Anda di halaman 1dari 12

p-ISSN: 2550-0058

e-ISSN: 2615-1642

Indra Rukmana, Arhamuddin Ali

MUSIK KERONCONG SEBAGAI MEDIA PENANAMAN SIKAP ANTI KORUPSI


(Studi Kasus Pada Festival Musik Keroncong “Jangan Korupsi” di Bogor)

Indra Rukmana1, Arhamuddin Ali2


Dosen Universitas Universal Batam1, Dosen Politeknik SOCA2
email: Indra.tatakelolaseni@gmail.com1, arhamuddinali@gmail.com2

Abstrak
Kasus korupsi di Indonesia sudah membudaya. Segala lini kehidupan baik itu keagamaan,
pendidikan, kebudayaan dll, sudah terjangkit korupsi. Berbagai kasus korupsi sudah banyak terjadi,
seperti korupsi pembuatan patung anti korupsi di Pekanbaru, penyiraman air keras terhadap
penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi KPK, kasus Setya Novanto dan masih banyak lagi.
Kondisi tersebut menyebabkan banyaknya lahir gerakan untuk melawan budaya korupsi. Salah satu
gerakan tersebut dilakukan dalam bidang musik. Seperti yang dilakukan Sekolah Pilar di Bogor, ada
satu kegiatan festival musik keroncong dengan melombakan lagu-lagu keroncong yang bertema
“Jangan Korupsi”. Maka dari itu, peneltian ini akan mencari dua hal, yaitu alasan memilih musik
keroncong sebagai media penanaman sikap anti korupsi, serta mengetahui cara musik keroncong
dijadikan media penanaman sikap anti korupsi. Studi kasus ini akan mengumpulkan data kualitatif
dari hasil pengamatan, wawancara, analisis dokumen. Data akan dianalisis menggunakan teknik
trianggulasi dan di dialogkan dengan konsep musik dan gerakan politik dari Cogan dan Kelso

Kata kunci : Musik; Keroncong; Anti Korupsi

A. Pendahuluan
Korupsi di Indonesia telah menjadi masalah besar. Hampir di setiap lini kehidupan telah
menjadi lahan praktek korupsi, misalnya pemerintahan, lembaga keagamaan, kebudayaan,
pendidikan dan lainnya. Berbagai macam masalah tersebut menunjukkan bahwa korupsi di
Indonesia sudah masuk pada tataran akut. Sudah banyak contoh kasus korupsi yang dapat
disimak di berbagai media. Surat kabar BBC Indonesia misalnya, menginformasikan bahwa
sebuah tugu yang dibangun pada saat hari perayaan anti korupsi 2016 lalu di Riau, justru
dikorupsi oleh belasan oknum PNS setempat (www.BBC.com,12/11/17). Selain kasus tugu
tersebut, baru-baru ini juga masyarakat Indonesia dihebohkan dengan sebuah kasus penyiraman
air keras kepada salah satu anggota tim penyidik KPK. Kasus tersebut marak dibahas di
berbagai tayangan stasiun televisi swasta maupun negeri, bahkan menjadi perdebatan panas
berkepanjangan di media sosial semacam Facebook dan Tweter. Begitu juga dengan drama
Setya Novanto, Ketua DPR RI yang saat ini harus menjalani hukuman penjara karena terlibat
kasus korupsi (Nasional.kompas.com:2018).

10 | Jurnal Warna Vol. 3, No. 2, Desember (2019)


p-ISSN: 2550-0058
e-ISSN: 2615-1642

Indra Rukmana, Arhamuddin Ali

Dalam bidang kesenian, telah banyak aksi yang dilakukan melawan budaya korupsi di
Indonesia. Salah satu media seni yang digunakan adalah musik. Banyak karya musik diciptakan
untuk menyuarakan anti korupsi. Pada sisi ini, lembaga pemerintah pun tidak ketinggalan
dengan menggelar acara semisal festival musik karya musik yang bertema anti korupsi. Seperti
yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), salah satu upaya yang dilakukan
yaitu melalui gelaran Festival anti korupsi. KPK mengadakan Festival Lagu Suara Anti
Korupsi. Festival ini sudah dua kali dilaksanakan oleh KPK, yaitu pada 2016 dan 2017. Saat
ini, KPK kembali menggelar festival tersebut untuk ketiga kalinya. Dari perhelatannya selama
ini, sudah ada dua album musik kompilasi lagu yang bertema anti korupsi yang dihasilkan
(Berita KPK: 2018).
Hampir sama dengan KPK, Sekolah Pilar di Bogor juga mengadakan festival anti
korupsi. Festival ini merupakan ajang yang melombakan musik keroncong dan mengangkat
tema “Jangan Korupsi”. Ajang lomba ini diharapkan dapat menyuarakan pesan anti korupsi
kepada masyarakat, khususnya pecinta musik keroncong. Selain itu, kegiatan ini juga dapat
menjadi media untuk menanamkan sikap anti korupsi kepada generasi muda di Indonesia
(www.sekola-pilar-indonesia.sch.id:2017). Penelitian ini akan membahas salah satu festival
musik anti korupsi, yaitu yang diadakan oleh Sekolah Pilar di Bogor. Festival ini dipilih karena
melibatkan siswa dari berbagai daerah di Indonesia sebagai peserta. Para peserta ini diwajibkan
menciptakan lagu bertema “Jangan Korupsi” dan memainkannya dengan gaya musik
keroncong.

