Anda di halaman 1dari 86

PERBANDINGAN EFEKTIVITAS OBAT ANTITIROID ANTARA

TIAMAZOL DENGAN PROPILTIOURASIL TERHADAP PASIEN


HIPERTIROID YANG DISEBABKAN GRAVES’ DISEASE DI RSUD
CENGKARENG PERIODE 2017

SKRIPSI

EDWINANTHA RAMA
1410211171

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA


FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI SARJANA KEDOKTERAN
2018
PERBANDINGAN EFEKTIVITAS OBAT ANTITIROID ANTARA
TIAMAZOL DENGAN PROPILTIOURASIL TERHADAP PASIEN
HIPERTIROID YANG DISEBABKAN GRAVES’ DISEASE DI RSUD
CENGKARENG PERIODE 2017

SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Kedokteran

EDWINANTHA RAMA
1410211171

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA


FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI SARJANA KEDOKTERAN
2018
PERBANDINGAN EFEKTIVITAS OBAT ANTITIROID ANTARA
TIAMAZOL DENGAN PROPILTIOURASL TERHADAP PASIEN
HIPERTIROID YANG DISEBABKAN GRAVE’S DISEASE DI
RSUD CENGKARENG PERIODE 2017
Edwinantha Rama

Abstrak
Hipertiroid merupakan kelainan endokrin terbanyak kedua di dunia setelah diabetes.
Grave’s disesase merupakan penyebab terbanyak terjadinya hipertiroid. Penggunaan
obat antitiroid merupakan salah satu metode penatalaksanaan hipertiroid. Obat
antitiroid terdiri dari golongan tiourasil dengan obat propiltiourasil dan golongan
tioimidazol dengan obat metimazol, tiamazol dan karbimazol. Sampai saat ini masih
terdapat perbedaan pemilihan obat antitiroid di Indonesia. Tujuan penelitian adalah
untuk mengetahui perbandingan efektivitas obat antitiroid antara tiamazol dengan
propiltiourasil. Jenis penelitian ini adalah analitik observasional menggunakan desain
cross-sectional. Sampel pada penelitian ini adalah pasien hipertiroid yang disebabkan
Grave’s disease dengan terapi tiamazol atau propiltiourasil dalam tiga bulan pertama.
Jumlah sampel terdiri dari 82 responden dan dibagi menjadi dua kelompok dengan
masing-masing 41 responden. Kelompok sampel dengan terapi tiamazol 27
responden diantaranya mencapai normalisasi kadar hormon tiroid dengan persentase
65.9% dan kelompok sampel dengan terapi propiltiourasil 37 diantaranya mencapai
normalisasi kadar hormon tiroid dengan persentase 90.3%. Analisis statistik chi-
square didapatkan p-value pada pearson chi-square adalah 0.008 (<0.05) dan p-value
pada continuity correction adalah 0.016 (<0.05) yang artinya terdapat perbedaan
efektivitas yang bermakna antara kedua obat. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan
bahwa propiltiourasil lebih efektif dibandingkan tiamazol dalam pengobatan
hipertiroid yang disebabkan Grave’s disease di RSUD Cengkareng Periode 2017.
Kedua obat mempunyai mekanisme kerja yang sama dalam pengobatan hipertiroid
Grave’s disease namun propiltiourasil mempunyai mekanisme kerja tambahan yaitu
menghambat enzim 5’deiodinase perifer, hal ini dapat meningkatkan efektivitas obat
propiltiourasil dalam pengobatan hipertiroid Grave’s disease.

Kata kunci: Antitiroid. Grave’s disease. Hipertiroid. Propiltiourasil. Tiamazol

v
COMPARISON OF ANTITIROID DRUG EFFECTIVENESS
BETWEEN TIAMAZOLE WITH PROPYLTIOURASIL TO
HYPERTIROID PATIENTS CAUSED BY GRAVE'S DISEASE IN
CENGKARENG REGIONAL PUBLIC HOSPITAL PERIOD 2017
Edwinantha Rama

Abstract

Hyperthyroid is the second most common endocrine disorder in the world after
diabetes. Grave's disesase is the most common cause of hyperthyroidism. The use of
antithyroid drugs is one method of management of hyperthyroidism. The antithyroid
drug consists of the thiouracyl and imidazole. Until now there are differences in the
selection of antithyroid drugs in Indonesia. The objective of the study was to
determine the effectiveness of antithyroid drugs between tiamazole and
propylthiouracil. The type of this study was observational analytics using cross-
sectional design. Samples in this study were hyperthyroid patients caused by Grave's
disease with thiamazole or propylthiouracil therapy in the first three months. The
sample size consisted of 82 respondents and divided into two groups with 41
respondents respectively. The sample group with thiamazole therapy of 27
respondents included normalization of thyroid hormone levels with percentage of
65.9% and the sample group with propylthiouracaine therapy 37 of them achieved
normalization of thyroid hormone level with 90.3% percentage. Chi-square statistical
analysis obtained p-value on pearson chi-square is 0.008 (<0.05) and p-value on
continuity correction is 0.016 (<0.05) which means there is a significant effectiveness
difference between the two drugs. Based on the results of the study it was found that
propylthiouracil was more effective than tiamazole in the treatment of
hyperthyroidism caused by Grave's disease in RSUD Cengkareng Period 2017. Both
drugs have the same mechanism of action in the treatment of hyperthyroidism Grave's
disease but propylthiouracil has an additional mechanism that inhibits the
5'deiodinase enzyme, this can increase the effectiveness of propylthiouracil in the
treatment of Grave's hyperthyroid disease.

Key Words: Antithyroid. Grave’s disease. Hyperthyroid. Propyltiourasil. Tiamazole

vi
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat
Nya-lah penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Perbandingan
Efektivitas Obat Antitiroid Antara Tiamazol dengan Propiltiourasil terhadap
Pasien Grave’s Disease di RSUD Cengkareng Periode 2017”. Penulis menyadari
bahwa banyak pihak terkait yang telah memberikan bantuan sejak dimulainya
masa perkuliahan hingga saat ini, akan sangat sulit bagi peneliti untuk
menyelesaikan skripsi ini, oleh karena itu penulis ingin menyampaikan rasa
hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. dr. Ika Satya Perdhana, M.Biomed, selaku dosen pembimbing utama dan Ibu
Meiskha Bahar, S.Si, M.Si, selaku dosen pembimbing kedua yang telah
bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan serta
memberi dukungan dan perhatian yang sangat besar pada peneliti selama
proses penyusunan skripsi ini dan dr. Muttia Amalia, M.Biomed selaku
penguji utama yang telah memberikan umpan balik, saran dan motivasi yang
sangat bermanfaat dalam penyusunan skripsi ini.
2. RSUD Cengkareng yang telah memberikan kesempatan dan segala bantuan
kepada peneliti dalam melakukan penelitian.
3. Keluarga tersayang, Chandra Widjajanti ,Bapak Agus, kakak Edwinaditya
Sekar Putri dan Herdy Adriano, serta keluarga besar yang telah melimpahkan
kasih sayang, doa, semangat, dan dukungan dalam penulisan penelitian ini.
4. dr. Wahyu dan dr. Lucy selaku pembimbing akademik peneliti, yang
senantiasa memberi dukungan, doa dan bimbingan selama peneliti menjalani
perkuliahan. Serta seluruh dosen pengajar FK-UPN yang telah mencurahkan
waktu, ilmu dan kasih sayangnya selama mengajar dan mendidik peneliti
selama menempuh studi di FK-UPN.
5. Sahabat dan teman-teman terbaik peneliti: Rian, Azhal, Dhiyaul, Ary,
Unggul, Axel, Fikri, Qhintara, Kendy, Davin, Reynald, Fadhli, Althaf,
Febrian, Himawan yang selalu memberi semangat dan menemani hari-hari
peneliti dalam pengerjaan skripsi ini. Terimakasih atas hiburan, dukungan,

vii
perhatian dan pengertiannya. Serta kepada Fitria yang telah membukakan
jendela pengetahuan tentang banyak hal, selalu memberi dukungan dan
bantuan kepada peneliti yang sering malas ini.
6. Teman-teman masa sekolah peneliti, yaitu Nandito, Yunanda, Robby, Kikay,
Luthfi, Fakhri yang sampai sekarang masih setia menemani peneliti baik
dalam suka maupun duka. Terima kasih atas segala semangat, dukungan,
hiburan dan motivasi yang diberikan.
7. Pihak-pihak lain yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu, untuk
bantuan dan kontribusi yang diberikan kepada peneliti demi kelancaran
penulisan skripsi serta kehidupan perkuliahan yang peneliti lalui di FK
UPNVJ.

Peneliti berharap semoga Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua
pihak yang telah membantu. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat.

Penulis

Edwinantha Rama

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i


PERNYATAAN ORISINALITAS .................................................................. ii
PERSETUJUAN PUBLIKASI ........................................................................ iii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. iv
ABSTRAK ....................................................................................................... v
ABSTRACT ....................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ..................................................................................... vii
DAFTAR ISI ................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xi
DAFTAR BAGAN ......................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xiii
LAMPIRAN ..................................................................................................... xiv

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1


I.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1
I.2 Perumusan Masalah .................................................................................... 3
I.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................ 3
I.4 Manfaat Penelitian ...................................................................................... 3

BAB II Tinjauan Pustaka ................................................................................. 5


II.1 Landasan Teori .......................................................................................... 5
II.2 Kerangka Teori .......................................................................................... 33
II.3 Kerangka Konesep .................................................................................... 34
II.4 Hipotesis .................................................................................................... 34
II.5 Penelitian Terkait ...................................................................................... 35

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ........................................................ 36


III.1 Jenis Penelitian......................................................................................... 36
III.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................... 36
III.3 Subjek Penelitian ..................................................................................... 36
III.4 Metode Pengumpulan Data ...................................................................... 38
III.5 Identifikasi Variabel Penelitian................................................................ 38
III.6 Definisi Operasional ................................................................................ 39
III.7 Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian .............................. 40
III.8 Pengelolahan Data.................................................................................... 40
III.9 Analisis Data dan Uji Statistik ................................................................. 41
III. 10 Alur Penelitian ...................................................................................... 42

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ 43


IV.1 Gambaran Umum Tempat Penelitian ...................................................... 43
IV.2 Deskripsi Penelitian ................................................................................. 44
IV.3 Hasil Penelitian ........................................................................................ 44
IV.4 Pembahasan Hasil Penelitian ................................................................... 51
IV.5 Keterbatasan Penelitian............................................................................ 55

ix
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 56
V.1 Kesimpulan ............................................................................................... 56
V.2 Saran.......................................................................................................... 56

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 57

x
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Wyne Index Hipertiroid ................................................................... 25


Tabel 2 Penelitian Terkait ............................................................................ 35
Tabel 3 Definisi Operasional........................................................................ 39
Tabel 4 Distribusi Usia Pasien Hipertiroid yang disebabkan Grave’s
disease di RSUD Cengkareng Periode Januari – Desember
2017 ................................................................................................ 45
Tabel 5 Distribusi Jenis Kelamin Pasien Hipertiroid yang disebabkan
Grave’s disease di RSUD Cengkareng Periode Januari –
Desember 2017 ................................................................................ 46
Tabel 6 Proporsi Normalisasi Kadar Hormon Tiroid Pasien Hipertiroid
yang disebakan Grave’s disease dengan Penggunaan Obat
Antitiroid Tiamazol Selama Tiga Bulan di RSUD Cengkareng
Periode Januari – Desember 2017 ................................................... 47
Tabel 7 Proporsi Normalisasi Kadar Hormon Tiroid Pasien Hipertiroid
yang disebakan Grave’s disease dengan Penggunaan Obat
Antitiroid Tiamazol Selama Tiga Bulan Berdasarkan Jenis
Kelamin di RSUD Cengkareng Periode Januari Desember
2017 ................................................................................................. 47
Tabel 8 Proporsi Normalisasi Kadar Hormon Tiroid Pasien Hipertiroid
yang disebakan Grave’s disease dengan Penggunaan Obat
Antitiroid Propiltiourasil Selama Tiga Bulan di RSUD
Cengkareng Periode Januari – Desember 2017 ............................... 48
Tabel 9 Proporsi Normalisasi Kadar Hormon Tiroid Pasien Hipertiroid
yang disebakan Grave’s disease dengan Penggunaan Obat
Antitiroid Propiltiourasil Selama Tiga Bulan Berdasarkan Jenis
Kelamin di RSUD Cengkareng Periode Januari – Desember
2017 .................................................................................................. 49
Tabel 10 Perbandingan Efektivitas Obat Antitiroid antara Tiamazol
dengan Propiltiourasil terhadap pasien Hipertiroid yang
disebabkan Grave’s disease di RSUD Cengkareng Periode
Januari – Desember 2017 ................................................................. 50

xi
DAFTAR BAGAN

Bagan 1 Kerangka Teori............................................................................. 33


Bagan 2 Kerangka Konsep ......................................................................... 34
Bagan 3 Alur Penelitian ............................................................................. 42

xii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Anatomi Kelenjar Tiroid ................................................................. 5


Gambar 2 Histologi Kelenjar Tiroid ................................................................ 6
Gambar 3 Struktur Hormon Tiroid .................................................................. 8
Gambar 4 Sintesis Hormon Tiroid ................................................................... 9
Gambar 5 Patogenesis Grave’s Disease .......................................................... 22
Gambar 6 Rumus Kimia Obat Metimazol dan Propiltiourasik ........................ 27
Gambar 7 Rumus Kimia Obat Tiamazol......................................................... 28

xiii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Persetujuan Proposal Penelitian


Lampiran 2 Surat Permohonan Izin Penelitian
Lampiran 3 Surat Persetujuan Etik
Lampiran 4 Surat Izin Pengambilan Data RSUD Cengkareng
Lampiran 5 Hasil Output SPSS Penelitian
Lampiran 6 Riwayat Hidup

xiv
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Kelenjar tiroid merupakan organ endokrin khusus di dalam tubuh manusia.
Fungsi kelenjar tiroid adalah mensekresikan hormon-hormon tiroid terdiri dari
triodotironin (T3) dan tiroksin (T4) yang berfungsi untuk meningkatkan
metabolisme tubuh. Hipertiroid adalah suatu keadaan hiperaktifitas kelenjar tiroid
yang mensekresikan hormon T3 dan T4 secara berlebihan dan menimbulkan suatu
manifestasi yang dikenal dengan tirotoksikosis (Gardner & Shoback, 2017).
Hipertiroid mempunyai beberapa etiologi diantaranya adalah hipertiroid primer
dan sekunder, Graves’ disease merupakan penyebab tersering terjadinya
hipertiroid yang tergolong dalam hipertiroid primer (Bahn et al, 2011; Setiati dkk.
2014, hlm. 1962).
Hipertiroid adalah kelainan endokrin terbanyak kedua di dunia setelah
diabetes. Prevalensi kasus hipertiroid di Amerika adalah 1.9% dan di Eropa
berkisar 1-2%. Balitbangkes (2013) melakukan riset terdapat 700.000 jiwa diatas
15 tahun yang terdiagnosis hipertiroid di seluruh Indonesia. Provinsi DKI Jakarta
merupakan wilayah terbanyak kedua setelah DI Yogyakarta (Supadmi, 2007;
Balitbangkes, 2013; Bahn et al, 2011). Menurut Indonesian society of
Endocrinology task force on thyroid (2012) Grave’s disease merupakan penyebab
yang paling sering menimbulkan hipertiroid dengan prevalensi sebesar 60-80%
dari seluruh penderita hipertiroid di dunia.
Penggunaan obat antitiroid merupakan pilihan utama dalam
penatalaksanaan hipertiroid di Asia dan Eropa. Terdapat dua golongan obat
antitiroid yaitu golongan imidazol yang terdiri dari karbimazol, tiamazol dan
metimazol dan golongan tiourasil yaitu propiltiourasil (Gardner & Shoback, 2017;
Indonesian society of Endocrinology task force on thyroid, 2012). Masing-masing
golongan mempunyai kenggulaan dalam penggunaanya. Obat golongan tiourasil
mempunyai keunggulan dalam aspek farmakodinamik karena mempunyai
mekanisme kerja tambahan dengan menghambat enzim 5’deiodinase perifer dan
obat golongan imidazol mempunyai keunggulan dalam aspek farmakokinetik

1
2

yaitu mempunyai duration of action (DOA) yang lebih panjang daripada golongan
tiourasil sehingga dosisnya cukup satu kali sehari sedangkan dosis propiltiourasil
adalah tiga kali sehari (Syarif, 2012; Setiati, 2014).
Sampai saat ini masih terdapat perbedaan pemilihan obat antitiroid sebagai
lini utama di seluruh dunia. Propiltiourasil merupakan obat pilihan utama dalam
pengobatan hipertiroid di Amerika sedangkan metimazol merupakan obat pilihan
utama di sebagian besar Negara-negara Eropa dan Asia, di Indonesia Belum
didapatkan data mengenai pemilihan obat antitiroid sebagai lini utama namun
sejak mulai berlakunya sistem badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS) pada
tahun 2013 terdapat beberapa jenis obat antitiroid yang teresedia menurut
pedoman penerapan formularium Nasional (2016), diantaranya adalah tiamazol,
karbimazol dan propiltiourasil (Hirotoshi et al, 2007; Rajput & Goel, 2013).
American Association of Clinical Endocrinologist (AACE)
merekomendasikan obat metimazol sebagai pilihan utama dalam pengobatan
hipertiroid yang disebabkan Grave’s disease karena telah diketahui mempunyai
tingkat efektivitas yang baik dengan dosis satu kali sehari (Bahn et al, 2011),
namun beberapa literatur menyatakan bahwa pemilihan penggunaan obat
antitiroid didasarkan kepada kebijakan masing-masing dokter yang bertanggung
jawab (Cooper, 2005; Hirokazou et al, 2011).
Telah dilakukan beberapa studi mengenai perbandingan efektivitas obat
antitiroid. Hirotoshi et al (2007) dan Hirokazou et al (2011) melakukan penelitian
yang membandingkan efektivitas obat antitiroid antara metimazol dengan
propiltiourasil, keduanya mendapatkan hasil yang sama yaitu metimazol lebih
efektif dibandingkan propiltiourasil dalam pengobatan pasien hipertiroid yang
disebabkan Grave’ disease.
Hasil penelitian sebelumnya memberikan informasi bahwa metimazol
lebih efektif dibandingkan propiltiourasil dalam pengobatan hipertiroid Grave’
disease. Sampai saat ini belum diketahui data mengenai efektivitas obat tiamazol
yang merupakan salah satu obat antitiroid yang tersedia di Indonesia, maka
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai perbandingan efektivitas
obat antitiroid tunggal antara tiamazol dengan propiltiourasil terhadap pasien
hipertiroid yang disebabkan Graves’s disease.
3

I.2 Perumusan Masalah


Berdasarkan uraian dalam latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah
penelitian yaitu bagaimana efektivitas obat antitiroid antara tiamazol dan
propiltiourasil pada pasien hipertiroid dewasa karena Graves’ disease di RSUD
Cengkareng periode Januari – Desember 2017?

