SKRIPSI
EDWINANTHA RAMA
1410211171
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Kedokteran
EDWINANTHA RAMA
1410211171
Abstrak
Hipertiroid merupakan kelainan endokrin terbanyak kedua di dunia setelah diabetes.
Grave’s disesase merupakan penyebab terbanyak terjadinya hipertiroid. Penggunaan
obat antitiroid merupakan salah satu metode penatalaksanaan hipertiroid. Obat
antitiroid terdiri dari golongan tiourasil dengan obat propiltiourasil dan golongan
tioimidazol dengan obat metimazol, tiamazol dan karbimazol. Sampai saat ini masih
terdapat perbedaan pemilihan obat antitiroid di Indonesia. Tujuan penelitian adalah
untuk mengetahui perbandingan efektivitas obat antitiroid antara tiamazol dengan
propiltiourasil. Jenis penelitian ini adalah analitik observasional menggunakan desain
cross-sectional. Sampel pada penelitian ini adalah pasien hipertiroid yang disebabkan
Grave’s disease dengan terapi tiamazol atau propiltiourasil dalam tiga bulan pertama.
Jumlah sampel terdiri dari 82 responden dan dibagi menjadi dua kelompok dengan
masing-masing 41 responden. Kelompok sampel dengan terapi tiamazol 27
responden diantaranya mencapai normalisasi kadar hormon tiroid dengan persentase
65.9% dan kelompok sampel dengan terapi propiltiourasil 37 diantaranya mencapai
normalisasi kadar hormon tiroid dengan persentase 90.3%. Analisis statistik chi-
square didapatkan p-value pada pearson chi-square adalah 0.008 (<0.05) dan p-value
pada continuity correction adalah 0.016 (<0.05) yang artinya terdapat perbedaan
efektivitas yang bermakna antara kedua obat. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan
bahwa propiltiourasil lebih efektif dibandingkan tiamazol dalam pengobatan
hipertiroid yang disebabkan Grave’s disease di RSUD Cengkareng Periode 2017.
Kedua obat mempunyai mekanisme kerja yang sama dalam pengobatan hipertiroid
Grave’s disease namun propiltiourasil mempunyai mekanisme kerja tambahan yaitu
menghambat enzim 5’deiodinase perifer, hal ini dapat meningkatkan efektivitas obat
propiltiourasil dalam pengobatan hipertiroid Grave’s disease.
v
COMPARISON OF ANTITIROID DRUG EFFECTIVENESS
BETWEEN TIAMAZOLE WITH PROPYLTIOURASIL TO
HYPERTIROID PATIENTS CAUSED BY GRAVE'S DISEASE IN
CENGKARENG REGIONAL PUBLIC HOSPITAL PERIOD 2017
Edwinantha Rama
Abstract
Hyperthyroid is the second most common endocrine disorder in the world after
diabetes. Grave's disesase is the most common cause of hyperthyroidism. The use of
antithyroid drugs is one method of management of hyperthyroidism. The antithyroid
drug consists of the thiouracyl and imidazole. Until now there are differences in the
selection of antithyroid drugs in Indonesia. The objective of the study was to
determine the effectiveness of antithyroid drugs between tiamazole and
propylthiouracil. The type of this study was observational analytics using cross-
sectional design. Samples in this study were hyperthyroid patients caused by Grave's
disease with thiamazole or propylthiouracil therapy in the first three months. The
sample size consisted of 82 respondents and divided into two groups with 41
respondents respectively. The sample group with thiamazole therapy of 27
respondents included normalization of thyroid hormone levels with percentage of
65.9% and the sample group with propylthiouracaine therapy 37 of them achieved
normalization of thyroid hormone level with 90.3% percentage. Chi-square statistical
analysis obtained p-value on pearson chi-square is 0.008 (<0.05) and p-value on
continuity correction is 0.016 (<0.05) which means there is a significant effectiveness
difference between the two drugs. Based on the results of the study it was found that
propylthiouracil was more effective than tiamazole in the treatment of
hyperthyroidism caused by Grave's disease in RSUD Cengkareng Period 2017. Both
drugs have the same mechanism of action in the treatment of hyperthyroidism Grave's
disease but propylthiouracil has an additional mechanism that inhibits the
5'deiodinase enzyme, this can increase the effectiveness of propylthiouracil in the
treatment of Grave's hyperthyroid disease.
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat
Nya-lah penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Perbandingan
Efektivitas Obat Antitiroid Antara Tiamazol dengan Propiltiourasil terhadap
Pasien Grave’s Disease di RSUD Cengkareng Periode 2017”. Penulis menyadari
bahwa banyak pihak terkait yang telah memberikan bantuan sejak dimulainya
masa perkuliahan hingga saat ini, akan sangat sulit bagi peneliti untuk
menyelesaikan skripsi ini, oleh karena itu penulis ingin menyampaikan rasa
hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. dr. Ika Satya Perdhana, M.Biomed, selaku dosen pembimbing utama dan Ibu
Meiskha Bahar, S.Si, M.Si, selaku dosen pembimbing kedua yang telah
bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan serta
memberi dukungan dan perhatian yang sangat besar pada peneliti selama
proses penyusunan skripsi ini dan dr. Muttia Amalia, M.Biomed selaku
penguji utama yang telah memberikan umpan balik, saran dan motivasi yang
sangat bermanfaat dalam penyusunan skripsi ini.
2. RSUD Cengkareng yang telah memberikan kesempatan dan segala bantuan
kepada peneliti dalam melakukan penelitian.
3. Keluarga tersayang, Chandra Widjajanti ,Bapak Agus, kakak Edwinaditya
Sekar Putri dan Herdy Adriano, serta keluarga besar yang telah melimpahkan
kasih sayang, doa, semangat, dan dukungan dalam penulisan penelitian ini.
