang paling agresif dalam sejarah.

Catatan Pinggir | 14
Seperti pendahulu mereka: 15 tahun yang lalu Taliban
mendinamit sepasang patung Buddha yang terbesar di
dunia di kaki pegunungan Hindu Kush. Patung berusia
1.700 tahun di Afganistan Tengah itu runtuh.

Ikonoklasme adalah kelanjutan yang tak diakui


dari Yudaisme. Kitab Keluaran (Exodus) yang melarang
manusia membuat apa saja yang menyerupai segala
sesuatu yang di langit, di darat, dan di dalam air
menghantui para perupa Yahudi berabad-abad.

Juga berlanjut ke abad ke-16, di dunia Kristen.


Yang paling diingat adalah tahun 1566, ketika di Kota
Antwerp orang-orang Calvinis merusak sebuah katedral
dan membakar patung dan lukisan di dalamnya—dan
menandai apa yang dalam bahasa Belanda disebut
Beeldenstorm di Nederland dan sekitarnya. Itu pula bagian
konflik sosial yang mendalam di sana, yang merebakkan
Perang Agama bertahun-tahun.

Tanpa disadari, para ikonoklas sebenarnya


mengukuhkan apa yang naif dalam kepercayaan para
penyembah berhala: mereka meyakini bahwa berhala bisa
jadi substitusi, atau pesaing, Yang Maha Dimuliakan.
Mereka tak memahami kebutuhan manusia akan simbol
dan kiasan, dan lupa akan kemampuan manusia
membentuk dan menerima imajinasi. Dan seperti kaum
Wahabi di Arab Saudi yang mencoba meniadakan
petilasan Nabi, mereka menampik kharisma masa lalu.

Catatan Pinggir | 15
Dalam hal itu, IS tak jauh berbeda dengan para
Pengawal Merah dalam ―Revolusi Kebudayaan‖
Tiongkok. Dengan bernabi pada Ketua Mao, Pengawal
Merah bertekad ―Hancurkan Empat Kuno‖. Pada
pertengahan 1960-an, Kuil Konghucu di Shandong yang
berumur 2.000 tahun lebih mereka ganyang; 6.000
artefaknya mereka binasakan.

IS, Pengawal Merah: ada sikap yang


mengutamakan ―patah arang‖ dan bukan ―kelanjutan‖
dalam sejarah. Bagi mereka harus ada manusia yang
dianggap lain, atau yang mewakili waktu lain—dan ―lain‖
berarti ―najis‖, atau ―cemar‖, atau ―berdosa‖.

Mereka tampik Mesopotamia. Mereka hancurkan


bekas-bekasnya. Mereka tak ingin mengakui bahwa dalam
peradaban yang tak mengenal Islam itulah orang
menemukan roda dan aksara—bagian sentral hidup kita
hari ini.

Dalam ketakutan akan menjadi kurang suci,


mereka ingin memutlakkan kesucian. Mereka tak
menyadari bahwa agama mereka sendiri juga mengakui
pendahulunya: sebagai bagian dari perbenturan,
persilangan, dan pertautan di dunia yang kemudian disebut
―peradaban‖.

Mungkin mereka lupa mereka dianjurkan mencari


ilmu sampai ke Tiongkok—tanah yang tak bertuhan.

Catatan Pinggir | 16
Mereka takut memperoleh ilmu dari masa lalu Hatra yang
juga menakjubkan.

Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 17
Catatan Pinggir | 18
Sang Militan
Senin, 25 Januari 2016

“Kemanusiaanku kukorbankan.”
—Saaman, dalam Keluarga Gerilya Pramoedya Ananta
Toer

S eorang militan adalah orang yang melenyapkan dirinya


sendiri untuk jadi sesuatu yang efektif, menggetarkan,
mengalahkan. Saaman, tokoh dalam novel Keluarga
Gerilya Pramoedya Ananta Toer, pada umur 23 tahun
sudah memimpin gerilya kota, ketika Jakarta diduduki
pasukan Belanda, dan melancarkan serangkaian
pembunuhan—termasuk membunuh ayah tirinya sendiri
karena bapak itu berada di pihak musuh. Ia tertangkap.
Tapi ia tahu ia harus mati, sebagaimana ia harus
mematikan. Ia seorang militan.

Ada yang mengatakan istilah ―militan‖ berakar


pada kata-kata Latin lama, yang akhirnya kurang-lebih
berarti ―orang-yang-menempuh-jarak-bermil-mil‖.
Mungkin itu menunjukkan sifat teguh, juga dalam
menanggung sakit dan penat, dengan sukarela, menuju
sesuatu yang maknanya melebihi dirinya sendiri.

Catatan Pinggir | 19
Saaman menanggungkan dosa, atau perasaan
bersalah, seraya menunggu regu tembak mencabut
nyawanya. Tapi ia tak merasa sia-sia: ―Kupaksa diriku
menjalani kekejaman dan pembunuhan,‖ katanya, ―agar
orang yang ada di bumi yang kuinjak ini tak perlu lagi
berbuat seperti itu.‖

Ada sesuatu yang paradoksal di sini. Sang militan


telah meniadakan diri, ―Kemanusiaanku kukorbankan.‖
Tapi pada saat itulah Saaman, juga di penjara itu, jadi
subyek, bukan cuma pelengkap penyerta, bukan hanya
pelengkap penderita. Ia, sebagai subyek, menghendaki,
meniatkan, melakukan. Ketika jadi subyek juga berarti
seakan-akan jadi sebuah nol—―nol‖ karena ia tak bisa
tertangkap dalam kategori apa pun—ia pada saat itu jadi
sesuatu yang berarti—―a Nothingness counted as
Something‖, untuk memakai kata-kata Žižek dalam The
Ticklish Subject.

Sang subyek, sang militan, juga jadi ―Sesuatu‖


yang universal. Ia menanggalkan apa yang partikular dari
dirinya—pertalian keluarganya, agamanya, bahkan
statusnya sebagai seorang anggota bangsa tertentu. Ia
berbuat seraya menjangkau siapa saja, di mana saja;
seperti dikatakannya, ―agar orang yang ada di bumi yang
kuinjak ini tak perlu lagi berbuat seperti itu.‖

Catatan Pinggir | 20
Ia memberontak kepada suatu keadaan yang
menindasnya, tapi dengan itu ia tak hanya membebaskan
dirinya.

Sebab hubungan antara majikan-dan-pelayan pada


dasarnya tak hanya mengikat sang pelayan. Jika sang
hamba bebas, sang tuan juga terbebas. Masyarakat
―komunis‖ yang dicita-citakan Marx bukanlah ditandai
kemenangan sepihak, kaum proletariat, melainkan
hilangnya perbedaan kelas. Kata-kata Albert Camus
terkenal dalam L'homme révolté menggemakan thema itu:
―Aku berontak, maka kita ada.‖

Di sini menarik membandingkan seorang militan


seperti Saaman dan seorang tentara IS yang menjadikan
dirinya bom.

Pengebom-bunuh-diri, seperti sang patriot, juga


berkorban untuk sesuatu yang lebih besar ketimbang
dirinya. Ia juga bisa jadi contoh heroisme.

Itu sebabnya IS bisa mempesona generasi yang,


terutama di Eropa, hidup dalam ennui: di sangkar besi
modernitas yang serba teratur dan mapan. Generasi ini
berada dalam suasana ―akhir sejarah‖. Di mana-mana yang
mereka temui adalah apa yang diejek Nietzsche sebagai
―manusia penghabisan‖: orang-orang yang tak lagi punya
dorongan jiwa untuk mencapai yang luhur dan agung. Tak
ada laku yang heroik. Tak ada yang seru. Membosankan....

Catatan Pinggir | 21
Tak ayal, generasi yang bosan ini pun dengan
mudah terpikat: IS mempresentasikan dunia seperti Star
Wars di muka bumi. Kebosanan yang ekstrem dihabisi
dengan aksi yang ekstrem merangsang sensasi—termasuk
kebuasan.

Dengan kostum yang gagah dan seram, dengan


doktrin yang dramatis dan dahsyat, IS berhasil
mengerahkan anak-anak muda itu agar bersiap untuk
mengorbankan diri.

Tapi berbeda dari seorang Saaman. Seorang


Saaman, atau seorang teroris pejuang revolusioner seperti
Kalyayev dalam sejarah Rusia, tak mengharapkan surga;
mereka tak percaya ada kehidupan sesudah mati. Mereka
hanya percaya hidup di dunia yang lebih baik bagi banyak
orang.

Sebaliknya seorang ―pengantin‖ dalam terorisme


IS: ia yakin ia akan mendapatkan surga yang lengkap,
justru karena yang hendak dicapainya bukan kebaikan
yang universal, bukan untuk seluruh umat manusia,
melainkan hanya untuk kemenangan umat Islam—bahkan
hanya umat yang menganut doktrinnya. Bagi IS, kita tak
akan ada. Yang ada hanya ―aku‖, kaumku. Tafkir,
mengkafirkan mereka yang ―bukan-kami‖, adalah sebuah
narsisisme.

Catatan Pinggir | 22
Narsisisme itu pada akhirnya semacam benteng,
dengan tembok yang juga cermin, tempat para narsis
berlindung seraya mengagumi pose mereka sendiri dan
menunggu pahala surga yang akan mereka nikmati
sendiri—seraya menampik orang lain.

Betapa beda. Saya ingat ketika Saaman


menggambarkan sikap seorang patriot. ―Orang yang
berjuang, Dik Imah, adalah menyediakan surga untuk
berpuluh juta manusia bangsanya‖—bukan memperoleh
surga untuk diri sendiri.

Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 23
Catatan Pinggir | 24
TG
Senin, 01 Februari 2016

J ika ada satu ikon yang menengarai zaman ini, itu adalah
ponsel. Bahasa Indonesia menerjemahkannya dengan
tepat sekali: ―telepon genggam‖. Saya singkat: TG. Ia bisa
kita genggam kapan saja di mana saja, ia juga bisa
menggenggam kita kapan saja dan di mana saja. Hampir
tiap kali seseorang duduk sendirian di sebuah pojok, atau
dengan temannya bertemu di sebuah kafe, atau berjejal di
bus atau hadir di rapat desa, akan segera HP, eh, TG
dikeluarkan dari saku, pesan di layar sempit itu dibaca
diam-diam, dan perhatian berpindah sejenak. Tak jarang
percakapan terhenti.

Kini benda pertama yang ditengok ketika bangun


pagi—sebelum lampu dinyalakan—bukan koran, bukan
radio, bukan TV. Tapi TG: si BlackBerry, si Samsung, si
Nokia, si Motorola…

Kita memasuki senjakala media cetak, seseorang


berkata seperti penujum. Mungkin yang lebih tepat: kita
memasuki dunia yang justru tak mengacuhkan nujuman
dan senjakala. Dunia sedang dibentuk kapitalisme digital.
Produksi, pemasaran, persaingan, dan meluasnya

Catatan Pinggir | 25
konsumen kini seperti medium digital itu sendiri:
meringkus, atau mengabaikan, ruang dan waktu.

Dua abad yang lalu, ―Membaca koran pagi adalah


doa pagi seorang realis,‖ kata Hegel di Eropa. Dengan doa
dan koran arah pandang seseorang dibentuk oleh Tuhan
(dalam doa) atau oleh ―dunia sebagaimana adanya‖
(melalui berita-berita). Kedua-duanya, kata Hegel,
memberikan rasa aman: orang tahu di mana ia berdiri.

Saya tak yakin, tapi bisa mengerti: di zaman Hegel,


berlangganan koran adalah salah satu cara merawat
stabilitas; koran yang dipilih seseorang adalah surat kabar
yang sesuai dengan seleranya selama ini. Ia tahu ―di mana
ia berdiri‖.

Tak mengherankan bila dalam Imagined


Communities Benedict Anderson mengutip Hegel. Tapi ia
menambahkan. Seperti doa pagi, membaca koran
berlangsung dalam ruang privat yang hening, dalam lapis
dalam kepala kita. Tapi pada saat yang sama, masing-
masing kita sadar bahwa ratusan ribu orang lain yang tak
kita ketahui identitasnya melakukan hal yang sama—tiap
hari, sepanjang tahun.

Sebuah ―komunitas‖ pun terbangun dalam


imajinasi kita. Kita tak hanya sadar di mana kita berdiri.
Kita sadar dengan siapa kita berdiri. Kesadaran akan satu
bangsa—diperkuat lagi oleh satu bahasa dan satu jenis

Catatan Pinggir | 26
aksara—tumbuh dari ―kapitalisme cetak‖ ini, menurut
thesis Anderson.

Tapi kini kita tak lagi hidup di zaman Mas Marco


bahkan tak di zaman Jakob Oetama. Apa jadinya jika yang
tercetak digantikan dengan yang digital?

Kita tatap layar kecil TG kita. Informasi


berdatangan, rapat, cepat. Pesan lalu-lalang. Di Twitter
berita 29 orang terbunuh di Burkina Faso disusul cerita
seseorang yang kucingnya hamil. Praktis tiap tiga detik,
sepanjang 24 jam. Balas-membalas, dari pelbagai pojok
bumi.

Sementara halaman surat kabar ditata sang editor


dengan hierarki antara yang penting dan yang kurang
penting, dalam TG tak ada organisasi itu. Tiap informasi
sama posisinya. Dialog (pesan ―interaktif‖) berlangsung
tanpa moderator, tanpa otoritas. Siapa saja, dari orang
yang paling tahu sampai dengan yang paling tolol, hadir di
satu arena yang riuh.

Huruf bersilang selisih dengan foto, bunyi-


bunyian, dan film. Indra penglihatan, yang dalam medium
cetak praktis mendominasi pencerapan manusia tentang
dunia—meskipun berlangsung sebidang demi sebidang—
kini lebur bersama indra pendengaran. Kecuali indra
penghidu dan peraba, tubuh kita bergelut secara simultan
dengan manusia dan peristiwa di mana pun. Sementara

Catatan Pinggir | 27
koran harian akan jadi basi dalam 24 jam, informasi digital
akan hambar pada detik berikutnya.

Jarak jadi tipis. Kini kita tak membayangkan lagi


sebuah kantor, di bagian komunitas nasional kita, tempat
koran yang kita baca diproduksi. Pesan berlangsung dalam
―deteritorialisasi‖.

Mungkin sebab itu komunitas yang dalam dua


abad terakhir terbentuk berkat pengaruh ―kapitalisme
cetak‖ akan berubah. ―Bangsa‖ mungkin akan tak terkait
dengan sebuah wilayah dan kenangan yang sama. Kita
sudah banyak dengar tentang globalisasi, perpindahan
modal dan tenaga dari satu negeri ke negeri lain. Mungkin
kini pudar pengertian ―tanah tumpah-darah‖.

Tapi saya ragu bahwa akhirnya akan terjadi apa


yang dimimpikan lagu Imagine. Kini memang menonjol,
atau timbul lagi, ―perkauman‖ yang tak berpaut pada
―bangsa‖ dan ―teritori‖. Malah ada penolakan kepada
konsep ―bangsa‖. Tapi Michael Billig menulis satu buku
yang serius tapi kocak, Banal Nationalism: nasionalisme
hadir tiap hari, tak selalu mengejutkan: ada waktu
nasional, ada iklim nasional, ada makanan nasional.
Kosmopolitanisme pun hanya dalam fantasi.

―Saya belum pernah bertemu dengan banyak orang


kosmopolitan dalam hidup saya,‖ kata Ben Anderson.
―Mungkin tak lebih dari lima orang.‖

Catatan Pinggir | 28
Selebihnya, bahkan dengan TG, tetap seperti dulu.

Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 29
Catatan Pinggir | 30
Nostalgia
Senin, 08 Februari 2016

I ni tahun 2016. Pada umur 75, masa depan saya jauh


makin sedikit ketimbang masa lalu saya. Pada umur ini
orang lazimnya akan gugup dengan masa kini, karena di
abad ke-21 masa kini kian didera masa depan. Teknologi
yang mengelilingi kita dipasang bukan untuk sekarang:
kereta api cepat, mobil dengan energi matahari,
komunikasi hologram.... Hidup seperti bergerak tanpa
mampir ke hari ini.

Tapi di celah-celah itu ada nostalgia.

Kadang-kadang kita duduk. Di depan kita, sebuah


meja kayu mahogani. Meja ―Victorian‖, sebuah katalog
menyebutnya, tapi tak amat penting informasi ini. Meja
antik itu tetap memikat, dari mana pun zamannya, sebab ia
langka. Ia bukan seperti meja kebanyakan yang digelar di
toko mebel. Sesuatu yang berbeda, yang tak terduga,
memang memberi nilai tambah dalam kreasi manusia.
Tapi ada hal lain: meja itu menarik karena ia bertaut
dengan kesadaran waktu yang kini tak ada lagi.

Ia hasil craftsmanship, atau ―kekriyaan‖, proses


kerja yang dalam bahasa Jawa ditandai sikap ―titis, telaten,

Catatan Pinggir | 31
taberi‖. Dengan kata lain, ia dibuat dengan gerak tangan
yang seakan-akan menyatu dengan alat, bahan, dan
rancangan. Semuanya berjalan dengan bebas, dengan
intens, tak peduli waktu, hingga karya selesai.

Kini kita kehilangan intensitas kerja pra-industrial


itu. Rasa kehilangan itu, nostalgia, bukan kehilangan
sebuah milik. Svetlana Boym, dalam The Future of
Nostalgia, dengan bagus menggambarkannya sebagai
kehilangan ―irama yang lebih perlahan dari mimpi-mimpi
kita‖.

Nostalgia, kata Boym, melawan gagasan modern


tentang waktu. Di dunia modern waktu adalah mesin
hitung dalam gerak sejarah, dan gerak sejarah adalah
kemajuan.

Tapi nostalgia bukan sepenuhnya pembangkangan.


Nostalgia bisa produktif. Ia membentuk utopianya sendiri,
membangun sebuah imaji tentang masa lalu yang utuh,
memukau, menimbulkan rindu. Tapi utopia itu sebenarnya
tak menangkap masa lalu itu sebagaimana adanya. Masa
lalu tak akan pernah kita ketahui kembali dengan persis.
Sebab itu dalam nostalgia utopia itu tak mengarah ke sana,
tapi ―ke samping‖. Nostalgia, kata Boym, bukan anti-
modern, melainkan ―off-modern‖.

Kata off itu menunjukkan keadaan terlepas, dan


dalam hal ini terlepas dari modernitas. Nostalgia

Catatan Pinggir | 32
sebenarnya sebuah interupsi terhadap perjalanan yang
lurus maju. Ia membawa kita berbelok dari narasi sejarah
yang seakan-akan memastikan bahwa the idea of progress
adalah kebenaran manusia.

Dalam nostalgia, kita diam-diam meninggalkan


kegandrungan kita kepada ―yang baru‖. Tapi tak berarti
kita hendak membuat ―yang lama‖ sebagai kuil tempat
kita menutup diri. Nostalgia hanya mencegah kita jadi
―malaikat sejarah‖ yang duduk dalam kokpit pesawat
pancar gas, yang (berbeda dengan Angelus Novus dalam
gambar Paul Klee) hanya menatap ke depan dengan gugup
karena ia tak bisa lagi membedakan mana unggunan puing
dari kerusakan akibat zaman yang bergerak dan mana
awan yang menutupi konstelasi bintang petunjuk arah.
Nostalgia tak menyukai malaikat ini.

Tapi terkadang tidak. Terkadang nostalgia


membuahkan sesuatu yang juga menakutkan, ketika ia
hanya berarti algia (kerinduan) dan nostos (kembali ke
rumah).

Boym dengan tepat melihat, ketika ―kerinduan‖


jadi desakan ―kembali ke rumah‖, dan menimbulkan
energi yang berkecamuk di masyarakat, ia bisa jadi bagian
ideologi-ideologi yang melahirkan monster.

Boym tampaknya ingin mengacu ke nostalgia ala


Nazi. Naziisme merayakan Blut und Boden, pertalian

Catatan Pinggir | 33
―darah dan tanah‖. Ikatan primordial itu menolak mereka
yang bukan ―pribumi‖, dan dengan itu Hitler membasmi
orang Yahudi, kaum tsigana yang mengembara, dan
semua oknum yang bukan Jerman.

Pasca-Nazi, datang yang lain: orang-orang yang


ingin kembali ke ajaran yang ―asli-murni‖—sebuah utopia
yang kaku. Mereka tak mau tahu yang ―asli-murni‖
niscaya berubah ketika dipandang dari posisi yang
berubah. Asal-usul yang mereka kenang hari ini, dalam
usia sekarang, sebenarnya adalah bagian fantasi dan
utopia.

Kemudian fantasi itu mereka anggap bukan fantasi


dan utopia itu bukan utopia. Mereka mengubah nostalgia
jadi doktrin—sebuah sindrom ―fundamentalisme‖ yang
menganggap masa lalu, manusia, dan teks bisa terbentuk
di luar sejarah.

Untunglah, tak semua nostalgia melahirkan rabun


itu. Memandang almari antik, di depan bangunan kota tua,
di latar pastoral pedesaan, nostalgia adalah rasa sayu yang
berkabung. Mungkin ini perkabungan manusia modern,
yang sekaligus terasa sebagai sebuah pengalaman estetik:
kita bersua dengan sesuatu yang tak disangka-sangka,
mempesona, dan membuat kita terpekur. Kita merasakan
hidup sedang memberi hormat kepada waktu.

Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 34
Badui
Senin, 15 Februari 2016

A da sebuah cerita tentang seorang Badui yang hidup


jauh dari Damaskus, jauh di pedalaman Suriah, yang
kecewa ketika ia naik kereta api buat pertama kalinya.
―Aku tak puas,‖ ia mengeluh kepada temannya.
―Karcisnya mahal, padahal perjalanan berakhir terlalu
cepat.‖

Ia mungkin terdengar bodoh, seperti umumnya


cerita orang kota yang mengolok-olok orang udik, tapi
sebenarnya si Badui mengingatkan orang-orang modern
satu hal: mencapai sesuatu dengan ―cepat‖, yang bagi
kebanyakan kita merupakan formula keberhasilan di
zaman ini, bisa tak sepadan dengan nilai pengalaman.
Kecepatan memang bisa menghasilkan, tapi pada saat
yang sama menepis sesuatu yang lain.

Mengutamakan ―cepat‖ hanyalah cara memandang


waktu secara tertentu: waktu sebagai terowongan. ―Cepat‖
berarti terowongan itu pendek. Menganggap itu hal
terpenting berarti tak menganggap ukuran yang lain
perlu—bahkan tak melihat kemungkinan lain di luar
terowongan itu.

Catatan Pinggir | 35
Si Badui, misalnya. Ia tak memandang waktu
sebagai sesuatu yang tertutup. Mungkin ia
membayangkannya sama dengan gurun pasir yang utuh
yang nyaris tanpa tepi. Berhari-hari ia biasa
mengarunginya. Di atas untanya yang setia, ia menuju
suatu titik, tapi ia praktis seperti seseorang yang
menjelajah. Ia mengikuti jadwalnya sendiri yang tak
dituliskan dengan tegas—dengan kemungkinan yang
belum pasti.

Contoh lain orang yang berada dalam waktu yang


tak sebagai berada dalam terowongan adalah seorang
penyair ketika menulis sebuah sajak. Ia bukan seorang
wartawan yang menulis dengan deadline. Ia bisa mulai
menulis kapan saja, dan di saat itu ia sama sekali tak tahu
kapan ia merasa pas dengan kalimat yang akan ditulisnya
dan apa pula yang akan diungkapnya sebagai kata akhir.
Tak ada kepastian. Tapi prosesnya intens, dan
pengalamannya kaya. Ia seakan-akan berada di antara
yang kekal dan tak kekal. Seperti Amir Hamzah:

Lalu waktu bukan giliranku


Mati hari—bukan kawanku...

―Kadang-kadang bepergian sedikit lebih baik


ketimbang tiba.‖ Sometimes it's a little better to travel than
to arrive.

Catatan Pinggir | 36
Kalimat itu diucapkan sang narator dalam Zen and
the Art of Motorcycle Maintenance. Dan dengan itu, sang
narator, mungkin sang pengarang sendiri, Robert M.
Pirsig, berangkat dari Minnesota ke Carolina Utara di atas
sepeda motornya. Ia berdua dengan anaknya, Chris, yang
baru berumur 12 tahun.

Dari sinilah Pirsig menulis. Tapi seperti


dikemukakannya, buku nonfiksi ini (yang kemudian laku
terjual sebanyak lima juta eksemplar) bukan tentang
Buddhisme Zen dan bukan pula tentang perawatan motor.

Pirsig sibuk dengan yang lain. Sepanjang


perjalanan 17 hari itu pikirannya penuh dengan dialog,
kenangan, cerita tentang Phaedrus, si filosof yang tak
diakui yang sebenarnya dirinya sendiri di masa lalu, yang
ingin membahas satu nilai kehidupan yang disebut
―Quality‖.

Demikianlah ia berjalan. Tak penting agaknya ke


mana dan kapan ia akan tiba. Seperti sang Badui, ia
memilih berada dalam waktu sebagai ruang terbuka.
Seperti halnya ia memilih sepeda motor, bukan mobil.

Dalam mobil kita selalu dalam sebuah


kompartemen, dan karena kita sudah terbiasa dengan itu
kita tak menyadari bahwa melalui jendela mobil semua
yang kita lihat hanya ibarat TV. Kita jadi pengamat yang

Catatan Pinggir | 37
pasif dan semua bergerak di depanmu dengan
membosankan di dalam satu bingkai.

Di atas sepeda motor, bingkai itu lenyap. Kita


sepenuhnya dalam kontak dengan semua, tak cuma
mengamati....

Dalam kontak dengan semua itu, "cepat" tak


merupakan soal yang penting. Yang penting liyan, orang
lain, dunia tempat kita ada: anak, sahabat, lanskap musim
panas, itik-itik liar, burung hitam, pegunungan, badai,
mimpi.... Bahkan juga benda yang selama ini hanya alat,
seperti sepeda motor Pirsig itu, misalnya, yang ia rawat
dengan telaten dan mesra.

Ada sesuatu yang seperti si Badui di tengah padang


pasir yang membuat kita, juga Pirsig, bisa merasa betah
dengan itu semua.

Kita tak menaklukkan gunung dengan yang disebut


Pirsig sebagai ego-climbing. Orang yang membawa
egonya akan sampai di puncak namun tetap tak
berbahagia. Ia merasa tak menemukan sesuatu yang ajaib.
Ia tak menemukan sesuatu yang ajaib karena keajaiban itu,
yang berada di sekitarnya sejak awal, dalam benda-benda
sehari-hari, tubuh dan perasaan hatinya sendiri, tak pernah
ditengoknya, dan tak pernah mempesonanya. Ia seperti
rabun dalam terowongan waktu.

Catatan Pinggir | 38
Kita lebih kagum kepada sang Badui, yang
melepaskan diri dari terowongan itu. Di padang pasir yang
tak terukur ia memungut segenggam pasir. Segenggam
pasir itu—dan berjuta-juta isi dan bentuknya yang
beraneka tak tepermanai—baginya sebuah dunia. Antara
kekal dan tak kekal.

Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 39
Catatan Pinggir | 40
Fayadh
Senin, 22 Februari 2016

F ayadh tak jadi dihukum mati. Kabar di awal Februari


ini mengatakan: sebagai gantinya, ia dihukum delapan
tahun penjara dan dicambuk 800 kali.

Ashraf Fayadh penyair, umurnya 36 tahun, ia


kurator seni, ia menerbitkan sebuah kumpulan sajak (saya
terjemahkan dari judul Inggris) Instruksi di Dalam, dan ia
ditangkap Polisi Syariat pada 2013. Oleh hakim Arab
Saudi ia dianggap murtad. Hukumannya dipenggal atau
digantung.

Untung nasibnya diketahui dunia luar. Dari


pelbagai penjuru protes dikemukakan, dan Kerajaan Saudi
mundur—setengah tapak. Delapan tahun disekap dan
didera cambuk 800 kali bukan hukuman yang enteng.
Instruksi di Dalam tetap dianggap kejahatan serius.

Saya belum pernah membaca lengkap sajak-sajak


seniman asal Palestina ini. Beberapa buah saya temukan di
Internet dalam terjemahan Inggris; salah satunya (dalam
versi Indonesia saya) merupakan statemen yang lamat-
lamat, mungkin tentang ketakbebasan, mungkin juga
bukan:

Catatan Pinggir | 41
ia tak berhak berjalan, bagaimanapun,
bergoyang, bagaimanapun,
menangis, bagaimanapun

ia tak berhak membuka jendela


hati sendiri, buat melepas air mata, sampah,
dan udara lagi

Sajak itu dilanjutkan dengan semacam pengingat,


entah kepada siapa: kau cenderung lupa, kau adalah
sepotong roti.

Aneh sekali puisi: beberapa puluh patah kata


cukup membuat sebuah kekuasaan dengan senjata lengkap
dan lembaga perkasa merasa harus membungkamnya. Hari
ini Fayadh. Di masa lain, di Uni Soviet di bawah Stalin.
Penyair Osip Mandelstam dihujat, ditangkap, disingkirkan,
akhirnya dibuang dan mati nyaris tak diketahui di Siberia.
Juga karena sejumlah sajak. Ia dianggap tak patuh kepada
garis yang ditetapkan Partai untuk kesusastraan, dan
akhirnya dianggap menyerang Stalin.

Bagaimana para penguasa itu—hakim Saudi dan


pembesar Partai Komunis—menganggap interpretasi
mereka adalah tafsir yang benar, sementara mungkin
makna itu bukan niat penyairnya?

―Dalam karya sastra yang murni,‖ kata penyair


Prancis Stéphane Mallarmé di abad ke-19, dalam Crise de

Catatan Pinggir | 42
Vers, ―sang penyair menghilang sebagai pembicara dan
menyerahkan tugasnya kepada kata-kata.‖

Kata-kata puisi lahir tanpa blueprint, dan hidup bak


anak yatim. Begitu sebuah sajak kau tafsirkan, kata-
katanya praktis kau adopsi. Ada satu anekdot tentang
Picasso. Seorang opsir Jerman masuk ke apartemen
pelukis terkenal itu dan melihat foto Guernica, mural besar
Picasso yang mengungkapkan keganasan perang dan
kepedihan penduduk Kota Guernica di Spanyol. Opsir
Jerman itu bertanya: ―Tuan yang membuat itu?‖ Jawab
Picasso: ―Bukan, Tuan yang membuatnya.‖

Picasso mungkin hendak menunjukkan kekejaman


Nazi di mural itu, tapi mungkin juga ia hendak
menunjukkan bahwa begitu sang opsir membuat tafsir atas
karya itu ia pun mengadopsi maknanya—apa pun makna
itu. Sang perupa tak ikut lagi.