B. Metode
Penelitian ini menggunakan metode Studi Kasus. Pemilihan metode ini berdasar pada
kondisi data yang akan dikumpulkan berisfat data kualitatif, yaitu pemaparan dari berbagai
narasumber dan data-data dari berbagai dokumen baik bersifat audio, visual ataupun audio
visual.

C. Teknik Pengumpulan Data


Ada beberapa teknik yang digunakan dalam mengumpulak data pada peneltian ini,
antara lain:

11 | Jurnal Warna Vol. 3, No. 2, Desember (2019)


p-ISSN: 2550-0058
e-ISSN: 2615-1642

Indra Rukmana, Arhamuddin Ali

1. Observasi
Observasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengamatan terhadap berbagai hal
terkait dengan Festival Musik Keroncong “Jangan Korupsi”. Beberapa hal yang dimaksud
adalah meliputi pemberitaan, publikasi, dan dokumentasi kegiatan.
2. Wawancara
Wawancara dilakukan dengan teknik wawancara medalam kepada berbagai narasumber
yang mengetahui persis tentang Festival Musik Keroncong “Jangan Korupsi”. Narasumber
tersebut dapat dikategorikan dalam beberapa aspek, yaitu pelaksana, peserta, pelatih, dewan
juri dan sponsor kegiatan.
3. Analisis Dokumen
Selain observasi dan wawancara, pengumpulan data juga dilakukan dengan memanfaatkan
dokumen-dokumen baik sifatnya tertulis, rekaman audio, rekaman video dan foto. Data yang
bersumber dari dokumen tersebut nantinya akan memperkaya informasi penelitian ini.

D. Analisis Data
Mengingat data penelitian ini bersifat kualitatif, analisis data akan dilakukan dengan
menggunakan teknik trianggulasi. Data-data dari observasi, wawancara dan analisis
dokumen akan saling dikaitkan dengan tujuan mengobjektifkan data. Selanjutnya, data-data
itu nantinya akan didialogkan dengan konsep musik sebagai gerakan politik seperti yang
telah dijelaskan pada tinjauan pustaka.

E. Hasil Penelitian
1. Musik Keroncong dan Generasi Muda
Upaya melestarikan kesenian tradisional, terkhusus terhadap musik keroncong kerap
dilakukan di Indonesia. Telah banyak cara dilakukan oleh pihak terkait, seperti pemerintah,
komunitas, individu-individu figur di masyarakat dan lainnya. Segala bentuk kegiatan
mereka dapat kita jumpai di beberapa tempat, begitu juga di dalam dunia internet seperti
saat ini.
Salah satu upaya pelestraian musik keroncong dilakukan dalam ruang lingkup
pendidikan. Pendidikan dengan pilarnya yaitu sekolah baik dari tingkatan dasar, menengah,
atas hingga perguruan tinggi dapat menjadi ruang eksistensi keberlangsungan musik
keroncong. Seperti di SPI (Sekolah Pilar Indonesia) yang terletak di Bogor, Jawa Barat.
12 | Jurnal Warna Vol. 3, No. 2, Desember (2019)
p-ISSN: 2550-0058
e-ISSN: 2615-1642

