Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Ronald Adam
NIM. 1111111000042
1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
Hidayatullah Jakarta.
-). Jika di kemudianhari terbukti bahwa karya saya ini bukanhasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
20t6
7- I
I
Nama : RonaldAdam
NIM :1111111000042
Program Studi : Sosiologi
Mengetahui, Menyetujui,
Ketua Program Studi Pembimbing,
SKRIPSI
KOMI'trrtTAS BAIIA'I II\DONESIA DAI\ MOBILISASI ST'MBERDAYA: STI]DI
ATAS STRATEGI BERTAIIAN KOMTINITAS BAHA'I DI JAKARTA
oleh
RonaldAdam
1111111000042
telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 23 Januari 2017. Skripsi
ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada
Program Studi Sosiologi.
Ketua Sidang,
Penguji I,
turffi
Prof. Dr. Zulkifli, MA Dr.
NrP. 196608 13 199103 1004 NIP. 1
Dr. CucriNrhhayati, M. Si
NIP. I 9760 9 182003 122003
ABSTRAK
v
KATA PENGANTAR
Penelitian skripsi ini merupakan karya awal yang membawa penulis ke depan
manusianya sebagai makhluk berakal budi. Dengan begitu, pengalaman ini menjadi
manusia. Penulis sangat berterima kasih kepada pihak-pihak yang terlibat dalam
penyelesaian penulisan skripsi ini. Sebab, tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak,
skripsi ini tidak mungkin selesai, dan pencarian hakikat manusia selama ini
merupakan usaha yang sia-sia. Oleh karenanya, penulis ingin mengucapkan terima
1. Bapak Prof. Dr. Zulkifli, MA sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatulla Jakarta, yang telah berupaya
memajukan intelektualitas mahasiswa melalui peran strukturalnya di
FISIP UIN Jakarta. Juga sebagai dosen penguji yang memberikan
masukan yang amat penting dalam rekomendasi penelitian.
2. Dr. Cucu Nurhayati, M.Si., selaku Ketua Prodi Sosiologi yang telah
membantu dan menyemangati dengan penuh perhatian kepada penulis
selama proses penulisan skripsi ini.
3. Dr. Joharotul Jamilah, M.Si, selaku Sekretaris Prodi Sosiologi yang sekaligus
sebagai penguji dalam sidang skripsi, telah memberikan masukan yang penting
dalam rekomendasi penelitian.
4. Bapak Mohammad Hasan Ansori, Ph.D, selaku dosen pembimbing skripsi
yang selalu sabar dan tidak mengenal bosan dalam memberikan
pencerahan kepada penulis selama proses penulisan skripsi ini. Terima
vi
kasih Pak Ansori atas segala kritik masukan yang konstruktif dan
membuka ruang dialektis selama proses bimbingan berlangsung di tengah
kesibukannya.
5. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Sosiologi FISIP UIN Syarif Hidayatullah
sebagai penyambung rantai pengetahuan dan transformasi keilmuan
selama proses kuliah berlangsung.
6. Untuk kedua orang tua tercinta yang berjasa besar selama hidup penulis,
yang telah memberikan cinta dan kasih sayang tanpa putus, memotivasi
penulis dan mendukung segala pilihan dan jalan hidup penulis. Semua
yang mereka berikan menjadi akumulasi semangat besar untuk penulis
dan berperan besar dalam penyelesaian skripsi.
7. Terima kasih pula untuk kakak dan kedua adik tercinta yang wajahnya
senantiasa mengingatkan penulis untuk sesegera mungkin merampungkan
skripsi.
8. Terima kasih kepada mbak Amanah Nurish Ph.D dan Bapak Nuhrison M.
Nuh yang membuka ruang dialog selama penelitian serta membantu
peneliti dalam proses dokumentasi dan literatur. Terima kasih untuk Dr.
Natalie Mobini-Kesheh yang membantu dan mengizinkan penulis
mengakses literatur-literatur Baha’i. Terima Kasih kepada Bapak Nur
Khafid yang membantu mempertemukan penulis dengan informan.
Terima Kasih kepada sahabat Aji Nugroho dan Fulki Yuga yang
membantu penulis selama proses penelitian skripsi. Terima kasih tidak
lupa kepada Dinno Brasco, Adriansyah Aswaja, Khalid Syaifullah, Nurul
Ismi Humairoh, Cendhy Vicky, dan Ahmad Faedullah yang membantu
penulis dalam proses dokumentasi literatur dan pencarian bahan. Dan
terima kasih untuk Nilufar Gordon dan teman-teman Baha’i Association
for Baha’i Studies di Kanada atas bantuan akses jurnal-jurnal seputar
Baha’i, best regards.
vii
9. Terima kasih kepada teman-teman Baha’i Khafa Mahmoud yang
membantu penulis dalam menghubunkan informan selama proses
penelitian berlangsung. Terima kasih kepada keluarga Bapak Ahura
Mazda dan Ibu Devansha Mahila yang membantu penulis selama proses
penelitian berlangsung. Rela membuka pintu untuk penulis dan menerima
penulis seperti anak sendiri. Dan seluruh informan, khususnya teman-
teman Baha’i di Indonesia, Khususnya di Jakarta yang bersedia menjadi
informan dalam penelitian yang tidak bisa diucapkan satu persatu.
10. Kepada Nasrul Ma’arif yang sudah membuka dialog bersama kelas damai,
terima kasih banyak.
11. Terima kasih untuk teman-teman Sosiologi 2011 FISIP UIN Jakarta,
Abdul Hakim Syafi’i, Ahmad Chairul Anhari, Irfan Arridha, Alvindo
Febriansyah, Ivan Sulistiana, Wahyu Ramdhani, Wibi Prastyono, Budi
Setiawan, Rizki Deniz, Muhammad Kurniawan, Ru’yatul Hilal, Ade
Muhammad Irfan, Fadhli Ibrahim, Soghi Muhammad, Ulya Syarifah,
Dewi Andira, Eka Rizkiati, Yusri Nurhabibah, Eva Anggriana, Cahya
Arini, Indah Sari, Adibah, Ayu Pertiwi, Nazimatul Alimah.
12. Terima kasih kepada Pandawa-Kurawa FISIP UIN 2011, Hendra
Sunandar, Ahmad Nurcholis, Khairi Fuadi, Muhammad Sutisna, Fikri
Mahir Lubis, Ahsan Ridhoi, Roy Imanudin, Reza R Ramadhan, Iksan
Nasution, Muhammad Sulthon, Muhammad Ikhsan, Amar Runsfikry,
Aprilian Cena, Faisal Rumadi, Fikry- Al Fajr (Pasto), Zamiral Hamdi,
Ganang, Atfal, Dody dan lain-lain.
13. Terima kasih untuk para sahabat dan Senior, Muhammad Faruki, Ahmad
Bun Yani, Faturrahman (kentung), Gunawan, Samsul Anwar, Imron
Mahrus, Rafsan Muhammad, Mabrur Alfath, Badron Tamim, Earvin
Muhammad, Fitra Aditya Irsyam, Rikal Dzikri, Villarian Burhan, Malik
Abdillah, Nashirulhaq, Amal, Ayip, Didin, Basit, Edho, Deny, Pale, Yogo,
Hanif, Ical Marbun, Mamat, cacing, Sandy, Reza, Annisa Nurul Jannah,
viii
Lisa Septiana, Bintu, Derinah, Desy, Fitria, Ocha, Farah, Andhita, Anggita
dan lain-lain
14. Serta Keluarga Besar PMII KOMFISIP, Cabang Ciputat yang tidak bisa
disebutkan satu per satu.
bisa membalas kebaikan hati mereka. Semoga penelitian ini bermanfaat untuk
Ronald Adam
ix
DAFTAR ISI
ABSTRAK ................................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN
x
F. Kegiatan Indi Masyarakat Baha’i .................................................................. 74
F.1. Doa Bersama .......................................................................................... 74
F.2. Rangkaian Pendidikan Baha’i ................................................................ 75
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................................. 135
B. Saran ............................................................................................................ 140
LAMPIRAN
xi
DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar. III.5. Peringatan Kelahiran ‘Sang Bab’ dan Baha’ullah ........................... 103
Gambar. III.8. Jaringan Lama dan Pembentukan Jaringan Baru ............................. 112
Gambar. III. 9. Bagan Analisis Faktor Pemilihan Pola Strategi Bertahan .............. 120
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
x
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Penelitian
agama, menyatakan bahwa sejak tahun 1970-an wajah dunia berubah secara
identik dengan kemajuan teknologi, dan teori sekularisasi yang identik dengan
justru dianggap sebagai sumber rusaknya tatanan sosial karena telah memangkas
fungsi sosial agama diruang publik dan memaksa agama untuk bergeser pada
ruang yang lebih privat. Titik puncaknya tahun 1970-an hingga sekarang bahwa
Artinya bahwa faktor agama tidak bisa dihindarkan dari analisis sosial hari ini dan
1
Indonesia pasca reformasi juga memunculkan gelombang gerakan-gerakan
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Gerakan Anti Pemurtadan & Aliran Sesat
yang pada sebelumnya dilarang oleh pemerintah orde lama dan orde baru dengan
adanya keputusan presiden Ir. Soekarno No. 264/Tahun 1962 (dalam makalah
merupakan hak azasi setiap warga negara Indonesia, (b) bahwa larangan terhadap
264 Tahun 1962, dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip-prinsip
2
demokrasi khususnya pasca reformasi. Akhirnya keputusan Presiden No.
Setara dengan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu, agama
Baha‟i merupakan salah satu agama paling baru di dunia. Meski kemunculannya
berawal dari salah satu sekte dalam Islam, Baha‟i pada gilirannya menyatakan
berdiri sendiri tanpa menginduk kepada Islam atau agama manapun. Mereka
mempunyai rumah ibadah, ajaran, kitab suci dan nabinya sendiri (Michael Keene,
2010:178).
mengenai keberadaan Baha‟i di Indonesia) bahwa “Agama Baha‟i ialah salah satu
dari agama-agama yang berkembang di dunia internasional dan tersebar lebih dari
menyatakan juga bahwa “Baha‟i ialah suatu agama dan bukan aliran dari suatu
Artinya, Baha‟i setara dengan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan
Khonghucu yang merupakan sebuah agama yang berdiri sendiri di atas ajarannya
Indonesia (LDII), Hizbu Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI),
menginduk pada Ajaran Islam. Komunitas Baha‟i juga bukan „denominasi‟ atau
3
„established’ (dalam istilah Troeltsch, 1911 & Niebuhr, 1929) seperti komunitas
Meskipun di satu sisi Baha‟i ialah sebuah agama yang berdiri sendiri, tetapi di
sisi lain Baha‟i juga bukanlah „agama resmi‟ (dilayani dalam persoalan sipil) di
Indonesia. Hal ini bedasarkan penetapan Presiden No. 1 tahun 1965 tentang
lain di dunia internasional, tetapi Baha‟i sedang berada dalam kondisi dilematis.
Menurut Nuhrison (2014) kondisi demikian bisa disebut dengan konsep yang
dicetuskan oleh Rajanit Guha (1999) sebagai subaltern classes yang dalam kajian
poskolonial sebagai kelompok yang hidup dan bekerja dengan „mereka‟ dalam
masyarakat yang sama namun diperlakukan sebagai „yang lain‟ (the other).
seperti pencantuman Agama Baha‟i dalam KTP dan kartu keluarga (KK), Akte
4
Kelahiran, Akte perkawinan, dan Pendidikan Agama di sekolah (Nuhrison,
2014:18).
perkawinan penganut Agama Baha‟i, dengan alasan belum jelasnya status Agama
Baha‟i sebagai Agama yang diakui oleh pemerintah. Namun akhirnya Dinas
merupakan agama yang setara agama lainnya yang ada di Indonesia (Nuhrison,
2014:18).
berangkat dari interpretasi yang sering kali menuding agama Baha‟i telah
memberikan sanksi tegas kepada Syahroni (umat Baha‟i) karena dianggap telah
ajaran agama Baha‟i yang dibawa Syahroni telah mengganggu umat muslim
dalam menjalankan syariat Islam. FUI menuntut Syahroni dengan pasal 156
KUHP tentang penistaan agama dengan ancaman 5 tahun penjara dan denda Rp.
5
50 juta. Sebelum FUI menyeret ke pengadilan, massa yang tidak teridentifikasi
juga sempat melempari batu ke rumah anggota Baha‟i, dan dalam masa
lampung. Salah satu dari 16 aliran tersebut ialah agama Baha‟i. Kelompok HTI
penganut agama Baha‟i keluar dari komunitasnya. Hal demikian justru menjadi
sebuah tantangan untuk Baha‟i sebagai sebuah komunitas untuk bertahan dan
hari raya agama Baha‟i (yang disebut dengan Nawruz), kemudian hari ulang tahun
Komunitas Baha‟i hari ini juga tersebar di 190 negara dan 45 wilayah otonom,
dengan kata lain bahwa komunitas Baha‟i ada di 126.904 kota/desa di seluruh
dunia termasuk Indonesia. Kitab sucinya juga telah diterjemahkan ke dalam 802
6
Baha‟i diinterpretasikan negatif oleh komunitas agama lainnya, tetapi justru
atau Kyai dalam Islam, Pastur dalam Kristen dan sebagainya). Bahá‟u‟lláh
pemuka agama ialah model jaman dahulu ketika mayoritas masyarakat dunia
Oleh sebab itu, sangatlah mungkin untuk semua membaca „Kitab Suci‟ mereka
sendiri dan hadir pada pemahaman mereka untuk mereka sendiri. Pada gilirannya
dalam politik partisan. Tetapi hal tersebut bukan berarti tidak berpartisipasi dalam
pemilu. Mereka tetap berpartisipasi dalam pemilu dan bahkan harus mematuhi
perintah negara di manapun mereka berada. Hal tersebut termaktub jelas dalam
Dalam kondisi yang saling bertentangan dan unik tersebut, Baha‟i ditantang
berkembang. Sedangkan jaringan ialah struktur sosial yang akan selalu mengikuti
7
dengan konfigurasi kehidupan sosial-demografis daerah tertentu. Semakin
kompleks struktur sosial dan kondisi demografisnya, maka akan semakin rumit
Kondisi inilah yang dihadapi dalam komunitas Baha‟i di daerah ibu kota
berpendapat bahwa dasar dari perjuangan untuk eksistensi ialah posisi atau lokasi.
Hal ini berlaku bagi individu maupun kelompok harus mampu bersaing di
karena melihat DKI Jakarta sebagai ibu kota Indonesia sekaligus konfigurasi
dalam suatu daerah tertentu, tetapi mereka lebih memilih hidup dengan cara
8
Bedasarkan kondisi dan alasan inilah skripsi ini menjadikan Jakarta seebagai studi
kasusnya.
bermaksud untuk melihat cara atau strategi bertahan komunitas Baha‟i dan
gerakannya berkembang di Jakarta sampai saat ini, dan faktor-faktor apa saja yang
B. Pertanyaan Penelitian
C.1. Tujuan
9
Theory (khususnya Teori Networking) sebagai sebuah upaya untuk
strategis.
C.2. Manfaat
teori networking untuk keluar dari „rumahnya‟ yaitu gerakan sosial dan
10
C.2.2. Manfaat praktis
2. Teori dan pendekatan dalam penelitian ini bisa dijadikan rujukan untuk
perkembangan komunitasnya.
D. Tinjauan Pustaka
Disertasi Arthur Hampson, dengan judul: The Growth and Spread of The
karakter Agamanya melalui proses difusi. Karena proses ini yang diklaim oleh
Amerika Utara dari tahun 1853 sampai 1953. Hampson juga menggantungkan
penelitiannya pada literatur-literatur terkait Baha‟i. Mulai dari kitab suci, tulisan-
11
Agama. Proses ini yang seringkali digunakan oleh agama-agama diawal
kemunculannya.
Kedua, pada tahun 1919, perluasan, pertumbuhan dan proses penyebaran lebih
Will C. van den Hoonaard, dengan judul: The Baha’i Community of Canada:
(1995). Artikel penelitian ini juga pernah diterbitkan dengan judul: Origins of the
University Press, 1996. Dan juga dalam Journal Faculty of Religious Studies
(McGill University, issue 24: 97-118) dengan judul: Inside The Originss of the
„barat‟, yang mengambil sebuah studi kasus asal-usul dan awal kehidupan
12
singkat dari masyarakat Baha‟i di Kanada. Namun karena analisa Hoonaard lebih
ke arah sosiologis daripada sejarah, maka substansi studi ini adalah pemeriksaan
melihat proses adaptasi sosial dan perkembangan dari agama yang melakukan
transplantasi.
kultus, yang di impor dari masyarakat lain. Seperti yang telah dilakukan peneliti-
dalam satu masyarakat tertentu, sedangkan bisa menjadi iman yang umum di
masyarakat tertentu. Misal, Hindu bisa menjadi kultus di Amerika Serikat atau
Baha‟i dengan batas-batas permeabel dan relatif „lunak‟ dalam masyarakat yang
lebih luas. Sehingga pertumbuhan yang lambat mungkin ialah konsekuensi logis
Dalam beberapa kasus yang dianggap sebagai sumber potensi kesulitan ialah;
ukuran yang relatif kecil dari masyarakat membuatnya hampir mustahil untuk
pertimbangan dari Baha‟i yang mengklaim memiliki wahyu baru. Bahkan Shoghi
13
Efffendi (salah satu pemimpin) tidak bisa membuat pernyataan seperti itu. Dan
juga banyak referensi dari Baha‟i yang mengatakan bahwa seseorang tidak dapat
Pada akhirnya, sejauh mana masyarakat mayoritas siap untuk menerima atau
keadaan dengan ketegangan tinggi dengan masyarakat yang lebih luas. Namun
variable seperti ukuran gerakan dan pengaruh peristiwa seperti perang, politik,
dan kondisi sosial, dapat membentuk reaksi gerakan yang di luar kendali
yang tidak bersahabat di Kanada terhadap ide-ide baru dan orang-orang asing.
Bagi komunitas Baha‟i, itu merupakan sebuah peluang untuk ekspansi, dan itu
budaya Baha‟i dan para elit lambat mengembangkan keanggotaan dan mungkin
keagamaan baru sebagai anggota generasi lainnya. Namun akhirnya, selama tahun
14
awalnya berorientasi terhadap individualisme, subkultur ini tidak menekankan
pengetahuan sesama Baha‟i. Baha‟i tahu sedikit tentang satu sama lain.