Tapi Polisi Syariat Saudi, apparatchik Soviet, tak


akan mudah mempercayai keterangan Mallarmé dan tak
akan menyadari bahwa mereka bertanggung jawab atas
apa yang mereka baca dan tafsir. Orang-orang itu, yang
pakaian dan isi kepalanya diseragamkan, terbiasa
membuat asumsi bahwa kata-kata berjalan lurus dari otak
ke kertas cetak, dan bahwa makna selalu transparan dan
gampang disepakati secara serentak, bahwa kata tetap
seperti semula padahal telah disentuh pelbagai emosi dan
analisis.

Catatan Pinggir | 43
Bukankah dokumen dan perintah atasan yang
mereka terima selalu seperti itu?

Dan di situlah soalnya. Aparat kekuasaan, apalagi


yang punya niat mengatur hidup manusia sampai ke lubuk
hati dan imajinasi, selalu punya khayal: kekuasaan yang
menghadirkan mereka akan selalu sanggup mencakup
dunia. Ironisnya, bagi mereka kekuasaan itu justru selalu
genting. Tiap kata bisa mereka anggap peluru yang
ditembakkan dengan peredam.

Mungkin tak sepenuhnya salah. Kita hidup dalam


masa Foucault. Kita makin menyadari bahwa kekuasaan,
yang bersifat relasional, sebenarnya selalu terkait dengan
―wacana‖ (discourse)—dengan persuasi, komunikasi,
melalui penggunaan bahasa, pengukuhan simbol-simbol,
perumusan hukum, pengelolaan ritual, juga penggunaan
gertak, teror, dan kekerasan. Senantiasa untuk
menegakkan legitimasi.

Tapi wacana, sebagaimana juga kekuasaan, tak


pernah berada di satu tempat. Ada yang menguasai, ada
yang dikuasai, tapi selalu interaktif dan tak stabil.
―Wacana menjadi wahana kekuasaan,‖ kata Foucault,
―juga memproduksi dan meneguhkannya, tapi dalam pada
itu menggerogoti dan menelanjanginya, hingga membuat
kekuasaan keropos dan bisa dirintangi.‖

Catatan Pinggir | 44
Kekuasaan dengan demikian tak pernah stabil, di
masa lalu, apalagi di masa ―modernitas yang cair‖ ini.

Sajak-sajak Fayadh mungkin terasa menunjukkan


ketakstabilan itu. Ia berbicara tentang ―tuhan-tuhan yang
telah kehilangan harga dirinya‖.

Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 45
Catatan Pinggir | 46
Paranoia
Senin, 29 Februari 2016

O
di ergo sum. Aku membenci, maka aku ada.

Di sebuah rumah yang terletak di gang


yang mesum di Paris, 24 Maret 1897, seorang
lelaki berumur 67 tahun tampak menulis. Kita tak
tahu siapa dia. Jika kita ikuti tutur Sang Pencerita dalam
novel Umberto Eco Il cimitero di Praga (Pekuburan Praha)
ini, memang tak seorang pun di awal kisah ini yang
―sudah dinamai‖.

Orang itu sendiri pun tak ingat siapa dirinya. Dua


hari sebelumnya, ketika ia bangun tidur, ia tahu ia ―Kapten
Simonini‖. Tapi kemudian ia menemukan fakta-fakta lain:
ia adalah Pastor Dalla Piccola, ―atau orang yang dianggap
bernama itu‖.

Ia tahu: ia ―hilang ingatan‖. Kata ini, anehnya,


justru membuatnya teringat percakapan di Chez Magny
sekian tahun yang lalu. Di rumah makan itu ia berkenalan
dengan sejumlah dokter, dan terutama dengan seorang
dokter muda dari Austria, Sigmund Froïde. Mereka
berbicara tentang kepribadian ganda dan hubungannya
dengan jiwa yang mengalami trauma. Trauma ini bisa

Catatan Pinggir | 47
dikurangi dampaknya dengan merekonstruksi pengalaman
masa lalu. Tapi Simonini tak ingin mengisahkan kembali
masa lalunya di depan orang lain. Ia menulis.

Harus segera saya susulkan, ini bukan novel


tentang kelainan jiwa. Il cimitero di Praga membawakan
sesuatu yang lebih gelap. Kerancuan ―siapa aku‖ dalam
hidup tokohnya berkait dengan cerita di baliknya: ia
adalah identitas yang berubah-ubah, selama bertahun-
tahun. Ia seorang penipu—atau lebih tepat: ia seorang juru
palsu yang terus-menerus menyamar.

Ia memproduksi dan menjual dokumen palsu untuk


apa saja, dalam perkara warisan ataupun politik. Ia siap
membuat kebohongan asalkan dibayar mahal. Pernah ia
jadi agen rahasia ganda yang memperdaya kedua pihak
yang bermusuhan. Untuk mempertahankan para penguasa,
ia menyusup ke pelbagai gerakan politik. Ia rapi dalam
melipatgandakan fitnah. Simonini mengikuti pesan: untuk
menuduh seseorang, ia tak perlu cari bukti. ―Lebih mudah
dan lebih murah menciptakannya.‖

Il cimitero di Praga (versi Inggris: The Prague


Cemetery) memang dimaksudkan jadi sebuah cerita
tentang seorang manusia yang culas, sinis, tanpa moral.
Saya membacanya dengan sedikit lelah tapi kagum: Eco
begitu asyik menggambarkan detail kehidupan Eropa abad
ke-19, mirip keriangan hati seorang turis yang baru
mengunjungi sebuah negeri eksotis. Ada liku-liku kota dan

Catatan Pinggir | 48
racikan kuliner, ada skandal politik dan roman picisan.
Hasilnya: sebuah novel semi-dokumenter. Kecuali
Simonini, semua tokohnya, termasuk Freud yang dieja jadi
Froïde, muncul dari sejarah.

Tapi justru karena itu apa yang gelap dalam novel


yang datar ini jadi terasa kian gelap. Motif yang
menggerakkannya kebencian. Eco mempertajamnya
dengan menjadikan kebencian itu bagian utama watak
Simonini. Si Italia blasteran ini membenci siapa saja—
orang Italia, Jerman, Prancis, muslim (―Saracen‖), padri
Jesuit, pengikut Freemasons, Martin Luther, dan tentu saja
orang Yahudi. ―Aku bermimpi tentang orang Yahudi tiap
malam selama bertahun-tahun,‖ tulisnya. Dalam dokumen
palsu yang kemudian terkenal ia sebut pekuburan tua
orang Yahudi di Kota Praha, sebuah tempat angker di ibu
kota Cek itu, sebagai tempat utusan 12 suku Bani Israel
menyusun ―Protokol Para Sesepuh Zion‖, sebuah agenda
―menaklukkan dunia‖.

Novel tentang pelbagai kepalsuan ini memang


sedikit melebih-lebihkan. Tapi di balik kata-kata Simonini
tergambar purbasangka yang terpendam lama dalam
masyarakat Eropa—purbasangka yang jadi sumbu api
kekerasan di abad ke-19, Naziisme dan Holocaust di abad
ke-20, sikap anti-Islam dan kaum imigran di abad ke-21.

Pada 20 Februari yang lalu Eco meninggal. Novel


terakhirnya ini mungkin warisannya yang tepat waktu:

Catatan Pinggir | 49
sebuah cerita tentang abad ke-19 yang menjelaskan bau
busuk hari ini. Seperti dahulu, kebencian, juga kebencian
sosial, tetap jadi unsur utama pengukuhan identitas,
pembentukan ―aku‖. Jika saya membenci seseorang, kata
Simonini, ada sesuatu yang hadir dalam diri saya. Diri
saya tak kosong lagi. Odi ergo sum.

Kebencian tentu tak sendirian. Ketika orang lain


adalah oknum-oknum yang menjijikkan yang mengancam,
sebuah benteng ditegakkan, menara pengawas dan bedil
disiapkan. Paranoia tumbuh jadi pedoman. Dengan mata
setengah terpicing karena membidik, para pembenci
melihat: di luar gerbang hanya ada persekongkolan jahat
yang mengepung.

Dari sini berkecamuklah ―theori konspirasi‖,


campuran khayal dengan dusta. Di dunia, juga di
Indonesia, kini ia laku keras. Dusta bisa memikat, dan
kepalsuan bisa mengubah sejarah, ketika orang haus akan
satu kebenaran yang menjelaskan 1.000 peristiwa.

Tapi mengapa tak kita biarkan dunia tetap punya


teka-teki yang penuh kebetulan? Sebuah enigma yang
ganjil, namun mempesona?

Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 50
Amangkurat
Senin, 07 Maret 2016

A mangkurat adalah kesendirian:


berteman di sebuah pulau.
raja yang tak

Ketika mulai Januari 1648 penguasa Mataram itu


memindahkan keratonnya dari Karta ke Plered, di lokasi di
Bantul itu Sungai Winongo sudah dibendung. Danau-
danau buatan sudah mulai dibangun di sekitar istana.

Pekerjaan itu seperti tak pernah berhenti.

Tiga belas tahun kemudian, pada 1661, sebuah


laporan orang Belanda masih menyebutkan bahwa Raja
tetap sibuk ―menjadikan tempat kediamannya sebuah
pulau‖. Dua tahun berikutnya Amangkurat memerintahkan
agar dibuat ―sebuah kolam besar di sekeliling istananya‖.
Pada 5 September tahun itu juga Baginda menyiapkan lagi
pembuatan sebuah batang air di belakang keraton. Sebulan
setelah itu penggalian ―laut‖ Segarayasa dimulai.

Mataram dimobilisasi. Tiga ratus ribu orang


bekerja, bahkan penduduk daerah Karawang dipanggil—
tak peduli sawah mereka terbengkalai, dan kekurangan
pangan terjadi.

Catatan Pinggir | 51
Sebab kehendak sang Raja harus jadi. Dan
memang jadi. Pada 1668, seperti disebut dalam buku De
Graaf, Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I,
seorang pejabat VOC berkunjung. Ia berjalan melalui
―jembatan di atas parit yang mengelilingi istana‖.

Parit dan benteng: Amangkurat tak pernah percaya


kepada siapa pun di luar dirinya. Ia dirikan keraton baru
dengan batu bata, bukan lagi kayu seperti istana ayahnya,
Sultan Agung. Ia langsung mengawasi sendiri
pembangunannya. Beberapa pejabat tinggi yang tak mau
ikut bekerja diperintahkannya untuk diikat, dibaringkan di
paseban, dijemur. Sedangkan penduduk, seperti ditulis
dalam Serat Kandha, harus ―membakar banyak sekali batu
bata‖.

Benteng itu akhirnya berdiri; 13 November 1659


menyebutkan tembok keraton itu lima depa tingginya dan
dua depa lebarnya. Tapi Baginda toh masih ingin
menambahkan lagi ―tembok yang serupa sebuah perisai,
setinggi dada‖.

Syak wasangka tampaknya sejak mula merundung


Amangkurat, yang menyebut diri Ingalaga (―di kancah
peperangan‖). Di hari ketika ayahnya yang sudah dekat
ajal memaklumkan putra sulungnya sebagai Raja Mataram
yang baru, semua pintu gerbang, gudang senjata, dan
depot mesiu dijaga ketat. Keluarga kerajaan ditahan

Catatan Pinggir | 52
selama beberapa hari di dalam istana, agar tak bisa
mengadakan komplotan.

Baru setelah raja tua, Sultan Agung,


mengembuskan napas yang penghabisan, sang raja muda
muncul di balairung. Babad Tanah Jawi mencatat, waktu
itu tiba-tiba Pangeran Purbaya, kakak Sultan almarhum,
naik ke takhta. Bersikap seolah-olah ia yang jadi
susuhunan, ia menantang siapa yang berani melawannya.
Yang hadir menundukkan kepala ketakutan. Merasa aman,
Purbaya pun turun dari dampar, bersimpuh di lantai,
menyembah raja yang baru.

Kecemasan membayang di jam-jam itu: betapa


gentingnya pergantian kekuasaan. Bukankah sebagian
besar peperangan di Tanah Jawa adalah perang suksesi?

Dan terbukti. Di tengah kesibukan Mataram


membangun keraton Plered, adik Raja, Pangeran Alit,
menyiapkan penyerbuan. Ia hendak merebut takhta. Tapi
sebelum bergerak, kedua pembantu dekatnya ketahuan,
terjebak, dan dibunuh. Kepala mereka dipersembahkan
kepada Raja. Sang adik akhirnya menyerang hanya
dibantu enam lurah dengan anak buah yang tak seberapa—
dan tewas terluka kerisnya sendiri yang beracun.

Konon, Amangkurat merasa sedih atas kematian


itu. ―Aku akan membela adikku,‖ demikian ia dikutip
dalam Babad Tanah Jawi. Baginda pun melukai bahunya

Catatan Pinggir | 53
sendiriâ€‖cara yang aneh untuk ―membela‖ seseorang.
Tapi dalam diri Amangkurat kita tak tahu benarkah
penguasa ini—yang bertakhta sendirian seperti pulau yang
dikelilingi laut—bisa punya empati kepada orang lain.
Segera setelah menyatakan berkabung, ia berkata, ―Hatiku
sudah lega.‖

Dan seraya tampil dengan rambut kepala yang


dicukur sebagai tanda belasungkawa, ia perintahkan empat
orang kepercayaannya menyiapkan sebuah pembunuhan
besar-besaran. Ia menduga para ulama di Mataram terlibat
pemberontakan Pangeran Alit. Setelah nama, keluarga,
dan alamat semua tokoh agama itu dicatat, dengan isyarat
tembakan meriam dari istana, pembantaian pun dimulai.
Dalam tempo 30 menit 5.000-6.000 ulama (termasuk para
istri dan anak-anak) dihabisi.

Kebuasan tak berhenti di situ. Hari itu Raja juga


memerintahkan tujuh orang pembesar dibunuh bersama
keluarga mereka....

―...betapa angkuh dan kejamnya orang-orang ini,‖


tulis Van Goens, orang Belanda yang mencatat peristiwa
berdarah pembangkangan Pangeran Alit.

Mataram memang kian suram. Tangan


Amangkurat berlumur darah, sampai akhirnya Baginda
meninggal sakit dalam pelarian, setelah pemberontakan
Trunajaya meletus dan Mataram jatuh.

Catatan Pinggir | 54
Ketika sakitnya memberat, Amangkurat minta
sereguk air kelapa. Putra mahkota pun menyiapkannya.
Tapi sejenak Baginda menatapnya, ―Aku tahu maksudmu,
kau ingin mempercepat.‖

Kejatuhan dan kekejaman tak pernah punya teman.

Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 55
Catatan Pinggir | 56
Sabangau
Senin, 14 Maret 2016

S
aya bosan Kahlil Gibran, tapi sejenak kata-katanya
melintas di kepala:

Pohon-pohon adalah sajak yang ditulis bumi


ke atas langit.

Kaki saya mencari injakan akar di hutan gambut


itu, sambil berjalan setapak demi setapak di air kemerahan
yang menggenang di antara pokok-pokok jelutung dan
ramin. Dahan batang-batang muda itu masih lebat
merintangi jalan, tapi segera tampak: "sajak yang ditulis
bumi" telah hampir terhapus di Sungai Sabangau.

Jutaan pohon telah ditebang. Hutan tropis


Kalimantan Tengah seluas 568.700 hektare punah.
Keserakahan manusia ―merampas kayu meranti tak henti-
hentinya untuk memperkaya diri‖ telah melukai
lingkungan ini sampai ke intinya.

Lima belas tahun lamanya, sejak 1980, penjarahan


itu berlangsung.

Catatan Pinggir | 57
Manusia adalah ―super-predator‖, kata orang. Tapi
saya kira bukan, sebelum datang pasar besar, modal besar,
kuasa politik besar, dan kerakusan besar. Dan di
Indonesia, 1980-1995, keempat anasir itu bergabung:
klimaks zaman yang bernama ―Orde Baru‖. Negeri
dibangun dengan ke-tak-sabar-an yang destruktif.

Tahun 1995: Presiden Soeharto memutuskan 1,5


juta hektare hutan gambut Kalimantan Tengah
dimusnahkan untuk membuat sawah. Rakyat setempat tak
bisa menolak. Para pakar tahu proyek itu sebuah kesalahan
(padi tak tumbuh di bekas lahan gambut, yang tingkat
keasamannya tinggi), tapi mereka tak bisa berbicara.
Dalam novel Sarongge Tosca Santoso digambarkan
bagaimana niat untuk menyiapkan lahan pangan itu
berakhir dengan malapetaka.

Dalam sepucuk surat kepada kekasihnya, Husin,


Karen yang mengunjungi tempat itu bercerita: cadangan
air dikeringkan, diubah jadi saluran irigasi yang berpuluh-
puluh meter panjangnya. Parit-parit baru membuat gambut
tak mampu lagi menyerap air bila musim hujan tiba.
Kemarau jadi bencana: air kurang, hutan di sekitar selalu
terbakar. Penduduk hidup terjepit. Tulis Karen: ―...hasil
hutan pun tak bisa didapat lagi.‖

Di bawah ―Orde Baru‖, kemerdekaan bersuara tak


mati sendirian. Hutan ikut mati. Ketika politik jadi
panglima dan ilmu ditaklukkan, tak perlu lagi hasil

Catatan Pinggir | 58
penelitian. Ketika segala sesuatunya dipaksakan, akal
sehat tak berfungsi.

Novel Sarongge bercerita: ketika Presiden


Soeharto datang untuk melihat sendiri ―Proyek Lahan
Gambut‖ itu, para bawahan bergerak cekatan. ―Pohon-
pohon pisang yang sedang berbuah dipindahkan... ke
kebun bekas gambut. Padi-padi yang hampir panen dari
sawah-sawah Kalimantan Selatan dicabuti, untuk [juga]
dipindahkan.... Seolah lahan gambut itu memang sudah
siap berproduksi. Memenuhi mimpi sang presiden....‖

Dilihat dari atas, yang di bawah sering menipu.


Raja-raja lama dan dunia modern melakukan kesalahan
yang sama. ―Manusia modern merasa bisa menguasai
alam, dan mengubah semaunya,‖ tulis Karen pula.
―Padahal, banyak hal yang tak kita ketahui....‖

―Manusia modern‖ jenis itu tak cuma bagian yang


tragis sejarah Indonesia. Pada akhir 1980-an, James Scott
menulis telaah yang memaparkan melesetnya ideologi
―modernis tinggi‖ ketika penguasa dan birokrasi Negara
melihat ke kehidupan sehari-hari di "bawah". Seeing Like
a State memaparkan pelbagai contoh state-optics yang
tajam fokusnya tapi luput menangkap kenyataan yang
rumit. Contoh yang menarik berkembang di Prusia dan
Saxony di abad ke-18.

Catatan Pinggir | 59
Di kerajaan Jerman itu, tatapan ―ilmu‖
merumuskan hutan sebagai ―arus komoditas yang bisa
dijual‖. Semua diringkus bagi pendapatan Kerajaan. Maka
hilanglah pepohonan, semak belukar, dan tanaman yang
tak laku. Bahkan juga disisihkan tetumbuhan yang bisa
dibuat obat, pohon yang bisa diraut jadi permainan dan
dibuat jadi benda keindahan.

Akhirnya, ukuran pohon dibakukan, dan


ditetapkanlah pohon yang dianggap normal,
Normalbäume. Hutan pun jadi ―mesin komoditas tunggal‖
yang gampang serentak terserang hama atau rusak oleh
badai.

State-optics: Negara memandang hutan,


menyederhanakannya—dan tak sanggup
menyelamatkannya. Hutan terbakar, berkali-kali, tapi api
selalu dilihat dari atas: dari keputusan Presiden, dari meja
birokrasi, dari pesawat penyiram air yang tak pernah
sanggup memadamkan bara.

Agak di luar Kota Palangkaraya saya bertemu


dengan Januminro Bunsal. Laki-laki 56 tahun ini dengan
tenaga sendiri merestorasi hutan gambut, sepetak demi
sepetak. Ia adalah antitesis bagi state-optics: orang Dayak
yang tak menatap hutan dari jendela perpustakaan. Ia
merawat pepohonan dengan pengetahuan yang rinci,
pengalaman yang tak sebentar, dan dengan akrab dan
telaten. Maka ia tahu bahwa cara memadamkan kebakaran

Catatan Pinggir | 60
hutan bukanlah menyewa pesawat penyemprot air yang
mahal. Januminro membangun puluhan sumur bor dengan
pompa penyemprot dan mematikan api yang
memusnahkan pohon-pohon dari dekat.

Ia tak mengutip Gibran. Tapi ia tahu pohonku


bukanlah pohonku, melainkan hidup yang melindungi
bumi anak-anakku, anak-anakmu.

Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 61
Catatan Pinggir | 62
Einstein
Senin, 21 Maret 2016

“Saya lahir 14 Maret 1879 di Ulm....”

E instein menuliskan biodatanya pada suatu hari di


tahun 1932. Akademi Ilmu Pengetahuan Kaiser
Leopold, sebuah institusi yang sangat bermartabat—
Goethe pernah jadi salah satu anggotanya—memintanya
bergabung.

Ada sembilan pertanyaan yang harus dijawab.


Pada pertanyaan ke-8 ia mengatakan, ia ―pernah diberi
beberapa medali‖. Tapi ia tak merinci apa saja
penghargaan itu. Ia juga tak menyebutkan bahwa pada
1921 ia pernah menerima Hadiah Nobel untuk Fisika....

Baginya, penghargaan adalah bagian puji-pujian


yang sering ia terima dengan enggan—atau dengan ironi.
Sebagian besar ia sembunyikan di satu sudut yang ia
namai Protzenecke, ―pojok bual‖. Baginya, yang lebih
penting adalah kerja keilmuan—yang sering harus
menyendiri.

Uang tak pernah memancing Einstein. Yang


diterima dari Hadiah Nobelnya ia dermakan. Di tahun

Catatan Pinggir | 63
1927, ia bantu 150 keluarga miskin di Berlin. Suatu hari ia
mendapat US$ 1.500, sumbangan Rockefeller Foundation.
Ceknya ia pakai buat penyekat halaman buku; bukunya
hilang.

Pernah ia kaget dijanjikan honorarium tinggi untuk


menulis di sebuah majalah; ia pun menawar agar dibayar
separuh saja dari jumlah itu. Ia juga baru mau bergabung
dengan Institute for Advanced Studies di Universitas
Princeton jika jumlah gajinya dipotong. Ia menolak
menerima pemberian, apalagi ketika dihadiahi sebuah
violin Guarnerius seharga US$ 33.000. Ia merasa alat
musik itu terlalu berharga buat kepandaiannya bermain
violin.

Ia tak mau mengambil banyak, ia selalu memberi


banyak. Ia membalas surat-surat yang mengalir ke
alamatnya dari mana saja: sarjana fisika yang termasyhur,
Ratu Belgia, atau anak kecil yang ingin dihibur. Ketika ia
terima sekaleng tembakau dari seorang buruh yang
kehilangan kerja, ia membalasnya dengan menulis khusus
seuntai sajak terima kasih. Seorang kelasi menulis surat
bahwa di kapalnya ada kucing yang ikut naik dari
pelabuhan Jerman, dan awak kapal memberinya nama
―Albert Einstein‖. Sang pemenang Nobel membalas,
mengirim salam kepada kucing itu.

Einstein memang bukan orang yang gampang


bilang ―tidak‖ kepada mereka yang tak didengar. Ia tahu

Catatan Pinggir | 64
kemasyhurannya bisa berguna untuk orang banyak—
terutama untuk menghimpun dana, atau dukungan suara,
untuk tujuan seperti gerakan perdamaian.

Tentu saja untuk nasib orang-orang Yahudi yang di


Eropa berabad-abad terancam. Einstein seorang Zionis
yang aktif. Tapi ia tak melihat Zionisme sebagai gerakan
nasionalis. Zionisme, tulisnya di awal 1946, memberi sisa
kaum Yahudi kekuatan batin untuk menanggungkan
hantaman, "dengan tegak dan tanpa kehilangan harga diri
yang sehat".

Ketika Nazi berkuasa di Jerman—waktu itu


Einstein sudah tak di sana lagi—rumahnya disita. Teori
Relativitas dianggap ilmu ―Yahudi‖ dan ―Komunis‖
(meskipun di Uni Soviet yang komunis teori itu juga
dihantam sebagai anti-―materialisme dialektis‖).

Di zaman penuh kebencian itu, ada saat-saat


Einstein nyaris putus asa. ―Tampaknya orang selalu butuh
setan untuk saling membenci; dulu itu kepercayaan agama,
kini negara,‖ tulisnya setelah usai Perang Dunia I. Ia tak
yakin nalar manusia bisa menyelamatkan. ―Nalar bukanlah
satu cara mempertalikan manusia di bumi....‖

Tapi Einstein tahu, dunia yang dibentuk nalar


bukanlah segala-galanya. Ia, yang membaca karya-karya
Yunani klasik tanpa terjemahan (tapi tak begitu menyukai
Plato, yang baginya aristokratik), yang jatuh cinta dan

Catatan Pinggir | 65
menikah dengan gadis Katolik dan punya anak di luar
nikah, yang mencintai musik dan bisa menulis tinjauan
kritis atas lakon George Bernard Shaw, mengalami bahwa
ada sesuatu yang lain dalam diri manusia. Yakni:
dorongan etis, yang disebutnya ―moralitas‖.

Bukan agama. ―Agama, menurut kodratnya, tidak


toleran,‖ katanya. ―Moralitas sepenuhnya persoalan
manusia,‖ tulis Einstein kepada seorang rabi di Chicago
yang ingin mengaitkan Teori Relativitas dengan Yudaisme
di akhir 1939.

Tak berarti manusia bisa menjawab segala hal.


Ilmuwan hanya mencoba-coba mengutip kebenaran. Alam
dan eksperimen, tulis Einstein, bukanlah hakim yang bisa
diduga dan juga ―bukan hakim yang sangat bersahabat‖.
Lebih sering Alam dan eksperimen mengatakan ―Tidak‖
kepada satu teori, atau paling ramah ―Barangkali‖. Malah
sangat mungkin tiap teori kelak akan bertemu dengan
―Tidak‖.

Kerendahan-hati itu punya sifat ―religius‖.


―Religius‖ bagi Einstein adalah rasa takjub menyaksikan
―skema yang menyatakan diri di alam semesta materi‖.
Tapi ketakjuban itu tak harus membuat kita mewujudkan
Tuhan ―yang bisa mengajukan tuntutan kepada kita‖.

Dengan kata lain, manusia membentuk sendiri


hubungan etis di antara sesama dari kerendahan-hati itu.

Catatan Pinggir | 66
―Alam bukanlah insinyur atau kontraktor,‖ jawab Einstein
ketika ditanya apa yang akan terpikir olehnya sebelum
meninggal.

Ia meninggal 18 April 1955.

Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 67
Catatan Pinggir | 68
Herakleitos
Senin, 28 Maret 2016

“Semua hubungan yang tetap, yang cepat membeku,


beserta deretan prasangka dan opininya yang kuno,
disapu hanyut. Semua hal yang baru berbentuk dengan
segera jadi usang… Semua hal yang solid meleleh ke
udara…”

D i tahun 1848, dengan kalimat yang dramatis itu,


Manifesto Komunis menggambarkan datangnya
zaman ketika modal memasuki kehidupan sosial. Marx
dan Engels tak meramal ke masa depan; mereka hanya
memaparkan betapa menakjubkannya kaum borjuis
mengubah dunia. Dan mengguncang-guncangnya.

Tapi di abad ke-21, kalimat itu jadi mirip nujum.

Setelah satu abad merupakan sistem yang kukuh


(yang disebut Werner Sombart sebagai ―kapitalisme‖),
menjelang akhir abad ke-20, gerak modal, yang kini ada di
mana-mana, kembali ditandai ketidakstabilan: kapital jadi
global, bergerak dalam ―deteritorialisasi‖, batas wilayah
raib. Ada yang menyebutnya sebagai ―modal yang tak
sabar‖. Nilai saham, perpindahan milik, perpindahan
tempat dan tenaga kerja, arus jasa dan benda, tak pernah

Catatan Pinggir | 69
bisa ajek. Bung Karno pernah menggambarkan revolusi
sebagai dinamika ―menjebol dan membangun‖, tapi
sebenarnya kapitalisme yang pada akhirnya demikian.
Tema guncangan hari ini tak jauh berbeda dari masa
Manifesto Komunis.

Kita tengah terseret hidup ke dalam kondisi


Herakleitosian. Kata-kata Herakleitos, pemikir Yunani
pra-Sokrates yang hidup 500 tahun sebelum Masehi, ini
berlaku sekarang: ―Panta rhei… tiap hal berubah dan tak
ada yang tetap‖, dan ―kita tak pernah bisa masuk ke dalam
arus yang sama‖. Atau: ―Semua entitas bergerak dan tak
ada yang berhenti‖. Satu-satunya yang permanen adalah
perubahan itu sendiri.

Sosok kapitalisme sendiri mengalami mutasi,


seperti organisme yang berubah dalam lingkungan yang
berbeda. Ketika teknologi digital masuk ke dalam
kehidupan, para kapitalis terkadang seperti tak mengenali
posisi mereka sendiri lagi. Kini semboyan lama ―pembeli
adalah raja‖ bukan lagi menghadirkan konsumen sebagai
konsep yang abstrak. Dengan pelbagai instrumen
interaktif, konsumen—sang "raja"—adalah orang seorang
yang konkret, mirip pelanggan di kedai kecil di masa lalu.
Pemilik modal tak bisa sewenang-wenang mengarahkan
pasar. Dan pasar dan persaingan pun berubah jadi sangat
heterogen, dengan cepat. Kini ada yang melihat
munculnya distributed capitalism—yang belum disadari
pengusaha taksi Blue Bird, misalnya.