I.3 Tujuan Penelitian


I.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui perbandingan efektivitas obat antitiroid antara tiamazol
dengan propiltiourasil kepada pasien hipertiroid dewasa yang disebabkan Graves’
disease di RSUD Cengkareng Periode Januari – Desember 2017.
I.3.1 Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk :
a. Mengetahui proporsi kesembuhan pasien hipertiroid dewasa yang
disebabkan grave’s disease dengan terapi tiamazol dalam kurun waktu tiga
bulan di RSUD Cengkareng periode Januari – Desember 2017.
b. Mengetahui proporsi kesembuhan pasien hipertiroid dewasa yang
disebabkan grave’s disease dengan terapi propiltiourasil dalam kurun waktu
tiga bulan di RSUD Cengkareng periode Januari – Desember 2017.

I.4 Manfaat Penelitian


I.4.1 Manfaat di bidang akademik
a. Memberi informasi yang berguna bagi ilmu pengetahuan dalam bidang
kedokteran terapan.
b. Memberi masukan pada institusi pelayanan kesehatan untuk dapat
membantu pemilihan obat antitiroid dalam terapi hipertiroid berdasarkan
hasil penelitian.
c. Manfaat bagi penulis, mendapat pengalaman dan pengetahuan di bidang
farmakologi dan Endokrinologi mengenai efektivitas obat antitiroid.
4

I.4.2 Manfaat dalam bidang pengembangan dan penelitian


Data dan hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah
satu acuan untuk penelitian selanjutnya mengenai penatalaksanaan hipertiroid
yang disebabkan Grave’s disease. Mengingat sangat minimnya data penelitian
terdahulu mengenai penatalaksanaan hipertiroid maupun mengenai penyakit
hipertiroid.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Landasan Teori


II.1.1 Anatomi Kelenjar Tiroid
Kelenjar tiroid merupakan kelenjar endokrin yang terletak di regio leher
melekat pada trakea dan fasia pretrakealis yang terdiri dari lobus dextra dan
sinistra dan dihubungkan oleh ismus yang menutupi cincin trakea 2 dan 3. Kapsul
fibrosa menggantungkan kelenjar ini pada fasia pratrakea sehingga pada setiap
gerakan menelan selalu diikuti pergerakan kelenjar tiroid ke arah kranial. Pada
bagian leher tempat kelenjar tiroid tersebut, di dalam ruang yang sama terdapat
trakea, esofagus, pembuluh darah besar dan saraf (Setiati dkk. 2014).
Berat dan ukuran normal kelenjar tiroid seperti yang ditentukan dengan
ultrasonorafi adalah bervariasi, keadaan ini dipengaruhi oleh asupan yodium,
umur dan berat badan. Kisaran berat normal pada orang dewasa adalah 10-20
gram, di bagian belakang kelenjar tiroid terdapat kelenjar endokrin lain yaitu 4
pasang kelenjar paratiroid yang melekat pada bagian lateral posterior kelenjar
tiroid dekat dengan nervus laringeus (Gardner & Shoback, 2017).

Sumber: Paulsen & Friedrich 2011, hlm. 192


Gambar 1 Anatomi Kelenjar Tiroid

5
6

Kelenjar tiroid merupakan organ yang kaya pembuluh darah. Kelenjar


tiroid mendapat suplai darah yang berasal dari arteri tiroidea superior berpangkal
pada arteri karotis eksterna dan komunis, arteri tiroidea inferior dari trunkus
tiroservikalis arteri subklavia, dan arteri tiroidea ima yang kecil berasal dari
trunkus brakiosefalik pada arkus aorta. Aliran balik vena adalah vena permukaan
yang menyatu menjadi vena tiroidea superior, lateral dan inferior. Aliran darah
kelenjar tiroid kurang kebih adalah sekitar 5Ml/g/menit. Keadaan Hipertiroid
menyebabkan peningkatan aliran darah secara nyata dimana pada auskultasi
terdengar suara siulan yang dikenal sebagai bunyi Bruit (Gardner & Shoback,
2017).
Secara histologi kelenjar tiroid terdiri dari suatu rangkaian folikel dengan
ukuran yang bervariasi. Sel-sel folikel pada kelenjar tiroid menjadi sel epitel
kolumner apabila dalam kondisi aktif untuk mensekresikan hormon ke sirkulasi
dan menjadi sel eptiel selapis gepeng dalam keadaan tidak aktif. Dalam sel folikel
terdapat suatu komponen yang disebut tiroglobulin yang merupakan suatu
molekul Glikoprotein 660kDa yang dibentuk oleh reticulum endoplasmic tiroid
dan glikosilasinya diselesaikan di badan golgi. Tiroglobulin sendiri merupakan
tempat berlangsungnya proses sintesis hormon tiroid (Setiati dkk. 2014).

Substansi koloid

Sel folikel inaktif

Sel folikel aktif

Sumber : Kausar & Sahid, 2016


Gambar 2 Histologi Kelenjar Tiroid
7

II.1.2 Fisiologi Kelenjar Tiroid


Kelenjar tiroid merupakan kelenjar yang berfungsi untuk sintesis dan
sekresi dari hormon tiroid yaitu Triiodotironin (T3) dan Tiroksin (T4). Hormon
T3 merupakan bentuk aktif dari hormon tiroid yang memberikan suatu efek
fisiologis, dimana secara garis besar hormon tiroid berfungsi untuk meningkatkan
proses metabolisme tubuh. Dalam proses pembentukanya hormon tiroid sangat
bergantung dengan senyawa iodin yang merupakan prekursor utama dalam
pembentukan hormon tiroid. Hormon tiroid mempunyai sistem regulasi yang
diatur oleh hormon yang berasal dari hipofisis anterior yaitu Thyroid Stimulating
Hormon (TSH) dan Thyroid Realesing Hormon (TRH) merupakan hormon
hipotalamus yang berfungsi untuk mengatur sekresi TSH (Sherwood 2014 hlm.
645-648).
a. Metabolisme Iodin
Iodin merupakan suatu senyawa mikro yang banyak terkandung di dalam
tanah dan air laut. Sumber-Sumber asupan yang kaya unsur yodium diantaranya
adala garam ber-Iodin. Iodin masuk ke saluran pencernaan dan sebagian besar
diabsorsi di lumen usus halus. Iodin masuk ke dalam saluran pencernaan dalam
bentuk iodida atau iodat, iodat di dalam lambung dirubah menjadi senyawa iodida
yang akan diabsorsi (Gardner & Shoback, 2017).
Setelah melalui proses absorsi iodida beredar di dalam sistem sirkulasi.
Sebagian besar diekskresikan melalui urin dan sebagian kecil diabsorsi ke kelenjar
tiroid melalui ambilan tiroidal. Iodin yang telah diabsorsi ke dalam kelenjar tiroid
digunakan untuk pembentukan hormon tiroid di dalam tiroglobulin melalui proses
penyatuan yang disebut proses iodinisasi. Kelenjar tiroid juga berfungsi sebagai
tempat simpanan iodin yang mencapai rata-rata 8-10mg dan sekresi iodin per-
harinya dalam bentuk hormon rata-rata 75µg (Gardner & Shoback, 2017).
Asupan harian iodin normalnya adalah rata-rata 150µg/hari, jika asupan
iodin kurang dari 50µg/hari makan kelenjar tiroid tidak mampu mempertahankan
pembentukan hormon tiroid secara normal dan timbul respon adalah hipertrofi
kelenjar tiroid (Gardner & Shoback, 2017).
8

b. Sruktur Hormon Tiroid


Hormon tiroid mempunyai keunikan karena berdasarkan strukturnya yang
mengandung 65% unsur iodin. Tironin yang merupakan substansi pembentuk
hormon yang berasal dari kelenjar tiroid itu sendiri yang selanjutnya terjadi proses
penggabungan dengan senyawa iodin melalui proses iodinisasi yang berlangsung
dalam tiroglobulin (Sari, 2007).
Proses iodinisasi antara iodin dan tironin menghasilkan senyawa yang
disebut monoiodotirosin (MIT) dan diioditirosin (DIT). Kedua senyawa ini
nantinya bersatu membentuk hormon-hormon tiroid dimana 1 MIT dengan 1 DIT
menghasilkan hormon T3 sedangkan 1 DIT dengan 1 DIT menghasilkan hormon
T4 (Gardner & Shoback, 2017).

Sumber: Gardner & Shoback, 2017


Gambar 3 Struktur Hormon Tiroid

c. Sintesis & Sekresi Hormon Tiroid.


Proses pembentukan hormon tiroid membutuhkan senyawa iodin dan
meliputi beberapa tahapan yaitu:
1. Proses ambilan Iodin
Kelenjar tiroid mempunyai epitel yang mampu memekatkan senyawa Iˉ
melawan gradien elektrokimia yang kuat. Proses ini bergantung pada energi
yang berikatan pada pompa natrium dan kalium yang tergantung pada ATPase.
Rasio antara Iodin yang terdapat dalam kelenjar tiroid dan sirkulasi darah dalam
9

keadaan asupan Iodin normal adalah 25:1, dimana proses ini dipengaruhi oleh
aktivitas hormon TSH.
2. Proses Oksidasi.
Tahapan oksidasi merupakan tahapan yang sangat penting dalam
sintesis hormon tiroid yang berlangsung di lumen folikular. Proses oksidasi
bergantung pada enzim peroksidase yang mengandung hem yang berfungsi
untuk mengaktifkan Iodin agar dapat masuk ke proses organifikasi Iodin dan
gugus Tirosin.
3. Proses Iodinisasi
Iodin yang telah teroksidasi selanjutnya mengalami proses penyatuan
dengan residu tirosin dalam tiroglobulin yang melibatkan aktvitas enzim
tiroperoksidase. Rangkaian proses iodinasi menghasilkan dua komponen yaitu
MIT dan DIT. Sepertiga iodin dalam kelenjar tiroid nantinya terdapat pada
hormon T3 dan T4, sisanya terdapat pada molekul MIT dan DIT.
4. Proses Perangkaian Iodotirosil
Setelah terbentuknya molekul MIT dan DIT selanjutnya terjadi proses
organifikasi yang membentuk hormon T4 dan T3. Molekul MIT yang bersatu
dengan DIT membentuk hormon T3 sedangkan dua molekul DIT yang bersatu
membentuk hormon T4. Enzim yang berperan dalam proses organifikasi sampai
saat ini masih belum diketahui, namun diperkirakan enzim tiroperoksidase
adalah enzim yang berperan dalam proses organifikasi (Sari, 2007).

Sumber: Ernest & Robert, 2005


Gambar 4 Sintesis hormon tiroid
10

Rangkaian proses pembentukan hormon tiroid terjadi pada substansi


koloid di dalam tiroglobulin. Setelah hormon T3 dan T4 terbentuk selanjutnya
terjadi proses endositosis dan pinositosis oleh epitel folikel atas pengaruh hormon
TSH. Epitel folikel yang dalam keadaan tidak aktif adalah epitel selapis gepeng
selanjutnya berubah menjadi epitel kolumnnar untuk melakukan endositosis
molekul tiroglobulin yang berisi hormon T3 dan T4 serta sisa-sisa molekul MIT
dan DIT. Selanjutnya di dalam epitel terjadi proses hidrolisis oleh enzim lisosom
yang memecah molekul tiroglobulin. Hormon T3 dan T4 dilepas kedalam
sirkulasi dengan konsentrasi per hari adalah sekitar 100nmol T4, 5nmol T3 dan
kurang dari 5nmol rT3 yang secara metabolik tidak aktif. Sisa molekul MIT dan
DIT tidak dilepas ke dalam sirkulasi namun mengalami proses deiodinasi oleh
enzim yodotirosin deiodinase yang menyebabkan pelpasan antara molekul tirosin
dan iodin. Iodin yang terlepas masuk kembali ke simpanan iodin intratiroid
sebagai upaya konservasi untuk iodin (Setiati dkk 2014, hlm. 1956-1957).
d. Transpor Hormon Tiroid
Hormon tiroid yang dilepas ke dalam sirkulasi, selanjutnya diikat oleh
protein pengikat. Kadar bebas dari hormon tiroid yaitu 0,04% dari T4 dan 0,4%
dari T3, dimana hormon bebas lah yang akan menimbulkan efek fisiologis
(Gardner & Shoback, 2017). Terdapat tiga jenis protein pengikat hormon tiroid
yaitu TBG (Thyroxin Binding Globulin), TBPA (Thyroxin Binding Prealbumin)
atau disebut transiretin dan Albumin. Dari ketiga protein pengikat tersebut TBG
merupakan protein pengikat yang paling kuat dan albumin merupakan yang paling
lemah (Setiati dkk 2014, hlm. 1957).
1. Thyroxin Binding Globulin (TBG)
TBG merupakan suatu rantai polipeptida tunggal yang disintesis
oleh hepar yang mempunyai empat rantai karbohidrat. Secara normal
terdapat sekitar sepuluh residu asam sialat per molekul. Setiap molekul
TBG mempunyai tempat pengikatan tunggal untuk T3 dan T4. Konsentrasi
normal dari TBG serum berkisa 15-30µg/Ml, atau 280-560nmol/L. TBG
mempunyai afinitas yang sangat kuat terhadap hormon tiroid yang
memungkinkan TBG untuk membawa sekitar 70% hormon tiroid di dalam
sirkulasi.
11

2. Thyroxin Binding Prealbumin (TBPA)


Transtiretin atau TBPA merupakan suatu polipeptida globular yang
terdiri atas empat subunit identic masing-masing mengandung 127 asam
amino. Mengikat 10% dari T4 yang ada di dalam sirkulasi, sedangkan
afinitasnya terhadap T3 adalah sekitar sepuluh kali lebih rendah
dibandingkan dengan afinitasnya terhadap T4. Konsentrasi normal serum
TBPA adalah sekitar 120-240mg/L, atau sekitar 2250-4300nmol/L.
3. Albumin
Albumin mempunyai suatu tempat pengikatan untuk T4 dan T3
yang kuat dan beberapa tempat yang lemah. Karena konsentrasinya sangat
tinggi di dalam sirkulasi, maka albumin membawa sekitar 15% dari T3
dan T4 total (Gardner & Shoback, 2017).
e. Efek Fisiologik Hormon Tiroid
Hormon tiroid yang telah disekresikan ke dalam sirkulasi dan diikat oleh
protein pengikat rata-rata waktu paruhnya adalah 6 hari untuk T4 dan 24-30 jam
untuk T3. Pada dasarnya hormon tiroid yang berupa hormon aktif yang dapat
memberikan efek fisiologis adalah T3, dengan kata lain hormon T4 yang terdapat
pada sirkulasi mengalami konversi menjadi hormon T3 agar dapat memberikan
efek fisiologis. Proses konversi ini terjadi di berbagai organ tubuh yaitu hati,
ginjal, jantung, otak, plasenta, dan otot yang bergantung pada aktivitas enzim
deyodinase perifer, proses ini dikenal dengan proses deiodinasi (Gardner &
Shoback, 2017).
Hormon T4 yang mengalami proses deiodinasi berubah menjadi T3 dan
rT3, rT3 adalah hormon reversa T3 yang merupakan hasil metabolik T4 kedalam
bentuk yang tidak aktif. Hormon rT3 berfungsi sebagai pengatur agar tidak terjadi
efek fisiologis yang berlebihan dari hormon tiroid. Sampai saat ini terdapat tiga
enzim deiodinase di dalam tubuh manusia yaitu Deiodinase tipe I yang merubah
T4 menjadi T3 yang kadarnya tidak dipengaruhi oleh kehamilan, Deiodinase tipe
II yang merubah T4 menjadi T3 secara lokal terdapat pada plasenta dan sistem
saraf pusat yang berfungsi untuk mempertahankan efek fisiologik secara lokal,
Deiodinase tipe III yang merubah T4 menjadi rT3 (Setiati dkk 2014, hlm. 1957).
12

