Anda di halaman 1dari 168

Komunitas Bahá’í Indonesia dan Mobilisasi Sumber Daya:

Studi atas Strategi Bertahan Komunitas Bahá’í di Jakarta

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

Ronald Adam
NIM. 1111111000042

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2017
T
I
I

PERI\"YATAAI[ BEBAS PLAGIARISME

Skripsi yang berjudul :

KOMUNITAS BAHA'I INDONESIA DAN MOBILISASI ST MBERDAYA: Studi

Atas Strategi Bertahan Komunitas Baha'i di Jakarta

1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan

memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri OnD Syarif Hidayatullah


Jakarta.

Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Uf$ Syarif

Hidayatullah Jakarta.

-). Jika di kemudianhari terbukti bahwa karya saya ini bukanhasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Universitas IslamNegeri (tltr{) Syarif Hidayatullah Jakarta.

20t6
7- I
I

PERSETUJUAII PEMBIMBING SKRIPSI

Dengan ini, Peryrbimbing Skripsi menlatakan bahwa mahasiswa:

Nama : RonaldAdam
NIM :1111111000042
Program Studi : Sosiologi

Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:

KOMIIhIITAS BAIIA'I INDOI{ESIA DAN MOBILISASI SUMBERDAYA: STUDI


ATAS STRATreGI BERTAIIAN KOMUNITAS BAIIA'I DI JAKARTA

dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.

Ciputat, 19 Desernber 201 6

Mengetahui, Menyetujui,
Ketua Program Studi Pembimbing,

Dr. CucuNwhayati M.Si. Ansori Ph.d.


NrP. 1 97609182W3 t22003
PENGESAHAN PAIIITIA UJIAN SKRIPSI

SKRIPSI
KOMI'trrtTAS BAIIA'I II\DONESIA DAI\ MOBILISASI ST'MBERDAYA: STI]DI
ATAS STRATEGI BERTAIIAN KOMTINITAS BAHA'I DI JAKARTA

oleh

RonaldAdam
1111111000042

telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 23 Januari 2017. Skripsi
ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada
Program Studi Sosiologi.

Ketua Sidang,

Dr. Cucil Nurhayati M.Si.


NIP. 1 97609 182W3 122003

Penguji I,

turffi
Prof. Dr. Zulkifli, MA Dr.
NrP. 196608 13 199103 1004 NIP. 1

Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusanpada tanggal 23 Januai20lT

Ketua Program Studi Sosiologi,


FISIP LIIN Jakarta

Dr. CucriNrhhayati, M. Si
NIP. I 9760 9 182003 122003
ABSTRAK

Skripsi ini menganalisis tentang strategi bertahan komunitas Baha’i di Jakarta


melalui kerangka teoritis gerakan sosial, khususnya perspektif mobilisasi sumberdaya
yang menelaah struktur mobilisasi komunitas Baha’i di Jakarta melalui teori
networking. Kemudian, menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan
strategi bertahan tersebut. Tujuan penelitian ini ialah menjelaskan proses mobilisasi
dari kelompok agama sebagai proses sosiologis. Selain itu juga menolak asumsi
teoritik yang menganggap bahwa proses gerakan sosial keagamaan merupakan gejala
psikologis ataupun teologis. Sebaliknya, skripsi ini mendukung asumsi teoritis
Resource Mobilization yang menganggap bahwa proses gerakan sosial keagamaan
merupakan proses pengorganisiran secara sosiologis.
Pendekatan penelitian ini menggunakan metode kualitatif melalui analisa serta
pemahaman mendalam (deep-understanding). Metode pengumpulan data melalui
wawancara dan studi dokumentasi. Setelah dikumpulkan, data diolah dan dianalisis
menggunakan kerangka teori. Kerangka teori menggunakan gerakan sosial sebagai
payung teoritis, kemudian menggunakan perspektif mobilisasi sumberdaya,
khususnya teori networking, untuk melihat peran dari jaringan-jaringan yang dimiliki
komunitas Baha’i di Jakarta dalam memfasilitasi proses mobilisasi gerakan.
Hasilnya, dapat dilihat bahwa (1) jaringan-jaringan sosial informal (seperti,
kekerabatan, keluarga, persahabatan, tetangga, rekan kerja, peer group dan lain-lain)
lebih digunakan dan diutamakan dalam proses mobilisasi partisipan ke dalam
kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh komunitas Baha’i di Jakarta. (2)
jaringan-jaringan informal juga berperan dalam mempertahankan komitmen
partisipan di dalam gerakan. (3) Jaringan-jaringan informal memfasilitasi dalam
perluasan jaringan-jaringan baru untuk memobilisasi partisipan lebih luas. 3 poin
tersebut merupakan serangkaian strategi bertahan komunitas Baha’i di Jakarta.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan jaringan-jaringan informal
sebagai sarana mobilisasi terbagi menjadi 2 garis besar. Pertama, pengaruh dari relasi
yang terbentuk dalam masyarakat perkotaan. Kedua, represifitas rezim sebelum
reformasi dan tertutupnya sistem sosial masyarakat terhadap komunitas Baha’i di
Jakarta pasca reformasi.
Kata Kunci: Strategi Bertahan, Komunitas Baha’i, Gerakan Sosial, Resource
Mobilization Theory, Networking.

v
KATA PENGANTAR

Penelitian skripsi ini merupakan karya awal yang membawa penulis ke depan

gerbang jagat intelektual. Menghantarkan penulis untuk menjemput hakikat

manusianya sebagai makhluk berakal budi. Dengan begitu, pengalaman ini menjadi

bagian sejarah besar dalam kehidupan penulis menuju pemaknaannya sebagai

manusia. Penulis sangat berterima kasih kepada pihak-pihak yang terlibat dalam

penyelesaian penulisan skripsi ini. Sebab, tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak,

skripsi ini tidak mungkin selesai, dan pencarian hakikat manusia selama ini

merupakan usaha yang sia-sia. Oleh karenanya, penulis ingin mengucapkan terima

kasih yang besar kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Zulkifli, MA sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatulla Jakarta, yang telah berupaya
memajukan intelektualitas mahasiswa melalui peran strukturalnya di
FISIP UIN Jakarta. Juga sebagai dosen penguji yang memberikan
masukan yang amat penting dalam rekomendasi penelitian.
2. Dr. Cucu Nurhayati, M.Si., selaku Ketua Prodi Sosiologi yang telah
membantu dan menyemangati dengan penuh perhatian kepada penulis
selama proses penulisan skripsi ini.
3. Dr. Joharotul Jamilah, M.Si, selaku Sekretaris Prodi Sosiologi yang sekaligus
sebagai penguji dalam sidang skripsi, telah memberikan masukan yang penting
dalam rekomendasi penelitian.
4. Bapak Mohammad Hasan Ansori, Ph.D, selaku dosen pembimbing skripsi
yang selalu sabar dan tidak mengenal bosan dalam memberikan
pencerahan kepada penulis selama proses penulisan skripsi ini. Terima

vi
kasih Pak Ansori atas segala kritik masukan yang konstruktif dan
membuka ruang dialektis selama proses bimbingan berlangsung di tengah
kesibukannya.
5. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Sosiologi FISIP UIN Syarif Hidayatullah
sebagai penyambung rantai pengetahuan dan transformasi keilmuan
selama proses kuliah berlangsung.
6. Untuk kedua orang tua tercinta yang berjasa besar selama hidup penulis,
yang telah memberikan cinta dan kasih sayang tanpa putus, memotivasi
penulis dan mendukung segala pilihan dan jalan hidup penulis. Semua
yang mereka berikan menjadi akumulasi semangat besar untuk penulis
dan berperan besar dalam penyelesaian skripsi.
7. Terima kasih pula untuk kakak dan kedua adik tercinta yang wajahnya
senantiasa mengingatkan penulis untuk sesegera mungkin merampungkan
skripsi.
8. Terima kasih kepada mbak Amanah Nurish Ph.D dan Bapak Nuhrison M.
Nuh yang membuka ruang dialog selama penelitian serta membantu
peneliti dalam proses dokumentasi dan literatur. Terima kasih untuk Dr.
Natalie Mobini-Kesheh yang membantu dan mengizinkan penulis
mengakses literatur-literatur Baha’i. Terima Kasih kepada Bapak Nur
Khafid yang membantu mempertemukan penulis dengan informan.
Terima Kasih kepada sahabat Aji Nugroho dan Fulki Yuga yang
membantu penulis selama proses penelitian skripsi. Terima kasih tidak
lupa kepada Dinno Brasco, Adriansyah Aswaja, Khalid Syaifullah, Nurul
Ismi Humairoh, Cendhy Vicky, dan Ahmad Faedullah yang membantu
penulis dalam proses dokumentasi literatur dan pencarian bahan. Dan
terima kasih untuk Nilufar Gordon dan teman-teman Baha’i Association
for Baha’i Studies di Kanada atas bantuan akses jurnal-jurnal seputar
Baha’i, best regards.

vii
9. Terima kasih kepada teman-teman Baha’i Khafa Mahmoud yang
membantu penulis dalam menghubunkan informan selama proses
penelitian berlangsung. Terima kasih kepada keluarga Bapak Ahura
Mazda dan Ibu Devansha Mahila yang membantu penulis selama proses
penelitian berlangsung. Rela membuka pintu untuk penulis dan menerima
penulis seperti anak sendiri. Dan seluruh informan, khususnya teman-
teman Baha’i di Indonesia, Khususnya di Jakarta yang bersedia menjadi
informan dalam penelitian yang tidak bisa diucapkan satu persatu.
10. Kepada Nasrul Ma’arif yang sudah membuka dialog bersama kelas damai,
terima kasih banyak.
11. Terima kasih untuk teman-teman Sosiologi 2011 FISIP UIN Jakarta,
Abdul Hakim Syafi’i, Ahmad Chairul Anhari, Irfan Arridha, Alvindo
Febriansyah, Ivan Sulistiana, Wahyu Ramdhani, Wibi Prastyono, Budi
Setiawan, Rizki Deniz, Muhammad Kurniawan, Ru’yatul Hilal, Ade
Muhammad Irfan, Fadhli Ibrahim, Soghi Muhammad, Ulya Syarifah,
Dewi Andira, Eka Rizkiati, Yusri Nurhabibah, Eva Anggriana, Cahya
Arini, Indah Sari, Adibah, Ayu Pertiwi, Nazimatul Alimah.
12. Terima kasih kepada Pandawa-Kurawa FISIP UIN 2011, Hendra
Sunandar, Ahmad Nurcholis, Khairi Fuadi, Muhammad Sutisna, Fikri
Mahir Lubis, Ahsan Ridhoi, Roy Imanudin, Reza R Ramadhan, Iksan
Nasution, Muhammad Sulthon, Muhammad Ikhsan, Amar Runsfikry,
Aprilian Cena, Faisal Rumadi, Fikry- Al Fajr (Pasto), Zamiral Hamdi,
Ganang, Atfal, Dody dan lain-lain.
13. Terima kasih untuk para sahabat dan Senior, Muhammad Faruki, Ahmad
Bun Yani, Faturrahman (kentung), Gunawan, Samsul Anwar, Imron
Mahrus, Rafsan Muhammad, Mabrur Alfath, Badron Tamim, Earvin
Muhammad, Fitra Aditya Irsyam, Rikal Dzikri, Villarian Burhan, Malik
Abdillah, Nashirulhaq, Amal, Ayip, Didin, Basit, Edho, Deny, Pale, Yogo,
Hanif, Ical Marbun, Mamat, cacing, Sandy, Reza, Annisa Nurul Jannah,

viii
Lisa Septiana, Bintu, Derinah, Desy, Fitria, Ocha, Farah, Andhita, Anggita
dan lain-lain
14. Serta Keluarga Besar PMII KOMFISIP, Cabang Ciputat yang tidak bisa
disebutkan satu per satu.