4. dr. Wahyu dan dr. Lucy selaku pembimbing akademik peneliti, yang
senantiasa memberi dukungan, doa dan bimbingan selama peneliti menjalani
perkuliahan. Serta seluruh dosen pengajar FK-UPN yang telah mencurahkan
waktu, ilmu dan kasih sayangnya selama mengajar dan mendidik peneliti
selama menempuh studi di FK-UPN.
5. Sahabat dan teman-teman terbaik peneliti: Rian, Azhal, Dhiyaul, Ary,
Unggul, Axel, Fikri, Qhintara, Kendy, Davin, Reynald, Fadhli, Althaf,
Febrian, Himawan yang selalu memberi semangat dan menemani hari-hari
peneliti dalam pengerjaan skripsi ini. Terimakasih atas hiburan, dukungan,
vii
perhatian dan pengertiannya. Serta kepada Fitria yang telah membukakan
jendela pengetahuan tentang banyak hal, selalu memberi dukungan dan
bantuan kepada peneliti yang sering malas ini.
6. Teman-teman masa sekolah peneliti, yaitu Nandito, Yunanda, Robby, Kikay,
Luthfi, Fakhri yang sampai sekarang masih setia menemani peneliti baik
dalam suka maupun duka. Terima kasih atas segala semangat, dukungan,
hiburan dan motivasi yang diberikan.
7. Pihak-pihak lain yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu, untuk
bantuan dan kontribusi yang diberikan kepada peneliti demi kelancaran
penulisan skripsi serta kehidupan perkuliahan yang peneliti lalui di FK
UPNVJ.
Peneliti berharap semoga Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua
pihak yang telah membantu. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat.
Penulis
Edwinantha Rama
viii
DAFTAR ISI
ix
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 56
V.1 Kesimpulan ............................................................................................... 56
V.2 Saran.......................................................................................................... 56
x
DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR BAGAN
xii
DAFTAR GAMBAR
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
xiv
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
yaitu mempunyai duration of action (DOA) yang lebih panjang daripada golongan
tiourasil sehingga dosisnya cukup satu kali sehari sedangkan dosis propiltiourasil
adalah tiga kali sehari (Syarif, 2012; Setiati, 2014).
Sampai saat ini masih terdapat perbedaan pemilihan obat antitiroid sebagai
lini utama di seluruh dunia. Propiltiourasil merupakan obat pilihan utama dalam
pengobatan hipertiroid di Amerika sedangkan metimazol merupakan obat pilihan
utama di sebagian besar Negara-negara Eropa dan Asia, di Indonesia Belum
didapatkan data mengenai pemilihan obat antitiroid sebagai lini utama namun
sejak mulai berlakunya sistem badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS) pada
tahun 2013 terdapat beberapa jenis obat antitiroid yang teresedia menurut
pedoman penerapan formularium Nasional (2016), diantaranya adalah tiamazol,
karbimazol dan propiltiourasil (Hirotoshi et al, 2007; Rajput & Goel, 2013).
American Association of Clinical Endocrinologist (AACE)
merekomendasikan obat metimazol sebagai pilihan utama dalam pengobatan
hipertiroid yang disebabkan Grave’s disease karena telah diketahui mempunyai
tingkat efektivitas yang baik dengan dosis satu kali sehari (Bahn et al, 2011),
namun beberapa literatur menyatakan bahwa pemilihan penggunaan obat
antitiroid didasarkan kepada kebijakan masing-masing dokter yang bertanggung
jawab (Cooper, 2005; Hirokazou et al, 2011).
Telah dilakukan beberapa studi mengenai perbandingan efektivitas obat
antitiroid. Hirotoshi et al (2007) dan Hirokazou et al (2011) melakukan penelitian
yang membandingkan efektivitas obat antitiroid antara metimazol dengan
propiltiourasil, keduanya mendapatkan hasil yang sama yaitu metimazol lebih
efektif dibandingkan propiltiourasil dalam pengobatan pasien hipertiroid yang
disebabkan Grave’ disease.
Hasil penelitian sebelumnya memberikan informasi bahwa metimazol
lebih efektif dibandingkan propiltiourasil dalam pengobatan hipertiroid Grave’
disease. Sampai saat ini belum diketahui data mengenai efektivitas obat tiamazol
yang merupakan salah satu obat antitiroid yang tersedia di Indonesia, maka
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai perbandingan efektivitas
obat antitiroid tunggal antara tiamazol dengan propiltiourasil terhadap pasien
hipertiroid yang disebabkan Graves’s disease.
3
5
6
Substansi koloid
keadaan asupan Iodin normal adalah 25:1, dimana proses ini dipengaruhi oleh
aktivitas hormon TSH.
2. Proses Oksidasi.
Tahapan oksidasi merupakan tahapan yang sangat penting dalam
sintesis hormon tiroid yang berlangsung di lumen folikular. Proses oksidasi
bergantung pada enzim peroksidase yang mengandung hem yang berfungsi
untuk mengaktifkan Iodin agar dapat masuk ke proses organifikasi Iodin dan
gugus Tirosin.
3. Proses Iodinisasi
Iodin yang telah teroksidasi selanjutnya mengalami proses penyatuan
dengan residu tirosin dalam tiroglobulin yang melibatkan aktvitas enzim
tiroperoksidase. Rangkaian proses iodinasi menghasilkan dua komponen yaitu
MIT dan DIT. Sepertiga iodin dalam kelenjar tiroid nantinya terdapat pada
hormon T3 dan T4, sisanya terdapat pada molekul MIT dan DIT.
4. Proses Perangkaian Iodotirosil
Setelah terbentuknya molekul MIT dan DIT selanjutnya terjadi proses
organifikasi yang membentuk hormon T4 dan T3. Molekul MIT yang bersatu
dengan DIT membentuk hormon T3 sedangkan dua molekul DIT yang bersatu
membentuk hormon T4. Enzim yang berperan dalam proses organifikasi sampai
saat ini masih belum diketahui, namun diperkirakan enzim tiroperoksidase
adalah enzim yang berperan dalam proses organifikasi (Sari, 2007).