Hormon tiroid adalah hormon yang bersifat lipofilik, oleh karena itu
hormon tiroid masuk ke dalam sel melalui proses difusi membrane sel. Setelah
mencapai membrane sel akan terjadi proses deiodinasi T4 menjadi T3, setelah T3
terbentuk maka selanjutnya T3 akan berikatan dengan reseptor yang terdapat di
dalam sel (Gardner & Shoback, 2017). Sampai saat ini reseptor hormon tiroid
intrasel dikenal sebagai Human Thyroid Receptor (hTR) yang terbagi atas 3 jenis
yaitu hTR-α1 dan hTR-β1 yang merupakan bentuk reseptor aktif secara biologis
dan menimbulkan efek fisiologis dan hTR-α2 yang tidak memberikan efek
fisiologik namun berfungsi untuk menghambat aktivitas T3 (Sari, 2007).
Efek transkripsional dari T3 yang telah berikatan dengan reseptornya
membuntuhkan lag time berjam-jam hingga berhari-hari untuk mencapai efek
penuh (Gardner & Shoback, 2017). Hampir semua sel dalam tubuh dipengaruhi
baik secara langsung maupun tidak langsung oleh hormon tiroid. Efek fisiologis
dari hormon tiroid diantaranya adalah:
1. Efek pada laju metabolisme
Hormon tiroid meningkatkan laju metabolisme basal tubuh secara
keseluruhan. Hormon ini adalah regulator terpenting bagi tingkat
konsumsi O2 dan pengeluaran energi tubuh pada keadaan istirahat.
2. Efek pada produksi panas
Hormon tiroid berkaitan erat dengan efek kalorigenik (penghasil
panas). Peningkatan aktivitas metabolisme menyebabkan peningkatan
produksi panas.
3. Efek pada metabolisme antara
Hormon tiroid memodulasi kecepatan banyak reaksi spesifik yang
terlibat dalam metabolisme bahan bakar.
4. Efek simpatomimetik
Hormon tiroid meningkatkan ketanggapan sel sasaran terhadap
katekolamin (epinefrin dan norepinefrin).
5. Efek pada sistem kardiovaskuler
Hormon tiroid meningkatkan kecepatan denyut dan kekuatan
kontraksi jantung sehingga curah jantung meningkat.
13

6. Efek pada pertumbuhan


Hormon tiroid tidak saja merangsang sekresi hormon pertumbuhan
(Growth Hormone) dan meningkatkan produksi IGF-I oleh hati, tetapi juga
mendorong efek hormon pertumbuhan dan IGF-I pada sintesis protein
struktural baru dan pertumbuhan rangka (Gardner & Shoback, 2017).
7. Efek pada sistem saraf
Hormon tiroid berperan penting dalam perkembangan normal
sistem saraf terutama Sistem Saraf Pusat (Gardner & Shoback, 2017).
f. Regulasi Hormon Tiroid
Terdapat beberapa pengaturan terhadap hormon tiroid yaitu:
1. Autoregulasi.
Autoregulasi adalah pengatur yang berpengaruh pada ambilan
iodin oleh kelenjar tiroid. Ambilan iodin sangat dipengaruhi oleh
kejenuhan kelenjar tiroid terhadap konsentrasi iodin. Konsentrasi iodin
yang tinggi di dalam kelenjar tiroid menyebabkan iodin tersebut
mengalami perubahan menjadi iodolipid dan iodolakton. Pembentukan
iodolipid dan iodolakton yang berlebihan menyebabkan ambilan iodin dan
sintesis hormon berkurang, keadaan ini dikenal sebagai efek Wolff-
Chaikoff. Namun, proses tersebut berkurang dengan sendirinya akibat
degenerasi iodolipid dan iodolakton yang dikenal sebagai mekanisme
escape. Pada beberapa keadaan seperti tiroiditis autoimun atau
dishormogenesis maka mekanisme escape tersebut tidak terjadi dan
menimbulkan hipotiroid (Setiati dkk 2014, hlm. 1957).
2. Sumbu Hipotalamus-Hipofisis-Tiroid
Kelenjar tiroid merupakan kelenjar yang aktivitasnya diatur oleh
Hipotalamus – Hipofisis. Thyroid Stimulating Hormon (TSH) adalah suatu
hormon yang dihasilkan oleh hipofisis anterior. Hormon TSH merupakan
pengatur utama yang memperngaruhi kelenjar tiroid secara langsung.
Stimulasi TSH ke kelenjar tiroid menyebabkan kelenjar tiroid menjadi
aktif untuk membentuk dan melepaskan hormon, selain itu TSH juga
berfungsi untuk mempertahankan integritas kelenjar tiroid. Kelenjar tiroid
14

akan mengalami hipertofi dan hiperplasia apabila mendapat stimulasi yang


berlebihan dari TSH
Hipotalamus melepaskan hormon yang dikenal sebagai Thyroid
Releasing Hormon (TRH). TRH berfungsi sebagai pengatur dari hipofisis
anterior yang mengeluarkan TSH dengan menstimulasi secara ritmik.
Karena Hipotalamus merupakan bagian dari sistem saraf pusat maka
aktivitas pelepasan hormon TRH juga dipengaruhi input saraf yang masuk
ke otak. Keadaan seperti stress dapat menyebabkan penurunun ataupun
peningkatan aktivitas hipotalamus
Hormon-hormon tiroid juga sangat berperan dalam Hipotalamus-
Hipofisis-Thyroid axis. T3 dan T4 yang terdapat dalam sirkulasi
membentuk suatu mekanisme negative feedback ke hipofisis dan
hipotalamus untuk menekan pelepasan hormon TRH dan TSH.
Mekanisme tersebut ditujukan agar tidak terjadi pembentukan dan
pelepasan hormon tiroid yang berlebihan. Pengaturan sehari-hari hormon
tiroid diatur oleh umpan balik-negatif antara tiroid dan hipofisis,
sedangkan untuk penyesuaian jangka panjang diatur oleh hipotalamus
(Sherwood 2014, hlm. 648-649).

II.1.3 Hipertiroid
Gangguan kelenjar tiroid dapat dibedakan menurut fungsinya yang terdiri
atas Hipotiroid yaitu kekurangan produksi hormon tiroid dan Hipertiroid yaitu
kelebihan produksi hormon tiroid, apabila terdapat konsentrasi hormon tiroid yang
berlebih di dalam sirkulasi maka timbul sindroma manifestasi klinis yang disebut
Tirotoksikosis (Gardner & Shoback, 2017). Perlu dibedakan antara Tirotoksikosis
dengan hipertiroid, tiroktoksikosis merupakan suatu sindroma manifestasi klinis
akibat kelebihan hormon tiroid yang beredar di sirkulasi, sedangkan hipertiroid
adalah suatu keadaan hiperaktifitas kelenjar tiroid yang mensekresikan hormon
tiroid secara berlebih (Setiati dkk 2014, hlm. 1961).
Hipertiroid mempunyai etiologi yang beragam namun apapun etologinya
manifestasi klinisnya adalah Tirotoksikosis. Etiologi yang tersering adalah
Grave’s disease (Hirokazou et al, 2011). Grave’s disease merupakan salah satu
bentuk Tirotoksikosis yang disebabkan oleh proses autoimun (Gardner & Shoback,
15

2017). Selain Grave’s Disease terdapat beberapa etiologi lainya yang dapat
menyebabkan timbulnya manifestasi tirotoksikosis, yaitu:
a. Hipertiroid Primer
1. Grave’s disease atau toksik goiter difus.
2. Gondok multinodula toksik.
3. Adenoma Toksik.
4. Karsinoma tiroid.
5. Struma Ovarium.
6. Mutasi TSH-r.
7. Obat: yodium lebih, litium.
b. Tirotoksikosis tanpa Hipertiroidisme
1. Tirotoksikosis Faktisia.
2. Tiroiditis sub-akut (Thyroiditis DeQuervain).
3. Destruksi kelenjar tiroid : pemberian amiodaron.
c. Hipertiroid Sekunder
1. Tiroroksikosis dalam kehamilan.
2. Resistensi hormon tiroid.
3. TSH-secreting tumor c-hGH (Setiati dkk 2014, hlm 1962).
Hipertiroid merupakan salah satu kasus di bidang endokrinologi yang
cukup banyak. Kasus Tirotoksikosis di dunia didominasi oleh wanita
dibandingkan laki-laki dengan rata-rata usia 41 tahun, di Amerika prevalensi
kasus hipertiroid adalah 1.9% pada wanita dan 0.9% pada pria, di Eropa kasus
hipertiroid berkisar 1-2% (Supadmi, 2007). Indonesia (Balitbangkes, 2013),
melakukan riset penelitian prevalensi kejadian hipertiroid dan mendapatkan hasil
terdapat 700.000 jiwa berusia diatas 15 tahun yang terdiagnosis hipertiroid.

II.1.4 Grave’s Disease


Grave’s Disease adalah bentuk tirotoksikosis yang paling umum dan dapat
terjadi pada segala umur, lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pada laki-
laki, dimana terdapat sindroma yang terdiri satu atau lebih dari manifestasi
tirotoksikosis, goiter, oftalmopati dan dermopati (Gardner & Shoback, 2017).
Grave’s Disease merupakan suatu penyakit autoimun dimana terbentuk suatu
16

antibodi yang dikenal dengan Thyroid stimulating immunoglobulin (TSI) yang


dapat berikatan dengan reseptor kelenjar tiroid sehingga memicu sintesis hormon
tiroid secara berlebihan. Keadaan ini menyebabkan tingginya konsentrasi hormon
tiroid yang beredar di dalam sirkulasi sehingga menimbulan manifestasi klinis
yang dikenal sebagai tirotoksikosis (Karasek & Lewinski, 2003).

II.1.4.1 Epidemiologi
Berdasarkan data WHO tahun 2000 diketahui penyakit kelenjar tiroid
merupakan penyakit kedua terbanyak dalam bidang endokrin setelah diabetes
melitus dengan proporsi kejadian wanita sepuluh kali lebih sering dibandingkan
pria (Heuck et al, 2000). Grave’s disease merupakan penyebab tersering dari
hipertiroid dimana sekitar 60-80% kejadian hipertiroid di dunia disebabkan oleh
Grave’s disease. Telah diketahui bahwa di seluruh dunia prevalensi kejadian
hipertiroid yang disebabkan oleh Grave’s disease adalah sekitar 0,5% dan
insidensi kejadian Grave’s disease adalah 21 per 100.000 penduduk per tahunya
(Bartalena, 2013).
Grave’s disease sepuluh kali lebih sering terjadi pada wanita daripada
laki-laki dimana setiap individu disegala umur mempunyai kemungkinan untuk
menderita Grave’s disease, namun wanita pada rentang usia 40-60 tahun
mempunyai resiko tertinggi untuk terkena Grave’s disease. Faktor genetik sangat
berperan dalam timbulnya Grave’s disease sekitar 80% penderita memiliki
riwayat keluarga yang pernah menderita Grave’s disease. Selain faktor genetik
faktor lingkungan juga berperan dalam timbulnya penyakit, terdapat beberapa
faktor lingkungan yang berperan seperti kehamilan, infeksi, asupan iodin yang
berlebih (Bartalena, 2013).

II.1.4.2 Faktor Risiko


Sampai saat ini penyebab pasti dari Grave’s disease masih idiopatik
namun kegagalan toleransi imun atau yang dikenal sebagai autoimmune
merupakan mekanisme terjadinya Grave’s disease. Terdapat beberapa faktor
resiko yang bisa memicu mekanisme autoimun tersebut (Karasek & Lewinski,
2003).
17

a. Faktor genetik
Faktor genetik diperkirakan dalah faktor resiko utama dalam timbulnya
Grave’s disease. Telah diketahui bahwa kejadian timbulya penyakit lebih tinggi
pada pasien yang mempunyai riwayat keluarga dan individu monozigot daripada
individu kembar dizigot.
Human leukosit antigen (HLA) selama ini telah dikenal sebagai faktor
utama pencetus Grave’s disease. Molekul HLA mempunyai peranan dalam
mengontrol diferensiasi sel T menjadi sel T-Helper saat persentasi antigen,
molekul HLA yang berperan dalam proses ini adalah HLA tipe-II. Saat proses
persentasi antigen berlangsung akan terjadi aktivasi reseptor limfosit T yang akan
menyebabkan diferensiasi sel T, proses diferensiasi sel T menjadi sel T-helper
bebrapa diantaranya akan membentuk sel T autoreaktif yang dapat menyerang sel
host itu sendiri. Keadaan ini terjadi jika terdapat adanya kegagalan toleransi imun.
Toleransi imun diatur oleh sel T-supresor yang mengidentifikasi dan
mengeliminasi sel T yang autoreaktif. Namun jika fungsi sel T supresor tertekan,
terjadi kegagalan proses eliminasi sel T autoreaktif sehinggal sel T autoreaktif
tersebut masuk ke aliran darah dan berpotensi menimbulkan mekanisme
autoimun. Individu dengan mutasi gen, menyebabkan HLA menekan fungsi sel T
supresor atau menyebabkan rendahnya pembentukan komponen supresor lainya
seperti IL-10 dan TGF-β. Dalam Grave’s disease mekanisme yang terjadi adalah
molekul HLA yang telah mutasi menyebabkan diferensiasi sel T menjadi sel T
yang autoreaktif dan memicu diferensiasi sel B untuk mebentuk immunoglobulin
TSI atau thyroid stimulating hormon receptor-antibody (TSHR-Ab) (Karasek &
Lewinski, 2003).
b. Jenis kelamin dan usia
Kejadian Grave’s disease tinggi terjadi pada rentang usia 20-40 tahun, dan
lebih sering menyerang wanita dari pada laki-laki. Namun usia diatas 60 tahun
dan usia dibawah 10 tahun, tidak ditemukan perebdaan proporsi yang signifikan
antara wanita dan laki-laki (Karasek & Lewinski, 2003 ; Gardner & Shoback,
2017).
Wanita memiliki potensi yang lebih besar untuk menderita Grave’s
disease dibandingkan laki-laki. Hal ini sudah terbukti berdasarkan data-data yang
18

ada pada penelitian sebelumnya terkait Grave’s disease. Walaupun perbedaan ini
sangat menonjol sampai saat ini belum diketahui penyebab pasti wanita lebih
berpotensi untuk menderita Grave’s disease dibandingkan laki-laki. Perbedaan
jenis kelamin tidak hanya berpengaruh terhadap Grave’s disease namun juga
wanita lebih sering menderita penyakit-penyakit kelenjar tiroid lainya seperti
multinodular goiter dan karsinoma tiroid. Hipotesis yang didapat berdasarkan
data-data yang ada, kemungkinan wanita memiliki reaktivitas kelenjar tiroid yang
lebih tinggi dari pada laki-laki atau wanita memiliki tingkat stress yang lebih
besar daripada laki-laki (De Groot, 2015).
c. Infeksi bakteri dan virus
Infeksi mikroorganisme seperti bakteri dan virus, dicurigai memegang
peranan penting dalam memicu timbulnya Grave’s disease. Infeksi Retrovirus dan
foamy virus diketahui mempengaruhi mutasi gen secara langsung dan
mempengaruhi IFN-γ secara tidak langsung, kondisi ini dapat menimbulkan
Grave’s disease. Infeksi bakteri khususnya Yersinia enterocolitica diketahui
mempunyai kemiripan antigen dengan TSH-r yang dapat menginduksi Grave’s
disease. Namun sampai saat ini belum terdapat bukti yang jelas bahwa infeksi
secara langsung dapat menyebabkan timbulnya Grave’s disease (Karasek &
Lewinski, 2003).
d. Kehamilan
Kehamilan menyebabkan banyak perubahan pada sistem tubuh manusia.
Salah satunya adalah perubahan konsentrasi protein plasma TBG akibat
peningkatan estrogen selama kehamilan. TBG mempunyai komponen asam sialat
dalam strukturnya, estrogen menyebabkan peningkatan sintesis asam sialat
sehingga terjadi peningkatan konsentrasi TBG dan peningkatan afinitas TBG
terhadap T4. Akibat kondisi tersebut akan terjadi peurunan turn over rate T4
menjadi T4 bebas, sehingga selanjutnya akan terjadi stimulasi TSH terhadap
kelenjar tiroid yang berlebihan yang pada episode selanjutnya akan menyebabkan
timbulnya Grave’s disease (Setiati dkk 2014, hlm. 1959).
19

e. Stres
Stres telah lama diketahui sebagai salah satu faktor resiko yang dapat
menimbulkan Grave’s disease. Terdapat beberapa laporan kejadian yang
membuktikan bahwa stes fisik, stres metabolik maupun stres psikis menyebabkan
terjadinya Grave’s disease. Secara teori stres menyebabkan korteks adrenal aktif
dan melepas kortisol dalan jumlah besar, selain itu stres juga memicu peningkatan
aktivitas sistem saraf simpatis. Keadaan ini dapat menyebabkan gangguan sistem
imun tubuh dan menimbulkan adanya autoimunitas (De Groot, 2015).