Demikian ucapan terima kasih penulis sebesar-besarnya yang mungkin belum

bisa membalas kebaikan hati mereka. Semoga penelitian ini bermanfaat untuk

kemaslahatan rakyat. Terakhir penulis ingin mengucapkan terima kasih untuk

pembaca yang selalu ditunggu-tunggu kritik dan masukan bermanfaatnya.

Ciputat, 20 Desember 2016

Ronald Adam

ix
DAFTAR ISI

ABSTRAK ................................................................................................................... v

KATA PENGANTAR ................................................................................................ vi


DAFTAR ISI ............................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ..................................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ xiv

BAB I PENDAHULUAN

A. Pernyataan Penelitian ....................................................................................... 1


B. Pertanyaan Penelitian ....................................................................................... 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................................ 9
D. Tinjauan Pustaka ............................................................................................ 11
E. Kerangka Teoritis .......................................................................................... 26
F. Metodologi Penelitian .................................................................................... 41
G. Sistematika Penulisan .................................................................................... 46

BAB II AGAMA BAHA’I: SEJARAH, SOSIAL-BUDAYA, DAN


KEDATANGANNYA DI INDONESIA
A. Kemunculan Baha’i dan Kondisi Sosial-Politik ............................................ 48
A.1. ‘Sang Bab’ (1819-1850) dan Gerakan Babisme .................................... 48
A.2. Baha’ullah (1817-1892) dan Agama Baha’i .......................................... 53
A.3. ‘Abbas Effendi (Abdul-Baha) (1844-1921) dan Perjanjian Tuhan ....... 55
A.4. Shoghi Effendi (Sang Wali) Dan Penyebaran Baha’i (1897-1957) ....... 57
B. Komunitas Baha’i di Dunia ........................................................................... 59
C. Struktur Administrasi Komunitas Baha’i di Dunia ....................................... 60
D. Pelopor Masuknya Baha’i Ke Indonesia Dan Jakarta ................................... 64
E. Konteks Sosial dan Kehidupan Baha’i di Jakarta ......................................... 69

x
F. Kegiatan Indi Masyarakat Baha’i .................................................................. 74
F.1. Doa Bersama .......................................................................................... 74
F.2. Rangkaian Pendidikan Baha’i ................................................................ 75

BAB III STRATEGI BERTAHAN KOMUNITAS BAHA’I DI JAKARTA DAN


FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
A. Jaringan Sosial Sebagai Strategi Bertahan dan Perkembangan Komunitas
Baha’i di Jakarta ............................................................................................ 79
1. Jaringan Informal dan Mobilisasi Komunitas Baha’i di Jakarta ............. 81
2. Jaringan Sosial dan Penguatan Komitmen ............................................ 107
3. Jaringan Lama dan Jaringan Baru ......................................................... 110
4. Jaringan Sosial Productive dan Unproductive ...................................... 116
B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terbentuknya Pola Bertahan ............. 120
1. Terbentuknya Relasi Masyarakat Perkotaan Dan Jaringan Informal .... 121
2. Kondisi Struktur Sosial-Politik ............................................................. 124

BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................................. 135
B. Saran ............................................................................................................ 140

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 142

LAMPIRAN

xi
DAFTAR TABEL

Tabel II.E.1. Hari Raya Baha’i ........................................................................ 72

Tabel II.E.2. Bulan dalam Penanggalan Kalender Bahai ................................ 73

xii
DAFTAR GAMBAR

Gambar. I.1. Kategori Jalur Keterlibatan Individu dalam Gerakan ........................... 34

Gambar. II.2. Hari Raya Baha’i (Nawruz) ................................................................ 71

Gambar. III.3. Dimensi Periodik ............................................................................... 80

Gambar. III.4. Dimensi Tematis ................................................................................ 81

Gambar. III.5. Peringatan Kelahiran ‘Sang Bab’ dan Baha’ullah ........................... 103

Gambar. III.6. Pemotongan Tumpeng ..................................................................... 104

Gambar. III.7. Kegiatan Ramah Tamah ................................................................... 105

Gambar. III.8. Jaringan Lama dan Pembentukan Jaringan Baru ............................. 112

Gambar. III. 9. Bagan Analisis Faktor Pemilihan Pola Strategi Bertahan .............. 120

xiii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I. Silsilah dan Kronologi Kepemimpinan Baha’i


Lampiran II Perjalanan Baha’i Ke Jakarta

x
BAB I

PENDAHULUAN

A. Pernyataan Penelitian

Penelitian ini menjelaskan tentang strategi bertahan komunitas Baha‟i di

Jakarta, mulai dari strategi partisipasi hingga melakukan mobilisasi untuk

bertahan dan gerakannya mampu berkembang di Jakarta sampai saat ini.

Kemudian meneksplanasi faktor-faktor apa saja yang mendasari komunitas Baha‟i

di Jakarta dalam memilih strategi bertahan tertentu.

Berdasarkan penelitian Gilles Kepel (1997) tentang kebangkitan agama-

agama, menyatakan bahwa sejak tahun 1970-an wajah dunia berubah secara

dramatis dan tidak pernah diduga sebelumnya. Gelombang modernitas yang

identik dengan kemajuan teknologi, dan teori sekularisasi yang identik dengan

pemisahan agama dengan negara, mulai diragukan. Pertama, karena bangunan

teori-teori tersebut menjanjikan kemajuan, kesejahteraan dan kedamaian,

nyatanya tidak menunjukan bukti yang signifikan. Kedua, teori-teori tersebut

justru dianggap sebagai sumber rusaknya tatanan sosial karena telah memangkas

fungsi sosial agama diruang publik dan memaksa agama untuk bergeser pada

ruang yang lebih privat. Titik puncaknya tahun 1970-an hingga sekarang bahwa

gerakan-gerakan keagamaan mulai bangkit untuk tampil di ruang publik dan

mengambil peran sosial-politik yang sebelumnya diamputasi (Kepel, 1997:10-24).

Artinya bahwa faktor agama tidak bisa dihindarkan dari analisis sosial hari ini dan

teori sekularisasi mulai diragukan.

1
Indonesia pasca reformasi juga memunculkan gelombang gerakan-gerakan

(khususnya keagamaan) yang semakin mewarnai ruang publik karena derasnya

keran demokrasi. Gerakan-gerakan keagamaan seperti Front Pembela Islam (FPI),

Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Gerakan Anti Pemurtadan & Aliran Sesat

(GAPAS), Gerakan Reformis Islam (GARIS) tumbuh dan berkembang dalam

pentas ruang publik. Tampilnya agama dalam gelanggang ruang publik di

Indonesia pasca reformasi seolah memberikan „ruh‟ kepada masyarakat dan

melegitimasi aktifitas-aktifitas gerakan keagamaan (Jones, 2015:3-29).

Di era reformasi, organisasi komunitas Baha‟i mulai muncul di ruang publik

yang pada sebelumnya dilarang oleh pemerintah orde lama dan orde baru dengan

adanya keputusan presiden Ir. Soekarno No. 264/Tahun 1962 (dalam makalah

Puslitbang Kementerian Agama: “Eksistensi Agama Baha‟i, Tao dan Sikh di

Indonesia”, 2014) yang berisikan pelarangan tujuh organisasi termasuk Baha‟i.

Pelarangan tersebut dikarenakan “tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia dan

menghambat penyelesaian revolusi, atau bertentangan dengan cita-cita sosialisme

Indonesia” (Nuhrison, 2014:2).

Tampilnya Baha‟i di ruang publik juga didukung oleh Presiden RI

Abdurrahman Wahid melalui keputusan Presiden No. 69 tahun 2000 dengan

pertimbangan (a) bahwa pembentukan Organisasi Sosial Kemasyarakatan

merupakan hak azasi setiap warga negara Indonesia, (b) bahwa larangan terhadap

organisasi-organisasi sebagaimana yang dimaksud dalam Keputusan Presiden No.

264 Tahun 1962, dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip-prinsip

2
demokrasi khususnya pasca reformasi. Akhirnya keputusan Presiden No.

264/Tahun 1962 dicabut dan tidak diberlakukan (Nuhrison, 2015:130-131).

Setara dengan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu, agama

Baha‟i merupakan salah satu agama paling baru di dunia. Meski kemunculannya

berawal dari salah satu sekte dalam Islam, Baha‟i pada gilirannya menyatakan

berdiri sendiri tanpa menginduk kepada Islam atau agama manapun. Mereka

mempunyai rumah ibadah, ajaran, kitab suci dan nabinya sendiri (Michael Keene,

2010:178).

Dalam pernyataan Lukman Hakim Saifuddin (2014) (melalui SK Menteri

Agama Republik Indonesia 24 Juli 2014 No: MA/276/2014, perihal penjelasan

mengenai keberadaan Baha‟i di Indonesia) bahwa “Agama Baha‟i ialah salah satu

dari agama-agama yang berkembang di dunia internasional dan tersebar lebih dari

20 negara”. Kemudian, dalam surat keputusan tersebut Lukman Hakim Saifuddin

menyatakan juga bahwa “Baha‟i ialah suatu agama dan bukan aliran dari suatu

agama” (Kementerian Agama RI, 2014).

Artinya, Baha‟i setara dengan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan

Khonghucu yang merupakan sebuah agama yang berdiri sendiri di atas ajarannya

masing-masing. Komunitas Baha‟i tidak menginduk pada agama manapun. Tidak

seperti komunitas Syi‟ah, komunitas Sunni, Ahmadiyah, Lembaga Dakwah Islam

Indonesia (LDII), Hizbu Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI),

komunitas tarekat (seperti Satariyah, Qodiriyah, Naqsabandiyah dll) yang

menginduk pada Ajaran Islam. Komunitas Baha‟i juga bukan „denominasi‟ atau

3
„established’ (dalam istilah Troeltsch, 1911 & Niebuhr, 1929) seperti komunitas

Gereja Lutheran Evangelis, Anglikan, Presbiterian yang menginduk pada Kristen

(Troeltsch & Niebuhr dikutip Bruinessen, 1992:16-27).