Indra Rukmana, Arhamuddin Ali

Mereka terlibat aktif melestarikan jenis musik yang dikembangkan dari musik bangsa
Portugis ini.
Cara SPI melestarikan musik keroncong yaitu dengan melibatkan langsung para
siswa terlibat dalam kegiatan-kegiatan musik tersebut. Siswa diarahkan untuk mengenal
keroncong dengan cara aktif mengikuti latihan pada kelompok musik keroncong yang
memang disiapkan oleh pihak sekolah. Dari situlah siswa bisa lebih memahami keroncong
sebagai salah satu pilar kebudayaan bangsa Indonesia. Selain aktif melibatkan siswa dalam
kegiatan bermusik keroncong, SPI juga mengadakan event musik keroncong skala nasional.
Mereka menamakan kegiatannya dengan FKMPI (Festival Keroncong Muda Pilar Inonesia)
(SPI, 2015). Festival musik keroncong tersebut dikelola langsung oleh para siswa, guru dan
staff SPI. Sejak 2015, kegiatan ini dilaksanakan atas kerjasama pihak SPI yang dimotori
oleh Windoto Aribowo yang bekerjasama dengan HAMKRI (Himpunan Artis Musik
Keroncong Indonesia) (Beritasatu.com, 2015). Pada ajang kegiatan inilah, SPI mengajak
komunitas keroncong anak muda untuk mengenal dan berpartisipasi menyuarakan
pelestarian musik keroncong di Indonesia (Poerwanto, 2015).
SPI termasuk salah satu komunitas pendidikan di Indonesia yang bergerak
melestarikan musik keroncong secara mandiri. Walaupun pada perhelatan pertama, Tedjo
Purjianto, Menkopolhukam membantu dalam menyediakan piala bergilir saat itu. Setelah
itu, pihak SPI dibantu oleh Menkopulhukam menghubungi Mendikbud, Anis Baswedan,
namun karena kesibukan kegiatan kementrian upaya itu tidak terlaksana. Sehingga, SPI
melaksanakan festival keroncong secara mandiri hingga saat ini (Wijaya, 2017).
Kemandirian SPI melaksanakan festival musik keroncong bagi anak muda tentunya
menjadi hal menarik. Pada tataran ini, penyelenggara pendidikan memang perlu memiliki
relasi dengan pihak-pihak lain, seperti sponsor, komunitas budaya atau seni dan segala
macam lainnya. Cara inilah yang dilakukan oleh SPI sehingga mampu melaksanakan
kegiatan musik keroncong tiap tahun sejak 2015 lalu.
Pemilihan tema keroncong muda oleh pihak penyelenggara merupakan upaya
membalikkan pandangan yang selama ini menganggap musik kroncong hanya sebagai milik
generasi tua saja. Latar belakang kondisi itulah yang menyebabkan adanya gerakan oleh
pihak SPI untuk berupaya mengenalkan musik keroncong kepada generasi muda, melalui
kegiatan latihan bermusik hingga melaksanakan event festival musik keroncong dengan
sekala nasional. Menurut Windoto, musik keroncong mengahadapi kondisi yang sudah
13 | Jurnal Warna Vol. 3, No. 2, Desember (2019)
p-ISSN: 2550-0058
e-ISSN: 2615-1642

Indra Rukmana, Arhamuddin Ali

hampir punah. Selain itu, para generasi muda juga terhitung telah banyak yang melupakan
jenis musik ini (Beritasatu.com, 2015).
Pada event festival muda keroncong, ditemukan juga sebuah upaya
menumbuhkembangkan sikap kebangsaan kepada generasi muda. Festival musik yang telah
berlangsung selama empat kali ini tiap tahunnya merujuk tema kebangsaan. Seperti pada
2015, SPI memilih tema “Potret Keroncong Muda”. Tema ini menandai awal kegiatan
tahunan yang mengedepankan pelibatan generasi muda dalam mengenal musik keroncong
sebagai akar budaya bangsa (Poerwanto, 2015).
Pada 2016, Festival Keroncong Muda dilaksanakan dengan pemilihan tema
“Katakan dengan Cinta: Ekspresikan Cintamu Pada Sesama, Alam Semesta, Bangsa dan
Negara” (Ibo, 2016). Dari pemilihan tema ini tersurat pesan bahwa anak muda yang terlibat
pada kegiatan festival keroncong tersebut dididik untuk mencintasi sesama manusia, alam
semesta dan tidak kalah pentingnya terhadap bangsa dan negara. Jadi, selain mencintai
musik keroncong sebagai kesenian warisan bangsa Indonesia, anak muda juga harus peka
terhadap kehidupan sosial, alam dan bangsa.
Pada tataran seperti dijelaskan di atas, SPI tidak hanya sebatas melestarikan musik
keroncong. Namun, mereka juga menjadikan musik keroncong sebagai media menanamkan
pesan-pesan moral bagi anak muda bangsa Indonesia. Upaya itu menarik karena mencoba
menanamkan kepekaan siswa dalam hal ini para peserta festival beserta dengan anggota
komunitas mereka terhadap hal-hal yang meluas, seperti kemanusiaan, alam dan negara.
Sehingga hal tersebut mempertegas bahwa musik keroncong patut untuk dijaga
perkembangannya karena memiliki aspek fungsi yang positif bagi generasi muda.
Berbeda pada gelaran festival pada 2015 dan 2016, penyelenggaraan festival
keroncong muda pada 2017 memilih tema yang lebih spesifik terhadap permasalahan yang
dihadapi bangsa Indonesia. Festival pada tahun tersebut bertemakan “Jangan Korupsi” (SPI,
2017). Korupsi dianggap sebagai sesuatu yang mengkhawatirkan bagi bangsa dan negara
Indonesia. Maka dari itu, musik keroncong digunakan sebagai media menanamkan sikap
anti korupsi kepada generasi muda (Wijaya, 2017).
2. Musik Keroncong, Generasi Muda dan Anti Korupsi
Penyelenggaraan festival keroncong dengan tema “Jangan Korupsi” oleh SPI
merupakan penyelenggaraan ketiga rangkaian festival keroncong muda sejak 2015 yang
lalu. Pada penyelenggaraannya ini, tema tentang korupsi dipilih SPI sebagai bentuk respon
14 | Jurnal Warna Vol. 3, No. 2, Desember (2019)
p-ISSN: 2550-0058
e-ISSN: 2615-1642