Sebelum 1927, ada perbedaan antara Baha‟i lama dan baru. Perbedaan itu
terlihat ketika Baha‟i sedang berubah menjadi komunitas yang terorganisir, bukan
hanya kolektif individu yang kemungkinan besar akan membuang ajaran Baha‟i
karena ada proses kristenisasi. Baha‟i yang baru cenderung lebih duniawi dan
dalam Journal of Baha‟i Studies Vol. 3, Nomor 1, Ottawa: Association for Baha‟i
kemajuan umat Baha‟i dan manusia dan untuk merekonstruksi dunia. Dengan
alasan ini, dalam tulisan Bahaullah menurut Hanley, telah memerintahkan para
Tulisan-tulisan Baha‟i setidaknya telah menanamkan visi dan nilai yang sesuai
untuk pertanian yang hasil daripadanya berkaitan erat dengan ekologi dan
ekonomi. Dan juga ada implikasi lain yang ditemukan Hanley, yaitu relasi yang
juga sama eratnya dari pertanian dengan hubungan manusia dengan alam, peran
15
perempuan, peran ilmu pengetahuan dan teknologi, dan hubungan antara
sayangnya hanya mengkaji teks-teks yang ditulis oleh Bahaullah dan sejauh mana
Policy In Old Oreder Indonesia and The Banning of The Baha’is, (1991) Monash
era Orde Lama. Mulai dari sejarah masuknya Baha‟i di era pemerintahan Hindia-
Belanda, aktivitas komunitas Baha‟i dari 1949 (awal kemerdekaan) sampai 1962
(munculnya pelarangan oleh presiden Ir. Soekarno tahun 1962), kemudian era
Tesis ini merupakan kajian sejarah yang panjang mengingat Baha‟i banyak
hingga saat ini. Tesis ini mendeskripsikan sekaligus memberikan analisa historis
yang luar biasa, bagaimana proses kedatangan Baha‟i era kolonial Belanda di
seluruh hak kebebasan beragama warga negara Indonesia maupun hak-hak sipil
pelarangan komunitas Baha‟i ialah kulminasi dari ruling regime’s yang mencoba
Indonesia.
16
H. Nuhrison M. Nuh dengan judul: Kelompok Penganut Agama Baha’i Di
aliran Agama Baha‟i, lengkap dengan ciri khas masing-masing kelompok meliputi
metodologi kualitatif.
persoalan sosial dan rusaknya sistem nilai. Agama Baha‟i lahir di kalangan
oleh karena itu agama Baha‟i menyerukan kepada umat manusia agar berusaha
sekuat tenaga untuk menciptakan dunia yang damai, aman dan bersatu. Ajaran
17
Seenal Fazel dengan judul: Is the Baha’i Faith a World Religion? (1994)
dalam Journal of Baha‟i Studies Vol. 6, nomor 1, h: 1-16, Ottawa: Association for
beberapa isu terkait analisis sosiologis status kepercayaan Baha‟i dan berusaha
untuk menyajikan kriteria komunitas Baha‟i kedalam label “Agama Dunia” dan
memenuhi kriteria tersebut. Fazel juga mencoba untuk menunjukan bahwa Iman
perkara yang mudah. Namun di sinilah aspek penelitian Fazel dengan melihat
diskursus Baha‟i sebagai label „agama dunia‟. Fazzel tidak memfokuskan pada
mengembangkan komunitasnya.
Farhad Rassekh, dengan judul: The Baha’i Faith and the Market Ekonomy
(2001) dalam Journal of Baha‟i Studies Vol. 11, nomor 3/4, Ottawa: Association
for Baha‟i Studies North America, 2001. Rassekh memulai penelitiannya dengan
18
menganalisa variable Baha’i faith kedalam penelitiannya. Rassekh dengan jeli
yang lengkap kepada dunia”. Sebaliknya, “dia telah member kita prinsip-prinsip
dasar yang bisa membimbing ekonomi Baha‟i di masa depan dalam membangun
tergambar secara eksplisit dalam ajaran Baha‟i. Shoghi Effendi mengatakan “tidak
ada dalam ajaran yang melawan beberapa jenis kapitalisme”. Kemudian Abdul-
19
terkemuka Adam Smith yang membangun kontribusi mendasar di bidang
ekonomi.
kalangan seperti Jerry Muller yang melihat bahwa Kristen dan tradisi republik
mengembangkan komunitasnya.
Sociological and Baha’i Perspective (2008) dalam Journal of Baha‟i Studies, Vol.
18, nomor 1/4, h:41-76, Ottawa: Association for Baha‟i Studies North America,
2008. Penelitian ini mencoba membahas perubahan sosial dan modernitas melalui
dua perspektif; Baha’i faith dan sosiologi. Bedasarkan pada peran agama dalam
Pertama, mengkaji perubahan sosio-historis dari zaman aksial dan kekuatan yang
20
ilahian adalah dorongan penting untuk memajukan dan mengubah peradaban
material.
Mahmoudi dalam penelitian ini, khususnya peran dan konstribusi Baha‟i dalam
Baha‟i.
In Indonesia: A Case Study In Banyuwangi, East Java (2010) The Center for
ini berfokus pada stategi bertahan komunitas Baha‟i di Banyuwangi dari beberapa
hambatan eksternal yaitu pelayanan pemerintah terhadap hak sipil umat Baha‟i
yang belum maksimal dan juga tekanan dari kelompok mayoritas (Islam) ataupun
Temuan penelitian ini pertama melihat bahwa ada bentuk perlawanan pasif
sebuah cara untuk kelompok tersebut bertahan. Mereka lebih memilih untuk diam
21
sebagai bentuk perlawanan dan juga untuk menghindari konflik fisik dan hal-hal
dalam dunia sosial, ekonomi dan budaya sehingga seseorang memilih berpindah
Reconstructing the Public Sphere (2011) dalam Journal of Baha‟i Studies, Vol.
21, nomor 1/4 , h:73-98, Ottawa: Association for Baha‟i Studies North America,
2011. Studi yang dilakukan Weinberg ialah pertukaran bahwa individu dan
Model-model baru dari transformasi sosial hanya akan muncul dari perubahan
kesadaran siapa kita, bagaimana kita menganggap orang lain yang masuk, tidak
peduli seberapa dekat atau jauh dan bagaimana tindakan kita secara kolektif
merancang struktur dan proses kehidupan sosial, baik lokal maupun global. Hal
pengalaman manusia dalam wacana publik yang dapat menimbulkan makna sosial
22
Studi Weinberg menjelaskan kontribusi besar komunitas Baha‟i di arena
ekonomi, teknis, dan moral masyarakat tergantung pada sumberdaya dari kedua
menantang, tetapi diskursus publik tentang agama, jauh dan kabur dari gagasan
fokus pada kekuatan jiwa manusia. Bayangkan, agama dengan cara ini dapat
Sejarah Di Jawa Tengah (2015) diterbitkan oleh Pustaka Pelajar. Penelitian dalam
buku yang ditulis Rosyid, memotret sejarah agama dari eksisnya masyarakat
23
Penelitian ini menemukan bahwa meski ada tekanan dari negara maupun
kehidupan masyarakat Baha‟i di Jawa Tengah. Namun adanya proses sosial yang
Penelitian Kustini dan Syaiful Arif dengan Judul: Eksistensi Agama Baha‟i di
Palopo, Sulawesi Selatan (2015) dalam “Baha‟i, Sikh, Tao: Penguatan Identitas
Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI, 2015. Penelitian ini mencoba
dilakukan oleh Hanley (1990), Rassekh (2001), dan Mahmoudi (2008) mencoba
maupun perubahan sosial masyarakat. Selain itu juga dengan penelitian Nuhrison
(1994), Rosyid (2015), Kustini dan Arif (2015) yang mencoba melihat eksistensi
Sedangkan skripsi ini mencoba mengeksplorasi lebih jauh dan spesifik seperti apa
24
Kemudian penelitian Weinberg (2011) dan Fazel (1994) melihat pembangunan
Hoonaard (1995) telah banyak membahas peran dari institusi Baha‟i dalam proses
rekrutmen sebagai salah satu cara penyebaran dan bertahannya komunitas Baha‟i.
partisipan Baha‟i. Kajian literatur ini menunjukan bahwa banyak penelitian yang
25
demikian, hanya sedikit usaha yang dilakukan untuk melihat strategi komunitas
Baha‟i dalam bertahan dari perspektif sosiologi gerakan sosial yang menggunakan
E. Kerangka Teoritis
Skripsi ini menggunakan kerangka teoritis dari gerakan sosial khususnya teori
jaringan dalam sebuah kelompok atau komunitas pada level grassroot, yang pada
pembahasan secara umum terhadap gerakan sosial sebagai payung teoritis, serta
pengkajian yang mendalam pada teori networking sebagai tools analisis dan mata
pisaunya.
tahun 1950-an. Istilah ini dipakai pertama kali oleh sejarawan Eric Hobsbawm
buku tersebut mendapati kritik karena terlalu luasnya pengertian gerakan sosial,
mulai dari segala kerusuhan yang berlangsung hanya selama beberapa jam, hingga
kepada gerakan permanen di Itali, Perancis, dan Spanyol. Tetapi poin yang patut
26
diambil dari Hobsbawm ialah istilah gerakan sosial yang ia gunakan (Burke,
2011:132).
Pada gilirannya, isu mengenai gerakan sosial telah menjadi sebuah kajian
yang mengusung berbagai tujuan, sehingga menjadikan topik ini cukup menarik
perhatian para cendikiawan khususnya para sosiolog (Porta dan Diani 2006:1).
yang terjadi ketika rakyat biasa yang bergabung dengan para kelompok
mobilisasi untuk melawan para elit, pemegang otoritas, dan pihak-pihak lawan
isu buruh dan negara. Sedangkan gerakan sosial baru muncul dan memusat pada
Setidaknya, gerakan sosial baru maupun lama, mereka bisa saja bertahan,
berkembang atau bahkan bubar di tengah jalan tergantung oleh dinamika di dalam
27
gerakan. Oleh sebab itu, untuk melihat dinamika dalam sebuah gerakan, para
dialami oleh gerakan sosial manapun (Tarrow, 1998:15). Dalam kondisi tersebut,
permasalahan dinamika internal sebuah kelompok menjadi kajian dan studi yang
juga penting dalam gerakan sosial. Banyak fakta yang memperlihatkan bahwa ada
kelompok yang bubar pada tahap tertentu sebelum tercapainya tujuan, dan bahkan
merupakan reaksi atas pandangan lama dari asumsi teori psikologi-sosial dalam
gerakan sosial yang menyatakan bahwa gerakan sosial ialah perilaku irrasional
yang tumbuh dan berkembang pada orang-orang yang mengeluh dan merasa tidak
puas atas kebijakan. Maka pada 1960-an, pendekatan RMT telah menemukan
banyak fakta bahwa tidak semua orang yang ikut serta dalam gerakan ialah orang-
28
Diperkuat oleh Jenkins (1983) dalam teori entrepreneurial (yang merupakan
merujuk pada RMT bahwa partisipasi dalam gerakan sosial merupakan prilaku
yang rasional, karena juga berbasis pada keuntungan dan kerugian seseorang
Oleh karena itu, Dalam pandangan Jenkins (1983), bahwa RMT sebagai
sosial (dari dalam maupun luar kelompok gerakan) untuk mencapai tujuan
karakter dan hasil dari gerakan sosial dengan melihat faktor-faktror struktural,
RMT berkonsentrasi pada “sarana atau ruang kolektif, baik informal maupun
kedalam aksi kolektif” (McAdam, McCarthy, dan Zald, 1996:3). Karena, menurut
gerakan sosial juga bisa berhasil mencapai tujuannya (Salim Press, 2011:113).
29
Proses mobilisasi sosial bagi Klandermans (1984) merujuk kepada proses
yang didapat saat bergabung dan kerugian yang besar ketika tidak bergabung
dalam konsep Fuchs; 2006) yang termasuk uang, organisasi, kekuatan individu,
teknologi, peralatan komunikasi dan media massa. Sedangkan bisa dengaan non-
organisasi dan jaringan informal yang bisa atau siap untuk melakukan gerakan
30
1.1. Strategi Bertahan
sebuah strategi kelompok atau gerakan untuk bertahan dan berkembang. Salah
kelompok gerakan.
jalur khusus sebuah gerakan dan siklus gerakan sosial yang lebih luas. McCarthy
juga berpendapat bahwa jalur keterlibatan seseorang dalam gerakan sosial juga
sukarela, teman kerja dan elemen struktur-struktur sosial daerah itu sendiri
sangatlah penting karena di sana lah sering terjadi mobilisasi dan seringkali
sebagai jaringan informal. Dalam hal inilah teori jaringan sosial informal sangat
31
penting untuk memahami jalur utama gerakan sosial dan sirkulasi perluasan
Jaringan sosial merupakan hal yang cukup subtil dalam proses rekrutmen ke
dalam gerakan. Menurut Snow, Zurcher, and Ekland-Olson (1980) bahwa jaringan
sosial dapat mempunyai saham besar (60 sampai 90 persen) dari berbagai macam
kadang-kala dalam sekte-sekte agama atau kelompok yang tertutup, mereka tidak
politik yang radikal, ia lebih membutuhkan jaringan yang kuat. Atau aksi-aksi
yang beresiko dan berbahaya, juga membutuhkan jaringan yang kuat (Porta &
Diani 2006:117).
hubungan individu terhadap gerakan dan tipe gerakan. Bentuk hubungan pertama
ialah „partisipan‟ yaitu merujuk pada individu yang mencurahkan waktu, tenaga,
dan sumber daya lainnya kepada gerakan yang ia geluti. Dalam istilah McCharty
and Zald (1977:1221) ialah „constituen‟. Bentuk kedua, ialah „simpatisan‟ yaitu
merujuk pada individu yang hanya sebatas percaya atau sepemahaman dengan
tujuan dari gerakan tertentu, tapi tidak meluangkan sumberdaya personal (Snow,
32
Kemudian gerakan dibagi menjadi 2 tipe. Pertama, „Religious atau
Aliansi Sosialis Muda dan lain-lain. Pada gilirannya, tipe-tipe gerakan tersebut
direkrut 80 persen melalui jalur ‘social network’ (Snow, Zurcher, and Ekland-
Olson, 1980:789-793).
publik dan privat. Pertama, jalur publik bisa secara face-to-face (lansung) seperti
pembagian brosur atau petisi di jalanan, ajakan secara terbuka dalam aktivitas
publik dan sebagainya. Atau melalui media (tidak langsung) seperti radio, televisi,
media sosial, media online dan sebagainya. Kedua, jalur privat bisa secara face-to-
yang sudah dikenal, jaringan informal dan sebagainya. Atau melalui media (tidak
langsung) seperti melalui telephone atau e-mail (Snow, Zurcher, and Ekland-
Olson, 1980:789-790).
33
Gambar I.1. Kategori Jalur Keterlibatan Individu dalam Gerakan
FACE-TO-FACE
Promotion and recruiment via radio, Promotion and recruitment via mail
television, and newspapers. and telephone.
MEDIATED
Sumber: Snow, Zurcher, and Ekland-Olson (1980:790), Social Networks And Social
Approach To Differential Recruitment
Diani dan Lodi (1998) menemukan bahwa kuat dan tebalnya jaringan sosial
melalui kontak personal (Diani & Lodi dikutip Porta & Diani 2006:117).
Menurut McAdam (1986 & 2003) tidak ada korelasi antara prilaku individu
dengan partisipasi, tetapi ada beberapa faktor jaringan sosial yang menentukan
sebelumnya. Ketiga, hubungan terhadap orang lain yang terlibat dalam kampanye
2006:117).
34
Sedangkan Della Porta (1988), lebih mempertajam dengan beranggapan
dalam tindakan (Porta dikutip Porta & Diani 2006:118). Anheier (2003) juga
terhadap jaringan yang lebih luas. Semakin terbukanya kelompok, maka akan
menjadi 3 fungsi yaitu: fungsi sosialisassi, fungsi koneksi struktural dan fungsi
seseorang yang telah siap berkomitmen merasakan bagian dari „collective we‟,
socara sosial sehingga tindakan kolektif menjadi penuh arti dan layak untuk
kolektif. Karena seseorang tidak akan membuat kebijakan dalam keadaan yang
dirinya pada apa yang orang lain lakukan (khususnya orang terdekat).
35
Tetapi, Passy juga memperlihatkan bahwa fungsi jaringan sosial juga akan
Menurut Passy fungsi jaringan sosial dipengaruhi juga oleh visibilitas kelompok
dalam ruang publik. Jika sebuah kelompok mempunyai visibilitas yang rendah
dalam ruang publik, maka jaringan sosial merupakan hal yang sangat penting.
Tetapi jika sebuah kelompok mempunyai visibilitas yang tinggi, maka jaringan
gerakan (Snow et al, 1980; McAdam, 1986; McAdam, 2003; Diani, 1995; Diani,
2003; Passy, 2003; Anheier, 2003). Tetapi eksistensi jaringan yang terbentuk
dalam masyarakat bukanlah sesuatu yang taken for granted. Artinya, relasi dan
jaringan terbentuk dari frekuensi pengulangan interaksi yang cukup rutin satu
sama lain (Eijk, 2010:41). Interaksi sebagai sebuah proses sosiologis pun
dibangun di atas kondisi dan setting sosial tertentu. Setidaknya penelitian ini
of Activity.
memilih untuk bergaul dengan individu yang memiliki kesamaan dengan dirinya.
seseorang pada umumnya memiliki preferensi untuk bergaul dengan orang yang
36
serupa (Eijk, 2010:45). Sedangkan, preferensi tersebut terbentuk karena adanya
sehari-hari dari proses pertemuan dan interaksi satu sama lain. Individu yang
Kedua, „foci of Activity’ merupakan istilah yang dipakai oleh Scott L. Feld
(1982:797) sebagai sebuah konteks (atau fokus dalam lingkungan atau tempat
pusat berkumpul, taman, tempat ibadah, sekolah, dan tempat atau konteks-konteks
lain yang dapat menjadi media untuk memaksa mereka berinteraksi satu sama
lain. Dalam konteks ini, foci of activity (fokus) memainkan peran yang sangat
mobilisasi dilakukan oleh gerakan atau kelompok pada fokus-fokus tertentu yang
mana aktor dan calon partisipan memang sudah bergelut dan berkecimpung di
dalam masyarakat perkotaan yang pada gilirannya menjadi sarana dari mobilisasi
gerakan.
