ISBD Scribd
ISBD Scribd
“BAB XIII”
Nama Kelompok:
Mufaridah Aprilia (185870007)
Mutiara Arafa Camil (185870028)
Erwanda Febri Yohana (185870029)
Adela Wahyu Fitriani (185870040)
Alhamdulillah, Puji syukur hanya tercurahkan kepada Allah SWT Karena atas limpahan
dan karunia-Nya. Sholawat serta salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad
SAW. Manusia istimewa yang seluruh perilakunya layak untuk diteladani. Sehingga saya dapat
menyelesaikan tugas saya.
Banyak kesulitan dan hambatan yang penulis hadapi dalam membuat makalah ini. Tapi,
dengan semangat dan kegigihan serta arahan bimbingan dari berbagai pihak sehingga penulis
mampu menyelesaikan tugas tersebut dengan baik.
Penulis menyimpulkan bahwa makalah ini masih belum sempurna, oleh karena itu
penulis menerima saran dan kritikan, guna kesempurnaan makalah ini dan bermanfaat bagi
penulis dan pembaca pada umumnya.
D. Perkembangan Postmodernisme
Setelah Lyotard, pada abad ke 20 akhir, postmodern menjadi istilah yang
populer digunakan di kalangan para pemikir kontemporer. Jean Baudrillard punya
istilah masyarakat postmodern yang merujuk pada masyarakat yang dideterminasi oleh
tanda-tanda. Masyarakat berperilaku berdasarkan tanda-tanda tertentu yang banyak
diproduksi oleh sistem kapitalisme (lanjut).
Tanda-tanda itu pada titik ekstrim menjadi simulacra, yakni tanda yang tidak
memiliki rujukan kecuali dirinya sendiri, ia mendahului realitas, lahir sebelum realitas
dan menjadi realitas baru.
Postmodernisme kemudian sangat populer di Amerika. Kita tahu bahwa
Amerika menganut sistem ekonomi kapitalisme dan kebudayaan liberalisme.
Masyarakat Amerika dianggap sebagai contoh masyarakat paling kontemporer. Maka
dari itu postmodernisme banyak berkembang di kalangan para teoritisi Amerika antara
lain Brian McHale, Linda Hutcheon dan Frederic Jameson. Brian Mc Hale secara
eksplisit menggunakan istilah fiksi postmodern. Postmodernisme merupakan sebuah
konstruksi wacana yang membentuk objek tertentu. Postmodernisme merupakan
penerus, ataupun reaksi terhadap, karya sastra modernisme awal abad 20.
Postmodernisme tidak sesederhana sebuah bentuk diskursif setelah atau kelanjutan dari
modernisme, tetapiia adalah konsekuensi historis dari modernisme yang bisa dilihat
perbedaan konstruksi diskursif diantara keduanya. Perbedaan sederhananya yakni
dominan karya sastra modern adalah epistemologis: bagaimana manusia
menginterpretasi dunia, sebagaimana manusia merupakan bagian di dalamnya.
Sedangkan dominan postmodern adalah ontologis: mempertanyakan perihal eksistensi
(di balik) dunia, apa itu dunia?, bagaimana ia terbentuk?, apa batas-batas yang
mebedakan antara dunia-dunia tersebut?
Tokoh lain, Linda Hutcheon, membahas postmodern dengan lebih kompleks.
Postmodernisme adalah sebuah praktik budaya yang bisa dipahami melalui bentuk seni
dan pemikiran kontemporer yang secara fundamental kontradiktif, secara tegas historis
dan tentunya bersifat politis. Ia banyak membahas perihal gaya seni dan pemikiran yang
muncul di era kapitalisme lanjut, antara lain arsitektur, karya sastra, seni lukis, seni
pahat, film, video, tari, TV, musik, filsafat, teori estetika, psikoanalisa, linguistik atau
historiografi/narasi sejarah. Model konsep tentang postmodern dalam karya tersebut
bersifat teoretis dan praktis, yang menggunakan parodi untuk merekontekstualisasi dan
menghubungkan kembali estetika dalam dan dengan masyarakat, sejarah dan politik.
Hubungan tersebut membentuk dua karakteristik yakni ironi – efek nostalgia,
rekontekstualisasi bentuk masa lalu akan membuat pernyataan ideologis – dan parodi –
hubungan paradoks dengan objeknya, dalam hal ini masa lalu historis dan estetis.
Pemikiran Hutcheon tentang postmodern ini ujungnya akan mengarah pada model-
model gaya, sebagai praktik budaya, atau bisa dikatakan estetika dari karya seni
maupun pemikiran yang muncul dalam era kontemporer. Pembahasan Hutcheon tak
jauh beda dengan apa yang diajukan Frederic Jameson. Jameson mengaitkan
postmodernisme dengan kebudayaan kapitalisme lanjut, seperti seni dan budaya masa,
yang memiliki kecenderungan estetika tertentu.
