Anda di halaman 1dari 8

Keris

Label: Budaya

Keris dan Tosan Aji lainnya, bagi Masyarakat Nusantara tentu memiliki makna
tersendiri, bukan saja tentang tuah ataupun yoni, tetapi juga makna budaya, sejarah dan
filosofi yang sarat makna, bahkan telah menjadi semacam Filosofi Hidup.
Berbagai buku telah mengupas banyak tentang keris. Berbagai forum diskusi, baik yang
santai sambil disambi ngopi, setengah serius dan sampai yang serius berbentuk seminar
dan lokakarya telah pula dilakukan. Perdebatan dan kesamaan pendapat selalu muncul
mengiringi perkembangan budaya keris.

Keris, dari jaman dahulu hingga sekarang telah menjadi suatu benda yang menarik
untuk dimiliki sebagai benda koleksi, dipandang sebagai suatu bentuk karya seni dan
spiritual yang sangat indah maupun diperbincangkan dari berbagai aspek. Bukan saja
pada aspek fisik maupun non fisik, tetapi juga aspek sejarah dan evolusi
perkembangannya.
Sebut saja beberapa keris yang hingga sekarang selalu diperdebatkan seperti keris
buatan mPu Gandring dari jaman Singosari yang terus menjadi perdebatan hingga saat
ini tanpa pernah terbukti keberadaannya kecuali ditinjau dari aspek filosofi sejarah,
Legenda keris Condong Campur jaman Majapahit, asal muasal keris Tamingsari dan
banyak lagi. Semua itu ternyata makin memperkaya khazanah budaya perkerisan, baik
di Tanah Air maupun di manca negara. Tentu kita patut bersyukur atas adanya berbagai
macam perdebatan itu, dan bukankah perbedaan pandangan sesungguhnya adalah suatu
karunia dari Tuhan Yang Maha Esa ?
Di Indonesia, khususnya Jawa, Sumatera dan Bugis serta Bali, telah mengenal keris
sejak jaman Kabudhaan. Perkembangan ilmu pembuatan keris, ilmu penerapan pamor
sampai pada pemahaman terhadap makna filosofi keris kian tahun kian berkembang
maju, sampai pada masa Kerajaan Singosari sampai Mataram Sultan Agung, bahkan
sampai sekarang, keris telah diposisikan sebagai suatu benda multi fungsi dan multi
makna. Kadang kita temui keris yang dianggap sebagai “Sikep” atau “Piyandel”, ada
pula keris yang digunakan sebagai “Senjata Pamungkas” saat peperangan, keris juga
bisa digunakan sebagai “Sengkalan” atau pertanda atas suatu kejadian penting, serta
berbagai fungsi keris lainnya yang tentu sangat banyak.
Dalam budaya Jawa tradisional, keris tidak semata-mataa dianggap sebagai senjata
tikam yang memiliki keunikan bentuk maupun keindahan pamor, akan tetapi juga
sebagai kelengkapan budaya spiritual. Ada satu anggapan yang berlaku di kalangan
Jawa tradisional yang mengatakan, seseorang baru bisa dianggap paripurna jika ia sudah
memiliki lima unsur simbolik: curiga, turangga, wisma, wanita, kukila.
Curiga, secara harafiah artinya keris, turangga artinya kuda atau kendaraan (simbol
masa kini adalah motor atau mobil), wisma adalah rumah, wanita arti khususnya isteri,
dan kukila arti harafiahnya adalah burung. Arti simbolik burung di sini, bagi seorang
pria Jawa tradisional, ia harus mampu mengolah, menangkap dan menikmati keindahan