37
b. Jaringan Sosial dan Perluasan Gerakan
yang sudah ada sebelumnya atau menciptakan jaringan yang baru untuk merekrut
partisipan yang baru. Jaringan sosial juga meningkatkan peluang individu untuk
Asumsi dasarnya merujuk pada hakikat individu yang multi identitas. Mereka
aktivitas sosial lainnya seperti; festival musik, komunitas lain, kelompok belajar,
Menurut Simmel (1955) dan Breiger (1974) ada dinamika penting lainnya
antara dualitas individu dan organisasi, di mana keunikan kita sebagai seorang
individu ialah merupakan bagian dari kelompok tertentu dan dalam waktu yang
bersamaan bisa menjadi anggota kelompok lain sehingga kita bisa menciptakan
hubungan antara kedua identitas tersebut (Simmel & Breiger dikutip Porta &
Diani, 2006:115).
38
Melihat keanggotaan individu-individu dalam sebuah asosiasi atau organisasi,
mereka dalam tindakan kolektif. Maka dengan begitu kita bisa melihat proses
dengan alasan kenapa seseorang terlibat dalam sebuah kelompok (Goodwin &
Jasper, 2003:91). Keterlibatan jaringan sosial juga tidak hanya persoalan merekrut
anggota, tapi juga bisa berfungsi sebagai pencegah keluarnya anggota dari
kelompok dan juga sebagai penopang keberlanjutan dari gerakan. Dan juga
akan lebih kuat daripada mereka yang memiliki hubungan non-anggota. Seorang
partisipan juga akan cenderung memilih bertahan atau keluar dari kelompok
39
batasan kelompok. Seseorang akan bertahan dalam sebuah kelompok apabila
sudah ada. Kondisi yang demikian sangat dibutuhkan sebuah keterbukaan dalam
setiap anggota. Jika tidak, mereka akan “trashed out” karena kurangnya
Jaringan pada gilirannya juga bisa tetap eksis karena sebuah komitmen dari
penelitian ini. Pertama, teori jaringan sosial menjelaskan kenapa seseorang bisa
Jakarta dan kenapa „mereka‟ tidak mau berpartisipasi. Kedua, teori jaringan sosial
komunitas Baha‟i dan kenapa ada „orang lain‟ keluar dari kegiatan atau komunitas
Baha‟i. Sehingga dalam penjelasan ini menggambarkan corak pola bertahan dan
40
F. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
realitas atau masalah tertentu. Sejalan dengan hal tersebut menurut Strauss dan
atau cara-cara lain dari kuantifikasi (pengukuran) (Strauss & Corbin, 2015:4-5).
sampai dengan Nopember 2016. Penelitian juga dilakukan di daerah Jakarta dan
41
3. Metode Pengumpulan Data
a. Wawancara
yang bertujuan untuk memperoleh informasi dari objek. Wawancara ini dilakukan
oleh dua pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan informan
tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka dengan informan
b. Observasi
bertatap muka dengan real people (dalam penelitian ini umat Baha‟i) dalam
42
bagian dalam pengumpulan data yang diharapkan dapat mendapatkan makna
c. Dokumentasi
intern lainnya. (3) artikel-artikel yang muncul di media masa (Yin, 1996:103-
Snowball. Teknik purposive sampling biasa digunakan pada sebuah kondisi ketika
tertentu dalam pikirannya. Hal ini sering digunakan dalam penelitian eksplorasi
atau penelitian lapangan. Setidaknya ada tiga situasi yang sesuai dalam teknik
Ketiga, ketika peneliti ingin mengetahui jenis fakta dari sebuah kasus untuk
43
sebuah penelitian harus berpedoman pada syarat-syarat yang harus dipenuhi
sampling. Teknik ini merupakan metode untuk mengenali kasus dalam sebuah
jaringan. Teknik ini juga sering digunakan untuk membaca sebuah jaringan
Sociogram seperti sebuah diagram dari lingkaran koneksi dari para informan atau
objek kajian untuk membantu peneliti membaca proses sosialisasi makna, simbol
informan).
informan).
analisis Data. Menyusun data berarti menggolongkan data ke dalam pola, tema,
atau kategori. Pada penelitina kualitatif, analisis data harus dimulai sejak awal.
Data yang diperoleh dalam lapangan segera harus dituangkan dalam bentuk
44
tulisan dan dianalisis (Muhadjir, 1998:104). Setidaknya ada beberapa teknik
5.1. Konseptualisasi
memilah data mana yang „makes sense’ dan mana yang tidak. Seorang peneliti
memilah data ke dalam bentuk kategori-kategori pada tema penelitian, konsep dan
bentuk-bentuk lain yang diperlukan. Peneliti juga bisa membangun konsep baru,
Menurut Miles dan Huberman (1994) dalam menganalisa data dalam kualitatif
harus melewati beberapa tahap. Pertama, reducing data yaitu proses pemilihan,
kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi ini terus
data berdasarkan jenis analisis yang peneliti pilih (Miles & Huberman dikutip
Marvasti, 2004:88-90).
45
G. Sistematika Penulisan
tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metode penelitian
dan sistematika pembahasan. Bab ini menjelaskan urgensi penelitian ini agar
dilakukan dan juga sebagai pijakan dan langkah awal untuk pembahasan
selanjutnya.
Indonesia, sekaligus (3) kondisi para penganutnya, serta (4) kehidupan komunitas
dinamika secara umum objek yang dibahas (komunitas Baha‟i) dalam penelitian
ini.
Bab ketiga: berisi deskripsi dan analisis hasil dan temuan selama penelitian
yang juga sekaligus menjadi jawaban pertanyaan penelitian yaitu: (1) Proses
tersebut.
Bab keempat: yaitu bab akhir dari penelitian ini yang berisi kesimpulan dari
semua hasil dari temuan penelitian dan penutup yang juga mencangkup saran
46
penelitian ini. Dalam bagian ini juga harus mencangkup daftar pustaka dan
47
BAB II
KEDATANGANNYA DI INDONESIA
gerakan milenarian (gerakan Babisme) yang ditemukan pada 1844 Masehi oleh
seorang saudagar muda dari Iran, Sayyid „Ali Muhammad Shirazi (1819-1850)
yang disebut atau yang bergelar „sang Báb‟. Sang Báb diartikan secara bahasa
yaitu „gerbang‟ (the gate), merupakan suatu gerakan „bawah tanah‟ yang
muncul dari salah satu sekte minoritas dalam muslim Syi‟ah yaitu, Ithna
Tetapi ada perbedaan pendapat dengan Ahura Mazda (salah satu konselor
Baha‟i se-Asia) menurutnya “gerakan Bab pada saat itu bukanlah gerakan yang
48
(Wawancara, Ahura Mazda, Salah Satu Konselor Baha‟i Asia, Jakarta, 30 Juli
2016).
„Sang Báb‟ dilahirkan di kota Shiraz, bagian selatan Iran yang mayoritas
sebayanya. Banyak kalangan guru dan orang-orang pada saat itu menganggap
Tuhan dimuka bumi yang kemudian dilegitimasi oleh paman dan gurunya,
juga berkembang sebuah wacana tentang sosok „Imam Mahdi‟ yang dalam
dalamnya salah satunya Ithana ‘Asharia. Sementara gerakan Báb sendiri lahir
dari sub-sekte Ithana ‘Asharia yaitu, Shaikhiyyah yang dipimpin oleh Ahmad
49
Kazim Rasyti (1789-1843). Setelah Kazim Rasyti meninggal, salah satu
mempunyai keyakinan bahwa Imam Mahdi ialah orang ke-12 (terakhir) dari
rangkaian para pemimpin (disebut „Imam‟) yang hidup pada abad 7-9 Masehi.
Namun ketika masuk pada abad ke-9 masehi, Imam Mahdi tak pernah turun
tulisannya, bahwa sebenarnya „sang Báb‟ mengklaim posisi yang jauh lebih
tinggi dari pada itu, yaitu mengaku telah menerima wahyu ilahi sehingga
saat itu „sang Báb‟ mendeklarasikan bahwa inilah awal siklus agama baru
Bukan hanya di Iran, di belahan dunia lain seperti Amerika dan Eropa,
bertepatan pula dengan munculnya „sang Báb‟, sama seperti lahirnya Agama
50
India dan perkembangan yang luar biasa oleh HaBaD (Lubavitch) yaitu
gerakan Hasidic di Eropa barat (yang didirikan oleh Shneor Zalman 1747–
1812). Serta intelektual asal Jerman yang hidup abad ke-19 yaitu Karl Marx
dan Engels, (meski mereka mengambil posisi yang jauh dari agama) boleh jadi
konteks dan kondisi yang sama seperti kekacauan tatanan sosial, politik,
ekonomi yang mengharuskan para pemikir dari seluruh penjuru belahan dunia
manusia. Hal ini juga menjadi motif awal kemunculan agama-agama besar
Sama dengan anggapan bahwa „Sang Báb‟ ialah pintu dari hadirnya
51
pengasingannya, ia terus menyebarkan dakwah-dakwah bahwa ia merupakan
seorang yang dijanjikan. Pada tanggal 9 Juli 1850, „sang Báb‟ dihukum mati
dengan cara ditembak oleh 750 serdadu dan sepuluh ribu orang menyaksikan
Gerakan Bàbìsme juga sering terlibat pertikaian dengan negara, yang pada
massa populer, lahir dari kondisi sosial yang krisis dan diarahkan terhadap
krisis ekonomi di Ìràn pada waktu itu telah menciptakan munculnya gerakan-
gerakan anti pemerintah. Dalam sebuah analisa terbaru, Kurt Greussing (1984)
1848, di bawah tekanan krisis ekonomi, gerakan agama yang radikal tersebut
berubah menjadi sebuah revolusi sosial. Dia berpendapat bahwa gerakan Bàb'
petani dan sesama mereka untuk memasok kekuatan, sebuah metode yang juga
52
terbukti adanya masalah ekonomi di Ìràn di pertengahan abad ke-19 yang
satu menteri raja Iran. Mirza Husein Ali Núrí ialah salah satu pengikut gerakan
misi yang sudah diajarkan oleh „sang Báb‟. Dirinya mendapatkan wahyu dari
(Momen, 1997:139).
Babisme, pada tahun 1852, gerakan Bábisme dihancurkan. Para murid dan
tahun 1863 (Constantinople), dan tak lama setelah itu ke Edirne (Adrianopel) di
1912) yang merupakan adik tiri dari Bahá‟u'lláh. Ia mengklaim juga menjadi
53
"cerminan kemuliaan Tuhan". Mayoritas Babisme dengan segera menerima
memberi jalan untuk aktivisme politik, dan beberapa dari mereka memainkan
Haifa bagian utara di wilayah Israel. Bahá‟u'lláh berada di sana selama sisa
Bahá‟í sebagai salah satu agama baru di dunia (Keene, 2010:178; Momen,
1997:135; Warburg, 2006:7). Baha‟i bukanlah sekte dalam Islam, tapi Baha‟i
adalah Agama yang berdiri sendiri dengan rumah ibadah, ajaran, kitab suci,
Nabi dan Tuhan sendiri. Agama Baha'i diambil dari nama Baha'ullah. Oleh
2009:18).
54
Banyak pandangan yang menganggap gerakan Bahá‟í mirip atau sama
persatuan dalam masyarakat modern sebagai hal utama yang perlu ditangani
oleh orang-orang di dunia. Hanya sedikit orang yang perlu diyakinkan dari
fakta bahwa salah satu masalah utama kami adalah kekompakan sosial dan
Telah banyak orang merasa terasing dari masyarakat. Hal ini mungkin karena
sebagai sosok Nabi yang membawa ajaran untuk mereformasi cara hidup
Tuhan.
55
„Perjanjian Tuhan‟. Abbas Effendi atau Abdul-Baha dianggap sebagai pusat
Mulai dari rujukan tafsir sampai ajaran-ajaran suci Bahá‟u‟lláh harus merujuk
Bahá‟í lahir di Teheran pada 23 Mei 1844, hari dimana „sang Báb‟ memulai
Pada awal abad kedua puluh, Pusat administratif agama Baha'i pindah
membeli tanah di lereng Gunung Karmel. Melalui aktifitas misi yang telah
lingkungan Muslim. Para misionaris Baha'i mulai pergi ke Amerika Serikat dan
Kanada pada tahun 1890 serta ke Eropa Barat sekitar tahun 1900 untuk
sedunia. Pertumbuhan di Eropa kurang efektif, sampai setelah Perang Dunia II.
56
Rabbànì atau yang lebih dikena dengan Shoghi Eff endi (1897-1957), dan
(Warburg, 2006:7).
1957)
beberapa ledakan yang menewaskan umat Bahá'í, dan terjadi lagi pada tahun
1934. Dari 1926 dan seterusnya, Uni-Soviet yang pada saat itu sebagai negara
berbagai negara Amerika. Kemudian di negara Iran, Mesir, Arab, India juga
57
di Amerika melakukan penyebaran yang lebih luas ke Amerika Latin dan
Bolivia, Indonesia dan India, penduduk desa buta huruf dan suku-suku mulai
Sedunia. „Sang Bab‟ yang menempati posisi sentral dan mencolok dalam
agama Baha'i, jenazahnya dimakamkan dalam Kuil kubah emas indah di lereng
Gunung Carmel di Haifa. Kuil Bab dianggap sebagai tempat suci sekaligus
administratif komunitas Baha'i, pusat Baha‟i sedunia, juga pusat arsitektur yang
luar biasa dengan pelataran teras dan kebun sangat indah (Warburg, 2006:7-
11).
merupakan agama minoritas terbesar, menghitung antara 0,5 dan 1 persen dari
populasi Iran. Namun, komunitas Baha'i di Iran telah dianiaya dan bahkan
sekitar dua ratus pembunuhan. Hal ini membuat komunitas Baha'i dikenal
58
untuk umum di Barat, dan untuk sesekali, kondisi tersebut membangkitkan
Ajaran Bahá‟í banyak berisikan prinsip-prinsip yang tinggi dan ideal seperti
(Momen, 1997:76).
menegaskan bahwa pemimpin dan pemuka agama ialah model yang sudah
untuk semua orang membaca „Kitab Suci‟ mereka sendiri dan hadir pada
59
seperti: the pastoral care (kepedulian ulama) dan pengelolaaan masyarakat
(Momen, 1997:76).
Baha‟i hanya dimiliki oleh oleh Baha‟ullah dan keturunannya Abdul-Baha dan
Shogi Effendi melalui konsep perjanjian. Setelah nabi dan pimpinan spiritual
mereka wafat, tidak ada lagi otoritas keagamaan. Demikian pula tidak ada
dalam agama Baha‟i hanya tata tertib dunia yang melingkupi suatu Adminstrasi
yang menjadi sumber air ketuhanan bagi seluruh umat Baha‟i. Untuk
60
sedunia pada level dunia. Balai Keadilan Sedunia (BKS) ini mengalirkan
Bimbingan Tuhan kepada Majelis Rohani Nasional (MRN) pada level negara,
Komunitas Bahá‟í diatur secara baik oleh lembaga demokratis dalam tiga
tingkat hirarki. Tingkat pertama yaitu Majelis Rohani Setempat (MRS) yang
bertanggung jawab untuk semua urusan masyarakat Baha'i dalam suatu kota.
ketika ada jumlah umat Bahá‟í dalam suatu kota mencapai sembilan orang di
suatu kota. Dengan catatan, bahwa sembilan orang tersebut sudah mencapai
umur 21 tahun dan bertempat tinggal di kota tersebut. Maka, dengan segera
sembilan orang tersebut menempati posisi sebagai anggota MRS. Jika di suatu
kota umat Bahá‟í melebihi sembilan orang, maka harus dilakukan pemilihan
terjadi setiap satu tahun sekali pada tanggal 21 April Masehi (atau 1 Ridván
Tingkat kedua yaitu Majelis Rohani Nasional Bahá' í (MRN) yang berada
pada setiap ibu kota negara. Di tingkat nasional, komunitas Baha'i juga
setiap satu tahun sekali melalui pemungutan suara oleh para delegasi dari total
House of Justice), diisi oleh sembilan orang yang dipilih dalam lima tahun
sekali oleh delegasi (hanya orang yang memenuhi syarat) di setiap negara.
61
Balai Keadilan Sedunia (BKS) memiliki otoritas keagamaan dan administrasi
Hanya saja, pimpinan baik di BKS, MRN dan MRS bukan pimpinan pusat
terdapat 182 MRN di seluruh dunia. Semenetra itu terdapat 3.808 Majelis
Australia dan 976 di benua Eropa. Total terdapat 11.740 MRS di dunia
(Nuhrison, 2015:135).
(Wawancara, Ahura Mazda, Salah Satu Konselor Baha‟i Asia, Jakarta, 30 Juli
2016). Kedua, forum musyawarah antara umat dan anggota majelis. Ketiga,
pemeluk Baha‟i (dan pernikahan umat Baha‟i dengan umat lain di luar Baha‟i).
Kemudian BKS mempunyai tambahan satu fungsi otoritas yang tidak dimiliki
62
majelis rohani, yakni perumusan hukum yang tidak ada di dalam kitab maupun
tulisan-tulisan suci Baha‟ullah. Dengan sifat dasar para anggota Majelis Rohani
1997:76-77).
Fungsi dasar Majelis Rohani Setempat ialah menggelar Sembilan hari raya
umat Bahá‟í. Kegiatan Sembilan hari raya ini diselenggarakan pada awal bulan
bagian. Pertama, bagian devotional (kebaktian atau ritual) di mana berisi doa-
kepercayaan Bahá‟í setempat. bagian. Bagian kedua ini juga termasuk yang
paling penting karena adanya ruang konsultasi umum antar sesama umat Bahá‟í
dan sebagainya. Biasanya pada komunitas Bahá‟í yang kecil, perayaan hari
raya diselenggarakan di rumah salah satu umat Bahá‟í, sedangkan makanan dan
63
D. Pelopor Masuknya Baha’i Ke Indonesia Dan Jakarta
untuk mengabarkan kedatangan Baha‟ullah dan zaman baru atas himbauan dari
Baha‟i dimulai oleh dua orang pelopor yang diutus Baha‟ullah. Sulayman Khan
Tunukabani (Jamal Effendi) yang berasal dari Iran berusia 65 tahun, dan
pemuda dari Iraq Sayyid Mustafa Rumi berusia 33 tahun. Dua orang tersebut
Burma (Myanmar), pada tahun 1878 dan juga Penang (sekitar tahun 1883).
kota Bangladesh), kemudian ke Bombay dan setelah tinggal di sana selama tiga
64
mengunjungi kota-kota pelabuhan di Indonesia oleh pemerintah Belanda. Dari
sini mereka berkunjung ke Surabaya, dan sepanjang garis pantai, mereka juga
singgah di pulau Bali dan kemudian Lombok (Bahai Indonesia, 19 April 2015).