Meskipun di satu sisi Baha‟i ialah sebuah agama yang berdiri sendiri, tetapi di

sisi lain Baha‟i juga bukanlah „agama resmi‟ (dilayani dalam persoalan sipil) di

Indonesia. Hal ini bedasarkan penetapan Presiden No. 1 tahun 1965 tentang

pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan Agama Pasal 1, tertulis bahwa

“Agama-Agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen,

Katolik, Hindu, Budha dan Khonghucu (Confusius).” Hal demikian

mengindikasikan bahwa meskipun ada pengakuan setara dengan agama-agama

lain di dunia internasional, tetapi Baha‟i sedang berada dalam kondisi dilematis.

Menurut Nuhrison (2014) kondisi demikian bisa disebut dengan konsep yang

dicetuskan oleh Rajanit Guha (1999) sebagai subaltern classes yang dalam kajian

poskolonial sebagai kelompok yang hidup dan bekerja dengan „mereka‟ dalam

masyarakat yang sama namun diperlakukan sebagai „yang lain‟ (the other).

Kondisi komunitas Baha‟i tersebut menunjukan signifikansi bahwa ada perbedaan

sikap dari negara maupun perlakuan masyarakat Indonesia terhadap komunitas

Baha‟i di Indonesia (Nuhrison, 2014:6; Guha, 1999:23).

Harapan reformasi yang digadang-gadang mampu mengakomodir seluruh

masyarakat, realitasnya belum dapat terpenuhi karena sebagian besar daerah di

Indonesia belum memberikan pelayanan dalam pemenuhan hak-hak sipil mereka

seperti pencantuman Agama Baha‟i dalam KTP dan kartu keluarga (KK), Akte

4
Kelahiran, Akte perkawinan, dan Pendidikan Agama di sekolah (Nuhrison,

2014:18).

Di daerah Pati, Jawa Tengah, dalam hal pencatatan perkawinan, Dinas

Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Pati belum mau mencatat

perkawinan penganut Agama Baha‟i, dengan alasan belum jelasnya status Agama

Baha‟i sebagai Agama yang diakui oleh pemerintah. Namun akhirnya Dinas

Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Pati menyarankan agar pekawinan

mereka dapat dicatat, mereka diharuskan mendaftarkan diri pada Dinas

Pariwisata, Kebudayaan dan Olahraga sebagai aliran kepercayaan, tetapi penganut

Baha‟i menolak saran tersebut karena mereka berkeyakinan bahwa Baha‟i

merupakan agama yang setara agama lainnya yang ada di Indonesia (Nuhrison,

2014:18).

Bukan hanya diskriminasi dari negara, keberadaan agama Baha‟i juga

menstimulus resistensi dari kelompok-kelompok diluarnya. Resistensi tersebut

berangkat dari interpretasi yang sering kali menuding agama Baha‟i telah

mencampur adukan ajaran positif dari bermacam-macam agama. Seperti di

lampung timur, Desa Sidorejo tahun 2010, kelompok yang mengatasnamakan

Forum Umat Islam (FUI) Sekampungudik, meminta pemerintah untuk

memberikan sanksi tegas kepada Syahroni (umat Baha‟i) karena dianggap telah

menyebarkan ajaran agama Baha‟i kepada masyarakat. FUI menganggap bahwa

ajaran agama Baha‟i yang dibawa Syahroni telah mengganggu umat muslim

dalam menjalankan syariat Islam. FUI menuntut Syahroni dengan pasal 156

KUHP tentang penistaan agama dengan ancaman 5 tahun penjara dan denda Rp.

5
50 juta. Sebelum FUI menyeret ke pengadilan, massa yang tidak teridentifikasi

juga sempat melempari batu ke rumah anggota Baha‟i, dan dalam masa

persidangan, para Islamis memegang spanduk dengan tulisan “Baha‟i Kafir”

(Human Right Watch, 2013:83-90).

Kemudian kelompok Hizbu Tahrir Indonesia (HTI) memberikan klaim bahwa

MUI lampung telah memberikan fatwa „sesat‟ terhadap 16 aliran keyakinan, di

lampung. Salah satu dari 16 aliran tersebut ialah agama Baha‟i. Kelompok HTI

menganggap bahwa 16 aliran tersebut mencoba menghancurkan aqidah umat

Islam Indonesia (Hizbu Tahrir Indonesia, 10 Pebruari 2011).

Dari tekanan eksternal komunitas Baha‟i tersebut tidak lantas membuat

penganut agama Baha‟i keluar dari komunitasnya. Hal demikian justru menjadi

sebuah tantangan untuk Baha‟i sebagai sebuah komunitas untuk bertahan dan

berkembang. Eksistensinya dalam lingkup sosial terlihat dalam berbagai acara

hari raya agama Baha‟i (yang disebut dengan Nawruz), kemudian hari ulang tahun

„sang Bab‟, dan ritual-ritual keagamaannya lainnya. Sebagaimana yang

disampaikan Badan Pusat Statistik Agama PBB, menempatkan agama Baha‟i

sebagai kepercayaan dengan persebaran paling cepat di luar tradisi Samawi.

Populasinya meningkat sekitar 0,1 persen pertahun (Merdeka, 7 April 2015).

Komunitas Baha‟i hari ini juga tersebar di 190 negara dan 45 wilayah otonom,

dengan kata lain bahwa komunitas Baha‟i ada di 126.904 kota/desa di seluruh

dunia termasuk Indonesia. Kitab sucinya juga telah diterjemahkan ke dalam 802

bahasa di dunia (Nurish, 2015:147). Kondisi ini kontradiktif mengingat komunitas

6
Baha‟i diinterpretasikan negatif oleh komunitas agama lainnya, tetapi justru

mampu bertahan dan bahkan berkembang pesat ke seluruh penjuru dunia.

Uniknya lagi dalam eksistensi dan penyebarannya, komunitas Baha‟i mampu

bertahan dan berkembang tanpa pemimpin individual keagamaan (seperti ulama

atau Kyai dalam Islam, Pastur dalam Kristen dan sebagainya). Bahá‟u‟lláh

(sebagai Rasul dalam kepercayaan Baha‟i) menegaskan bahwa pemimpin dan

pemuka agama ialah model jaman dahulu ketika mayoritas masyarakat dunia

masih buta huruf dan membutuhkan bimbingan. Sekarang, manusia telah

memiliki kemampuan untuk membawa pendidikan dan literasi untuk semuanya.

Oleh sebab itu, sangatlah mungkin untuk semua membaca „Kitab Suci‟ mereka

sendiri dan hadir pada pemahaman mereka untuk mereka sendiri. Pada gilirannya

Bahá‟u‟lláh mengakhiri dan menghapus konsep „ke-ulamaan‟ dan „kepemimpinan

individual agama‟ (Momen, 1997:76).

Komunitas Baha‟i juga tidak mempatronkan komunitasnya pada partai politik

tertentu, dan hukum-hukum agama tidak memperbolehkan umat Baha‟i terlibat

dalam politik partisan. Tetapi hal tersebut bukan berarti tidak berpartisipasi dalam

pemilu. Mereka tetap berpartisipasi dalam pemilu dan bahkan harus mematuhi

perintah negara di manapun mereka berada. Hal tersebut termaktub jelas dalam

kitab suci agama Baha‟i (Fathea‟zam, 2009:185-186).

Dalam kondisi yang saling bertentangan dan unik tersebut, Baha‟i ditantang

dalam menciptakan formulasi untuk merajut rantai jaringan-jaringan sosial,

sebagaimana tantangan sebuah komunitas gerakan untuk dapat bertahan dan

berkembang. Sedangkan jaringan ialah struktur sosial yang akan selalu mengikuti

7
dengan konfigurasi kehidupan sosial-demografis daerah tertentu. Semakin

kompleks struktur sosial dan kondisi demografisnya, maka akan semakin rumit

bagi kelompok gerakan untuk membangun sebuah struktur jaringan agar

mendapat dukungan (Davis et al, 2005:61).

Kondisi inilah yang dihadapi dalam komunitas Baha‟i di daerah ibu kota

Indonesia yang sekaligus pusat pemerintahan, sentral perdagangan dan bisnis

dengan jumlah penduduk 10.177.900 jiwa (Badan Pusat Statistik, 2015).

Perkotaan juga mempunyai sturktur yang luas dan kompleks (Flanangan,

2010:13). Kondisi dengan heterogenitas yang tinggi di daerah perkotaan seperti

Jakarta yang mencangkup etnis, pendidikan, pekerjaan, transaksi, migrasi dan

mobilitas dari berbagai status sosial lainnya menjadi variabel-variabel yang

berpengaruh dalam struktur jaringan komunitas.

Menurut Roderisck McKenzie seorang pemikir mazhab Chicago klasik

berpendapat bahwa dasar dari perjuangan untuk eksistensi ialah posisi atau lokasi.

Hal ini berlaku bagi individu maupun kelompok harus mampu bersaing di

perkotaan untuk memperebutkan ruang publik agar dapat memepertahankan

eksistensinya (McKenzie dikutip Somantri, 2002:5.12). Hal demikian yang

menjadi tantangan nyata komunitas Baha‟i dari persaingan di daerah perkotaan

dalam membentuk sebuah struktur jaringan untuk bertahan dan berkembang,

karena melihat DKI Jakarta sebagai ibu kota Indonesia sekaligus konfigurasi

perkotaannya. Karakter komunitas Baha‟i juga tidak hidup berkelompok menetap

dalam suatu daerah tertentu, tetapi mereka lebih memilih hidup dengan cara

menyebar dan bertetangga dengan komunitas agama lain (Nurish, 2015:154).

8
Bedasarkan kondisi dan alasan inilah skripsi ini menjadikan Jakarta seebagai studi

kasusnya.

Inilah yang menjadi menarik dalam penelitian skripsi dengan judul

“Komunitas Baha’i Indonesia dan Mobilisasi Sumber Daya: Studi atas

Strategi Bertahan Komunitas Baha’i di Jakarta”. Dengan demikian, skripsi ini

bermaksud untuk melihat cara atau strategi bertahan komunitas Baha‟i dan

gerakannya berkembang di Jakarta sampai saat ini, dan faktor-faktor apa saja yang

melatar-belakangi Baha‟i di Jakarta sebagai komunitas dalam memilih strategi

bertahan tertertu. Permasalahan penelitian ini secara ringkas diformulasikan ke

dalam beberapa pertanyaan penelitian.

B. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana strategi bertahan komunitas Agama Baha‟i di Jakarta?

2. Faktor-faktor apakah yang mendorong komunitas Baha‟i di Jakarta

memilih untuk menggunakan strategi bertahan tertentu?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

C.1. Tujuan

a. Penelitian ini ingin menjelaskan struktur jaringan komunitas Baha‟i

sebagai sarana untuk memobilisasi para partisipan dalam aktivitas-

aktivitasnya. Kemudian mengeksplanasi proses dan peran struktur

jaringan tersebut dalam membantu komunitas Baha‟i di Jakarta

berkembang dengan menggunakan pendekatan Resouce Mobilization

9
Theory (khususnya Teori Networking) sebagai sebuah upaya untuk

bertahan dari komunitas Baha‟i di Jakarta.

b. Menjelaskan faktor-faktor yang mendorong komunitas Baha‟i di Jakarta

dalam memilih strategi tertentu, kemudian menganalisis proses dan

peran faktor-faktor tersebut dalam pengambilan keputusan-keputusan

strategis.