serta berolah-seni. Curiga, atau keris, secara simbolik maksudnya adalah kedewasaan,
keperkasaan dan kejantanan. Seorang pria Jawa tradisional, harus tangguh dan mampu
melindungi diri, keluarga atau membela negara. Perlambangnya adalah keris.
Pada zaman kerajaan-kerajaan di masa lalu, tanda mata paling tinggi nilainya adalah
keris. Pemberian paling berharga dari seorang Raja Jawa kepada para perwiranya atau
abdi dalem, adalah keris.
Pada perkembangannya, keris di lingkungan kerajaan bisa menjadi simbol kepangkatan.
Keris seorang Raja, tentu saja berbeda dengan keris perwira atau abdi dalem
bawahannya. Tidak hanya bilah kerisnya saja yang berbeda, akan tetapi juga detil-detil
perhiasan serta perabot yang melengkapinya pun berbeda.
Gradasi kepangkatan dari pemilik keris, juga bisa ditilik dari warangka yang
menyarungi atau membungkus bilah keris. Warangka seorang Raja, tentu saja berbeda
dengan warangka bawahannya. Bila seorang ksatria, tepat kiranya bila warangka yang
dipakainya adalah warangka dengan wanda (model) kasatriyan. Pejabat kerajaan,
memakai warangka kadipaten. Ada lebih dari 25 varian warangka Jawa di masa lalu
yang bisa menjadi indikator kepangkatan pemiliknya. Bahkan daerah asal pun bisa
ditilik dari warangkanya, apakah pemiliknya orang dari Yogyakarta, Surakarta,
Banyumas, Jawa Timur, Madura atau Bali.
Salah satu keunikan keris adalah kekuatannya pada detil. Hampir setiap detil yang
melekat pada keris, baik pada bilahnya, warangka maupun perabotnya semuanya bisa
menjadi simbol. Dari ukiran atau pegangan keris pun, pada masa lalu orang bisa menilik
derajat dan kepangkatan. Varian ukiran keris Jawa pun, seperti halnya warangka, ada
berbagai macam varian. Dibagi dalam dua garis besar gaya: Surakarta dan Yogyakarta.
Di luar itu, tentu masih ada lagi gaya lain warangka atau ukiran luar Jawa seperti:
Madura, Bali, Lombok, Sulawesi, Sumatera.
Di lingkungan keraton Surakarta masa lalu, misalnya, ukiran tunggak semi gaya Paku
Buwono atau Yudowinatan, hanya boleh dipakai oleh seorang Raja. Pendhok
(selongsong logam pada bungkus bilah) dengan warna kemalo (sejenis cat tradisional
berwarna merah, hijau, coklat dan hitam), dulu dimaksudkan untuk membedakan derajat
dan kepangkatan penyandangnya. Kemalo warna merah, misalnya, khusus untuk Raja
dan kerabatnya, atau bangsawan dengan pangkat serendah-rendahnya Bupati. Kemalo
warna hijau, untuk para mantri (menteri, perwira pembantu Raja). Pendhok kemalo
warna coklat, untuk para bekel atau administratur menengah kebawah. Sedangkan
pendhok hitam, untuk para abdi dalem, atau rakyat jelata.
Ada kalanya seseorang mendapatkan penghargaan dari seorang pejabat atau penguasa
karena jasa-jasanya, dalam wujud sebilah keris dengan hiasan tertentu. Salah satu
contoh klasik, adalah keris dengan ganja kinatah emas dengan relief Gajah-Singa, dulu
dihadiahkan oleh Raja Mataram Sultan Agung kepada para perwiranya yang berhasil