Pare. Mereka disambut oleh Raja Fatta Aron Matwa Aran Raffan dan anak
di Bone. Raja Bone merupakan seorang lelaki muda dan terpelajar, meminta
oleh karena itu Sayyid Mustafa Rumi menulisnya sejalan dengan ajaran-ajaran
Bahá‟i (Nuhrison, 2015:132). Masih dengan spirit yang sama ketika Bahá‟í
batas kunjungan empat bulan yang secara tegas diberikan oleh Gubernur
2014:9).
65
Intensitas umat Baha‟i di Jakarta dimulai ketika para pelopor mendapatkan
himbauan dari Shoghi Effenfi, pada November 1949, untuk mengabarkan telah
MRN yang paling dekat dengan Indonesia bahwa akan sampai dua orang
pemuda dari belanda. Dua orang tersebut ialah Kapten H Buys dan J.P. de
seorang relawan yang ditunjuk oleh MRN India atas himbauan Shoghi Effendi
untuk bekerja sama pun sampai di Jakarta. Tetapi, karena belum cukup untuk
dan satu sepupu yang bertujuan mendirikan Majelis Rohani di Jakarta sekaligus
perluasan umat Baha‟i di dunia yang disebut sebagai „Ten Year Crusade‟.
Rencana global ini ditunjukan kepada 132 negara baru untuk membentuk
66
Indonesia akhirnya dibantu oleh lembaga Majelis di negara-negara
1991:17).
Himbauan atau rencana global tersebut disambut hangat oleh para dokter
dari Iran untuk migrasi ke Indonesia selain untuk menyebarkan agama Baha‟i,
mereka juga sebagai relawan medis pada tahun 1955. Menurut WHO (World
Health Organization) Sekitar 10-20 dokter umum datang ke Jakarta dan dengan
mudah membuat kontrak dengan pemerintah R.I. yang pada saat itu sangat
beberapa dokter dari Iran. MRS Baha‟i Jakarta tercatan sebagai lembaga yang
67
Indonesia dengan bantuan dana dari MRN Baha‟i India melalui Indian National
MRS Jakarta juga menjadi pusat lembaga Baha‟i se Asia tenggara. Jakarta
juga terpilih menjadi tempat tiga konferensi besar umat Baha‟i se Asia tenggara
Asia pada tanggal 15-18 Agustus 1956, Convention of the Baha’is of Southeast
Asia pada April 1957, dan Intercontinental Conference pada tahun 1958 yang
Tahun 1962, ada sekitar 15.000 umat Baha‟i di Indonesia yang tersebar di
Bahá‟í di Indonesia tidak semulus yang diperkirakan. Di era orde lama dan
orde baru dengan adanya keputusan presiden Ir. Soekarno No. 264/Tahun 1962
yang sangat serius dari pemerintah (Nuhrison, 2014:2). Setidaknya ada dua
Kedua, tekanan bertambah dari kalangan nasionalis pada akhir 1950 sampai
1991:33).
68
Era reformasi, presiden Indonesia ke-4 Abdurrahman Wahid mencabut
keputusan No. 264/Tahun 1962 tersebut. Karena dipandang sudah tidak sesuai
posisi yang dilematis. Di satu sisi mereka merupakan sebuah agama yang setara
tercantumnya kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) umat Bahá‟í,
Selain sembahyang wajib, adapula do'a dan yang disebut Tulisan Suci.
Keduanya disebutkan dianjurkan untuk dibaca dan dipelajari oleh umat Baha'i.
Disebutkan juga bahwa secara individu mereka membaca salah satu dari tiga
shalat wajib atau do'a untuk bacaan setiap hari sesuai ajaran Baha'u'llah
seperti di negara-negara lain, bahwa MRN akan selalu ada di ibu kota setiap
69
Komunitas Bahá‟í tidak membeda-bedakan suku, etnis dan ras. Mereka
hidup bersatu dengan penuh kedamaian dan cinta. Tidak ada simbol-simbol
fisik, atau cara berpakaian dan atribut, yang membedakan umat Bahai secara
karena itu, hari ini komunitas Bahá‟í di Jakarta maupun di dunia sedang
Pendidikan bisa diikuti oleh seluruh manusia, tidak pandang etnis, suku, ras
agenda hari raya agama Bahá‟í. Seperti hari Raya Naw-Ruz (hari raya umat
Bahá‟í dan tahun baru umat Bahá‟í) yang bertepatan tanggal 20 Maret tahun
2016 dirayakan salah satunya dirumah salah seorang penganut Bahá‟í daerah
70
Menteng, Jakarta Pusat. Acara tersebut dihadiri oleh komunitas Bahá‟í di
Jakarta dan teman-teman dari agama lain seperti Islam dan Kristen.
Sumber: Observasi
lainnya dengan baik dan lancar. Sama dengan hari raya lainnya, komunitas
Bahá‟í ditentukan oleh kalender sendiri (Tabel I.4.2.). Setidaknya ada sembilan
71
Tabel II.E.1. Hari Raya Baha’i
No. BAHÁ’Í HOLY DAYS
72
Tabel II.E.2. Bulan dalam Penanggalan Kalender Bahai
No. MONTHS OF THE BAHÁ’Í YEAR
1. Bahá 21 March
2. Jalál 9 April
3. Jamál 28 April
4. Azamat 17 May
5. Núr 5 June
6. Rahmat 24 June
7. Kalimát 13 July
8. Kamál 1 August
9. Asmá‟ 20 August
73
F. Kegiatan Inti Masyarakat Baha’i
Kegiatan inti ini sebuah aktifitas yang memang diselenggarakan atau dipelopori
karenanya kegiatan ini terbuka untuk seluruh umat manusia. Berikut ialah
Berdoa ialah wajib hukumnya dalam agama Baha‟i. karena berdoa ialah
Baha‟i selalu dimulai dan ditutup dengan melakukan dengan doa. Mereka satu
persatu bergiliran melantunkan dan membacakan ayat suci dengan indah dan
Doa bersama ialah manifestasi dari tradisi tersebut, hanya saja kegiatan
rohani masyarakat Baha‟i ini bisa melibatkan seluruh umat manusia untuk
etnis, suku, budaya, bahasa, mereka tetap berdoa menurut kepercayaan dan
bersama, waktu dan tempat bisa kapan saja dan di mana saja. Begitupun ayat
suci yang dibaca, tidak ada ayat khusus untuk dibaca (kecuali ada permintaan
dan kejadian khusus, seperti doa untuk kesehatan karena sanak keluarga sedang
sakit, atau doa kemudahan untuk sanak saudara yang memiliki hajat).
74
Apabila ada umat selain Baha‟i menghadiri kegiatan doa bersama,
paksaan ataupun melecekan sesama agama dalam kegiatan ini. Kegiatan doa
bersama ini dilakukan secara bergiliran satu per satu dengan tradisi dan caranya
partisipan. Biasanya umat Baha‟i membaca doa (ayat suci) dengan lantunan
alat musik, atau seperti membaca puisi. Ada yang membaca teks, atau pun
menghafal. Di jakarta, ada yang membaca doa dengan bahasa Inggris, Persia,
Arab, maupun Indonesia. Tidak ada aturan yang kaku dalam kegiatan ini,
hanya saja pembacaan doa musti bergantian dan berurutan satu persatu
(Observasi, 6 Agustus 2016). Kegiatan ini dilakukan oleh seluruh umat Baha‟i
Rangkaian pendidikan ini terbagi 3 dan menjadi bagian dari 4 kegiatan inti
dengan „doa bersama‟. Metode rangkaian pendidikan ini ada pada tahun 1996,
menurut Gita Marniza (umat Baha‟i) “....dengan melakukan trial and error
selama kurang lebih 20 tahun di berbagai negara dengan cara yang berbeda-
Baha‟i Jakarta. LBH, 3 Agustus 2016). Akhirnya pada awal 90-an, metode
yang paling menonjol ialah metode dari Kolombia, hingga akhirnya tahun 1996
Menurut Hamed Ja‟far (umat Baha‟i dan salah satu Animator) pendidikan
ini dibuat berjenjang yaitu; (1) Kelas Anak mulai dari 10 tahun ke bawah,
75
kemudian (2) kelopok belajar dari umur 11 tahun sampai 15 tahun, dan (3)
salah satu Animator. Jakarta, 25 Juli 2016). Kegiatan ini diikuti oleh
dan aktifitas ini, persatuan, perdamaian dan kesejahteraan ummat manusia ialah
keniscayaan. Tidak ada waktu dan tempat khusus dalam berjalannya kegiatan
ini. Artinya bisa dilaksanakan kapan saja dan dimana saja. Program atau
kegiatan ini sudah berjalan di seluruh dunia. Sedangkan output dari kegiatan ini
ialah proyek sosial dan ekonomi. Sosial merujuk pada kondisi pembangunan
a. Kelas Anak
Kelas anak yaitu sebuah model pendidikan yang berbeda dari konsep
menggali mutiara-mutiara yang ada dalam diri manusia sejak dini. Dengan
76
berbagai bahasa sebagai bahan diskusi. Modulnya bersumber dari tulisan-
b. Kelompok Remaja
Kegiatan ini juga mendiskusikan beberapa buku khusus remaja yang terdiri dari
berjalannya kegiatan. Proses diskusinya sama, tidak ada yang menggurui dan
diskusi berjalan dari segala arah. Kegiatan ini dimulai dari umur 11 tahun
sampai 15 tahun. Ketika seorang anak yang mengikuti kelas anak, dan dalam
c. Kelompok Belajar
rangkaian pendidikan yang lain bahwa tidak ada dominasi dari seorang tutor,
Rangkaian terakhir ini memiliki 9 modul ajar. Kelompok belajar ini memiliki
Seorang guru dalam kelas anak idealnya ialah seseorang yang telah
77
mempelajari buku 1 dalam kelompok belajar. Begitupun seorang animator
idealnya yang telah mempelajari buku 5, dan seorang tutor ialah seseorang
yang telah mempelajari buku 7. Tetapi, hal tersebut bukanlah aturan yang baku.
Artinya, itu merupakan keadaal yang ideal. Namun pada kondisi tertentu bisa
belajar tetapi tidak ada sumberdaya tutor yang telah mempelajari buku 7.
Kondisi ini bisa ditoleransi bahwa seseorang yang telah mempelajari buku 1
mempelajari konten isi buku tersebut (Wawancara, Daryush Asytar, salah satu
78
BAB III
penelitian ini harus dilihat melalui upaya komunitas Baha‟i dalam memobilisasi
sumber daya, dan merekrut partisipan maupun simpatisan untuk terlibat dalam
di Jakarta. Oleh sebab itu, upaya mobilisasi dan rekrutmen komunitas Baha‟i di
Jakarta harus terlebih dahulu dianalisis melalui mekanisme atau proses kerja dari
struktur sosial sebagai kebutuhan rekrutmen yang lebih luas yang merupakan
79
bedasarkan jalur-jalurnya dibuat oleh peneliti guna mempermudah pembacaan
Pembagiannya terdiri dari sebelum reformasi dan pasca reformasi. Selain itu,
dinamika internal komunitas Baha‟i dan struktur sosial politik yang dinamis.
DIMENSI PERIODIK
Kelompok Kelas
Belajar Anak
Jaringan
Doa Sosial Kelompok
Bersama Informal Remaja
Kelompok
Dewasa
Doa
Bersama
80
Dimensi kedua yaitu dimensi tematis yang membagi jaringan bedasarkan
peran dan fungsinya selain sebagai sarana utama dalam proses mobilisasi
partisipan. Setidaknya dimensi tematis ini terbagi menjadi 3: (1) Jaringan informal
dan penguatan komitment, (2) Jaringan lama dan Jaringan Baru, (3) Jaringan
Dimensi Tematis
seperti Baha‟i yang kemunculan dalam ruang publiknya rendah. Maka, jaringan
yang kuat merupakan sebuah prasyarat bagi kelompok tersebut untuk bertahan
dan berkembang (Passy, 2003:21). Oleh sebab itu, jaringan dalam kasus ini dilihat
81
1.1. Sebelum Reformasi
terbagi menjadi dua yaitu, doa bersama dan belajar bersama. Ini merupakan
agama bukan lah proses ilahiyah yang bersumber dari kekuatan Tuhan, melainkan
proses dari rutinitas interaksi antara aktor dan partisipan. Salah satunya para
Jaringan persahabatan dan tetangga ini menjadi pola yang umum semenjak
Baha‟i datang ke Jakarta, khususnya saat tahun 1950-an. Kedatangan mereka pada
waktu itu melalui para utusan dan para relawan medis yang singgah di Jakarta.
daerah Tanah Abang, Jakarta Pusat tempat Rahman Delbasteh (umat Baha‟i)
dan beberapa dokter lain seperti dr. Samimi, dr. Ma‟ani, dr. Hasbi di tempatkan
82
Murni, Staf Majelis Rohani Nasional Baha‟i Indonesia. Jakarta, 4 Agustus 2016).
Menurut Aneta Gzifa (anak dari salah satu pelopor Baha‟i di Indonesia)
Indonesia ialah seorang dokter” (Wawancara, Aneta Gzifa, anak salah satu
pengobatan kepada seluruh masyarakat, tidak pandang suku, etnis dan agamanya.
Ini merupakan bagian dari pengabdian” (Wawancara, Bamshad Dastan, salah satu
Para dokter menyumbangkan tenaga apa yang mereka bisa bantu, penyuluhan
tentang kebersihan kah atau kesehatan. Jadi kan akhirnya berteman dan mereka
biasanya kagum ya melihat dokter. Pasien datang secara berkala selama proses
pengobatan berlangsung. Selain karena tempat para dokter Baha‟i dekat dengan
lingkungan masyarakat, mereka juga seringkali mendapatkan pengobatan gratis.
Beliau layani satu persatu dengan cinta kasih tanpa ada perbedaan. Terus mau
pulang dikasih obat. Terus kadang-kadang kalau mereka sakit keras enggak bisa
datang ke kliniknya, tengah malam dipanggil atau ditelpon atau ada yang datang
membawa surat, dia akan naik becak pergi ke desa itu tengah malam Jadi hal-hal
itu yang membuat orang akhirnya pelan-pelan jadi tertarik dan banyak yang
bertanya ke dokter Soraya „kok bapak bisa begini, kok dokter bisa begini
pengabdiannya ke masyarakat?‟ mau ngga mau dia berbagi keyakinan bahwa
Bahaullah menyatakan ini, itu, bahwa manusia adalah satu gitu, kesatuan umat
manusia (Wawancara, Devansha Mahila, salah satu anggota Majelis Rohani
Nasional Baha‟i Indonesia. Jakarta, 6 Agustus 2016).
Konteks pengobatan gratis dalam konteks ini diperjelas oleh Ahura Mazda
(Wawancara, Ahura Mazda, Salah satu Konselor Baha‟i Asia. Jakarta 30 Juli
2016).
83
Bahkan menurut Natalie Mobini-Kesheh (1991:27) tak jarang para relawan dokter
Baha‟i memberikan pendidikan gratis dan hadiah kepada pasien seperti, sabun dan
alat mandi yang pada waktu itu masih jarang (Kesheh, 1991:27). Konteks
pengobatan gratis dan pemberian hadiah yang dimaksud dalam konteks ini
tidak mampu membayar. Dan pemberian sabun, makanan dan lain-lain merupakan
Karena proses interaksi yang berjalan rutin antara dokter dengan pasien,
atau tali persahabatan yang kuat. Hal ini diakui oleh Devashna Mahila (umat
Baha‟i) bahwa “persahabatan dan kasih sayang merupakan cara yang selalu
Baha‟i Indonesia. Jakarta, 6 Agustus 2016). Dalam konteks ini, pembangunan tali
nilai, akhlak dan ajaran Baha‟i. Prosesnya melalui berbagai macam cara. Ada
kebaikan hati para pelopor Baha‟i, sehingga hal tersebut menjadi titik poin untuk
84
agama Baha‟i. Tetapi secara tidak langsung bahwa hal tersebut telah menandakan
terjadinya proses sosialisasi melalui jaringan sosial atau tali sosial melalui
persahabatan ataupun kedekatan satu sama lain. Oleh karena itu juga, agama
Baha‟i era pelopor lebih banyak dikenal di kalangan para pasien atau tetangga dan
komunitas pada saat itu kebanyakan menggunakan tali inter-personal. Artinya, tali
Jakarta pada saat itu, yaitu doa bersama dan belajar bersama.
mana pun umat Baha‟i tinggal. Artinya, berbagai elemen masyarakat (lintas
agama, etnis, kelas dan identitas) di Jakarta tergabung dalam suatu kegiatan untuk
memenuhi kebutuhan rohani dan sebagai bagian dari proses terciptanya persatuan
Menurut Aneta Gzifa, kegiatan doa bersama itu dilakukan oleh dr. Astani
(salah satu pelopor Baha‟i Indonesia) setiap malam Jum‟at. Di mana orang-orang
yang berkumpul merupakan tetangga dan para pasien dari dr. Astani. Begitupun
kegiatan belajar dan doa bersama yang diselenggarakan oleh umat Baha‟i diikuti
oleh umat non-Baha‟i, dan mereka merupakan pasien dan para tetangga yang telah
85
mengenal Baha‟i dari para relawan dokter. Ada pula yang dari para tetangga
dimana ia tinggal (Wawancara, Aneta Gzifa, anak salah satu pelopor Baha‟i
perkenalan dia dengan Baha‟i difasilitasi oleh jaringan pertemanan dan tetangga:
Jadi saya kenal Baha‟i itu dari temennya Ibu Saya. Saya kenal memang dari usia 7
tahun. Jadi memang sudah terbiasa diajarin doa Baha‟i, doa Bersama. Terus
kemudian suka ada sekolah, kalau di kristen kaya sekolah minggu gitu kayak anak-
anak, jadi saya sering diajak kesitu. Tapi memutuskan untuk Baha‟i dijadikan
keyakinan saya sih sekitar 18-19 tahunan lah. Saya terlibat dalam proses kegiatan
pendidikannya. Tapi jaman dulu itu belum seorganize sekarang. Jadi paling kaya
tadi saya bilang, saya diajarin doa Baha‟i, diajak ke kelas anaknya (Wawancara,
Gita Marniza, mantan anggota Majelis Rohani Setempat Baha‟i Jakarta. LBH
Jakarta, 3 Agustus 2016).