II.1.4.3 Manifestasi Klinis


Grave’s disease mempunyai kumpulan beberapa manifestasi klinis khas
yaitu tirotoksikosis yang merupakan sindroma yang timbul akbiat adanya
konsentrasi hormon tiroid yang beredar dalam sirkulasi dan mempengaruhi
berbagai organ tubuh, oftalmopati dan dermopati yang merupakan manifestasi
klinis yang timbul akibat proses autoimun secara langsung yang menyerang ke
bagian orbita dan kulit. Grave’s disease biasanya juga disertai adanya pembesaran
kelenjar tiroid yang dikenal dengan goiter. Ketika ditemukan gejala yaitu keluhan
tirotoksikosis, goiter, oftalmopati atau dermopati maka diagnosis Grave’s disease
sudah hampir dapat ditegakan (Ginsberg, 2003; Indonesian society of
Endocrinology task force on thyroid, 2012).
a. Tirotoksikosis
Ketika terdapat konsentrasi hormon tiroid yang tinggi di dalam sirkulasi
maka hormon tersebut mempengaruhi organ-organ tubuh dan menimbulkan
sejumlah manifestasi klinis. Manifestasi-manifestasi yang timbul disebabkan
peningkatan metabolisme hampir seluruh sel secara signifikan, manifestasi yang
dapat ditemukan adalah:
1. Palpitasi dan Takikardi
2. Keringat banyak dan tidak tahan panas
3. Mudah lelah dan penurunan berat badan yang signifikan
4. Hyperkinesia
5. Tremor
6. Diare
20

7. Kelemahan otot dan atrofi otot (Gardner & Shoback, 2017).


Selain manifestasi-manifestasi tersebut, dapat pula ditemukan adanya
pembesaran tiroid yang merata atau dikenal sebagai goiter difus. Pembesaran
kelenjar tiroid yang ditemukan timbul merata di seluruh kelenjar tiroid kanan dan
kiri, pembesaran yang merata ini terjadi karena adanya stimulasi yang berlebihan
oleh TSI terhadap kelenjar tiroid yang memaksa kelenjar tiroid untuk
memproduksi hormon tiroid sehingga seluruh selnya mengalami hipertrofi.
b. Oftalmopati
Oftalmopati merupakan manifestasi klinis yang timbul akibat adanya
mekanisme autoimun yang secara langsung menyerang bagian mata. Beberapa
manifestasi oftalmopati yang dapat ditemukan adalah:
1. Protopsis
Protopsis atau dikenal sebagai eksoftalmus merupakan manifestasi
dari grave oftalmopati yang paling sering. Keadaan ini menyebabkan
adanya penonjolan bola mata. Biasanya protopsis yang timbul pada grave
oftalmopati bersifat bilateral dan asimertris.
Pasien Grave’s disease yang dicurigai menderita grave oftalmopati
harus dilakukan pemeriksaan menggunakan eksophtalmometer hartel.
Pada protopsis berat maka terjadi gangguan penupan kelopak mata secara
sempurna sehingga menyebabkan kornea menjadi kering dan penurunan
penglihatan.
2. Miopati ekstraokuler
Miopati ekstraokuler restriktif tampak jelas pada 60% pasien yang
menderita grave oftalmopati. Edema otot ekstraokuler sering membatasi
rotasi okuler. Secara klinis otot rektus inferior terlibat dan diikuti oleh
rektus lateral dan rektus superior. Akibat adanya miopati ekstraokuler
maka terjadi keluhan penglihatan ganda atau diplopia, hal ini disebabkan
karena fibrosis otot mencegah otot untuk ekstensi penuh ketika otot
antagonisnya berkontraksi. Dengan demikian penglihatan ganda sering
ditemukan karena adanya pergerakan bola mata yang tidak simetris dan
ketidak sejajaran.
21

3. Retraksi kelopak mata


Retraksi kelopak terjadi pada 90% pasien Grave’s disease, retraksi
kelopak mata sering ditemukan pada kelopak mata superior dan dapat
bersifat unilateral maupun bilateral. Keadaan ini terjadi akibat adanya
fibrosis otot kelopak mata yang menyebabkan pemendekan otot, sehingga
kelopak mata tertarik. Retraksi kelopak mata bagian atas memiliki
karakteristik kilauan temporal dengan jumlah sklera yang terlihat lebih
banyak secara lateral.
4. Neuropati optik
Prevalensi neuropati optik pada pasien frave oftalmopati kurang
dari 5%. Neuropati optik biasanya timbul akibat penekanan serabut saraf
optik oleh pembesaran otot ekstraokuler pada apex orbital. Disfungsi saraf
optik menimbulkan beberapa keluhan seperti penglihatan kabur,
penglihatan redup, atau penglihatan gelap serta penurunan lapang pandang
(Lubis, 2009).
c. Dermopati
Grave dermopati terdiri dari penebalan kilit terutama kulit di atas tibia
bagian bawah. Penebalan kulit ini terjadi karena adanya titer antibodi tinggi yang
menumpuk di bawah kulit sehingga menyebabkan akumulasi glikosaminoglikan.
Pasien dengan dermopati biasanya mempunyai kulit yang sangat tebal sehingga
tidak bisa dicubit. Namun kejadian Grave dermopati relatif jarang, terjadi kira-
kira 2-3% dari seluruh penderita Grave’s disease (Gardner & Shoback, 2017).

II.1.4.4 Patogenesis dan Patofisiologi


Mekanisme autoimun pada Graves’ disease merupakan penyebab
timbulnya sindroma pada Grave’s disease yaitu tirotoksikosis, goiter, oftalmopati
dan dermopati. Proses autoimun pada Grave’s disease tidak timbul secara spontan,
namun terdapat faktor resiko yang dapat memicu mekanisme autoimun tersebut
(Gardner & Shoback, 2017).
22

Sumber: Ginsberg, 2003

Gambar 5 Patogenesis Grave’s disease

a. Mekanisme autoimunitas tiroid


Tahun 1956 Adam & Purve melakukan penelitian pertama terkait Grave’s
disease, ditemukan stimulus yang terus-menerus terhadap reseptor kelenjar tiroid
yang efeknya mirip dengan hormon TSH. Stimlus ini dahulu dikenal dengan
LATS (long acting thyroid stimulator). Kemudian diketahui stimulus ini berupa
sebuah antibodi yang sekarang dikenal sebagai TSI (Thyroid stimulating
immunoglobulin) (Paunkovic, 2007).
Imunitas tubuh berfungsi untuk melindungi tubuh dari serangan benda
asing atau sel neoplastik. Salah satu peran makrofag adalah berfungsi sebagai
APC (Antigen presentating cell) untuk menstimulasi sel T dan sel B membentuk
antibodi spesifik. Makrofag yang telah menelan antigen yang memiliki fragmen
peptide selanjutnya berikatan dan membentuk kompleks dengan suatu protein
MHC kelas II oleh region HLA. Kompleks ini selanjutnya akan dibawa dan akan
dikenali oleh sel T CD4, yang kemudian akan mengaktifkan sel T CD4 untuk
berdiferensiasi menjadi sel Th dan melepaskan sitokin IL-2 yang akan
meningkatan diferensiasi dan pembelahan sel T. Sel T CD4 yang sudah
berdiferensiasi menjadi sel Th selanjutnya akan menstimulasi sel B untuk
23

membentuk antibodi spesifik dan menstimulasi sel TCD8 untuk berdeferensiasi


menjadi sel T supresor. Sel T supresor yang terbentuk berperan sebagai “penjaga”
untuk me non-aktifkan antibodi yang autoreaktif, sehingga tidak terjadi proses
autoimun. Pada Grave’s disease terjadi kegagalan proses toleransi imun tubuh
sehingga terbentuk antibodi yang autoreaktif dan merangsang reseptor tiroid
secara terus menerus (Gardner & Shoback, 2017).
Mekanisme autoimun tiroid tidak semata-mata terjadi, namun terdapat
faktor resiko yang memicu mekanisme tersebut. Faktor genetik diketahui
merupakan salah satu faktor resiko utama pada Grave’s disease. Individu dengan
mutasi gen terkait menyebabkan HLA menekan fungsi sel T supresor sehingga sel
T autoreaktif dan antibody yang bersifat autoreaktif beredar di sirkulasi
merangsang reseptor tiroid secara terus menerus (De Groot, 2015). Infeksi
mikroorganisme juga berperan dalam Grave’s disease. Beberapa infeksi
mikroorganisme menyebabkan adanya reaksi silang antara antigen
mikroorganisme tersebut dan antigen dari reseptor tiroid. Reaksi silang tersebut
menyebabkan antibodi yang terbentuk berikatan dengan reseptor tiroid dan
menyebabkan kelenjar tiroid hiperaktif tanpa adanya feedback negatif dari hormon
tiroid dalam sirkulasi (Gardner & Shoback, 2017).
b. Tirotoksikosis dan Goiter
Manifestasi Tirotoksikosis terjadi karena adanya homon tiroid dalam
sirkulasi dengan konsentrasi tinggi dan meningkatkan metabolisme hampir
seluruh sel tubuh. Pada dasarnya metabolisme tubuh meningkat karena adanya
pengaruh hormon tiroid yang meningkatkan aktivitas dari Na-K ATPase dan
meningkatnya respon sistem simpatis dalam tubuh (Gardner & Shoback, 2017).
Goiter atau pembesaran kelenjar tiroid pada Grave’s disease timbul akibat adanya
suatu respon adaptasi kelenjar tiroid dari stimulus TSI secara terus menerus. TSI
merangsang seluruh sel kelenjar tiroid yang menyebabkan hipertofi dari kelenjar
tiroid bersifat difus atau menyeluruh. Hipertofi kelenjar tiroid juga diikuti dengan
hipervaskularisasi terhadap kelenjar tiroid, sehingga terdengar suara bruit pada
auskultasi kelenjar tiroid (DeGroot, 2015).
24

c. Oftalmopati dan Dermopati


Oftalmopati terjadi karena adanya infiltrasi ke antigen orbita secara
langsung oleh antibodi autoreaktif yang terbentuk. Infiltrasi tersebut memicu
timbulnya inflamasi pada orbita yang menyebabkan adanya akumulasi
glikosaminoglikan seperti asam hialuronat, akumulasi sel inflamasi dan pelepasan
sitokin pro-inflamasi. Keadaan tersebut menimbulkan edema lokal dan kerusakan
jaringan lokal. Fibroblas lokal yang terakivasi menyebabkan pelepasan sitokin
pro-inflamasi seperti IL-1 dan IFN serta meningkatkan pembentukan
glikosaminoglikan.
Akumulasi glikosaminoglikan dan kerusakan jaringan ikat orbita
menyebabkam timbulnya fibrosis yang dapat menimbulkan manifestasi klinis
oftalmopati seperti protpsis dan retraksi kelopak mata. Gangguan pergerakan bola
mata akibat ketidak simetrisan pergerakan bola mata yang disebabkan oleh tidak
seimetrisnya kontraksi otot agonis dan antagonisnya menimbulkan keluhan
diplopia. Jika fibrosis memberat, timbul penekanan saraf orbita yang
menyebabkan timbulnya keluhan penurunan penglihatan. Mekanisme serupa juga
terjadi pada kulit, penumpukan glikosaminoglikan akibat reaksi autoimun yang
menyebabkan inflamasi infrakulit menimbulkan manifestasi dermopati (Lubis,
2009).

II.1.4.5 Diagnosis
Diagnosis Grave’s disease dapat ditegakan berdasarkan manifestasi klinis
yang timbul, temuan laboratorium yaitu penurunan konsentrasi TSH dan
peningkatan konsentrasi hormon tiroid dalam sirkulasi, tes fungsional dengan
metode RAIU (radioiodine uptake), timbulnya gejala oftalmopati, dan adanya TSI
yang terdekteksi di dalam sirkulasi (Paunkovic, 2007). Terdapat beberapa
manifestasi ekstratiroid yang merupakan gejala khas Grave’s disease yaitu
oftalmopati dan dermopati. Namun berdasarkan literature, terdapat pasien dengan
gejala tirotoksiosis yang kurang jelas, gejala oftalmopati dan dermopati yang
kurang jelas dan tidak adanya goiter atau dengan goiter noduler diperlukan
diagnosis banding terhadap penyebab lain dari gejala tirotoksikosis, pada keadaan
belum diketahui penyebab pasti gejala tirotoksikosis diindikasikan melakukan
pemeriksaan tes fungsional dengan metode RIAU (Bartalena, 2013).
25

a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik


Gejala dan tanda klinis hipertiroid yang dikeluhkan pasien biasanya
bersifat subjektif menurut organ-organ yang terlibat dan usia pasien. Pasein
dengan usia muda biasanya sering mengeluhkan gejala-gejala peningkatan sistem
simpatis seperti kecemasan dan tremor, sedangkan pasien dengan usia diatas 40
tahun biasanya mengeluhkan gejala-gejala kardiovaskular seperti palpitasi dan
takikardi. Secara umum gejala-gejala yang dikeluhkan adalah cemas dan gelisah,
berkeringat lebih dan mudah lelah, tidak tahan panas, diare, penurunan berat
badan dengan peningkatan nafsu makan, palpitasi, mudah marah, tremor dan
gangguan menstruasi pada wanita. Manifestasi klinis utama yang dapat ditemukan
pada Grave’s disease adanya pembesaran kelenjar tiroid secara merata atau goiter
difus serta adanya suara bruit pada auskultasi kelenjar tiroid (Indonesian society of
Endocrinology task force on thyroid, 2012).

Tabel 1 Wyne Index Hyperthyroid


Gejala subjektif Skor Gejala objektif Ada Tidak
ada
Sesak saat ber aktivitas (+) 1 Pembesaran tiroid (+)3 (-)3

Palpitasi (+) 2 Bruit tiroid (+)2 (-)2

Mudah lelah (+) 2 Eksoftalmus (+)2


Lebih suka panas (-) 5 Lid reaction (+)2

Lebih suka dingin (+) 5 Lid lag (+)1

Keringat berlebih (+) 3 Hiperkinesia (+)4 (-)2

Cemas (+) 2 Tangan teraba panas (+)2 (-)2

Nafsu makan: Tangan teraba lembab (+)1 (-)1


- Meningkat (+) 3
- Menurun
(-) 3
Berat badan: Nadi :
- Meningkat (-) 3 - >80/menit (-)3
- Menurun (+) 3 - >90/menit (+)3
Atrial fibrilasi (+)4

Skor intepretasi: >19: toxic, 11-19: ekuivokal, <11: eutiroid / non toksik
Sumber: Indonesian society of Endocrinology task force on thyroid, 2012
26

b. Pemeriksaan penunjang
Kadar serum TSH merupakan pemeriksaan dengan sensitivitas dan
spesifitas yang paling tinggi pada pasien dengan gejala tirotoksikosis, namun
pemeriksaan konsentrasi fT4 juga diperlukan untuk meningkatkan akurasi
diagnosis. Biasanya terdapat peningkatan konsentrasi fT3 pada pasien dengan
gejala tirotoksikosis. Pasien dengan gejala hipertiroid atau tirotoksikosis biasanya
didapatkan hasil pemeriksaan yaitu penurunan konesentrasi serum TSH <0.01
mU/L atau tidak terdeteksi dengan disertai adanya peningkatan fT4 dan fT3 (Bahn
et al, 2011).
Menurut Bartalena (2013) pemeriksaan TSI/TRAb merupakan
pemeriksaan yang paling penting dalam mendiagnosis pasien dengan gejala
tirotoksikosis yang disebabkan oleh Grave’s disease. Pemeriksaan fingsi tiroid
dengan menggunakan metode RAIU tidak diperlukan apabila ditemukan gejala-
gejala tirotoksikosis dan goiter difus yang disertai adanya keluhan oftalmopati
atau dermopati. Pasien dengan manifestasi tersebut dengan hasil pemeriksaan
darah didapatkan peningkatan konsentrasi fT3 dan fT4, penurunan konesntrasi
TSH dan ditemukan adanya titer antibodi TSI/TRAb maka diagnosis Grave’s
disease sudah dapat ditegakan dan tidak diperlukan pemeriksaan lebih lanjut.
Pemeriksaan RAIU diindikasikan pada pasien dengan gejala tirotoksikosis yang
penyebabnya masih belum jelas (Bahn et al, 2011).