menumpas Pemberontakan Pragola, Kadipaten Pati di Jawa Tengah pesisir utara.
Bila dijabarkan dalam kalimat, gambar kinatah pemberian Sultan Agung itu berbunyi:
Gajah Singa Keris Siji. Gajah itu 8, Singa 5, Keris 5, Siji 1. Jika dibaca dari belakang,
berbunyi angka tahun Jawa 1558, yaitu tahun kemenangan Sultan Agung (Mataram)
atau Kadipaten Pati.
Selain tanda penghargaan, keris yang diberi hiasan kinatah emas di bagian ganjanya,
pada masa lalu juga dimaksudkan untuk menjadi peringatan waktu, tahun, yang
tentunya dalam hitungan Tahun Jawa. Dalam khasanah budaya Jawa tradisional, disebut
sebagai candra sengkala atau sengkalan. Gambar atau wujud benda, binatang, tumbuhan
yang dikinatahkan juga bisa diartikan sebagai kronogram untuk menunjuk angka tahun.
Pada masa lalu, keris juga dipakai sebagai simbol identitas diri, entah itu diri pribadi,
keluarga atau bahkan klan. Keris dengan dhapur (model), pamor (damascene) ataupun
asesori tertentu, merupakan ciri khas milik pribadi, keluarga atau klan tertentu yang
mempunyai kelebihan kepribadian atau karakter dalam masyarakat luas.
Dhapur Carubuk, dengan pamor pandita abala pandita, misalnya, dulu biasa dipakai
oleh para Brahmana atau rohaniwan. Sedangkan dhapur Sengkelat pamor blarak ngirit,
untuk para Raja atau penguasa.
Keris juga bisa berfungsi sebagai pertanda atribut utusan Raja, atau Duta Besar Raja.
Apabila seseorang mendapat tugas dari Raja, semisal untuk mewakili Raja pada suatu
acara penting menyangkut tugas kenegaraan yang mengandung risiko, maka kepada
orang tersebut Raja meminjamkan sebuah keris pusaka milik sang Raja yang ‘bobot
spiritual’nya sepadan dengan bobot tugas yang diembankan. Dalam kehidupan sehari-
hari orang Jawa tradisional, keris pada lalu juga berfungsi seremonial, menjadi lambang
persaudaraan, persahabatan, perkawinan. Sudah menjadi kelaziman dalam hubungan
pergaulan dengan orang lain, atau keluarga satu dengan keluarga lain, mereka mengikat
tali persahabatan dengan bertukar tanda mata. Salah satu simbol persaudaraan atau
persahabatan, dulu biasa ditandai dengan tukar-menukar keris. Bentuk persahabatan
yang memakai simbol seperti ini, dulu dianggap sebagai bentuk hubungan erat dengan
tingkat etika yang tinggi.
Dalam upacara perkawinan adat Jawa tradisional, apabila seorang calon mempelai laki-
laki berhalangan datang, misalnya saja sedang mendapat tugas negara di tempat jauh
dan tidak mungkin bisa menghadiri upacara, ia bisa “diwakili” secara simbolis dengan
sebilah keris pusaka milik mempelai lelaki. Dalam upacara perkawinan itu, keris
mempelai lelaki diperlakukan seperti layaknya calon mempelai lelaki sendiri,
didudukkan bersanding mempelai wanita di pelaminan.
Bagi masyarakat Jawa tradisional, upacara perkawinan seperti itu sudah dianggap sah,
meski mempelai lelaki secara fisik tidak hadir dalam upacara, dan hanya “diwakili”
sebilah keris pusakanya.
Masih dalam lingkup seremonial perkawinan. Apabila mempelai lelaki menjalani