dibangun melalui tali inter-personal antara umat Baha‟i dengan orang tua, pada
seseorang anak maupun anggota keluarga lainnya untuk ikut berpartisipasi dalam
sosiologis di mana mereka melalui rutinitas interaksi yang panjang dan terus-
sarana sosialisasi yang pada gilirannya tali inter-personal memfasilitasi para aktor
(dalam hal ini umat Baha‟i) untuk mengajak masyarakat di Jakarta terlibat dalam
dua kegiatan inti. Partisipan yaitu merujuk pada individu yang mencurahkan
86
waktu, tenaga, dan sumber daya lainnya kepada gerakan yang ia geluti (Snow,
merupakan para tetangga, rekan kerja, pasien yang juga merupakan tetangga para
pelopor, teman dari anak dan sebagainya. Mereka siap mencurahkan waktu setiap
minggu di malam jum‟at untuk terlibat dalam kegiatan doa bersama, tak jarang
masyarakat luas sebagai upaya menuju cita-cita universal. setidaknya ada 3 faktor
faktor determinan yaitu BKS telah mengadopsi institut ruhi sebagai metode
pendidikan Baha‟i di seluruh dunia pada tahun 1996 (Wawancara, Ahura Mazda,
salah satu Konselor Baha‟i Asia. Jakarta, 30 Juli 2016). Kedua, karena dicabutnya
keputusan presiden Ir. Soekarno No. 264/Tahun 1962 oleh K.H. Abdurrahman
Wahid (Presiden RI ke-4) sehingga ruang gerak komunitas Baha‟i dapat lebih
bebas (Nuhrison, 2014:2). Ketiga, himbauan dari BKS kepada Baha‟i Indonesia
Marvasti, salah satu koordinator animator remaja klaster Jakarta. Jakarta, 27 Juli
2016).
kelompok remaja, kelompok belajar dewasa dan doa bersama. Menurut Bamshad
87
Dastan, “....Dalam ajaran komunitas Baha‟i kegiatan-kegiatan ini esensinya ialah
sama, yang berubah hanya bentuknya. Bahwa seluruh kegiatan ini merupakan
Baha‟i Indonesia, Jakarta 25 Agustus 2016). Artinya, kegiatan ini berbeda secara
bentuk dan metode, namun esensi nya tetap kepada cita-cita universal. Akan tetapi
ini ada bermacam-macam cara kerja jaringan dalam proses sosialisasi dan
Bahwa prinsipnya gini dimana saya berada saya akan mencoba berbagi, ya kalo
saya sedang bekerja, ya saya berbagi dengan teman kerja saya, ketika saya pulang
kerumah ya saya bersama orang rumah saya. Temen sekolah, temen kuliah ya itu
kan lingkungan saya juga. Jadi ya prinsipnya dimana saya berada ya disitu saya
harus berbagi. Dan yang menarik dari kelompok belajar institut ini adalah kita akan
bertemu dengan teman-teman kita sendiri (Wawancara, Nipa Marvasti, salah satu
koordinator animator remaja klaster Jakarta. Jakarta, 27 Juli 2016).
Artinya, semakin banyak identitas seseorang, akan semakin banyak tali inter-
dari mobilisasi yang difasilitasi oleh tali inter-personal atau jaringan sosial yang
lebih luas. Dalam konteks 4 kegiatan inti, tali inter-personal atau jaringan ini
88
1.2.1. Kelas Anak, Jaringan Keluarga dan Pertemanan Orang Tua
Kelas anak memang muncul secara konsepsi dan diadopsi oleh masyarakat
Baha‟i sedunia pada tahun 1996. Di Indonesia baru melakukan kegiatan ini secara
optimal sekitar tahun 2000-an. Menurut Hamed Ja‟far, Kegiatan ini idealnya
Buku dan modul untuk diskusi memang bersumber pada ajaran-ajaran agama
Baha‟i yang sifatnya universal (Wawancara, Hamed Ja‟far, salah satu Animator.
Di Jakarta, ada beberapa kelas anak yang sudah terbentuk seperti di Jakarta
Pusat, Jakarta Selatan dan Jakarta Barat. Awalnya kegiatan kelas anak ini digeluti
oleh anak-anak Baha‟i sendiri. Menurut Nipa Marvasti “Karena kurikulum kelas
anak-anak memakai ajaran Baha‟i dan kelas ini diperuntukan untuk anak-anak
Baha‟i, tapi dibuka untuk umum” (Wawancara, Nipa Marvasti, salah satu
koordinator animator remaja klaster Jakarta. Jakarta, 27 Juli 2016). Jadi pada
Kedua, keterlibatan seorang anak juga tidak melulu melalui keluarga Baha‟i.
Artinya, kegiatan ini terbuka untuk umum dan digeluti oleh anak non-Baha‟i.
keterlibatan anak non Baha‟i ini biasanya melalui jalur pertemanan di kalangan
89
orang tua atau jaringan tetangga dari orang tua. Menurut Daryush Asytar “kalau
anak dimulai dari orang tua. Orang tua teman atau saudara. Itu kita harus diskusi
dulu, penyamaan visi. Biasanya setelah sekali proses itu jadi, selanjutnya
Juli 2016).
Indonesia) yaitu:
Anak-anak yang terlibat dalam kelas anak biasanya kadang-kadang ibunya sudah
mengikuti buku. Tetapi karena tidak setiap ibu memiliki kemampuan bakat
mengajar yang berbeda, Dia gak berani di depan kelas misalnya. Dia mulai titipin
ke teman Baha‟i, ke kami atau apa. Tetapi dia kalau datang, dia harus tau bahwa
anaknya ini diajar tentang pendidikan moral dengan Baha‟i style. Semua yang
seusia di bawah dewasa, entah anak-anak dan remaja, harus sepengetahuan orang
tua. Harus ada trust (Wawancara, Santi Amisha, salah satu anggota hubungan luar
Baha‟i Indonesia. Jakarta, 2 Agustus 2016)
Serupa dengan Santi Amisha dan Daryush Asytar, selanjutnya menurut Gita
Marniza:
Keterlibatan seorang anak biasanya pintu masuknya lewat orang tua. Jadi rata-rata
sih temen yang sudah berpengalaman itu orang tuanya ikut ruhi, kemudian karena
di dalam suatu keluarganya itu ada anak yang usia nya remaja dan yang anak-anak
(menurut kategori Baha‟i). Karena dia sudah tau materinya sendiri terlebih dahulu,
terus kalau kita tawarkan program, yaudah mereka mengirimkan anak mereka
(Wawancara, Gita Marniza, mantan anggota MRS Jakarta Pusat. LBH Jakarta, 3
Agustus 2016).
Kelas anak bisa melalui orang tuanya, jadi kita selalu libatkan orang tua. Kelas
anak tidak boleh kalau orang tuanya tidak terlibat. Orang tuanya tidak duduk, tidak
hanya menyaksikan apa yang anaknya pelajari, jadi orang tua akan diundang. Jadi
kalo ada kelas cooking atau memasak gitu, atau membuat apa jadi kita minta
kontribusi orang tuanya juga “ibu mau ngajarin apa hari ini”, atau ganti-gantian
paling enggak harus ada dua orang tua. Jadi orang tuanya tertarik terus bilang “ibu
saya mau bikin kelompok anak sendiri, gimana ?”, nah nanti orang tuanya kita
bantu, begitu (Wawancara, Devansha Mahila, salah satu anggota Majelis Rohani
Baha‟i Indonesia. Jakarta, 6 Agustus 2016).
90
Jaringan pertemanan yang dibentuk melalui tali inter-personal dengan orang
tua anak merupakan hal yang penting guna memfasilitasi seorang anak untuk
terlibat menjadi partisipan dalam kegiatan kelas anak. Karena tanpa jaringan yang
dibangun dengan orang tua, seorang anak-anak tidak mungkin terlibat menjadi
masyarakat ini mempengaruhi pola interaksi antara orang tua dan anak.
Konsekuensi logisnya bahwa keputusan seorang anak untuk terlibat atau tidak
antara negara dengan masyarakat. Hal ini diutarakan oleh Devansha Mahila
bahwa “Anak-anak dari usia 0 sampai 18 tahun berada dalam bimbingan orang
tua. Jadi kita sekarang di Indonesia ini enggak mungkin akan adanya kelas anak
Devansha Mahila, salah satu anggota Majelis Rohani Nasional Baha‟i Indonesia.
tersebut. Tetapi perlu diperhatikan bahwa orang tua/keluarga dalam kasus ini
91
memahami dan mengenal program ruhi atau kegiatan inti tersebut. Artinya, orang
tua juga merupakan individu yang sebelumnya sudah tersosialisasi dengan baik
nilai-nilai dan tujuan program kelas anak tersebut melalui tali inter-personal.
Proses sosialisasi ini perlu dilakukan apabila orang tua belum mengetahui
program kelas anak tersebut. Menurut Nipa Marvasti “program kelas anak harus
Baha‟i dan kelas ini diperuntukan untuk anak-anak Baha‟i, tapi dibuka untuk
klaster Jakarta. Jakarta, 27 Juli 2016). Jadi pada dasarnya, jaringan keluarga yang
dibangun melalui orang tua merupakan jalur utama seorang anak untuk
interaksi rutin antara umat Baha‟i dengan orang tua karena berada dalam seting
Pertemanan
Baha‟i atau salah satu dari 4 kegiatan inti. Kelompok remaja diikuti oleh individu
92
bermain, dan saudara/keluarga. Di seluruh dunia persis sama, walaupun di tempat
lain ada yang ketemu dengan kepala desanya dan kepala rumah tangga, „wah iya,
semua remaja saya harus ikut‟” (Wawancara, Ahura Mazda, salah satu Konselor
melakukan interaksi rutin dengan umat Baha‟i atau seseorang dari struktur
keluarganya telah mengenal Baha‟i, karena memang mereka memiliki habitat atau
lingkup sosial yang sama. Dengan kata lain mereka hidup dalam seting sosial
bersama.
inti) ini memang ditujukan pada individu yang sudah memiliki tali inter-personal
kuat dengan umat Baha‟i. Ajakan untuk melibatkan diri tidak serta-merta secara
dibuka begitu saja, tetapi jalur mobilisasi harus melalui pembentukan tali inter-
personal yang kuat terlebih dahulu. Hal ini yang merupakan struktur mobilisasi
Kalau saya sih biasanya melalui persahabatan ya dan cinta kasih yang tulus. Jadi
kita enggak bisa yang saya bilang bujukan atau tipu muslihat. Jadi biasanya teman-
teman yang tulus, yang udah kenal, lama-lama kan mereka bertanya, ya namanya
93
kan kawan ya sahabat, mereka juga ingin tau agamanya apa, ya kita berbagi saja
dan kita juga bisa bilang bahwa ini ada program ruhi. Intinya memang kita belajar
bersama dengan siapa pun yang memang minat dan mereka yang tertarik biasanya
mereka ikut. Jadi gitu, caranya memang melalui persahabatan. Kita dengan tulus
terus mereka juga pasti ke tetangga kita yang memang dekat atau teman sekolah,
teman kuliah, kolega di kantor gitu kan biasa kalau orang setiap hari ketemu kan
dia akan tanya agamamu apa, ya kita sharing kan kalo udah lama-lama akrab kan
mereka juga akan berbagi inti dari agama mereka apa (Wawancara, Devasha
Mahila, salah satu anggota Majelis Rohani Baha‟i Indonesia. Jakarta, 6 Agustus
2016).
Dalam proses mobilisasi, setidaknya ada 3 jalur bagi para remaja untuk
menjadi partisipan gerakan. Dua jaringan pertama yaitu (1) jaringan keluarga dan
(2) jaringan pertemanan orang tua. Sama seperti proses keterlibatan seorang anak
tua ini patut diberikan perhatian. Jaringan ini menjadi sarana mobilisasi di
kalangan remaja untuk terlibat dalam kegiatan belajar remaja yang diselengarakan
dari sruktur keluarga, khususnya anak remajanya untuk terlibat. Jaringan keluarga
juga menjadi sarana mobilisasi sanak saudaranya seperti keponakan, sepupu dan
lain-lain.
Kedua, Jaringan pertemanan orang tua ini terbentuk bedasarkan tali inter-
personal antara orang tua dengan umat Baha‟i karena mereka tinggal dalam seting
sosial yang tertentu (tetangga, teman kerja, kolega dan lain-lain). Pada gilirannya,
dalam struktur keluarganya yang masih remaja untuk terlibat dalam kegiatan
Pola mobilisasi melalui jaringan keluarga dan jaringan pertemanan orang tua
ini merupakan salah satu basis struktur kehidupan sehari-hari dari kalangan orang
94
tua. Kemudian, hubungan orang tua dengan anak remajanya memiliki pertalian
pengambilan keputusan untuk terlibat atau tidaknya seorang remaja sama halnya
kepada orang tua. Oleh karena itu, jaringan atau tali inter-personal antara umat
Biasanya sih natural saja. rata-rata natural. Maksudnya kayak gini. Saya berteman
dengan anda. Saya punya kegiatan nih misalnya setiap hari tertentu, doa bersama
kah, atau macam-macam lah. Atau proyek remaja itu ya paling kita ajak. Jadi
natural aja. Jadi biasanya si teman itu responsif. Kalau mereka tertarik bisa ikut
terus, kalau mereka sekedar ingin tahu ya udah. Ada juga kan orang yang sekedar
ingin tahu ya udah cuman sekali-dua kali (Wawancara, Gita Marniza, mantan
anggota MRS Jakarta Pusat. LBH Jakarta, 3 Agustus 2016).
dalam konteks bersahabat, karena aku merasa bahwa prinsipnya itu ya kita yakin
kalo udah sahabat itu ya lega. Jadi mungkin titiknya ada disitu dulu saya harus
95
Tetapi patut diperhatikan, bahwa dalam kasus jaringan pertemanan remaja
ini masih perlu legitimasi dari orang tua. Masih dalam konteks yang sama dengan
kasus kelas anak bahwa hubungan regulasional antara negara melalui undang-
sang anak. Artinya, keputusan anak atau remaja di bawah 18 tahun masih dalam
pengawasan orang tua/wali. Dengan begitu proses melibatkan seorang remaja juga
Mahila yaitu:
Di remaja juga orang tuanya yang kita approach, enggak bisa kalo enggak. Jadi
kalau biasanya kan kalo diremaja sama remaja berteman kaya si Dini, dia berteman
dan “aku ikut dong, aku ingin program remaja”, nah itu kan sangat menarik.
Mereka bikin proyek-proyek untuk remaja, program remaja ruhi memang sangat
menarik. Nah kalau mereka tertarik kita bilang “kita harus bicara dengan orang tua
kamu dulu”, nah terus langsung kita ke orang tuanya, menjelaskan materi, semua
orang tuanya lihat, beri mereka waktu dan kalau orang tuanya bilang “tidak”, tidak
mungkin anak remaja itu akan bergabung tapi kalau orang tua mengijinkan maka
remaja itu akan bergabung. Biasanya yang approach itu animator terus animator
biasanya ajak juga si orang tua dari animator. Kadang-kadang kalo perlu approach
ke orang tua yaa saya ikut. Kita kasih lihat buku-buku, video-video tentang proyek-
proyek yang sedang dilakukan. Jadi orang tua biasanya sangat terkesan daripada
anak-anaknya itu narkoba atau bahasa-bahasa yang kotor, mereka jadi bangga
anak-anaknya itu berubah terus disekolah juga nilainya jadi bagus (Wawancara,
Devansha Mahila, salah satu anggota Majelis Rohani Nasional Baha‟i Indonesia.
Jakarta, 6 Agustus 2016)
Oleh sebab itu, tali pertemanan di kalangan remaja perlu dilegitimasi dengan tali
warga negara.
96
mereka bisa melakukan interaksi yang cukup sering sebagai bagian dari rutinitas
Dulu juga rumah kita itu kan sering orang datang bermain. Tetangga-tetangga itu
banyak. Terus orang tuanya diajak duduk bersama, diskusi tentang program ruhi.
Jadi animatornya berkunjung ke orang-orang tua itu, membahas mengenai konsepsi
ini, menjelaskan tujuannya. Pada saat yang sama bicara juga dengan remaja-remaja
yang ada itu, untuk membangun bagaimana supaya 4 tahun ke depan itu kita punya
kelompok yang kita bisa diskusi secara rutin. Mereka itu bukan orang Baha‟i saja.
Jadi main-main ngumpul. Akhirnya terbentuk kelompok remaja (Wawancara,
Ahura Mazda, salah satu Konselor Baha‟i Asia. Jakarta, 30 Juli 2016)
mengajak langsung seseorang yang sudah dikenal salah satunya dengan cara tatap
muka atau door to door, karena memiliki tali inter-personal yang kuat.
Salah satu bentuk keakraban Lakshmi Sita (salah satu anggota hubungan
luar Baha‟i Indonesia) saat menjadi animator dengan partisipan kelompok remaja
yang menunjukan pentingnya tali persahabatan dan pendekatan kepada orang tua
Jadi apa yang kita lakukan di lingkungan tetangga itu ya kadang kita berkunjung
satu sama lain. Kalau misalkan hari raya, ya aku dateng kerumahnya, aku dulu
sampai punya satu kelompok remaja. Remaja ku 3 orang, Islam 1 orang, kristen 2
orang, dan aku Baha‟i. Terus kalau mau lebaran, aku tuh sering berkunjung. Aku
sama 3 keluarga mereka akrab banget. Sampai manggil mama sama orang tua
mereka. Kita belajar juga ganti-gantian ke rumah masing-masing. Mereka sudah
paham. Pas ramadhan, kan mereka bikin kue, terus aku bantuin bikin kue. Sampai
ada sikap menghargai yang sangat tinggi. Aku dibikinin jus pas bulan puasa,
padahal mereka sedang puasa. ...dan kita hubungannya udah kaya menjadi sebuah
keluarga. Mereka akhirnya mempercayai aku, percaya kalo aku sebagai seorang
kaka yang gak bakal menjerumuskan anaknya. Pernah ada masalah ada yang
ngomong “ohh jangan belajar sama si itu karena dia begini-begini” tapi akhirnya
97
mamannya sendiri yang mempertahankan gituloh, kalo yang diajarkan tuh seperti
ini. Mereka mulai menyatakan hal itu, bukan saya. Karna memang pada awalnya
aku udah menjelaskan (Wawancara, Lakshmi Sita, salah satu anggota hubungan
luar Baha‟i Indonesia. Ciputat, 15 Mei 2016).
individu.
partisipan remaja. Kegiatan festival ini diikuti oleh para remaja dari berbagai
Yang sampean ikut itu. Nanti anak-anak itu dari waktu ke waktu dikumpulkan. Ada
festival. Di festival itu di beberapa tempat, pergi 3 sampai 4 hari pergi kemana
untuk menyelesaikan 1 buku. Ada yang sampai ibu-ibunya ikut. Sampai Ibu RT nya
ikut. RT nya juga ikut, RW nya juga Ikut. Kelompoknya remaja sekitar 20 sampai
30an (Wawancara Ahura Mazda, salah satu Konselor Baha‟i Asia. Jakarta, 30 Juli
2016).
seperti RT/RW atau perangkat desa dan lain-lainnya. Berbeda dengan negara atau
negara. Menurut Ahura Mazda “Di Malaysia kantor desanya sudah di pakai.