Catatan Pinggir | 70
Perubahan kendali modal tak hanya di sana. Di
masa lalu, kerja diorganisasi dalam piramida yang kukuh,
dengan struktur terpusat; waktu kerja buruh dihitung
dengan standar yang tetap. Kini apa yang disebut ―kerja
imaterial‖ mulai memimpin dinamika produksi:
menghasilkan ide-ide, survei, program, teks, desain,
konsultasi psikologis, layanan medis.... Hasilnya bukan
cuma benda dan jasa, tapi juga komunikasi dan kerja
sama, bahkan gaya hidup. Waktu kerja tak dapat
dibakukan (berapa harga desain sebuah logo jika dihitung
dengan jam kerja?), kendali manajemen tak bisa jadi
linear. Pengawasan institusional atas arus hasil kerja dan
informasi tak bisa lagi utuh terpadu.

Satu dasawarsa yang lalu ada yang melihat


perubahan ini dengan optimisme. Antonio Negri dan
Michael Hardt menulis Empire (2000) dan Multitude
(2004) untuk memperlihatkan, dengan bergelora, bahwa
pekerja di bawah kapitalisme yang Herakleitosian ini akan
jadi kekuatan alternatif. Mereka bukan proletar, karena
hubungan dan sifat kerja sudah berubah. Mereka bukan
bangsa, karena negara-bangsa jadi tak relevan dalam
hubungan modal-dan-pekerja ini. Mereka adalah
multitude. Mereka, tanpa rencana tanpa organisasi,
muncul sebagai semacam sosok, Gestalt, dari arus deras
informasi, jaringan antarmanusia, dengan hierarki yang tak
menentu, dengan pelbagai kontradiksi dan dikotomi yang
menyebar—sebagaimana kontak yang tak selamanya
disadari antara buruh di Cengkareng dan desainer di

Catatan Pinggir | 71
Milan. Mereka merupakan sumber demokratisasi yang
sekarang sedang menjalar.

Menarik bahwa disuarakan dari semangat yang


antikapitalisme, Empire dan Multitude menghasilkan
optimisme yang sama dengan apa yang disuarakan
Thomas Friedman yang datang dari sisi lain: The Lexus
and the Olive Tree berbicara bukan tentang pekerja,
melainkan konsumen dan perannya dalam demokratisasi.

Bisakah kita berharap? Lebih dari satu dasawarsa


kemudian, belum ada tanda yang meyakinkan bahwa
optimisme itu berdasar. Demokratisasi yang terjadi di
Dunia Arab, misalnya, punya sisi buruk dan baik. Dalam
zaman Herakleitosian ini, kita toh tak bisa melupakan apa
yang dikatakan sang filosof kuno: alam semesta yang
paling apik (kallistos kosmos) pun hanya ―sebuah
onggokan sampah yang acak‖. Kita hidup dalam keadaan
serba mungkin, tidak ditentukan sebuah kodrat. Dengan
kata lain, sebuah keadaan yang acak, tak berarah.

Mungkin itu nasib yang buruk—atau justru dasar


kemerdekaan manusia.

Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 72
Rivera
Senin, 08 Agustus 2016

G ambar di kanvas: seorang perempuan berdiri dengan


baju kurung warna ros, berselendang, memegang
seikat kembang, sopan. Diego Rivera yang melukisnya
mungkin tak akan melihatnya sebagai bagian dari
pendiriannya: ―Semua seni adalah propaganda....‖

Aneh, memang, Gadis Melayu dengan Bunga


dalam pameran Koleksi Istana Kepresidenan di Galeri
Nasional bulan ini adalah karya Rivera sang perupa
revolusioner Meksiko. Sosok perempuan itu teramat
kalem. Tak ada yang gemuruh di sekitarnya. Tak ada
keringat, gerak, kepedihan. Semua jinak. Kanvas ini tak
ingin meyakinkan, mengubah, menggempur. Malah
membosankan—jauh dari gelora dalam lukisan Sudjojono
yang mempesona.

Tak terasa energi Rivera yang biasa.

Kita ingat El Vendedor de Alcatraces (―Penjual


Bunga Lili‖), karya tahun 1941, sebuah contoh yang
terkenal. Rivera melukis beberapa perempuan penjual
bunga sebelumnya, tapi kanvas ini menampilkan
ekspresinya yang paling kuat: sapuan kanvas yang penuh

Catatan Pinggir | 73
untuk latar yang gelap, sesosok tubuh perempuan dengan
warna kulit moreno dan rambut hitam lurus. Rivera
menampilkan seorang pekerja Indian yang memanggul
bakul kembang yang lebih besar ketimbang tubuhnya.
Kembang itu bisa berarti beban yang dipertalikan ke
badannya, beban yang berlebihan, bisa juga berarti sesuatu
yang indah tapi harus diperdagangkan. Atau mungkin
lukisan ini menyiratkan apa yang menggugah hati dalam
kerja bersama: di belakang perempuan yang merunduk
berlutut itu ada sepasang kaki dan tangan yang menolong
memasangkan beban besar itu di punggungnya.

El Vendedor bisa dilihat sebagai sebuah komentar


sosial-politik—sebuah ―propaganda‖, tak berbeda dengan
beberapa mural yang dibuat Rivera: karya ekspansif yang
menyampaikan sikapnya tentang manusia dalam sejarah.

―Semua seni adalah propaganda...,‖ katanya.


Dalam arti tertentu Rivera benar, tapi kiranya catatan
sastrawan revolusioner Tiongkok Lu Xun bisa
menambahkan frasa yang lebih tepat: ―Tapi tak semua
propaganda adalah seni.‖ Atau, tambahan dari saya: seni
mengandung propaganda, tapi bukan propaganda yang
mengulangi represi lama atau menghasilkan represi baru.

Di abad ke-20, seni bisa jadi propaganda dan


sebaliknya, dengan sah dan berarti, jika yang
menggerakkan adalah, untuk memakai istilah Rancière,
―disensus‖—kata lain untuk penolakan terhadap

Catatan Pinggir | 74
konsensus yang menekan. Di abad ke-20 dan sampai hari
ini, meskipun tanpa berteriak, seni adalah bagian
emansipasi sebagai proses yang hidup. Yang berperan
bukan cuma negasi yang disampaikan sang seniman
terhadap kebekuan, melainkan juga bagaimana karya itu
diterima atau ditolak orang di suatu masa, di suatu tempat.

Pada 1934, Rivera menerima pesanan dari keluarga


jutawan Amerika Rockefeller untuk membuat mural di
Rockefeller Center, di tengah Manhattan, New York.
Themanya: manusia di persimpangan jalan. Di dalamnya
diinginkan ada gambar seseorang yang menatap ke depan
untuk memilih jalan ke masa depan yang lebih baik,
meskipun tak pasti.

Rivera pun menyampaikan sebuah sketsa


rancangan muralnya. Tapi ternyata kemudian yang
dibuatnya berbeda.

Ia agaknya terusik cemooh kalangan kiri New


York karena ia, seorang seniman komunis, bersedia
bekerja untuk propaganda seorang kapitalis besar. Maka di
mural itu ia tambahkan dua gambar: di sebelah kanan
gambar Lenin, pemimpin revolusi Rusia; di sebelah kiri
gambar Rockefeller, sedang mereguk martini di dekat
seorang pekerja seks.

Tak mengherankan, proyek itu gagal. Mural Rivera


bersejarah justru karena dihapus dari dinding.

Catatan Pinggir | 75
―Disensus‖ seperti ini tak hanya ia terapkan kepada
sang kapitalis. Pada 1938 ia ikut menandatangani
―Manifesto bagi Sebuah Seni Revolusioner yang
Independen‖. Penyusunnya Trotsky, pemimpin komunis
Rusia yang menyingkir dari kekuasaan Stalin di Moskow
(dan kemudian dibunuh), dan André Breton, sastrawan
pelopor (―Paus‖) Surealisme; ia juga komunis.

Manifesto itu mengutip Marx yang mengatakan


bahwa seorang penulis tak memandang kerjanya sebagai
sarana, melainkan sebuah tujuan sendiri. Dalam hubungan
itu, ―Seni resmi Stalinisme‖, kata lain dari ―realisme
sosialis‖, dikecam. Politik Partai bukanlah panglima.
Manifesto itu justru menyerukan kehidupan seni yang
―tanpa otoritas, tanpa dikte, tanpa sedikit pun perintah dari
atas‖.

Rivera beberapa kali dipecat dari keanggotaan


Partai Komunis. Ia kembali bergabung. Meskipun
demikian, seperti pada Picasso—yang juga seorang
komunis—seninya tak pernah bersedia mengikuti formula,
tak pernah patuh pada apa pun. ―Saya tak pernah percaya
kepada Tuhan, tapi saya percaya kepada Picasso,‖
katanya.

Kemudian ia juga meninggalkan Picasso: hidup


kreatif memang tak bisa ajek.

Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 76
Pilatus
Senin, 04 April 2016

E cce homo! Apa yang dimaksudkannya? Apa yang


dikehendaki wakil Imperium Romawi itu, dalam
bahasa Latin, dari penduduk Yerusalem yang berkelimun
tak sabar menunggu di bawah balkon? Ataukah teriak itu
ditujukan kepada Kaiafas dan para tokoh agama yang
hadir di sana, yang menuntut agar "orang itu" dihukum
mati?

Ecce homo! Lihat orang itu! Tapi buat apa?

Barangkali inilah yang dimaui Pontius Pilatus: agar


orang ramai itu bisa tambah yakin menista ―orang itu‖—
tahanan yang kepalanya telah mereka pasangi selingkar
duri sebagai cemooh. Atau mungkin supaya mereka bisa
menatapnya sepuas-puasnya dengan benci—dan
mendukung keputusan hukuman mati atas Yeshua itu.
Bukankah sudah lama rabi muda itu dituduh menghasut
orang banyak, agar menyimpang dari ajaran agama?

Ataukah Pilatus bermaksud sebaliknya?


Mungkinkah ia berseru ―Ecce homo!‖ justru agar khalayak
ramai itu punya rasa belas kepada wajah yang tulus tapi
luka-luka itu? Atau supaya mereka menyadari—setelah

Catatan Pinggir | 77
melihat dari dekat sosok tahanan itu—bahwa mereka
sedang hendak menghukum mati seseorang yang tak bisa
disederhanakan dengan hukum dan kategori? Atau agar
para tokoh agama itu berpikir kembali bahwa dengan
dalil-dalil mereka yang diresmikan Tuhan sekalipun,
mereka tetap khilaf dalam menafsirkan seorang manusia—
makhluk 1.001 kemungkinan dan 1.001 kemustahilan?

Ecce homo! Pilatus memperlihatkan paras Yeshua.


Mungkin ia ingin menunjukkan bahwa paras itu, seperti
paras siapa pun, adalah wujud yang singular, dan sebab itu
tak ternilai, tak bisa dipertukarkan dengan siapa pun....

Tapi akhirnya tak mudah mengerti apa maksud dua


patah kata Latin yang diteriakkan dari balkon hari itu.
Akhirnya kita harus menimbang pejabat Romawi itu:
jahat, tidak-jahat, jahat....

Ada yang mengatakan, ia seperti hampir semua


pembesar Romawi: brutal dan arogan. Para pengikut
Yeshua, yang kemudian disebut umat ―Kristen‖, pantas
menganggap penguasa itu tak bersih. Ia memang
memperlihatkan kepada khalayak ramai bahwa ia mencuci
tangannya sebelum orang ramai melecut Yeshua ke bukit
untuk disalibkan. Tapi penguasa itu tak bisa melepaskan
diri dari tanggung jawab.

Tapi ada yang menduga, Pilatus sebenarnya tak


berencana menghabisi Yeshua. Ia hanya tak mau dimusuhi

Catatan Pinggir | 78
orang-orang Yahudi Yerusalem. Mereka sudah mendesak
agar orang itu disalibkan, dan pejabat Imperium Romawi
yang jauh dari pusat itu tak ingin penduduk lokal
melawannya. Ia orang yang, dengan pragmatisme politik,
ingin kekuasaannya aman di jalan yang tak lurus.

Mungkin Pilatus seorang tokoh dalam drama


ambiguitas yang tegang. Di abad ke-2 pernah beredar
surat-suratnya (ternyata palsu) yang menunjukkan bahwa
pejabat Romawi ini sebenarnya beriman Kristen. Dengan
kata lain: ia tak bersalah. Di abad ke-3, Origen
Adamantius (184-253), pakar theologi dari Alexandria,
misalnya, menulis bahwa orang Yahudi-lah yang
membunuh Yesus—sebuah pandangan yang ikut
mendasari anti-Semitisme Kristen sampai hari ini.
Meskipun di abad ke-4 para theolog kembali meletakkan
kesalahan pada Pilatus....

Sejarah, kita tahu, tak pernah ditulis lurus.

Maka Ecce homo! Di sekitar Paskah wajar jika


orang (terutama yang bukan Kristen) lebih ingin melihat si
penghukum, bukan si terhukum. Mikhail Bulgakov
mendatangkan Pilatus ke Moskow abad ke-20 dalam novel
The Master and Margarita, ke kancah dunia yang tak
tenteram di antara fantasi yang ganjil.

Pilatus hadir dan membenci kota ―Yershalaim‖


tempat ia bertugas, kota dengan bau mawar yang tak

Catatan Pinggir | 79
disukainya dan suara fanatik di mana-mana. Suatu hari ia
harus menginterogasi laki-laki pengembara itu, Yeshua
Ha-Nozri. Orang ini dituduh akan menghancurkan
Baitulah.

Tapi Yeshua menyangkal. Tak berarti ia menyukai


kenisah itu. Ia percaya bangunan iman lama akan
digantikan dengan yang baru. Ia percaya ―semua
kekuasaan adalah bentuk kekerasan terhadap orang
banyak‖. Tapi ia yakin ada kerajaan kebenaran dan
keadilan, kerajaan yang damai—dan kerajaan itu akan
datang.

―Tak akan pernah!‖ teriak Pilatus membantah.


Baginya kekuasaan yang ada, di bawah Maharaja Tiberius,
adalah kekuasaan yang sudah sempurna. Baginya Yeshua
tolol, percaya bahwa semua orang baik, bahkan Yudas
yang mengkhianatinya.

Tapi Pilatus kemudian berteman dengan filosof


dari udik yang mengembara itu. Ia, yang membenci semua
hal, hanya bisa mengharapkan untuk tak dibenci dari
seorang Yeshua. ―Dan mereka berbicara tentang soal yang
penting dan membingungkan, dan tak satu pihak pun dapat
meyakinkan yang lain... maka percakapan mereka
semestinya menarik dan tak pernah berakhir.‖

Tapi kemudian Yeshua dihukum mati.

Catatan Pinggir | 80
Lihat orang itu. Lihat kekosongan itu. Tak ada lagi
percakapan yang berlanjut dan tak harus mufakat. Kota
berbau mawar klise dan penuh suara fanatik.

Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 81
Catatan Pinggir | 82
Subaltern
Senin, 18 April 2016

O rang-orang miskin terkadang mirip dewa-dewa yang


malang: suara mereka perlu disimak, tapi sering kali
dunia mendengarnya melalui perantara.

Umumnya para perantara merasa punya kewajiban


mewakili mereka—dan tak jarang, merasa punya hak
untuk itu. Pejabat publik. Anggota parlemen. Partai
politik. Calon gubernur yang serius dan pura-pura serius.
Pengisi yang rajin Twitter dan Facebook. LSM. Aktivis
dengan rasa keadilan yang kuat atau hanya kadang-kadang
kuat. Atau para kiyai, padri dan pendeta. Atau media—
juga stasiun televisi yang dimiliki bisnis besar dengan
komentatornya yang mengumumkan, ―saya dulu pernah
melarat.‖

Tapi tiap kali, kita sebenarnya berjumpa dengan


pertanyaan ini: benarkah mereka berhak? Apa artinya
―mewakili‖? Seberapa jauh dan dekatkah mereka dengan
kaum miskin, yang selama ini tak berdaya, mereka yang
berada di luar hitungan—kaum yang disebut (mengikuti
Gramsci) ―subaltern‖?

Catatan Pinggir | 83
Pada 1994 Gayatrti Spivak menulis satu risalah
yang judulnya menggugah dan persoalannya penting untuk
dikaji, juga di hari ini: Can the Subaltern speak?

Tulisan itu sulit dibaca. Yang bisa saya tangkap


adalah teguran Spivak: kita perlu melihat lebih jauh yang
terkandung dalam kata ―representasi‖—kata yang lebih
tajam ketimbang ―perwakilan.‖ Dalam kata ―perwakilan‖,
seperti dalam kata ―representasi‖, memang tersirat ada
sesuatu yang tak hadir namun beroleh penggantinya yang
seakan-akan menghadirkan dia. Tapi kata ―representasi‖
tak hanya itu.

Spivak mengemukakan ada dua kata Jerman yang


tercakup dalam kata ―representasi‖: Vertretung dan
Darstellung. Yang pertama berarti ―bicara atas nama‖ si X,
sebagaimana partai politik, atau Negara, atau cendekiawan
atau LSM berbicara atas nama si miskin. Yang kedua
berarti penggambaran seperti dalam pentas, seperti dalam
novel atau reportase yang hidup—sebuah cerminan
kenyataan, dan juga sebuah kreasi.

Darstellung bisa mempengaruhi yang Vertretung.


Penderitaan, suka-duka, suara dan kebisuan si miskin yang
dipaparkan di sebuah kisah yang lengkap dengan
dramaturginya dapat mendorong munculnya perwakilan
politik bagi kaum papa itu. Tapi bagaimanapun narasi dan
dramaturgi itu memerlukan bentuk, dengan format yang
pas, dengan tokoh-tokoh yang mengemuka. Pada

Catatan Pinggir | 84
akhirnya, kita akan mendapatkan penggambaran ―makro-
logis‖, yang mengabaikan carut-marut, liku-liku, nuansa,
dan apa saja yang samar dan rinci. Pada saat yang sama,
dari pementasan itu biasanya muncul para ―pahlawan‖,
para jurubicara atau pembela, yang lazimnya lebih besar,
lebih seru, ketimbang para subaltern sendiri.

Dan tak kurang dari itu, kaum miskin pun


cenderung ditampilkan seperti satu identitas dengan
hakikat yang sama dan tak berubah-ubah—sebuah
pendekatan ―esensialis‖. Kaum miskin hanya muncul
sebagai bagian sebuah taksonomi.

Saya kira Spivak tak berniat mengatakan bahwa


kaum subaltern tak boleh diwakili. Pada umumnya kaum
papa ini tak punya akses ke percakapan yang lebih luas
dan diabaikan percaturan kekuasaan para elite. Maka
kaum subaltern perlu disiapkan, dididik, buat
mengartikulasikan hasrat dan kepentingan mereka sendiri.

Namun persoalannya kembali: siapa yang akan


mendidik? Pemikir politik Rancière pernah menulis
sebuah buku dengan judul, Le Maître ignorant, ―kepala
sekolah yang tak tahu apa-apa‖. Rancière menampilkan
pengalaman Joseph Jacotot, seorang guru di abad ke-19
yang menunjukkan bahwa mengajar adalah konsep yang
salah: tak ada guru yang lebih pandai ketimbang murid.
Tak mengherankan bila baginya, gagasan ―mendidik‖

Catatan Pinggir | 85
kaum papa, bahkan ―mewakili‖ mereka, adalah agenda
yang hanya melanjutkan ketimpangan kekuasaan.

Pada 16 Oktober 2012, di Universitas San Martin


di ibukota Argentina, Rancière mengemukakan teorinya
tentang demokrasi—dan keyakinannya bahwa asas
perwakilan yang kini dipraktekkan di negeri-negeri
demokrasi ―sepenuhnya berintegrasi dengan mekanisme
oligarki‖. Yang diperlukan sekarang, katanya, adalah
―sebuah gerakan aksi yang kuat yang merupakan wujud
kekuasaan, yang merupakan kekuasaan setiap orang dan
siapa saja.‖

Ada semangat anarki yang sehat dalam pemikiran


ini—tapi juga ada pertanyaan yang membuat lobang di
dalamnya: bagaimana ―aksi yang kuat‖ itu dapat jadi
mekanisme kekuasaan, jika tanpa organisasi, tanpa
struktur, tanpa pemimpin yang mewakilinya

Pada akhirnya, kita kembali ke problem klasik


yang tak mudah diselesaikan. Konon Gramsci, tokoh
komunis Italia yang dipenjara kaum Fasis itu, berbicara
tentang subaltern lantaran ia lihat ketimpangan garis yang
dipilih Lenin, ketika membentuk organisasi Partai yang
bicara atas nama proletariat. Proletariat tak serta merta
mewakili yang miskin. Dan Partai Komunis tak serta
merta mewakili proletariat.

Catatan Pinggir | 86
Tak benar bahwa Gramsci mengemukakan itu.
Tapi bagaimanapun, dimulai dengan perlawanan buruh
Polandia terhadap Partai Komunis, pandangan itu terbukti.
Akhirnya hanya sesekali kaum miskin lepas dari posisi
seperti dewa-dewa yang malang, yang suaranya hanya
terdengar dalam gema.

Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 87
Catatan Pinggir | 88
Maaf
Senin, 25 April 2016

―M aaf‖ tak pernah bisa dipisahkan dari ingatan, tapi


mungkinkah ingatan bisa kekal? Mungkinkah
kita berbicara tentang ―maaf‖ di luar sejarah?

Dalam Žert (Lelucon, The Joke), novel Milan


Kundera, Ludvik ingin membalas sakit hati atas perlakuan
temannya di masa lalu, yang menyebabkan ia, hanya
karena sebuah lelucon, disingkirkan Partai Komunis yang
berkuasa. Pembalasan itu berhasil, tapi yang terjadi tak
membuatnya bahagia. Ternyata ada ―lelucon‖ lain:
manusia terkecoh ketika menyangka bahwa ingatan bisa
kekal, dan terkecoh mengira kesalahan masa silam bisa
dibereskan. Pada akhirnya, tulis Kundera, dendam dan
maaf ―akan diambil alih oleh lupa‖.

Tentu tak selalu demikian. Lupa nyaris tak punya


efek dalam Bharatayudha. Dalam kisah perang besar itu,
dengan dendam yang utuh, Bhima memenggal leher
Dursasana dan meminum darahnya, dan Drupadi mencuci
rambutnya dengan darah itu pula. Waktu tak menggerus
sakit hati mereka kepada pangeran Kurawa itu, yang di
malam pertandingan dadu bertahun-tahun sebelumnya
mencoba menelanjangi Drupadi di depan majelis.

Catatan Pinggir | 89
Di luar cerita, di dalam sejarah, dendam juga masih
utuh dalam, misalnya, riwayat Ken Arok di abad ke-13
dan persengketaan orang Dayak dengan Madura di
Sampit, Kalimantan Tengah, di abad ke-21. Maaf ikut
mati dalam bunuh-membunuh itu. Seakan-akan berlaku
prinsip pembalasan yang setimpal dari dalam Kitab Suci
Taurat: lex talionis yang menentukan ―satu mata dibalas
satu mata‖—hukum yang juga didapatkan dalam Undang-
Undang Hammurabi di Mesopotamia 1.754 tahun sebelum
Masehi.

Tak berarti kalimat itu selalu ditafsirkan secara


harfiah, tapi ajaran-ajaran ethis yang kemudian datang
menyadari bahwa dendam yang destruktif bisa jadi sah di
dalam lex talionis itu. Yesus membalikkannya secara
radikal. Ia mengajarkan agar kita sama sekali tak
membalas, bahkan membiarkan pipi kita yang satu dipukul
lagi setelah pukulan di pipi lain. Quran menegaskan
bahwa Taurat memang mengajarkan Qasas, tapi bila kita
bermurah hati untuk tak memberlakukannya, perilaku
buruk kita akan dihapuskan.

Hukum pembalasan pun diubah jadi pemaafan;


siklus kekerasan dicoba dihentikan. Agaknya disadari, lex
talionis hanya akan menghancurkan masyarakat manusia.
Satu dialog dalam lakon musikal Fiddler on the Roof:

Orang dusun: Satu mata dibalas satu mata,


dan sepotong gigi dibalas sepotong gigi.

Catatan Pinggir | 90
Tevye: Bagus, bagus! Dengan demikian
seluruh dunia akan buta dan ompong.

****

―Maaf‖ punya beragam cerita dan beberapa


lapisan. ―Maaf‖ yang dipertukarkan dalam ucapan
Lebaran (sering dengan pantun yang boyak) tak akan
terasa sedalam ―Maaf‖ yang diberikan Wolter Monginsidi
kepada regu tembak Belanda beberapa menit sebelum ia
dieksekusi.

Maka apa arti permintaan maaf pemerintah


sekarang-andai kata pemerintah setuju untuk
mengutarakannya-atas kekejaman pasca-1965?

Mula-mula, ada yang harus diurai.

Belum jelas mengapa pemerintah yang sekarang


wajib minta maaf, atau mengapa Kepala Negara hari ini,
Joko Widodo-laki-laki yang baru berumur lima tahun
ketika kekejaman di pertengahan 1960-an itu terjadi-harus
minta maaf untuk itu. Benarkah ―Negara‖ yang sekarang
identik dengan ―Negara‖ yang berkuasa pada 1966, dan
sebab itu menanggung dosa yang sama? Bisakah
pendekatan legal semata-mata berlaku, yang melihat
subyek, dalam hal ini ―Negara‖, sebagai identitas yang tak
berubah?

Catatan Pinggir | 91
―Negara‖, dalam pengertian Hegel, memang
sebuah struktur di mana yang universal menemukan
wujudnya. Tapi bagi saya Marx lebih benar: ―Negara‖ tak
pernah bisa jadi wadah bagi siapa saja, kapan saja.
―Negara‖ selalu bersifat ―partikular‖, hanya merupakan
alat kekuasaan kelas tertentu di ruang dan waktu tertentu.
Bukan sesuatu yang kekal.

Bagi para pemikir setelah Marx, bahkan ―Negara‖


bukan sesuatu yang siap. Ia sebuah proyek untuk
menertibkan situasi yang berlipat-lipat ragamnya, situasi
yang, kata Badiou, mirip ―anarki sejati‖. Dalam ―Negara‖
sebagai proyek penertiban, unsur dan bagian-bagian
diklasifikasikan, dan diberi sebutan, posisi, dan peran.
Mungkin ia tampak utuh, tapi dalam tersusunnya sistem
itu selalu ada ―bagian yang tak punya bagian‖. Dengan
itulah sebuah komunitas politik, sebuah ―Negara‖,
menjadi-sesuatu yang tak stabil dan mengandung
sengketa.

Kepala Negara meminta maaf? Untuk apa? Untuk


kejahatan yang bukan kejahatannya, atas nama Negara
yang sebenarnya tak bisa diwakilinya?

****

Sejak 1945, dunia menyaksikan pelbagai adegan


penyesalan, pengakuan, atau apologi. Dari orang per orang
sampai dengan kepala negara menyatakan minta ―maaf‖

Catatan Pinggir | 92
yang disiarkan secara luas. Tapi tidakkah sebuah
permintaan maaf kenegaraan, semacam upacara resmi,
hanya bagian dari perhitungan politik, strategi yang
tersembunyi dalam (untuk memakai ejekan Derrida)
―komedi‖ permaafan?

Semua bukannya tak bermanfaat. Tapi Derrida,


dalam Pardon, mengingatkan apa yang terjadi bila ―maaf‖
diberlakukan sebagai proyek politik, ketika ―maaf‖
disertai syarat.

―Maaf‖ dengan syarat adalah seperti yang


diberlakukan Komisi Rekonsiliasi dan Kebenaran di
Afrika Selatan. Para pelaku kejahatan apartheid diberi
amnesti bila mengungkapkan sepenuhnya perbuatan yang
mereka lakukan di masa lalu. Bagi Derrida, "maaf" macam
ini akhirnya berfungsi bukan sebagai maaf itu sendiri,
melainkan sebagai jalan membangun dan merawat sebuah
bangsa. Dengan kata lain, ―maaf‖ telah jadi sebuah
―ekonomi pertukaran‖.

Memaafkan secara bersyarat juga menghadirkan


sebuah hierarki. Yang memberi maaf dan menetapkan
syarat meletakkan diri di atas pihak yang diberi syarat dan
akan diberi maaf. Maaf bisa dibatalkan jika syarat tak
dipenuhi. Faktor kekuasaan menonjol. ―Apa yang
membuat ‗aku-maafkan‘ kadang-kadang memuakkan dan
menjengkelkan, bahkan terasa tak senonoh, adalah

Catatan Pinggir | 93
dikukuhkannya sebuah daulat dalam kata-kata itu,‖ kata
Derrida.

Memaafkan dengan sikap demikian pada akhirnya


membalik kebrutalan semula: sang korban dielu-elukan
sedemikian rupa hingga si pelaku kejahatan direndahkan-
dan akhirnya membuat sang korban tak hadir sebagai
korban, si penjahat tak terasa sebagai penjahat, dan maaf
hilang maknanya.

Tapi mungkinkah ada maaf yang tanpa syarat?


Mungkin-betapapun langkanya. Monginsidi, pejuang
gerilya Sulawesi Selatan itu, memaafkan regu tembak
yang sebentar lagi mencabut nyawanya. Sang korban tetap
sebagai korban dan pembunuhan tetap sebagai
pembunuhan, namun sesuatu yang baru, yang luar biasa,
tumbuh dari Monginsidi-dari yang diberikan Monginsidi.

Hanya dengan mengacu kepada yang tumbuh itu,


hanya memandang dan membandingkan diri ke ―maaf
yang murni‖ itu, pelbagai ―maaf‖ lain mendapatkan arti.

****

Tapi terlampau mudah berbicara tentang ―maaf‖


ketika kita mengenang apa yang dilakukan terhadap Sri
Ambar, sebagaimana dikisahkan dalam Bertahan Hidup di
Gulag Indonesia yang ditulis Carmel Budiardjo tentang

Catatan Pinggir | 94
perempuan-perempuan yang ditahan rezim Soeharto sejak
1966.