2. Budaya Seni.
Postmodernisme Berpijakan Seni Lokal dalam Wujud Konkret Berdasar
konsep postmodernisme yang telah dimengerti, yang pada intinya bahwa
postmodernisme dalam bidang seni adalah tumbangnya batas antara "budaya
tinggi" dan budaya pop. Mengacu pada konsep postmodernisme dalam bidang
seni itu, dapat diambil contoh kenyataan kehidup-an seni rakyat model sekarang
yang diduga sebagai wujud konkret seni postmodern. Wujudnya hanya
mengambil fisik muka yang bukan isi atau kedalaman seni rakyat itu dipadukan
dengan hal-hal yang berbau modern, kontemporer, dan kekinian sebagai selera
pasar. Dalam kepentingan kepopulerannya, disebarluaskanlah melalui media
massa, baik elektronik maupun cetak. Contoh ini tentu hanya sebagai rabaan
kasar, mungkin itu yang dikatakan salah satu aliran seni
3. Budaya Arsitektur.
Postmodernisme dalam arsitektur menolak bangunan-bangunan dan
arsitektur di ciptakan menjadi baru sesuai dengan prinsip-prinsip rasional dan
ilmiah. Dalam arsitektur postmodern, tonggaknya adalah bangunan- bangunan
yang sangat banyak ornamen, di rancang sungguh-sungguh, dikontekstualkan
dan diberi warna cerah, sebuah penekanan pada fiksionalitas dan sifat main-
main, serta penggabungan gaya yang di ambil dari berbagai periode sejarah
yang berbeda Arsitektur postmodern mengerjakan dan mengubah gaya
bangunan menjadi perayaan gaya dan permukaan, memanfaatkan arsitektur
untuk membuat lelucon tentang ruang yang di bangun ( misalnya Grandfather
Clock karya Philip Johnson di New York dan Piazza Italia karya Charles Moore
di New Orleans). Arsitektur postmodern juga mengerjakan dan mengubah gaya
bangunan di sesuaikan dengan konteks tempat bangunan itu berada dan
memadukan dengan gaya klasik ( misalnya, gaya Romawi atau Yunani Kuno)
dengan gaya lokal ( tanda-tanda dan ikon-ikon budaya populer).
4. Budaya Hukum.
Postmodernisme dalam ruang pemikiran intelektualitas manusia
disadari telah membuat warna baru yang menarik untuk dikaji. Hal ini tidak saja
karena kehadirannya cukup menggetarkan dunia akademik, tetapi juga
postmodernisme telah membawa pesan-pesan kritis untuk melakukan
pembacaan ulang atas berbagai tradisi yang selama ini diyakini kebenarannya.
Masyarakat dikagetkan dengan munculnya gejala postmodernisme yang cukup
untuk menghancurkan dimensi-dimensi ontologi, epistemologi, bahkan
aksiologi yang tumbuh dalam pengetahuan dasar masyarakat mengenai realitas.
Bagi kaum postmodernisme, manusia tidak akan mengetahui realitas yang
objektif dan benar, tetapi yang diketahui manusia hanyalah bagian dari realitas.
Postmodernisme dalam filsafat berujung pada sikap kritis untuk mengkaji ulang
setiap bentuk kebenaran yang selama ini diterima secara apa adanya.
Terminologi inilah yang kemudian dikenal dengan metode dekonstruksi yang
dalam banyak hal diusung oleh Derrida4 Gerakan postmodernisme ini pada
dasarnya muncul sebagai kritik atas kegagalan manusia modern (kehidupan
modernitas) dalam menciptakan situasi sosial yang lebih baik, kondusif dan
berkeadilan social.
file:///C:/Users/User/Downloads/Documents/11909-
Article%20Text%20(Without%20Author%20Name)-24985-1-10-20190825.pdf
Hardiman, F. B. 2009. Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik, dan
Postmodernisme menurut Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisiu
http://inlislite.dispusip.jakarta.go.id/dispusip/opac/detail-opac?id=48268
https://en.wikipedia.org/wiki/Postmodernism_in_political_science
Srinati, D. 2009. Popular Culture. Terjemahan oleh Abdul Muchid. Yogyakarta: AR- Ruz
Medi
Richard K. Ashley dan RBJ Walker, "Pengantar: Berbicara Bahasa Pengasingan: Pemikiran
Pembangkang dalam Studi Internasional" dalam International Studies Quarterly ,
Vol. 34, No. 3 (Sep., 1990), hlm.259-268