Karena di sana kesadaran itu meningkat di semua level bahwa ini bagus untuk
98
1.2.3. Kelompok Belajar Dewasa Dan Jaringan Pertemanan
modul dan buku ruhi yang diterjemahkan oleh Majelis Rohani Nasional Baha‟i
Indonesia yang bersumber dari ajaran agama Baha‟i dan tulisan suci Baha‟ullah.
Proses keterlibatan para partisipan ke dalam kelompok belajar dewasa ini tidak
lagi memerlukan jaringan orang tua. Tetapi adanya jaringan pertemanan, kolega
Enggak, kalo ditingkat dewasa kan udah dewasa jadi langsung aja. Prosesnya
seperti berteman aja. Kaya pak Ahura ada kelompok belajar di kantornya..... kaya
pak Boy, pak Ruhul, pak Dani, teman-teman koleganya sangat tertarik “ohh ini luar
biasa materinya”, jadi mereka dewasa dengan keinginan sendiri ya mereka bentuk
sendiri gitu. (Wawancara, Devasha Mahila, salah satu anggota Majelis Rohani
Nasional Baha‟i Indonesia. Jakarta, 6 Agustus 2016)
Begitupun menurut Santi Amisha “Kalau dewasa kan urusan dia sendiri.
Kalau dewasa sudah menentukan sendiri, gak perlu ke orang tuanya lagi”
(Wawancara, Santi Amisha, salah satu anggota hubungan luar Baha‟i Indonesia.
Jakarta, 2 Agustus 2016). Artinya, mobilisasi kelompok belajar dewasa tidak lagi
dengan keluarganya, ada yang dengan tetangganya, ada yang dengan teman
99
kantornya, ada yang dengan teman mahasiswanya” (Wawancara Ahura Mazda,
Kedua, jaringan tetangga rumah. Ketiga, jaringan kolega atau rekan kerja.
Tahun 2013, mas. BKS mengundang anak muda di seluruh dunia untuk diskusi
bagaimana masa depan kita bisa lebih baik. Pemudanya bukan hanya yang ikut
ruhi. Jadi orang Baha‟i dan teman-temannya. Jadi sampean saya undang karena ada
disini. Hampir 150 ribu dari berbagai negara, selama 3 hari belajar. Anak-anak
muda itu, mas. Jam 7 pagi sampai jam 11 malam tidak keluar ruangan saking
antusiansnya. Sebagian besar bukan Baha‟i. Baha‟i nya mungkin 20 persen. 80
persennya Kristen, Islam, Budha dan lain-lain. Mereka tau dari temen-temen Baha‟i
yang cerita, terus diajak. Saya pergi itu yang di India itu 2000 orang. Di Indonesia
400 sampai 500 orang. Gedungnya besar. Gede gedungnya. Jadi BKS mengajak
untuk berpikir. (Wawancara, Ahura Mazda, salah satu Konselor Baha‟i Asia.
Jakarta, 30 Juli 2016)
Dari sini terlibat bahwa pola mobilisasi dalam kelompok dewasa didominasi
dengan jaringan pertemanan atau kolega-kolega. Hal ini tentu berbeda dengan
dan dewasa difasilitasi oleh jaringan doa bersama dari para orang tua. Menurut
100
Di Singapore itu di daerah sekitar orang tuanya itu 1 bulan sekali itu kumpul ada
acara doa bersama. Jadi dari berbagai agama itu doa bersama. Sama anak-anak.
Terus anak-anak nya ikut kelas anak-anak. Remajanya ikut kelompok remaja, orang
tuanya belajar ruhi, terus sebulan sekali mereka kumpul semua doa bersama.
Padahal masyarakat Singapore terkenal sekuler (Wawancara, Daryush Asytar, salah
satu Animator Remaja. Jakarta, 30 Juli 2016)
jaringan yang beragam. Jaringan-jaringan ini yang pada giliranya nanti akan
baru.
Kegiatan ini masih sama seperti sebelum reformasi, bahwa umat Baha‟i
masyarakat dan sekaligus manifestasi daci cita-cita universal. Doa bersama biasa
Proses mobilisasi dari kegiatan ini berbagai macam jalur. Ada jalur melalui
keluarga. Jaringan-jaringan ini menjadi sarana mobilisasi oleh umat Baha‟i untuk
101
Saya dikalangan rekan-rekan saya, saya sering undang untuk doa bersama, ada
tetangga dan siapa saja. Misalnya tiap sabtu malam, ya kita ada doa bersama. Kalau
kita di jakarta kita pastikan kita ada doa bersama. Siapapun yang datang ada
tetangga, teman kantor kadang-kadang, anak-anak yang pengungsi itu juga kadang-
kadang, kemudian saudara-saudara kita kadang. Kita juga ke rumah mereka berdoa
bersama-sama. Ada juga yang sebagian ikut buku ruhi. (Wawancara Ahura Mazda,
salah satu Konselor Baha‟i Asia. Jakarta, 30 Juli 2016)
partisipan dalam kegiatan doa bersama. Dalam lingkup rekan kerja pada salah satu
Teman saya itu belum ke arah ruhi. Ada satu sih. Tapi kita doa bersama iya. karena
saya agak jarang di sini, praktek. Mustinya memang di masyarakat, Tapi kita
diajarkan bahwa buat di tempat rumah di daerahnya. tapi kami pasti ada diskusi
atau apa gitu. Paling enggak bahwa gak ada prasangka disini (Wawancara, Santi
Amisha, salah satu anggota hubungan luar Baha‟i Indonesia. Jakarta, 2 Agustus
2016).
Kegiatan doa bersama dalam hari raya besar umat Baha‟i juga biasanya
tanggal 1 Nopember 2016 pada peringatan kelahiran „Sang Bab‟ dan Baha‟ullah
di kediaman Ahura Mazda, Jakarta Selatan. Perayaan tersebut dihadiri oleh para
tetangga sekitar, mulai dari ketua Rukun Warga dan ketua Rukun Tangga di
daerah tersebut. Tetangga dari berbagai agama pun turut mengadiri, seperti agama
102
umat kristen dan salah satu ustadzah di daerah tersebut. Bahkan Devansha Mahila
Sumber: Observasi
lingkungan Ahura Mazda (umat Baha‟i). Selain doa bersama, kegiatannya disertai
103
Gambar III.6. Pemotongan Tumpeng
Sumber: Observasi
menjelaskan tentang agama Baha‟i yang merupakan salah satu agama di dunia
sebagai bentuk sosialisasi secara langsung kepada tamu. Para tamu di undang
104
Gambar III.7. Kegiatan Ramah Tamah
Sumber: Observasi
Gambar III.7. diambil saat ustadzah sedang menyuapi para anggota keluarga
Ahura dan Istrinya layaknya anak sendiri. Tentunya hal tersebut menunjukan tali
bersama):
105
Saya belum tau sama sekali tentang agama Baha‟i, tapi kenal pak Ahura sudah
lama. Sudah kenal. Kan saya tinggal di atas situ, dua rumah dari sini doang. Tau
pak Ahura, tapi gak tau orangnya yang mana. baru akhirnya 2 bulan yang lalu saya
kenal. Terus saya sering main.baru tau (agama Baha‟i) sabtu kemarin. Itu pertama
kali saya tau kalo ada agama Baha‟i. kenal sama keluarga pak Ahura ya baru 2
bulan itu. Itu karena kerja bakti. (Wawancara, Ridho, salah satu tentangga umat
Baha‟i. Jakarta, 1 Nopember 2016)
seluruh individu atau masyarakat, tetapi perlu adanya pra-kondisi dari tali inter
Dari pemaparan awal kegiatan inti era pelopor sampai pasca reformasi,
setidaknya dapat diambil poin yang sejalan dengan apa yang dikatakan Passy
social ties merupakan salah satu dari banyak cara untuk memfasilitasi individu
yang telah memiliki tali inter-personal dengan umat Baha‟i di Jakarta. Mereka
akan cenderung siap untuk dimobilisasi dan siap mengubah kesadaran sosial
menjadi aksi. Tetapi dengan catatan bahwa fungsi sosialisasi telah berjalan
di dalam gerakan. Seseorang tidak akan membuat keputusan dalam keadaan yang
dirinya pada apa yang orang lain lakukan (khususnya orang terdekat).
106
pada gilirannya menjadi sarana utama dari komunitas Baha‟i di Jakarta dalam
alasan kenapa seseorang terlibat dalam sebuah kelompok (Goodwin & Jasper,
gerakan (Porta & Diani 2006:118). Dengan melihat peranan dari jaringan yang
ada dalam komunitas Baha‟i, maka sebetulnya kita juga dapat melihat proses kerja
Jadi sebagai animator kita juga harus berhubungan dengan orang tua. Jadi kita
selain berhubungan baik dengan remajanya, kita juga harus berhubungan baik
dengan orang tua remajanya. Mangkanya penting kita membuat kelompok di
lingkungan kita, selain kita bertemu dengan orang tuanya secara rutin, kan anak-
anak ini kan tiap hari juga ketemu diantara mereka sendiri. Misalnya remaja saya
awalnya itu ada 17. Yang lulus programnya 7. Sisanya walkout. Ya daerah sini kan
ada alasannya nikah muda, jadi orang tuanya itu, misalnya anaknya umurnya sudah
15, dinikahkan. Ada juga yang curiga. Karena intensitas kita dengan orang tuanya
juga gak bagus, itu berpengaruh. Akhirnya 7 orang ini yang intensitas dengan orang
tuanya juga kuat. itu bedasarkan pengalaman diseluruh dunia. Ternyata, kelompok
remaja yang intensitas diskusi dengan orang tuanya gak bagus, tidak bertahan lama.
Saya itu kurang intens, mangkanya dari 17 tinggal 7. Dari 7 yang ikut buku ruhi
tinggal 3 (Wawancara, Daryush Asytar, salah satu Animator Remaja. Jakarta, 30
Juli 2016).
bertahan karena mereka selalu kept in touch dengan sesama partisipan yang sering
107
dilakukan dalam lokasi social setting (lingkungan keseharian) atau ketika kegiatan
(jaringan orang tua) dalam kelas anak dan kelompok remaja sangat mempengaruhi
remaja dan orang tua menjadi faktor yang patut dilihat untuk menentukan
Remaja ku 3 orang, Islam 1 orang, kristen 2 orang, dan aku Baha‟i. Terus kalau
mau lebaran, aku tuh sering berkunjung. Aku sama 3 keluarga mereka akrab
banget. Sampai manggil mama sama orang tua mereka. Kita belajar juga ganti-
gantian ke rumah masing-masing. Mereka sudah paham. Pas ramadhan, kan mereka
bikin kue, terus aku bantuin bikin kue. Sampai ada sikap menghargai yang sangat
tinggi. Aku dibikinin jus pas bulan puasa, padahal mereka sedang puasa. Terus pas
lebaran aku dibelikan kue, dan kita hubungannya udah kaya menjadi sebuah
keluarga. Mereka akhirnya mempercayai aku, percaya kalo aku sebagai seorang
kaka yang gak bakal menjerumuskan anaknya. Pernah ada masalah ada yang
ngomong “ohh jangan belajar sama si itu karena dia begini-begini” tapi akhirnya
mamannya sendiri yang mempertahankan gituloh, kalo yang diajarkan tuh seperti
ini. “Saya tau kok apa yang diajarkan. Dia tidak pernah mengajarkan, maksudnya
untuk memindahkan agama anak saya”. Mereka mulai menyatakan hal itu, bukan
saya. Karna memang pada awalnya aku udah menjelaskan (Wawancara, Lakshmi
Sita, salah satu anggota hubungan luar Baha‟i Indonesia. Ciputat, 15 Mei 2016).
Pada girlirannya peran orang tua dalam membangun komitment keterlibatan para
remaja merupakan hal yang patut di perhatikan dalam fenomena ini. Sehingga
pembacaan terhadap jaringan orang tua merupakan hal yang penting. Artinya,
108
selain sejauh mana kedekataan para animator dengan para remaja, perlu dibaca
pula sejauh mana kedekatan para animator dengan para orang tuanya.
(BKS) untuk seluruh umat Baha‟i di dunia yang disalurkan melalui Majelis
Jakarta. Kerangka kerja merupakan suatu metode kerja umat Baha‟i dalam
pendidikan kelas anak, kelompok remaja dan kelompok dewasa. Kerangka kerja
disini merupakan metode dari bimbingan BKS untuk bekerja di daerah nya
masing-masing agar proses pencapaian cita-cita bisa lebih efektif. Seperti yang
Sebenernya gini, karena Balai Keadilan Sedunia memiliki kerangka kerja bahwa
teman-teman ini dalam usahanya, mereka akan berjuang bersama rekan sekerja,
teman terdekat atau sahabat, kerabat, dan tetangga. Kenapa ada kerangka seperti
ini? Karena orang-orang seperti tetangga, teman dekat atau sahabat, rekan kerja,
intensitas bertemunya lebih banyak, sehingga prasangka itu semakin besar
kemungkinannya hilang karena sudah mengenal kehidupan keseharian, rasa
109
kepercayaan juga mulai tumbuh, tantangannya juga nyata di lingkungan. Maka
jarak jauh akan sulit. Itu semua dari bimbingan Balai Keadilan Sedunia
(Wawancara, Lakshmi Sita, salah satu anggota hubungan luar Baha‟i Indonesia.
Ciputat, 15 Mei 2016)
direproduksi oleh Majelis Rohani Nasional (MRN) dan Majelis Rohani Setempat
di Jakarta. Kerangka kerja ini juga dilihat dari proses kehidupan sehari-hari dalam
masyarakat Baha‟i).
Jaringan lama pada gilirannya akan membentuk jaringan baru (Porta & Diani
110
partisipan ialah individu yang multi-identitas. Artinya, keunikan partisipan
sebagai seorang individu ialah merupakan bagian dari kelompok gerakan dan
dalam waktu yang bersamaan bisa menjadi anggota kelompok lain sehingga kita
bisa menciptakan hubungan antara kedua identitas tersebut (Simmel & Breiger
dikutip Porta & Diani, 2006:115). Sehingga partisipan dalam konteks ini juga
yang baru.
Misalnya pak Ahura itu teman kantor dia kan ada pak Boy, pak Dani dan lainnya
tapi setelah orang ini melewati satu proses jenjang buku, dia akan tertarik dia akan
ajak temannya yang lain, dia sendiri yang menjelaskan jadi bukan kita. Jadi apa
yang terjadi di India dan Kanada ya begitu,jadi mereka dengan kesadaran sendiri
bisa membentuk grup saya sendiri setelah nanti saya selesai buku ini, jadi dia akan
ajak teman-teman dia, itu terjadi di remaja. Terjadi secara alami. Dia membangun
kelompok tersendiri. Dia ajak teman-temannya lagi jadi bukan lagi kelompok yang
pertama. Jadi, sudah ada kelompok sendiri lagi. Mereka yang udah selesai pun.
Bisa buku satu dia bisa bikin kelompok sendiri. Karena ketika dia selesai jenjang
buku itu kan dia tau caranya diskusi gimana apa saja yang terjadi. Kadang-kadang
kalau dia mau tutor, yang dari sini (umat Baha‟i) mendampingi dia ya bisa
didampingi. Kalau dia sambil tutorin buku satu maka dia akan ikut buku
berikutnya. Jadi biasanya dari grup ini dia akan ada grup lagi, akan pecah akan ada
lagi, biasanya begitu ya yang terjadi (Wawancara, Devansha Mahila, salah satu
anggota Majelis Rohani Nasional Baha‟i Indonesia. Jakarta, 6 Agustus 2016).
Sama halnya dengan pendapat dari Ahura Mazda “Kalau dia (partisipan)
sudah selesai di buku itu, maka dia juga bisa membuka kelas untuk orang-orang
Baha‟i maupun bukan Baha‟i, untuk belajar tentang kemuliaan manusia, tentang
Ahura Mazda, salah satu Konselor Baha‟i Asia. Jakarta, 30 Juli 2016)
111
Gambar. III. 8. Jaringan Lama dan pembentukan Jaringan baru
AA
P P P
P P
P P
P
P P P
P P
P P P P
P P P
P P
P P P
P P
P
P
P P P P
P P P
P
AA : Aktor Awal
P : Partisipan Dalam Jaringan Lama
P : Partisipan Dalam Jaringan Baru 1
P : Partisipan Dalam Jaringan Baru 2
P : Partisipan Dalam Jaringan Baru 3
komunitas Baha‟i. Proses ini harus melewati beberapa tahap belajar melalui
buku/modul yang telah ada dalam pendidikan Baha‟i. Para partisipan baru pun di
pendidikan buku Ruhi 7 untuk menciptakan kelompok belajar baru, yang peneliti
112
kategorikan sebagai bentuk dari jaringan baru. Jaringan baru terbentuk karena
partisipan. Tetapi, hal ini yang kemudian memperlihatkan peran jaringan lama
Baha‟i Jakarta pasca reformasi sampai saat ini sebagai bentuk dari strategi
remaja itu ajak adik-adiknya, kita jelasin ke orang tuanya nah adik-adiknya
biasanya masuk ke kelas anak. Kemudian orang tuanya terus ikut ke kelompok
belajar itu jadi hampir sama lah, dan biasanya begitu yang terjadi” (Wawancara,
Devansha Mahila, salah satu anggota Majelis Rohani Nasional Baha‟i Indonesia.