C.2. Manfaat

C.2.1. Manfaat teoritis

1. Mendalami dan mengembangkan pendekatan Resouce Mobilization

Theory khususnya teori networking dalam menjelaskan strategi bertahan

yang digunakan dalam penelitian ini.

2. Mengeksplorasi teori tersebut untuk membaca fenomena strategi

bertahan komunitas Baha‟I di Jakarta.

3. Dan juga membawa pendekatan Resouce Mobilization Theory khususnya

teori networking untuk keluar dari „rumahnya‟ yaitu gerakan sosial dan

dapat menjelaskan fenomena di luar konteks tersebut yaitu strategi

bertahan komunitas Baha‟i.

4. Memperluas cangkupan pendekatan Resouce Mobilization Theory

khususnya teori networking merupakan teori yang mapan dan mampu

untuk menjelaskan fenomena di luar gerakan sosial.

5. Terakhir, memberikan sudut pandang dan literature baru dalam kajian

maupun penelitian Baha‟i yang sudah ada.

10
C.2.2. Manfaat praktis

1. Sebagai rekomendasi ilmiah untuk setiap kelompok maupun komunitas

dalam bertahan dan mengembangkan ide-ide dan tujuannya.

2. Teori dan pendekatan dalam penelitian ini bisa dijadikan rujukan untuk

seluruh komunitas dalam kehidupan sosial sehari-hari.

3. Sebagai rekomendasi untuk komunitas Baha‟i dalam memahami

perkembangan komunitasnya.

4. Menstimulasi komunitas-komunitas agama untuk bisa berkembang

dalam ruang publik sebagai ruh dari tatanan masyarakat.

5. Penelitian ini memberikan semangat pada pentingnya peran agama-

agama dalam ruang publik di Indonesia, khususnya DKI Jakarta.

D. Tinjauan Pustaka

Disertasi Arthur Hampson, dengan judul: The Growth and Spread of The

Baha’i Faith (1980) University of Hawaii. Studi Hampson mencoba

mendeskripsikan proses pertumbuhan dan penyebaran Agama Baha‟i bedasarkan

karakter Agamanya melalui proses difusi. Karena proses ini yang diklaim oleh

Hampson terjadi dalam awal-awal pertumbuhan Baha‟i khususnya di Iran dan

Amerika Utara dari tahun 1853 sampai 1953. Hampson juga menggantungkan

penelitiannya pada literatur-literatur terkait Baha‟i. Mulai dari kitab suci, tulisan-

tulisan pemimpin Agama, dokumen-dokumen Baha‟i dan sebagainya. Setidaknya,

Hampson membagi 2 babak pertumbuhan dan penyebaran. Pertama, awal

kemunculan Agama Baha‟i. Pada awal kemunculan ini, pertumbuhan Agama

Baha‟i secara umum lebih difasilitasi oleh kepemimpinan kharismatik pemuka

11
Agama. Proses ini yang seringkali digunakan oleh agama-agama diawal

kemunculannya.

Kedua, pada tahun 1919, perluasan, pertumbuhan dan proses penyebaran lebih

difasilitasi oleh perencanaan-perencanaan dan kebijakan-kebijakan oleh organisasi

kelembagaan Baha‟i. Pada 1920-an sampai seterusnya, peningkatan umat Baha‟i

semakin melonjak. Kebijakan-kebijakan tersebut dibentuk oleh sistem

administratif Baha‟i. Bisa dikatakan juga bahwa studi Hampson sebenarnya

merupakan studi komparatif, karena Hampson dalam analisis bagian akhirnya

membandingkan dengan penyebaran-penyebaran yang dilakukan agama lain atau

penyebaran ideologi-ideologi besar.

Will C. van den Hoonaard, dengan judul: The Baha’i Community of Canada:

A Case Study in the Transplantation of Non-Western Religious Movements to

Western Societies (1988) dalam Journal of Baha‟i Studies Vol. 7, Nomor 3

(1995). Artikel penelitian ini juga pernah diterbitkan dengan judul: Origins of the

Baha’i Community of Canada, 1898-1948 (1996) dalam Wilfrid Laurier

University Press, 1996. Dan juga dalam Journal Faculty of Religious Studies

(McGill University, issue 24: 97-118) dengan judul: Inside The Originss of the

Baha’i Community of Canada 1898-1948: A Personal narrative (1996-12).

Studi Hoonaard berkonsentrasi pada transplantasi agama non-barat menuju

„barat‟, yang mengambil sebuah studi kasus asal-usul dan awal kehidupan

komunitas Baha‟i di Kanada. Studi ini memperlihatkan asal-usul sejarah dari

kepercayaan Baha‟i sebagai tradisi keagamaan dan kemudian memberikan sejarah

12
singkat dari masyarakat Baha‟i di Kanada. Namun karena analisa Hoonaard lebih

ke arah sosiologis daripada sejarah, maka substansi studi ini adalah pemeriksaan

berbagai faktor yang mempengaruhi kemampuan iman Baha‟i untuk

ditransplantasikan ke dalam masyarakat Kanada. Hoonard mengambil unit analisa

sosiologi agama dengan menggunakan metode dan pendekatan transplantasi untuk

melihat proses adaptasi sosial dan perkembangan dari agama yang melakukan

transplantasi.

Hoonaard mencoba meninjau ulang dari studi agama-agama konvensional atau

kultus, yang di impor dari masyarakat lain. Seperti yang telah dilakukan peneliti-

peneliti sebelumnya telah menunjukan kelompok agama bisa menjadi kultus

dalam satu masyarakat tertentu, sedangkan bisa menjadi iman yang umum di

masyarakat tertentu. Misal, Hindu bisa menjadi kultus di Amerika Serikat atau

Kristen menjadi kultus di India.

Dilema masyarakat Baha‟i terdiri dari sulitnya mengembangkan subkultur

Baha‟i dengan batas-batas permeabel dan relatif „lunak‟ dalam masyarakat yang

lebih luas. Sehingga pertumbuhan yang lambat mungkin ialah konsekuensi logis

yang sejalan dengan kesulitan tersebut.

Dalam beberapa kasus yang dianggap sebagai sumber potensi kesulitan ialah;

ukuran yang relatif kecil dari masyarakat membuatnya hampir mustahil untuk

tidak memilih anggota baru. Kemudian, wewenang yang diberikan secara

permanen dari pendiri mereka, Bahaullah sebagai seorang nabi, menghalangi

pertimbangan dari Baha‟i yang mengklaim memiliki wahyu baru. Bahkan Shoghi

13
Efffendi (salah satu pemimpin) tidak bisa membuat pernyataan seperti itu. Dan

juga banyak referensi dari Baha‟i yang mengatakan bahwa seseorang tidak dapat

memisahkan struktur organisasi Baha‟i dari iman Baha‟i itu sendiri.

Pada akhirnya, sejauh mana masyarakat mayoritas siap untuk menerima atau

menolak gerakan Baha‟i? Hoonaard dalam menanggapi pertanyaan tersebut

berargumentasi bahwa selama 1898-1948, komunitas Baha‟i di Kanada ada dalam

keadaan dengan ketegangan tinggi dengan masyarakat yang lebih luas. Namun

variable seperti ukuran gerakan dan pengaruh peristiwa seperti perang, politik,

dan kondisi sosial, dapat membentuk reaksi gerakan yang di luar kendali

komunitas Baha‟i. Sebagaimana perang dunia ke II telah menciptakan lingkungan

yang tidak bersahabat di Kanada terhadap ide-ide baru dan orang-orang asing.

Keberadaan lingkungan yang tidak bersahabat seperti berhadapan dengan rencana

Baha‟i untuk memperluas agama mereka ke pusat-pusat utama di seluruh Kanada.

Bagi komunitas Baha‟i, itu merupakan sebuah peluang untuk ekspansi, dan itu

pun seringkali sulit untuk menjaga masyarakat Baha‟i.

Namun demikian, pertanyaan di atas membuka lambatnya perkembangan

budaya Baha‟i dan para elit lambat mengembangkan keanggotaan dan mungkin

hal tersebut telah menciptakan krisis kepercayaan yang menanti gerakan-gerakan

keagamaan baru sebagai anggota generasi lainnya. Namun akhirnya, selama tahun

1930-1940-an, ketika komunitas Baha‟i mengambil bentuk yang lebih konkrit

dengan blueprint, kehidupan Baha‟i mulai muncul. Hoonaard kemudian

menemukan perubahan dalam subkultur yang sebelumnya rapuh. Kemudian, yang

14
awalnya berorientasi terhadap individualisme, subkultur ini tidak menekankan

pengetahuan sesama Baha‟i. Baha‟i tahu sedikit tentang satu sama lain.

Sebelum 1927, ada perbedaan antara Baha‟i lama dan baru. Perbedaan itu

terlihat ketika Baha‟i sedang berubah menjadi komunitas yang terorganisir, bukan

hanya kolektif individu yang kemungkinan besar akan membuang ajaran Baha‟i

karena ada proses kristenisasi. Baha‟i yang baru cenderung lebih duniawi dan

mempunyai semangat administratif. Namun dalam penelitian Hoonard, tidak

menjelaskan bagaimana jaringan-jaringan yang melekat pada individu maupun

aktor dari komunitas Baha‟i dimobilisir untuk mendapatkan dukungan.

Paul Hanley, dengan judul: Agriculture: A Fundamental Principle (1990)

dalam Journal of Baha‟i Studies Vol. 3, Nomor 1, Ottawa: Association for Baha‟i

Studies North America, 1990. Penelitian Hanley mencoba melihat tulisan-tullisan

yang ditulis oleh Bahaullah yang mempunyai prinsip-prinsip dasar untuk

kemajuan umat Baha‟i dan manusia dan untuk merekonstruksi dunia. Dengan

alasan ini, dalam tulisan Bahaullah menurut Hanley, telah memerintahkan para

pengikutnya untuk memberikan perhatian khusus untuk pembangunan pertanian.

Tetapi untuk substansinya, tetap konsisten pada prinsip-prinsip persatuan,

keadilan, kesetaraan dan kedamaian.

Tulisan-tulisan Baha‟i setidaknya telah menanamkan visi dan nilai yang sesuai

untuk pertanian yang hasil daripadanya berkaitan erat dengan ekologi dan

ekonomi. Dan juga ada implikasi lain yang ditemukan Hanley, yaitu relasi yang

juga sama eratnya dari pertanian dengan hubungan manusia dengan alam, peran

15
perempuan, peran ilmu pengetahuan dan teknologi, dan hubungan antara

globalisasi dan pembangunan dengan masyarakat setempat. Penelitian Hanley,

sayangnya hanya mengkaji teks-teks yang ditulis oleh Bahaullah dan sejauh mana

teks-teks tersebut bekerja dalam konteks sosial ruang dan waktu.