upacara sungkeman (menghormati orang tua, dengan berlutut menyembah orang tua),
keris yang disandang oleh mempelai lelaki harus dilepas lebih dahulu. Hal ini
maksudnya, orang tua sehebat apapun, tidak boleh disembah oleh seorang menantu
yang sedang menyandang keris pusaka. Karena, dalam anggapan orang Jawa
tradisional, keris dianggap lebih tua dari orang tua yang di-sungkemi. Bahkan keris
lebih tua dari siapapun yang hadir dalam acara perkawinan tersebut. Dalam makna
mistiknya orang Jawa kuno, dimaksudkan agar orang tua tersebut tidak kuwalat (kena
akibat buruk karena tindakan tidak hormat) terhadap keris mempelai lelaki.
Dalam hubungan keluarga, antara orang tua dan anak, tali persaudaraan ini juga ditandai
dengan pemberian hadiah yang dalam khasanah budaya Jawa disebut sebagai kancing
gelung, atau cundhuk ukel. Perwujudannya adalah sebuah keris, lengkap dengan
perabotnya yang diberikan orang tua kepada anak perempuannya yang baru saja
menikah. Maksudnya agar pemeliharaan keris tersebut kelak menjadi tanggung jawab
suaminya. Sebuah arti simbolis pula untuk penyerahan anak perempuannya, agar
dipelihara dan dihidupi oleh suami yang menikahinya. Selain makna-makna duniawi di
atas, keris dalam kehidupan Jawa tradisional juga memiliki makna spiritual: sebagai
manifestasi falsafah, wasiat atau pusaka. Dalam lingkup dunia mistik, sebagai azimat,
medium komunikasi serta tempat bersemayamnya roh atau “yoni”. Hal terakhir ini,
meskipun merupakan paham kuno, namun masih banyak orang Jawa modern saat ini
yang mempraktekkannya.
Dari perkembangan tersebut akhirnya memunculkan berbagai ilmu pengetahuan
terhadap keris, seperti ilmu yang mempelajari besi, ilmu yang mempelajari pamor,
Penangguhan atau penentuan atas perkiraan jaman pembuatan sampai pada ilmu
mengenai sandangan keris atau wrangka. Kesemua sesungguhnya telah membentuk
suatu budaya yang multi dimensi dan kompleks. Dengan semakin banyaknya pandangan
terhadap keris tersebut, tentu pada akhirnya akan melahirkan suatu perdebatan. Dan ini
sangat wajar.
Jangankan kita membicarakan mengenai aspek non fisik yang tersamar, tentang fisik
keris yang sangat nyata seperti bahan besi, bahan dan bentuk pamor saja juga masih
membingungkan kita dan menjadi perdebatan yang kadang berakhir kurang
menyenangkan. Katakanlah seperti pamor Raja Abala Raja – Ujung Gunung – Junjung
Drajad dan Mancungan, sudah memunculkan banyak perbedaan penyebutan. Lalu
apalagi ketika kita membicarakan aspek non fisik seperti sejarah dan tangguh keris dan
siapa yang membuat keris yang kita miliki, padahal kita tidak pernah hidup pada jaman
tersebut serta menimbang sangat samarnya literatur yang membahas mengenai hal
tersebut.
Bagi saya pribadi, perbedaan pandangan tersebut, selama ditempatkan pada kerangka
berfikir logis dan santun serta dilandasi keikhlasan menerima kelebihan dan kekurangan
atas diri pribadi dan orang lain, adalah suatu bukti adanya Rahmat dari Tuhan yang
tiada terhingga.