Hormon tiroid adalah hormon yang bersifat lipofilik, oleh karena itu
hormon tiroid masuk ke dalam sel melalui proses difusi membrane sel. Setelah
mencapai membrane sel akan terjadi proses deiodinasi T4 menjadi T3, setelah T3
terbentuk maka selanjutnya T3 akan berikatan dengan reseptor yang terdapat di
dalam sel (Gardner & Shoback, 2017). Sampai saat ini reseptor hormon tiroid
intrasel dikenal sebagai Human Thyroid Receptor (hTR) yang terbagi atas 3 jenis
yaitu hTR-α1 dan hTR-β1 yang merupakan bentuk reseptor aktif secara biologis
dan menimbulkan efek fisiologis dan hTR-α2 yang tidak memberikan efek
fisiologik namun berfungsi untuk menghambat aktivitas T3 (Sari, 2007).
Efek transkripsional dari T3 yang telah berikatan dengan reseptornya
membuntuhkan lag time berjam-jam hingga berhari-hari untuk mencapai efek
penuh (Gardner & Shoback, 2017). Hampir semua sel dalam tubuh dipengaruhi
baik secara langsung maupun tidak langsung oleh hormon tiroid. Efek fisiologis
dari hormon tiroid diantaranya adalah:
1. Efek pada laju metabolisme
Hormon tiroid meningkatkan laju metabolisme basal tubuh secara
keseluruhan. Hormon ini adalah regulator terpenting bagi tingkat
konsumsi O2 dan pengeluaran energi tubuh pada keadaan istirahat.
2. Efek pada produksi panas
Hormon tiroid berkaitan erat dengan efek kalorigenik (penghasil
panas). Peningkatan aktivitas metabolisme menyebabkan peningkatan
produksi panas.
3. Efek pada metabolisme antara
Hormon tiroid memodulasi kecepatan banyak reaksi spesifik yang
terlibat dalam metabolisme bahan bakar.
4. Efek simpatomimetik
Hormon tiroid meningkatkan ketanggapan sel sasaran terhadap
katekolamin (epinefrin dan norepinefrin).
5. Efek pada sistem kardiovaskuler
Hormon tiroid meningkatkan kecepatan denyut dan kekuatan
kontraksi jantung sehingga curah jantung meningkat.
13
II.1.3 Hipertiroid
Gangguan kelenjar tiroid dapat dibedakan menurut fungsinya yang terdiri
atas Hipotiroid yaitu kekurangan produksi hormon tiroid dan Hipertiroid yaitu
kelebihan produksi hormon tiroid, apabila terdapat konsentrasi hormon tiroid yang
berlebih di dalam sirkulasi maka timbul sindroma manifestasi klinis yang disebut
Tirotoksikosis (Gardner & Shoback, 2017). Perlu dibedakan antara Tirotoksikosis
dengan hipertiroid, tiroktoksikosis merupakan suatu sindroma manifestasi klinis
akibat kelebihan hormon tiroid yang beredar di sirkulasi, sedangkan hipertiroid
adalah suatu keadaan hiperaktifitas kelenjar tiroid yang mensekresikan hormon
tiroid secara berlebih (Setiati dkk 2014, hlm. 1961).
Hipertiroid mempunyai etiologi yang beragam namun apapun etologinya
manifestasi klinisnya adalah Tirotoksikosis. Etiologi yang tersering adalah
Grave’s disease (Hirokazou et al, 2011). Grave’s disease merupakan salah satu
bentuk Tirotoksikosis yang disebabkan oleh proses autoimun (Gardner & Shoback,
15
2017). Selain Grave’s Disease terdapat beberapa etiologi lainya yang dapat
menyebabkan timbulnya manifestasi tirotoksikosis, yaitu:
a. Hipertiroid Primer
1. Grave’s disease atau toksik goiter difus.
2. Gondok multinodula toksik.
3. Adenoma Toksik.
4. Karsinoma tiroid.
5. Struma Ovarium.
6. Mutasi TSH-r.
7. Obat: yodium lebih, litium.
b. Tirotoksikosis tanpa Hipertiroidisme
1. Tirotoksikosis Faktisia.
2. Tiroiditis sub-akut (Thyroiditis DeQuervain).
3. Destruksi kelenjar tiroid : pemberian amiodaron.
c. Hipertiroid Sekunder
1. Tiroroksikosis dalam kehamilan.
2. Resistensi hormon tiroid.
3. TSH-secreting tumor c-hGH (Setiati dkk 2014, hlm 1962).
Hipertiroid merupakan salah satu kasus di bidang endokrinologi yang
cukup banyak. Kasus Tirotoksikosis di dunia didominasi oleh wanita
dibandingkan laki-laki dengan rata-rata usia 41 tahun, di Amerika prevalensi
kasus hipertiroid adalah 1.9% pada wanita dan 0.9% pada pria, di Eropa kasus
hipertiroid berkisar 1-2% (Supadmi, 2007). Indonesia (Balitbangkes, 2013),
melakukan riset penelitian prevalensi kejadian hipertiroid dan mendapatkan hasil
terdapat 700.000 jiwa berusia diatas 15 tahun yang terdiagnosis hipertiroid.
II.1.4.1 Epidemiologi
Berdasarkan data WHO tahun 2000 diketahui penyakit kelenjar tiroid
merupakan penyakit kedua terbanyak dalam bidang endokrin setelah diabetes
melitus dengan proporsi kejadian wanita sepuluh kali lebih sering dibandingkan
pria (Heuck et al, 2000). Grave’s disease merupakan penyebab tersering dari
hipertiroid dimana sekitar 60-80% kejadian hipertiroid di dunia disebabkan oleh
Grave’s disease. Telah diketahui bahwa di seluruh dunia prevalensi kejadian
hipertiroid yang disebabkan oleh Grave’s disease adalah sekitar 0,5% dan
insidensi kejadian Grave’s disease adalah 21 per 100.000 penduduk per tahunya
(Bartalena, 2013).