Tesis Natalie Mobini-Kesheh dengan judul: ‘Guided Religion’: Religious

Policy In Old Oreder Indonesia and The Banning of The Baha’is, (1991) Monash

University, Australia. Tesis ini membahas tentang komunitas Baha‟i di Indoneisa

era Orde Lama. Mulai dari sejarah masuknya Baha‟i di era pemerintahan Hindia-

Belanda, aktivitas komunitas Baha‟i dari 1949 (awal kemerdekaan) sampai 1962

(munculnya pelarangan oleh presiden Ir. Soekarno tahun 1962), kemudian era

Orde Baru era kepemimpinan Soeharto.

Tesis ini merupakan kajian sejarah yang panjang mengingat Baha‟i banyak

mendapatkan diskriminasi dari awal kedatangannya (khususnya tahun 1949-1962)

hingga saat ini. Tesis ini mendeskripsikan sekaligus memberikan analisa historis

yang luar biasa, bagaimana proses kedatangan Baha‟i era kolonial Belanda di

Indonesia dan awal kemerdekaan. Tetapi temuan justru menjadi menarik

khususnya lontaran kritik atas kepemimpinan otoriter Ir. Soekarno dan

keputusannya tidak sesuai dengan nilai Undang-Undang Dasar yang menjamin

seluruh hak kebebasan beragama warga negara Indonesia maupun hak-hak sipil

yang lain (anti-demokrasi). Pada akhirnya penelitian ini beranggapan bahwa

pelarangan komunitas Baha‟i ialah kulminasi dari ruling regime’s yang mencoba

untuk mendefinisikan ulang agama-agama yang hanya bisa diterima di republik

Indonesia.

16
H. Nuhrison M. Nuh dengan judul: Kelompok Penganut Agama Baha’i Di

Kecamatan Margoyoso Kabupaten Pati, (1994) dalam buku Direktorat Aliran,

Faham dan Gerakan Keagamaan di Indonesia, Departemen Agama RI, Badan

Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2009, 16-21. Penelitian

Nuhrison menjelaskan secara deskriptif sejarah dan perkembangan kelompok

aliran Agama Baha‟i, lengkap dengan ciri khas masing-masing kelompok meliputi

organisasinya, tokoh-tokohnya, ajaran pokok, kegiatan, pengikut, tanggapan

masyarakat serta kebijakan pemerintah. Lokasi studi ini di Desa Cabolek,

Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah, dengan

metodologi kualitatif.

Hasil penelitian ini menjelaskan eksistensi dan sejarah masuknya Baha‟i ke

Indonesia. Baha‟i dikategorikan sebagai gerakan Mahdiisme, di mana gerakan ini

muncul kepermukaan manakala masyarakat mengalami berbagai macam

persoalan sosial dan rusaknya sistem nilai. Agama Baha‟i lahir di kalangan

masyarakat yang sedang mengalami perpecahan dan perselisihan.

Di Cabolek, Baha‟i muncul di tengah pergolakan konflik partai-partai Islam,

oleh karena itu agama Baha‟i menyerukan kepada umat manusia agar berusaha

sekuat tenaga untuk menciptakan dunia yang damai, aman dan bersatu. Ajaran

agama Baha‟i meliputi keyakinan, peribadatan dan kemasyarakatan. Nuhrison

dalam penelitiannya tidak melihat struktur jaringan dari individu komunitas

Baha‟i dimobilisir untuk mempertahankan dan mengembangkan komunitasnya.

17
Seenal Fazel dengan judul: Is the Baha’i Faith a World Religion? (1994)

dalam Journal of Baha‟i Studies Vol. 6, nomor 1, h: 1-16, Ottawa: Association for

Baha‟i Studies North America, 1994. Penelitian Fazel mencoba memaparkan

beberapa isu terkait analisis sosiologis status kepercayaan Baha‟i dan berusaha

untuk menyajikan kriteria komunitas Baha‟i kedalam label “Agama Dunia” dan

“Gerakan Keagamaan Baru”, serta mengeksplorasi sejauh mana agama Baha‟i

memenuhi kriteria tersebut. Fazel juga mencoba untuk menunjukan bahwa Iman

Baha‟i bisa dikategorikan sebagai “Agama Dunia”.

Bedasarkan data-data yang dikumpulkan, Fazel dengan segenap penelitiannya

mencoba mengkategorikan Baha‟i sebagai „Agama Dunia‟ sesuai dengan

konfigurasi yang dibuat oleh para pemikir-pemikir sosiologi agama sebelumnya.

Dalam studi new religious movement, pengkategorian tersebut memang bukanlah

perkara yang mudah. Namun di sinilah aspek penelitian Fazel dengan melihat

posisi Baha‟i Sebagai sebuah „Agama Dunia‟. Fazzel hanya menunjukan

diskursus Baha‟i sebagai label „agama dunia‟. Fazzel tidak memfokuskan pada

konteks sosiologis komunitas Baha‟i dalam mempertahankan dan

mengembangkan komunitasnya.

Farhad Rassekh, dengan judul: The Baha’i Faith and the Market Ekonomy

(2001) dalam Journal of Baha‟i Studies Vol. 11, nomor 3/4, Ottawa: Association

for Baha‟i Studies North America, 2001. Rassekh memulai penelitiannya dengan

menganalisa human nature dan hubungannya dengan moralitas. Dari hubungan

kedua variable tersebut, Rassekh mencoba menarik benang merah yang

berimplikasi pada prediksi ekonomi pasar. Kemudian, Rassekh mencoba

18
menganalisa variable Baha’i faith kedalam penelitiannya. Rassekh dengan jeli

mengikuti apa yang dilakukan Adam Smith.

Pada akhir penelitiannya, Rassekh menarik kesimpulan bahwa, tatanan

masyarakat masa depan dibangun bedasarkan basis ajaran kepercayaan Baha‟i

harus mempunyai sistem ekonomi. Namun menurut Shoghi Effendi sebagai

pengikut sekaligus pemimpin Baha‟i, “Bahaullah tidak membawa sistem ekonomi

yang lengkap kepada dunia”. Sebaliknya, “dia telah member kita prinsip-prinsip

dasar yang bisa membimbing ekonomi Baha‟i di masa depan dalam membangun

lembaga-lembaga yang bisa menyesuaikan hubungan ekonomi dunia. Prinsip-

prinsip tersebut meliputi unsur-unsur pasar serta sistem konfigurasinya. Karena

menurut Shoghi Effendi, sesungguhnya pemeliharaan masa depan ialah dengan

menyeimbangkan antara individualisme dan kolektivisme, bukan hanya ekonomi

lapangan tapi semua yang ada dalam aspek sosial.

Sebuah literatur Baha‟i yang ditemukan dalam penelitian Rassekh

menunjukan bahwa beberapa aspek dari sistem pasar (yaitu individualisme)

tergambar secara eksplisit dalam ajaran Baha‟i. Shoghi Effendi mengatakan “tidak

ada dalam ajaran yang melawan beberapa jenis kapitalisme”. Kemudian Abdul-

Baha dengan tegas menyetujui kegiatan komersial dan mendorong perluasan

perdagangan dan pengembangan industri sebagaimana hal tersebut ialah bagian

dari meneruskan peradaban ilahi.

Dari literature Baha‟i tersebut, Rassekh menganalisis peran kepentingan

individual dan moralitas dalam operasi sistem pasar, sebagaimana ekonom

19
terkemuka Adam Smith yang membangun kontribusi mendasar di bidang

ekonomi.

Kesimpulannya, literatur-literatur tulisan Baha‟i yang ditemukan telah

memperlihatkan dukungan terhadap ekonomi pasar. Pada sisi lain, banyak

kalangan seperti Jerry Muller yang melihat bahwa Kristen dan tradisi republik

telah curiga dengan sistem ekonomi perdagangan karena berimplikasi pada

kemewahan dan kekayaan individual, menimbuklan penipuan dan ketamakan.

Rassekh dalam penelitiannya sama sekali tidak menyinggung soal sumberdaya

dari komunitas Baha‟i yang dimobilisir untuk mempertahankan dan

mengembangkan komunitasnya.

Hoda Mahmoudi dengan judul: The Permanence of Change: Contemporary

Sociological and Baha’i Perspective (2008) dalam Journal of Baha‟i Studies, Vol.

18, nomor 1/4, h:41-76, Ottawa: Association for Baha‟i Studies North America,

2008. Penelitian ini mencoba membahas perubahan sosial dan modernitas melalui

dua perspektif; Baha’i faith dan sosiologi. Bedasarkan pada peran agama dalam

mempengaruhi perubahan sosial, hal tersebut berlangsung dalam tiga bagian.

Pertama, mengkaji perubahan sosio-historis dari zaman aksial dan kekuatan yang

dibawa oleh Renaissance maupun Reformasi. Kedua, ulasan beberapa pandangan

teori sosiologis modernitas, menjawab tantangan kontemporer. Ketiga, akhirnya,

menguraikan aspek-aspek mendasar dari modernitas seperti yang telah

diidentifikasi dalam tulisan-tulisan Baha‟i dan menganggap perspektif modernitas

Baha‟i sebagai kebangkitan universal kesadaran sejarah, dimana peradaban

20
ilahian adalah dorongan penting untuk memajukan dan mengubah peradaban

material.

Studi Mahmoudi mencoba mengambil aspek dari teks-teks Baha‟i yang

berimplikasi pada prilaku-prilaku sosial. Banyak temuan-temuan yang didapati

Mahmoudi dalam penelitian ini, khususnya peran dan konstribusi Baha‟i dalam

perubahan-perubahan sosial. Tetapi Mahmoudi tidak melihat bagaimana struktur

jaringan dari komunitas Baha‟i difungsikan dalam proses bertahan komunitas

Baha‟i.

Tesis Amanah Nurish dengan judul: Baha’i A Narrative of Minority Religion

In Indonesia: A Case Study In Banyuwangi, East Java (2010) The Center for

Religious And Cross-Cultural Studies (CRCS), Universitas Gajah Mada. Metode

Penelitian terhadap komunitas Baha‟i di Banyuwangi Jawa Timur, Indonesia ini

merupakan penelitian kualitatif, dengan menggunakan studi etnografi. Penelitian

ini berfokus pada stategi bertahan komunitas Baha‟i di Banyuwangi dari beberapa

hambatan eksternal yaitu pelayanan pemerintah terhadap hak sipil umat Baha‟i

yang belum maksimal dan juga tekanan dari kelompok mayoritas (Islam) ataupun

kelompok yang kontra dengan Baha‟i di Banyuwangi. Dari tekanan-tekanan

tersebut, penelitian ini mencoba melihat bagaimana komunitas Baha‟i di

Banyuwangi dapat bertahan.

Temuan penelitian ini pertama melihat bahwa ada bentuk perlawanan pasif

(diam dan tanpa demonstrasi) dari komunitas Baha‟i di Banyuwangi sebagai

sebuah cara untuk kelompok tersebut bertahan. Mereka lebih memilih untuk diam

21
sebagai bentuk perlawanan dan juga untuk menghindari konflik fisik dan hal-hal

yang merugikan komunitas Baha‟i.