Makna Filosofi dan Arti Sejarah,


Dengan melihat begitu banyaknya ilmu tentang keris serta perdebatan didalamnya,
alangkah lebih sarat makna bagi kita dalam diri pribadi masing-masing untuk selalu
berupaya mempelajari makna sejarah, budaya dan filosofi keris dengan tanpa
memandang apakah keris tersebut sudah aus, geripis ataukah masih utuh. Toh jika kita
lihat, Kanjeng Kyai Kopek, pusaka kraton Jogjakarta yang dulunya dipesan Sunan
Kalijaga kepada mPu Supo, pada bagian wadidhangnya sudah lubang dan tetap
disimpan sebagai salah satu Keris Pusaka andalan Keraton Jogja karena memiliki
muatan sejarah dan filosofi yang dalam dibandingkan sekedar bentuk atau wujud
fisiknya. Dengan demikian, kebanggan atas sebilah keris tua yang masih utuh bagi saya
hanyalah kesenangan semu yang hampa jika tidak diikuti dengan pemahaman terhadap
sejarah dan filosofi keris.
“Pamor keris boleh rontok, besi keris bisa saja terkikis aus karena usia, dan wrangka
keris bisa saja rusak karena jaman, tetapi pemahaman atas sejarah dan filosofi sebilah
keris akan selalu hidup dalam hati dan pikiran kita dan akan kita turunkan pada generasi
selanjutnya”.
Oleh karena itu, pemahaman terhadap sejarah dan kebudayaan masyarakat jaman
dahulu sangatlah memegang peranan penting dalam memahami tentang budaya
perkerisan.
Katakanlah mengapa konon Sultan Agung Hanyokrokusumo ketika awal masa
pemerintahannya sering memesan keris Luk 3 dapur Jangkung kepada Ki Nom ?
Mengapa keris Luk 13 banyak dipesan ketika seorang Raja sudah lama memerintah dan
hendak lengser keprabon ? Mengapa keris tangguh Pengging yang paling tinggi
maknanya adalah yang ber Luk 9 ? Mengapa keris luk 1 dapur Pinarak selalu
mengingatkan bahwa kehidupan kita di dunia ini sesungguhnya hanya sementara untuk
mampir duduk (pinarak) ? Kesemua itu ternyata menunjukkan bahwa sesungguhnya
keris memiliki makna yang lebih dalam dan sangat kaya daripada sekedar masalah
pamor, dapur dan tangguh serta keutuhannya yang sampai sekarang masih terus menjadi
perdebatan. Tentunya dengan tidak mengesampingkan ilmu atas fisik keris seperti
dapur, pamor maupun tangguhnya.
Dengan menempatkan keris sebagai benda yang memiliki makna filosofi mendalam,
maka kita sebenarnya telah berusaha memahami apa keinginan sang mPu dan orang
yang memesannya dahulu ketika membabar keris tersebut. Karena tentunya para mPu
dan orang yang memesannya tersebut sebenarnyna juga memiliki harapan-harapan yang
tentunya bermaksud baik. Dengan memahami makna filosofi dari sebuah keris tersebut,
maka sudah pasti kita turut “Nguri-uri”, melestarikan budaya keris karena salah satu
makna keris tersebut adalah sebagai simbol dari adanya suatu harapan dan doa.

Sebenarnya keris sendiri memiliki berbagai macam bentuk, ada yang bermata berkelok
kelok (7, 9 bahkan 13), ada pula yang bermata lurus seperti di daerah Sumatera. Selain
itu masih ada lagi keris yang memliki kelok tunggal seperti halnya rencong di Aceh atau
Badik di Sulawesi.

Bagian-bagian keris

Sebagian ahli tosan aji mengelompokkan keris sebagai senjata tikam, sehingga bagian
utama dari sebilah keris adalah wilah (bilah) atau bahasa awamnya adalah seperti mata
pisau. Tetapi karena keris mempunyai kelengkapan lainnya, yaitu wrangka (sarung) dan
bagian pegangan keris atau ukiran, maka kesatuan terhadap seluruh kelengkapannya
disebut keris.

* Pegangan keris

Pegangan keris ini bermacam-macam motifnya , untuk keris Bali ada yang bentuknya
menyerupai patung dewa, patung pedande, patung raksaka, patung penari , pertapa,
hutan ,dan ada yang diukir dengan kinatah emas dan batu mulia .

Pegangan keris Sulawesi menggambarkan burung laut. Hal itu sebagai perlambang
terhadap sebagian profesi masyarakat Sulawesi yang merupakan pelaut, sedangkan
burung adalah lambang dunia atas keselamatan. Seperti juga motif kepala burung yang
digunakan pada keris Riau Lingga, dan untuk daerah-daerah lainnya sebagai pusat
pengembangan tosan aji seperti Aceh, Bangkinang (Riau) , Palembang, Sambas, Kutai,
Bugis, Luwu, Jawa, Madura dan Sulu, keris mempunyai ukiran dan perlambang yang
berbeda. Selain itu, materi yang dipergunakan pun berasal dari aneka bahan seperti
gading, tulang, logam, dan yang paling banyak yaitu kayu.