II.1.4.6 Penatalaksanaan
Prinsip pengobatan hipertiroid tergantung dari etiologi tirotoksikosis, usia
pasien, riwayat alamiah, tersedianya modalitas pengobatan, situasi pasien dsb.
Pada dasarnya penatalaksanaan hipertiroid terdiri atas tiga metode yaitu dengan
obat anti tiroid, dengan iodin radioaktif dan tiroidektomi. Walaupun mekanisme
autoimun bertanggung jawab atas sindrom Grave’s disease, penatalaksanaanya
terutama ditujukan untuk mengendalikan hipertiroidisme (Gardner & Shoback,
2017).
Menurut Bartalena (2013) penatalaksanaan yang ideal pada Grave’s
disease yaitu mengembalikan fungsi normal dari kelenjar tiroid, menghindari
kekambuhan dari gejala hipertiroid, mencegah efek samping hipotiroidisme dan
27

mencegah progresivitas gejala oftalmopati. Namun sampai saat ini belum terdapat
terapi yang memenuhi seluruh kriteria tersebut.
Sampai sekarang terdapat perbedaan penggunaan metode penatalaksanaan
di seluruh dunia, di Amerika Serikat terapi menggunakan radioiodin menjadi
pilihan utama untuk kebanyakan pasien, sementara di Eropa dan Asia terapi
dengan obat antitiroid merupakan pilihan utama (Gardner & Shoback, 2017).
Pasien dengan gejala tirotoksikois harus diberikan terapi simptomatik
untuk keluhan kardiovaskular. Terapi menggunakan β-blocker ditujukan
mengurangi gejala palpitasi dan takikardi, menurunkan tekanan darah, kelemahan
otot, tremor dan kelelahan (Bahn et al, 2013).
a. Obat antitiroid
Saat ini terdapat dua golongan obat antitiroid derivat tionamid yang
digunakan dalam praktek klinis yaitu golongan tioimidazol yang terdiri dari
metimazol (MTZ), karbimazol (CBZ), tiamazol dan golongan tiourasil yaitu
propiltiourasil (Setiati dkk 2014, hlm. 1962). Menurut Cooper (2005) dan
Hirokazou et al (2011) pemilihan obat antitiroid disesuaikan dengan kebjiakan
dokter yang bertanggung jawab.

Sumber : Cooper, 2005


Gambar 6 Rumus kimia obat antitiroid metimazol dan propiltiourasil

Obat-obat antitiroid golongan tioimidazol dan golongan tiourasil diabsorsi


ke dalam darah melalui saluran pencernaan, kadar puncak dalam sirkulasi tercapai
sekitar 1-2 jam setelah ingesti obat. Setelah masuk ke dalam sirkulasi darah,
28

golongan obat tioimidazol bebas di dalam darah sedangkan 90% obat


propiltiourasil terikat oleh albumin (Cooper, 2005). Duration of action (DOA)
propiltiourasil sekitar 6-8 jam sedangkan DOA obat antitiroid golongan
tioimidazol dapat bertahan kurang lebih 24 jam (Syarif dkk 2012, hlm. 442).

Sumber : Komisi Farmakope 2005, hlm. 2558


Gambar 7 Rumus kimia obat antitiroid tiamazol

Menurut Cooper (2005) obat-obat antitiroid memiliki efek langsung dan


tidak langsung dalam menekan mekanisme autoimun pada Grave’s disease
dengan cara menekan ekspresi HLA-DR dan memicu apoptosis limfosit pada
kelenjar tiroid serta meningkatkan fungsi sel T-supresor dan menekan fungsi sel
T-helper. Mekanisme kerja utama obat antitiroid adalah menekan sintesis hormon
tiroid dengan mempengaruhi aktivitas enzim TPO (Bartalena, 2013). Kedua
golongan obat antitiroid berfungsi menghambat inkorporasi iodin dengan residu
tirosil dalam tiroglobulin dan juga menghambat penggambungan residu iodotirosil
dengan menghambat enzim peroksidase sehingga oksidasi ion iodin dan gugus
iodotirosil terganggu (Syarif dkk 2012, hlm. 441). Propiltiourasil (PTU) memiliki
efek tambahan, yaitu menghambat kerja enzim 5’deiodinase perifer sehingga
mencegah konversi hormon T4 ke dalam bentuk aktifnya T3, mekanisme kerja
tersebut tidak dimiliki oleh obat golongan tioamidazol (Ginsberg, 2003).
Menurut Setiati dkk (2014) dosis obat PTU untuk pasien hipertiroid adalah
400mg per hari dalam dosis terbagi sedangkan dosis obat golongan tioimidazol
adalah, dosis awal untuk metimazol 30mg per hari, karbimazol 30mg per hari dan
dosis awal untuk tiamazol menurut Ginsberg (2005) adalah 10-20mg dua kali
sehari. Pemeriksaan kadar fT4 dilakukan 4 minggu setelah dosis awal, jika dosis
awal berhasil menurunkan kadar fT4 atau mencapai kondisi eutiroid selanjutnya
29

dilakukan titrasi dosis dan pengobatan tetap dilanjutkan dengan dosis


pemeliharaan. Pengobatan dilanjutkan selama kurang lebih satu tahun (Indonesian
society of Endocrinology task force on thyroid, 2012; Setiati dkk 2014, hlm.
1962).
Menurut Bartalena (2013) remisi spontan atau kondisi eutiroid biasanya
tercapai dalam 4-12 minggu sedangkan menurut Syarif dkk (2012) efek terapi
biasanya terlihat setelah 3-6 minggu pengobatan, namun untuk mencegah adanya
kekambuhan pengobatan dengan dosis rendah diteruskan selama 1-10 tahun, jika
terdapat respon tepat dan kelenjar tiroid mulai mengecil maka pemberian
levotiroksin dengan dosis 0,1mg/hari harus dipertimbangkan.
Obat antitiroid golongan tiourasil dan tioimidazol jarang sekali
menimbulkan efek samping dan bila timbul biasanya mempunyai gambaran yang
sama dengan frekuensi 3% untuk golongan tiourasil dan 7% untuk golongan
tioimidazol. Efek samping yang paling sering timbul adalah Rash yang dapat
dengan mudah ditangani dengan pemberian antihistamin dan bukan merupakan
suatu indikasi penghentian obat kecuali berat dan generalisata. Agranulositosis
merupakan efek samping yang paling berat dari pemberian obat antitiroid yang
pernah dilaporkan, meskipun prevalensi agranulositosis pada pemberian obat
antitiroid adalah 0,5%, keadaan ini merpakan perhatian utama pada pemberian
obat antitiroid dan merupakan indikasi untuk segera menghentikan terapi
selanjutnya diberikan terapi antibiotik dan mengganti pengobatan ke alternatif
lain, biasanya iodin radioaktif. Gejala awal agranulositosis adalah demam dan
sakit tenggorokan, oleh karena itu pasien dengan pengobatan antitiroid harus
diperingatkan jika didapatkan keluhan sakit tenggorokan dan demam segera
hentikan terapi dan kembail ke dokter untuk memeriksa jumlah sel darah putih
dan hitung jenis sel darah putih (Gardner & Shoback, 2017).
b. Terapi β-blocker
Terapi β-blocker direkomendasikan untuk pasien dengan keluhan
tirotoksikosis terutama pada pasien dengan nadi >90x/menit. Terapi menggunakan
preparat β-blocker ditujukan untuk mengurangi gejala kardiovaskular yaitu
menurunkan denyut jantung, menurunkan tekanan darah, kelelahan, tremor dan
mudah lelah. Obat β-blocker selektif maupun non selektif keduanya dapat
30

digunakan pada pasien Grave’s disease kecuali β-blocker non selektif merupakan
kontraindikasi dengan pasien yang menderita asma. Dosis tinggi β-blocker
dibutuhkan untuk mengurangi gejala simtomatik tirotoksikosis. Obat yang β-
blocker yang sering digunakan pada pasien Grave’s disease adalah Propanolol
dengan dosis 10-40mg/hari, atenolol dengan dosis 25-100mg/hari, metoprolol
dengan dosis 25-50mg/hari, nadolol dengan dosis 40-160mg/hari (Bahn et al,
2011).
c. Iodin Radioaktif
Menurut Indonesian society of Endocrinology task force on thyroid (2012)
pasien Grave’s disease dengan resiko komplikasi tinggi atau tidak adanya
perbaikan setelah pemberian obat antitiroid maka pengobatan harus dialihkan
menggunakan iodin radioaktif. Pada pasien yang sudah mendapat terapi obat
antitiroid maka pengobatan harus dihentikan terlebih dahulu selama 3-5 hari
sebelum dilanjutkan menggunakan iodin radioaktif.
Obat iodin radioaktif yang digunakan di Indonesia adalah 131-I. Obat 131-
I merupakan suatu radioisotop yang mengandung komponenen radioaktif.
Mekanisme kerjanya, radioisotop-I yang diberikan masuk kedalam proses sintesis
hormon tiroid dan terkumpul pada substansi koloid seperti halnya I-nonradioaktif.
Sinar yang dipancarkan mempengaruhi parenkim kelenjar tiroid dan terjadi
nekrosis sel folikel diikuti hilangnya koloid dan terjadi fibrosis kelenjar.
Obat 131-I mempunyai dosis yang sangat rendah, hanya kira-kira 0.3µg.
umumnya dosis rendah tidak menimbulkan gangguan kelenjar tiroid yang nyata,
hanya merusak bagian sentral saja sedangkan bagian perifer tetap berfungsi.
Larutan natrium iodida 131-I dapat diberikan dalam bentuk oral maupun
intravena. Iodin radioaktif diindikasikan pada pasien hipertiroid usia lanjut atau
dengan penyakit jantung, penyakit grave menetap atau kambuh setelah
tiroidektomi sub-total atau setelah mendapat terapi obat antitiroid dalam jangka
waktu yang lama tanpa adanya perbaikan, goiter nodular toksik, goiter
multinodular non-toksik yang disertai gejala kompresi, karsinoma tiroid dan untuk
diagnostic fungsi tiroid. Anak-anak dan wanita hamil yang menderita hipertiroid
merupakan kontraindikasi mutlak dari penggunaan iodin radioaktif (Syarif dkk
2012, hlm. 445).
31

d. Tiroidektomi
Prinsip umum tiroidektomi adalah operasi kelenjar tiroid baru dapat
dilakukan jika pasien sudah mencapai kondisi eutiroid secara klinis maupun
biokimiawi. Sebelum tiroidektomi dilakukan, pasien diberikan plumerisasi
menggunakan solusio lugol fortiror sebanyak 5 tetes dalam 3 kali pemberian, 7-10
jam sebelum operasi. Metode tiroidektomi yang digunakan adalah tiroidektomi
subtotal dupleks dengan menyisakan kelenjar tiroid seujung ibu jari atau dengan
metode lobektomi total termasuk ismus dan tiroidektomi subtotal lobus lain
(Setiati dkk 2014, hlm. 1963).
Tiroidektomi diindikasikan pada pasien dengan gejala tirotoksikosis berat
atau tidak adanya perbaikan dengan pengobatan mengguanakan obat antitiroid
atau iodinradioaktif atau berat kelenjar tiroid lebih dari 100gr. Tiroidektomi dapat
dilakukan pada wanita hamil pada trimester kedua (Bartalena, 2013).
Menurut Indonesian society of Endocrinology task force on thyroid (2012)
komplikasi dari tiroidektomi cukup sering terjadi. Paralisis pita suara dan
hipotiroidis serta hipoparatiroid merupakan komplikasi yang paling sering
dilaporkan setelah tindakan tiroidektomi.

II.1.4.7 Prognosis
Secara umum, perjalanan grave’s disease adalah ditandai oleh remisi dan
eksaserbasi untuk jangka waktu yang lama kecuali jika kelenjar dirusak dengan
tindakan bedah tiroidektomi atau dengan intervensi iodin radioaktif. Beberapa
pasien bisa tetap eutiroid untuk jangka waktu yang lama setelah terapi, tapi
terjadinya kasus relaps pada pasien grave’s disease cukup sering dilaporkan, jadi
follow-up seumur hidup merupakan indikasi untuk semua pasien dengan grave’s
disease (Gardner & Shoback, 2017).
Prognosis Grave’s disease dapat dilihat berdasarkan angka remisi. Angka
remisi pada orang dewasa lebih tinggi daripada angka remisi pada anak-anak.
Obat antitiroid dapat menginduksi remisi permanen sebesar kurang lebih 50%
kasus Grave’s disease, namun setelah 12-18 bulan terjadi relaps pada 50% kasus
hipertiroid. Seluruh pasien yang mendapat pengobatan antitiroid harus dimonitor
secara rutin setelah pengobatan dihentikan. Telah dilaporkan terjadi kekambuhan
pada 75% kasus pada bulan ketiga setelah pengobatan dihentikan. Jika terjadi
32

kekambuhan maka pengobatan menggunakan antitiroid jangka panjang harus


dimulai kembali atau menggunakan pengobatan dengan metode destruktif
(Indonesian society of Endocrinology task force on thyroid, 2012).

II.1.5 Efektivitas Obat


Suatu intervensi dalam bentuk obat mempunyai tingkat efikasi dan
efektivitas yang berbeda. Efikasi dan efektivitas merupakan suatu definisi yang
berbeda, efikasi atau “kemanjuran” mengacu pada kemampuan suatu intervensi
kesehatan, umumnya obat dalam kondisi optimal dalam menghasilkan perubahan
yang diharapkan. Efektivitas mengacu pada kemampuan intervensi kesehatan dari
praktek klinis sehari-hari dalam mencapai perbaikan kesehatan (Kementrian
Kesehatan, Pemerintah RI, 2013).
Studi penelitian efikasi membutuhkan prosedur penelitian yang sangat
teliti dan ketat, program pelaksanaan dengan kualitas yang baik dan pengontrolan
seluruh variabel perancu hingga semua subjek homogen. Penelitian efikasi harus
dilakukan dalam kondisi yang optimal contohnya seperti uji invitro, uji pre-klinik
dan uji klinik. Uji efikasi yang telah membuahkan hasil dalam prosedur ketat dan
teliti serta kondisi optimal, aplikasinya pada praktek klinis tidak selalu
memberikan efek yang sesuai dengan uji efikasi karena sifat pasien yang
heterogen dan variabel-variabel perancu yang tidak dikontrol (Flay et al, 2005).
Obat dengan hasil uji efikasi yang baik, pada praktek klinis tidak selalu
memberikan hasil yang optimal atau efek obat tersebut sepenuhnya hilang. Uji
efektivitas merupakan suatu prosedur untuk menguji hasil efikasi obat pada
praktek klinis rutin tanpa adanya pengontrolan ketat dan homogenisasi pasien.
Obat dikatakan efektif apabila aplikasinya memberikan hasil yang sesuai dengan
tingkat efikasi obat tersebut pada praktek klinis rutin (Flay et al, 2005).
Menurut Gardner dan Shoback (2017) pengobatan hipertiroid dengan obat
antitiroid baru menimbulkan efek terapi dalam rentang waktu 4-12 minggu. Dosis
inisial dengan menggunakan propiltiourasil adalah 300mg terbagi 3 dosis per 8
jam sedangkan dosis obat tiamazol adalag 10-20mg perharinya. Obat antitiroid
dikatakan efektif apabila hasil pengobatan mulai terlihat pada minggu ke-12,
dengan melihat kadar hormon-hormon tiroid dalam batas normal yaitu TSH, fT4
dan fT3.
33

II.2 Kerangka Teori

Penatalaksanaan Hipertiroid

Iodin Radioaktif Obat Antitiroid Tiroidektomi

Tioimidazol: Tiourasil
 Tiamazol  Propiltiourasil
 Metimazol
 Karbimazol

Mekanisme Kerja:
Mekanisme Kerja:  Menghambat inkorporasi iodin dengan gugus
 Menghambat inkorporasi iodin dengan gugus tirosin dalam tiroglobulin
tirosin dalam tiroglobulin  Mengganggu proses oksidasi iodotirosin
 Mengganggu proses oksidasi iodotirosin  menghambat aktivitas enzim deiodinase 5’ perifer

Faktor Resiko
Grave’s disease:
 Genetik Grave’s disease
 Jenis kelamin
 Infeksi
 Usia
Hipertiroid
 Stres

Manifestasi Klinis:
Kadar Hormon tiroid
 Tirotoksikosis
 Goiter
 Oftalmopati dan Dermopati
TSH fT4 fT3
: Diteliti
: Tidak diteliti
Obat yang diteliti : Tiamazol dan Propiltiourasil
Sumber : Dimodifikasi dan adaptasi dari Gardner & Shoback, 2017 ; Setiati dkk. 2014 ; Bahn et al, 2011 ;
Bartalena, 2013 ; Cooper, 2003
Bagan 1 kerangka Teori
34

II.3 Kerangka Konsep


Sebagaimana yang telah dijelaskan pada kerangka teori, kerangka konsep
ini membahas sebagian dari kerangka teori. Pada penelitian ini dilakukan analisis
perbandingan efektivitas obat antitiroid antara propiltiourasil dengan tiamazol.