Indra Rukmana, Arhamuddin Ali

terhadap permasalahan budaya korupsi yang dihadapi bangsa Indonesia. Hal itu juga
merupakan bentuk komitmen SPI untuk melestarikan budaya Indonesia, yaitu musik
keroncong.
FKMPI ketiga ini diselenggarakan pada 9 September 2017, pukul 13.00-18.00 WIB.
Pagelaran musik keroncong tersebut dilaksanakan di SPI yang terletak di wilayah
Ciangsana, Gunung Putri, Bogor, Jawa Barat. Sedangkan, penyelenggaranya merupakan
gabungan dari siswa, guru dan staff SPI (SPI, 2017).
Para peserta FKMPI terdiri dari 13 kelompok musik yang terdiri dari remaja usia 15-
20 tahun. Ke-13 kelompok tersebut, antara lain Komunitas Keroncong Anak Jombang
(KKAJ), Orkes Keroncong (OK) Smaga-Joe SMAN 3 Jombang, OK Cressando SMPN 2
Jombang, OK Pelita Remaja Santa Angela Bandung, OK Harmoni Remaja Bandung, OK
Obahe Tangan Agawe Senenge Ati (OTASA), KIDS Madiun, OK SMA Pangdi Luhur
Jakarta, OK Enem Songo (D’Sixty Nine) Cilacap, OK Sekar Putri Adhitama SMPN 1
Limbangan Kendal, Komunitas Anak Kerontjong Asli Pacitan (KAKAP), Ok Marsudi
Luhurung Budoyu (Marlubu) RRI Malang, Regu Keroncong SMAN 2 JOmbang
(RECODA), dan OK Kromansa Joe SMAN 1 Jombang (Ibid.).
Catatan teknis pada festival musik ini menunjukkan bahwa masing-masing peserta
diwajibkan membawa lagu ciptaan dan lagu bertema anti korupsi dam kejujuran tetapi
diaransemen dalam bentuk musik keroncong. Musik ciptaan dibawakan dalam musik
keroncong asli, terdiri dari alat musik bass, cello, cak, cuk, biola dan flute. Sedangkan lagu
pilihan yaitu lagu-lagu populer dari jenis genre lain namun sesuai tema (Firmansyah, 2015).
Dari beberapa peserta, mereka rata-rata membawakan lagu populer seperti Para Koruptur
dari kelompok musik Slank dan Wakil Rakyat milik penyanyi legendaris Iwan Fals. Lagu-
lagu populer tersebut kemudian dibawakan dalam bentuk musik keroncong (Wijaya, 2017).
Dari tiga belas peserta lomba FKMPI yang ikut, lima kelompok di antaranya keluar
sebagai juara. Masing-masing dari lima kelompok tersebut, antara lain D’Sixty Nine meraih
juara I, OK Marlubu sebagai juara II, KKAJ berhasil mendapat juara III, OK Sekar Putri
Adhitama dengan juara harapan I, dan OTASA pada juara harapan II. Kelima peserta ini
dianggap terbaik oleh tiga dewan juri, yaitu Bens Leo, Koko Thole dan Didiek SSS (SPI,
2017).
Hubungan musik keroncong dan penanaman sikap anti korupsi menarik dibahas
lebih jauh dalam kegiatan ini. Pertanyaan-pertanyan seperti mengapa memilih musik
15 | Jurnal Warna Vol. 3, No. 2, Desember (2019)
p-ISSN: 2550-0058
e-ISSN: 2615-1642