Untuk pegangan keris Jawa, secara garis besar terdiri dari sirah wingking ( kepala
bagian belakang ) , jiling, cigir, cetek, bathuk (kepala bagian depan) ,weteng dan
bungkul.

* Wrangka atau Rangka

Wrangka, rangka atau sarung keris adalah bagian (kelengkapan) keris yang mempunyai
fungsi tertentu, khususnya dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa, karena bagian
wrangka inilah yang secara langsung dilihat oleh umum . Wrangka yang mula-mula
(sebagian besar) dibuat dari bahan kayu (jati , cendana, timoho , kemuning, dll) ,
kemudian sesuai dengan perkembangan zaman maka terjadi perubahan fungsi wrangka
(sebagai pencerminan status sosial bagi penggunanya ). Kemudian bagian atasnya atau
ladrang-gayaman sering diganti dengan gading.

Secara garis besar terdapat dua macam wrangka, yaitu jenis wrangka ladrang yang
terdiri dari bagian-bagian : angkup, lata, janggut, gandek, godong (berbentuk seperti
daun), gandar, ri serta cangkring. Dan jenis lainnya adalah jenis wrangka gayaman
(gandon) yang bagian-bagiannya hampir sama dengan wrangka ladrang tetapi tidak
terdapat angkup, godong dan gandek.

Aturan pemakaian bentuk wrangka ini sudah ditentukan, walaupun tidak mutlak.
Wrangka ladrang dipakai untuk upacara resmi , misalkan menghadap raja, acara resmi
keraton lainnya (penobatan, pengangkatan pejabat kerajaan, perkimpoian, dll) dengan
maksud penghormatan. Tata cara penggunaannya adalah dengan menyelipkan gandar
keris di lipatan sabuk (stagen) pada pinggang bagian belakang (termasuk sebagai
pertimbangan untuk keselamatan raja ). Sedangkan wrangka gayaman dipakai untuk
keperluan harian, dan keris ditempatkan pada bagian depan (dekat pinggang) ataupun di
belakang (pinggang belakang).

Dalam perang, yang digunakan adalah keris wrangka gayaman , pertimbangannya


adalah dari sisi praktis dan ringkas, karena wrangka gayaman lebih memungkinkan
cepat dan mudah bergerak, karena bentuknya lebih sederhana.

Ladrang dan gayaman merupakan pola-bentuk wrangka, dan bagian utama menurut
fungsi wrangka adalah bagian bawah yang berbentuk panjang ( sepanjang wilah keris )
yang disebut gandar atau antupan ,maka fungsi gandar adalah untuk membungkus wilah
(bilah) dan biasanya terbuat dari kayu ( dipertimbangkan untuk tidak merusak wilah
yang berbahan logam campuran ) .

Karena fungsi gandar untuk membungkus , sehingga fungsi keindahannya tidak


diutamakan, maka untuk memperindahnya akan dilapisi seperti selongsong-silinder
yang disebut pendok . Bagian pendok ( lapisan selongsong ) inilah yang biasanya diukir
sangat indah , dibuat dari logam kuningan, suasa ( campuran tembaga emas ) , perak,
emas . Untuk daerah diluar Jawa ( kalangan raja-raja Bugis , Goa, Palembang, Riau,
Bali ) pendoknya terbuat dari emas , disertai dengan tambahan hiasan seperti sulaman
tali dari emas dan bunga yang bertaburkan intan berlian.

Untuk keris Jawa , menurut bentuknya pendok ada tiga macam, yaitu (1) pendok bunton
berbentuk selongsong pipih tanpa belahan pada sisinya , (2) pendok blewah (blengah)
terbelah memanjang sampai pada salah satu ujungnya sehingga bagian gandar akan
terlihat , serta (3) pendok topengan yang belahannya hanya terletak di tengah . Apabila
dilihat dari hiasannya, pendok ada dua macam yaitu pendok berukir dan pendok polos
(tanpa ukiran).