Variabel Bebas Variabel Terikat


Pemberian obat Antitiroid Kadar hormon-hormon tiroid pasien hipertiroid
tunggal: yang disebabkan grave’s disease setelah
pemberian antitiroid tunggal selama tiga bulan:
 Tiamazol
 TSH
 Propiltiourasil
 fT4

Bagan 2 Kerangka Konsep

II.4 Hipotesis
H0: Tidak terdapat perbedaan efektivitas tiamazol dibandingkan dengan
propiltiourasil
H1: Terdapat perbedaan efektivitas tiamazol dibandingkan dengan propiltiourasil
35

II.5 Penelitian terkait

Tabel 2 Penelitian terkait

No Nama Judul Variabel Penelitian Persamaan Perbedaan


Penelitian Penelitian
1 Hirotoshi Perbandingan a. Variabel bebas: Meneliti Variabel
Nakamura et Terapi antara 1. Pemberian efektivitas bebas
al, 2007 metimazol dan terapi tunggal farmakoterapi berbeda:
propiltiourasil Metimazol a. Pemberian
hipertiroid
pada pasien 2. Pemberian terapi
hipertiroid terapi yang tunggal
yang kombinasi disebabkan Tiamazol
disebabkan Metimazol dan Grave’s b. Pemberia
oleh Grave’s Propyltiourasil disease n terapi
Disease. tunggal
b. Variabel terikat Propiltiou
Kadar FT3, FT4 rasil
dan TSH

2 Hirokazou Perbandingan a. Variabel bebas Meneliti a. Perbedaan


Sato et al, antara 1. Pemberian efektivitas subjek:
2011 metimazol dan terapi tunggal farmakoter subjek
propiltiourasil metimazol penelitian
api
dalam 2. Pemberian adalah orang
pengobatan terapi tungal hipertiroid dewasa
anak-anak dan propiltiourasil yang
remaja dengan disebabkan b. Perbedaan
Grave’s Grave’s Variabel
disease: efikasi b. Variabel terikat bebas:
disease
dan efek 1. Lamanya Pemberian
samping pada normalisasi terapi tunggal
terapi insial Kadar fT4 tiamazol
dan efek jangka pasien setelah
panjang terapi inisial
2. Efek samping
yang timbul
selama
pengobatan

.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

III.1 Jenis penelitian


Jenis penelitian ini adalah analitik observasional secara retrospektif. Penelitian
menggunakan pendekatan desain cross-sectional, yaitu penelitian (survei) analitik,
observasi atau pengumpulan data pada satu waktu (Sastroasmoro & Ismael 2010, hlm.
112), dengan desain ini peneliti bermaksud untuk meneliti perbandingan efektivitas
obat antitiroid antara tiamazol dengan propiltiourasil.

III.2 Lokasi dan waktu penelitian


Penelitian akan dilakukan di Departemen Penyakit Dalam RSUD Cengkareng,
jl. Kamal raya bumi cengkareng indah, Cengkareng Timur, Jakarta Barat. Waktu
penelitian Bulan Febuari 2018.

III.3 Subjek Penelitian


Proses pemilihan subjek penelitian diawali dengan menentukan populasi
target, selanjutnya dikerucutkan menjadi populasi terjangkau. Subjek penelitian
didapatkan setelah penghitungan besar sampel yang dibutuhkan dan penentuan
kriteria inklusi dan eksklusi (Sastroasmoro & Ismael 2010, hlm. 13-16).
III.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien dewasa yang terdiagnosis
hipertiroid disebabkan Grave’s disease dengan peningkatan kadar fT4 dan penurunan
kadar TSH di RSUD Cengkareng yang masuk pada tahun 2017.
III.3.2 Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah semua pasien dewasa yang terdiagnosis
hipertiroid disebabkan Grave’s disease dengan peningkatan kadar fT4 dan penurunan
kadar TSH di RSUD Cengkareng yang masuk pada tahun 2017 yang memenuhi
kriteria inklusi.

36
37

III.3.2.1 Besar sampel


Metode yang digunakan untuk menentukan jumlah sampel adalah dengan
menggunakan rumus Lemeshow uji beda hipotesis sebagai berikut: (Dahlan 2012,
hlm. 80).

Keterangan:
n = Jumlah sampel minimal
Z 1- α/2 = Derajat kemaknaan (10%)
Z 1- β = Kekuatan uji (90%)
P = Rata-rata P1 dan P2, (P1+P2)/2
P1 = Proporsi kesembuhan pasien dengan pemberian obat antitiroid
tiamazol selama tiga bulan
P2 = Proporsi kesembuhan pasien dengan pemberian obat antitiroid
propiltiourasil selama tiga bulan
Nilai p didapat dengan membagi 2 nilai P1+P2, dimana nilai P1=0,90 dan
P2=0,692 didapatkan dari penelitian sebelumnya (Nakamura et al, 2007). Nilai p
yang didapatkan adalah 0,796. Setelah dihitung menggunakan rumus diatas,
didapatkan nilai n sebanyak 41, n1=n2 maka jumlah n dikalikan dua didapatkan
jumlah sampel minimal adalah 82 rekam medis.

III.3.2.2 Kriteria inklusi dan eksklusi


Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian pada populasi
target dan pada populasi terjangkau, kriteria eksklusi adalah sebagian subjek yang
memenuhi kriteria inklusi namun harus dikeluarkan dari studi karena berbagai sebab
yang dapat merancukan hasil penetlitian (Sastroasmoro & Ismael 2010, hlm. 49-50).
38

III.3.2.2.1 Kriteria Inklusi


a. Pasien dewasa yang baru terdiagnosis Hipertorid disebabkan Graves’ disease di
RSUD Cengkareng Periode Januari – Desember 2017.
b. Pasien dewasa yang baru terdiagnosis Hipertorid disebabkan Graves’ disease
dengan monoterapi tiamazol di RSUD Cengkareng Periode Januari – Desember
2017.
c. Pasien dewasa yang baru terdiagnosis Hipertorid disebabkan Graves’ disease
monoterapi propiltiourasil di RSUD Cengkareng Periode Januari – Desember
2017.
III.3.2.2.2 Kriteria Eksklusi
a. Pasien yang data Rekam mediknya tidak lengkap.
b. Pasien wanita yang sedang hamil.
c. Pasien wanita yang sedang dalam penggunaan kontrasepsi.
d. Pasien dengan penyakit ginjal kronik.
e. Pasien dengan penyakit hati kronik.

III.4 Metode pengumpulan data


Pada penelitian ini dilakukan pengambilan sampel dengan menggunakan
metode Non probability sampling dengan teknik Purposive sampling. Purposive
sampling adalah pengambilan sampel yang didasarkan pada suatu pertimbangan
tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri, berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi
yang sudah diketahui sebelumnya (Sastroasmoro & Ismael 2010, hlm. 89).

III.5 Identifikasi Variabel Penelitian


Variabel bebas adalah variabel yang apabila nilainya berubah akan
mempengaruhi variabel yang lain. Variabel depenen adalah variabel yang
dipengaruhi oleh variabel independen. Variabel dalam penelitian ini yaitu:
a. Variabel Bebas, adalah pasien dewasa hipertiroid disebabkan Graves’ disease
yang mendapatkan obat antitiroid tunggal tiamazol atau propiltiourasil
39

b. Variabel Terikat, adalah hasil pemeriksaan kadar hormon tiroid yaitu TSH, ft4
setelah mendapatkan penatalaksanaan dengan obat antitiroid tunggal tiamazol
atau propiltiourasil selama tiga bulan.

III.6 Definisi Operasional


Tabel 3 Definisi Operasional

Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala


Operasional Ukur
Obat antitiroid Pengobatan Rekam Medis Jenis Terapi: Nominal
pasien dengan a. Pasien dengan
obat antitiroid pemberian terapi obat
tunggal, tiamazol tunggal tiamazol
atau dikelompokan sebagai
propiltiourasil Obat A.
berdasarkan
resep dokter yang b. pasien dengan
bertanggung pemberian terapi obat
jawab. tunggal propiltiourasil
dikelompokan sebagai
Obat B.
(Hirokazou et al, 2011)
Pemeriksaan Pemeriksaan Rekam Medis a. Normal: Ordinal
kadar hormon laboratorium Kadar TSH dan fT4
tiroid. kadar hormon dalam batas normal
tiroid yang terdiri setelah pemberian
dari TSH dan fT4 obat antitiroid tunggal
setelah selama tiga bulan
pemberian obat
antitiroid tunggal b. Tidak normal:
selama tiga Abnormalitas Kadar
bulan. TSH dan fT4 setelah
pemberian obat
antitiroid tunggal
selama tiga bulan
(Hirokazou et al,
2011)
40

III.7 Teknik pengumpulan data dan instrumen penelitian


Data yang dikumpulkan berasal dari data sekunder yang merupakan rekam
medis pasien hipertiroid dewasa disebabkan Graves’ disease yang melakukan
kunjungan pemeriksaan pertama ke Poli Penyakit Dalam RSUD Cengkareng periode
Januari 2017-Desember 2017. Instrumen penelitian ini adalah dengan rekam medik
yang berisi data-data lengkap pasien dengan penyakit Hipertiroid yang disebabkan
Grave’s disease.

III.8 Pengolahan data


Peneliti melakukan tindakan pengolahan data setelah melakukan
pengumpulan data, dibawah ini adalah penjelasan masing-masing teknik pengolahan
data:
1. Editing data untuk memastikan data yang diperoleh adalah bersih yaitu data
tersebut merupakan data sampel penelitian yang sesuai berdasarkan kriteria
inklusi dan eksklusi. Editing diawali dengan mengidentifikasi sampel yang
sesuai dengan kriteria inklusi dan ekslusi berdasarkan rekam medis pasien
hingga jumlah sampel terpenuhi. Selanjutnya melakukan identifikasi ulang
terhadap rekam medis yang akan dijadikan sampel penelitian dengan tujuan
memastikan kesesuaian data sampel penelitian. Proses ini dilakukan di
divisi rekam medis RSUD Cengkareng (Notoatmojo, 2012).
2. Coding data untuk memudahkan pengolahan data yaitu dengan
memberikan kode pada setiap catatan yang diisi dari rekam medik. Proses
coding dilakukan setelah jumlah sampel yang sesuai dengan kriteria inklusi
dan eksklusi tercapai. Proses coding dilakukan dengan memberikan kode
pada sampel penelitian yang terdiri dari kode “A” untuk sampel dengan
terapi tunggal obat antitiroid tiamazol dan kode “B” untuk sampel dengan
terapi tunggal propiltiourasil. Proses coding dilakukan di divisi rekam
medis RSUD Cengkareng (Notoatmojo, 2012).
41

3. Entry data merupakan prosedur memindahkan hasil data dari rekam medis
pasien setelah dilakukan kegiatan coding, data dimasukan ke dalam aplikasi
pengolahan statistik pada komputer secara teliti (Notoatmojo, 2012)
4. Cleaning data yaitu pengecekan kembali data yang sudah dimasukan,
apakah ada kesalahan atau tidak yaitu dengan cara mengetahui data yang
hilang, variasi data, dan konsistensi data (Notoatmojo, 2012)

III.9 Analisis Data dan Uji Statistik


Analisis data beserta uji statistik yang sesuai dilakukan yaitu:
a. Analisis data univariat
Analisis univariat ini dilakukan untuk memperoleh gambaran/deskripsi
pada masing-masing variabel terikat maupun varibel bebas.
b. Analisis data bivariat
Analisis ini bertujuan untuk mengetahui adanya perbandingan hasil
antara variabel-variabel independen dengan variabel dependen. Maka
dilakukan statistik uji dengan menggunakan uji chi-square α =0.05, yang
nantinya akan diperoleh nilai p. Nilai p akan dibandingkan dengan nilai α.
Dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Jika nilai p ≤ α (p ≤ 0.05), maka hipotesis (Ho) ditolak, berarti data
sampel mendukung adanya hasil yang signifikan.
2. Jika nilai p > α (p > 0.05), maka hipotesis (Ho) diterima, berarti
sampel tidak mendukung adanya hasil yang bermakna.
42

III.10 Alur Penelitian

Identifikasi Masalah Penelitian

Perumusan Masalah Penelitian

Menentukan Metode Penelitian

Menentukan sumber data, populasi penelitian dan


sampel

Pembuatan Proposal Penelitian

Seminar Proposal Penelitian

Komisi Etik Penelitian

Pengajuan Izin Penelitian dan Pengambilan Sampel

Pengajuan Perizinan Penelitian


PTSP Jakarta Barat

Pengajuan Perizinan Penelitian


RSUD Cengkareng

Populasi Pengambilan data sampel penelitian di Divisi Rekam Medik RSUD


163 Cengkareng
Ft4 dan TSH
Analisis dan Pengolahan Data sebelum
Sampel pengobatan
82
Analisis Univariat dan Bivariat Pemberian PTU atau Tiamazol
Ft4 dan TSH
Pembuatan Hasil, Pembahasan dan Kesimpulan setelah
pengobatan
Persentasi dan Dokumentasi Hasil Penelitian

Bagan 3 Alur Penelitian


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Gambaran Umum RSUD Cengkareng


Berdasarkan situs resmi dari Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng adalah
sebuah Rumah Sakit tipe B yang berlokasi di jl. Kamal Raya Bumi Cengkareng Indah,
Jakarta Barat. Rumah sakit ini berdiri di atas lahan seluas 25.316 m2 dengan luas
bangunan 31.600 m2. Pada tahun 1999 Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta bersama
Walikota Jakarta Barat mengusulkan untuk membangun sebuah fasilitas kesehatan
dengan memanfaatkan tanah fasilitas sosial milik perumnas. Usulan tersebut
kemudian disetujui oleh Gubernur DKI Jakarta (RSUD Cengkareng, 2018).
Pada tahun 2000 mulai dilaksanakan tahap awal perencanaan fisik meliputi
studi kelayakan, studi analisis dampak lingkungan kemudian dihasilkan master plan
dan desain engineering. Pembangunan berjalan dengan dua tahap sesuai arahan
Pemerintahan Daerah DKI Jakarta dengan persetujuan DPRD Provinsi DKI Jakarta.
Pembangunan tahap 1 dilaksanakan pada tahun 2000 selama 187 hari kalender,
kemudian pembangunan tahap 2 dilaksanakan pada tahun berikutnya selama 243 hari
kalender. Upaya pembangunan RSUD Cengkareng dianggap berhasil berdasarkan
engineering review karena memperoleh penghematan dalam proses pembangunan
(RSUD Cengkareng, 2018).

IV.1.1 Visi dan Misi RSUD Cengkareng


RSUD Cengkareng mempunyai suatu landasan yang terdiri dari visi, misi,
makna, moto dan tata nilai:
a. Visi
Menjadi Rumah Sakit terbaik di Indonesia dan terdepan di Asia Tenggara
pada tahun 2020.
b. Misi
1. Memberikan pelayanan prima kepada seluruh lapisan masyarakat.
2. Mengembangkan manajemen rumah sakit yang professional.

43
44

c. Makna
Sahabat hidup sehat berkualitas.
d. Moto
Upaya terbaik untuk kesehatan anda.
e. Tata nilai
1. Integritas.
2. Objektifitas.
3. Loyalitas.
4. Untuk kerja tinggi.
5. Kemitraan (RSUD Cengkareng, 2018).

IV.2 Deskripsi Penelitian


Penelitian ini dilakukan di RSUD Cengkareng, Jakarta Barat, pada bulan
februari 2018 dengan mengambil data sekunder yang berkaitan dengan penelitian
yang berjudul perbandingan efektivitas obat antitiroid antara tiamazol dengan
propiltiourasil kepada pasien hipertiroid yang disebabkan grave’s disease di RSUD
Cengkareng periode Januari - Desember 2017.
Data sekunder yang diperlukan diberikan oleh kepala divisi rekam medis
berdasarkan persetujuan kepala RSUD Cengkareng. Populasi pasien Hipertiroid di
RSUD Cengkareng pada tahun 2017 adalah 163 pasien. Perhitungan besar sampel
menggunakan rumus Lameshow, maka peneliti mengambil sebanyak 82 rekam medik
dengan menggunakan teknik consecutive sampling. Sampel yang diambil telah sesuai
dengan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi yang telah ditentukan.

IV.3 Hasil Penelitian


Data penelitian didapatkan dari bagian rekam medik RSUD Cengkareng
periode Januari – Desember 2017. Subjek penelitian yang diperoleh merupakan data
yang telah disesuakian dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Selanjutnya data akan
diuraikan berdasarkan karakteristik penelitian serta dianalisis secara univariat dan
bivariat.
45

IV.3.1 Karakteristik Penelitian


IV.3.1.1 Distribusi Usia Pasien Hipertiroid yang disebabkan Grave’s disease di
RSUD Cengkareng Periode Januari - Desember 2017
Distribusi usia sampel penelitian dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4 Distribusi Usia Pasien Hipertiroid yang disebabkan Grave’s disease


di RSUD Cengkareng Periode Januari - Desember 2017

Kelompok Usia Frekuensi Persentase


(Tahun) (%)
<26 6 7,3

26-35 27 32,9
36-45 16 19,5
46-55 18 22
>55 15 18,3
Total 82 100
Sumber: Data Sekunder, 2017

Tabel 4 menunjukan bahwa responden penelitian pasien hipertiroid


disebabkan grave’s disease sebagian besar terdapat pada kelompok usia 26-35 tahun
dengan frekuensi 27 pasien (32,9%) dan kelompok usia dengan frekuensi paling
sedikit terdapat pada kelompok usia <26 tahun dengan frekuensi 6 pasien (7,3%).