Indra Rukmana, Arhamuddin Ali

keroncong dan bagaimana menggunakannya sebagai media penanaman sikap anti korupsi
perlu dicermati lebih dalam. Tentunya banyak pertimbangan dari pihak penyelenggara
sehingga memilih kaitan antara dua aspek tersebut.
Menurut Zahra, memilih musik keroncong sebagai media penanaman sikap anti
korupsi karena menganggap musik tersebut mudah diperdengarkan (Wijaya, 2017).
Tanggapan tersebut bisa dimaknai bahwa musik keroncong tergolong sebagai musik yang
sederhana ketika didengar. Kesederhanaan itu membuat pendengar mudah mencerna pesan-
pesan syair yang dimuat dalam setiap lagu.
Di samping hal di atas, Zahra juga menyatakan bahwa musik sudah akrab di tengah
aktivitas anak-anak saat ini. Anak-anak dipastikan mendengarkan musik setiap harinya.
Berdasarkan pertimbangan itulah, musik keroncong untuk generasi muda ini digunakan
untuk menyampaikan pesan-pesan anti korupsi (Ibid.). Apalagi, video masing-masing
peserta dapat diakses melalui media sosial saat ini.
Lagu-lagu keroncong dengan tema korupsi pada dasarnya dibawakan oleh para anak
berusia 15-20 tahun (Firmansyah, 2015). Menurut Iwan, anak-anak tersebut masing-masing
memiliki komunitas keroncong yang terhitung sudah lama aktif dalam kegiatan-kegiatan
kesenian. Melalui anak dan komunitasnya, pesan-pesan anti korupsi disampaikan melalui
lagu-lagu yang mereka ciptakan dan aransemen ulang dan diperdengarkan ketika lomba.
Dari sinilah, para penyelenggara mengharap anak-anak tersebut dapat mencerna pesan anti
korupsi dalam lagu-lagu tersebut. Upaya ini minimal menjangkau komunitas mereka
terlebih dahulu (wawancara Iwan Kresna dalam Wijaya, 2017)
Di sisi lain, Zahra juga mengatakan bahwa musik lebih mudah digunakan sebagai
media menyampaikan pesan dibanding dengan pidato atau bicara. Sehingga melalui musik,
dapat dimasukkan pesan yang dapat mendorong orang bisa berubah. Maka dari itu, sesuai
tema anti korupsi dalam musik keroncong, diharapkan anak-anak dapat menjauhi sikap anti
korupsi (Ibid.) melalui pesan-pesan dalam lagu.
3. D’Sixty Nine: Komunitas Musik Keroncong Remaja
Salah satu kelompok musik keroncong yang mengikuti ajang FKMPI adalah D’Sixty
Nine. Mereka berasal dari Cilacap, salah satu kota di Jawa Tengah. Kelompok ini dipimpin
oleh Ibu Ii Illah (ENEM SONGO is-69-Keroncong Cilacap, 2018). Pada penyelenggaraan
festival tersebut, kelompok musik ini berhasil meraih juara pertama. Para personil D’Sixty
Nine berjumlah sembilan orang. Mereka antara lain, Rakhma Wildani Swari (vokalis pada
16 | Jurnal Warna Vol. 3, No. 2, Desember (2019)
p-ISSN: 2550-0058
e-ISSN: 2615-1642

Indra Rukmana, Arhamuddin Ali

lagu Kr Panggilan Ibu Pertiwi), Ade Amin Salasa (vokalis pada lagu Tikus-Tikus Kantor),
Rully (contra bass), Lala (cello), Gabriel (gitar), Viyan (cak), Dindin (cuk), G. Aji (biola),
dan Irfan (flute) (Ibid.). Formasi ini merupakan bentuk lengkap musik keroncong yang
diwakili dengan instrumen musik masing-masing.
Pembentukan kelompok D’Sixty Nine merupakan inisiatif dari mereka sendiri.
Sebelumnya, mereka telah memiliki kelompok musik lain, namun tidak dilanjutkan karena
ada permasalahan dalam kelompok. Setelah itu D’ Sixty Nine dibentuk dengan alasan
menyatukan orang-orang yang memiliki kesamaan visi dalam bermusik keroncong.
Kelompok ini dibentuk sejak 2012 dalam rangka persiapan mengikuti kegiatan festival
musik keroncong di Solo saat itu (Wawancara Dindin, 3/8/19).
Personil D’Sixty Nine yang terhitung masih berusia remaja ini rata-rata mengenal
keroncong secara mendalam sejak usia 17 tahun. Namun, berbeda dengan Dindin, salah satu
personil yang telah bersentuhan dengan keroncong sejak kecil. Dia sudah sering mendengar
dan menyaksikan permainan musik keroncong semasa kecil. Menurutnya, di antara para
temannya, dia terlebih dahulu mengenal keroncong (wawancara Dindin, 23/7/19).
Karena telah terbiasa memainkan musik keroncong, persiapan mereka mengikuti
FKMPI tidak sampai sebulan. Mereka hanya terhitung kurang lebih dua minggu
mempersiapkan kelompok mengikuti lomba tersebut. Namun, itu bukan berarti mereka
menganggap persiapan tersebut mudah karena dalam waktu tersebut mereka intens latihan
demi mencapai hasil maksimal.
D’Sixty Nine membawakan dua lagu pada FKMPI. Lagu pertama berjudul Kr.
(Keroncong) Panggilan Ibu Pertiwi. Karya ini merupakan ciptaan bapak Era Yuni
Pratiniyata, ayah kandung Dindin. Kemudian, lagu ini diaransemen musik dalam bentuk
keroncong oleh kelompok D’Sixty Nine. Mereka melakukan proses latihan di Yogyakarta
dan dilatih oleh Basuki bapak Basuki (wawancara Dindin, 23/7/2019).
Lagu kedua yang dibawakan D’Sixty Nine yaitu Tikus Kantor, karya Iwan Fals,
penyanyi legendaris Indonesia. Lagu ini merupakan lagu populer di Indonesia sejak era
1980-an. Dengan konsep balada dan country, Iwan Fals menggunakannya menyuarakan
kritikan pada koruptor di masa itu. Lagu ini kemudian dipilih oleh D’Sixty Nine karena
menyesuaikan dengan tema “Jangan Korupsi” FKMPI dan menurut mereka tergolong lagu
yang sulit untuk dibawakan dalam versi keroncong (wawancara Dindin, 30/7/19).