* Wilah

Wilah atau wilahan adalah bagian utama dari sebuah keris, dan juga terdiri dari bagian-
bagian tertentu yang tidak sama untuk setiap wilahan, yang biasanya disebut dapur, atau
penamaan ragam bentuk pada wilah-bilah (ada puluhan bentuk dapur). Sebagai contoh,
bisa disebutkan dapur jangkung mayang, jaka lola , pinarak, jamang murub, bungkul ,
kebo tedan, pudak sitegal, dll.

Pada pangkal wilahan terdapat pesi , yang merupakan ujung bawah sebilah keris atau
tangkai keris. Bagian inilah yang masuk ke pegangan keris ( ukiran) . Pesi ini
panjangnya antara 5 cm sampai 7 cm, dengan penampang sekitar 5 mm sampai 10 mm,
bentuknya bulat panjang seperti pensil. Di daerah Jawa Timur disebut paksi, di Riau
disebut puting, sedangkan untuk daerah Serawak, Brunei dan Malaysia disebut punting.

Pada pangkal (dasar keris) atau bagian bawah dari sebilah keris disebut ganja (untuk
daerah semenanjung Melayu menyebutnya aring). Di tengahnya terdapat lubang pesi
(bulat) persis untuk memasukkan pesi, sehingga bagian wilah dan ganja tidak
terpisahkan. Pengamat budaya tosan aji mengatakan bahwa kesatuan itu melambangkan
kesatuan lingga dan yoni, dimana ganja mewakili lambang yoni sedangkan pesi
melambangkan lingganya. Ganja ini sepintas berbentuk cecak, bagian depannya disebut
sirah cecak, bagian lehernya disebut gulu meled , bagian perut disebut wetengan dan
ekornya disebut sebit ron. Ragam bentuk ganja ada bermacam-macam, wilut , dungkul ,
kelap lintah dan sebit rontal.

Luk, adalah bagian yang berkelok dari wilah-bilah keris, dan dilihat dari bentuknya
keris dapat dibagi dua golongan besar, yaitu keris yang lurus dan keris yang bilahnya
berkelok-kelok atau luk. Salah satu cara sederhana menghitung luk pada bilah , dimulai
dari pangkal keris ke arah ujung keris, dihitung dari sisi cembung dan dilakukan pada
kedua sisi seberang-menyeberang (kanan-kiri), maka bilangan terakhir adalah
banyaknya luk pada wilah-bilah dan jumlahnya selalu gasal ( ganjil) dan tidak pernah
genap, dan yang terkecil adalah luk tiga (3) dan terbanyak adalah luk tiga belas (13).
Jika ada keris yang jumlah luk nya lebih dari tiga belas, biasanya disebut keris
kalawija ,atau keris tidak lazim .
Sejarah

Asal keris yang kita kenal saat ini masih belum terjelaskan betul. Relief candi di Jawa
lebih banyak menunjukkan ksatria-ksatria dengan senjata yang lebih banyak unsur
India-nya.

Keris Budha dan pengaruh India-Tiongkok

Kerajaan-kerajaan awal Indonesia sangat terpengaruh oleh budaya Budha dan Hindu.
Candi di Jawa tengah adalah sumber utama mengenai budaya zaman tersebut. Yang
mengejutkan adalah sedikitnya penggunaan keris atau sesuatu yang serupa dengannya.
Relief di Borobudur tidak menunjukkan pisau belati yang mirip dengan keris.

Dari penemuan arkeologis banyak ahli yang setuju bahwa proto-keris berbentuk pisau
lurus dengan bilah tebal dan lebar. Salah satu keris tipe ini adalah keris milik keluarga
Knaud, didapat dari Sultan Paku Alam V. Keris ini relief di permukaannya yang berisi
epik Ramayana dan terdapat tahun Jawa 1264 (1342 Masehi), meski ada yang
meragukan penanggalannya.