Grave’s disease sepuluh kali lebih sering terjadi pada wanita daripada
laki-laki dimana setiap individu disegala umur mempunyai kemungkinan untuk
menderita Grave’s disease, namun wanita pada rentang usia 40-60 tahun
mempunyai resiko tertinggi untuk terkena Grave’s disease. Faktor genetik sangat
berperan dalam timbulnya Grave’s disease sekitar 80% penderita memiliki
riwayat keluarga yang pernah menderita Grave’s disease. Selain faktor genetik
faktor lingkungan juga berperan dalam timbulnya penyakit, terdapat beberapa
faktor lingkungan yang berperan seperti kehamilan, infeksi, asupan iodin yang
berlebih (Bartalena, 2013).
a. Faktor genetik
Faktor genetik diperkirakan dalah faktor resiko utama dalam timbulnya
Grave’s disease. Telah diketahui bahwa kejadian timbulya penyakit lebih tinggi
pada pasien yang mempunyai riwayat keluarga dan individu monozigot daripada
individu kembar dizigot.
Human leukosit antigen (HLA) selama ini telah dikenal sebagai faktor
utama pencetus Grave’s disease. Molekul HLA mempunyai peranan dalam
mengontrol diferensiasi sel T menjadi sel T-Helper saat persentasi antigen,
molekul HLA yang berperan dalam proses ini adalah HLA tipe-II. Saat proses
persentasi antigen berlangsung akan terjadi aktivasi reseptor limfosit T yang akan
menyebabkan diferensiasi sel T, proses diferensiasi sel T menjadi sel T-helper
bebrapa diantaranya akan membentuk sel T autoreaktif yang dapat menyerang sel
host itu sendiri. Keadaan ini terjadi jika terdapat adanya kegagalan toleransi imun.
Toleransi imun diatur oleh sel T-supresor yang mengidentifikasi dan
mengeliminasi sel T yang autoreaktif. Namun jika fungsi sel T supresor tertekan,
terjadi kegagalan proses eliminasi sel T autoreaktif sehinggal sel T autoreaktif
tersebut masuk ke aliran darah dan berpotensi menimbulkan mekanisme
autoimun. Individu dengan mutasi gen, menyebabkan HLA menekan fungsi sel T
supresor atau menyebabkan rendahnya pembentukan komponen supresor lainya
seperti IL-10 dan TGF-β. Dalam Grave’s disease mekanisme yang terjadi adalah
molekul HLA yang telah mutasi menyebabkan diferensiasi sel T menjadi sel T
yang autoreaktif dan memicu diferensiasi sel B untuk mebentuk immunoglobulin
TSI atau thyroid stimulating hormon receptor-antibody (TSHR-Ab) (Karasek &
Lewinski, 2003).
b. Jenis kelamin dan usia
Kejadian Grave’s disease tinggi terjadi pada rentang usia 20-40 tahun, dan
lebih sering menyerang wanita dari pada laki-laki. Namun usia diatas 60 tahun
dan usia dibawah 10 tahun, tidak ditemukan perebdaan proporsi yang signifikan
antara wanita dan laki-laki (Karasek & Lewinski, 2003 ; Gardner & Shoback,
2017).
Wanita memiliki potensi yang lebih besar untuk menderita Grave’s
disease dibandingkan laki-laki. Hal ini sudah terbukti berdasarkan data-data yang
18
ada pada penelitian sebelumnya terkait Grave’s disease. Walaupun perbedaan ini
sangat menonjol sampai saat ini belum diketahui penyebab pasti wanita lebih
berpotensi untuk menderita Grave’s disease dibandingkan laki-laki. Perbedaan
jenis kelamin tidak hanya berpengaruh terhadap Grave’s disease namun juga
wanita lebih sering menderita penyakit-penyakit kelenjar tiroid lainya seperti
multinodular goiter dan karsinoma tiroid. Hipotesis yang didapat berdasarkan
data-data yang ada, kemungkinan wanita memiliki reaktivitas kelenjar tiroid yang
lebih tinggi dari pada laki-laki atau wanita memiliki tingkat stress yang lebih
besar daripada laki-laki (De Groot, 2015).
c. Infeksi bakteri dan virus
Infeksi mikroorganisme seperti bakteri dan virus, dicurigai memegang
peranan penting dalam memicu timbulnya Grave’s disease. Infeksi Retrovirus dan
foamy virus diketahui mempengaruhi mutasi gen secara langsung dan
mempengaruhi IFN-γ secara tidak langsung, kondisi ini dapat menimbulkan
Grave’s disease. Infeksi bakteri khususnya Yersinia enterocolitica diketahui
mempunyai kemiripan antigen dengan TSH-r yang dapat menginduksi Grave’s
disease. Namun sampai saat ini belum terdapat bukti yang jelas bahwa infeksi
secara langsung dapat menyebabkan timbulnya Grave’s disease (Karasek &
Lewinski, 2003).
d. Kehamilan
Kehamilan menyebabkan banyak perubahan pada sistem tubuh manusia.
Salah satunya adalah perubahan konsentrasi protein plasma TBG akibat
peningkatan estrogen selama kehamilan. TBG mempunyai komponen asam sialat
dalam strukturnya, estrogen menyebabkan peningkatan sintesis asam sialat
sehingga terjadi peningkatan konsentrasi TBG dan peningkatan afinitas TBG
terhadap T4. Akibat kondisi tersebut akan terjadi peurunan turn over rate T4
menjadi T4 bebas, sehingga selanjutnya akan terjadi stimulasi TSH terhadap
kelenjar tiroid yang berlebihan yang pada episode selanjutnya akan menyebabkan
timbulnya Grave’s disease (Setiati dkk 2014, hlm. 1959).