Kedua, komunitas Baha‟i di Banyuwangi bisa bertahan karena adanya

fenomena konversi dari agama non-Baha‟i menjadi Baha‟i. Perpindahan tersebut

dilihat oleh Nurish sebagai fenomena psikologis yang disebabkan kenyamanan

dari ajaran-ajaran Bahaullah. Ajaran-ajarannya juga dianggap sangat aplikatif

dalam dunia sosial, ekonomi dan budaya sehingga seseorang memilih berpindah

menjadi pengikut Baha‟i.

Matthew Weinberg dengan judul: Identity, Discourse, and Policy:

Reconstructing the Public Sphere (2011) dalam Journal of Baha‟i Studies, Vol.

21, nomor 1/4 , h:73-98, Ottawa: Association for Baha‟i Studies North America,

2011. Studi yang dilakukan Weinberg ialah pertukaran bahwa individu dan

masyarakat dapat mengidentifikasi identitas dan tujuan jangka panjang mereka.

Dalam pengertian ini, kehidupan manusia memiliki karakter fundamental dialogis.

Model-model baru dari transformasi sosial hanya akan muncul dari perubahan

kesadaran siapa kita, bagaimana kita menganggap orang lain yang masuk, tidak

peduli seberapa dekat atau jauh dan bagaimana tindakan kita secara kolektif

merancang struktur dan proses kehidupan sosial, baik lokal maupun global. Hal

demikian memberikan pertimbangan penuh terhadap beberapa dimensi dari

pengalaman manusia dalam wacana publik yang dapat menimbulkan makna sosial

baru dan memperluas dialog kebijakan yang sebelumnya sempit.

22
Studi Weinberg menjelaskan kontribusi besar komunitas Baha‟i di arena

kebijakan yang menunjukan bagaimana sistem pengetahuan (ilmu) dan agama

bersama-sama dapat meningkatkan kapasitas individu dan masyarakat. Karena

akumulasi kapasitas yang diperlukan untuk membangun struktur sosial, budaya,

ekonomi, teknis, dan moral masyarakat tergantung pada sumberdaya dari kedua

pikiran dan jiwa.

Premis bahwa Baha‟i adalah suatu sistem pengetahuan tentu menjadi

menantang, tetapi diskursus publik tentang agama, jauh dan kabur dari gagasan

spiritualitas, konsepsi keselamatan atau doktrin dogmatis dan bukannya membawa

fokus pada kekuatan jiwa manusia. Bayangkan, agama dengan cara ini dapat

berfungsi memvalidasi perspektif dan aspirasi spiritual dalam membentuk

keteraturan sosial. Karena merekonstruksi ruang publik bukanlah tugas yang

mudah. Weinberg dalam penelitiannya hanya sebatas melihat peran komunitas

Baha‟i dalam pembangunan diskursus dan identitas untuk mempengaruhi kembali

kehidupan sosial komunitas Baha‟i.

Penelitian Moh. Rosyid dengan judul: Agama Baha’i: Dalam Lintasan

Sejarah Di Jawa Tengah (2015) diterbitkan oleh Pustaka Pelajar. Penelitian dalam

buku yang ditulis Rosyid, memotret sejarah agama dari eksisnya masyarakat

Baha‟i di Desa Cebolek Kidul, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati, Jawa

Tengah. Dengan menggunakan analisis sejarah ia memberikan potret kehidupan

masyarakat Baha‟i di Jawa Tengah, khususnya praktik-praktik diskriminasi yang

dilakukan negara maupun dari mayoritas.

23
Penelitian ini menemukan bahwa meski ada tekanan dari negara maupun

masyarakat mayoritas, masyarakat Baha‟i bisa teguh karena adanya pandangan

hidup dalam beragama yang kokoh. Kemudian, penelitian ini menggambarkan

bagaimana kebijakan yang dibuat pemerintah berimplikasi luas terhadap

kehidupan masyarakat Baha‟i di Jawa Tengah. Namun adanya proses sosial yang

panjang, keadaan turut berubah, masyarakat Baha‟i mulai bersosial dengan

masyarakat yang lebih luas.

Penelitian Kustini dan Syaiful Arif dengan Judul: Eksistensi Agama Baha‟i di

Palopo, Sulawesi Selatan (2015) dalam “Baha‟i, Sikh, Tao: Penguatan Identitas

dan Perjuangan Hak-Hak Sipil”. hal. 53-80, Puslitbang Kehidupan Keagamaan:

Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI, 2015. Penelitian ini mencoba

melihat eksistensi agama Baha‟i di Palopo, Sulawesi Selatan. Eksistensi dilihat

dari berbagai kegiatan-kegiatan dan pertumbuhan masyarakat Baha‟i di Palopo.

Secara umum, kajian literatur ini menunjukan bahwa penelitian yang

dilakukan oleh Hanley (1990), Rassekh (2001), dan Mahmoudi (2008) mencoba

mengeksternalisasi ajaran dan tulisan-tulisan Baha‟i ke dalam prilaku sosial

maupun perubahan sosial masyarakat. Selain itu juga dengan penelitian Nuhrison

(1994), Rosyid (2015), Kustini dan Arif (2015) yang mencoba melihat eksistensi

atau keberadaan komunitas Baha‟i di Indonesia, khususnya Pati dan Palopo.

Sedangkan skripsi ini mencoba mengeksplorasi lebih jauh dan spesifik seperti apa

strategi bertahan komunitas Baha‟i di Jakarta dan membaca struktur-struktur

jaringannya sebagai proses pencapaian tujuan-tujuan komunitas Baha‟i Jakarta.

24
Kemudian penelitian Weinberg (2011) dan Fazel (1994) melihat pembangunan

diskursus maupun identitas yang dilakukan oleh komunitas Baha‟i.

Selanjutnya penelitian Natalie (1991) merupakan kajian dan analisa historis

terhadap komunitas Baha‟i di Indonesia. Penelitian ini juga merupakan

pengamatan terhadap sejarah sosial politik di Indonesia yang berdampak kepada

aktivitas komunitas Baha‟i di Indonesia.

Sedangkan skripsi ini hampir serupa dengan penelitian yang dilakukan

Hampson (1980) yang menjelaskan pertumbuhan dan penyebaran Agama Baha‟i

di Iran dan Amerika Utara menggunakan proses difusi (diffusion). Kemudian

dengan Hoonaard (1995) atas komunitas Baha‟i di Kanada menggunakan proses

transplantasi (transplantation), dan penelitian Nurish (2010) di Banyuwangi yang

melihat dari proses konversi (conversion) psikologis. Hampson (1980) dan

Hoonaard (1995) telah banyak membahas peran dari institusi Baha‟i dalam proses

rekrutmen sebagai salah satu cara penyebaran dan bertahannya komunitas Baha‟i.

Namun, penekanan penelitian Hoonaard dalam hal rekrutmen lebih institusionalis.

Hoonard juga menggunakan metode dan pendekatan transplant untuk melihat

proses adaptasi sosial dan perkembangan dari agama yang melakukan

transplantasi sebagai sebuah ciri dari kemunculan agama baru di Kanada.

Terakhir, penelitian Nurish (2010) menitik-beratkan pada faktor psiko-

antropologis seseorang dalam proses konversi agama menjadi pengikut dan

partisipan Baha‟i. Kajian literatur ini menunjukan bahwa banyak penelitian yang

telah dilakukan terkait komunitas Baha‟i melalui berbagai aspek. Namun

25
demikian, hanya sedikit usaha yang dilakukan untuk melihat strategi komunitas

Baha‟i dalam bertahan dari perspektif sosiologi gerakan sosial yang menggunakan

teori mobilisasi sumberdaya (resources mobilization), khususnya teori networking

dalam proses rekrutmen partisipan.

E. Kerangka Teoritis

Skripsi ini menggunakan kerangka teoritis dari gerakan sosial khususnya teori

networking untuk menjelaskan fenomena strategi bertahan komunitas Baha‟i di

Jakarta. Sebab, teori ini sangat memadai untuk menjelaskan struktur-struktur

jaringan dalam sebuah kelompok atau komunitas pada level grassroot, yang pada

gilirannya struktur jaringan tersebut difungsikan menjadi sebuah strategi bertahan

komunitas Baha‟i di Jakarta. Oleh karenanya, ada baiknya untuk dilakukan

pembahasan secara umum terhadap gerakan sosial sebagai payung teoritis, serta

pengkajian yang mendalam pada teori networking sebagai tools analisis dan mata

pisaunya.

E.1. Gerakan Sosial

Istilah „gerakan sosial‟ muncul di kalangan sosiolog Amerika Serikat pada

tahun 1950-an. Istilah ini dipakai pertama kali oleh sejarawan Eric Hobsbawm

(1959) di dalam bukunya yang berjudul Primitive Rebel: Studies in Archaic

Forms of Social Movement in the Nineteenth and Twentieth Centuries. Namun

buku tersebut mendapati kritik karena terlalu luasnya pengertian gerakan sosial,

mulai dari segala kerusuhan yang berlangsung hanya selama beberapa jam, hingga

kepada gerakan permanen di Itali, Perancis, dan Spanyol. Tetapi poin yang patut

26
diambil dari Hobsbawm ialah istilah gerakan sosial yang ia gunakan (Burke,

2011:132).

Pada gilirannya, isu mengenai gerakan sosial telah menjadi sebuah kajian

serius melalui berbagai macam penelitian. Perkembangan yang begitu cepat,

terutama setelah mulai bermunculannya berbagai gerakan pada tahun 1960-an

yang mengusung berbagai tujuan, sehingga menjadikan topik ini cukup menarik

perhatian para cendikiawan khususnya para sosiolog (Porta dan Diani 2006:1).

Gerakan sosial diposisikan oleh Tarrow (1998) sebagai politik perlawanan

yang terjadi ketika rakyat biasa yang bergabung dengan para kelompok

masyarakat yang lebih berpengaruh, kemudian mereka menggalang kekuatan dan

mobilisasi untuk melawan para elit, pemegang otoritas, dan pihak-pihak lawan

lainnya. Tindakan yang mendasari politik perlawanan tersebut merupakan aksi

kolektif yang melawan (Tarrow, 1998:15).

Dalam tahun 1960-an, gerakan sosial mengalami perdebatan. Mulai dari

bentuk-bentuk gerakan sosial sampai isu-isu konfliktual yang semakin kompleks,

sehingga perdebatan tersebut menciptakan munculnya gerakan sosial baru (New

Social Movement/NSM). Perbedaannya, gerakan sosial lama hanya terfokus pada

isu buruh dan negara. Sedangkan gerakan sosial baru muncul dan memusat pada

isu-isu perkembangannya seperti women’s liberation, environmental protection,

dan sebagainya (Porta & Diani, 2006:6).

Setidaknya, gerakan sosial baru maupun lama, mereka bisa saja bertahan,

berkembang atau bahkan bubar di tengah jalan tergantung oleh dinamika di dalam

27
gerakan. Oleh sebab itu, untuk melihat dinamika dalam sebuah gerakan, para

teoritikus gerakan sosial membuat salah satu pendekatan yaitu Resource

Mobilization Theory (Sztompka, 2005:342).