Pengaruh kebudayaan Tiongkok mungkin masuk melalui kebudayaan Dongson


(Vietnam) yang merupakan penghubung antara kebudayaan Tiongkok dan dunia
Melayu. Terdapat keris sajen yang memiliki bentuk gagang manusia sama dengan belati
Dongson.
Keris "Modern"

Keris yang saat ini kita kenal adalah hasil proses evolusi yang panjang. Keris modern
yang dikenal saat ini adalah belati penusuk yang unik. Keris memperoleh bentuknya
pada masa Majapahit (abad ke-14) dan Kerajaan Mataram baru (abad ke-17-18).

Pemerhati dan kolektor keris lebih senang menggolongkannya sebagai "keris kuno" dan
"keris baru" yang istilahnya disebut nem-neman ( muda usia atau baru ). Prinsip
pengamatannya adalah "keris kuno" yang dibuat sebelum abad 19 masih menggunakan
bahan bijih logam mentah yang diambil dari sumber alam-tambang-meteor ( karena
belum ada pabrik peleburan bijih besi, perak, nikel dll), sehingga logam yang dipakai
masih mengandung banyak jenis logam campuran lainnya, seperti bijih besinya
mengandung titanium, cobalt, perak, timah putih, nikel, tembaga dll. Sedangkan keris
baru ( setelah abad 19 ) biasanya hanya menggunakan bahan besi, baja dan nikel dari
hasil peleburan biji besi, atau besi bekas ( per sparepart kendaraan, besi jembatan, besi
rel kereta api dll ) yang rata-rata adalah olahan pabrik, sehingga kemurniannya terjamin
atau sedikit sekali kemungkinannya mengandung logam jenis lainnya.

Misalkan penelitian Haryono Arumbinang, Sudyartomo dan Budi Santosa ( sarjana


nuklir BATAN Yogjakarta ) pada era 1990, menunjukkan bahwa sebilah keris dengan
tangguh Tuban, dapur Tilam Upih dan pamor Beras Wutah ternyata mengandung besi
(fe) , arsenikum (warangan )dan Titanium (Ti), menurut peneliti tersebut bahwa keris
tersebut adalah "keris kuno" , karena unsur logam titanium ,baru ditemukan sebagai
unsur logam mandiri pada sekitar tahun 1940, dan logam yang kekerasannya melebihi
baja namun jauh lebih ringan dari besi, banyak digunakan sebagai alat transportasi
modern (pesawat terbang, pesawat luar angkasa) ataupun roket, jadi pada saat itu
teknologi tersebut belum hadir di Indonesia. Titanium banyak diketemukan pada batu
meteorit dan pasir besi biasanya berasal dari daerah Pantai Selatan dan juga Sulawesi.
Dari 14 keris yang diteliti , rata-rata mengandung banyak logam campuran jenis lain
seperti cromium, stanum, stibinium, perak, tembaga dan seng, sebanyak 13 keris
tersebut mengandung titanium dan hanya satu keris yang mengandung nikel.

Keris baru dapat langsung diketahui kandungan jenis logamnya karena para Mpu
( pengrajin keris) membeli bahan bakunya di toko besi, seperti besi, nikel, kuningan dll.
Mereka tidak menggunakan bahan dari bijih besi mentah ( misalkan diambil dari
pertambangan ) atau batu meteorit , sehingga tidak perlu dianalisis dengan isotop
radioaktif. Sehingga kalau ada keris yang dicurigai sebagai hasil rekayasa , atau keris
baru yang berpenampilan keris kuno maka penelitian akan mudah mengungkapkannya.
Beberapa Keris Pusaka terkenal :

* Keris Mpu Gandring


* Keris Pusaka Setan Kober
* Keris Kyai Sengkelat
* Keris Pusaka Nagasastra Sabuk Inten
* Keris Kyai Carubuk
* Keris Kyai Condong Campur

Diposkan oleh indra Tgl 19.10.07

Anda mungkin juga menyukai