Sri Ambar seorang anggota SOBSI, serikat buruh


pendukung PKI yang penting. Ia ditangkap di awal
Oktober 1965, hari bermulanya kekerasan dan kebuasan
terbesar dalam sejarah Indonesia modern. Ia dibawa ke
sebuah tempat interogasi di Jalan Gunung Sahari, Jakarta.

Di hadapannya dihadirkan seorang teman yang


mengkhianatinya dan membuka penyamarannya. Tapi Sri
Ambar tak sepatah kata pun mau mengaku. Penyiksaan
pun mulai: bersama si pengkhianat ia ditelanjangi dan
dihajar. Malamnya mereka berdua diikat dan digantung
pada pohon. Ketika tetap saja Sri Ambar tak mau
mengaku, Acep, perwira tahanan, ambil tindakan yang
lebih drastis: pantat kiri Sri Ambar ditikam. Darah
muncrat ke mana-mana. Sri Ambar mencoba menutupkan
kembali luka dengan tangannya. Acep pun memerintahkan
agar pisau dihunjamkan lagi ke pantat kanan Sri Ambar.
Perempuan setengah baya itu pingsan.

Ia siuman dua hari kemudian di rumah sakit


militer. Luka-lukanya dijahit. Tapi tak lama kemudian
datang seorang dokter lain yang mengatakan jahitan
lukanya harus dibuka. Dalam kesakitan yang amat sangat,
Sri Ambar mendengar dokter itu diperintah Markas Besar
Angkatan Darat.

Catatan Pinggir | 95
Dan sebelum sembuh benar, ia dibawa kembali ke
tempat interogasi. Di ruangan itu, ia melihat dua anak
perempuannya: mereka sedang dipukuli. Mereka ikut
ditahan dan dipaksa menceritakan siapa saja yang bertamu
ke rumah mereka. Kedua anak itu menolak berbicara. ―Ibu
jangan bilang apa-apa!‖ teriak kedua anak itu, ―Biar kami
tanggungkan ini!‖

Dan Sri Ambar pun diam, menyaksikan kedua


anaknya disiksa. Ia juga diam ketika kemudian ibunya
yang tua didatangkan ke ruang interogasi itu-ibu yang
mengatakan bahwa Sri Ambar memang anaknya dan
bahwa ia akan melindunginya dengan risiko apa pun.
Orang tua itu segera jadi tahanan politik.

Bisakah ―maaf‖ akan berlaku di sini? Bisakah Sri


Ambar memaafkan? Berhakkah ia?

Hannah Arendt pernah mengatakan bahwa ―maaf‖


seperti hukuman. Keduanya dimaksudkan untuk
mengakhiri sebuah kejahatan. Tapi ia juga mengakui ada
yang tak terjangkau oleh keduanya: ―kekejian yang
radikal‖—kekejian yang sedemikian rupa hingga tak ada
lagi hukuman yang pantas. Itu berarti juga kekejian yang
tak ada maaf yang bisa ditawarkan. Maaf adalah bagian
proses bersama di mana hidup manusia mungkin.

****

Catatan Pinggir | 96
Pada pertengahan Maret 2000, Abdurrahman
Wahid, Presiden Republik Indonesia, sekaligus seorang
tokoh NU dari generasi yang mengalami sendiri apa yang
terjadi di hari-hari mengerikan dan penuh kekejaman
pasca-1965, mengucapkan minta maaf kepada para
korban. Ia juga tak ingin menutupi bahwa banyak anggota
NU ikut dalam pembantaian orang-orang PKI atau yang
dianggap PKI.

Dari seorang Gus Dur hal itu tak mengejutkan:


sudah lama ia berhubungan dengan para eksil, aktivis Kiri
di Eropa; sudah lama ia dikenal sebagai seseorang yang
membuka pikiran orang banyak dengan berani.

Yang mengejutkan adalah reaksi Pramoedya


Ananta Toer, yang disekap bertahun-tahun di Pulau Buru
dan ketika bebas jadi sebuah ikon tersendiri. Ia menolak
permintaan maaf Gus Dur. ―Saya sudah kehilangan
kepercayaan. Saya tidak percaya Gus Dur.‖

Saya masygul mendengar reaksi ini. Bagi saya,


sikap Pram tidak tepat. Dan saya tak sendiri. Sekitar dua
hari sesudahnya saya bertemu dengan beberapa bekas
tahanan politik di rumah Oey Hay Djoen, tokoh Lekra,
penerjemah Das Kapital. Saya sering ke rumah yang sejuk
di Cibubur itu. Hari itu kami-Amarzan Ismail Hamid,
Hardojo, Joesoef Isak, Hay Djoen sendiri-membicarakan
apa yang dikatakan Pram.

Catatan Pinggir | 97
Di satu bagian percakapan terdengar Hay Djoen
berkata, seperti kepada dirinya sendiri: ―Apa hak moral
kita untuk menolak memberikan maaf....‖

Tiba-tiba dari kalimat yang lirih itu _maaf" punya


arti yang sangat dalam. Hay Djoen, sastrawan, aktivis PKI
yang bertahun-tahun disekap dan disiksa, adalah suara
yang bahkan tak dibayangkan Derrida: pemberi maaf yang
tak berbicara tentang syarat dan tak meletakkan diri
sebagai "sang korban" yang secara moral lebih tinggi dan
lebih berdaulat.

Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 98
tuhan
Senin, 02 Mei 2016

Tuhan semakin banyak....

S ajak-sajak Mustofa Bisri tak pernah dibangun dari


statemen yang marah. Puisi itu bahkan bisa kocak.
Lebih sering bait-baitnya gundah-kegundahan yang
menarik: seorang alim melihat keadaan rumpang di
sekitarnya tanpa ia merasa jadi lebih suci dari sekitarnya
itu. Tiap kali sajak penyair dan kiai dari Rembang ini
mengandung kritik sosial, tiap kali ia serasa ditikamkan ke
satu bagian hidupnya sendiri.

―Tuhan semakin banyak‖ mengemukakan satu


paradoks zaman ini: makin sering Tuhan dipajang di
pelbagai laku dan kata-kata, makin jauh Ia dari bumi.
―Aku‖ manusia telah menggantikan-Nya:

Di mana-mana tuhan, ya Tuhan


Di sini pun semua serba tuhan
Di sini pun tuhan merajalela
Memenuhi desa dan kota
Mesjid dan gereja

Catatan Pinggir | 99
Kuil dan pura
Menggagahi mimbar dan seminar
Kantor dan sanggar
Dewan dan pasar
Mendominasi lalu lintas
Orpol dan ormas
Swasta dan dinas

Tuhan pun jadi ―tuhan‖ (dengan ―t‖): bukan saja


hanya jadi salah satu dari wujud di dataran benda-benda,
tapi juga hanya sebuah bunyi yang diulang-ulang. Tuhan
jadi banal. Iman jadi otomatik. Bersamaan dengan itu,
―Aku‖ manusia menggantikannya dalam posisi di depan.

Khutbahku khutbah tuhan!


Fatwaku fatwa tuhan!
Lembagaku lembaga tuhan
Jama'ahku jamaah tuhan!
Keluargaku keluarga tuhan!
Puisiku puisi tuhan!
Kritikanku kritikan tuhan!
Darahku darah tuhan!
Akuku aku tuhan

Catatan Pinggir | 100


Tentu saja ada perbedaan yang radikal antara
―Akuku aku tuhan‖ di akhir sajak itu dengan ekspresi
mistik manunggaling kawula gusti. Pengalaman seorang
sufi adalah pertalian cinta; sajak Mustofa Bisri
menunjukkan sebaliknya: Tuhan dipasang sebagai alat,
mirip stempel. Dan puisi ini mencatatnya dengan masygul.

Tuhan yang ―semakin banyak‖ yang disebut


Mustofa Bisri agaknya seperti dewa-dewa Yunani dalam
Iliad: mereka ikut mengintervensi dan bertikai dalam
hampir tiap babakan Perang Troya. Atau mungkin yang
terjadi sebaliknya: dalam perang yang bengis itu, para
pelakunya ingin memindahkan tanggung jawab dan
kesalahan kepada kekuatan di luar diri mereka-kekuatan
yang digambarkan sebagai mutlak dan bebas dan bisa
berbuat tak semena-mena. Dan itulah dewa-dewa mitologi
Yunani.

Roberto Calasso, yang beberapa novelnya adalah


tafsir baru atas mitologi, menulis dalam La letteratura e gli
dèi (―Sastra dan Para Dewa‖) bahwa sastra dapat
merupakan siasat halus untuk membawa dewa-dewa lepas
dari tempat mereka yang aman, bersih, dan kekal-dari
―klinik universal‖ (clinica universale) mereka. Sastra
―mengembalikan mereka ke dunia, untuk diserakkan ke
permukaan bumi, tempat mereka biasanya berdiam‖.

Dengan kata lain, sastra, karena tak meletakkan


diri sebagai Kitab Suci, bisa membuat yang sakral jadi

Catatan Pinggir | 101


bagian hidup sehari-hari, bersentuhan dengan segala
macam hal, termasuk yang terbuang, najis, dan kurang
patut. Tapi biarpun terserak di seantero muka bumi, yang
suci tetap tak jadi profan dan banal, selama ia tak
dijadikan alat manusia seperti ―tuhan‖ dalam sajak
Mustofa Bisri.

Ada sebuah petuah agar kita membuat iman ibarat


garam: sesuatu yang tak tampak namun meresap memberi
corak, membubuhkan rasa tanpa berlebihan, dan sebab itu
tak membuat berat atau heboh dalam perjalanan.

Novel Ahmad Fuadi, Negeri Lima Menara, adalah


contoh yang baik bagaimana iman selamanya hadir tak
kurang dan tak berlebihan-dan sebab itu tak berbenturan
dengan kehidupan, bahkan ketika kehidupan berpindah
dan berubah.

Novel ini sebuah rekaman rite of passage Alif


Fikri, seorang anak muda Sumatera Barat. Ia selalu murid
yang pintar sejak di madrasah tsanawiyah di Kabupaten
Agam sampai dengan ketika ia belajar di Pondok Gontor,
Jawa Timur. Ia sebenarnya ingin masuk SMA, tapi pesan
amaknya yang ia cintai menahannya untuk tetap berada di
jalur pendidikan agama. Sesekali ada kebimbangan, tapi
Alif Fikri menyukai kehidupan di pesantren itu-yang
sebenarnya tak terpisah dari Indonesia yang ―modern‖. Di
sana ia juga bertemu dengan fragmen-fragmen dunia lain.
Ia tak gentar mengalami beda dalam dirinya. Pesan Kiai

Catatan Pinggir | 102


Rais selalu dikenangnya: ―Jangan berharap dunia yang
berubah, tapi diri kitalah yang harus berubah.‖

Maka dalam novel ini tak terasa ada guncangan


dan krisis, ketika kesalihan kota kecil Indonesia bertaut
dengan modernitas ―Barat‖. Awal cerita di dekat Gedung
Capitol yang diselimuti salju di Washington, DC; akhir
cerita: di bawah monumen Nelson di Trafalgar Square,
London. Negeri Lima Menara dibuka dengan kata-kata
Imam Syafi'i di abad ke-8 yang diajarkan kepada para
murid Pondok Gontor: ―Aku melihat air menjadi rusak
karena diam tertahan. Jika mengalir menjadi jernih....‖

Yang dirayakan gerak dan perjalanan. Tuhan sudah


dengan sendirinya menyertai, tanpa, dalam kata-kata
Mustofa Bisri, ―mendominasi lalu lintas‖.

Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 103


Catatan Pinggir | 104
Mandalika
Senin, 09 Mei 2016

H idup sama sekali tak mudah bagi Maryam—dan


agama tak menolongnya. Bahkan sebaliknya. Dalam
hidup tokoh novel Okky Madasari ini, agama
menghimpun tiga anasir represif terhadap hidupnya: orang
tua yang menekan anak-anaknya, laki-laki yang
diutamakan di atas perempuan, dan doktrin yang membuat
orang-orang terikat dan kemudian bermusuhan. Di bawah
tekanan semua itu, kebaikan menjauh.

Maryam mencoba melawan itu-dengan setengah


diam.

Menjelang akhir novel (―Maret 2006‖), seorang


bayi perempuan lahir. Maryam dan suaminya yang baru,
Umar, penuh harap. Mereka menamai anak itu
―Mandalika‖-nama yang diambil dari legenda lokal.
Bukan nama Arab, kata Maryam. Bukan seperti ayah dan
ibunya.

Bagi Maryam, itu langkah awal sekaligus paling


mudah untuk menjauhkan anaknya dari segala kepedihan
yang dialami keluarganya. ―Biarlah anak ini jauh dari

Catatan Pinggir | 105


agama tapi dekat dengan kebaikan,‖ katanya, berulang
kali.

―Jauh dari agama tapi dekat dengan kebaikan‖-


agaknya ini ungkapan penampikan yang bisa membuat
orang terenyak (tapi tak terelakkan) dan membuat novel
Maryam unik dalam karya sastra Indonesia terakhir, di
masa ketika agama, khususnya Islam, hadir kuat di mana-
mana.

Maryam lahir dan dibesarkan di Desa Gerupuk, di


pantai selatan Lombok. Ia generasi ketiga pengikut
Ahmadiyah. Mula-mula Komunitas Ahmadi hidup
berdampingan dengan penduduk muslim yang lain. Tapi
bukannya tanpa ketegangan-dan sebagaimana dikisahkan
novel ini, ada ketegangan membisu yang merayap ke
dalam hidup Maryam.

Sebagaimana dalam komunitas iman yang lain, di


sini juga para penganut membentuk lingkaran tertutup,
dengan tembok yang mudah mengeras. Sejak remaja
Maryam berusaha hidup dalam lingkaran itu dengan tertib,
atau lebih tepat: dengan ketakutan. Terutama dalam
berhubungan dengan laki-laki: ketika cinta tumbuh antara
orang Ahmadi dan bukan Ahmadi, hubungan lebih jauh
akan terancam. Komunitas di kedua pihak akan merintangi
itu, dan konflik terjadi.

Maryam ikut menanggungkannya.

Catatan Pinggir | 106


Ia jatuh cinta kepada Gamal, sesama Ahmadi, tapi
gagal: Gamal membelot dari keyakinan keluarganya.
Maryam pindah ke Jakarta, bekerja di sebuah bank. Ia
bertemu dengan Alam, yang bukan penganut Ahmadi.
Mereka saling jatuh cinta dan siap menikah, tapi calon
mertuanya berkata: ―Suami adalah imam seorang isteri.
Ketika sudah menikah nanti, isteri harus mengikuti
suaminya, menuruti suaminya, apalagi dalam soal
beragama.‖ Sebaliknya ibu Maryam bertanya kepada
Alam: ―Apa itu berarti Nak Alam sudah siap menjadi
seorang Ahmadi?‖

Orang-orang tua melindungi, tapi juga menguasai


dan menekan anak-anak mereka. Orang-orang tua
dilindungi ajaran mereka, tapi sebenarnya dikuasai
sepenuhnya.

Maryam, mungkin karena ia seorang perempuan,


merasakan tekanan yang lebih-maka lebih pula
resistansinya. Ia letakkan pikirannya dalam semacam
isolasi. Ia mencoba lupa. Kadang-kadang ia berpikir, ―Ia
hanya Ahmadi ketika sedang berada di tengah-tengah
pengajian Ahmadi.‖

Tapi pernikahan Alam dan Maryam tak sampai


berumur lima tahun. Mereka tak kunjung punya anak.
Orang tua Alam mendesak, dan dalam keadaan kesal,
Maryam merasa bahwa orang tua itu menyalahkannya

Catatan Pinggir | 107


karena ia pernah ―sesat‖. Ia pun meninggalkan Alam, dan
kembali ke Lombok, ke keluarganya sendiri.

―Sesat‖ adalah kata yang ganas. Itu pula yang


menyebabkan masyarakat Islam di Gerupuk, yang
menganggap Ahmadiyah ―sesat‖, pada suatu hari-setelah
mendengar khotbah yang dulu tak pernah mereka dengar-
mengusir tetangga mereka. Mereka melempar batu ke
genting dan kaca jendela orang Ahmadi, merusak pagar
dengan parang dan cangkul. Akhirnya 17 rumah dibakar,
dengan ultimatum: kaum Ahmadi harus meninggalkan
iman mereka atau hengkang.

Keluarga Maryam terusir. Bahkan ketika ayahnya


meninggal karena kecelakaan lalu lintas, ia tak boleh
dimakamkan di desanya sendiri.

Apa yang dibawa agama: kebaikan? Atau ganasnya


kata ―sesat‖? Apa yang dibawa iman bersama:
ketenangan? Atau desakan yang menghilangkan
kebebasan memilih?

Maryam kembali ke komunitas Ahmadiyah yang


harus hidup di pengungsian. Ia memprotes pejabat Negara
yang tak melindungi orang-orang yang dianiaya itu, yang
selama enam tahun terpaksa menempati kamar-kamar
sempit di Gedung Transito. ―Kami hanya ingin pulang...‖

Catatan Pinggir | 108


Dalam arti tertentu, Maryam pulang: dari lupanya
akan asal-usul. Tapi ia tak kembali. Ia diam-diam merestui
adiknya, Fatimah, meninggalkan komunitasnya untuk
menikah dengan ―orang luar‖. Dengan demikian, ia
mengatasi demarkasi yang bernama agama, sambil
menunggu kelahiran Mandalika.

Mandalika, dalam legenda Lombok Selatan itu,


putri raja yang mengorbankan diri untuk mencegah
permusuhan. Ia, yang diperebutkan, menenggelamkan diri
di laut. Tapi, kata sahibulhikayat, ia datang kembali
setahun sekali saat purnama, dalam wujud cacing-cacing-
hewan yang dianggap menjijikkan-untuk menyuburkan
tanah. Tanah siapa saja.

Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 109


Catatan Pinggir | 110
Almansor
Senin, 16 Mei 2016

―Betapa dalam kau terpuruk, wahai Granada!‖

D alam Almansor, tragedi karya Heinrich Heine,


Almansur bin Abdullah pulang ke Granada dari
pengasingan. Ia kembali ke kastil masa kecilnya:
bangunan itu masih tetap di atas tanah ―yang tua dan
tercinta‖, dengan lantai yang dilapisi permadani berwarna-
warni; pilar-pilar marmar itu setia bertahan. Almansur
merasa betah kembali. Tapi ada yang membuatnya
waswas. So heimisch ist mir hier, und doch so ängstlich.
Kehidupan telah berubah. Kerajaan Islam Spanyol, terlena
dalam kegemilangannya sendiri, jatuh, direbut kekuasaan
Katolik di bawah Ratu Isabella dan Raja Ferdinand.

Dan Granada terpuruk. Tak ada lagi kemerdekaan


menjalankan agama seperti dulu, ketika orang Islam,
Kristen, dan Yahudi hidup bersama dan bertukar
peradaban. Di awal lakon, Almansur berjumpa kembali
dengan Hassan, pelayan keluarga Abdullah yang dulu
mengasuhnya. Mereka saling menceritakan keadaan yang
muram.

Catatan Pinggir | 111


Ribuan muslim ―merundukkan kepala agar
dibaptis‖ dalam ketakutan, kata Almansur. Di masa itu,
seorang pejabat tinggi Gereja dan Kerajaan, ―Ximenes
yang mengerikan‖ (der furchtbare Ximenes), dengan
disaksikan khalayak di tengah pasar melemparkan Quran
ke api unggun.

Hassan mendengarkan semua itu dengan masygul,


tapi ia tampak tak terkejut. Ia mengucapkan satu kalimat
seperti meramal: ―Di mana mereka bakar kitab-kitab, di
sana mereka akhirnya bakar manusia.‖

―Ximenes‖ dalam tragedi Heine adalah Gonzalo


Jimenez de Cisneros, pejabat tinggi Gereja dan
kepercayaan Ratu Isabella. Tokoh sejarah Spanyol yang
hidup antara 1436 dan 1517 ini adalah padri yang keras
kepada dirinya sendiri dan kepada orang lain-apalagi
orang lain dari iman yang lain.

Ia tak tergoda kemewahan; pada usia di atas 40


tahun ia bergabung ke dalam Ordo Fransiskan dan
membiasakan diri tidur di tanah tanpa alas,
melipatgandakan puasa, dan mengenakan kain yang
dianyam dari surai kuda. Tapi dengan kekuasaan dan
keyakinan akan keunggulan imannya, ia memaksa para
biarawan yang sudah ditahbiskan untuk hidup selibat,
menetap di paroki, dan bekerja penuh. Ketika ketentuan
ini dikenakan lebih ketat dan lebih luas, 400 rahib
mengungsi ke Afrika-dan masuk Islam.

Catatan Pinggir | 112


Bagi Cisneros, Islam dan Yahudi iman yang sesat.
Pada 1492, di awal ia jadi pastor Ratu Isabella, ―Maklumat
Pengusiran‖ diumumkan. Sekitar 200 ribu orang Yahudi
terpaksa jadi Kristen; puluhan ribu yang lain diusir. Tak
berhenti di situ. Cisneros memaksa ribuan Mudéjares,
muslim yang hidup di wilayah Kristen, berpindah agama-
meskipun dengan demikian ia melanggar perjanjian
Alhambra ketika Ferdinand dan Isabella mengambil alih
kekuasaan Islam. Ketika penduduk muslim berontak dan
dikalahkan, Cisneros memberi mereka ultimatum: masuk
Kristen atau diasingkan. Sebagian besar, seperti disebut
Heine dalam Almansor, ―merundukkan kepala untuk
dibaptis‖, ―menggenggam erat salib, dalam ketakutan akan
mati‖.

Dan seperti tersebut dalam tragedi itu, buku pun


dibakar. Sekitar 5.000 judul karya penulis dan pemikir
Islam dimusnahkan dalam api. Kemudian manusia.
Tercatat, sejak 1481, Gereja Katolik Spanyol membakar
hidup-hidup 31.912 orang yang dianggap sesat iman.
Dalam jumlah itu, ada 3.564 yang dihanguskan dalam api
auto-da-fé atas keputusan ―Ximenes yang mengerikan‖.

Heine, sastrawan Jerman di abad ke-19, tentu saja


menggubah Almansor dari petilan-petilan sejarah itu-dan
dengan gambaran yang negatif tentang rezim ―Ximenes‖.
Yang tak diduganya: kalimat yang diucapkan tokoh
Hassan akan jadi semacam peringatan dari masa ke masa-
terutama setelah di abad ke-20, Jerman memunculkan

Catatan Pinggir | 113


Hitler dan Gerakan Nazi dan ribuan buku
dibumihanguskan. Pada 10 Mei 1933, misalnya,
mahasiswa pendukung Nazi membakar habis 35 ribu jilid
buku yang isinya dianggap ―tak bersifat Jerman‖: dari
Marxisme sampai dengan buku seni rupa mutakhir, dari
yang dianggap ―liberal‖ sampai dengan yang dianggap
―ilmu palsu‖, yaitu Darwinisme. Kemudian kamp
konsentrasi didirikan dan ribuan orang Yahudi dan lain-
lain dimatikan.

Di Indonesia juga pernah orang membakar buku


dan membunuhi manusia. ―Demokrasi Terpimpin‖
Sukarno melarang risalah Bung Hatta Demokrasi Kita,
semua novel Takdir Alisjahbana, Mochtar Lubis, dan lain-
lain, juga semua puisi para penulis yang menandatangani
―Manikebu‖. Di bawah ―Orde Baru‖ Soeharto, apa saja
buku yang dianggap ―komunis‖ diberangus, bukan hanya
novel Pramoedya Ananta Toer. Kekerasan dan supremasi
kekuasaan jadi pola, makin lama makin menajam.

Menarik bahwa kejahiliahan ini berulang, justru di


bawah Republik yang berbeda-beda yang saling
menyalahkan. Tampaknya belum juga disadari, bila kata
tak bisa dipakai untuk berbicara, orang akan pelan-pelan
saling mematikan dengan kedegilan. Hassan dalam
Almansor benar.

Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 114


Topeng
Senin, 30 Mei 2016

L aki-laki bertopi infanteri bertopeng ski hitam dengan


pipa kecil yang menyembul dari mulutnya itu tak
tampak lagi. Tak di San Cristobal de las Casas, tak di kota
lain, tak juga di pedalaman Meksiko. Di sana ia pernah
angkat senjata, bertempur, berbicara, menulis, dan
bergabung dengan petani Chiapas miskin yang
memperjuangkan hak mereka. Sepuluh tahun kemudian,
Sub-komandante Marcos, tokoh paling menonjol dalam
pembangkangan Zapatista itu, menghilang.

Mungkin begitulah seharusnya: pejuang datang,


pejuang menang, pejuang menghilang. Sepuluh tahun
sebelumnya sekitar 3.000 anggota pasukan bersenjata
Zapatista menyatakan perang kepada tentara Meksiko,
menduduki beberapa kota, dan 150 orang tewas. Mereka
kemudian terpukul, tapi akhirnya diakui sebagai satu
kekuatan politik yang nyata yang berhasil membangun
wilayah-wilayah otonomi tanpa pengakuan resmi. Selama
10 tahun itu Marcos, dengan penampilannya yang unik,
jadi ikon perjuangan. Tapi kemudian sebuah statemen
Zapatista diumumkan pada 24 Maret 2014: Marcos tak ada
lagi. ―Ia sosok yang diciptakan, dan kini para penciptanya,
kaum Zapatista, menghancurkan dia.‖

Catatan Pinggir | 115


Kata ―menghancurkan‖ tentu saja sebuah kiasan.
Sebab Marcos menghilang bukan karena dibunuh atau
disingkirkan, melainkan karena gerakan pembebasan itu
menyimpulkan: perannya telah selesai. Kata orang yang
bersangkutan, ―Suara Tentara Pembebasan Nasional
Zapatista tak lagi datang dari saya.‖

Mungkin ini terjadi karena arus balik: ada yang


mengatakan dukungan rakyat Chiapas semakin menipis.
Usaha menegakkan ekonomi rakyat yang swadaya tak
berhasil. Tapi Marcos (tentu saja bukan nama sebenarnya)
sejak mula memang tampak mendua dalam menjalankan
perannya. Ia tampil di tiap kejadian besar gerakan
Zapatista, berpidato di depan massa, dan mengesankan
sebagai ideolog gerakan itu; tapi ia tak pernah disebut
"komandante"; ia cuma ―sub-komandante‖. Ia memang
anggota gerakan pembebasan bangsa Maya, orang Indian
di ujung selatan Meksiko, yang tanahnya diambil alih
bisnis besar dan hidup miskin berabad-abad; tapi ia bukan
―pribumi‖. Dari celah topengnya, ia tampak berkulit putih,
bermata biru. Dalam potret yang tersebar di seluruh dunia
ia-kadang-kadang berkuda dan bersenjata-kelihatan jantan
dengan postur seorang pemimpin yang karismatis; tapi
jika kita dengarkan cara ia berpidato dan kita simak
bahasa tubuhnya, ia lebih mirip seorang profesor desain,
atau seorang penulis, yang tak kelihatan perkasa, tapi
malah santun. Kalimat yang dipilihnya dengan baik tak
diucapkan berapi-api. Kata-kata itu lebih menggugah
orang berpikir-bukan bahasa politik kerakyatan yang

Catatan Pinggir | 116


lazim. Ia tak hendak mengkhotbahi audiens. Nadanya tak
menganggap diri punya otoritas yang lebih.

Ia tampaknya sadar: ia tak bisa mengklaim ia


mewakili suara petani miskin di sekitar hutan Lacandona.
Betapapun dalam simpatinya, betapapun erat hubungannya
dengan para petani itu, benar-benar tahukah ia tentang
harapan dan rasa cemas mereka? Dalam percakapannya
dengan sastrawan García Márquez ia mengaku dibesarkan
dalam keluarga guru dusun yang kemudian makmur,
dengan ayah-ibu yang mengajarinya mencintai buku dan
bahasa. Dari statemen-statemennya bisa ditebak ia penulis
yang bagus; ia memang menulis sejumlah puisi, prosa,
cerita.

Tampaknya ia juga mempelajari filsafat dan


tertarik pada Marx, Althusser, Foucault. Ia seorang
Marxis. Dengan militan ia melawan penetrasi
neoliberalisme dari Amerika ke wilayahnya; ia
mengagumi Ché Guevara, pahlawan Partai Komunis
Kuba. Tapi ia berhenti percaya ada partai yang bisa
mewakili kelas proletar di Chiapas. Berada di kancah
petani Maya, ia tak lagi melihat kelas proletar bisa jadi
pelopor segmen rakyat yang luas. Bagi Marcos, yang jadi
pedomannya adalah asas mandar obedeciendo,
―memimpin dengan mematuhi‖, adat orang Indian
setempat.

Catatan Pinggir | 117


Dengan kata lain, ia percaya kaum miskin itu yang
punya kearifan. Ia sendiri hanya berguru di sana, lebur di
sana. Ia bukan ―aku‖ yang berpikir, bukan pemandu jalan,
bukan pula pahlawan pembela yang jelata. Ia bukan siapa-
siapa.

Di sini topeng-topeng yang dikenakannya bersama


kaum Zapatista-adalah satu pernyataan. Topeng itu
meneguhkan tak pentingnya nama-nama: tak ada yang
pegang supremasi dan memonopoli perjuangan. Tapi
topeng itu juga meneguhkan kemampuan memilih
identitas ketika kekuasaan yang ada menghapusnya.
―Kami menutupi wajah kami, agar mereka melihat kami,‖
kata Marcos. ―Kami lepaskan nama kami, agar mereka
memanggil nama kami.‖

Dengan kata lain, topeng membuat nama dan label


hanya sebagai tanda perlawanan, bukan cap yang menetap.
Maka ia bisa jadi lambang siapa saja. Marcos, dengan
topengnya, ―adalah tiap minoritas yang tak diterima,
ditekan, dan diisap-dan melawan dan berkata, ‗Cukup!‘‖

Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 118


Panggung
Senin, 13 Juni 2016

ama samarannya ―Prapanca‖. Ia menggambarkan


N dirinya sebagai lelaki yang tak disukai para
perempuan istana, tak fasih bicara, parasnya tak riang.
Tapi ia penulis reportase pertama dalam sejarah Indonesia:
Desawarnana, yang rampung ditulisnya pada 1365, adalah
laporan kunjungan perjalanan darat Hayam Wuruk, Raja
Majapahit, ke pelbagai wilayah kekuasaannya.