17 | Jurnal Warna Vol. 3, No. 2, Desember (2019)


p-ISSN: 2550-0058
e-ISSN: 2615-1642

Indra Rukmana, Arhamuddin Ali

Lagu Kr. Panggilan Ibu Pertiwi dibawakan oleh D’Sixty Nine dengan baik. Diawali
dengan solo biola yang ditutup dengan permainan cak dan cuk. Setelah itu terdengar solo
gitar, solo flute, dan dilanjutkan dengan intro musik yang memposisikan biola sebagai
pembawa melodi. Kemudian masuklah bagian lagu yang terdiri dari verse dan reff. Pada
bagian iterlude, mereka membawakannya dengan nuansa musik blues namun masih
terdengar seperti musik keroncong, dan secara keseluruhan mereka membawakannya
dengan khas gaya soloan.
Pesan lagu Kr. Panggilan Ibu Pertiwi ini tergolong mendalam. Ada dua pesan utama
yang terkandung dalam liriknya. Pertama, penggambaran kerusakan negara yang
diakibatkan oleh prilaku-prilaku budaya korupsi. Dan kedua, sebuah pesan moral yang
mengajak masyarakat untuk menjauhi korupsi.
Sedangkan untuk lagu kedua, yaitu lagu Tikus Kantor, tetap dibawakan dengan gaya
soloan tetapi mendapat beberapa perubahan gaya, khususnya gaya country pada interlude.
Lagu ini dimulai dengan solo gitar, kemudian dilanjutkan dengan solo bass dan masuk pada
intro yang melodinya dimainkan menggunakan alat musik flute. Lagu diakhiri dengan
adegan vokalis menyanyikan lirik “tikus kantor” dengan posisi berlutut di lantai panggung.
Pada bagian ini, tempo musik berubah menjadi lambat.
Dindin menjelaskan, keterlibatan mereka pada FKMPI, mulai dari proses latihan
sampai dengan pelaksanaan lomba membuatnya bangga. Bersama dengan teman-teman
lainnya, mereka sebagai generasi muda diajak dan dilibatkan untuk memerangi korupsi.
Mereka bisa menyuarakan tentang “jangan korupsi” melalui ekspresi musikal yang
dimainkan. Pada tataran inilah, rasa bangga itu muncul dari benaknya (Wawancara Dindin,
29/7/19).
Hal utama yang menjadi poin penting dalam proses keterlibatan D’Sixty Nine dalam
ajang FKMPI adalah penambahan wawasan tentang korupsi bagi mereka yang terhitung
masih remaja. Awalnya, khususnya Dindin menganggap korupsi itu sebatas prilaku negatif,
misalnya memperkaya diri sendiri melalui penyalahgunaan wewenang (wawancara Dindin,
29/7/19). Namun, setelah berproses pada ajang lomba tersebut, mereka bisa mengetahui
sampai pada dampak besar dari korupsi bagi bangsa dan negara. Dalam proses latihan
hingga pertunjukan, mereka terbiasa mendengar syair-syair yang menjelaskan tentang
korpsi. Selain itu, mereka juga diajak untuk mencari lagu-lagu populer yang berhubungan
dengan korupsi.
18 | Jurnal Warna Vol. 3, No. 2, Desember (2019)
p-ISSN: 2550-0058
e-ISSN: 2615-1642