IV.3.1.2 Distribusi Jenis Kelamin Pasien Hipertiroid yang disebabkan Grave’s


disease di RSUD Cengkareng Periode Januari - Desember 2017
Distribusi jenis kelamin sampel penelitian dapat dilihat pada tabel 5.
46

Tabel 5 Distribusi Jenis Kelamin Pasien Hipertiroid yang disebabkan


Grave’s disease di RSUD Cengkareng Periode Januari -
Desember 2017

Jenis Kelamin Frekuensi Persentase


(%)
Laki-Laki 18 22
Perempuan 64 78
Jumlah 82 100
Sumber: Data Sekunder, 2017

Tabel 5 menunjukan bahwa responden penelitian pasien hipertiroid


disebabkan Grave’s disease sebagian besar adalah berjenis kelamin perempuan
dengan frekuensi 64 responden (78%) dari total 82 responden, sedangkan frekuensi
responden berjenis kelamin laki-laki adalah 18 (22%).

IV.3.2 Analisis Univariat


IV.3.2.1 Proporsi Normalisasi Kadar Hormon Tiroid Pasien Hipertiroid yang
disebakan Grave’s disease dengan Penggunaan Obat Antitiroid
Tiamazol Selama Tiga Bulan di RSUD Cengkareng Periode Januari -
Desember 2017
Proporsi normalisasi kadar hormon tiroid pasien hipertiroid yang disebabkan
grave’s disease dengan penggunaan obat antitiroid tiamazol dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6 Proporsi Normalisasi Kadar Hormon Tiroid Pasien Hipertiroid


yang disebakan Grave’s disease dengan Penggunaan Obat
Antitiroid Tiamazol Selama Tiga Bulan di RSUD Cengkareng
Periode Januari -Desember 2017

Obat Kadar Hormon Tiroid Jumlah


Antitiroid (fT4 dan TSH)
Normal Tidak Normal
Frekuensi Persentase
Tiamazol Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase

27 65.9% 14 34.1% 41 100%

Sumber: Data Sekunder, 2017


47

Tabel 6 menunjukan bahwa responden penelitian pasien hipertiroid yang


disebabkan grave’s disease dengan terapi obat antitiroid tiamazol pada tiga bulan
pertama, terdapat 27 responden yang mencapai normalisasi kadar homron tiroid atau
mencapai kondisi eutiroid, sedangkan 14 responden lainya tidak mencapai kondisi
eutiroid.

IV.3.2.1.1 Proporsi Normalisasi Kadar Hormon Tiroid Pasien Hipertiroid yang


disebakan Grave’s disease dengan Penggunaan Obat Antitiroid
Tiamazol Selama Tiga Bulan Berdasarkan Jenis Kelamin di RSUD
Cengkareng Periode Januari - Desember 2017
Proporsi normalisasi kadar hormon tiroid pasien hipertiroid yang disebabkan
grave’s disease dengan penggunaan obat antitiroid tiamazol berdasarkan jenis
kelamin dapat dilihat pada tabel 7.

Tabel 7 Proporsi Normalisasi Kadar Hormon Tiroid Pasien Hipertiroid


yang disebakan Grave’s disease dengan Penggunaan Obat
Antitiroid Tiamazol Selama Tiga Bulan Berdasarkan Jenis
Kelamin di RSUD Cengkareng Periode Januari -Desember 2017

Kadar Hormon Tiroid


Jenis Jumlah
Kelamin Normal Tidak Normal

Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase

Laki-Laki 6 55% 5 45% 11 100%

Perempuan 21 70% 9 30% 30 100%

Sumber: Data Sekunder, 2017

Sampel penelitian pasien hipertiroid Grave’s disease dengan terapi tiamazol


terdiri dari 41 responden, 30 responden adalah perempuan dan 11 responden lainya
adalah laki-laki. Setelah pengobatan selama tiga bulan dengan obat tiamazol sampel
dengan jenis kelamin perempuan 21 diantaranya berhasil mencapai normalisasi kadar
48

hormon tiroid dengan persentase sebesar 70% dan sampel dengan jenis kelamin laki-
laki 6 diantaranya berhasil mencapai normalisasi kadar hormon tiroid dengan
persentase sebesar 55.5%.

IV.3.2.2 Proporsi Normalisasi Kadar Hormon Tiroid Pasien Hipertiroid yang


disebakan Grave’s disease dengan Penggunaan Obat Antitiroid
Propiltiourasol Selama Tiga Bulan di RSUD Cengkareng Periode
Januari - Desember 2017
Proporsi normalisasi kadar hormon tiroid pasien hipertiroid yang disebabkan
grave’s disease dengan penggunaan obat antitiroid propiltiourasil dapat dilihat pada
tabel 8.

Tabel 8 Proporsi Normalisasi Kadar Hormon Tiroid Pasien Hipertiroid


yang disebakan Grave’s disease dengan Penggunaan Obat
Antitiroid Propiltiourasil Selama Tiga Bulan di RSUD
Cengkareng Periode Januari – Desember 2017

Obat Kadar Hormon Tiroid Jumlah


Antitiroid (fT4 dan TSH)
Normal Tidak Normal
Frekuensi Persentase
Propiltiourasil Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase

37 90.2% 4 9.8% 41 100%

Sumber: Data Sekunder, 2017

Tabel 8 menunjukan bahwa responden penelitian pasien hipertiroid yang


disebabkan grave’s disease dengan terapi obat antitiroid propiltiourasil pada tiga
bulan pertama, terdapat 37 responden yang mencapai normalisasi kadar homron tiroid
atau mencapai kondisi eutiroid, sedangkan 4 responden lainya tidak mencapai kondisi
eutiroid.
49

IV.3.2.2.1 Proporsi Normalisasi Kadar Hormon Tiroid Pasien Hipertiroid yang


disebakan Grave’s disease dengan Penggunaan Obat Antitiroid
Propiltiourasil Selama Tiga Bulan Berdasarkan Jenis Kelamin di
RSUD Cengkareng Periode Januari - Desember 2017
Proporsi normalisasi kadar hormon tiroid pasien hipertiroid yang disebabkan
grave’s disease dengan penggunaan obat antitiroid tiamazol berdasarkan jenis
kelamin dapat dilihat pada tabel 9.

Tabel 9 Proporsi Normalisasi Kadar Hormon Tiroid Pasien Hipertiroid


yang disebakan Grave’s disease dengan Penggunaan Obat
Antitiroid Propiltiourasil Selama Tiga Bulan Berdasarkan Jenis
Kelamin di RSUD Cengkareng Periode Januari – Desember 2017

Kadar Hormon Tiroid


Jenis Jumlah
Kelamin Normal Tidak Normal

Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase

Laki-Laki 5 83.4% 1 16.6% 6 100%

Perempuan 32 91.3% 3 8.7% 35 100%

Sumber: Data Sekunder, 2017

Sampel penelitian pasien hipertiroid Grave’s disease dengan terapi


propiltiourasil terdiri dari 41 responden, 35 responden adalah perempuan dan 6
responden lainya adalah laki-laki. Setelah pengobatan selama tiga bulan dengan obat
propiltiourasil sampel dengan jenis kelamin perempuan 32 diantaranya berhasil
mencapai normalisasi kadar hormon tiroid dengan persentase sebesar 91.3% dan
sampel dengan jenis kelamin laki-laki 5 diantaranya berhasil mencapai normalisasi
kadar hormon tiroid dengan persentase sebesar 83.4%
50

IV.3.3 Analisis Bivariat


Analisis bivariat dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui
perbandingan efektivitas obat antitiroid antara tiamazol dengan propiltiourasil
terhadap pasien hipertiroid yang disebabkan grave’s disease di RSUD Cengkareng
periode januari 2017-desember 2017. Analisis dilakukan dengan menggunakan uji
chi-square, uji ini dipilih berdasarkan penggolongan data kategorik.
IV.3.3.1 Perbandingan Efektivitas Obat Antitiroid antara Tiamazol dengan
Propiltiourasil terhadap Pasien Hipertiroid yang disebabkan Grave’s
disease
Berdasarkan hasil analisis data dengan menggunakan uji statistik chi-square,
hasil penelitian dapat dilihat pada tabel 10.

Tabel 10 Perbandingan Efektivitas Obat Antitiroid antara Tiamazol


dengan Propiltiourasil terhadap Pasien Hipertiroid yang
disebabkan Grave’s disease di RSUD Cengkareng Periode
Januari - Desember 2017

Jenis Obat Kadar Hormon Tiroid Persentase Pearson Continuity


(FT4 dan TSH) Normalisasi Chi-Square Correction
Normal Tidak Normal kadar Hormon Value Value
Tiroid
(%)
Tiamazol 27 14 65.9

Propiltiourasil 37 4 90,2
0.008 0.016
Jumlah 66 16

Sumber: Data Sekunder, 2017

Penelitian ini mempunyai sampel sebesar 82 responden yang dibagi sama rata
menjadi dua kelompok yaitu kelompok pasien hipertiroid yang disebabkan grave’
disease dengan terapi tiamazol dan kelompok pasien hipertiroid yang disebabkan
51

grave’s disease dengan terapi propiltiourasil, dengan masing-masing kelompok


terdiri atas 41 responden.
Berdasarkan tabel 10 pada kelompok pertama yaitu pasien hipertiroid yang
disebabkan grave’s disease dengan terapi tiamazol selama tiga bulan pertama, 27
responden mencapai keadaan eutiroid sedangkan 14 responden lainya tidak mencapai
keadaan eutiroid dalam tiga bulan pertama, pada kelompok kedua yaitu pasien
hipertiroid yang disebabkan grave’s disease dengan terapi propiltiourasil selama tiga
bulan pertama, 37 responden mencapai keadaan eutiroid dan 4 responden lainya tidak
mencapai keadaan eutiroid. Tabel 10 juga menunjukan persentase normalisasi kadar
homron tiroid pada kedua kelompok sampel yaitu pada kelompok pertama
normalisasi persentase normalisasi kadar hormon tiroid sebesar 60.9% sedangkan
pada kelompok kedua persentase normalisasi kadar hormon tiroid adalah sebesar
90.2%.
Analisis Bivariat yang digunakan untuk mengetahui perbandingan efektivitas
obat antitiroid antara tiamazol dengan propiltiourasil terhadap pasien hipertiroid yang
disebabkan grave’s disease adalah uji statistik chi-square. Pengolahan data
menggunakan uji statistik chi-square diperoleh p-value pada pearson chi-square
dengan nilai 0.008 (p<0.005) dan p-value pada continuity correlation dengan nilai
0.016 (p<0.005). Hal ini menyatakan bahwa terdapat perbedaan efektivitas obat
antitiroid antara tiamazol dengan propiltiourasil terhadap pasien hipertiroid yang
disebabkan grave’s disease di RSUD Cengkareng periode Januari - Desember 2017.

IV.4 Pembahasan Hasil Penelitian


IV.4.1 Pembahasan Karakteristik Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSUD Cengkareng pada bulan
Febuari 2018 dengan sampel penelitian yaitu pasien hipertiroid yang disebabkan
grave’s disease dengan terapi antitiroid tunggal tiamazol atau propiltiourasil yang
berjumlah 82 sampel, menunjukan bahwa 64 sampel (78%) berjenis kelamin
perempuan dan 18 sampel (22%) berjenis kelamin laki-laki. Data hasil penelitian
sesuai sejalan dengan beberapa literatur yaitu, Bartalena (2015) menyatakan wanita
52

mempunyai resiko yang lebih tinggi dalam penyakit Grvae’s disease dibandingkan
laki-laki, Indonesian society of Endocrinology task force on thyroid (2012)
menyatakan perbandingan rasio kejadian Grave’s disease antara perempuan dan laki-
laki adalah 8:1, Gardner dan Shoback (2017) menyatakan kejadian Grave’s disease
antara perempuan dan laki-laki adalah sekitar 5:1 serta Heuck et al (2000)
menyatakan perbandingan rasio antara perempuan dan laki-laki adalah sebesar 10:1.
Perempuan memiliki potensi yang lebih besar untuk menderita Grave’s
disease dibandingkan laki-laki, hal ini disebabkan adanya hipereaktivitas kelenjar
tiroid yang lebih besar dibandingkan laki-laki. Hipereaktivitas dapat terjadi akibat
wanita memiliki tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Secara teori
stres menyebabkan korteks adrenal aktif dan melepas kortisol dalan jumlah besar,
keadaan ini dapat menyebabkan gangguan sistem imun tubuh dan menimbulkan
adanya autoimunitas (De Groot, 2015).
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil kelompok usia 26-35 tahun
merupakan kelompok responden terbanyak sedangkan kelompok usia <26 tahun
merupakan kelompok dengan responden penelitian yang paling sedikit. Hasil
penelitian ini sesuai dengan teori yang terdapat pada Gardner dan Shoback (2017)
bahwa kejadian hipertiroid tinggi pada kelompok usia 20-40 tahun karena kelompok
usia tersebut merupakan kelompok usia produktif yang mempunyai tingkat stres yang
tinggi. De Groot (2015) menyatakan stress adalah salah satu faktor resiko penyakit
hipertiroid Grave’s Disease karena stress dapat meningkatkan sistem saraf simpatis
yang akan memodulasi sekresi hormon tiroid. Stres juga dapat meningkatkan sekresi
kortisol, hiperkortisol dapat menyebabkan gangguan pada sistem imun tubuh
sehingga mempunyai kecenderungan terjadinya autoimun.
Terdapat perbedaan hasil penelitian dengan Indonesian society of
Endocrinology task force on thyroid (2012) yang menyatakan kejadian Grave’s
disease sering terjadi pada usia dekade ketiga hingga keempat dan dengan Bartalena
(2013) yang menyatakan bahwa kejadian hipertiroid tinggi pada kelompok usia 40-60
tahun. Perbedaan hasil distribusi kelompok usia dapat disebabkan karena perbedaan
kriteria sampel penelitian dan faktor-faktor resiko lainya yang tidak diteliti khusunya
53

faktor genetik yang merupakan faktor resiko utama terjadinya hipertiroid Grave’s
disease.
IV.4.2 Pembahasan Hasil Analisis Univariat
Efektivitas obat antitiroid antara tiamazol dengan propiltiourasil terhadap
pasien hipertiroid yang disebabkan grave’s disease dilihat dari kadar fT4 dan TSH
sebelum pengobatan dan tiga bulan setelah pengobatan, karena menurut Bartalena
(2013) efek terapi obat antitiroid mulai terihat pada minggu ke 4-12 pengobatan dan
hasil pengobatan yang optimal terlihat pada minggu ke-12. Sampel pada penelitian ini
terdiri dari 82 responden dan dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok pertama
responden yang mendapat terapi tiamazol dan kelompok kedua responden yang
mendapat terapi propiltiourasil, masing-masing kelompok sampel terdiri dari 41
responden. Kelompok pertama 27 responden mencapai keadaan eutiroid dan 14
responden lainya gagal dalam mencapai kedaan eutiroid. Kelompok kedua 37
responden mencapai keadaan eutiroid dan 4 responden lainya gagal dalam mencapai
keadaan eutiroid.
Hasil tersebut menunjukan bahwa responden pada kelompok kedua yang
mendapatkan terapi propiltiourasil mempunyai frekuensi yang lebih tinggi dalam
normalisasi hormon tiroid dibandingkan pada kelompok pertama yang mendapatkan
terapi tiamazol. Hal ini didukung oleh teori farmakologi yang menyatakan bahwa
obat antitiroid golongan tiourasil mempunyai keunggulan mekanisme kerja dalam
terapi hipertiroid dibangkan obat antitiroid golongan tioimidazol (Syarif dkk. 2012;
Setiati dkk. 2014; Gardner & Shoback, 2017; Cooper, 2005).
Berdasarkan teori farmakologi obat antitiroid terdiri dua golongan yaitu
golongan tiourasil dengan obat propiltiourasil dan imidazol yang terdiri dari obat
tiamazol, metimazol, dan karbimazol. Kedua golongan tersebut mempunyai
mekanisme kerja yang sama dalam pengobatan hipertiroid yaitu berfungsi
menghambat inkorporasi iodin dengan residu tirosil dalam tiroglobulin dan juga
menghambat penggambungan residu iodotirosil dengan menghambat enzim
peroksidase sehingga oksidasi ion iodin dan gugus iodotirosil terganggu, namun obat
golongan tiourasil memiliki efek tambahan yaitu menghambat kerja enzim
54

5’deiodinase perifer sehingga mencegah konversi hormon T4 ke dalam bentuk


aktifnya T3, mekanisme kerja tersebut tidak dimiliki oleh obat golongan imidazol
(Syarif dkk. 2012; Setiati dkk. 2014; Gardner & Shoback, 2017; Cooper, 2005).