19
e. Stres
Stres telah lama diketahui sebagai salah satu faktor resiko yang dapat
menimbulkan Grave’s disease. Terdapat beberapa laporan kejadian yang
membuktikan bahwa stes fisik, stres metabolik maupun stres psikis menyebabkan
terjadinya Grave’s disease. Secara teori stres menyebabkan korteks adrenal aktif
dan melepas kortisol dalan jumlah besar, selain itu stres juga memicu peningkatan
aktivitas sistem saraf simpatis. Keadaan ini dapat menyebabkan gangguan sistem
imun tubuh dan menimbulkan adanya autoimunitas (De Groot, 2015).
II.1.4.5 Diagnosis
Diagnosis Grave’s disease dapat ditegakan berdasarkan manifestasi klinis
yang timbul, temuan laboratorium yaitu penurunan konsentrasi TSH dan
peningkatan konsentrasi hormon tiroid dalam sirkulasi, tes fungsional dengan
metode RAIU (radioiodine uptake), timbulnya gejala oftalmopati, dan adanya TSI
yang terdekteksi di dalam sirkulasi (Paunkovic, 2007). Terdapat beberapa
manifestasi ekstratiroid yang merupakan gejala khas Grave’s disease yaitu
oftalmopati dan dermopati. Namun berdasarkan literature, terdapat pasien dengan
gejala tirotoksiosis yang kurang jelas, gejala oftalmopati dan dermopati yang
kurang jelas dan tidak adanya goiter atau dengan goiter noduler diperlukan
diagnosis banding terhadap penyebab lain dari gejala tirotoksikosis, pada keadaan
belum diketahui penyebab pasti gejala tirotoksikosis diindikasikan melakukan
pemeriksaan tes fungsional dengan metode RIAU (Bartalena, 2013).
25
Skor intepretasi: >19: toxic, 11-19: ekuivokal, <11: eutiroid / non toksik
Sumber: Indonesian society of Endocrinology task force on thyroid, 2012
26
b. Pemeriksaan penunjang
Kadar serum TSH merupakan pemeriksaan dengan sensitivitas dan
spesifitas yang paling tinggi pada pasien dengan gejala tirotoksikosis, namun
pemeriksaan konsentrasi fT4 juga diperlukan untuk meningkatkan akurasi
diagnosis. Biasanya terdapat peningkatan konsentrasi fT3 pada pasien dengan
gejala tirotoksikosis. Pasien dengan gejala hipertiroid atau tirotoksikosis biasanya
didapatkan hasil pemeriksaan yaitu penurunan konesentrasi serum TSH <0.01
mU/L atau tidak terdeteksi dengan disertai adanya peningkatan fT4 dan fT3 (Bahn
et al, 2011).
Menurut Bartalena (2013) pemeriksaan TSI/TRAb merupakan
pemeriksaan yang paling penting dalam mendiagnosis pasien dengan gejala
tirotoksikosis yang disebabkan oleh Grave’s disease. Pemeriksaan fingsi tiroid
dengan menggunakan metode RAIU tidak diperlukan apabila ditemukan gejala-
gejala tirotoksikosis dan goiter difus yang disertai adanya keluhan oftalmopati
atau dermopati. Pasien dengan manifestasi tersebut dengan hasil pemeriksaan
darah didapatkan peningkatan konsentrasi fT3 dan fT4, penurunan konesntrasi
TSH dan ditemukan adanya titer antibodi TSI/TRAb maka diagnosis Grave’s
disease sudah dapat ditegakan dan tidak diperlukan pemeriksaan lebih lanjut.
Pemeriksaan RAIU diindikasikan pada pasien dengan gejala tirotoksikosis yang
penyebabnya masih belum jelas (Bahn et al, 2011).
II.1.4.6 Penatalaksanaan
Prinsip pengobatan hipertiroid tergantung dari etiologi tirotoksikosis, usia
pasien, riwayat alamiah, tersedianya modalitas pengobatan, situasi pasien dsb.
Pada dasarnya penatalaksanaan hipertiroid terdiri atas tiga metode yaitu dengan
obat anti tiroid, dengan iodin radioaktif dan tiroidektomi. Walaupun mekanisme
autoimun bertanggung jawab atas sindrom Grave’s disease, penatalaksanaanya
terutama ditujukan untuk mengendalikan hipertiroidisme (Gardner & Shoback,
2017).
Menurut Bartalena (2013) penatalaksanaan yang ideal pada Grave’s
disease yaitu mengembalikan fungsi normal dari kelenjar tiroid, menghindari
kekambuhan dari gejala hipertiroid, mencegah efek samping hipotiroidisme dan
27
mencegah progresivitas gejala oftalmopati. Namun sampai saat ini belum terdapat
terapi yang memenuhi seluruh kriteria tersebut.
Sampai sekarang terdapat perbedaan penggunaan metode penatalaksanaan
di seluruh dunia, di Amerika Serikat terapi menggunakan radioiodin menjadi
pilihan utama untuk kebanyakan pasien, sementara di Eropa dan Asia terapi
dengan obat antitiroid merupakan pilihan utama (Gardner & Shoback, 2017).
Pasien dengan gejala tirotoksikois harus diberikan terapi simptomatik
untuk keluhan kardiovaskular. Terapi menggunakan β-blocker ditujukan
mengurangi gejala palpitasi dan takikardi, menurunkan tekanan darah, kelemahan
otot, tremor dan kelelahan (Bahn et al, 2013).
a. Obat antitiroid
Saat ini terdapat dua golongan obat antitiroid derivat tionamid yang
digunakan dalam praktek klinis yaitu golongan tioimidazol yang terdiri dari
metimazol (MTZ), karbimazol (CBZ), tiamazol dan golongan tiourasil yaitu
propiltiourasil (Setiati dkk 2014, hlm. 1962). Menurut Cooper (2005) dan
Hirokazou et al (2011) pemilihan obat antitiroid disesuaikan dengan kebjiakan
dokter yang bertanggung jawab.