Indra Rukmana, Arhamuddin Ali

F. Pembahasan
1. Musik Keroncong Sebagai Media Pemahaman Tentang Korupsi
Seperti diketahui pada penjelasan sebelumnya, FKMPI yang dilaksanakan pada
gelaran ketiganya bertema “Jangan Korupsi”. Tentunya hal itu dapat dipertanyakan lebih
jauh lagi karena bukan merupakan sesuatu yang terjadi secara kebetulan. Namun, kegiatan
dengan tema tersebut telah dirancang terlebih dahulu oleh pelaksananya. Apa hubungan
keroncong dengan teman korupsi. Atau dengan kata lain, mengapa pihak pelaksanan
menjadikan keroncong sebagai media menyajikan pesan-pesan anti korupsi.
Sedyati (2010) berpandangan bahwa musik keroncong dapat berfungsi sebagai
media pendidikan dan sosial. Pada tataran pertama, musik keroncong dapat mengisi ruang
pendidikan informal masyarakat. Melalui lirik dan syairnya, nilai-nilai pendidikan dapat
diketahui oleh masyarakat. sedangkan untuk tataran selanjutnya, musik keroncong dapat
dijadikan media untuk mengajak masyarakat melakukan kegiatan-kegiatan sosial di
lingkungan sekitarnya.
Pada gelaran FKMPI yang ketiga, seluruh peserta masih tergolong usia remaja yang
sekolah pada tingkatan SD hingga SMP. Selain itu, kegiatan ini juga dilaksanakan di ruang
pendidikan, yaitu SPI. Kegiatan itu tentu melibatkan siswa sebagai panitia dan penonton.
Keterlibatan siswa sebagai peserta, panitia dan penonton memposisikan kegiatan musik
keroncong tersebut sebagai media yang diupayakan menjadi wadah menanamkan
pengetahuan siswa terhadap korupsi.
Gunara (2010) mengatakan bahwa kreativitas adalah gaya berpikir. Melalui musik,
dapat mengembangkan kemampuan berpikir. Pada titik ini, kreasi kreativitas para peserta
FKMPI secara tidak langsung menjadi gaya berpikir mereka melalui musik keroncong.
Melalui musik keroncong yang bertema korupsi, mereka mempelajari sesuatu bukan hanya
berkaitan dengan keroncong, tetapi juga dengan masalah korupsi. Persentuhan mereka
dengan wacana keroncong berada pada wilayah eksplorasi syair, mempersiapkan lagu-lagu
populer yang bertema tentang korupsi. Di situlah peserta dapat memikirkan tentang apa itu
korupsi serta dampak negatifnya.
Di samping itu, musik keroncong juga dapat dikategorikan sebagai musik populer.
Dengan statusnya sebagai musik populer tentunya mudah dicerna oleh pendengar. Cogan &
Kelso (2009) mengatakan bahwa sejak abad 19, musik populer telah dijadikan media
menyampaikan pesan-pesan politik melalui syairnya. Pada tataran inilah, musik keroncong
19 | Jurnal Warna Vol. 3, No. 2, Desember (2019)
p-ISSN: 2550-0058
e-ISSN: 2615-1642