IV.4.3 Pembahasan Hasil Analisis Bivariat


Analisis bivariat dalam penelitian ini bertujuan untuk membandingkan
efektivitas obat antitiroid antara tiamazol dengan propiltiourasil terhadap pasien
hipertiroid yang disebabkan grave’s disease dalam tiga bulan pertama terapi dengan
menggunakan analisis statistik chi-square. Hasil analisis dengan menggunakan
analisis statistik chi-square mendapatkan hasil dari total 41 responden dengan terapi
obat antitiroid tiamazol 27 responden mencapai keadaan eutiroid dan 14 lainya gagal
dalam mencapai keadaan eutiroid, maka persentase responden yang berhasil
mencapai normalisasi kadar hormon tiroid dengan terapi tiamazol adalah sebesar
65.9%. Kelompok kedua yaitu 41 responden dengan terapi obat antitiroid
propiltiourasil 37 responden mencapai keadaan eutiroid dan 4 lainya gagal dalam
mencapai keadaan eutiroid dengan demikian persentase responden yang berhasil
mencapai normalisasi kadar hormon tiroid dengan terapi propiltiourasil adalah
sebesar 90.2%.
Analisis statistik chi-square memberikan nilai p-value pada pearson chi-
square sebesar 0.008 dan p-value pada continuity correction sebesar 0.016. kedua
nilai p-value lebih kecil dari 0.05 yang menyimpulkan bahwa hipotesis null gagal
diterima. Dengan kata lain terdapat perbedaan efektivitas antara kedua obat tersebut
yaitu propiltiourasil mempunyai tingkat efektifitas yang lebih tinggi dibandingkan
tiamazol dalam pengobatan hipertiroid yang disebabkan grave’s disease, hal tersebut
sesuai dengan teori farmakologi pada Setiati dkk (2014), syarif dkk (2012), Cooper
(2005) dan Gardner and Shoback (2017) yaitu obat golongan tiourasil mempunyai
satu mekanisme kerja tambahan yaitu menghambat enzim 5’deiodinase perifer yang
berfungsi untuk mengkonversi hormon T4 menjadi T3. Mekanisme tambahan ini
memungkinkan obat golongan tiourasil mempunyai efektivitas yang lebih baik dalam
pengobatan hipertiroid yang disebabkan Grave’s disease.
55

Hasil penelitian ini memberikan hasil bahwa obat antitiroid propiltiourasil


lebih efektif dibandingkan obat tiamazol terhadap pengobatan hipertiroid Grave’s
disease di RSUD Cengkareng periode 2017. Penelitian sebelumnya yang dilakukan
Hirotoshi (2007) dan Hirokazou (2011) membandingkan efektivitas obat metimazol
dengan propiltiourasil terhadap pasien hipertiroid Grave’s disease mempunyai hasil
metimazol lebih efektif dibandingkan propiltioursil. Berdasarkan hasil penelitian ini
dan penelitian sebelumnya obat metimazol dan tiamazol yang keduanya adalah obat
antitiroid golongan imidazol mempunyai tingkat efektivitas yang berbeda dalam
pengobatan hipertiroid Grave’s disease.
Perbedaan hasil efektivitas antara penelitian ini dan penelitian sebelumnya
antara kedua obat golongan imidazol yaitu tiamazol dan metimazol yang
dibandingkan dengan propiltiourasil dapat disebabkan karena adanya perbedaan
susunan senyawa kimia kedua obat yang mempengaruhi efektivitas obat dari aspek
farmakodinamik dan farmakokinetik. Keberagaman sampel dan perbedaan kriteria
sampel masing-masing penelitian juga dapat mempengaruhi efektivitas obat, namun
belum dapat disimpulkan bahwa tiamazol mempunyai tingkat efektivitas yang lebih
rendah dibandingkan dengan obat satu golonganya yaitu metimazol karena tidak
dilakukan penelitian yang secara langsung membandingkan efektivitas obat antara
tiamazol dan metimazol dengan kriteria sampel penelitian yang seragam.

IV.5 Keterbatasan Penelitian


Penelitian ini telah dilakukan dengan sesuai prosedur, namun terdapat
keterbatasan, diantaranya adalah:
a. Penelitian tidak menggunakan metode observasi secara prospektif sehingga
tidak diketahui kepatuhan pasien meminum obat antitiroid selama tiga bulan
pertama pengobatan.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

V.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa:
a. Obat antitiroid propiltiourasil lebih efektif dibandingkan tiamazol dalam
pengobatan hipertiroid yang disebabkan Grave’s disease di RSUD
Cengkareng periode Januari – Desember 2017.
b. Proporsi kelompok sampel dengan terapi tiamazol di RSUD Cengkareng
periode Januari – Desember 2017 yang berhasil mencapai normalisasi kadar
hormon tiroid pada tiga bulan pertama pengobatan adalah 60.9%.
c. Proporsi kelompok sampel dengan terapi tiamazol di RSUD Cengkareng
periode Januari – Desember 2017 yang berhasil mencapai normalisasi kadar
hormon tiroid pada tiga bulan pertama pengobatan adalah 90.2%.

V.2 Saran
V.2.1 Bagi Instansi Terkait
a. Memberikan refrensi untuk penatalaksanaan hipertiroid yang disebabkan
grave’s disease berdasarkan hasil penelitan yang dilakukan di RSUD
Cengkareng periode Januari - Desember 2017.
V.2.2 Bagi Peneliti Selanjutnya
a. Penelitian ini dapat dikembangkan menjadi penelitian lanjutan menggunakan
metode lain khususnya metode yang bersifat prospektif dengan
mengobservasi pasien setiap harinya.
b. Menyarankan penelitian selanjutnya untuk meneliti efektivitas obat antitiroid
lainya yang belum diteliti.

56
DAFTAR PUSTAKA

Bahn, RS, Burch, HB, Cooper, DS, Garber, JR, Greenlee, MC, Klein, I, Lauberg,
P, McDougall, R, Montori, VM, Rivkees, SA, Ross, DS, Sosa, JA, Stan,
MN 2011, ‘Hiperthyroidism and other causes of thyrotoxicosis:
Management guidelines of the American Thyroid Association and
American Association of Clinical Endocrinologists’, American Thyroid
Association, Vol. 17, Diakses tanggal 17 Agustus 2017
https://www.aace.com/files/hyper-guidelines-2011.pdf

Balitbang Kemenkes RI 2013, Riset Kesehatan Dasar, Diakses tanggal 12


Agustus 2017
http://www.litbang.kemkes.go.id/page/8/?s=penyakit+tidak+menular&et_
pb_searchform_submit=et_search_proccess&et_pb_include_posts=yes&et
_pb_include_pages=yes

Bartalena, L 2013, ‘Diagnosis and Management of Grave’s disease: a global


overview’, Nature Riview Endocrinology, Vol.9, Diakses tanggal 15
Agustus 2017
https://www.nature.com/nrendo/journal/v9/n12/full/nrendo.2013.193.html

Cooper, DS 2005,’Antithyroid Drugs’, The New England Journal Medicine, Vol.9,


Diakses tanggal 17 Agustus 2017
http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMra042972

Dahlan, MS 2012, Langkah-Langkah Membuat Proposal Penelitian Bidang


Kedokteran dan Kesehatan, Edisi 3, Sagung Seto, Jakarta

DeGroot, LJ 2015, ‘Grave’s Disease and The Manifestation of Thyrotoxicosis’,


Endocrine Riview, Diakses tanggal 17 Agustus 2017
http://www.thyroidmanager.org/wp-content/uploads/chapters/graves-
disease-and-the-manifestations-of-thyrotoxicosis.pdf

Flay, BR, Biglan, A, Boruch, RF, Castro, FG, Gottfredson, D, Kellam, S,


Moscicki, EK, Schinke, S, Valentine, JC, Ji, P 2005, ‘Standard of
Evidence: Criteria for Efficay, Effectiveness and Dissemination’,
Prevention Science Journal, Vol.5, Diakses tanggal 20 Januari 2018
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16365954

Gardner, DG dan Shoback, D 2017, Greenspan’s Basic and Clinical


Endocrinology, Edisi 10, McGraw Hill, New York

Ginsberg, J 2003, ‘Diagnosis and Management of Grave’s Disease’, Canadian


Medical Association, Vol.5, diakses tanggal 15 Agustus 2017
http://www.cmaj.ca/content/168/5/575.full.pdf

57
58

Heuck, CC, Kallner, A, Kanagasabapathy, AS, Riesen, W 2000, ‘Diagnosis and


Monitoring of Disease of the Thyroid’, World Health Organization,
Diakses tanggal 15 Agustus 2017
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/66342/1/WHO_DIL_00.4_eng.pdf

Hirokazou, S, Masanori, M, Nozomu, S, Shigetaka, S, Itsuro, K, Kanashi, M,


Kunio, W, Susumu, K, Hiroaki, I, Kazunori, S, Yoichi, K 2011,
‘Comparison of Methimazole and Propyltiourasil in the Management of
Children and Adolescents with Grave’s Disease: Efficacy and Adverse
Reaction during Initial Treatment and Long-Term Outcome’, Journal
Pediatric Endocrinology and Metabolism 24(5-6): 257-263, Diakses
tanggal 5 April 2017
https://www.researchgate.net/publication/51553946_Comparison_of_meth
imazole_and_propylthiouracil_in_the_management_of_children_and_adol
escents_with_Graves'_disease_Efficacy_and_adverse_reactions_during_in
itial_treatment_and_long-term_outcome

Hirotoshi, N, Jaeduk, YN, Koichi, I, Shuji, F, Akira, M, Noboru, H 2007,


‘Comparison of Methimazole and Propyltiourasil in Patient
Hyperthyroidism Caused by Grave’s Disease’, The Journal of
Endocrinology and Metabolism, Vol. 92, Diakses tanggal 5 April 2017
http://academic.oup.com.secure.sci-hub.bz/jcem/article-
lookup/doi/10.1210/jc.2006-2135

Indonesian Society of Endocrinology Task Force on Thyroid 2012, ‘Indonesian


Clinical Practice Guidelines for Hyperthyroidism’, Journal of the ASEAN
Federation of Endocrine Society, Vol.27, Diakses tanggal 14 April 2017
http://asean-endocrinejournal.org/index.php/JAFES/article/view/10/16

Karasek, M dan Lewinski, A 2003, ‘Etiopathogenesis of Grave’s Disease’,


Neuroendocrinology Letters, Vol. 27, diakses tanggal 15 Agustus 2017
http://www.nel.edu/pdf_w/24_34/NEL243403R03_Karasek_Lewinski_wr.
pdf

Kausar, R dan Sahid, RU 2006,’Gross and Microscopic Anatomy of Thyroid


Gland of One Humped Campel (Camelus Dromedarius)’, Pakistan
Veterinary Journal, Vol. 26, Diakses tanggal 25 September 2017
http://www.pvj.com.pk/pdf-files/26_2/88-90.pdf

Kementrian Kesehatan, Pemerintah RI 2016, Formularium Nasional, Diakses


tanggal 24 Oktober 2017
http://farmalkes.kemkes.go.id/?wpdmact=process&did=NDg1LmhvdGxpb
ms

Kementrian Kesehatan, Pemerintah RI 2013, Pedoman Penerapan Kajian


Farmakoekonomi, Diakses tanggal 5 April 2017
http://farmalkes.kemkes.go.id/?wpdmact=process&did=MzQuaG90bGlua
w
59

Komisi Farmakope Eropa 2005, European Pharmacopoeia 5.0, Dewan Eropa,


Uppsala

Lubis, RR 2009, Grave’s Opthalmopathy, Disertasi, Fakultas Kedokteran


Departemen Ilmu Kesehatan Mata, Universitas Sumatra Utara, Diakses
tanggal 15 Agustus 2017
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/3436/09E01858.pd
f;jsessionid=210F56A0546B24BFEF7037D6E07A017F?sequence=1

Notoatmojo, S 2012, Metodologi Penelitian Kesehatan, Edisi Kedua, Rineka


Cipta, Jakarta

Paulsen, F dan Waschke, J 2011, Sobotta Atlas of Human Anatomy, Edisi 15, jilid
3, Elsevier, Munchen

Paunkovic, N dan Paunkovic, J 2007, ‘The Diagnosis Criteria of Grave’s Disease


and Especially the Thyrothropin Receptor Antibody; Our Own
Experience’, Hellenic Journal of Nuclear Medicine, Vol.10, Diakses
tanggal 15 agustus 2017 http://www.nuclmed.gr/wp/wp-
content/uploads/2007/05/19.pdf

Rajput, R dan Goel, V 2013, ‘Indefinite Antithyroid Drug Therapy in Toxic


Grave’s Disease: What are The Cons’, Indian Journal of Endocrinology
and Metabolism, Diakses tanggal 23 Januari 2018
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3830376/

RSUD Cengkareng 2018, Diakses tanggal 27 Febuari 2018


http://www.rsudcengkareng.com/

Sari, MI 2007, Hormon Tiroid, Skripsi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatra


Utara, Diakses tanggal 17 Maret 2017
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/1926/09E01868.pd
f?sequence=1

Sastroasmoro, S dan Ismael, S 2010, Dasar-Dasar Metode Penelitian Klinis. Edisi


3, Sagung Seto, Jakarta

Setiati, S, Alwi, I, Sudoyo, AW, Simadibrata, M, Setiyohadi, B, Syam, AF 2014.


Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi 6, Jilid 3, Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Sherwood, L 2014, Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, Edisi 8, EGC, Jakarta
60

Supadmi, S, Emilia, O, Kusnanto, H 2007, ‘Hubungan Hipertiroid dengann


Aktivitas Kerja pada Wanita Usia Subur’, Balai Kedokteran Masyarakat,
Vol.3, Diakses tanggal 14 April 2017
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=146751&val=5017&t
itle=Hubungan%20%20Hipertiroid%20dengan%20Aktivitas%20Kerja%2
0pada%20Wanita%20Usia%20Subur

Syarif, A, Estuningtyas, A, Setiawati, A, Muchtar, A, Arif, A, Bahry, B, Suyatna,


FD, Dewoto, HR, Utama, H, Darmansjah, I, Wiria, MSS 2012,
Farmakologi dan Terapi, Edisi 5, Halaman: 433-445 Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta
RIWAYAT HIDUP

Nama : Edwinantha Rama Budiharko


Tempat /Tanggal Lahir: Jakarta, 26 September 1997
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Kemayoran Gempol no. 20, Jakarta Pusat
No.Telp : 081280769303
Email : Edwinramaaa@yahoo.com
Nama orang tua/Wali
Ayah : Tjejep Agus
Ibu : Chandra Widjajanti

Riwayat Pendidikan :
1. 2000 - 2002 : TK Tamansiswa
2. 2002 - 2008 : SDS Tamansiswa
3. 2008 - 2011 : SMPN 1 Jakarta
4. 2011 - 2014 : SMAN 54 Jakarta
5. 2014 - sekarang : Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan
Nasional “Vetaran” Jakarta
Lampiran 1
Surat Persetujuan Proposal Penelitian
Lampiran 2
Surat Permohonan Izin Penelitian
Lampiran 3
Surat Izin Pengambilan Data RSUD Cengkareng
Lampiran 4
Surat Pesetujuan Komisi Etik
Lampiran 5
Hasil Output SPSS

Data Output Karakteristik Penelitian


usia

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid <26 6 7,3 7,3 7,3

26-35 27 32,9 32,9 40,2

36-45 16 19,5 19,5 59,8

46-55 18 22,0 22,0 81,7

>55 15 18,3 18,3 100,0

Total 82 100,0 100,0

jenis_kelamin

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid lakilaki 18 22,0 22,0 22,0

perempuan 64 78,0 78,0 100,0

Total 82 100,0 100,0


Data Output Analisis Univariat dan Bivariat

Statistics

obat_antitiroid kesembuhan usia jenis_kelamin

N Valid 82 82 82 82

Missing 0 0 0 0

obat_antitiroid

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid 1 41 50,0 50,0 50,0

2 41 50,0 50,0 100,0

Total 82 100,0 100,0


kesembuhan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid sembuh 66 80,5 80,5 80,5

tdk_sembuh 16 19,5 19,5 100,0

Total 82 100,0 100,0


obat_antitiroid * kesembuhan Crosstabulation

kesembuhan

sembuh tdk_sembuh Total

obat_antitiroid 1 Count 27 14 41

Expected Count 32,0 9,0 41,0

% within obat_antitiroid 65,9% 34,1% 100,0%

2 Count 37 4 41

Expected Count 32,0 9,0 41,0

% within obat_antitiroid 90,2% 9,8% 100,0%


Total Count 64 18 82

Expected Count 64,0 18,0 82,0

% within obat_antitiroid 78,0% 22,0% 100,0%


Chi-Square Tests

Asymptotic
Significance (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 7,118a 1 ,008


Continuity Correctionb 5,766 1 ,016
Likelihood Ratio 7,453 1 ,006
Fisher's Exact Test ,015 ,007
N of Valid Cases 82

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9.00.
b. Computed only for a 2x2 table

Anda mungkin juga menyukai