Sayangnya, Prapanca seorang pencatat yang


terbatas. Kakawinnya lebih merupakan rekaman kesan-
kesan tentang tamasya dan tontonan dari tempat ke
tempat. Desawarnana adalah travelogue abad ke-14. Ia
bukan catatan peristiwa-peristiwa.

Mungkin karena Prapanca bukan sepenuhnya


orang dalam istana. Kakawin yang hilang dan baru
ditemukan lebih dari 500 tahun kemudian di Lombok ini
ia tulis setelah ia tersingkir dari pusat kekuasaan. Diduga
ia menyelesaikannya di sebuah desa di Bali. Deskripsi
tentang dirinya di akhir kakawin menggambarkan profil
seseorang yang tak merasa mampu bergabung dengan para
penyair lain yang menulis seloka-seloka untuk memuja

Catatan Pinggir | 119


Raja. Bisa jadi ini menandai kepahitan dan kekecewaan
yang dicoba disembunyikannya.

Apa gerangan yang terjadi? Mengapa ia tersingkir?


Harus saya katakan, kakawin yang juga disebut
Negarakertagama ini bukan informasi yang memadai
tentang kehidupan politik masa itu. Prapanca dengan
memikat menggambarkan tembok kota dari batu merah
yang tinggi, gapura berukir, pohon-pohon tanjung
berbunga lebat, taman bertingkat, dan arsitektur candi
dengan menara yang menjulang. Perhatiannya lebih ke hal
estetis ketimbang politis. Tentang sakit dan wafatnya
Gajah Mada dan perundingan rahasia di istana untuk
mengatasi kehilangan perdana menteri yang tak
tergantikan itu Prapanca hanya menyebutnya dalam
beberapa kalimat.

Penulis ini mungkin tak tahu. Kekuasaan dalam


Negarakertagama-nya tak ditandai pangeran-pangeran
yang berambisi atau para perwira yang siap dengan
pasukan. Administrasi pemerintahan hanya kelihatan
dalam klasifikasi pedesaan. Selebihnya, tanda hadirnya
kekuasaan adalah kunjungan raja dan upacara meriah yang
berulang kali. Tak ada konflik. Tak ada penaklukan. Satu-
satunya yang mirip itu terjadi dalam perburuan; para
hewan hutan kalah menghadapi pasukan Hayam Wuruk.

Tapi benarkah Majapahit hanya ibarat pesta yang


berpindah-pindah?

Catatan Pinggir | 120


Clifford Geertz memperkenalkan istilah yang
kemudian terkenal: negara sebagai ―theatre state‖, yang ia
simpulkan dari pengamatannya tentang Bali abad ke-19.
Di sana Negara memerintah dengan simbol dan ritual,
bukan dengan kekuatan yang memaksa. Kerajaan berjalan
bukan melalui administrasi yang efektif ataupun
penaklukan, melainkan melalui ―spectacle‖ yang
dipertunjukkan dengan memukau.

Mungkin itu pula yang bisa dikatakan tentang


Negarakertagama Prapanca: sebuah pentas. Upacara jadi
tujuan utama. Kemegahan dan kemeriahan itu bukan buat
melayani kekuasaan, melainkan kekuasaan itu yang justru
untuk melayani kemegahan. Kata Geertz, ―Power served
pomp, not pomp power.‖

Ada yang mencatat bahwa ―theatre state‖ itu tak


hanya fenomena Bali dan Majapahit. Upacara dan
peneguhan simbol bisa dilihat dalam tradisi Kerajaan
Inggris dan mungkin di negara-negara di mana konstitusi
belum dituliskan. Negara memerlukan panggung-dan ia
jadi panggung.

Tapi saya kira Geertz mengabaikan satu hal: di


panggung itu sebenarnya kita tak tahu di mana pomp
mulai dan power berakhir. Seperti umumnya dalam
sejarah, kekuasaan, kekerasan, dan pemaksaan selalu
tersembunyi dalam diri Negara. Setidak-tidaknya dalam
genealoginya. Dengan mengagungkan seorang ratu dari

Catatan Pinggir | 121


Singasari sebagai chattra ning rat wisesa (―pelindung bumi
yang utama‖), Prapanca menunjukkan pertalian Kerajaan
Singasari di abad ke-13 dengan Majapahit di abad ke-14.
Dan kita tahu Singasari didirikan Ken Arok; ia tumbuh
dari pembunuhan dan penaklukan.

Dalam menafsirkan masa lalu sebagai bagian masa


kini, dalam merangkai upacara Hayam Wuruk dari pentas
ke pentas yang berbeda, Prapanca ingin menunjukkan
Majapahit sebagai sebuah bangunan yang koheren dan
konsisten. Seantero wilayahnya diibaratkan satu kota
dalam telatah Raja: salwaning yawabhumi tulya nagari
sasikhi ri panadeg. Tapi sejauh mana yang dianggap ―satu
kota‖ itu bisa mengingkari multiplisitas yang tak
tepermanai, yang tak bisa konsisten? Negara mana pun,
juga negara modern, tak akan bisa.

Pernah Desawarnana Prapanca menampilkan


pentas sebagai karnival: Hayam Wuruk ikut membanyol,
rakyat datang berduyun, terkadang mabuk, tanpa
diarahkan. Dalam karnival, seperti kata Mikhail Bakhtin,
struktur, hierarki, dan hukum ditangguhkan. Mungkin di
situ tampak sisi Negara yang hendak disembunyikan, tapi
yang malah membuatnya hidup: selalu akan ada politik
yang tak mengekalkan struktur, melainkan mengingatkan
bahwa manusia itu setara.

Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 122


Attar
Senin, 20 Juni 2016

A ttar hidup di sebuah zaman yang tipis harapan dan


tewas pada usia 76 tahun dalam pembantaian. Di
Nishapur, di Provinsi Khorasan, Persia, tempat ia lahir
sekitar 1145, ia sebenarnya tak kekurangan suatu apa.
Sebelum menulis puisi dengan memakai nama Attar dan
berkunjung ke pelbagai penjuru menjumpai sufi-sufi
ternama, ia hidup cukup sebagai ahli obat-obatan. Banyak
penderita sakit yang datang. Dari mereka Attar mendapat
nafkah-dari mereka pula ia mengenal cerita-cerita muram
manusia dan rapuhnya kepercayaan kepada hidup.

Ia pun menulis Mosibatnmeh atau Kitab


Kesengsaraan-sebuah puisi epik yang menggugat Tuhan.

Tak jelas kapan karya itu selesai; buku itu jarang


disebut dalam biografi Attar yang samar-samar. Dunia
hanya mengenalnya sebagai penulis Mantiq-ut-Tair atau
Persidangan Burung-burung, sebuah alegori perjalanan
spiritual manusia dengan tokoh pelbagai burung yang
mencari Simurgh, sesembahan mereka. Karya Attar konon
berjumlah lebih dari 100 judul, tapi di masa hidupnya ia
tak luas dikenal. Ia dikatakan dipancung pasukan Mongol
yang membantai penduduk Nishapur. Orang hanya ingat

Catatan Pinggir | 123


yang dikatakan Rumi: ―Attar telah melintasi tujuh kota
Cinta, sementara kita masih di satu tikungan jalan.‖

Beda antara Attar dan Rumi (lahir 1207) memang


pengalaman hidup separuh abad. Tapi ada beda yang lebih
radikal di antara karya kedua penyair Persia itu, jika kita
baca Kitab Kesengsaraan. Puisi Rumi adalah litani tentang
sentuhan Kasih Tuhan yang membahagiakan. Sebaliknya
karya Attar yang satu itu, dalam kata-kata Navid Kermani,
―karya paling muram dalam sastra dunia‖.

Kermani, penulis muslim Jerman yang terkemuka


dewasa ini, membuat telaah yang mendalam tentang Kitab
Kesengsaraan dalam Der Schrecken Gottes (versi Inggris:
The Terror of God). Lewat lima bab yang menjalin
khazanah Yahudi, Kristen, dan pemikiran Eropa modern,
Kermani menampilkan Attar sebagai suara yang
mendesah, sengit tapi tak berdaya, dalam ―pertengkaran
dengan Tuhan‖.

―Pertengkaran‖ itu dimulai dengan perjalanan


seorang ―pengembara pikiran‖. Sang pengembara penuh
amarah. Baginya tak ada yang bisa dipercaya. Ia tak
mampu lagi membedakan mana yang baik dan yang keji.
Di sekitar, yang tampak hanya dusta dan tipuan. Penguasa
menindas dan sejumlah penyair menjual bakat mereka di
istana. Hukum agama hanya menuduh. Tak ada keyakinan
apa pun yang bisa dipegang.

Catatan Pinggir | 124


Ia pun mencari. Mengikuti tradisi sufi, ia
dibimbing seorang pir, seorang guru. Tapi akhirnya ia
tahu: guru yang sebenarnya adalah penderitaannya.

Dalam perjalanan itu-diceritakan kembali oleh


Kermani dengan memukau-ia lihat 100.000 jalan menuju
ke segala arah dan 100.000 lautan darah. Ia lihat dunia-
dunia yang sesat dan kosmos yang membengkak. Ia lintasi
100.000 surga dan neraka, ia mengetuk, tapi tak ada pintu
yang terbuka. Akhirnya ia hilang ingatan. Ia bicara kepada
rasa sakit, dan rasa sakit jadi keyakinan dan kekufurannya.
Ia pun membisu, menyerah, habis tenaga.

Ia berjumpa dengan Malaikat Jibril . Ia bertanya


tahukah sang malaikat obat apa yang baik bagi rasa
sakitnya. Jibril tak tahu; ia sendiri dalam keadaan yang
lebih buruk. Ada teror, heybat, yang dihadapinya-teror
dari sesuatu yang bahkan Jibril tak berani sebut namanya.

Demikian juga reaksi para malaikat lain, termasuk


para penyangga Takhta Tuhan. Mereka semua sengsara.
―Berdiriku begitu guyah,‖ jawab salah satu dari mereka,
―hingga bila selembar serat tubuhku bergerak, aku akan
jatuh ke dalam jurang yang dalam.‖

Kenapa demikian? Kenapa tak ada jawab? Dalam


Kitab Kesengsaraan Tuhan adalah kesewenang-wenangan
yang memperlakukan ciptaan-Nya sebagai obyek yang tak
berarti. Sang pengembara pun menyimpulkan, dalam

Catatan Pinggir | 125


sebaris kalimat Attar, bahwa sejak mula manusia memang
―bak bola permainan‖.

Tentu, dalam kisah-kisah penjelajahan yang seperti


siklus putus asa itu, sang guru selalu mengingatkan: dalam
kesengsaraan manusia, Tuhan punya alasan tersembunyi
yang baik. Tapi Kermani menunjukkan, puisi Attar kurang
mengedepankan itu. Ia justru memberi tekanan pada
gambaran ―kekalutan pikiran sang pengembara dan
pemandangan mengerikan yang ditemuinya...‖. Jawaban
sang guru tak memadai. Yang lebih nyaring adalah
―pertanyaan yang selalu datang dari sang musafir‖.

Sampai hari ini, pelbagai risalah filsafat dan


agama-Islam, Kristen, Yahudi-bergulat dengan pertanyaan
itu: mengapa Yang Mahakuasa tak melepaskan manusia
dari sengsara? Dan jika itu hukuman atas dosa, kenapa Ia
tak mencegahnya? Benarkah Ia pengasih, benarkah Ia
adil?

Ada yang menjawab, Tuhan tak bisa dinilai dengan


rasa keadilan dan belas kasih manusia. Tapi ada yang
menambahkan: jika benar demikian, penilaian itu justru
harus ditegaskan di dunia. Kitab Kesengsaraan
menyesakkan karena kita tahu, ada yang seharusnya bukan
kesengsaraan.

Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 126


JPC
Senin, 27 Juni 2016

P ada batu marmer yang sudah kusam, di tembok ruang


bawah Museum Wayang di Kota Tua Jakarta, terukir
sebuah nama:

DIE STICHTER VAN BATAVIA

JAN PIETERSZOON COEN

IN 1634

Sang pembangun Batavia‖ yang dikuburkan di


sana juga seorang yang bersemboyan, tercatat pada 1618:
―Jangan patah harapan, jangan ampuni lawan, sebab kita
bersama Tuhan.‖

Ia memang seorang Kristen yang keras, seorang


administrator penegak disiplin, dan tentu saja seorang
pelaksana hasrat VOC untuk menguasai persaingan
dagang di Asia di abad ke-17.

Empat tahun setelah mengucapkan kalimatnya itu,


gubernur jenderal perhimpunan dagang Belanda itu
menyerbu Banda. Dengan pasukannya ia bantai ribuan

Catatan Pinggir | 127


penduduk yang melawan dengan sengit; ia perintahkan
satu regu samurai Jepang yang disewanya untuk
memancung serentak penghulu-penghulu setempat yang
tak mau menyerah.

Di bawah ancaman senjata, orang Banda tak boleh


menjual buah pala mereka kepada orang Inggris atau siapa
pun. Rempah-rempah itu hanya untuk VOC yang
kemudian menjualnya di pasar Eropa dengan laba berlipat-
lipat.

Tak jelas bagaimana Tuhan ada dalam kebuasan


dan keserakahan itu. Mungkin bagi Coen, Tuhan adalah Ia
yang memegang pedang, menegaskan kesalehan, dan
menyusun pembukuan. Suatu hari Coen mengetahui
seorang gadis remaja asuhannya bermain cinta dengan
seorang pemuda Indo-dan mereka melakukan perbuatan
itu di ruang pribadinya. Sang gubernur jenderal murka.
Wajahnya memucat dan meja yang dipeganginya bergetar.
Ia perintahkan pemuda itu dipotong lehernya dan gadis itu
ditenggelamkan.

Agaknya ia merasa jadi penjaga moral di kota yang


dibangunnya-moral ala kaum borjuis Belanda yang
dibentuk Gereja Reformasi yang puritan, yang waspada
kepada seks dan hemat dengan sensualitas, yang selalu
menahan diri dari sikap yang berlebihan. Singkat kata:
seperti tokoh makelar kopi dalam novel Max Havelaar,

Catatan Pinggir | 128


pedagang yang takut boros dan hanya berpikir tentang
―manfaat‖-atau laba.

Tapi keketatan macam itu tak mudah buat kota


yang dibangun Coen nun jauh di negeri tropis di abad ke-
17. Di awal hidup Batavia, mayoritas penghuni adalah
laki-laki. Jean Gelman Taylor menggambarkannya dalam
The Social World of Batavia sebagai ―serdadu dan kelasi
yang telah tercerabut dari tanah asalnya‖, yang
ditempatkan ―di barak-barak di pinggiran peradaban yang
asing‖. Perempuan makhluk yang langka. Kalaupun ada,
mereka wanita pribumi yang dianggap rendah, mudah
berahi, gampang menyerah. Kebanyakan budak belian.
Dalam satu catatan tahun 1618 dilaporkan: tiap malam
berlangsung ―orgi‖ antara laki-laki bebas dan ―perempuan-
perempuan hitam‖.

Benar atau tidak cerita itu, Coen tak jenak dengan


kehidupan sosial Batavia. Ia pun mengeluarkan peraturan:
barang siapa yang tinggal dalam ―republik Jacatra‖
dilarang memelihara satu atau dua budak perempuan,
seorang gundik atau lebih. Tak boleh wanita Kristen
berhubungan seks dengan pria yang tak beragama
(heidense) atau Arab (Moor).

Hasrat untuk kemurnian-yang kadang-kadang


mirip kesucian-mendorong Coen, atau siapa pun, untuk
menegakkan hidup yang eksklusif. Pada 1619 ia
menghancurkan Jakarta (―Jacatra‖). Dimusnahkannya dua

Catatan Pinggir | 129


bangunan yang jadi pusat kota: kabupaten dan masjid. Di
atas puing-puingnya ia dirikan ―Kasteel Batavia‖-yang
segera jadi sebuah ruang isolasi. Penduduk asli sudah
meninggalkannya, orang Jawa dilarang tinggal, dan di
sekitarnya hutan berisi binatang buas. Pada 1642 ada
larangan bagi perempuan untuk ke luar gerbang ―Kastil‖.
Para budak belian tak boleh dijual pemiliknya kepada
orang Yahudi, Islam, atau yang tak bertuhan.

Dalam The Social World of Batavia digambarkan


bagaimana alimnya kehidupan di Kastil itu, yang dikuasai
Gereja Reformasi, satu-satunya denominasi Kristen yang
diperbolehkan. Kebaktian diselenggarakan di Balai Kota,
doa pagi dan malam berlaku di Kastil, dan para pejabat
dan pegawai VOC berpuasa menjelang kapal niaga
mereka berangkat. ―Tak ada yang lebih mampu
menyatukan hati orang ketimbang kesatuan iman dan
dijalaninya agama secara benar,‖ tulis Coen dalam
suratnya kepada para pembesar VOC di Amsterdam.

Seperti lazimnya orang yang taat beragama, Coen


menyangka Tuhan bersamanya dan kehendaknya akan
jadi. Tapi sejarah menunjukkan, Batavia proyek yang
gagal. Ia dibangun sebagai transplantasi kota Belanda, ia
diharapkan akan memenangkan ajaran Calvinis yang
lurus. Tapi kelembapan kota, berjangkitnya malaria, dan
keinginan manusia untuk hidup tanpa merasa takut dosa
membongkar desain itu. Kastil ditinggalkan. Kebudayaan
Kristen Eropa lumer oleh pengaruh kebudayaan Indonesia

Catatan Pinggir | 130


yang beragam dan yang terus tumbuh. Yang murni hilang,
yang campuran jadi-sebuah kebudayaan mestizo yang
berlaku di Jakarta hingga hari ini.

Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 131


Catatan Pinggir | 132
Terkutuk
Senin, 04 Juli 2016

K ITA terbiasa dengan gambaran ini, yang agaknya


datang dari benua lain: penyair, terusir dari
Kallipolis, lusuh, bau, kelayapan, insomniak, hidup tanpa
jadwal, dan memproduksi hal-hal yang tak jelas fungsinya:
sajak-sajak. Ia jarang mendapat tempat dalam sebuah
struktur. Ia di luar. Kalaupun ia ingin, Kallipolis tak akan
menerimanya kembali. Dalam kota ideal yang diangankan
Plato itu, penyair adalah elemen yang hanya berperan buat
memuja para pahlawan—dan kita tahu, itu tak akan cocok,
sebab pahlawan adalah tokoh yang membeku dalam
dongeng wajib. Maka ada benarnya, meskipun agak
berlebihan, bila pada 1832 Alfred de Vigny menulis
bahwa penyair adalah ―kaum yang akan selalu dikutuk
mereka yang berkuasa di atas bumi‖.

Waktu itu kota-kota Eropa, terutama Paris, mulai


bergerak dengan desain modern yang lugas dan teratur. Di
sana puisi, dengan sifatnya yang tak terduga-duga, makin
terasing. Paul Verlaine menyusun kumpulan puisi, Les
Poètes maudits, yang terbit pada 1884: karya-karya
―penyair terkutuk‖. Yang tergabung dalam rombongan ini
Verlaine sendiri, juga Rimbaud dan Mallarmé untuk

Catatan Pinggir | 133


menyebut yang paling dikenal di luar Prancis. Di barisan
depan: Baudelaire.

Baudelaire dijatuhi hukuman setelah ia


menerbitkan Les Fleurs du mal, 25 Juni 1857. Kumpulan
puisi itu dianggap menampar ―moralitas masyarakat‖.
Baudelaire tak dipenjara, namun didenda dan enam sajak
dalam Les Fleurs du mal harus dicabut.

Seperti berulang kali terjadi, sensor adalah


ketakaburan yang bodoh: mengutuk buku berarti
membuatnya ramai dicari. Pada umur 36 tahun, Baudelaire
telah menghasilkan satu karya yang paling banyak
dibicarakan dan dikagumi—meskipun ia semula datang
untuk mencerca dan dicerca.

Ia anak muda pesolek dan pemboros, pelanggan


seorang pelacur botak yang buruk muka. Kata orang, dari
sini ia terkena raja singa yang pelan-pelan membunuhnya.
Mungkin tak hanya sifilis. Ia penikmat laudanum, candu
yang dilarutkan dalam alkohol. Ia mengagumi Edgar Allan
Poe, penyair Amerika pemabuk yang menurut Baudelaire
menggambarkan ―kegemilangan‖ opium, yang muram,
hitam, tapi menggugah. Sang penyair Les Fleurs du mal
juga anggota tetap Club des Hashischins, sebuah
perhimpunan sastra di Paris yang bertujuan menjelajahi
kreativitas manusia saat kesadarannya berubah karena
pengaruh hashish.

Catatan Pinggir | 134


Tak mengherankan bila ia ingin ada jarak, bahkan
pertentangan, antara dirinya, juga puisinya, dan ukuran-
ukuran akhlak yang lazim. ―Ibu tahu,‖ tulisnya di sepucuk
surat kepada ibunya beberapa belas tahun sebelum ia
meninggal di pangkuan perempuan belahan jiwanya itu,
―bahwa aku selalu menganggap sastra dan seni mengejar
tujuan yang tak tergantung kepada moralitas.‖

Sajak-sajaknya memang anti-pesan-moral. Ia


menyentuh dengan akrab seks, melankoli, kematian—
dengan kata-kata yang menampar. Sajak pembuka Les
Fleurs du mal, ―Au lecteur‖ (Kepada Pembaca),
menyamakan sang pembaca seperti dirinya: hipokrit. Bila
manusia berani, tulisnya, hidup yang datar seperti ―kanvas
yang banal‖ ini seharusnya bisa dihiasi dengan
―perkosaan, racun, pisau, dan api yang membasmi‖. Sebab
ada yang ―lebih buruk, lebih jahat, lebih jorok‖ ketimbang
semua yang mengancam kehidupan, dan itu adalah ―Rasa
Jemu‖, l'Ennui.

―Penyair terkutuk‖ yang memusuhi rasa jemu itu


pada gilirannya jadi posisi tersendiri dalam hubungan
sastra dengan masyarakat. Di mana-mana. Seandainya
kumpulan Verlaine terbit di pertengahan abad ke-20, dan
meliputi sastra seluruh dunia, ia mungkin akan
memasukkan sajak Chairil Anwar, ―binatang jalang/dari
kumpulannya terbuang‖.

Catatan Pinggir | 135


Tapi apa artinya bagi ―kumpulannya‖, bagi
masyarakatnya?

Baudelaire menyatakan karyanya tak mengejar


―tujuan yang tergantung kepada moralitas‖. Tapi itu tak
berarti sajak-sajaknya tak berangkat dari konteks moral
tertentu. ―Semua sajak, semua benda seni, sepenuhnya
menyarankan secara wajar dan kukuh satu moral,‖
tulisnya. Keindahan tak cuma ―abadi‖. Ia juga terpaut
kepada keadaan yang merupakan gabungan ―zaman, cara
hidup, moral, dan gairah hati‖. Dengan kata lain, dalam
sesuatu yang indah, ada yang tak tersentuh ruang dan
waktu; tapi sesuatu yang indah harus hadir dalam
―sesuatu‖, dan ―sesuatu‖ hanya terwujud dalam dunia
manusia di mana moral dan masyarakat saling
membentuk.

Tapi ia tetap mandiri: tak bisa ditaklukkan kutukan


―mereka yang berkuasa di dunia‖. Juga tak bisa digunakan
melayani Negara, Partai, Modal, dan Pasar. Dalam posisi
itu puisi justru menggugat. Ia menjadikan dirinya tak
berguna, dan dengan itu, seperti dikatakan Adorno, ia
melawan pemujaan kepada ―guna‖—sebuah pemujaan
yang lupa bahwa ―guna‖ selalu ditentukan oleh
imperialisme manusia atas benda-benda.

Di tengah imperialisme itu, puisi terkutuk, tapi ia


menunjukkan sesuatu yang lain: ada yang berarti dalam
benda-benda tak berguna.

Catatan Pinggir | 136


Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 137


Catatan Pinggir | 138
Bekisar
Senin, 11 Juli 2016

P ada suatu hari sekitar tahun 1650, Amangkurat I, yang


bertakhta di Mataram, menerima sebuah persembahan
yang unik: seekor bekisar, unggas keturunan ayam hutan.
Yang mempersembahkan pamannya sendiri, Pangeran
Surabaya.

Bekisar ini bukan hanya cantik warna bulunya.


Sebagaimana diuraikan Pangeran Surabaya di depan Raja,
menurut catatan sejarah Babad Tanah Jawi,

...bakisar puniki
pawèstri asalé kina
sampun sawulan laminé
lami-lami dados lanang
warnanipun apelag
dhatêng sagêd akaluruk
mangké konjuka sang nata

Unggas elok yang dipeliharanya itu, sembah


Pangeran Surabaya dengan bangga, juga istimewa: dalam
waktu sebulan ia berubah dari betina jadi jantan, dan
pandai berkokok. Sang Pangeran merasa patut
mempersembahkannya kepada Raja.

Catatan Pinggir | 139


Amangkurat mengucapkan terima kasih. ―Saya
percaya akan rasa sayang Paman,‖ katanya. Tapi ia
berdusta. Dalam hati ia marah. Ia melihat persembahan itu
sebuah isyarat jahat.

Amangkurat, raja yang bengis, adalah penguasa


yang landhêp pasêmon, orang yang dengan tajam menilik
tiap isyarat dan sindiran. Kita akan menyebutnya paranoia.

Paranoia memang lazim berkembang ketika


seorang penguasa makin terisolasi di singgasananya,
terutama ketika takhta yang didudukinya berimpit dengan
kekerasan—sebagaimana kisah kekuasaan Mataram.

Maka esoknya Amangkurat berkata kepada para


menterinya: ia curiga. Ia anggap pamannya menyindirnya
agar turun takhta, untuk digantikan putra mahkota, yang
juga cucu Pangeran Surabaya.

Ketika seseorang menyampaikan kecurigaan Raja


kepadanya, Pangeran Surabaya gemetar ketakutan.
Didampingi istrinya, ia tergopoh-gopoh menghadap.
Mereka menyatakan bersedia dihukum mati jika Raja
menganggap bekisar itu hanya pasemon....

Pasemon: ungkapan semu, yang mengatakan


sesuatu tapi sebenarnya lain. Tapi tentu saja ungkapan itu
hanya berfungsi bila ia membentuk makna.

Catatan Pinggir | 140


Dalam cerita kita, Amangkurat mengampuni
pamannya. Tapi bagaimanapun ia membentuk makna yang
sama sekali berbeda dari yang ditawarkan Pangeran
Surabaya. Raja secara sewenang-wenang menganggap si
bekisar bukan hewan yang unik, melainkan sebuah tanda.
Secara sewenang-wenang pula ia menafsirkan tanda itu
sebagai oposisi politik.

Memberi makna sebuah tanda memang umumnya


dilakukan secara arbitrer, ―sewenang-wenang‖. Sebuah
tanda bisa persis sama dengan yang ditandai: foto wajah
kita di KTP menandai wajah kita. Atau sebuah tanda
menjadi index dalam pengertian semiotika Pierce:
menampilkan sesuatu yang lazim mewakili sebuah
pengertian, seperti asap menandai api, jejak telapak
menandai kaki. Atau, ia merupakan lambang: sesuatu yang
maknanya sepenuhnya terbentuk dan dipaÂhami dalam
proses kebudayaan, seperti bendera merah-putih, yang
praktis tak mirip dengan benda apa pun, kecuali warnanya,
namun ada makna tertentu yang diberikan kepadanya.

Tapi bekisar itu? Apa yang membuatnya jadi


tanda—tanda oposisi? Tak ada. Kelak, selama
pemerintahannya yang penuh konflik, Amangkurat akan
disindir dengan perumpamaan ―kalpika‖ (cincin) yang
terlalu kecil atau ―kenaka‖ (kuku) yang patah. Tapi
bekisar tak ada hubungannya dengan imaji negatif seperti
itu. Tidak dari bentuknya. Tidak pula dari transformasinya
dari betina jadi jantan; dalam dunia misoginis

Catatan Pinggir | 141


Amangkurat, perubahan itu tak akan tampak sebagai
penghinaan. Bekisar itu bukan juga nama hewan yang
bunyi akhir suku katanya bisa jadi wangsalan, semacam
pantun yang menyindir—sebuah permainan verbal Jawa
yang secara berliku-liku mengasosiasikan, misalnya,
pengertian ―tumben‖ (dalam bahasa Jawa, kadingarèn)
dengan pohon nyiur gunung (dalam bahasa Jawa, arèn).

Dengan kata lain, Amangkurat membentuk makna


dengan kesewenang-wenangan yang ekstrem. Ia ciptakan
sesuatu yang gawat dari yang praktis bukan apa-apa.

Dari masa ke masa, orang memang merasa perlu


menghindar dari ekspresi verbal. Kata bisa berbahaya.
Mungkin karena bahasa dirasakan lebih terbatas maknanya
ketimbang dunia di luarnya. Dalam keadaan itu, sebuah
ungkapan bisa terjebak dalam makna yang terbatas pula.
Maka ungkapan pikiran dan perasaan pun dinyatakan
dengan benda-benda atau sikap tubuh. Makna terbentuk
secara ―intersemiotik‖, yang verbal dan nonverbal susup-
menyusupi.

Sebenarnya itu satu bentuk perlawanan sosial


terhadap kekuasaan yang antisosial. Ketika ia membentuk
sendirian sebuah makna dari nol, dengan membuat seekor
bekisar yang unik jadi tanda yang mengancam,
Amangkurat menganggap mutlak kekuasaannya atas apa
pun, juga atas makna. Ia mirip Tuhan.

Catatan Pinggir | 142


Tak mengherankan bila akhirnya, dengan alasan
yang berbeda, ia bunuh Pangeran Surabaya beserta seluruh
keluarganya. Seperti Tuhan, ia jarang berunding. Tapi
cerita belum berhenti. Di hadapan itu manusia, bersama-
sama, bisa memperluas makna.

Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 143


Catatan Pinggir | 144
Eropa
Senin, 25 Juli 2016

D i tepi jalan kereta api di stasiun Köln Messe/Deutz


patung-patung raja berkuda jadi hijau oleh cuaca
beratus tahun. Terselip di antara pepohonan dan kabel-
kabel yang terentang, mereka seperti barang logam bekas
yang diletakkan di sana karena orang tak tahu ke mana
harus dibuang. Yang saya lihat sebuah sosok yang seakan-
akan sedang menggerakkan kudanya maju, tapi jalan telah
raib. Abad ke-21 meletakkan sisa-sisa raja ke ruang yang
kehilangan arti.

Tentu saja tak hanya sisa-sisa raja. Dan tak hanya


di Jerman. Juga mimpi dan rasa cemas di Eropa yang
membagi-bagi benua itu—sebelum ataupun sesudah
Brexit. Dari jendela gerbong dari Frankfurt menuju
Amsterdam—ini tahun 2012—saya menyadari, tapal batas
antara Belanda dan Jerman kini hanya dikenang sebagai
cerita absurd nasionalisme. Ribuan orang mati dalam dua
perang besar abad ke-20 untuk mengubah letak tapal batas
itu. Di abad ke-21, yang mati pura-pura dikenang, dan
yang dipertengkarkan tak berbekas.

Tapi benarkah? Peta telah jadi digital, ya—namun


kemajuan tak dengan sendirinya disertai tumbuhnya

Catatan Pinggir | 145


sesuatu yang nyaman: ruang hidup yang akrab. Eropa
telah jadi bangunan supranasional; pelbagai keputusan
yang mengatur hidup orang ditentukan nun jauh di luar ibu
kota negeri masing-masing, oleh orang-orang, terutama
para teknokrat, yang duduk di markas besar Uni Eropa di
Brussels. Tapi dengan demikian, ada sebuah proses yang
terasa tak terjangkau, terasa tak hadir.

Dalam sebuah wawancara dengan Die Zeit 12 Juli


2016—setelah Brexit—Habermas menyebut terjadinya
―pengosongan teknokratis‖ (technokratische Entleerung)
dari kehidupan. Uni Eropa, kata Habermas, dibentuk
sedemikian rupa hingga keputusan ekonomi yang paling
elementer, yang akibatnya mengenai seluruh masyarakat,
―ditanggalkan dari pilihan demokratis‖. Brexit adalah
gejala ―pasca-demokrasi‖, ketika orang banyak, para
warga, merasa hak dan kendali mereka lepas, dan sebab
itu mereka bangkit untuk merebutnya kembali dalam
sebuah referendum.

Dengan kata lain Brexit sebuah ungkapan anti-


teknokrasi. Ada keinginan kembali kepada ruang hidup
yang lebih akrab. Ada keyakinan yang tumbuh bahwa
dalam ruang hidup itu peran negara nasional, yang
mengikutsertakan para warga, bisa lebih cocok dengan
keinginan orang banyak.

Yang dilupakan, suara orang banyak di Jerman,


Prancis, Italia, dan lain-lain itulah yang pernah bersorak

Catatan Pinggir | 146


untuk nasionalisme dan perang. Maka tak mengherankan
bila Persatuan Eropa—dengan tujuan mencegah perang
baru—sejak mula dirintis dengan langkah yang mirip cara
membentuk perusahaan besar ketimbang ramai-ramai
mendirikan sebuah alternatif bagi nasionalisme. Jean
Monnet, ―Bapak Eropa‖, tak memulainya dengan gerakan
politik. Ia mendirikan ―Masyarakat Batu Bara dan Baja
Eropa‖, yang mengintegrasikan industri Jerman dan
Prancis, yang dikoordinasi sebuah ―otoritas tinggi‖.

Separuh karena impian perdamaian, separuhnya


lagi dengan pragmatisme, negeri-negeri Eropa lain
bergabung (Inggris menolak—sebuah indikasi Brexit yang
paling awal). Lembaga inilah yang setahap demi setahap
jadi Uni Eropa, lewat diplomasi dan pengembangan
organisasi yang rumit. Monnet cocok untuk proses itu. Ia
orang Prancis kelahiran 1888, anak saudagar brendi yang
sejak usia muda mewakili bisnis keluarganya di pelbagai
negeri. Lahir di Cognac, ia menggambarkan tempat
lahirnya sebagai ―kota brendi di mana orang mengerjakan
sesuatu dengan perlahan-lahan dan penuh konsentrasi‖.
Politik, baginya, berarti negosiasi yang sabar di tingkat
atas, bukan kampanye untuk mendapat dukungan khalayak
ramai.

Monnet meninggal pada usia 91 tahun. Eropa yang


bersatu mulai jalan dan membesar. Dimulai dengan enam,
kini ia persatuan 28 negara, terutama bekas negara sosialis
yang dengan cepat jadi kapitalis. Tak mengherankan bila

Catatan Pinggir | 147


modal (bukan khalayak ramai) sangat berperan. Sebuah
laporan Oxfam menyebutkan, dalam kelompok yang
memberi masukan untuk reformasi pajak Eropa, 82 persen
adalah wakil kepentingan swasta dan komersial. Kata
seorang sosiolog: Uni Eropa adalah sebuah ―mesin
deregulasi‖.

Dan peran negara dalam menjaga keadilan jadi


layu, dan kesepakatan untuk reformasi makin rumit, dan
ketimpangan sosial menajam. Sekitar 123 juta orang Eropa
terancam miskin ketika tak sampai 400 orang hidup
dengan bermiliar euro.

―Pengosongan teknokratis‖ akhirnya juga


pengosongan proyek Eropa dari antusiasme bersama.
Rakyat banyak pun cari harapan di tempat lain—dengan
kemarahan. ―Kami‖, underdogs yang tersingkir, berdiri
melawan ―Mereka‖, siapa saja yang ―bukan-Kami‖.
Suasana antagonistis seperti api dalam sekam. Kekerasan
datang, kemarahan menjalar.

Dan Eropa, seperti patung kuda para raja di tepi rel


itu, belum tampak mau ke mana.

Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 148


Batik...
Senin, 15 Agustus 2016

D i pakaian seragam para atlet untuk Olimpiade di Rio,


di restoran Indonesia di Amsterdam, di ruang tamu
para pejabat di Jakarta, di tas cendera mata konferensi
internasional di Bali, ―Indonesia‖ adalah batik, ukiran
garuda, kain songket.... Hiasan-hiasan yang tak lagi jadi
pemanis, tapi penanda.

Dalam sejarahnya, penanda itu lama-kelamaan


mengeras, membeku, memberati. Perannya sebagai
ornamen hilang; ia bisa ditampilkan dengan selera estetik
yang minimal dan dorongan komunikatif yang maksimal.
Dalam perkembangannya, gambar ―garuda‖ harus dibuat
sesuai dengan standar, sesuai dengan kelaziman, agar
mudah dipahami, meskipun bentuknya kaku. Ia bukan lagi
karya desain. Ia pesan ideologis. Umumnya didukung
kekuasaan, ia diulang-ulangi sebagai mantra visual. Ia
kegemaran para pejabat yang cemas bila melihat apa saja
yang baru dan tak biasa. Ia, penanda yang membeku itu,
dijaga para birokrat, makhluk yang hidup dengan s.o.p.

Bersama itu, apa yang disebut ―identitas‖


Indonesia terjerat. Ia mengalami osifikasi.

Catatan Pinggir | 149


Gejala ini sudah lama sebenarnya. Sejak elite
sosial-politik kita bertemu dengan manusia lain dan dunia
lain, persoalan ―identitas‖ jadi kerepotan yang tak henti-
hentinya. Imperialisme Eropa, yang merengkuh pelbagai
jenis manusia dari pelbagai sudut muka bumi, membuat
pertemuan itu sebuah perubahan sejarah. Sering kali
traumatis. Edward Said dengan tepat menguraikannya:
―Imperialisme berhasil mengkonsolidasikan campuran
kebudayaan dan identitas dalam skala global,‖ tulisnya di
akhir buku Culture and Imperialism. ―Tapi pemberiannya
yang terburuk dan yang paradoksal adalah memungkinkan
orang untuk yakin bahwa mereka hanyalah, semata-mata,
Putih, atau Hitam, atau orang Barat, atau orang Timur.‖

―Memungkinkan orang untuk yakin‖ butuh


kekuasaan dan hegemoni. Membuat orang yakin bahwa
dirinya ―hanyalah, semata-mata‖ Timur adalah membuat
penanda identitas jauh dari percampuran: batik, garuda,
dan lain-lain itu harus mengikuti tradisi; si bumiputra, si
inlander, mesti ―asli‖.

Syahdan, sejarah imperialisme mencatat sejumlah


―pameran kolonial‖, sejak abad ke-19 sampai dengan abad
ke-20. Di Jerman pameran itu juga disebut Völkerschauen,
tempat manusia dari tanah jajahan didatangkan dan
dipertontonkan di kota-kota besar Eropa. Dari sini, yang
―eksotis‖ pada manusia non-Eropa dikukuhkan. Mula-
mula dengan sikap menghina, pada gilirannya ia jadi daya

Catatan Pinggir | 150


tarik. Tapi dengan itu pula stereotipe tentang Sang Lain
diproduksi dan disebarluaskan.

Dalam sepucuk surat bertanggal 9 Januari 1901,


Kartini menceritakan sepasang tamu Eropa yang datang ke
Jepara untuk menemuinya dan adik-adiknya: ―Aku yakin
orang tidak akan memberikan seperempat perhatian
mereka kepada kami [seandainya kami tidak] memakai
sarung dan kebaya, melainkan gaun; [seandainya] selain
nama Jawa kami, kami punya nama Belanda....‖

Ada nada sarkastis yang halus pada kalimat itu.


Ada kepedihan merasakan ditatap dalam jerat ―identitas‖.
Ada rasa geli yang getir karena dilekati label eksotis dan
penanda yang keras, beku, memberati.

Saya tak akan heran jika hal itu juga yang


membuat para siswa STOVIA menyimpan bara
pembangkangan kepada pemerintah kolonial dalam diri
mereka: mereka harus mengenakan pakaian daerah, tak
diizinkan berpakaian jas dan pantalon, sebagaimana
mereka, ketika jadi dokter, hanya boleh naik kereta kelas
dua, tak boleh kelas satu—meskipun orang Eropa yang
lebih rendah jabatannya mendapat privilese itu.

Saya bisa membayangkan bagaimana sedihnya


Raden Saleh, sepulang kembali ke tanah kelahirannya,
ditolak Ratu Belanda ketika ia memohon satu hal:

Catatan Pinggir | 151


diperkenankan mengenakan kostum marinir Belanda,
meskipun seragam itu sudah tak dipergunakan lagi....

Pemerintah kolonial, kita tahu, memisah-misahkan


manusia dalam apartheid agar bisa dikuasai. Tapi kadang-
kadang wajahnya manis: wajah pelindung ―identitas‖
pribumi, penganjur tradisi (yang tak jarang ―feodalistis‖),
dan segala hal yang diberi label ―asliâ‖.

Kemudian meledak Revolusi 1945. Dalam


kebudayaan, semangat revolusi itu ditandai semangat
menghancurkan penanda-penanda yang membeku.
Merdeka juga berarti melepaskan diri dari osifikasi ―jati
diri‖.

Chairil Anwar dan teman-temannya disebut


sebagai ―Angkatan 45‖, tapi tampak: elan perlawanan
mereka tak diwujudkan dalam pekik ―nasionalisme‖ yang
lazim, yang umumnya dikaitkan dengan tahun 1945.
Kalimat terkenal dalam manifesto mereka, Surat
Kepercayaan Gelanggang, yang terbit pada 1949:

Kami tidak akan memberikan suatu kata-ikatan


untuk
kebudayaan Indonesia. Kalau kami berbicara
tentang
kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada
melap-lap
hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk

Catatan Pinggir | 152


dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu
penghidupan
baru yang sehat.

Dengan itulah generasi Chairil memerdekakan


kita: menerjang kebekuan.

Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 153


Catatan Pinggir | 154
Fobia
Senin, 22 Agustus 2016

B AGIAN yang menyedihkan dalam sejarah adalah


ketika tak ada lagi orang-orang tak bersalah. Jika
benar seorang ulama di wilayah Queens, New York,
ditembak kepalanya dari jarak dekat, hanya karena ia
muslim atau berpakaian seperti orang Timur Tengah,
maka ia seseorang yang dianggap terlibat dengan
kejahatan, bahkan kekejaman, di tempat lain, di waktu
lain, yang dilakukan atas nama Islam. Maulama Akonjee
seorang imam masjid yang halus budi, tapi orang yang
menembaknya memastikan ia ikut dalam satuan politik
orang-orang jahat. Label sudah dipasang. Dendam bisa
dibalaskan kepadanya.

Kini orang-orang berbicara tentang ―Islamofobia‖


yang berjangkit di Eropa dan Amerika. Kata ―fobia‖—
sebagaimana halnya dalam ―komunistofobia‖,
―xenofobia‖, dan pelbagai bentuk penolakan kolektif—tak
sepenuhnya tepat. Yang berkecamuk bukan cuma gejala
kejiwaan sosial. Mungkin ini lebih berupa gema sejarah
konflik politik yang panjang, yang melibatkan orang ramai
secara luas, ketika agama dikibarkan dalam keyakinan dan
kebencian.

Catatan Pinggir | 155


Tak mudah menemukan dari mana mulainya. Bisa
disebut tahun 852, ketika sebuah armada ―Saracen‖
dengan 73 kapal mendarat di pulau Ostia dan menyerbu ke
darat, menuju Roma. Gereja St. Petrus dan St. Paulus
dibakar.

Dengan segera, Paus yang baru, Leo IV, yang


sudah membangun tembok melindungi bukit Vatikan,
membentuk angkatan laut bersama penguasa kota Napoli,
Amalfi, dan Gaeta. Perang pun berlangsung. Roma
menang.

Tujuh abad kemudian Rafaelle mengabadikannya


dalam lukisan yang menghiasi salah satu istana Vatikan: di
kanvas sebelah kanan, tampak sisa-sisa armada ―Saracen‖
yang kalah, dibelenggu dan dijambak rambutnya oleh
tentara Kristen dengan pedang terhunus; di tengah, kapal-
kapal yang berantakan; di kanvas sebelah kiri, tampak
Paus menatap ke langit, berterima kasih kepada Tuhan
yang telah mengirim taufan yang memporak-porandakan
armada ―Saracen‖.

Tampaknya taufan yang datang hari itu dianggap


pertolongan Ilahi kepada pasukan Kristen—memperkuat
apa yang kemudian berulang: iman sangat penting dalam
peperangan.

Sebenarnya tak ada tanda bahwa orang ―Saracen‖


menyerbu atas nama Islam; umumnya mereka perompak

Catatan Pinggir | 156


yang menjarah harta. Kata ―Saracen‖ konon berasal dari
Yunani, Sarakenos. Ada yang mengatakan, aslinya
memang dari bahasa Arab, syarqiy, ―dari Timur‖, orang-
orang dengan warna kulit gelap.

Dalam perkembangannya kemudian, sejak Perang


Ostia, di masa Abad Pertengahan akhir, dikotomi ―Timur‖
dan ―bukan-Timur‖ beralih jadi ―Islam‖ dan ―Kristen‖.
―Saracen‖ juga sebutan bagi muslim di Albania dan
Chechnya.

Tiga abad setelah kemenangan Paus di Ostia,


sebuah konflik yang kian mengukuhkan posisi agama
sebagai motif utama berkecamuk: Perang Salib. Perang
yang bermula di abad ke-11 ini dikobarkan oleh Paus
Urbanus II untuk merebut Yerusalem. Tapi ada sejumlah
perang yang disebut ―Perang Salib‖, dalam skala besar dan
kecil, sampai dengan abad ke-13. Tak selamanya yang
diperebutkan Tanah Suci, dan tak selamanya melawan
Turki.

Tapi ―Turki‖ tetap jadi sosok yang negatif. Tahun


1453, Sultan Muhammad II merebut Konstantinopel,
mengakhiri imperium Byzantium. Tahun 1526, Sultan
Sulaiman I (1520-1566) menaklukkan Hungaria.

Suasana terancam menyebabkan Martin Luther


sejak 1528 berbicara. Bapak Protestantisme ini
menyatakan bangsa Turki ―perampok dan pembunuh‖.

Catatan Pinggir | 157


Merasa bahwa mereka sudah di ambang pintu dunia
Kristen, Luther melihatnya sebagai peringatan Tuhan
tentang sudah dekatnya hari Kiamat, agar umat Kristen
bertobat.

Tapi Luther juga melihat bahaya sebaliknya: Islam


bisa memikat. Dalam komentarnya atas sebuah risalah
tentang agama dan adat-istiadat orang Turki, yang
disiarkan pada 1830, Luther melihat kelebihan ―agama
orang Turki dan Muhammad‖ dalam adat-istiadat. Ada
kesederhanaan soal ―makanan, busana, tempat tinggal...
juga dalam hal puasa, bersembahyang, dan berhimpun‖.
Seraya menyerang kaum Katolik, Luther mengatakan ia
―sepenuhnya yakin, tak akan ada penganut Paus, rahib,
dan padri yang mampu tetap dalam iman mereka andai
mereka tinggal tiga hari saja bersama orang Turki‖.

Ada selalu drama dan hiperbol dalam gambar-


gambar besar sebuah konflik—drama yang menutup
pelbagai hal yang di luar pola umum. Pada 1687, filosof
Leibniz menyebut ―wabah Islam‖, la peste de
mahometisme, di Eropa. Seperti dikatakan Ian Almond
dalam History of Islam in German Thought, Leibniz
memahami Islam pada hakikatnya sebuah satuan politik.

Dalam hal itu, ia, yang menganggap Islam


―wabah‖, sama dengan kaum Islamis yang kini
menganggap diri sebagai wakil Islam yang sah. Islam:
sebuah satuan politik yang tak memungkinkan perbedaan,

Catatan Pinggir | 158


dalam satu label. Di sana, tiap orang terlibat. Tak ada yang
tak bersalah. Tak ada yang bisa tak ikut, untuk membunuh
atau dibunuh.

Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 159


Catatan Pinggir | 160
Huesca
Senin, 29 Agustus 2016

S ejak 1948, puisi itu selalu menggetarkan. Kita, di


Indonesia, akan mengenangnya—meskipun dari
sebuah terjemahan—sebagai bagian dari pukau yang
bernama Chairil Anwar.

Jiwa di dunia yang hilang jiwa


Jiwa sayang, kenangan padamu
Adalah derita di sisiku
Bayangan yang bikin tinjauan beku

Chairil telah menunjukkan, menerjemahkan,


khususnya puisi, bukanlah mengikuti sesuatu yang sudah
ada, melainkan mencipta. Ia melintasi asal-usul. Dalam
bentuk aslinya, ―Huesca‖ adalah empat bait yang akrab
dengan hidup seorang John Cornford.

Penyair Inggris itu menuliskannya sebelum ia


tewas dalam Perang Saudara Spanyol pada hari ulang
tahunnya, 27 Desember 1936. Umurnya baru 21 tahun.
Sebelumnya, dalam pertempuran di Madrid melawan
pasukan Fasis, ia terluka di kepala. Puisi itu lahir ketika ia
dirawat: sebuah sajak cinta yang murung, di saat hidup
akrab dengan kematian:

Catatan Pinggir | 161


Dan jika untung malang menghamparkan
Aku dalam kuburan dangkal
Ingatlah sebisamu segala yang baik
Dan cintaku yang kekal

Tapi kemurungan itu bukan segalanya—hanya


melintas, mendorong, tak menenggelamkan. Sajak cinta
itu bahkan melampaui dirinya sendiri sebagai sajak cinta.
Sang penyair tahu ia sedang di ambang pertempuran yang
menentukan dengan merebut Kota Huesca, sebuah
wilayah yang jadi ―pagar penghabisan dari kebanggaan
kita‖. Sang penyair tahu ia bisa dibunuh dan membunuh.
Tapi bukan untuk dirinya sendiri. Ia ingin menemukan
sesuatu yang berharga di dunia yang kehilangan harga.

Di sini Chairil tak mengungkapkan apa yang


tersirat dalam sajak penyair Inggris itu. ―Jiwa di dunia
yang hilang jiwa‖ (dalam versi Chairil) berbeda dengan
kalimat “the heart of the heartless world” (dalam sajak
Cornford). Kata “heartless” sama dengan ―tak
berperasaan‖ atau ―bengis‖. Kata ―hilang jiwa‖ bisa berarti
―mati‖.

Cornford agaknya menulis dengan gaung kalimat


Marx yang terkenal tentang "[einer] herzlosen Welt”,
dunia yang tak punya hati dan perasaan.

Cornford seorang komunis yang yakin, tapi ia juga


penyair, bukan penghafal doktrin. Bagi Marx ―penghibur‖

Catatan Pinggir | 162


atau ―penawar‖, das Gemacht, dalam dunia yang bengis
itu adalah agama, yang akhirnya jadi candu yang
memperlemah manusia. Bagi Cornford, penawar itu cinta,
kenangan tentang kebaikan, harga diri bersama
(―kebanggaan kita‖), tekad untuk mengakhiri keadaan
yang tak punya tempat bagi hal-hal yang tak ternilai itu.

Sajak itu ditulisnya buat Margot Heinemann,


kekasihnya yang ia tinggalkan di London. Tapi gadis ini
juga kawan seperjuangan. Margot, mahasiswa Cambridge
yang aktif dalam gerakan Kiri, sejak 1934 bergabung
dengan Partai Komunis Inggris.

―Huesca‖ adalah sajak cinta dan sekaligus sajak


politik.

Paduan itu membuat empat bait itu begitu tulus


hingga tak berteriak. Tak ada slogan. Suasananya
menyentuh, melintasi batas.

Cornford dan Heinemann tak datang dari kelas


buruh. Ayah John guru besar sejarah kuno di Universitas
Cambridge, ibunya penyair; ia keturunan Charles Darwin.
Margot anak seorang bankir yang mendukung Partai
Buruh. ―Kami semua... sekutu yang wajar kelas pekerja,‖
kata perempuan yang tak pernah meninggalkan Partai itu,
biarpun ia pernah kecewa. Baginya, di hari-hari itu, yang
mereka lakukan bukanlah melampaui latar belakang kelas
borjuis mereka, melainkan mencoba menyatukan semua

Catatan Pinggir | 163


golongan dengan kehendak yang sadar untuk ―menghadapi
Fasisme dan perang‖.

Ketika kaum Fasis mengambil alih kekuasaan di


Spanyol dan kaum Republiken bangkit melawan, sebagian
dunia bergerak. Menggetarkan hati bahwa ribuan orang—
termasuk sederet sastrawan dan perupa terkenal—bersedia
bertempur bersama di pelbagai tempat di Spanyol. W.H.
Auden, Dos Passos, Hemingway, Malraux, Picasso,
Orwell (yang juga terluka dalam pertempuran)....

Di London, Margot aktif mengedarkan pamflet dan


menghimpun rapat umum. John bergabung (bersama kaum
kiri dari segala penjuru dunia) dalam Brigade
Internasional. Ia berangkat ke Spanyol. Pertengahan Juni
1937, ia ada di antara 17 ribu orang yang mengepung
Huesca, kota di timur laut yang dikuasai kaum Fasis itu.
Tapi mereka tak sekuat semangat mereka.

Setelah bertempur sepekan, mereka gagal. Sekitar


9.000 pejuang tewas. Jasad Cornford tak ditemukan—tak
juga di kuburan dangkal.

Agaknya ia tak menyesal. Ia tak pernah


membayangkan kematian yang heroik. Sebuah sajaknya
menggambarkan, dengan lugas, betapa tak agungnya
seorang pejuang yang gugur: “Death was not dignified.”
Heinemann yang menulis elegi untuk kekasihnya tahu:
gugurnya John dan rekan-rekan yang terbaik dan paling

Catatan Pinggir | 164


berani adalah hal yang tak bisa ditebus, tapi bisa
ditanggungkan. All this is not more than we can deal with.

Spanyol, 1930-an: mungkin buat terakhir kalinya


dalam sejarah, energi bangkit untuk mengukuhkan sesuatu
yang universal dalam hidup manusia—dan ada orang-
orang siap mati untuk itu. Meskipun kalah.

Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 165


Catatan Pinggir | 166
Molek
Senin, 12 September 2016

A DA apa dengan Picasso? Atau Sudjojono? Di sekitar


1950, sewaktu Sudjojono belum 40 tahun, ia
memutuskan sesuatu yang tak biasa: bersama seniman lain
naik sepeda dari Yogya ke Jakarta. Tujuan mereka
mendesak Presiden Sukarno agar menyetujui ide Sticusa,
sebuah lembaga kebudayaan Belanda di Jakarta,
menyelenggarakan pameran besar karya-karya perupa
Eropa abad ke-20: Picasso, Matisse, Braque.

Cerita ini saya petik dari kesaksian Willem


Mooijman, yang waktu itu bekerja di Sticusa. Saya
menemukannya dalam buku yang menarik tentang sejarah
seni dan kesenian Indonesia antara tahun 1950 dan 1960,
Ahli Waris Budaya Dunia, yang disunting Jennifer
Lindsay dan Maya H.T. Liem.

Sejauh mana Mooijman akurat, saya tak tahu.


Yang jelas, sejarah Indonesia setelah kemerdekaan tak
pernah mencatat adanya pameran besar kanvas Picasso.
Sudjojono gagal. Bung Karno menolak.

Mungkin Sudjojono tak tahu betapa rumitnya


membuat pameran seperti itu. Mungkin juga selera seni

Catatan Pinggir | 167


rupa Bung Karno lain: bukan Picasso yang terpukau
seorang perempuan dan membuat wajahnya seakan-akan
retak. Bung Karno lebih menyukai perempuan dengan
paras makin cantik dan tubuh menonjol. Baginya itulah
yang ―indah‖, seperti lukisan kembang sumringah, gunung
dan laut biru, sawah menguning.

Sudjojono, kita tahu, mencemooh selera ―Mooi


Indie‖ macam itu. Bagi penikmat ―Hindia yang molek,‖
kata Sudjojono, ―semua serba bagus dan serba romantis,
semua serba enak, tenang, dan damai.‖ Ia menghendaki
perupa Indonesia melukiskan pabrik gula dan petani lapar,
mobil si kaya dan celana kumuh si miskin. Sudjojono,
yang kemudian jadi wakil Partai Komunis di parlemen,
ingin menunjukkan realitas Indonesia bukan sawah dan
angin sepoi-sepoi basa. Realitas: pertentangan kelas.

Tapi menarik bahwa Sudjojono lebih


menginginkan pameran karya Picasso, Braque, dan
Matisse dari Paris, bukan karya-karya Gerasimov dan
Brodsky dari Moskow. Jika kita lihat lukisannya, Cap Go
Meh, yang menghadirkan wajah-wajah ganjil, buruk, dan
seram, Sudjojono tak akan cocok dengan formula
Lunacharski, menteri kebudayaan Soviet yang diangkat
Lenin; Lunacharski menghendaki representasi ―tubuh
yang sehat, wajah yang ramah, dan senyum yang cerdas
dan bersahabat‖.

Catatan Pinggir | 168


Dengan kata lain, Lunacharski juga menghendaki
yang ―serba bagus‖, tenang, dan tertib. Stalin kemudian
menegaskannya lebih jauh dengan mengharuskan
optimisme—demi pembangunan. Mungkin bukan
kebetulan jika di Jerman Hitler juga memaklumkan
doktrin yang mirip. Nazi mengganyang seni rupa seperti
karya Otto Dix sebagai Entartete Kunst, ―seni rupa
bobrok‖, karena di kanvas itu wajah dan tubuh tampak
peyot seperti sakit oleh hidup yang terluka.

Dengan kata lain, penampilan tubuh harus sejalan


dengan penertiban manusia: tata harus ditegakkan di atas
hidup yang bergejolak—sesuatu yang juga tersirat dalam
estetika ―Hindia Molek‖. Sebab ―Mooi Indie‖ adalah
kanvas-kanvas yang mandul, bahkan mati. ―Hindia
Molek‖ mengemuka karena sudut pandang kolonialisme.

Kolonialisme tak ingin citra koloni adalah


kehidupan yang resah, kegelisahan di bawah represi.
Semua tenang, karena semua terkendali. Semua tampak
statis, melalui ―tatapan kolonial‖: melalui fokus dan pigura
yang dipegang erat sang penjaga Orde.

Wajar jika estetika ―tatapan kolonial‖ tak


menghendaki ―the shock of the new"—guncangan sesuatu
yang baru, yang tak terduga-duga, yang menyeruak dalam
karya-karya Picasso, Braque, Dali, dan lain-lain, seperti
pernah diuraikan penulis sejarah seni rupa Robert Hughes.
Guncangan itu disebut ―modernisme‖. Yang ―molek‖

Catatan Pinggir | 169


bukan lagi kembang dan perempuan mekar. Segala
formula dan kategori dibabat. Duchamp memajang tempat
kencing bikinan pabrik sebagai karya seni.

Sebenarnya dengan semangat semacam itu juga


Sudjojono membangkang. Seniman Indonesia harus
melukis pabrik gula, katanya—tanda perubahan dari
masyarakat lama.

Namun, dengan begitu, perlawanan terhadap


tatapan kolonial ini tak akan kembali ke dunia pra-pabrik-
gula. Sebab kehidupan yang sering dianggap sebagai dunia
―Timur‖ yang anteng itu diam-diam cocok dengan tatapan
kolonial: mandek, dan karena itu eksotis.

Itu sebabnya, bagi Sudjojono, kesenian Indonesia


harus ―ke Barat, untuk menuju Timur‖. Maka ia ingin
Picasso, bahkan siap bekerja sama dengan Sticusa yang
Belanda. Sebab ada apa dengan "Barat"? Dengan
"Timur"?

Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 170


Angsa
Senin, 19 September 2016

J akarta punya sejarah yang panjang, tapi punyakah ia


nostalgia? Kota bergerak kian cepat; pada saat yang
sama kian sedikit penghuni yang memandang foto-foto
lama sebagai bagian dari riwayat mereka. Di Jakarta
generasi manusia, gedung, dan peta berganti berkali-kali.