1. Resource Mobilization Theory (Teori Mobilisasi Sumberdaya)

Menurut Tarrow nuansa gerakan kolektif bisa mengambil banyak bentuk,

yang singkat maupun yang berkelanjutan, terlembagakan atau cepat bubar,

membosankan atau dramatis. Hal demikian tidak menutup kemungkinan bisa

dialami oleh gerakan sosial manapun (Tarrow, 1998:15). Dalam kondisi tersebut,

permasalahan dinamika internal sebuah kelompok menjadi kajian dan studi yang

juga penting dalam gerakan sosial. Banyak fakta yang memperlihatkan bahwa ada

kelompok yang bubar pada tahap tertentu sebelum tercapainya tujuan, dan bahkan

ada yang bertahan dan berkembang perlahan dalam proses perjalanannya.

Sehingga pada tahun 1970-an muncul sebuah pendekatan yang memfokuskan

analisanya pada tahap pergerakan dan mobilisasi gerakannya yaitu; Resource

Mobilization Theory (RMT) (Sztompka, 2005:342).

Selain itu, kemunculan pendekatan RMT menurut C. Fuchs (2006) juga

merupakan reaksi atas pandangan lama dari asumsi teori psikologi-sosial dalam

gerakan sosial yang menyatakan bahwa gerakan sosial ialah perilaku irrasional

yang tumbuh dan berkembang pada orang-orang yang mengeluh dan merasa tidak

puas atas kebijakan. Maka pada 1960-an, pendekatan RMT telah menemukan

banyak fakta bahwa tidak semua orang yang ikut serta dalam gerakan ialah orang-

orang yang teralienasi atau termarjinalkan (Fuchs, 2006:101-137).

28
Diperkuat oleh Jenkins (1983) dalam teori entrepreneurial (yang merupakan

sub-teori dari RMT) berargumentasi bahwa faktor utama dalam pembentukan

gerakan sosial ialah karena tersedianya sumberdaya, bukan individu yang

mengeluh (Jenkins, 1982:527-553). Dilanjut oleh Klandermans (1984) yang

merujuk pada RMT bahwa partisipasi dalam gerakan sosial merupakan prilaku

yang rasional, karena juga berbasis pada keuntungan dan kerugian seseorang

dalam berpartisipasi (Klandersman, 1984:583-600).

Oleh karena itu, Dalam pandangan Jenkins (1983), bahwa RMT sebagai

sebuah pendekatan dalam gerakan sosial mencoba menjawab kenapa gerakan

sosial terbentuk dengan menjelaskan proses memobilisasi sumberdaya gerakan

sosial (dari dalam maupun luar kelompok gerakan) untuk mencapai tujuan

(Jenkins, 1982:527-553). Di sisi lain, RMT menurut Klandermans (1984) juga

merupakan sebuah pendekatan sosiologis yang digunakan untuk menjelaskan

karakter dan hasil dari gerakan sosial dengan melihat faktor-faktror struktural,

termasuk sumberdaya kelompok yang tersedia dan posisi anggota kelompok

dalam jaringan sosio-politiknya (Klandersman, 1984:583-600).

RMT berkonsentrasi pada “sarana atau ruang kolektif, baik informal maupun

formal, yang dipergunakan seseorang untuk memobilisasi dan melibatkan diri

kedalam aksi kolektif” (McAdam, McCarthy, dan Zald, 1996:3). Karena, menurut

pendekatan RMT, dengan melalui mobilisasi sumberdaya yang efektif sebuah

gerakan sosial juga bisa berhasil mencapai tujuannya (Salim Press, 2011:113).

29
Proses mobilisasi sosial bagi Klandermans (1984) merujuk kepada proses

membujuk seseorang untuk bergabung dan mendukung gerakan, apapun caranya,

dengan harta material ataupun non-material dengan memperlihatkan keuntungan

yang didapat saat bergabung dan kerugian yang besar ketika tidak bergabung

(Klandersman, 1984:583-600). Mobilisasi bisa menggunakan material (tangible

dalam konsep Fuchs; 2006) yang termasuk uang, organisasi, kekuatan individu,

teknologi, peralatan komunikasi dan media massa. Sedangkan bisa dengaan non-

material (intangible dalam konsep Fuchs; 2006) seperti; legitimasi, loyalitas,

hubungan sosial, jaringan, hubungan personal, perhatian publik, kekuasaan,

solidaritas dan komitmen moral (Fuchs, 2006:101-137).

RMT memfokuskan analisanya pada level meso mulai dari kelompok,

organisasi dan jaringan informal yang bisa atau siap untuk melakukan gerakan

sosial. Dari pendapat-pendapat tersebut, pendekatan RMT setidaknya

memunculkan beberapa teori yang bisa digunakan untuk membaca bagaimana

sebuah kelompok bisa bertahan atau berkembang dengan melihat struktur-struktur

jaringannya (McAdam, Mc.Carthy, dan Zald, 1996:3).

Dengan begitu, maka penelitian ini mencoba melihat struktur jaringan

komunitas Baha‟i untuk menjawab bagaimana seseorang bisa berpartisipasi atau

mendukung tujuan-tujuan dari komunitas Baha‟i. Karena dengan begitu

setidaknya mampu memberikan argumentasi yang kuat dalam menjelaskan

strategi bertahan dan berkembangnya komunitas Baha‟i di Jakarta.

30
1.1. Strategi Bertahan

a. Jaringan Sosial, Rekrutmen dan Partisipasi

Setidaknya pendekatan RMT memberikan sebuah cara pembacaan terhadap

struktur-struktur mobilisasi yang dibangun oleh kelompok gerakan sosial sebagai

sebuah strategi kelompok atau gerakan untuk bertahan dan berkembang. Salah

satunya mungkin bisa dengan membaca bangunan struktur „jaringan‟ sebuah

kelompok gerakan.

Menurut McCarthy (1996) dan pemikir gerakan sosial lainnya telah

bermufakat bahwa struktur mobilisasi sangantlah penting untuk memahami jalur-

jalur khusus sebuah gerakan dan siklus gerakan sosial yang lebih luas. McCarthy

juga berpendapat bahwa jalur keterlibatan seseorang dalam gerakan sosial juga

bisa dilihat dari tataran kehidupan sehari-hari pada struktur mikro-mobilisasi di

lokasi sosialnya seperti: jaringan kekerabatan, keluarga, tetangga, asosiasi

sukarela, teman kerja dan elemen struktur-struktur sosial daerah itu sendiri

(McAdam, McCarthy, Zald, 1996:141).

Keluarga dan persahabatan merupakan struktur kehidupan sehari-hari yang

paling fundamental. Kedua unit tersebut telah menunjukan keutamaanya dalam

memahami struktur perekrutan ke dalam gerakan. Kedua struktur jaringan tersebut

sangatlah penting karena di sana lah sering terjadi mobilisasi dan seringkali

memunculkan kelompok lokal. Oleh karenanya, sangat penting pula memahami

demografi jaringan-jaringan dalam keseharian masyarakat. Inilah yang disebut

sebagai jaringan informal. Dalam hal inilah teori jaringan sosial informal sangat

31
penting untuk memahami jalur utama gerakan sosial dan sirkulasi perluasan

gerakan sosial dalam melakukan mobilisasi. Struktur mobilisasi informal seperti

kehidupan sehari-hari, keluarga, pertemanan, dan lingkungan tetangga ialah hal

yang patut diberikan perhatian untuk membaca saluran-saluran partisipasi dan

rekrutmen (McAdam, Mc.Carthy, dan Zald 1996:142-145).

Jaringan sosial merupakan hal yang cukup subtil dalam proses rekrutmen ke

dalam gerakan. Menurut Snow, Zurcher, and Ekland-Olson (1980) bahwa jaringan

sosial dapat mempunyai saham besar (60 sampai 90 persen) dari berbagai macam

keanggotaan (Snow, Zurcher, and Ekland-Olson, 1980:787-801). Meskipun

kadang-kala dalam sekte-sekte agama atau kelompok yang tertutup, mereka tidak

membutuhkan jaringan yang kuat. Berbeda jika dibandingkan dengan organisasi

politik yang radikal, ia lebih membutuhkan jaringan yang kuat. Atau aksi-aksi

yang beresiko dan berbahaya, juga membutuhkan jaringan yang kuat (Porta &

Diani 2006:117).

Snow, Zurcher, and Ekland-Olson (1980:789) membagi secara definitif bentuk

hubungan individu terhadap gerakan dan tipe gerakan. Bentuk hubungan pertama

ialah „partisipan‟ yaitu merujuk pada individu yang mencurahkan waktu, tenaga,

dan sumber daya lainnya kepada gerakan yang ia geluti. Dalam istilah McCharty

and Zald (1977:1221) ialah „constituen‟. Bentuk kedua, ialah „simpatisan‟ yaitu

merujuk pada individu yang hanya sebatas percaya atau sepemahaman dengan

tujuan dari gerakan tertentu, tapi tidak meluangkan sumberdaya personal (Snow,

Zurcher, and Ekland-Olson, 1980:789). Istilah tersebut dalam definisi McCharty

dan Zald (1997:1221) yaitu „adherents‟ (pengikut/penganut).

32
Kemudian gerakan dibagi menjadi 2 tipe. Pertama, „Religious atau

Psychiatric‟ yang mencangkup gerakan meditasi transendental, gerakan gereja,

Baha‟i, „Jehovah’s Witnesses’, gerakan keagamaan dan lain-lain. Kedua,

„Political‟ mencangkup organisasi-organisasi nasional, Aliansi Lesbian-Gay,

Aliansi Sosialis Muda dan lain-lain. Pada gilirannya, tipe-tipe gerakan tersebut

akan mempengaruhi bentuk mobilisasi rekrutmen gerakan, bahwa tipe gerakan

„Religious atau Psychiatric‟ secara kuantitatif partisipan maupun simpatisannya

direkrut 80 persen melalui jalur ‘social network’ (Snow, Zurcher, and Ekland-

Olson, 1980:789-793).

Sedangkan jalur keterlibatan dikategorikan menjadi 2 yaitu, yaitu melalui jalur

publik dan privat. Pertama, jalur publik bisa secara face-to-face (lansung) seperti

pembagian brosur atau petisi di jalanan, ajakan secara terbuka dalam aktivitas

publik dan sebagainya. Atau melalui media (tidak langsung) seperti radio, televisi,

media sosial, media online dan sebagainya. Kedua, jalur privat bisa secara face-to-

face (langsung) seperti door-to-door, ajakan secara personal dengan seseorang

yang sudah dikenal, jaringan informal dan sebagainya. Atau melalui media (tidak

langsung) seperti melalui telephone atau e-mail (Snow, Zurcher, and Ekland-

Olson, 1980:789-790).

33
Gambar I.1. Kategori Jalur Keterlibatan Individu dalam Gerakan

FACE-TO-FACE

Face-to-face leafleting petitioning, Door-to-door leafleting, petitioning,


and proselytizing on sidewalks; and proselytizing; information
participation in public events, such dissemination and recruitment
as parades; staging events for public among familiar others along the
consumption, such as sit-ins, lines of promoter’s extra-movement
protests, movement-sponsored intrapersonal networks.
conventions and festivals.
PRIVAT
PUBLIC
CHANNELS CHANNELS

Promotion and recruiment via radio, Promotion and recruitment via mail
television, and newspapers. and telephone.

