Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Aceh adalah kawasan terakhir yang dijajah oleh kolonial belanda. Perang yang
berlangsung terbagi menjadi tiga periode, pertama pada tahun (1873-1874) kedua
(1874-1880) dan ketiga pada tahun (1881-1896). Kesultanan aceh menyerah pada
januari 1904, tetapi perlawan rakyat aceh terus berlanjut.

Aceh juga merupakan salah satu daerah yang memiliki banyak peninggalan
keanekaragaman benda bersejarah dari zaman penjajahan. Benda bersejarah
tersebut mengandung nilai-nilai kebudayaan seperti, bangunan, prasasti, makam,
dan situs bersejarah. Peninggalan-peninggalan tersebut menjadi bukti dari sejarah
yang pernah terjadi untuk generasi penerus.

Keberadaan benda bersejarah sangat penting bagi masyarakat. Benda


bersejarah tersebut dapat menjadi pengingat dari sejarah yang pernah terjadi dan
bernilai historis. karena merupakan warisan dari generasi sebelumnya serta
menjadi saksi bisu dari perjalanan dan perkembangan suatu kota.

Bangunan peninggalan bersejarah yang usiannya lebih dari 50 tahun


merupakan bangunan yang perlu dilindungi. Bangunan seperti ini perlu
didokumentasikan keberadaannya agar tidak kehilangan bukti fisik serta rekaman
mengenai peristiwa sejarahnya yang pernah terjadi. Ada beberapa bangunan
bersejarah di aceh, diantaranya bangunan pemerintahan, bangunan ibadah, serta
bangunan telekomunikasi dan pengiriman barang yang ditinggalkan di daerah ini.

Salah satu bangunan ibadah meliputi, Masjid Jami’ Ulee Lheue yang terletak
di Gampong Ulee Lheue, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh. Masjid ini
merupakan salah satu peninggalan Sultan Aceh Pada abad ke-17. Tahun 1873
ketika masjid Raya Baiturrahman dibakar belanda, semua jamaah masjid terpaksa
harus melaksanakan shalat jumat di ulee lheue, sejak saat itulah nama masjid
menjadi Masjid Baiturrahim Ulee Lheu hingga saat ini.
Sejak berdirinya, Masjid Baiturrahim Ulee Lheue sudah mengalami beberapa
kali renovasi, namun masjid ini masih mempertahankan bentuk awalnya. Masjid
ini juga menjadi saksi bisu dari dua sejarah besar yaitu penjajahan dan musibah
Gempa-Tsunami tahun 2004 silam. Sampai saat ini Masjid Baiturrahim Ulee
Lheue masih difungsikan sebagai tempat ibadah. Masjid ini sudah layak untuk
memenuhi kriteria cagar budaya untuk didokumentasikan. Adapun beberapa
alasannya yaitu, umur bangunan yang sudah melebihi 50 tahun, memiliki nilai
sejarah yang besar, dan gaya bangunan mewakili gaya arsitektur pada masanya.

Adapun Pelestarian yang dilakukan saat ini merupakan hal yang sangat
penting dalam mempertahankan bangunan bersejarah yang betujuan untuk
mengetahui sejarah masa lalu sehingga dapat bermanfaat untuk perkembangan
kota dan generasi-generasi penerus.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, berikut adalah beberapa
rumusan masalahnya :

a. Bagaimana sejarah dari Masjid Baiturrahim Ulee Lheue?


b. Bagaimana perubahan fisik Masjid Baiturrahim Ulee Lheue?
1.3 Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui sejarah Masjid Baiturrahim Ulee Lheue dari awal
hingga saat ini
b. Untuk mengetahui fisik bangunan secara detail
c. Untuk mengetahui perubahan-perubahan yang telah terjadi pada Masjid
Baiturrahim Ulee Lheue sejak awal pembangunan
1.4 Manfaat Penelitian

Sesuai dengan latar belakang,rumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah
dipaparkan sebelumnya, Maka diharapkan dari penelitian ini dapat memberi
manfaat sebagai berikut :
a. Manfaat Teoritis

Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah dapat menambah wawasan
dan ilmu pengetahuan mengenai dokumentasi arsitektural bangunan bersejarah
serta dapat menjadi bahan acuan untuk melakukan penelitian sejenis.

b. Manfaat Praktis

Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah dijadikan sebagai salah satu
bahan peninggalan yang menjelaskan mengenai sejarah dan arsitektural dari
Masjid Baiturrahim Ulee Lheue mengingat Masjid ini merupakan bangunan yang
memiliki sejarah besar di Aceh.