Indra Rukmana, Arhamuddin Ali

dengan syair bermuatan anti korupsi digunakan oleh pelaksana FKMPI untuk
menyampaikan pesan-pesan anti korupsi kepada siswa sebagai upaya menanamkan sikap
anti korupsi.
Kecenderungan menjadikan festival musik sebagai gerakan politik juga dijelaskan
oleh Cogan & Kelso. Pada era 1980, festival musik populer sudah menjadi media
memprotes kebijakan-kebijakan negara. Maka dari itu, FKMPI menjadi penting karena
menjadi sarana menyuarakan kekhawatiran terhadap budaya korupsi yang telah melanda
bangsa Indonesia. dan, yang menarik yaitu pesan-pesan bahaya korupsi itu disuarakan oleh
para remaja melalui kreativitasnya.
2. Proses Kreatif Musik Keroncong Sebagai Pembelajaran Anti Korupsi
Kreativitas musik sebagai sarana mengembangkan kemampuan bepikir telah
dijelaskan oleh Gunara (2010). Kreativitas dapat dimaknai sebagai sebuah proses berpikir
kreatif yang terdiri dari beberapa tahapan. Tahapan tersebut antara lain, persiapan, inkubasi,
iluminasi, dan verifikasi (Webter dalam Milyartini, 2009). Selanjutnya, pandangan ini kita
gunakan melihat kondisi kreativitas peserta FKMPI dengan teman “Jangan Korupsi”.
Salah satu peserta, yaitu Dindin dari kelompok D’Sixty Nine mengatakan bahwa
keikutsertaannya pada FKMPI membentuk pemahamannya tentang korupsi. Teman-
temannya dapat mengetahui permasalahan korupsi ketika mengikuti proses persiapan hingga
pada pelaksanaan pertunjukan musik keroncong yang membawakan lagu-lagu tema korupsi.
Pengetahuan mereka tentang korupsi awalnya tergolong masih terbatas, setelah ikut serta
terlibat dalam FKMPI justru menambah pengetahuan mereka terhadap korupsi.
Dalam proses persiapan mengikuti FKMPI. Peserta terlibat mempelajari atau
menciptakan lagu tentang korupsi. Cara ini tentunya dilakukan dengan mencari berbagai
literatur dan informasi tentang korupsi, lalu kemudian dijadikan syair dan berakhir menjadi
sebuah lagu yang dibawakan dalam bentuk musik keroncong. Proses tersebut memposisikan
peserta secara tidak langsung mempelajari hal-hal terkait dengan korupsi dan
mengungkapkannya melalui kreativitas musiknya. Dapat dikatakn, proses keratif mereka
menjadi sarana mengembangkan cara berpikir siswa terhadap permasalahan bangsa melalui
media musik keroncong.
Di samping para peserta, panitia dan penonton yang juga secara umum masih
tergolong siswa remaja dapat mengetahui hal tentang korupsi. Keterlibatan mereka pada
FKMPI menjadi cara tersendiri bagi pelaksana dalam mendidik siswa menjauhi korupsi.
20 | Jurnal Warna Vol. 3, No. 2, Desember (2019)
p-ISSN: 2550-0058
e-ISSN: 2615-1642

Indra Rukmana, Arhamuddin Ali

Mereka dapat berinteraksi dengan syair lagu keroncong yang menyuarakan bahaya korupsi.
Sehingga melalui cara tersebut, penanaman sikap anti korupsi kepada siswa melalui media
musik keroncong menjadi penting untuk dilakukan.

G. Kesimpulan
1. Musik keroncong merupakan salah satu jenis musik populer di Indonesia. walaupun selama
ini musik keroncong dianggap hanya dinikmati oleh kalangan generasi tua, tetapi SPI
mencoba merubah paradigma tersebut melalui gelaran event FKMPI. FKMPI pada 2017
mengangkat tema “jangan korupsi”. Melalui kegiatan itu, pesan anti korupsi diajarkan
kepada siswa melalui peserta, panitia dan penonton melalui media musik keroncong. Musik
keroncong yang tergolong populer ini dapat lebih mudah dicerna oleh para siswa dalam
memahami bahaya korupsi.
2. Musik keroncong sebagai media penanaman sikap anti korupsi kepada siswa dilakukan
dengan memposisikan musik keroncong sebagai sarana kreativitas dan apresiasi kepada
siswa. Sebagai sara kreativitas, musik keroncong anti korupsi menjadi media pembelajaran
melalui beberapa tahap, yaitu persiapan, inkubasi, iluminasi dan verifikasi. Pada posisi ini,
proses penciptaan, latihan dan pertunjukan musik keroncong menjadi media pengembangan
cara berpikir siswa terhadap permasalahn korupsi dan musik keroncong itu sendiri. di
smping itu, ketika musik diperdengarkan kepada siswa, siswa dapat mencerna syair
keroncong anti korupsi dengan mudah melalui gelaran FKMPI, yang juga merupakan proses
pengenalan sikap anti korupsi kepada para siswa yang terlibat sebagai penyelenggara.

Daftar Pustaka
Firmansyah, Imam. 2015. Festival Keroncong Muda Pertama di Indonesia. https://sindonews.com
Ibo, Ahmad. 2016. Kenalkan Lagi Musik Keroncong, Sekolah Pilar Gelar Festival.
https://m.liputan6.com
Kota, Warta. 2017. Iwan Fals dan Tika Bisono Ikutan ‘Festival Keroncong Muda Pilar Indonesia’.
wartakota.live.com
SPI. 2015. Festival Keroncong Muda Pilar Indonesia 2015. www.sekolah-pilar-indonesia.sch.id
____, 2017. Festival Keroncong Muda Pilar Indonesia ke-3 dengan Tema “Jangan Korupsi”.
www.sekolah-pilar.indonesia.sch.id
Wijaya, Herman. 2017. “D’Sixty Nine” Juara Festival Keroncong “Jangan Korupsi”.
https://beritasatu.com
2015. Festival Keroncong Muda Indonesia 2015 Digelar 14 Maret. www.beritasatu.com

21 | Jurnal Warna Vol. 3, No. 2, Desember (2019)

Anda mungkin juga menyukai