Kita punya Chairil Anwar (mungkin dia satu-


satunya), yang sekilas mencatat satu adegan Jakarta
modern di ujung 1940-an—bioskop Capitol memutar film
Amerika, anak-anak muda menunggu trem dari Kota—
tapi tak ada yang melihat kembali bagian yang
ditinggalkan. Dengan murung atau tidak.

Transformasi tentu juga dialami kota lain. Paris di


abad ke-19, misalnya, berganti rupa mirip ciptaan baru:
pada 1853, Napoleon III menugasi Baron Georges-Eugène
Haussmann untuk mengubah Paris. Kembali dari
pembuangan selama 12 tahun di London, penguasa itu
benci ibu kotanya sendiri.

Selama ia absen, jumlah penduduk meningkat dari


759 ribu jadi sejuta lebih. Kolera dan tifus membunuh
ribuan orang. Dibandingkan dengan London masa itu,

Catatan Pinggir | 171


Paris berantakan dan sesak napas. Napoleon, yang
melanjutkan kekuasaannya melalui kudeta dan jadi
diktator, ingin pusat kerajaannya punya lampu terang,
udara bersih, air jernih, taman luas, dan avenue dengan
deretan pohon.

Haussmann dianggap pejabat yang tepat untuk


transformasi itu. Birokrat bertubuh tinggi besar ini
terkenal pintar di perguruan tinggi. Menteri Dalam Negeri
menggambarkannya sebagai ―salah satu dari orang paling
luar biasa di zaman kita‖.

Dan Haussmann, yang bisa omong nonstop selama


enam jam, bersedia menyimak ketika Napoleon III
berkata: ―Ini yang saya mau.‖ Dibentangkannya peta Paris
yang diberi tiga garis tebal, satu dari utara ke selatan dan
dua dari timur ke barat. Artinya, sejumlah wilayah padat—
yang juga bersejarah—harus dibongkar.

Maka ―Haussmannisasi‖ pun dimulai. Sekitar 12


ribu bangunan dihancurkan, buat memperbaiki wilayah
Opéra National de Paris dan akses ke pasar Les Halles.
Stasiun-stasiun kereta api baru didirikan dan dihubungkan
dengan jalan raya yang lempang dan lebar. Boulevard
sepanjang 137 kilometer terentang.

Tapi tak cuma itu. Juga deretan tiang lampu, kios


surat kabar, dan pajangan di 27 taman dan lapangan. Di
bawah tanah, Haussmann memasang jaringan saluran

Catatan Pinggir | 172


limbah kota; dibangunnya juga akuaduk dan cadangan air
minum bersih.

Tak semua orang menyaksikan transformasi itu


dengan antusias. Baudelaire menuliskan sajak-sajaknya
yang terkenal dari kegundahan menapak Paris dalam
desain Haussmann. Penyair yang selama hidupnya
berpindah dari tempat ke tempat di kota itu suatu hari
lewat di Place du Carrousel, dekat Museum Louvre.
Wilayah ini dulu jadi pusat penjual buku dan karya seni.
Ketika Baudelaire menyaksikannya, para pedagang itu
sudah dipindahkan. Rumah-rumah kecil yang jadi kedai
sudah hilang. Di sajak ke-89 dalam kumpulannya Les
Fleurs du mal, ia pun menulis:

Paris lama tak lagi di situ!


(Sebuah kota berubah bentuk lebih cepat
ketimbang hatiku).

Di bait berikutnya ia menyebut bagaimana ia, di


suatu pagi, melihat seekor angsa lepas dari kandang, tapi
tak menemukan air lagi. Bulunya yang putih menyusuri
tanah. Di parit yang kering ia membuka paruhnya yang
berlumur debu, bertanya: ―Air, kapankah kau turun dalam
hujan?‖

Angsa itu sebuah alegori: makhluk elok bukan-


manusia yang menanggungkan ambisi, kepentingan, dan
kalkulasi manusia—seperti alam dan mereka yang di

Catatan Pinggir | 173


pinggiran terancam perluasan kuasa teknologi dan modal.
Baudelaire mempersembahkan Le cygne buat Victor Hugo
yang waktu itu hidup di pengasingan. Kita tahu ke mana
pengarang Les Miserables itu berpihak: bersama para
nestapa.

Tapi suara Baudelaire bukan nostalgia. Masa lalu


tak semuanya indah. Bait pertama Le cygne menyebut
nama dalam khazanah lama, Andromache, perempuan
Troya yang suaminya gugur dan negerinya dibinasakan
dengan bengis oleh yang lebih kuat dan ia jadi budak. Air
matanya mengalir, membentuk sungai kecil yang dalam
mithologi Yunani juga dewa, Simoeis. Dengan tak
langsung, Le cygne mengingatkan ada yang kalah hari ini,
tapi juga dulu dan nanti—dan itulah yang menyedihkan
dalam sejarah manusia.

Tentu saja bisa ditambahkan: air yang mengalir itu


bisa jadi energi. Peradaban bisa terbangun. Kalimat Walter
Benjamin yang sering dikutip itu rasanya benar: ―Kisah
peradaban adalah juga kisah kebiadaban.‖

Saya tak tahu apakah dengan itu Benjamin bisa


menjelaskan bahwa ―Haussmannisasi‖ yang brutal pada
akhirnya menjadikan Paris menarik, dan seorang flaneur
bisa kluyuran di celah-celahnya, memandang dengan rasa
tertarik dan cerdas deretan komoditas di sekitarnya.

Catatan Pinggir | 174


Di Jakarta, kita tahu, tak mudah lagi kita kluyuran.
Mungkin hanya jauh di malam hari: ketika jalan lengang,
ketika terang dan gelap saling menyeling, dan kota—
dalam ketenangan dinihari—jadi sebuah ilusi.

Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 175


Catatan Pinggir | 176
Rakyat
Senin, 26 September 2016

Setelah pembangkangan 17 Juni itu,


Sekretaris Persatuan Pengarang membagikan selebaran
di Jalan Raya Stalin.
Dikatakannya bahwa rakyat telah melanggar
kepercayaan Pemerintah,
dan hanya bisa menebusnya kembali
dengan usaha berlipat ganda.

Tidakkah dalam hal ini sebenarnya lebih mudah


bagi Pemerintah
untuk membubarkan rakyat
dan memilih rakyat yang baru?

– Bertolt Brecht (1953)

P agi hari di pertengahan Juni 1953, buruh bangunan di


satu bagian timur Berlin memulai sesuatu yang semula
tak terpikirkan di bawah kekuasaan Partai Komunis:
mereka mogok. Mereka berontak.

Sudah sejak musim semi ketakpuasan menjalar:


upah dirasakan tak cukup dan penghasilan timpang.
Kepada para pejabat Partai dan serikat pekerja Bolsyewik

Catatan Pinggir | 177


yang datang membujuk, seorang buruh berseru, ―Perut
kalian buncit, tapi coba lihat kami; penghasilan kalian tak
cuma 144 mark; kalian mendapat 1.200.‖ Dan ketika
masih diulang anjuran agar buruh bekerja keras ―untuk
masa depan yang lebih baik‖, mereka pun membuang
semua alat kerja dan turun ke jalan. ―Kami bukan budak,‖
teriakan terdengar.

Dengan segera buruh di tempat lain bergabung.


Pemogokan jadi protes politik. Keberanian berkembang di
pelbagai kota Jerman Timur. Penduduk melucuti polisi,
mengepung kantor Partai Komunis, dan menyerbu penjara,
membebaskan para tahanan. Tanggal 17 Juni 1953 jadi
tanggal pembangkangan. Semua berakhir setelah tank-tank
Uni Soviet datang memadamkannya dan korban jatuh.

Dengan humor yang getir, Brecht (ia sudah dikenal


sebagai pengarang Komunis terkemuka yang tinggal di
Jerman Timur) menulis sajaknya yang saya kutip di atas.
Dan kita pun berpikir: mungkinkah rakyat dibubarkan?
Bisakah ―rakyat yang baru‖ dipilih Pemerintah?

Brecht memakai kata das Volk. Dalam bahasa


Jerman setelah runtuhnya Nazi, kata itu lebih terlepas dari
pengertian etnis. Kita menerjemahkannya dengan
―rakyat‖. Kata ini sudah ada dalam naskah Nusantara
lama, tapi maknanya berubah setelah bangkitnya gerakan
politik untuk kemerdekaan di abad ke-20. Majalah Fikiran
Ra'jat didirikan Bung Karno pada awal 1930-an misalnya.

Catatan Pinggir | 178


Di sampulnya ada kalimat: "Kaoem Marhaen! Inilah
madjallah kamoe!"

―Rakyat‖, dengan kata lain, identik dengan


―marhaen‖, anggota lapisan sosial yang miskin. Namun ia
bukan lagi orang bawahan yang hanya dihimpun untuk
menuruti titah raja seperti dalam Sejarah Melayu. Rakyat
di abad ke-20 telah jadi subyek yang menderita tapi ber-
―fikir‖. Ia dibayangkan homogen, padu, kuat—juga
setengah misterius karena hanya bisa sedikit jelas
definisinya bila dihadapkan dengan yang ―bukan-rakyat‖.

Biasanya, yang ―bukan-rakyat‖ itu ―Pemerintah‖—


yang dianggap ditentukan rakyat. Rakyat yang berdaulat
mendasarinya. Saya bayangkan ―Pemerintah‖ seperti
bahtera di atas laut dalam; laut itulah ―rakyat‖ yang terus-
menerus ada dan dianggap perkasa dan utuh. Sajak Brecht
di atas bermain-main dengan pintar: ia tahu tak mungkin
ada Pemerintah yang memilih rakyat baru. Bahtera itu
yang datang dan pergi. Laut tetap.

Tapi analogi itu tak selamanya pas. Rakyat bisa


terbentuk baru. Di Jerman Timur Juni 1953 itu, buruh di
pelbagai tempat, berbareng dalam ketakpuasan yang setara
dengan penduduk lain, jadi ―rakyat‖ hampir seketika.
Dalam ―revolusi sosial‖ yang meletus di Sumatera Timur
pada 1946—yang mencoba menumbangkan kekuasaan
kaum bangsawan Melayu—rakyat terbentuk jadi baru
sebagai suara amarah, menghadapi satu hal yang membuat

Catatan Pinggir | 179


mereka terpadu dan jadi kekerasan. Sejumlah besar
kerabat Kesultanan Melayu Asahan dibunuh. Di hari-hari
yang ganas itu, ―rakyat‖ adalah suara yang menghendaki
keadilan tapi juga kekuatan yang menggila.

Di Berlin, pertengahan Juni 1953, rakyat terbentuk


dan sekaligus berubah. Ia bukan lagi nama yang
menggerakkan cita-cita sosialisme. Ia barometer sebuah
defisit: ia menunjukkan kekurangan dan ketimpangan
sosial. Tapi ia juga satu kekuatan yang tak-rasional, yang
meledak tanpa menimbang kekuatannya sendiri. Maka
―rakyat‖, yang selama itu dikendalikan dan diwakili
Partai, makin tak bisa diandalkan. Rakyat, kata Brecht,
telah ―melanggar kepercayaan Pemerintah‖.

Wajah ―rakyat‖ yang dua-sisi itu kembali setelah


Republik Demokrasi Jerman roboh pada 1989. Kini tak
ada partai yang legitimasinya tak bergantung pada rakyat.
Tapi dalam suasana serba waswas akan terorisme,
pendatang, dan Islam, tampak wajah irasionalitas lain.
Kini orang berbicara tentang ―populisme‖, yang
menganggap suara cemas adalah suara sah Jerman yang
tak bisa diwakili elite politik mana pun.

Di Indonesia, sesuatu yang lain berlangsung.


Partai-partai dan parlemen (tanpa mengikuti Brecht)
seakan-akan telah ―membubarkan rakyat dan memilih
rakyat yang baru‖. Politik hanya transaksi di antara

Catatan Pinggir | 180


oligarki. Rakyat yang baru mereka bentuk: sebagai gema
dari jauh.

Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 181


Catatan Pinggir | 182
Aura
Senin, 03 Oktober 2016

A da suatu masa ketika raja dan kesatria menghilang.


Para pangeran Pandawa lenyap ke dalam rimba
selama 13 tahun; Rama menyingkir dari istana Ayudhya
dan hidup dalam belantara hampir satu setengah
dasawarsa. Dalam kedua wiracarita itu hutan meniadakan
penampilan; tapi hidup jadi bagian ritus ke arah
kemenangan.

Dalam tradisi Veda, ritus itu disebut vanaprastha,


―menyingkir jauh ke dalam rimba‖. Di sana, meskipun tak
selamanya diartikan harfiah, tak tampak di depan umum
mengisyaratkan hidup yang tak lagi digoda kekenesan dan
nafsu lain.

Keadaan itu meruapkan sebuah aura tersendiri—


satu hal yang juga terjadi dalam sejarah politik modern. Di
Ekuador, Velasco Ibarra, presiden yang hidup dalam
pengasingan, dikenal sebagai El Gran Ausente: ia absen
dan ia hebat dalam ketidakhadirannya. Pada 1933 ia
dipilih dengan 80 persen dari suara yang masuk, tapi
kudeta militer menjatuhkannya. Velasco pun hidup
sebagai eksil, tak tampak di tanah air, tapi kemudian
muncul kembali dan berkuasa (meskipun kemudian

Catatan Pinggir | 183


dijatuhkan lagi). Velasco tak pernah sepenuhnya kalah.
Pada 1968, ia menang buat kelima kalinya; usianya 75
waktu itu. Kali ini pun ia dikudeta, tapi Ekuador tak bisa
menghapus El Gran Ausente dari ingatan.

Absen dan aura juga terpaut dalam sejarah Iran


abad ke-20. Ayatullah Khomeini menentang kebijakan
Shah yang berkuasa. Ia pun ditangkap. Empat belas tahun
setelah November 1964 itu ulama besar tersebut hidup dari
tempat pengasingan yang satu ke yang lainnya: Bursa di
Turki, Najaf di Irak, Neauphle-le-Château di Prancis.
Selama itu, namanya semakin termasyhur, auranya
membubung, dan pengaruh politiknya semakin menyebar.

Aura—semacam daya yang bukan fisik yang


memancar dari seseorang atau sebuah benda—terbit
karena sifat unik orang atau benda itu. Tapi tak hanya itu.
Juga karena ―di luar‖, karena jarak. Walter Benjamin,
yang menulis satu esai yang terkenal tentang perubahan
perspektif atas karya seni sesudah zaman mesin,
mendefinisikan aura sebagai einmalige Erscheinung einer
Ferne, penampilan unik dari sebuah jarak, betapapun
dekatnya fenomena itu.

―Jarak‖ itu bisa berarti ruang dan waktu, tapi juga


bisa berarti kondisi ketika ia terasa tak bisa didekati. Aura
patung Durga di dalam satu ruang candi di Prambanan di
Jawa Tengah terbentuk bukan saja karena kehadirannya
yang remang-remang, tapi juga karena suasana yang

Catatan Pinggir | 184


tumbuh dari kemegahan kompleks pemujaan itu.
Sebagaimana dibangun di abad ke-9, ada 240 candi yang
tersusun dengan ukiran yang menakjubkan di wilayah
yang luas itu.

Aura itu kini punah. Tentu karena orang datang,


dalam bus-bus yang gembira, bukan untuk
menyembahnya. Benjamin menguraikan hilangnya aura
pada karya seni karena dunia modern masuk dan
kapitalisme dengan gampang mereproduksi karya itu:
patung Rodin, ―sang pemikir‖, tak lagi menggetarkan
setelah ia diperbanyak dalam pelbagai ukuran di gerai
turisme.

Tapi saya kira mudahnya reproduksi justru


melahirkan efek sebaliknya. Aura malah tumbuh. Dalam
sejarah politik modern, dalam ―pemujaan sosok pribadi‖
Stalin, Mao Zedong, Kim Il-sung, dan Bung Karno, aura
justru diproduksi lewat bahasa dan gambar, slogan dan
poster yang diulang-ulang mengumandangkan keagungan
mereka. Di sini, aura dibentuk dalam rekayasa.
Indoktrinasi diperkuat dengan kultus dan mantra ideologi.

Semakin dilambungkan sang pemimpin, seperti


ketika semakin banyak predikat ―agung‖ dikenakan
kepada Bung Karno, semakin tak terjangkau ia oleh
pemikiran dan imajinasi orang banyak. Karena posisinya,
karena hierarki, seorang pemimpin mengandung enigma.
Kultus mempertebal lapisan yang menutup enigma itu,

Catatan Pinggir | 185


menghindari dari apa yang transparan dalam dirinya.
Dengan begitu sang pemimpin seakan-akan berada di atas
politik. Ia tak ikut siasat dan menunjang kepentingan diri.
Ia bukan bagian politik sebagai antagonisme; ia seakan-
akan jadi panutan bersama.

Dengan kata lain, ia tampil sebagai gema dari


panggilan moral yang universal. Velasco Ibarra, misalnya,
mengidentifikasikan dirinya dan pendukungnya bukan
sebagai pengejar kebendaan. Yang layak diusahakan ialah
―keagungan moral‖, [la] grandeza moral, sesuatu yang
abadi.

Aura, jarak dari politik dan retorika moral—semua


itu tak dengan sendirinya kabar baik. Dalam kultus, dalam
melipatgandakan aura, seorang besar dibentuk atau
membentuk diri, tapi pengalaman panjang sejarah
Tiongkok telah mengajarkan sebuah pemeo: "orang besar
adalah nasib malang masyarakat".

Apalagi ketika antagonisme politik disikapi


sebagai pergulatan moral. Publik pun akan terbelah dalam
kubu-kubu yang melihat diri sebagai pembawa
―keagungan moral‖: argumenku jadi mutlak, bahkan suci
sepenuhnya.

Yang tak diakui ialah bahwa politik juga (yang


nisbi dan terbatas) yang menentukan mana yang suci dan

Catatan Pinggir | 186


yang busuk. Tak jarang intoleransi bertaut dengan
kemunafikan.

Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 187


Catatan Pinggir | 188
Bhima
Senin, 10 Oktober 2016

―I A mencari air kehidupan, mungkin ia mencari


kebenaran,‖ kata dalang yang semalam mengisahkan
cerita Bhima yang menemui Dewa Ruci di tengah
samudra. ―Mungkin kesatria itu tak tahu apa yang
dicarinya dan yang akan diperolehnya,‖ katanya lagi.

Saya terkesima. Semalam, di layar, saya menatap


wujud kecil itu, Dewa Ruci, berkata kepada kesatria itu
agar masuk ke dalam dirinya melalui telinganya. Bhima
mesti meyakini yang mustahil sebagai yang mungkin. Dan
ia menurut. Dan ia berhasil.

Ia menerobos lubang kuping itu dan menemukan


dirinya berada di dalam ruang yang tak terkira. Serat
Dewa Ruci menggambarkannya sebagai ―samodragung,
tanpa têpi nglangut lumaris/lêyêp adoh katingal”—
samudra besar, tanpa tepi dan semua sayup tampak di
kejauhan. Dalam adegan yang sering mengutip risalah-
risalah kebatinan Jawa, di sanalah Bhima menyaksikan
permainan empat warna: hitam, merah, kuning, putih.
Warna-warna itu, menurut Dewa Ruci, merupakan imaji
dari energi apa yang ada dalam diri sendiri—durmaganing
tyas, terutama yang negatif, kecuali yang putih.

Catatan Pinggir | 189


Tampak benar fokus cerita ini adalah manusia dan
kemampuannya mengendalikan diri dan mencapai sesuatu.
Ketika di bagian berikutnya ada paparan tentang
persamaan ―jagat besar‖ dengan ―jagat kecil‖, kita kembali
bertemu dengan manusia sebagai penentu perspektif
tentang semesta. Bahwa kemudian dikatakan tubuh
hanyalah perkakas yang dikuasai yang memberi hidup,
kang karya gesang, itu justru menunjukkan betapa yang
kekal dekat sekali dengan kefanaan insan.

Serat Dewa Ruci (yang saya baca teks yang


digubah Mas Ngabehi Mangunwijaya dari Wanagiri
sebagai tafsir dari karya Sunan Bonang di abad ke-15)
berasal dari sebuah masa ketika manusia dianggap akan
mampu mencapai kebenaran dengan puruhita, mencari
dan berguru lewat jalan yang rumit—dan bisa bertemu
dengan yang dicari. Belum ada kekecewaan ketika
manusia, dengan kehendaknya untuk benar, ternyata
melahirkan bencana.

Namun ada yang perlu ditambahkan di sini. Serat


Dewa Ruci, meskipun meletakkan manusia sebagai
pengendali diri, tak bertolak dari norma yang sudah jadi.
―Ajaran‖ dalam teks ini bersifat pragmatis. Yang penting
bukanlah kejelasan apa itu ―kebenaran‖ atau kepastian
yang kita ketahui; yang penting bukanlah alasan yang
logis, melainkan tindakan mengubah diri dan efeknya bagi
dunia; yang utama adalah aksi, laku. Tak ada hukum
ataupun aturan moral yang sudah dirumuskan.

Catatan Pinggir | 190


Sejak awal, Bhima dikatakan mencari ―air
kehidupan‖. Dengan ―air‖ (tirta atau toya) sebagai
perumpamaan, kita mendapat kesan betapa pentingnya apa
yang dicari itu bagi hidup. Tapi sekaligus betapa tak
kedap; air transparan, mengalir, luwes, selalu merespons
sebuah lingkungan. Maka apabila yang dicari
kesempurnaan—atau kebenaran yang membawa
kesempurnaan—yang diperoleh bukan sesuatu yang
mandek dalam aturan atau standar.

Mungkin itu sebabnya ―kearifan lokal‖ seperti


ini—berbeda dengan agama-agama yang berpegang
kepada Kitab—tak menawarkan hukum. Filsafat, bagi teks
ini, bukan metafisika, melainkan ―ethika‖: uraian dan
penjelajahan keadaan yang memungkinkan terjadinya
tindakan dan kehidupan yang ―baik‖. Tapi ―ethika‖ di sini
terbatas. Dalam Dewa Ruci tak ada orang lain yang
membuat semua itu berharga. Tak ada orang lain dengan
siapa Bhima berbagi dalam proses pencarian dan
penemuannya. Kesatria Pandawa itu meninggalkan
saudara-saudaranya. Ia sendirian.

Kesendirian itu lebih terasa ketika orang lain bisa


berarti musuh yang tersembunyi. Bhima pergi karena
Durna, guru dan juga sekutu Kurawa, hendak
menjerumuskannya, dan ia pulang dari perjalanannya
dengan kemampuan mengalahkan dirinya sendiri dan
dunia. Selesai meresapkan ajaran Dewa Ruci ia (merasa)
lebih unggul, seakan-akan seantero jagat raya bisa ia

Catatan Pinggir | 191


rengkuh sekaligus, sawêngkon jagad raya/sagung
kawêngku.

Ada kecenderungan solipsisme yang kuat dalam


Serat Dewa Ruci. Ada tendensi menganggap hanya
kesadaran sendiri yang ada dalam proses pencarian
kebenaran. Orang lain, liyan, hadir tanpa bekas. Mungkin
karena naskah ini dilahirkan dalam ruang-ruang meditatif
dan lingkungan di mana percakapan adalah percakapan
hierarkis, antara guru dan murid atau orang yang berbeda
tingkat keilmuan. Tak ada dialog.

Maka dalam kalimat-kalimat tembang yang


setengah gelap, naskah Dewa Ruci sering berakhir sebagai
sesuatu yang esoterik: makin sedikit dipahami, makin
mempesona. Hanya seorang dalang yang piawai yang
berkata: mungkin Bhima (dan kita semua) tak tahu apa
kebenaran yang dicari dan yang akan diperoleh.

Dan dalang tua itu tersenyum kecil dan kita ingat:


tirta adalah sesuatu yang mengalir, tak berhenti. Dengan
itulah ada kearifan lain: sungguh berbahaya proses
mencari kebenaran, tapi lebih berbahaya lagi setelah yang
dicari ditemukan.

Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 192


Dylan
Senin, 17 Oktober 2016

S aya tak mengerti Bob Dylan. Mungkin memang harus


demikian: sesuatu yang memukau adalah sesuatu yang
tak harus, atau bisa, dimengerti. Saya baca Tarantula,
buku puisinya yang ia tulis pada umur 25 tahun atau pada
1966. Di dalamnya kata-kata bergerak bukan sebagai
huruf, bukan sebagai wadah makna, melainkan sebagai
bunyi: pengulangannya, konsonannya, tekanannya,
panjang-pendek suku katanya:

mother say go in That direction & please


do the greatest deed of all time & say i say
mother but it's already been done & she say
well what else is there for you to do & i say
i dont know mother, but i'm not going in That
direction—i'm going in that direction & she
say ok but where will you be & i say i dont
know mother but i'm not tom joad & she say
all right then i am not your mother

Catatan Pinggir | 193


Kita hidup di suatu masa ketika tak ada lagi
hierarki antara makna dan bunyi, antara kata dan nada.
Kita hidup di suatu masa ketika yang sastra dan yang
bukan-sastra tak jelas terpisah—dan bahwa Dylan
menerima Hadiah Nobel Kesusastraan menunjukkan
runtuhnya struktur imajiner yang memisahkan itu.
Tarantula sendiri memperlihatkan saat ketika khaos hadir
di celah-celah bentuk. Yang kacau tak dijinakkan yang
tertata, dan yang tertata tetap berada di dalam yang kacau.

Ruang ini, dengan 4.800 karakter, terbatas untuk


menghormati Dylan secara sepatutnya. Jika ada yang
harus saya katakan: saya tak kagum kepada tiap
kalimatnya; saya terpesona akan suaranya yang bergetar,
lugu, dengan kesayuan yang tiap kali ditingkah patahan
dan ironi. Tapi saya tak heran bahwa ia bergema kuat: ia
bisa dibaca, atau didengarkan—rekaman suaranya yang
bersahaja tapi menyentuh, dengan harmonika di mulut dan
gitar di pelukan—tatkala kejadian-kejadian dilontarkan
dalam headline atau dibaca keras di televisi. Tapi kita
terpukau karena ada yang tak hilang dari sana: pertanyaan.

How many seas must a white dove sail


before she sleeps in the sand?

Di tahun 1960-an, lagu ini dijadikan suara protes.


Tapi kini mungkin protes itu tak lebih ketimbang sebuah
sajak yang merundung kita terus-menerus.

Catatan Pinggir | 194


―Blowing in the Wind‖ pertama kali jadi
termasyhur melalui suara Peter, Paul, dan Mary, trio
penyanyi folk yang mewakili suasana Amerika tahun
1960-an, ketika Amerika mengirimkan anak-anak muda ke
kancah Perang Vietnam, ketika kaum hitam mulai
menggugat perlakuan masyarakat mayoritas putih, ketika
sebuah generasi resah—antara cemas dan cinta, antara
santai dan gemuruh, ketika begitu banyak pertanyaan
tentang hidup tak terjawab. Perang, kematian, ketakadilan,
kekejaman, tapi juga kesetiaan dan pengorbanan:
pernahkah akan berakhir? Mengapa? The answer, my
friend, is blowing in the wind....

Melodi itu datang ke kenangan Dylan dari sebuah


negro spiritual yang lama, ―No More Auction Block‖—
suara yang menusuk, ketika para budak mensyukuri
kebebasan di sekitar Perang Saudara Amerika di abad ke-
19. ―Tak ada lagi tempat lelang, tak ada lagi lecutan, tak
ada lagi garam yang disiramkan ke luka siksaan.‖

Tapi ―Blowing in the Wind‖ seakan-akan nyanyian


yang lebih tua ketimbang itu, dengan kata-kata yang lebih
langgeng. Dylan, yang nama masa kecilnya Bobby
Zimmerman, dibesarkan dalam keluarga Yahudi pemilik
toko mebel dan peralatan di Hibbing, Minnesota. Mungkin
saja di kepalanya bergaung petilan Kitab Kejadian dan
Ezekiel. Tapi tak berarti puisi dan nyanyi mematuhinya.
Mereka menerobos peta dan mengelakkan genealogi.

Catatan Pinggir | 195


Citra Bob Dylan adalah citra anak muda yang
menerobos. Ia tampil seperti penyanyi pujaannya, Woody
Guthrie, yang menggubah lagu ketika mengunjungi daerah
Amerika yang terpukul kemiskinan selama depresi
ekonomi. Sejak ia pindah ke New York dan mengabadikan
namanya di Greenwich Village, Dylan seperti berpindah
bahkan dari asal-usulnya, mengaburkannya, dan muncul
dalam persona yang berbeda dari saat ke saat. I'm Not
There (2007) mencoba menangkap itu: film ini ―diilhami
oleh musik dan pelbagai hidup Bob Dylan‖—dan enam
aktor memerankan pelbagai sosok dirinya, termasuk aktor
perempuan yang ulung itu, Cate Blanchett.

Dengan parasnya yang feminin dan halus,


rambutnya yang lebat tak tersisir, dengan suaranya yang
seperti menutupi melankoli, dan puisinya yang tak linear,
Dylan—seperti dalam albumnya, The Freewheelin' Bob
Dylan—adalah penggubah dan pengubah: seperti ketika ia
bertolak dari corak musik folk seraya menjadikannya
sesuatu yang lain.

Tapi ada yang tetap datang di dalam dirinya:


kepekaan kepada hidup yang dicederai. Meskipun ia tak
bisa jadi pembimbing. Ia menemukan yang lain. ―Aku
menemukan sifat religius dan filsafat dalam musik.... Aku
tak mengikuti rabi, pengkhotbah, evangelis, semua itu.‖

Anehnya, suaranya terasa lebih benar ketimbang


khotbah:

Catatan Pinggir | 196


Yes, how many ears must one man have
Before he can hear people cry?

Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 197


Catatan Pinggir | 198
Komedie
Senin, 31 Oktober 2016

D I negeri ini, ada orang-orang yang tampil di atas


podium, ada yang berjubel tampak dan tak tampak.
Sebenarnya yang tampak-dan-tak-tampak itulah yang
membuat sejarah.