Jakarta, 6 Agustus 2016). Artinya bahwa anggota keluarga yang sudah mejadi
113
Pengalaman Lakshmi pun membuktikan bahwa jaringan sosial selain
Dimulai dari 3 orang. Dan satu kelompok ini. Pelan-pelan kita sedang
menginspirasi yang lainnya. Sebenernya di satu desa ini ada 50 pemuda yang
sebenernya semua pemuda bisa pegang adik-adiknya. Itu yang sedang kita
diskusikan, dan aku juga ikut karang taruna daerah proklamasi. Mereka biasa kalo
ada 17 agustus, kita bikin lomba. Pelan-pelan juga dari 3 orang, taunya kita merasa
loh kita menjadi besar ya. Karena 3 orang itu masing2 punya keluarga, punya kaka,
adik, tetangga, ngobrol dan semakin luas. Kalau kamu pergi ke tambak di daerah
proklamasi, deket taman Amir Hamzan, itu aku hampir dari ujung sampe ujung, itu
dikenal orang. 1 rw itu 600 KK. Karna selain aku punya kelompok remaja, aku ikut
karang taruna pos RW. Dimana ada kegiatan lainnya kaya pendidikan lebih ke
bahasa Inggris umum. Kadang ditolak juga sih. Ditolaknya karena bahai. Pernah
ditolak sama ustad, mereka bilang “udahlah agama mu, agamamu. Agama ku,
agama ku”. Seolah-olah kita itu mengajarkan agama bahai. Tapi yang menjadi
penting ialah persahabatan. Sejauh ini masyarakat bahai menjadi sahabat sehingga
mereka bisa paham satu sama lain. Dan akhirnya mereka memperbolehkan
(Wawancara, Lakshmi Sita, salah satu anggota hubungan luar Baha‟i Indonesia.
Ciputat, 15 Mei 2016).
di lingkungan sehari-hari. Ini yang disebut McCarthy dan Wolfson (1988) sebagai
corak dari kelompok gerakan lokal (McCarthy & Wolfson dikutip McCharty,
1996:142).
tersebut pun dilakukan oleh komunitas Baha‟i melalui proses yang disebut
„konsolidasi‟ dan „ekspansi‟ yang mana para fasilitator dan panitia di kluster
Jakarta melakukan sebuah pertemuan rapat setiap 3 bulan sekali untuk melakukan
114
refleksi dari proses kegiatan-kegiatan belajar. Menurut Heri salah satu staf MRN
Proses itu adalah rencana 5 tahun BKS dimana ekspansi itu adalah perluasan
dimana kita bisa mencangkup lebih banyak orang yang berpastisipasi dalam 4
kegiatan inti yaitu; doa Bersama, kelompok belajar, kelompok remaja, dan kelas
anak. Kita kan ada siklus. Siklus itu selama 3 bulan sekali, namanya siklus kluster.
Jadi di dalam meeting itu kan ada meeting kluster. Dimana meeting kluster itu
setiap 3 bulan sekali. Di dalam siklus 3 bulan ini ada 2 minggu awal, yaitu ekspansi
untuk perluasan setiap habis meeting kluster. 2 minggu awal itu ekspansi dimana
perluasan itu kita memperkenalkan di 4 kegiatan inti itu dan setelah 2 minggu itu,
selebihnya kebelakang itu konsolidasi. Dimana konsolidasi itu kita juga
mempererat yang lama, kita juga menekankan yang baru. Di 3 bulan itu, kita
ketemu lagi 3 bulan kedepan. Dimana kita refleksi. Jadi ekspansi, konsolidasi dan
refleksi itu jadi satu. Jadi, dimana kita udah melakukan ekspansi, konsolidasi kita
bagaimana nanti akan di refleksikan. (Wawancara, Heri, staf MRN Baha‟i
Indonesia. Jakarta, 4 Agustus 2016)
Ekspansi ini salah satunya menggunakan tali inter-personal yang dimiliki para
partisipan terhadap orang lain yang belum terlibat. Proses ini lebih tepatnya
khususnya yang sudah melampaui buku Ruhi. Sebab, buku-buku tersebut bisa
kelas anak. Artinya, muda-mudi yang telah melampaui buku-buku Ruhi juga
sekolah, teman kuliah, teman kerja, tetangga, kelompok bermainya yang pada
di Jakarta.
115
Pendapat Hamed Ja‟far (salah satu animator) lebih mempertajam maksud
dari ekspansi dan konsolidasi sebagai praktik dari tindakan sosial yang merupakan
Salah satu prinsip di bidang tindakan sosial itu, bagaimana kita bisa
mengembangkan kesejahteraan, spiritual dan material. Jadi gak cuma materi saja.
gak cuma spiritual saja, sehingga bisa berguna bagi masyarakat. Jadi tentu disetiap
lintas kita ada tiga hal itu. Misal kelompok remaja. Itu kan kita menggunakan buku
institut, itukan masuk ekspansi dan konsolidasi. Tapi di kelompok itu juga ada
kegiatan sosial. Maksudnya bagaimana kita bisa memberdayakan orang lain supaya
mereka ikut serta dalam membangun kesatuan di masyarakat. Itu aja. Jadi
bagaimana kita bisa mengajak orang lain untuk membangun kesatuan di
masyarakat. Metodenya ya kelompok remaja, kelas anak-anak, ruhi institut
(Wawancara, Hamed Ja‟far, salah satu Animator Remaja. Jakata, 25 Juli 2016).
pendapat Hamed meneguhkan tindakan yang dilakukan oleh umat Baha‟i dalam
sebagai bentuk pengaplikasian ajaran Baha‟i. Oleh karena itu, salah satu titik poin
bahwa persatuan haruslah tercipta dari seluruh elemen dan umat manusia, maka
Jakarta. Ini lah yang dimaksud dengan ekspasi dan konsolidasi sebagai praktik
maupun LSM-LSM yang ada dengan baik. Fungsi hubungan luar menurut Gita
116
NGO, LSM, masyarakat, pihak-pihak luar. HL (hubungan luar) tugasnya lebih
(Wawancara, Gita Marniza, mantan anggota MRS Jakarta Pusat. LBH Jakarta, 3
Agustus 2016).
Menurut Ratn Vineeta (salah satu anggota hubugan luar Baha‟i Indonesia):
Perlu menjadi catatan bahwa pada dasarnya semua jaringan sosial bisa
pertemanan, tetangga, dan tali sosial lainnya) bisa dikatakan sebagai sarana
117
seperti ini peneliti sebut sebagai jaringan sosial produktif (istilah dibuat untuk
mempermudah pembaca).
sosial tersebut hanya dapat dikategorikan yang peneliti sebut sebagai jaringan
dalam kegiatan kelas anak, remaja, dewasa dan doa bersama setidaknya ada upaya
jaringan organisasi, struktur pemerintahan dan lain-lain. Tapi bukan berarti bahwa
dalam proses mobilisasi. Artinya batas mobilisasi ditentukan sejauh mana jaringan
(unproductive).
Seperti pengalaman Santi Amisha seorang dokter yang bekerja pada salah
satu Rumah Sakit besar di Jakarta Barat mengakui bahwa dalam kalangan rekan
kerjanya, belum ada yang mengarah pada program pendidikan Baha‟i. Teman
kerja Santi tetap bisa disebut sebagai jaringan sosial, tetapi dalam kategori
Kelas Damai) bahwa “kelompok Kelas Damai disertai oleh berbagai orang dari
latarbelakang agama yang berbeda, ada Islam, Nasrani, Hindu, dan Baha‟i”
118
(Wawancara melalui Aplikasi Chatting, Arif Sunandar, salah satu penggagas kelas
damai. 5 Desember 2016). Tapi dari kelompok tersebut tidak ada yang mengikuti
Baha‟i di Jakarta. Artinya, kelas damai yang peneliti anggap sebagai jaringan
gerakan (rekrutmen).
119
B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terbentuknya Pola Strategi
Bertahan
Penjelasan dalam bagian ini dibagi menjadi dua untuk melihat faktor determinan
faktor sosial politik yang terbagi bedasarkan 2 periode utama: (1) Sebelum
reformasi yang represi dalam rezim politik dan tertutupnya masyarakat saat itu.
Homophily Principles
Relasi Sosial Masyarakat
Foci of Activity
Faktor-Faktor
Sebelum Reformasi
Struktur Sosial-politik
Pasca Reformasi
120
1. Terbentuknya Relasi Masyarakat Perkotaan Dan Jaringan
Informal
Baha‟i hidup dalam relasi sosial perkotaan yang dinamis, dan pada saat yang
dalam masyarakat perkotaan. Oleh karena itu, pembacaan terhadap struktur relasi
terlibat ke dalam gerakan (Snow et al, 1980; McAdam, 1986; McAdam, 2003;
Diani, 1995; Diani, 2003; Passy, 2003; Anheier, 2003). Tetapi eksistensi jaringan
yang terbentuk dalam masyarakat bukanlah sesuatu yang taken for granted.
yang cukup rutin satu sama lain (Eijk, 2010:41). Interaksi sebagai sebuah proses
sosiologis pun dibangun di atas kondisi dan setting sosial tertentu. Setidaknya ada
2 hal pola relasi umum dalam masyarakat perkotaan, khususnya Jakarta yang
Robert Merton (1954:23) ini merujuk kepada perilaku seseorang yang cenderung
121
memilih untuk bergaul dengan individu yang memiliki kesamaan dengan dirinya.
kesamaan identitas, yang mana identitas itu sendiri muncul karena keberlanjutan
sehari-hari dari proses pertemuan dan interaksi satu sama lain. Individu yang
konteks (Eijk, 2010:45). Dalam kondisi inilah jaringan sosial terbentuk, seperti
Hal ini kemudian mempengaruhi dengan siapa umat Baha‟i Jakarta akan
bersosialisasi dan menyebarkan nilai-nilai ajaran serta mengajak orang lain masuk
ke dalam gerakan, atau mengajak orang lain mengikuti kegiatan inti. Seperti
pendapat Fadli Hossein (salah satu anggota MRS Baha‟i Jakarta Pusat) saat
Pertama pasti kenal dulu ya. Kenal dulu dong. Terus yang kedua pasti dalam
kehidupan saya berharap mencerminkan konsep-konsep yang ada di dalam ruhi.
Cuma secara teknis kita bicara lah tentang metode-metode institut ruhi. Saya sering
bicara sama orang lain tentang institut ruhi. Bagaimana metodenya. Dan
kebanyakan mereka mau ikut institut. Dan kita sering mengatakan memang institut
ini terinspirasi dari ajaran agama Baha‟i. itu yang pertama kali kita sampaikan.
(Wawancara, Fadli Hossein, salah satu anggota MRS Baha‟i Jakarta Pusat. Jakarta
31 Juli 2016).
122
dibangun dalam asas kesamaan atau adanya kemiripan sesamanya. Oleh karena
proses tersebut bergeser sebagai sarana dalam proses mobilisasi. Karena proses
sosialisasi dari nilai-nilai yang ada dalam kegiatan komunitas Baha‟i di Jakarta
orang yang sudah saling mengenal satu sama lain. Artinya, proses mobilisasi
remaja, dewasa dan kegiatan doa bersama digunakan karena pada dasarnya
Kedua, „foci of Activity’ merupakan istilah yang dipakai oleh Scott L. Feld
(1982:797) sebagai sebuah konteks (atau fokus dalam lingkungan atau tempat
pusat berkumpul, taman, tempat ibadah, sekolah, dan tempat atau konteks-konteks
lain yang dapat menjadi media untuk memaksa mereka berinteraksi satu sama
lain.
Dalam konteks ini, foci of activity (fokus) memainkan peran yang sangat
khususnya kota Jakarta memiliki berbagai macam fokus sebagai prakondisi dari
fokus-fokus tertentu yang mana umat Baha‟i memang sudah bergelut dan
123
berkecimpung di dalamnya. Dan bahwa anggota komunitas Baha‟i memobilisasi
individu ataupun masyarakat yang berada di dalam foci of activity yang sama
Seperti pengakuan Ridho (salah satu tetangga dari Ahura Mazda umat Baha‟i
di Jakarta):
Saya belum tau sama sekali tentang agama Baha‟i, tapi kenal pak Ahura sudah
lama. Sudah kenal. Kan saya tinggal di atas situ, dua rumah dari sini doang. Tau
pak Ahura, tapi gak tau orangnya yang mana. baru akhirnya 2 bulan yang lalu saya
kenal. Terus saya sering main.baru tau (agama Baha‟i) sabtu kemarin. Itu pertama
kali saya tau kalo ada agama Baha‟i. kenal sama keluarga pak Ahura ya baru 2
bulan itu. Itu karena kerja bakti (Wawancara, Ridho, salah satu tetangga umat
Baha‟i Jakarta. Jakarta, 1 Nopember 2016).
konteks ini merupakan foci of activity yang merupakan sebuah sarana untuk
menciptakan tali intra personal dengan para tetangga melalui proses interaksi yang
rutin. Pada gilirannya, foci of activity menjadi salah satu faktor yang
dalam foci of activity dan hal ini merupakan strategi yang efektif.
rasa tertekan, terpinggirkan atau rasa kerugian yang sama terhadap sebuah
sistem/struktur, tetapi menurut Jasper (1999:67) “the best predictor of who will
124
join is whether a person knows someone else already in the movement”. Bahkan,
mayoritas partisipan yang bergabung ke dalam gerakan ialah mereka yang terlibat
yang muncul semenjak tahun 1970-an ini menggunakan „social network’ sebagai
sarana mobilisasi dominan untuk merekrut partisipan. Dengan kata lain, terjadinya
secara terorganisir.
Dalam kasus ini, mulai dari datangnya Baha‟i ke Jakarta sampai pasca
setidaknya, jaringan dan proses mobilisasi selalu kuat pada dan didominasi pada
mobilisasi dominan bukanlah sebuah taktik yang datang begitu saja, tetapi
melainkan berangkat dari proses adaptasi atas lingkungan sosial maupun politik.
sebagai rule dalam bernegara. Bedasarkan itu pula konsekuensi peran sebagai
(Orum, 2001:38). Dengan begitu, hukum sebagai sumber dari otoritas legal-
125
sebagai eksekutor dari hukum setidaknya salah satu alat yang mengatur berbagai
terciptanya stabilitas.
Dengan kata lain, hukum ialah salah satu sumber berkehidupan di Indonesia.
timbal-balik yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Artinya, segala tindakan
Oleh karena itu peneliti membagi 2 babak bedasarkan konteks sosial politik.
Pertama, sebelum reformasi yang identik dengan rezim tertutup dan represif
yang mana memiliki corak dalam keterbukaan politik (demokratisasi) yang sangat
berbeda dengan iklim politik sebelum reformasi. Meski ada 2 pembagian rezim,
setidaknya komunitas Baha‟i Jakarta sampai saat ini masih tetap menggunakan
ditemukan dalam rezim-rezim politik yang represif. Corak dari gerakan ini sering
126
2007:183-185). Begitupun Quintan Wiktorowicz (2007:36) menambahkan bahwa
formal. Hal ini disebabkan karena keberadaan komunitas Baha‟i dalam ruang
publik yang terlalu mencolok merupakan hal yang sangat berbahaya, karena
1962 yang berisikan pelarangan atas tujuh organisasi termasuk Bahá‟í. Pelarangan
kalangan pemimpin agama muslim dan dominasi islam dalam kementrian agama.
muslim terhadap komunitas Baha‟i, salah satunya karena kekeliruan umat muslim
dalam mengidentifikasi agama Baha‟i dengan sekte muslim Syi‟ah. Umat muslim
127
mulai mengidentifikasi bahwa Baha‟i merupakan sekte dari Syiah melalui
pandangannya terhadap Imam Mahdi dan tempat kemunculan dari Baha‟i yaitu
Iran. Muslim Indonesia yang mayoritas Sunni bermazhab Syafi‟iyyah ini memiliki
dianggap menyimpang dari ajaran islam, khususnya kalangan militan Sunni yang
direproduksi ulang oleh kalangan umat muslim selama orde baru (Nurish,
2015:153).
Tahun 74 ada lagi golongan yang menjadi Baha‟i lagi. Dan kemudian agama Baha‟i
itu ditentang diawalnya. Terjadi gesekan-gesekan karena orang gak tau Baha‟i. Ada
yang memikirkan ini aliran islam, ada yang mengatakan ini organisasi, ada yang
mengatakan ini macam-macam, sudah pokoknya lengkap tujuannya gak karu-karuan
itu. Tiap kali ada orang Baha‟i di tentang, bahkan ada yang di penjara, ada yang
dipenjara 10 tahun, hanya karena ia agama Baha‟i. Tetapi akibat dari itu juga, orang
Baha‟i gak bisa tinggal di tempat itu kan akhirnya menyebar-menyebar gitu kan
(Wawancara Ahura Mazda, salah satu Konselor Baha‟i Asia. Jakarta, 17 Mei 2016).
Lebih jauh lagi dalam pandangan tekanan dari masyarakat pada saat itu,
Baha‟i kerap dianggap sebagai PKI karena memiliki kemiripan secara ideologis
atau pun pandangan hidup dalam bermasyarakat yang mengharuskan tanpa kelas
masyarakat dalam mengidentifikasi Baha‟i sebagai PKI ini juga berperan dalam
tertutupnya masyarakat. Ditambah lagi peran historis memilukan dari tragedi 1965
yang terus direproduksi oleh negara (orde baru) bahwa PKI sebagai dalang.
128
Sehingga eksklusifitas masyarakat terhadap Baha‟i merupakan akumulasi
Kedua, dari kalangan „nasionalis‟ dari tahun 1950 sampai 1960-an yang
memiliki narasi „anti asing‟. Hal ini yang salah satunya memicu terciptanya
regulasi No. 264/Tahun 1962 (Kesheh, 1991:31). Seperti pendapat Ahura Mazda:
Di tahun 61 dan 62, ada kesalahpahaman karena waktu itu pemerintah itu kurang
begitu juga harmonis dengan „barat‟ waktu itu. Menurut cerita ini, semua ini adalah
apa yang kita mengerti per hari ini. Muncul pelarangan organisasi Baha‟i, jadi bukan
agama Baha‟i tahun 1962. Melalui dekrit presiden. Pelarangan itu digabung menjadi
satu dengan rotary club, lions club, jadi Baha‟i itu dianggap seperti club-club itu
juga, seperti itu. Saking tidak pahamnya tentang agama Baha‟i sampai kemudian
dipikir ini juga pasti aliran barat seperti barat gitu-gitu. Akibatnya luar biasa besar,
karena agama Baha‟i tidak ada pemimpin yang ada organisasinya. Waktu itu
organisasi agama Baha‟i pun dilarang. Nah orang Baha‟i itu ada prinsip dasar,
keyakinannya bahwa dia harus taat kepada pemerintah. Jadi kalau pemerintah
mengatakan bahwa gak boleh ada organisasi ya kita gak ada organisasi, taat.