1.5 Ruang Lingkup Dan Batasan Masalah Penelitian

Penelitian di lakukan di Masjid Baiturrahim Ulee Lheue yang beralamat di


Gampong Ulee Lheue, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh. Penelitian dilakukan
pada tanggal 11 Juni 2021.

1.6 Sistematika Penyusunan Penelitan

Penyusunan penelitian tentang Dokumentasi Arsitektur bangunan bersejarah ini


terdiri dari 5 (lima) bab dan setiap bab terbagi atas sub-sub serta lampiran, yaitu
sebagai berikut :

1. BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab I ini menjelaskan mengenai latar belakang, rumusan masalah,
manfaat penelitian, tujuan penelitian, dan sistematika penyusunan
penelitian.
2. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab II ini menjelaskan mengenai Dokumentasi, Arsitektur, bangunan
bersejarah dan teori-teori yang bersangkutan.
3. BAB III : METODE PENELITIAN
Pada bab III ini berisi tentang lokasi penelitian, teknik pengumpulan data,
dan metode analisa data
4. BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bab IV ini menjelaskan mengenai laporan survei dan analisa hasil
survei tentang sejarah bangunan, perubahan bentuk, dan arsitektur
bangunan.
5. BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bab V ini menjelaskan mengenai hasil keseluruhan/kesimpulan dan
saran dari Dokumentasi Arsitektural Masjid Baiturrahim Ulee Lheue.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Sumber Data/Subjek/Objek Penelitian

3.1.1 Sumber Data

Sumber data yang digunakan untuk menyusun penelitian ini dilakukan dengan dua
cara yaitu data primer dan data sekunder.

a. Data Primer
Data Primer adalah data yang diambil dari sumber data secara langsung
oleh peneliti melalui wawancara dan observasi terhadap informan
penelitian. Adapun menurut Lofland dalam (Lexy J. Moleong , 2012:157)
bahwa “Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan
tindakan”.Data diambil dengan cara wawancara, observasi dan
dokumentasi kepada narasumber yang menguasai permasalahan dalam
penelitian ini.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang didapat dari sumber bacaan, seperti
literatur, surat kabar, jurnal, artikel, dokumen pribadi dan sebagainya.
Peneliti menggunakan data sekunder untuk memperkuat penemuan,
melengkapi data yang telah didapat dari wawancara dan observasi.

3.1.2 Subjek Penelitian

Subjek Penelitian atau informan adalah orang yang mampu memberikan informasi
mengenai situasi dan kondisi latar belakang penelitian dalam (Lexy J Moleong,
2012:97). Oleh sebab itu, informan dalam penelitian ini adalah orang-orang yang
dianggap mengetahui secara pasti mengenai sejarah dari Masjid Baiturrahim Ulee
Lheue.
3.1.3 Objek Penelitian

Penelitian di lakukan di Masjid Baiturrahim Ulee Lheue

a. Waktu penelitian
Penelitian ini dilakukan pada Tanggal 11 Juni tahun 2021
b. Lokasi Penelitian
Masjid Baiturrahim Ulee Lheue beralamat di Gampong Ulee Lheue,
Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh.

(a) (b)

(c) (d)

3.2 Metode Penelitian

Penyusunan penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif.


Menurut Bogdan dan Taylor (1975) dalam Moleong (2012:4) mendeskripsikan
metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati. Menurut Sumanto dalam Dewi, (2004:20) pengertian deskriptif adalah
penelitian untuk memberikan gambaran atau penegasan suatu konsep atau gejala
dan menjawab pertanyaan-pertanyaan sehubungan dengan status subjek saat ini.

3.2.1 Struktur Penelitian

Tabel 3.1 Variabel Dokumentasi Arsitektur Bangunan Bersejarah

3.2.2 Strategi Penelitian

- Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan cara observasi,
wawancara dan tinjauan pustaka.

a.Observasi

Menurut Ridwan (2004:104), “ Observasi merupakan teknik pengumpulan data,


dimana peneliti melakukan pengamatan secara langsung ke objek penelitian untuk
melihat dari dekat kegiatan yang dilakukan”. Ketika melakukan observasi,
penelitian difokuskan pada letak dan ukuran bangunan, aktivitas yang
berlangsung, serta mengamati kondisi fisik bangunan. Hasil penelitian tersebut
kemudian disusun dengan menghubungkan rumusan masalah dan tujuan dari
penulisan karya tulis yang telah disusun.

b.Wawancara

Metode wawancara dilakukan terhadap salah satu Pengurus Masjid/anggota BKM.


Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada narasumber merupakan seputar
penguraian tentang Sejarah Masjid, Kegiatan apa saja yang dilakukan selain untuk
beribadah, serta jumlah jamaah yang dapat ditampung di masjid Baiturrahim Ulee
Lheue ini.

c. Studi Pustaka

Dalam metode penelitian studi pustaka, pengumpulan data dilakukan dengan cara
membaca beberapa buku, skripsi, artikel dan jurnal yang berkaitan dengan
pembahasan Dokumentasi Bangunan Bersejarah.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Gambaran Subjek Penelitian

Masjid Jami’ Ulee Lheue atau yang saat ini disebut Masjid Baiturrahim Ulee
Lheue merupakan tempat ibadah bagi umat muslim, Masjid ini merupakan
peninggalan Sultan Muhammad Daud Syah yang menjadi raja terakhir di kerajaan
aceh. Masjid Baiturrahim Ulee Lheue ini terletak di Gampong Ulee Lheue,
Kecamatan Meuraxa, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh. Masjid Baiturrahim Ulee
Lheue ini termasuk ke dalam cagar budaya golongan A.

Masjid Baiturrahim Ulee Lheue ini merupakan salah satu masjid yang bersejarah
di Aceh. Mulai dari sejarah Aceh masa kesultanan, penjajahan belanda, hingga
beberapa kali diterpa tragedi bencana alam. Namun hingga saat ini Masjid
Baiturrahim Ulee Lheue masih mempertahankan bentuk yang sama dengan awal
pembangunan, dan juga masih difungsikan sebagai tempat beribadah bagi umat
muslim. Selain dari fungsinya sebagai tempat ibadah Masjid Baiturrahim Ulee
Lheue juga menjadi salah satu tempat tujuan pariwisita yang berada di Banda
Aceh.
4.2 Analisis Data Dan Hasil Penelitian

Setelah melakukan survey, penulis dapat memaparkan mengenai konservasi dari


Masjid Baiturrahim Ulee Lheue secara lebih detail.

Adapun dalam Konservasi bangunan bersejarah penulis akan menjelaskan


beberapa point, yaitu :

- Pelestarian
- Restorasi
- Rekonstruksi
- Adaptasi

4.3 Pembahasan

Pembangunan Masjid Pertama

Tidak banyak catatan sejarah yang menjelaskan secara detail mengenai bentuk
awal Masjid Baiturrahim Ulee Lheue. Dari hasil wawancara penulis mendapatkan
informasi bahwa Masjid ini pertama kali dibangun oleh uleebalang kemukiman
meuraxa, yaitu almarhum Teuku Teungoh melalui biaya swadaya masyarakat dan
tokoh-tokoh masyarakat, di atas tanah wakaf sekitar abad ke 17, yang terletak di
samping lokasi masjid saat ini. Awalnya masjid ini dibangun tidak memilki kubah
hanya memiliki puncak yang berbentuk persegi empat dan Konstruksi masjid
seutuhnya terbuat dari kayu, serta bentuknya yang sederhana. Material kayu yang
digunakan banyak didatangkan dari berbagai daerah aceh seperti Meulaboh,
Singkil dan Tapaktuan. Pekerjaan konstruksi dilakukan oleh masyarakat setempat
dengan ilmu yang sudah turun-temurun. Masjid ini dibangun dengan karakter
vernakularnya yang kental.
Bangunan masjid yang berkonstruksi kayu ini tidak bertahan lama karena lapuk
sehingga harus dirobohkan.

Pembangunan Masjid Material Permanen

Pada tahun 1922 masjid dibangun dengan material permanen dan selesai pada
tahun 1923 oleh pemerintahan Hindia belanda dengan gaya Arsitektur Eropa.
Masjid dibangun dengan ukuran 25x18 Meter. Pada pembangunan ini masjid
sudah menggunakan kubah pada bagian atasnya. Tata ruang dalam masjid dibuat
dalam dua bagian. Bagian pertama digunakan untuk shalat dan bagian belakang
dimaksudkan sebagai ruang belajar. Masjid ini dibangun untuk dapat menampung
sekitar 500 jamaah. Seiring berjalannya waktu, pertumbuhan penduduk sudah
semakin pesat, sehingga ruang shalat pada saat itu sudah tidak dapat lagi
menampung para jamaah. Sekitar tahun 1960 ruang bagian belakang pun
dijadikan sebagai ruang untuk melaksanakan shalat jumat. Air untuk berwudhuk
diambil dari sumur, dan ditampung di dalam bak berukuran 20M.

Pada tahun 1965, kedua ruangan masjid baiturrahim ulee lheue sudah tidak dapat
lagi menampung jamaah shalat jumat. Akibatnya sebagian jamaah harus
melaksanakan shalat jumat di perkarangan masjid.