digunakan pada pasien Grave’s disease kecuali β-blocker non selektif merupakan
kontraindikasi dengan pasien yang menderita asma. Dosis tinggi β-blocker
dibutuhkan untuk mengurangi gejala simtomatik tirotoksikosis. Obat yang β-
blocker yang sering digunakan pada pasien Grave’s disease adalah Propanolol
dengan dosis 10-40mg/hari, atenolol dengan dosis 25-100mg/hari, metoprolol
dengan dosis 25-50mg/hari, nadolol dengan dosis 40-160mg/hari (Bahn et al,
2011).
c. Iodin Radioaktif
Menurut Indonesian society of Endocrinology task force on thyroid (2012)
pasien Grave’s disease dengan resiko komplikasi tinggi atau tidak adanya
perbaikan setelah pemberian obat antitiroid maka pengobatan harus dialihkan
menggunakan iodin radioaktif. Pada pasien yang sudah mendapat terapi obat
antitiroid maka pengobatan harus dihentikan terlebih dahulu selama 3-5 hari
sebelum dilanjutkan menggunakan iodin radioaktif.
Obat iodin radioaktif yang digunakan di Indonesia adalah 131-I. Obat 131-
I merupakan suatu radioisotop yang mengandung komponenen radioaktif.
Mekanisme kerjanya, radioisotop-I yang diberikan masuk kedalam proses sintesis
hormon tiroid dan terkumpul pada substansi koloid seperti halnya I-nonradioaktif.
Sinar yang dipancarkan mempengaruhi parenkim kelenjar tiroid dan terjadi
nekrosis sel folikel diikuti hilangnya koloid dan terjadi fibrosis kelenjar.
Obat 131-I mempunyai dosis yang sangat rendah, hanya kira-kira 0.3µg.
umumnya dosis rendah tidak menimbulkan gangguan kelenjar tiroid yang nyata,
hanya merusak bagian sentral saja sedangkan bagian perifer tetap berfungsi.
Larutan natrium iodida 131-I dapat diberikan dalam bentuk oral maupun
intravena. Iodin radioaktif diindikasikan pada pasien hipertiroid usia lanjut atau
dengan penyakit jantung, penyakit grave menetap atau kambuh setelah
tiroidektomi sub-total atau setelah mendapat terapi obat antitiroid dalam jangka
waktu yang lama tanpa adanya perbaikan, goiter nodular toksik, goiter
multinodular non-toksik yang disertai gejala kompresi, karsinoma tiroid dan untuk
diagnostic fungsi tiroid. Anak-anak dan wanita hamil yang menderita hipertiroid
merupakan kontraindikasi mutlak dari penggunaan iodin radioaktif (Syarif dkk
2012, hlm. 445).
31
d. Tiroidektomi
Prinsip umum tiroidektomi adalah operasi kelenjar tiroid baru dapat
dilakukan jika pasien sudah mencapai kondisi eutiroid secara klinis maupun
biokimiawi. Sebelum tiroidektomi dilakukan, pasien diberikan plumerisasi
menggunakan solusio lugol fortiror sebanyak 5 tetes dalam 3 kali pemberian, 7-10
jam sebelum operasi. Metode tiroidektomi yang digunakan adalah tiroidektomi
subtotal dupleks dengan menyisakan kelenjar tiroid seujung ibu jari atau dengan
metode lobektomi total termasuk ismus dan tiroidektomi subtotal lobus lain
(Setiati dkk 2014, hlm. 1963).
Tiroidektomi diindikasikan pada pasien dengan gejala tirotoksikosis berat
atau tidak adanya perbaikan dengan pengobatan mengguanakan obat antitiroid
atau iodinradioaktif atau berat kelenjar tiroid lebih dari 100gr. Tiroidektomi dapat
dilakukan pada wanita hamil pada trimester kedua (Bartalena, 2013).
Menurut Indonesian society of Endocrinology task force on thyroid (2012)
komplikasi dari tiroidektomi cukup sering terjadi. Paralisis pita suara dan
hipotiroidis serta hipoparatiroid merupakan komplikasi yang paling sering
dilaporkan setelah tindakan tiroidektomi.
II.1.4.7 Prognosis
Secara umum, perjalanan grave’s disease adalah ditandai oleh remisi dan
eksaserbasi untuk jangka waktu yang lama kecuali jika kelenjar dirusak dengan
tindakan bedah tiroidektomi atau dengan intervensi iodin radioaktif. Beberapa
pasien bisa tetap eutiroid untuk jangka waktu yang lama setelah terapi, tapi
terjadinya kasus relaps pada pasien grave’s disease cukup sering dilaporkan, jadi
follow-up seumur hidup merupakan indikasi untuk semua pasien dengan grave’s
disease (Gardner & Shoback, 2017).
Prognosis Grave’s disease dapat dilihat berdasarkan angka remisi. Angka
remisi pada orang dewasa lebih tinggi daripada angka remisi pada anak-anak.