Akibatnya kan serius, kita harus menyesuaikan diri dengan keadaan itu (Wawancara
Ahura Mazda, salah satu petinggi Baha‟i Asia Tenggara. Jakarta, 17 Mei 2016).
Peran kalangan nasionalis sebagai civil society tidak seperti kalangan muslim
nasionalis lebih secara politik dan hukum melalui produk regulasi No. 264/Tahun
salah satu upaya untuk stabilitas politik luar negeri maupun dalam negeri. Seperti
Pertama tentang kepres soekarno tahun 1962. Sukarno waktu itu karna memang
untuk menjaga stabilitas negara ya. Konteksnnya adalah organisasinya bersamaan
dengan beberapa organisasi-organisasi asing yang dianggap juga bawaan dari luar
negeri gitu. dengan adanya pelarangan itu memang ada pengaruhnya, dimana
mempengaruhi kepercayaan diri dan akhirnya teman-teman Baha‟i memang banyak
129
berkembang dilingkungan-lingkungan yang kecil-kecil itu dan berusaha untuk
bertahan dengan keyakinannya dan dengan tidak sedikitpun berusaha untuk
menutupi diri, tetapi dalam keadaan yang sama, dia juga tidak begitu agresif gitu.
Agresif dalam hal ini bukan berarti kita secara terbuka atau gimana ya tetapi ya kita
lebih bagaimana menjalankan agama itu ya saya adalah seorang Baha‟i tapi memang
kita tidak terlalu terbuka (Wawancara, Lakshmi Sita, salah satu anggota hubungan
luar Baha‟i Indonesia. Ciputat, 15 Mei 2016).
maupun sosial masyarakat. Tetapi hanya kadar kemunculan di ruang publik saja
Jakarta. Seperti doa bersama dan belajar bersama masih eksis pada saat itu. Oleh
sebab itu, proses mobilisasi dari kegiatan inti tersebut lebih mengutamakan
dan lain-lain) sebagai medium utama mobilisasi. Seperti yang disebut oleh Snow,
jalur mobilisasi jaringan-jaringan informal pada saat itu. Atau menururt Nurish
Soekarno No. 264/Tahun 1962. Itulah sebabnya komunitas Baha‟i Jakarta yang
130
mendapatkan represi melalui negara dan masyarakat lebih aman dan efektif
Abdurrahman Wahid sebagai presiden ke-4 karena sudah tidak sesuai dengan cita-
peluang bagi komunitas Baha‟i Jakarta untuk memperkuat gerakan dan mobilisasi
society di Indonesia. Seperti cap sesat dari MUI daerah lampung, dan Forum
dari 1950-an masih terus berjalan pasca reformasi. Dalam kehidupan sehari-hari
pun masih ada juga penolakan dari kalangan agama. Seperti pengalaman Lakshmi
Sita “....kadang-kadang ditolak juga sih. Ditolaknya karena Baha‟i. Pernah ditolak
sama ustad, mereka bilang „udahlah agama mu, agamamu. Agama ku, agama ku‟.
131
Seolah-olah kita itu mengajarkan agama Baha‟i” (Wawancara, Lakshmi Sita,
salah satu anggota hubungan luar Baha‟i Indonesia. Ciputat, 15 Mei 2016).
Jadi kalau saya pelajari lebih banyak di daerah-daerah itu terjadinya permasalahan
dengan orang Baha‟i murni ya hampir kebanyakan karena kesalah pahaman.
Kesalah pahaman itu ada banyak faktor, kadang prasangka yang timbul karena
kurangnya informasi mengenai agama Baha‟i. Karena waktu jaman masih dilarang
orang Baha‟i ini kan kebanyakan menutup diri. Jadi, Karena orang Baha‟i menutup
diri, kalau dia ada di suatu lingkungan atau di desa yang mayoritas agama tertentu,
lalu orang dengan otomatis saja mengasumsikan dia beragama. Kamu liat muka
saya, kamu langsung asumsi saya agama kristen, gitulah kira-kira. Ada prasangka.
Jadi waktu akhirnya ketahuan orang ini agama Baha‟i, disitu timbul masalahnya.
umumnya yang terjadi konflik yang saya tau itu kesalah pahaman, karena dalam
agama Baha‟i ini lahir di timur tengah. Kalau di desa-desa yang mayoritas islam,
terus terang, agama Baha‟i ini banyak yang dianggap sempalan Islam, terus
dianggap aliran sesat. Mirip Ahmadiyah dan sejenisnya gitu (Wawancara, Ratna
Vineeta, salah satu anggota hubungan luar Baha‟i Indonesia. Tangerang Selatan, 18
Juli 2016).
lembaga keagamaan masyarakat seperti Forum Umat Islam (FUI), Majelis Ulama
Pimpinan MUI Pusat, Muhyidin Djunaidi sangat tidak sepakat apabila Baha‟i
perpanjangan tangan dari sekte yang masih memiliki hubungan historis dengan
islam jadi sangat tidak setuju jika Baha‟i diakui menjadi agama di Indnesia”
132
pertemuan yang merasa resah karena umat Baha‟i yang dianggap mencoba
Tekanan dari Front Pembela Islam (FPI) pun datang melalui statement Habib
Riziq (Imam Besar Front Pembela Islam) yang menganggap Baha‟i sebagai
agama sesat saat diskusi di Megamendung Bogor, Jumat 1 Agustus 2014. Baha‟i
dianggap merupakan sekte dalam Islam yang telah keluar dan menyimpang. Oleh
karena itu, menurut Habib Riziq “mereka harus kita lawan, tidak boleh diijinkan
Statement MUI yang menganggap bahwa Baha‟i telah menyimpang dari salat
5 waktu dan dianggap tidak mengakui Nabi Muhammad sebagai Nabi. Statement
MUI juga yang dimuat Kompas tentang kesesatan Baha‟i. Dan bahwa Baha‟i
dianggap telah menistakan Agama Islam. Hal ini kemudian direspon oleh pihak
Dalam beberapa media online misalnya, ada beberapa media yang menekan
Baha‟i. (Republika, 24 Juli 2014; VOA Islam, 27 Oktober 2009; Kiblat, 24 Juli
2014).
133
Tekanan masyarakat dalam media online dan reproduksi diskursus kesesatan
komunitas Baha‟i Jakarta sulit untuk bergerak dalam ruang publik, dan lebih
Jalur mobilisasi (rekrutment) inilah yang mereka gunakan pasca reformasi sebagai
134
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bedasarkan hasil eksplorasi dan penjelasan dalam analisis yang telah dituangkan
dalam pembahasan, setidaknya ada beberapa kesimpulan dan benang merah yang
Jakarta harus terlebih dahulu dilihat dari upaya mobilisasi sumberdaya komunitas
Baha’i di Jakarta. Komunitas Baha’i di Jakarta yang aktif dalam melakukan berbagai
beberapa jaringan-jaringan formal ikut serta dalam proses mobilisasi pasca reformasi,
perannya masing-masing yang terbagi dalam 2 babak periode. Pertama, kegiatan inti
sebelum reformasi (kegiata belajar dan doa bersama) dan 4 kegiatan inti pasca
reformasi (kelas anak, kelompok remaja, kelompok dewasa dan doa bersama), serta
Jakarta.
135
Hasilnya, kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan komunitas Baha’i sebelum
reformasi didominasi oleh jaringan informal sebagai sarana mobilisasi. Dua kegiatan
inti (belajar bersama dan doa bersama) diikuti oleh partisipan-partisipan masyarakat
di Jakarta melalui jalur tersebut. Begitupun pasca reformasi, bahwa jaringan informal
peran penting dalam proses mobilisasi pada kelas anak. Jaringan informal ini menjadi
Kedua, jaringan informal pertemanan antar keluarga dan kelompok bermain (peer
group) menjadi corak dominan dalam proses mobilisasi pada kegiatan kelompok
teman bermain, tentangga merupakan jaringan yang bekerja dalam proses mobilisasi
partisipan ke dalam kegiatan kelompok belajar dewasa. Ketiga kegiatan ini memiliki
tersebut (kelas anak, kelompok belajar remaja dan kelompok belajar dewasa).
136
sebagai sarana dari proses mobilisasi partisipan. Ada juga beberapa tempat yang
sudah melibatkan jaringan formal (seperti organisasi dan RT/RW) dalam proses
bekerja dalam proses mempertahankan partisipan agar tidak keluar (trashed-out) dari
terbangun tersebut memberikan border terhadap para partisipan kegiatan agar tetap
jauh lagi, bahwa jaringan-jaringan sosial tersebut pada gilirannya akan membuka
produktif, yaitu jaringan yang terbentuk atau dimiliki komunitas Baha’i Jakarta dan
ataupun gerakan. Kedua, jaringan unproductive, yaitu jaringan yang terbentuk atau
137
dimiliki komunitas Baha’i Jakarta, tetapi tidak berperan dalam proses memobilisasi
partisipan ke dalam gerakan. Karena tidak semua jaringan sosial informal dapat
komunitas Baha’i di Jakarta bukan merupakan sesuatu yang taken for granted.
Pertama yaitu homophily principle sebagai ciri umum pertama dari proses interaksi
interaksi yang umum sehingga membentuk jaringan-jaringan sosial informal yang ada
dalam masyarakat Jakarta. Kedua, yaitu foci of activity sebagai ciri umum kedua dari
proses interaksi masyarakat perkotaan seperti Jakarta, yang pada gilirannya juga
Jakarta. Dua pola interaksi umum masyarakat perkotaan ini yang membentuk relasi
perkotaan.
komunitas Baha’i Jakarta dipengaruhi oleh 2 hal. Pertama, sistem politik yang
138
represif. Kedua, masyarakat yang tertutup. Sistem politik yang represif dan
tersebut.
komunitas Baha’i ini merupakan pemilihan yang tepat karena dipandang jauh lebih
efektif dalam kondisi tersebut. Selain tidak mengundang represi rezim, juga tidak
mengundang konflik dan tekanan horizontal dari tertutupnya masyarakat. Dua faktor
besar inilah yang mendasari komunitas Baha’i lebih memilih jaringan informal
bertahan komunitas Baha’i di Jakarta sebagai sebuah gerakan sosial. Seluruh proses
sosiologis tersebut menjadi titik poin dalam upaya bertahannya komunitas Baha’i di
Jakarta.
139
B. Saran
Penelitian ini bukanlah final dalam kajian komunitas Baha’i. Artinya bahwa
penelitian ini hanya membaca proses dan peran jaringan-jaringan informal sebagai
perspektif sosiologi bisa melakukan kajian dan penelitian yang lebih konprehensif
dan mendalam terkait komunitas Baha’i, khususnya dalam unit analisasi sosiologi
agama, sosiologi politik, sosiologi globalisasi maupun gerakan sosial. Melihat proses
Indonesia merupakan kasus yang unik sebagai sebuah agama dengan berbagai macam
ritual keagamaan yang berimplikasi atau bahkan dipengaruhi oleh relasi-relasi sosial
kesamarataan dalam berkehidupan dan mampu menjunjung tinggi hak manusia yang
paling asas.
140
Peneliti menyarankan adanya kajian sosiologi lebih lanjut untuk menjawab
141
DAFTAR PUSTAKA
Burke, Peter, 2011. Sejarah dan Teori Sosial. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
Effendi, Shoghi. 1970. “Dawn A New Day: Message to India 1923-1957”, Baha’i
Publishing Trust: New Delhi.
142
Fathea’zam, Husmand, 2009. Taman Baru. Indonesia: Majelis Rohani Nasional
Bahá’í Indonesia.
Fazel, Seenal. 1994. “Is the Bahá’í Faith a World Religion?” h: 1-16 di Journal of
Bahá’í Studies Vol. 6, nomor 1, Ottawa: Association for Bahá’í Studies
North America. Diunduh pada 4 April 2015 (www.bahai-studies.ca) dan
(www.bahai-library.com)
Godwin, Jeff & Jasper, James M, 2003. The Social Movements Reader: Case and
Concepts. Blackwell Publishing.
Hampson, Arthur. 1980. “The Growth and Spread of The Baha’i Faith”. Disertasi
untuk meraih gelar Doctor of Philosophy di University of Hawaii.
Hatcher, William S. & Martin, J. Douglas. 1885. “The Baha’i Faith: The
Emerging Global Religion”, Harper and Rom: San Francisco.
Hoonaard, Will C. van den, 1988. “The Bahá’í Community of Canada: A Case
Study in the Transplantation of Non-Western Religious Movements to
Western Societies.” di Journal Bahá’í Studies Vol. 7, Nomor 3, Ottawa:
Association for Bahá’í Studies North America, (1995). Diunduh pada 4
April 2015 (www.bahai-studies.ca) dan (www.bahai-library.com)
143
Hoonard, Will C. van den. 1996. The Origins of The Baha’i Community of
Canada, 1898-1948. Canada: Willfrid Laurier University Press.
(www.BookFi.org)
Human Rights Watch: Atas Nama Agama. Printed in the United States of America
ISBN: 1-56432-996-8 Cover design by Rafael Jimenez, 2003. Diunduh pada
8 Januari 2016 (www.hrw.org)
Jenkins, J Craig. 1983. “Resource Mobilization Theory And The Study of Social
Movements.” h. 527-553 dalam Annual Review of Sociology, Vol. 9.
(http://courses.arch.vt.edu/courses/wdunaway/gia5274/jenkins83.pdf)
Kustini & Arif, Syaiful. 2015. “Eksistensi Agama Baha’i Di Palopo Sulawesi
Selatan”. h. 53-80 dalam Baha’i, Sikh, Tao: Penguatan Identitas dan
Perjuangan Hak-Hak Sipil. Puslitbang Kehidupan Keagamaan: Badan
Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI.
144
Mahmoudi, Hoda, 2008. “The Permanence of Change: Contemporary
Sociological and Bahá’í Perspective” h. 41-76 di Journal of Bahá’í
Studies, Vol. 18, nomor 1/4, , Ottawa: Association for Bahá’í Studies
North America, 2008. Diunduh pada 4 April 2015 (www.bahai-studies.ca)
dan (www.bahai-library.com)
McCharty, John and Mayer Zald. 1977. Resource Mobilization and Social
Movement: A Partial Theory. Chicago Journals h:1212-1241, University of
Chicago Press.
Kesheh, Natalie Mobini. 1991. “Guided Religion’: Religious Policy In Old Oreder
Indonesia and The Banning of The Baha’is”, tesis di Monash University,
Australia.
Momen, Moojan. 1997. Baha’i Faith: A Beginner’s Guide, England: One World
Oxford. Diunduh pada 9 Juli 2015 (www.BookFi.org)
145
Momen, Moojan. 2002. The Baha’I Faith: A Short Introduction, Englang, Oxford:
OneWorld Press. Diunduh pada 9 Juli 2015 (www.BookFi.org)
Passy, Florence, 2003. “Social Networks Matter. But How?” h. 21-48 di Social
Movements and Networks: Relational Approaches to Collective Action,
diedit Mario Diani dan Doug McAdam. Oxford: Oxford University Press.
Porta, Della & Diani, Mario. 2006. Social Movement: An Intriduction, second
edition, Blackwell Publishing.
146
Rachman, Maman. 1999. Strategi dan Langkah-Langkah Penelitian, Semarang:
IKIP Semarang Perss.
Rassekh, Farhad, 2001. “The Bahá’í Faith and the Market Ekonomy” (2001) di
Journal of Baha’i Studies Vol. 11, nomor 3/4, Ottawa: Association for
Bahá’í Studies North America. Diunduh pada 4 April 2015 (www.bahai-
studies.ca) dan (www.bahai-library.com)
Rosyid, Moh. 2015. “Agama Baha’i: Dalam Lintas Sejarah Di Jawa Tengah”.
Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Roumi, Siyyid Mustafa. 1885. “Baha’i Pioneers: A Short Historical Survey of The
Baha’i Movement In India, Burma, Java Islands, Siam, And Malay
Peninsula”. The Baha’i Magazine, h: 76-79.
147
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. CV. Alfabeta:
Bandung.
The Editors of Salem Press. 2011. Sociology Reference Guide: Theories of Social
Movements. California: Salem Press.
Usman H., Akbar, Setiady P. 1995. Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta: PT.
Bumi Aksara.
Vries, Jelle De. 2007. “Jamal Effendi and Sayyid Mustafa Rumi in Celebes: The
Context of Early Baha’i Missionary Activity in Indonesia” h.23-37 di
Baha’i Studies Review, Vol. 14, Ottawa: Association for Bahá’í Studies
North America. Diunduh pada 25 Agustus 2016 pukul 16:28 WIB
(http://bahai-library.com/devries_jamal_effendi_rumi)
Warburg, Margit, 2006. Citizens of the World A History and Sociology of the
Baha’is from a Globalisation Perspective, Leiden: Boston.
(www.BookFi.org)
Weber, Max. 1946. “Politics As a Vacation”, dalam From Max Weber: Essays In
Sociology, h. 77-128, diedit H.H. Gerth dan C. Wright Mills. Oxford
University Press.
148
Wiktorowicz, Quintan. 2007. Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial.
Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama.
Website
Dendy. “Ingin Diakui, Aliran Sesat Baha’i Muncul di Bandung, Umat Islam
Waspada”. Salam-online.com. 15 Maret 2013. Diakses 9 Desember 2016.
http://www.salam-online.com/2013/03/ingin-diakui-aliran-sesat-bahai-
muncul-di-bandung-umat-islam-waspada.html
Hamdani, A Ibrahim & Putra, Erik Purnama, “Ikadi: Sesuai Kriteria MUI, Baha'i
Termasuk Aliran Sesat”. Republika.co.id. 24 Juli 2014. Diakses 9
Desember 2016. http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-
nusantara/14/07/24/n98303-ikadi-sesuai-kriteria-mui-bahai-termasuk-
aliran-sesat
149
“Masuknya Agama Baha’i di Asia Selatan dan Asia Tenggara”.
Bahaiindonesia.org. diakses pada 19 April 2015.
http://bahaiindonesia.org/masyarakat-bahai/masuknya-agama-bahai-di-
asia-selatan-dan-asia-tenggara/
Sadewo, Joko. “Ini Beda Pandangan MUI dan Kemenag Soal Agama Baha’i”.
republika.co.id. 13 Agustus 2014. Diakses 9 Desember 2016.
http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/08/13/na8e6r-ini-
beda-pandangan-mui-dan-kemenag-soal-agama-bahai
150
LAMPIRAN LAMPIRAN
LAMPIRAN I
Silsilah dan Kronologi Kepemimpinan Baha’i