Saya ingin mengatakan: ―Indonesia‖ dimulai dari


bawah; 28 Oktober 1928 bukanlah awalnya. Sebelum
namanya ditetapkan, ―Indonesia‖ sudah terjadi di tempat-
tempat yang dianggap remeh, di pinggir percaturan politik,
di kehidupan yang tampaknya main-main, tapi
sesungguhnya jerih-payah. Salah satunya: di dunia
hiburan.

Kita mulai di Surabaya. Sebelum 1928, di sini lahir


sebuah usaha seni pertunjukan, Komedie Stamboel.

Dalam The Komedie Stamboel: Popular Theater in


Colonial Indonesia, 1891-1903, Matthew Isaac Cohen
menceritakan kehidupan grup pertunjukan zaman itu
dengan rinci, memikat, dan informatif. Membaca hasil
penelitian sejarahnya kita akan mendapat gambaran
tentang teater populer akhir abad ke-19, selera artistik
produsen dan konsumennya, dengan latar sosial

Catatan Pinggir | 199


masyarakat kolonial di kota-kota. Kita akan dibawa ke
tengah kehidupan orang-orang peranakan, jatuh-bangun
mereka, peran artistik dan sosial mereka. Kita akan
melihat dunia seni pertunjukan masa itu seakan-akan
dunia burung-burung yang hinggap dari pohon ke pohon
dan tanpa sengaja menebar benih. Dari situlah tumbuh
sebuah kebudayaan baru yang disentuh dunia modern dan
kosmopolitanisme, justru dari dunia orang ramai, orang
kebanyakan, bukan dari sebuah elite yang berselera tinggi.

Berangsur-angsur ini berpengaruh pada sebuah


kesadaran yang terbuka. Dari situ ke-Indonesia-an
terbentuk, tanpa diprogram, tanpa ideologi, dan tanpa
dinding pemisah kelas, suku, dan etnis yang kedap.
Sumpah Pemuda 1928 penting, tapi lebih sebagai upacara
pembaptisan.

Komedie Stamboel didirikan pada Januari 1891


ketika Surabaya tumbuh sebagai kota dengan penduduk
hampir 130 ribu orang—sangat kecil jika dilihat sekarang,
tapi sangat besar di masa itu. Mereka beragam: 90 persen
―pribumi‖, sisanya Tionghoa, Arab, Eropa, dan peranakan,
dengan kekayaan dan status sosial yang tak setara. Yang
menyatukan mereka: dunia urban yang baru.

Matthew Isaac Cohen menyebut kota sebagai


"arena of observation”, tempat saling memperhatikan, dan
masyarakat di tempat-tempat padat di Indonesia sebagai
"an open-gallery society”. Di masyarakat ini, apa yang

Catatan Pinggir | 200


dipamerkan, dipertunjukkan, dan disajikan di depan umum
berpengaruh pada harkat sosial. Galeri terbuka adalah
ruang bersama untuk mengungkapkan diri, coarticulation,
dengan dinding pembatas yang mudah diterobos dan
pembatasan yang tak ketat. Komedie Stamboel lahir dan
tumbuh di situ.

Rombongan teater ini sebuah bisnis kecil. Dalam


kongsi yang memilikinya ada nama Yap Gwan Thay. Ia
wiraswasta. Usahanya beragam dan manajemennya
simpang-siur: firma obat tradisional ―Banyu Urip‖, pabrik
limun, usaha dekorasi gedung. Ia, yang pernah dipenjara
karena terlibat pemalsuan uang, oleh sebuah koran
berbahasa Melayu di Surabaya pada 1899 disebut sebagai
―pujangga‖.

Yap membangun beberapa gedung pertunjukan


untuk Opera Cina berbahasa Tionghoa dan topeng Jawa,
di samping membentuk rombongan sandiwara berbahasa
Melayu. Dengan bahasa Melayu pula—yang sudah jadi i
tanpa diperintahkan—Komedie Stamboel mementaskan
cerita 1.001 Malam yang populer di masa itu dengan
menampilkan fantasi dunia ―Arab‖. Juga lakon Nyai
Dasima dan cerita Si Conat, kepala bandit dari Tangerang.
Juga Pembunuhan Pangeran William van Oranye.

Ada sifat gado-gado dalam sejarah sosial Komedie


Stamboel, ada sifat eklektik pada pementasannya, ada
campuran keragaman dalam penggemarnya. Dalam Pandji

Catatan Pinggir | 201


Poestaka Armijn Pane mencatat: untuk beroleh laba,
pilihan cerita Komedie Stamboel diolah untuk memenuhi
selera kelompok etnis dan kelas sosial yang berbeda-beda.

Tapi mungkin itu juga indikasi sebuah himpunan


sedang terbentuk, melintasi pengelompokan etnis dan
sosial. Pelbagai elemen—umumnya dari kalangan di luar
tatanan kelas dan norma sosial yang ada—pelan-pelan
mencari identitasnya sendiri.

Tokoh sejarah teater masa itu, sosok utama yang


dengan menarik ditampilkan Cohen, adalah Auguste
Mahieu. Ia aktor, penulis lagu, manajer, sutradara—orang
berdarah Jawa yang lahir di Bangkalan, Madura.
Riwayatnya perlu tulisan tersendiri untuk ditampilkan.
Sementara ini bisa dikatakan: ia, yang dikagumi tapi juga
tak sepenuhnya diakui secara sosial karena seniman
panggung dan ―Indo‖ tak pernah jadi bagian yang
terhormat, adalah elemen sejarah yang nyaris tak tercatat
dalam proses simbiosis dalam keanekaragaman yang
kemudian bernama ―Indonesia‖. Bahasa, selera, dan posisi
pinggiran yang sama mempertemukan itu.

Komedie Stamboel menunjukkan bahwa bukan


cuma surat kabar (―kapitalisme cetakan‖, kata Benedict
Anderson), tapi juga bisnis hiburan populer berkeliling
yang membangun pertemuan itu. Sungguh, Indonesia tak
datang dari atas.

Catatan Pinggir | 202


Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 203


Catatan Pinggir | 204
Dusta
Senin, 07 November 2016

K ita, di negeri ini, hidup dengan politik yang sangat


ramai tapi sepele. Tak ada hal-hal mendasar yang
dipertarungkan—hal-hal yang mendasar karena
menggetarkan hati, pikiran, dan kehidupan hampir semua
orang.

Pernah, dahulu, politik bisa gemuruh mirip gempa


laut: politik adalah antagonisme yang membuat sebuah
kekuasaan yang mapan guyah dalam tubuh dan jiwanya.
Kini yang semacam itu absen. Kebenaran yang kukuh—
hingga tak hanya bergaung secara partisan, tapi juga di
dalam kesadaran kawan dan lawan—kini lapuk. Bahkan
tidak bisa ada. Kini pertarungan bergerak semata-mata
karena opini, dengan opini.

Dalam situasi seperti ini saya bisa mengerti kenapa


Badiou menyebut opini secara mutlak bertentangan
dengan ―ethika kebenaran‖, l'éthique de la vérité. Badiou
adalah salah satu dari sedikit pemikir di masa ini yang
mempertahankan pandangan bahwa kebenaran bukanlah
hasil bentukan sepihak; ia bersifat universal, tak
tergantung posisi, waktu, dan tempat.

Catatan Pinggir | 205


Kebenaran ini muncul melintas bersama
l'événement, kejadian yang mengguncang keadaan. Ketika
pertempuran mati-matian terjadi pada 10 November 1945
di Surabaya, waktu itu tampak jelas keadilan dan
kemerdekaan hendak direnggutkan lagi dari bangsa
Indonesia. Makin tampak pula ada sesuatu yang jahat
terungkap pada rezim kolonial yang hendak memaksakan
kekuasaannya kembali. ―Keadilan‖ dan ―kemerdekaan‖
hari itu tak dirumuskan, tapi keduanya tetap kebenaran
yang mengimbau, menggugah, dan menggetarkan saat itu,
juga dalam kenangan hari ini.

Ada sebuah cerita. Konon di Surabaya hari itu


seorang opsir Inggris melihat seorang pejuang Indonesia
muda tertidur di sebuah sudut, beristirahat dengan bedil di
sampingnya ketika tembak-menembak berhenti sementara.
Ia mengatakan—kalau tak salah kepada Bung Hatta yang
dikawalnya—bahwa Indonesia tak akan bisa dikalahkan
dalam perang di bulan November itu: di tubuh kecil itu
ada suatu keyakinan yang besar. Saya kira sang opsir, di
pihak seberang, tanpa banyak bicara mengakui sifat
universal dari kebenaran yang mendasari keyakinan itu.

Memang, selalu, di mana pun, ketika kebenaran


dirumuskan jadi pengetahuan dan hukum, ketika ia
dipaksakan sebagai sesuatu yang mutlak, ia tak lagi seperti
ketika ia buat pertama kalinya mencekam dan menggugah;
ia jadi pandangan sepihak, yakni yang sedang berkuasa.

Catatan Pinggir | 206


Hari ini politik adalah politik pandangan-
pandangan sepihak. Ia politik tak-peduli-kebenaran.
Majalah The Economist menyebut keadaan ini, yang
bercabul seperti wabah di mana-mana, sebagai politik
post-truth, "pasca-kebenaran". Sebagaimana yang terjadi
dalam pemilihan Presiden Amerika, dan pilkada di
Jakarta, dusta, fitnah, dan manipulasi kata dan fakta
berkecamuk. Para politikus dan aktivis tak lagi merasa
perlu mengacu pada nilai yang universal.

Berbeda dengan politik di zaman yang terdahulu.


Dulu kebohongan juga disebar dan dikomunikasikan,
namun dengan argumen yang mengacu pada kebenaran,
meskipun kebenaran yang lemah dan hanya lamat-lamat.
Dulu diam-diam masih ada pengharapan bahwa dusta
yang diucapkan itu, melalui waktu dan adu pendapat,
akhirnya akan bisa diterima siapa saja. Ketika para
propagandis Nazi berpedoman bahwa ―kebohongan yang
terus-menerus diulang akan jadi kebenaran‖, orang-orang
Hitler itu sebenarnya masih mempedulikan kebenaran,
meskipun dengan sikap kurang ajar dan sinis.

Kini dusta dan manipulasi dilakukan tanpa peduli


itu. Faktor yang baru dalam komunikasi politik yang sarat
dusta kini adalah kecepatan. Teknologi, dengan Internet,
membuat informasi dan disinformasi bertabrakan dengan
langsung, dalam jumlah yang nyaris tak terhitung,
menjangkau pendengar dan pembaca di ruang dan waktu

Catatan Pinggir | 207


yang nyaris tak terbatas. Bagaimana untuk membantah?
Bagaimana memverifikasi?

Pernah zaman ini mengharap Internet akan


membawa pencerahan. Informasi makin sulit dimonopoli.
Ketertutupan akan bocor. Dialog akan berlangsung seru.
Yang salah diperhitungkan ialah bahwa media sosial yang
hiruk-pikuk kini akhirnya hanya mempertemukan opini-
opini yang saling mendukung. Yang salah diperkirakan
ialah bahwa dalam banjir bandang informasi kini orang
mudah bingung dan dengan cemas cenderung berpegang
pada yang sudah siap: dogma, purbasangka yang menetap,
dan takhayul modern, yaitu ―teori‖ tentang adanya
komplotan di balik semua kejadian.

Tak ada lagi Hakim dan Juri yang memutuskan


dengan berwibawa mana yang benar dan yang tidak, mana
yang fakta dan mana yang fantasi. Media, komunitas ilmu,
peradilan: semua ikut kehilangan otoritas, semua layak
diduga terlibat dalam orkestrasi dusta yang luas kini.

Dan agama? Yang tak disadari kini: agama telah


mengalami sekularisasi, ketika Tuhan jadi alat
antagonisme politik, bukan lagi yang Mahasuci yang tak
dapat dijangkau nalar dan kepentingan sepihak.

Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 208


Yang Ditampik
Senin, 28 November 2016

Y ang ditampik, yang berdosa, yang sifilis, yang


perempuan, yang tak punya apa-apa, adalah Maria
Zaitun. Kita tak mudah melupakan tokoh dalam sajak
Rendra itu. Dalam kesakitan ia memperkenalkan diri
dengan lurus: “Maria Zaitun namaku/Pelacur yang
sengsara/Kurang cantik dan agak tua”.

Kita akan selalu teringat adegan dalam sajak


―Nyanyian Angsa‖ ketika pelacur lapuk itu diusir dari
bordil. Sang germo menilai pekerja seks ini—komoditas
ini—sudah tak akan menghasilkan uang lagi. Perempuan
itu pun melangkah ke jalan, tak tahu akan ke mana:

Jam dua-belas siang hari.


Matahari terik di tengah langit.
Tak ada angin. Tak ada mega.
Maria Zaitun ke luar rumah pelacuran.
Tanpa koper.
Tak ada lagi miliknya.
Teman-temannya membuang muka.

Sempoyongan ia berjalan.
Badannya demam.

Catatan Pinggir | 209


Sipilis membakar tubuhnya.
Penuh borok di klangkang
di leher, di ketiak, dan di susunya.
Matanya merah. Bibirnya kering. Gusinya
berdarah.
Sakit jantungnya kambuh pula.

Maria Zaitun tak hanya sakit parah; ia sampah.


Ketika ia pergi ke dokter langganannya, ia hanya diinjeksi
vitamin C. Tuan dokter tahu pasien itu tak bisa bayar, dan
―sudah jelas‖ hampir mati. Kemudian, ketika ia datang ke
pastoran (“Saya perlu Tuhan atau apa saja/untuk
menemani saya”), ia dihadapi seorang rohaniwan yang
kenyang dan tak peduli. Dengan bau anggur di mulutnya
sang pastor menyatakan tak bersedia menerimanya.

Dan Maria Zaitun pun angkat kaki ketika bapa


pastor memutuskan bahwa pendosa yang setengah sekarat
itu adalah orang yang setengah gila. Ia perlu psikiater,
ujarnya, bukan pastor.

Sajak ―Nyanyian Angsa‖ memang menusuk di sini:


kalkulasi laba-rugi dalam perdagangan seks dan ketabiban
telah membuang Maria Zaitun; kini di tempat di mana
kasih Tuhan dikutip dengan takzim ia juga persona non
grata. Agama telah jadi tembok.

Andai masih hidup hari ini, Rendra mungkin akan


dihukum; ―Nyanyian Angsa‖ jelas ―melecehkan agama‖—

Catatan Pinggir | 210


meskipun dengan alasan yang adil. Sajak ini dengan lugas
memperlihatkan bagaimana agama telah jadi Orde yang
dijaga hakim-hakim, bukan lingkungan yang menemani
yang daif dan luka. Para hakim inilah yang membagi siapa
yang di dalam dan siapa yang harus di luar. Di sana vonis
pastor (atau ulama) berkuasa: ―Kamu telah tergoda dosa‖.
Dan keputusan itu didukung lambang-lambang keabadian.

Ada sosok penting dalam ―Nyanyian Angsa‖,


meskipun tak di pusat adegan: ―malaikat penjaga firdaus‖.
Dalam tiga refrain sajak ini, makhluk surga itu kadang-
kadang tampak tampan, dingin, atau jahat. Tapi selamanya
―dengki‖.

Dengki adalah sikap penuh cemburu, curiga, dan


benci. ―Nyanyian Angsa‖ memperlihatkan bahwa
firdaus—yang sering digambarkan secara hiperbolik
sebagai karunia nikmat dan suci—adalah wilayah
diskriminasi yang bengis. Malaikat, makhluk yang murni
itu, akan mengusir mereka yang najis, yang tak murni.

Siapa? Maria Zaitun, tentu. Tapi jika memang ada


ukuran keadilan yang universal—jika ada keadilan
Tuhan—si germo, si dokter, bahkan si pastor juga berdosa;
mereka keji.

Tapi dengki tak pernah adil.

Catatan Pinggir | 211


Dengki menyusun tembok, dan tembok
dikukuhkan kekuasaan, dan kekuasaan jadi Sang
Penampik. Dengan Kitab yang tak dibantah, dengan suara
berwibawa atau memekik, Sang Penampik (ia bisa juga
polisi, atau suara keras mayoritas) menyusun secara
sepihak ukuran yang diberlakukan kepada siapa saja.
Dengan itu seseorang atau sekelompok manusia diterima
atau diusir—sebuah ―politik pengakuan‖, politics of
recognition, yang selektif. Sasarannya bukan hanya
seorang Maria Zaitun, tapi juga (tergantung di mana
kebencian diletakkan): yang hitam, yang cina, yang arab,
muslim, kristen, yahudi, syiah, ahmadiyah, liberal,
komunis, LGBT.... Pendeknya ―yang-lain‖.

Sekilas tampak, kezaliman Sang Penampik untuk


meniadakan ―yang-lain‖ itu berbeda dengan ketakpedulian
(bahkan pengisapan) si kaya terhadap si miskin. Sekilas
tampak, tak adanya keadilan dalam ―politik pengakuan‖—
dengan memberlakukan diskriminasi rasial, agama, atau
gender—tak berkaitan dengan tak adanya keadilan sosial.

Tapi lihat baik-baik: dalam hidup yang mengalir,


perbedaan yang ditetapkan Sang Penampik, yang
membuat seseorang atau sekelompok manusia dipojokkan,
tak pernah jadi klasifikasi sosial yang beku. Maria Zaitun
tak cuma pelacur yang diperas; ia juga si sifilis yang ingin
ditemani Tuhan, ―pendosa‖ yang dianggap layak
disumpahi laki-laki. Sang Penampik memproduksi si

Catatan Pinggir | 212


lemah, dan si lemah berakhir sebagai korban—dalam
pelbagai versi.

Dan pembebasan? ―Nyanyian Angsa‖ bercerita,


akhirnya hanya korban lain yang mampu membebaskan—
dengan menerima si najis sebagai sesama dan
melepaskannya dari eksploitasi. Setidaknya dalam
imajinasi. Sang pembebas, yang memeluknya dengan
penuh cinta di saat ajal, adalah sebuah kehadiran yang
pernah difitnah, dicerca, disalibkan.

Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 213


Catatan Pinggir | 214
Amarah
Senin, 12 Desember 2016

N egeri ini didirikan dengan impian yang ramah. Tapi


itu tiga perempat abad yang lalu.

Kita ingat: menjelang 17 Agustus 1945, ketika


kemerdekaan didengungkan sebagai sesuatu yang aktual
(―sekarang!‖ seru Bung Karno pada 1 Juni tahun itu), ada
keyakinan: ―Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita
memerdekakan rakyat kita!‖ seperti kata Bung Karno. Ada
harapan rakyat Indonesia punya potensi penuh untuk jadi
manusia yang tak terbelenggu, karena kemerdekaan politik
adalah ―jembatan emas‖—gilang-gemilang, kukuh, dan
aman untuk mencapai yang dituju.

Tapi semenjak tiga perempat abad lalu, ―jembatan


emas‖ itu ternyata impian yang terlalu manis atau retorika
yang khilaf: Indonesia pasca-kolonialisme adalah juga
sebuah negeri yang penuh kekerasan, ketidakadilan,
konflik, kecurangan.

Tampak pula bahwa sebagian besar ―rakyat‖ bukan


pribadi-pribadi yang menentukan pilihan sendiri. Mereka
yang miskin dicengkeram ketimpangan sosial. Mereka

Catatan Pinggir | 215


yang bersuara disumpal dogma. Mereka yang bersikap
ternyata tak berani melepaskan diri dari panutan kolektif.

Impian yang ramah juga terasa ketika dalam pidato


1 Juni itu Bung Karno menegaskan: negara Indonesia yang
akan berdiri ―bukan satu negara untuk satu orang, bukan
satu negara untuk satu golongan‖, melainkan negara ―satu
buat semua, semua buat satu‖. Bung Karno meyakini,
dalam proses perpaduan antara ―satu‖ dan ―semua‖ itu
akan efektif ―musyawarah‖, lewat suatu proses politik
dengan perwakilan rakyat.

Tiga perempat abad kemudian inilah yang sering


dialami: ―musyawarah‖ bisa berarti pengekangan yang
tersamar terhadap pendirian yang berbeda; ―perwakilan
rakyat‖ jadi parlemen yang diangkat seorang diktator atau
diseleksi para pendukung oligarki. Tak jarang dari sana
berkuasa suara yang digerakkan hasutan, uang suap, atau
kepicikan.

Kemudian, mimpi yang ramah 1945 pun


terguncang bersama sejarah dunia yang terguncang. Tiga
kali, setidaknya.

Yang pertama gagalnya ikhtiar besar untuk


mendirikan masyarakat yang tumbuh dalam kesetaraan.
Sosialisme bukan lagi janji masa depan yang pasti;
sosialisme kini jadi petilasan masa silam—mungkin terasa
indah atau sebaliknya grotesk, tapi tak bergerak.

Catatan Pinggir | 216


Yang kedua ketakaburan dan kesia-siaan
―globalisasi‖. Pernah ada janji, menyebarnya modal dan
perdagangan bebas ke segala penjuru akan membuahkan
rasa kenyang dan perdamaian. ―Tak ada dua negeri yang
sama-sama punya McDonald's pernah bertempur satu
sama lain, sebab masing-masing punya McDonald's-nya
sendiri,‖ kata suara yang paling optimistis tentang
globalisasi, diwakili Thomas L. Friedman.

Tapi ternyata McDonald's bukan lambang dan


jalan damai, melainkan, sebagai modal, penyebab
kegendutan dan keretakan. Hanya sedikit yang bisa
menikmati akumulasi modal global—dan bagi yang tak
kebagian, McDonald's (atau mobil Ferrari, atau koper
Louis Vuitton) menandai sesuatu yang mudah dicurigai:
benda dari kebudayaan dan keserakahan asing. Globalisasi
pun ditentang—juga di Amerika Serikat dan Eropa, dua
wilayah ekonomi yang paling kuat berperan dalam
penyebaran modal yang lepas dari perbatasan itu.

Yang ketiga: kegalauan, amarah, dan kekerasan


yang merundung orang-orang beragama. Yang paling
nyaring, kita tahu, terdengar dari ―dunia Islam‖.

Dalam sebuah esai yang baru-baru ini terbit di The


Guardian, yang merekam dengan peka dan menilik dengan
dalam hiruk-pikuk dewasa ini, Pankaj Mishra menyebut
masa ini sebagai ―Zaman Kemarahan‖.

Catatan Pinggir | 217


Ia tak membatasi ―kemarahan‖ kolektif itu di dunia
Islam tempat terorisme tumbuh. Amarah yang seperti api
dalam sekam itu juga terdengar sebagai suara pelbagai
kaum di pelbagai negeri. Tapi Indonesia hari-hari ini
menyaksikan yang lebih khusus—sesuatu yang tak dikenal
tiga perempat abad yang lalu, dalam mimpi ramah para
pendiri Republik: kebencian yang diteriakkan,
permusuhan yang menghalalkan fitnah dan dusta,
demagogi ala Rizieq.

Apa gerangan sebabnya? Mishra menyebut satu


pengertian yang dulu antara lain dikemukakan Nietzsche
ketika mengamati gejala psikologi kaum yang beragama:
ressentiment. Dalam kata ini terkandung ―paduan yang
intens rasa iri, rasa terhina, dan tak berdaya‖—seperti
dahulu, ketika para ulama Yahudi dikungkung hegemoni
Romawi.

Kini di kalangan ulama Islam ressentiment itu juga


menunjukkan sesuatu yang intens: sebuah frustrasi.
Mereka sadar tapi tak mau mengakui bahwa apa yang
disebut ―Barat‖, yang sebenarnya campuran yang hidup
dari pelbagai anasir, tak henti-hentinya berada dalam
hegemoni, sementara dunia Islam tak mampu lagi
menghasilkan sesuatu yang berarti bagi peradaban.
Frustrasi itu jadi suara amarah yang makin nyaring tapi tak
beroleh jalan ke luar, kecuali penghancuran.

Catatan Pinggir | 218


Sampai kapan, kita tak tahu. Yang jelas, Indonesia
bisa terbangun dari impian ramah 1945—atau cuma
ketakutan.

Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 219


Catatan Pinggir | 220
Calas
Senin, 19 Desember 2016

I a tak percaya kepada agama apa pun. Voltaire hanya


percaya kepada Tuhan—dan ia selalu dikenang karena
kecamannya yang keras dan mendasar. Dan bertalu-talu.

Sastrawan, penulis lakon, esais, dan pemikir yang


terkemuka di Eropa ini menggugah dalam menyampaikan
pikiran, kocak dalam mengejek. Nada tulisannya ceria,
baik dalam berkisah maupun dalam polemik. Tapi sejak
awal 1760-an, Voltaire kehilangan sikap cerianya; dari
penanya lahir pamflet-pamflet yang marah.

Persisnya sejak Maret 1762, setelah seseorang


bernama Jean Calas dijatuhi hukuman agar disiksa dan
dibunuh.

Syahdan, saudagar tekstil yang sukses di Toulouse


ini di umur 68 tahun dihukum karena kematian anak
sulungnya, Marc-Antoine. Bersama tiga anaknya yang lain
dan seorang pelayan, Calas dituduh berkomplot
membunuh pemuda itu. Dugaan, atau dakwaan, atau
desas-desus: mereka, orang Protestan, melakukan
kejahatan itu karena marah ketika tahu anak muda itu telah

Catatan Pinggir | 221


murtad dari agamanya dan siap memeluk keyakinan
Katolik.

Keluarga Calas membantah: Marc-Antoine mati


karena gantung diri. Pemuda berumur 29 tahun itu masuk
ke sekolah tinggi hukum, tapi tanpa harapan akan dapat
bekerja. Undang-undang Prancis waktu itu melarang orang
berpraktek sebagai dokter dan pakar hukum kecuali bila ia
punya sertifikat yang menunjukkan ia seorang Katolik.
Marc-Antoine menolak berpindah agama, tapi ia juga tak
bisa cari nafkah lain dan tak menyukai bekerja di toko
ayahnya, sementara utangnya menumpuk di meja judi.
Agaknya pemuda pemurung ini jengkel dengan nasibnya,
merasa hina-dina di antara keluarganya, atau putus asa—
dan memilih mati.

Seharusnya Calas mengungkapkan itu kepada


polisi. Tapi ketika ia diinterogasi pertama kalinya, ia
mencoba membuat cerita bahwa Marc-Antoine tewas
terbunuh, dan si pembunuh raib. Agaknya ini caranya
untuk mengelakkan sesuatu yang juga menakutkan: di
masa itu, di Prancis, jasad seseorang yang bunuh diri akan
ditelanjangi dan diseret sepanjang jalan. Tapi dengan
cerita palsunya, Calas membuat penyebab kematian Marc-
Antoine makin kabur. Para dokter yang memeriksa
mayatnya menyimpulkan: pemuda malang itu ―digantung
hidup-hidup, oleh dirinya sendiri atau oleh orang-orang
lain‖.

Catatan Pinggir | 222


Tiga puluh enam jam setelah disekap di dalam sel
bawah tanah, barulah Calas mengatakan: Marc-Antoine
―digantung hidup-hidup oleh dirinya sendiri‖.

Sistem peradilan Prancis di abad ke-19 tak punya


asas ―praduga tak bersalah‖ atau cara lain untuk
melindungi seorang tersangka dari prasangka dan fitnah.
―Satu bisikan dapat mematikan bagaikan sampar,‖ kata
seorang penulis. Dan di hari-hari itu, sampar berkembang
lewat desas-desus dan kabar angin, tatkala penyebab
kematian anak muda itu serba meragukan.

Pada akhirnya Calas dibawa ke depan mahkamah


(―parlemen‖) dan para hakim yang mengadilinya
memutuskan: si terdakwa harus dipaksa agar menunjuk
nama-nama anggota komplotannya—lalu tubuhnya
dipatahkan dengan roda, dan dibakar.

Calas tak menyebut nama siapa pun, sebab


memang tak ada. Maka siksaan dijalankan. Ada tahap
ketika mulutnya dicagak dengan dua tongkat agar terbuka
dan disentor air berkendi-kendi dan kemudian lubang
hidungnya dipencet. Ketika tak ada juga pengakuan, ia
dibawa ke depan umum, diarak ke alun-alun, diangkat ke
perancah, dan diikat ke sebuah salib berbentuk X. Seorang
algojo dengan besi panas menghancurkan tulang-tulang
orang tua itu. Setelah tubuhnya patah, ia ditautkan dengan
sebuah roda dan mukanya dihadapkan ke langit. Dua jam
lamanya. Tapi ia tak juga mengakui kesalahannya, tak

Catatan Pinggir | 223


mau melepaskan imannya. ―Aku mati tanpa salah,‖
katanya. Ia dicekik. Tubuhnya dilontarkan ke api....

Écrasez l'infame! Ganyang kekejian itu! Dengan


dua kata itu, yang artinya tak pernah persis tapi
semangatnya menggelegak, Voltaire pun menyatakan
perangnya kepada kebencian yang dinyalakan fanatisme
agama. ―Orang yang mengatakan kepadaku, ‗Berimanlah
dengan imanku, kalau tidak, Tuhan akan mengutukmu,‘
kini akan mengatakan, ‗Berimanlah dengan imanku, kalau
tidak, aku bunuh kau‘.‖

Voltaire sendiri beriman kepada ―wujud‖ yang


maha-luhur, tapi ia ―tak bergabung dengan salah satu sekte
yang akan saling bantah.‖ Agama seorang ―deist‖,
katanya, adalah agama paling purba: semata-mata
menjunjung satu Tuhan yang mendahului ―semua sistem
di dunia‖.

Ia telah menyaksikan bagaimana ―sistem‖ itu—


sistem kepercayaan itu—tidak hanya mengikat, tapi juga
membuat kecurigaan mudah dan paranoia gampang. Juga:
permusuhan dan prosekusi. Risalah tentang Toleransi yang
ditulisnya ia tutup dengan sebuah doa: ―Semoga semua
variasi kecil ini yang membedakan tiap zarah yang
bernama manusia tak akan memicu kebencian dan
penindasan.‖

Catatan Pinggir | 224


Di tengah suasana yang menyesakkan seperti
Prancis di abad ke-18 itu, Voltaire seakan-akan berdoa di
samping kita, di Indonesia, kini.

Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 225

Anda mungkin juga menyukai