Obat antitiroid dapat menginduksi remisi permanen sebesar kurang lebih 50%
kasus Grave’s disease, namun setelah 12-18 bulan terjadi relaps pada 50% kasus
hipertiroid. Seluruh pasien yang mendapat pengobatan antitiroid harus dimonitor
secara rutin setelah pengobatan dihentikan. Telah dilaporkan terjadi kekambuhan
pada 75% kasus pada bulan ketiga setelah pengobatan dihentikan. Jika terjadi
32
Penatalaksanaan Hipertiroid
Tioimidazol: Tiourasil
Tiamazol Propiltiourasil
Metimazol
Karbimazol
Mekanisme Kerja:
Mekanisme Kerja: Menghambat inkorporasi iodin dengan gugus
Menghambat inkorporasi iodin dengan gugus tirosin dalam tiroglobulin
tirosin dalam tiroglobulin Mengganggu proses oksidasi iodotirosin
Mengganggu proses oksidasi iodotirosin menghambat aktivitas enzim deiodinase 5’ perifer
Faktor Resiko
Grave’s disease:
Genetik Grave’s disease
Jenis kelamin
Infeksi
Usia
Hipertiroid
Stres
Manifestasi Klinis:
Kadar Hormon tiroid
Tirotoksikosis
Goiter
Oftalmopati dan Dermopati
TSH fT4 fT3
: Diteliti
: Tidak diteliti
Obat yang diteliti : Tiamazol dan Propiltiourasil
Sumber : Dimodifikasi dan adaptasi dari Gardner & Shoback, 2017 ; Setiati dkk. 2014 ; Bahn et al, 2011 ;
Bartalena, 2013 ; Cooper, 2003
Bagan 1 kerangka Teori
34
II.4 Hipotesis
H0: Tidak terdapat perbedaan efektivitas tiamazol dibandingkan dengan
propiltiourasil
H1: Terdapat perbedaan efektivitas tiamazol dibandingkan dengan propiltiourasil
35
.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
36
37
Keterangan:
n = Jumlah sampel minimal
Z 1- α/2 = Derajat kemaknaan (10%)
Z 1- β = Kekuatan uji (90%)
P = Rata-rata P1 dan P2, (P1+P2)/2
P1 = Proporsi kesembuhan pasien dengan pemberian obat antitiroid
tiamazol selama tiga bulan
P2 = Proporsi kesembuhan pasien dengan pemberian obat antitiroid
propiltiourasil selama tiga bulan
Nilai p didapat dengan membagi 2 nilai P1+P2, dimana nilai P1=0,90 dan
P2=0,692 didapatkan dari penelitian sebelumnya (Nakamura et al, 2007). Nilai p
yang didapatkan adalah 0,796. Setelah dihitung menggunakan rumus diatas,
didapatkan nilai n sebanyak 41, n1=n2 maka jumlah n dikalikan dua didapatkan
jumlah sampel minimal adalah 82 rekam medis.
b. Variabel Terikat, adalah hasil pemeriksaan kadar hormon tiroid yaitu TSH, ft4
setelah mendapatkan penatalaksanaan dengan obat antitiroid tunggal tiamazol
atau propiltiourasil selama tiga bulan.
3. Entry data merupakan prosedur memindahkan hasil data dari rekam medis
pasien setelah dilakukan kegiatan coding, data dimasukan ke dalam aplikasi
pengolahan statistik pada komputer secara teliti (Notoatmojo, 2012)
4. Cleaning data yaitu pengecekan kembali data yang sudah dimasukan,
apakah ada kesalahan atau tidak yaitu dengan cara mengetahui data yang
hilang, variasi data, dan konsistensi data (Notoatmojo, 2012)
43
44
c. Makna
Sahabat hidup sehat berkualitas.
d. Moto
Upaya terbaik untuk kesehatan anda.
e. Tata nilai
1. Integritas.
2. Objektifitas.
3. Loyalitas.
4. Untuk kerja tinggi.
5. Kemitraan (RSUD Cengkareng, 2018).
26-35 27 32,9
36-45 16 19,5
46-55 18 22
>55 15 18,3
Total 82 100
Sumber: Data Sekunder, 2017
hormon tiroid dengan persentase sebesar 70% dan sampel dengan jenis kelamin laki-
laki 6 diantaranya berhasil mencapai normalisasi kadar hormon tiroid dengan
persentase sebesar 55.5%.
Propiltiourasil 37 4 90,2
0.008 0.016
Jumlah 66 16
Penelitian ini mempunyai sampel sebesar 82 responden yang dibagi sama rata
menjadi dua kelompok yaitu kelompok pasien hipertiroid yang disebabkan grave’
disease dengan terapi tiamazol dan kelompok pasien hipertiroid yang disebabkan
51
mempunyai resiko yang lebih tinggi dalam penyakit Grvae’s disease dibandingkan
laki-laki, Indonesian society of Endocrinology task force on thyroid (2012)
menyatakan perbandingan rasio kejadian Grave’s disease antara perempuan dan laki-
laki adalah 8:1, Gardner dan Shoback (2017) menyatakan kejadian Grave’s disease
antara perempuan dan laki-laki adalah sekitar 5:1 serta Heuck et al (2000)
menyatakan perbandingan rasio antara perempuan dan laki-laki adalah sebesar 10:1.
Perempuan memiliki potensi yang lebih besar untuk menderita Grave’s
disease dibandingkan laki-laki, hal ini disebabkan adanya hipereaktivitas kelenjar
tiroid yang lebih besar dibandingkan laki-laki. Hipereaktivitas dapat terjadi akibat
wanita memiliki tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Secara teori
stres menyebabkan korteks adrenal aktif dan melepas kortisol dalan jumlah besar,
keadaan ini dapat menyebabkan gangguan sistem imun tubuh dan menimbulkan
adanya autoimunitas (De Groot, 2015).
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil kelompok usia 26-35 tahun
merupakan kelompok responden terbanyak sedangkan kelompok usia <26 tahun
merupakan kelompok dengan responden penelitian yang paling sedikit. Hasil
penelitian ini sesuai dengan teori yang terdapat pada Gardner dan Shoback (2017)
bahwa kejadian hipertiroid tinggi pada kelompok usia 20-40 tahun karena kelompok
usia tersebut merupakan kelompok usia produktif yang mempunyai tingkat stres yang
tinggi. De Groot (2015) menyatakan stress adalah salah satu faktor resiko penyakit
hipertiroid Grave’s Disease karena stress dapat meningkatkan sistem saraf simpatis
yang akan memodulasi sekresi hormon tiroid. Stres juga dapat meningkatkan sekresi
kortisol, hiperkortisol dapat menyebabkan gangguan pada sistem imun tubuh
sehingga mempunyai kecenderungan terjadinya autoimun.
Terdapat perbedaan hasil penelitian dengan Indonesian society of
Endocrinology task force on thyroid (2012) yang menyatakan kejadian Grave’s
disease sering terjadi pada usia dekade ketiga hingga keempat dan dengan Bartalena
(2013) yang menyatakan bahwa kejadian hipertiroid tinggi pada kelompok usia 40-60
tahun. Perbedaan hasil distribusi kelompok usia dapat disebabkan karena perbedaan
kriteria sampel penelitian dan faktor-faktor resiko lainya yang tidak diteliti khusunya
53
faktor genetik yang merupakan faktor resiko utama terjadinya hipertiroid Grave’s
disease.