Bentuk bagian depan Masjid Baiturrahim yang permanen ini masih bertahan
hingga sekarang, seperti pada gambar di bawah.
Sekitar tahun 1980 Masjid Baiturrahum Ulee Lheue mendapat bantuan dari
Kerajaan arab Saudi sebesar Rp. 37.000.000.00,- (Tiga Puluh Tujuh Juta Rupiah)
Baiaya tersebut dipergunakan untuk membangun perluasan Masjid bagian
belakang yaitu pada sisi kanan dan kiri masjid tanpa mengubah sedikitpun bagian
depannya. Dengan pembangunan ini maka jamaah shalat (khususnya shalat jumat)
dapat tertampung. Namun kondisi ini tidak bertahan lama, karena pertumbuhan
penduduk mengakibatkan daya tampung masjid ini kembali menjadi tidak
mamadai.

Hanya berselang dua tahun setelah dilakukan perluasan yaitu pada tahun 1983
aceh diguncang gempa bumi hebat yang menyebabkan banyak bangunan
mengalami kerusakan parah atau bahkan rata dengan tanah. Masjid Baiturrahim
juga terkena dampaknya, yang mana Kubah dari Masjid mengalami keruntuhan.
Setelah tragedi gempa ini, pada tahun 1991 Masjid Baiturrahim Ulee Lheue
kembali direnovasi dan perluasan. Bagian belakang dibangun dengan luas lebih
kurang 594m sehingga diperkirakan dapat menampung sebanyak 1.500 jamaah.
Adapun bagian depan masjid tidak lagi menggunakan kubah hanya ditutup
menggunakan atap perisai, karena telah dijadikan sebagai situs purbakala
kesejarahan.

Selain dari gempa ini Masjid Baiturrahim Ulee Lheue juga pernah dilanda Banjir
besar sekitar tahun 2001. Namun bangunan masjid masih bertahan tanpa adanya
kerusakan-kerusakan parah.
Pada tahun 2004 Masjid ini kembali menjadi saksi bisu bencana Gempa dan
Tsunami aceh yang menelan korban hingga 230.000 jiwa. Bencana gempa dan
tsunami ini meluluhlantakkan sebagian provinsi aceh. Terkhusus pada daerah ulee
lheue yang letaknya di tepi laut menyebabkan daerah ini menjadi salah satu
wilayah paling parah terkena dampaknya. Nyaris semua bangunan di wilayah ini
rata dengan tanah atau hanyut terhempas gelombang ke arah pusat kota banda
aceh.

Masjid Baiturrahim tidak mengalami kehancuran saat dilanda Gempa


berkekuatan 8,9 SR, hanya sebagian bangunannya rusak saat dihantam oleh
gelombang Tsunami. Terlihat hanya masjid ini masih kokoh berdiri di tengah
hamparan puing-puing bangunan disekitarnya yang telah hancur.

Saat terjadinya bencana gempa dan tsunami ini, terdapat beberapa jamaah dan
pengurus yang berada di lokasi masjid, sebagian dari mereka ada yang selamat di
dalam bangunan.
Pasca terjadinya Gempa dan Tsunami, Masjid ini kembali dilakukan renovasi dan
penambahan Menara pada sisi kiri bangunan, atas bantuan dari Kerajaan Brunei
Darussalam. Yang mana pada saat itu sultan Hassanal Bolkiah menawarkan
pembangunan masjid baru di tengah lautan dan bangunan Masjid yang lama
dijadikan sebagai museum, namun tokoh-tokoh dan pengurus Masjid masa itu
menolak penawaran dari sultan sehingga dilakukanlah perenovasian serta
penambahan menara pada bangunan yang lama. Dalam upaya mempertahankan
bentuk asli dari bagian depan masjid dengan bentuk yang sama seperti saat
pembangunan material permanen pertama yaitu kembali menggunakan kubah.

Dengan demikian, Masjid Baiturrahim telah menjadi saksi bisu bagi jejak
perjalanan hidup manusia di bumi aceh. Tidak hanya sekedar merekam sejarah
social masa silam, tetapi juga menjadi monumen bagi sejarah bencana alam dunia.

Masjid ini patut dilestarikan, tidak hanya sebagai situs sejarah purbakala, tapi juga
situs sejarah Tsunami.

Mengingat histori masjid yang begitu banyak dan umur bangunan yang sudah
sangat tua, sehingga menarik perhatian banyak pihak dari berbagai belahan dunia.
Sebagai salah satu rumah ibadah yang bersejarah. Keberadaan masjid ini menjadi
daya tarik wisata bernuansa religi.
Masjid Baiturrahim Ulee Lheue Banda Aceh (acehprov.go.id)

MesjidBersejarahI.pdf (kemenag.go.id)

Anda mungkin juga menyukai