IV.4.2 Pembahasan Hasil Analisis Univariat
Efektivitas obat antitiroid antara tiamazol dengan propiltiourasil terhadap
pasien hipertiroid yang disebabkan grave’s disease dilihat dari kadar fT4 dan TSH
sebelum pengobatan dan tiga bulan setelah pengobatan, karena menurut Bartalena
(2013) efek terapi obat antitiroid mulai terihat pada minggu ke 4-12 pengobatan dan
hasil pengobatan yang optimal terlihat pada minggu ke-12. Sampel pada penelitian ini
terdiri dari 82 responden dan dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok pertama
responden yang mendapat terapi tiamazol dan kelompok kedua responden yang
mendapat terapi propiltiourasil, masing-masing kelompok sampel terdiri dari 41
responden. Kelompok pertama 27 responden mencapai keadaan eutiroid dan 14
responden lainya gagal dalam mencapai kedaan eutiroid. Kelompok kedua 37
responden mencapai keadaan eutiroid dan 4 responden lainya gagal dalam mencapai
keadaan eutiroid.
Hasil tersebut menunjukan bahwa responden pada kelompok kedua yang
mendapatkan terapi propiltiourasil mempunyai frekuensi yang lebih tinggi dalam
normalisasi hormon tiroid dibandingkan pada kelompok pertama yang mendapatkan
terapi tiamazol. Hal ini didukung oleh teori farmakologi yang menyatakan bahwa
obat antitiroid golongan tiourasil mempunyai keunggulan mekanisme kerja dalam
terapi hipertiroid dibangkan obat antitiroid golongan tioimidazol (Syarif dkk. 2012;
Setiati dkk. 2014; Gardner & Shoback, 2017; Cooper, 2005).
Berdasarkan teori farmakologi obat antitiroid terdiri dua golongan yaitu
golongan tiourasil dengan obat propiltiourasil dan imidazol yang terdiri dari obat
tiamazol, metimazol, dan karbimazol. Kedua golongan tersebut mempunyai
mekanisme kerja yang sama dalam pengobatan hipertiroid yaitu berfungsi
menghambat inkorporasi iodin dengan residu tirosil dalam tiroglobulin dan juga
menghambat penggambungan residu iodotirosil dengan menghambat enzim
peroksidase sehingga oksidasi ion iodin dan gugus iodotirosil terganggu, namun obat
golongan tiourasil memiliki efek tambahan yaitu menghambat kerja enzim
54
V.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa:
a. Obat antitiroid propiltiourasil lebih efektif dibandingkan tiamazol dalam
pengobatan hipertiroid yang disebabkan Grave’s disease di RSUD
Cengkareng periode Januari – Desember 2017.
b. Proporsi kelompok sampel dengan terapi tiamazol di RSUD Cengkareng
periode Januari – Desember 2017 yang berhasil mencapai normalisasi kadar
hormon tiroid pada tiga bulan pertama pengobatan adalah 60.9%.
c. Proporsi kelompok sampel dengan terapi tiamazol di RSUD Cengkareng
periode Januari – Desember 2017 yang berhasil mencapai normalisasi kadar
hormon tiroid pada tiga bulan pertama pengobatan adalah 90.2%.
V.2 Saran
V.2.1 Bagi Instansi Terkait
a. Memberikan refrensi untuk penatalaksanaan hipertiroid yang disebabkan
grave’s disease berdasarkan hasil penelitan yang dilakukan di RSUD
Cengkareng periode Januari - Desember 2017.
V.2.2 Bagi Peneliti Selanjutnya
a. Penelitian ini dapat dikembangkan menjadi penelitian lanjutan menggunakan
metode lain khususnya metode yang bersifat prospektif dengan
mengobservasi pasien setiap harinya.
b. Menyarankan penelitian selanjutnya untuk meneliti efektivitas obat antitiroid
lainya yang belum diteliti.
56
DAFTAR PUSTAKA
Bahn, RS, Burch, HB, Cooper, DS, Garber, JR, Greenlee, MC, Klein, I, Lauberg,
P, McDougall, R, Montori, VM, Rivkees, SA, Ross, DS, Sosa, JA, Stan,
MN 2011, ‘Hiperthyroidism and other causes of thyrotoxicosis:
Management guidelines of the American Thyroid Association and
American Association of Clinical Endocrinologists’, American Thyroid
Association, Vol. 17, Diakses tanggal 17 Agustus 2017
https://www.aace.com/files/hyper-guidelines-2011.pdf
57
58
Paulsen, F dan Waschke, J 2011, Sobotta Atlas of Human Anatomy, Edisi 15, jilid
3, Elsevier, Munchen
Sherwood, L 2014, Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, Edisi 8, EGC, Jakarta
60
Riwayat Pendidikan :
1. 2000 - 2002 : TK Tamansiswa
2. 2002 - 2008 : SDS Tamansiswa
3. 2008 - 2011 : SMPN 1 Jakarta
4. 2011 - 2014 : SMAN 54 Jakarta
5. 2014 - sekarang : Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan
Nasional “Vetaran” Jakarta
Lampiran 1
Surat Persetujuan Proposal Penelitian
Lampiran 2
Surat Permohonan Izin Penelitian
Lampiran 3
Surat Izin Pengambilan Data RSUD Cengkareng
Lampiran 4
Surat Pesetujuan Komisi Etik
Lampiran 5
Hasil Output SPSS
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
jenis_kelamin
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Statistics
N Valid 82 82 82 82
Missing 0 0 0 0
obat_antitiroid
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
kesembuhan
obat_antitiroid 1 Count 27 14 41
2 Count 37 4 41
Asymptotic
Significance (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9.00.
b. Computed only for a 2x2 table