MEDIATED

Sumber: Snow, Zurcher, and Ekland-Olson (1980:790), Social Networks And Social
Approach To Differential Recruitment

Diani dan Lodi (1998) menemukan bahwa kuat dan tebalnya jaringan sosial

yang berkembang pada lingkungan privat (seperti keluarga, pertemanan personal,

dan kolega-kolega) akan lebih mungkin berperan dalam melakukan perekrutan

melalui kontak personal (Diani & Lodi dikutip Porta & Diani 2006:117).

Menurut McAdam (1986 & 2003) tidak ada korelasi antara prilaku individu

dengan partisipasi, tetapi ada beberapa faktor jaringan sosial yang menentukan

dalam partisipasi dan rekrutmen, yaitu: Pertama, banyaknya jumlah organisasi

yang diikuti individu, khususnya organisasi politik. Kedua, banyaknya

pengalaman yang dipunyai individu dalam keterlibatannya atas tindakan kolektif

sebelumnya. Ketiga, hubungan terhadap orang lain yang terlibat dalam kampanye

atau gerakan (McAdam, 1986:64-90; McAdam, 2003:53-63; Porta & Diani

2006:117).

34
Sedangkan Della Porta (1988), lebih mempertajam dengan beranggapan

bahwa adanya hubungan inter-personal dalam individu. Semakin banyak

hubungan tersebut, maka akan semakin mempengaruhi seseorang untuk terlibat ke

dalam tindakan (Porta dikutip Porta & Diani 2006:118). Anheier (2003) juga

menyepakati pendapat Porta persoalan persoalan hubungan interpersonal. Tetapi,

ia menambahkan variabel lain yaitu sejauh mana keterbukaan sebuah kelompok

terhadap jaringan yang lebih luas. Semakin terbukanya kelompok, maka akan

semakin mungkin mempunyai jaringan yang banyak (Anheier 2003:64-70).

Florence Passy (2003:23-27) juga membagi fungsi jaringan yang dibedakan

menjadi 3 fungsi yaitu: fungsi sosialisassi, fungsi koneksi struktural dan fungsi

pembentukan keputusan. Pertama, fungsi sosialisasi, dimana Jaringan

menciptakan kecenderungan seseorang untuk masuk kedalam gerakan tersebut

dengan menyebarkan nilai-nilai dan norma. Jaringan juga berfungsi menjadikan

seseorang yang telah siap berkomitmen merasakan bagian dari „collective we‟,

dan menguraikan sistem makna dan permasalahan-peermasalahan yang relevan

socara sosial sehingga tindakan kolektif menjadi penuh arti dan layak untuk

dilakukan. Kedua, Fungsi koneksi-struktural, dimana individu dengan teman atau

kenalan sudah terlibat dalam gerakan-gerakan sosial lebih cenderung untuk

mengambil bagian dalam tindakan kolektif. Ketiga, Fungsi Pembentukan

keputusan, di mana jaringan mempengaruhi seseorang dalam malakukan tindakan

kolektif. Karena seseorang tidak akan membuat kebijakan dalam keadaan yang

terisolasi (tidak mempunyai hubungan sosial), tetapi mereka akan merujukan

dirinya pada apa yang orang lain lakukan (khususnya orang terdekat).

35
Tetapi, Passy juga memperlihatkan bahwa fungsi jaringan sosial juga akan

dipengaruhi oleh karakter dari kelompok yang ingin melakukan rekruitmen.

Menurut Passy fungsi jaringan sosial dipengaruhi juga oleh visibilitas kelompok

dalam ruang publik. Jika sebuah kelompok mempunyai visibilitas yang rendah

dalam ruang publik, maka jaringan sosial merupakan hal yang sangat penting.

Tetapi jika sebuah kelompok mempunyai visibilitas yang tinggi, maka jaringan

bukanlah hal yang urgen (Passy, 2003:21-48).

Para teoritikus gerakan sosial setidaknya telah menyebutkan bahwa

networking merupakan salah satu sarana seseorang untuk terlibat ke dalam

gerakan (Snow et al, 1980; McAdam, 1986; McAdam, 2003; Diani, 1995; Diani,

2003; Passy, 2003; Anheier, 2003). Tetapi eksistensi jaringan yang terbentuk

dalam masyarakat bukanlah sesuatu yang taken for granted. Artinya, relasi dan

jaringan terbentuk dari frekuensi pengulangan interaksi yang cukup rutin satu

sama lain (Eijk, 2010:41). Interaksi sebagai sebuah proses sosiologis pun

dibangun di atas kondisi dan setting sosial tertentu. Setidaknya penelitian ini

menggunakan 2 konsep pola relasi umum dalam masyarakat perkotaan untuk

membaca terbentuknya jejaring-jejaring informal: (1) homophily principle (2) foci

of Activity.

Pertama, „homophily principle’. Istilah yang digunakan Paul Lazarsfeld dan

Robert Merton (1954:23) merujuk kepada perilaku individual yang cenderung

memilih untuk bergaul dengan individu yang memiliki kesamaan dengan dirinya.

Para peneliti jaringan sosial setidaknya mencoba menggambarkan bahwa

seseorang pada umumnya memiliki preferensi untuk bergaul dengan orang yang

36
serupa (Eijk, 2010:45). Sedangkan, preferensi tersebut terbentuk karena adanya

kesamaan identitas. Sedangkan identitas itu sendiri muncul karena keberlanjutan

sehari-hari dari proses pertemuan dan interaksi satu sama lain. Individu yang

memiliki multi-identitas, sangat mungkin membokar pasang identitasnya

menyesuaikan konteks (Eijk, 2010:45). Dalam kondisi inilah jaringan sosial

terbentuk menjadi relasi umum masyarakat perkotaan, seperti kelompok

pertemanan, kelompok bermain, kelompok di sekolah, teman kerja dan lain-lain

yang muncul karena identitas bersama.

Kedua, „foci of Activity’ merupakan istilah yang dipakai oleh Scott L. Feld

(1982:797) sebagai sebuah konteks (atau fokus dalam lingkungan atau tempat

berkumpul) yang memfasilitasi pertemuan antara individu untuk berinteraksi

dalam pembentukan relasi dalam masyarakat. Foci of activity bisa berupa

medium-medium yang lebih partikular dalam neighbourhood. Sebagai contoh,

pusat berkumpul, taman, tempat ibadah, sekolah, dan tempat atau konteks-konteks

lain yang dapat menjadi media untuk memaksa mereka berinteraksi satu sama

lain. Dalam konteks ini, foci of activity (fokus) memainkan peran yang sangat

penting dalam penentuan strategi mobilisasi. Karena relasi masyarakat perkotaan,

memiliki berbagai macam fokus sebagai prakondisi dari mobilisasi. Artinya

mobilisasi dilakukan oleh gerakan atau kelompok pada fokus-fokus tertentu yang

mana aktor dan calon partisipan memang sudah bergelut dan berkecimpung di

dalamnya bersama. Kondisi inilah yang membentuk jaringan-jaringan informal

dalam masyarakat perkotaan yang pada gilirannya menjadi sarana dari mobilisasi

gerakan.

37
b. Jaringan Sosial dan Perluasan Gerakan

Jaringan sosial formal maupun informal selain dapat mempengaruhi

partisipasi dalam tindakan kolektif, jaringan sosial pada gilirannya juga

membentuk jaringan partisipasi. Kemudian jaringan sosial memperkuat partisipan

yang sudah ada sebelumnya atau menciptakan jaringan yang baru untuk merekrut

partisipan yang baru. Jaringan sosial juga meningkatkan peluang individu untuk

terlibat dengan rasa persahabatan, solidaritas, saling percaya dan pemahaman

bersama terhadap dunia. Lalu kemudian, jaringan sosial memfasilitasi

pengembangan bentuk-bentuk jaringan yang baru (Porta & Diani 2006:115).

Asumsi dasarnya merujuk pada hakikat individu yang multi identitas. Mereka

sangat mungkin berpartisipasi dalam aktivitas budaya dan macam-macam

aktivitas sosial lainnya seperti; festival musik, komunitas lain, kelompok belajar,

kelompok teater, dan lain-lain. Di sisi majemuknya identitas, individu mampu

menciptakan hubungan pada tiap-tiap identitas melalui keanggotaan organisasinya

(Porta & Diani 2006:117).

Menurut Simmel (1955) dan Breiger (1974) ada dinamika penting lainnya

antara dualitas individu dan organisasi, di mana keunikan kita sebagai seorang

individu ialah merupakan bagian dari kelompok tertentu dan dalam waktu yang

bersamaan bisa menjadi anggota kelompok lain sehingga kita bisa menciptakan

hubungan antara kedua identitas tersebut (Simmel & Breiger dikutip Porta &

Diani, 2006:115).

38
Melihat keanggotaan individu-individu dalam sebuah asosiasi atau organisasi,

dan kemudian melihat partisipasi mereka dalam kegiatan sosialnya, setidaknya

bisa membantu kita dalam mendapatkan informasi penting tentang ketelibatan

mereka dalam tindakan kolektif. Maka dengan begitu kita bisa melihat proses

penciptaan dan pertumbuhan solidaritas antara kelompok-kelompok yang berbeda,

melalui pembacaan terhadap ketersediaan jalur komunikasi dari struktur jaringan

(Porta & Diani, 2006:115).

c. Jaringan Sebagai Proses Bertahan dan berkembang

Alasan bahwa seseorang bertahan dalam sebuah kelompok, akan berbeda

dengan alasan kenapa seseorang terlibat dalam sebuah kelompok (Goodwin &

Jasper, 2003:91). Keterlibatan jaringan sosial juga tidak hanya persoalan merekrut

anggota, tapi juga bisa berfungsi sebagai pencegah keluarnya anggota dari

kelompok dan juga sebagai penopang keberlanjutan dari gerakan. Dan juga

sebuah komitmen dipengaruhi oleh hubungan sesama anggota. Semakin dia

mengenal dengan anggota-anggota lain, meskipun berbeda organisasi, komitmen

akan lebih kuat daripada mereka yang memiliki hubungan non-anggota. Seorang

partisipan juga akan cenderung memilih bertahan atau keluar dari kelompok

dipengaruhi oleh jaringan terdekat dengan mereka. Semakin partisipan

mempunyai jaringan yang dekat dengan mereka akan cenderung bertahan,

begitupun sebaliknya (Porta & Diani 2006:118).

Nancy Whittier (2003) menjelaskan fungsi jaringan dalam mempengaruhi

anggota gerakan karena jaringan merupakan perwujudan material dari sebuah

39
batasan kelompok. Seseorang akan bertahan dalam sebuah kelompok apabila

mereka terus melakukan interaksi atau komunikasi melalui jaringan-jaringan yang

sudah ada. Kondisi yang demikian sangat dibutuhkan sebuah keterbukaan dalam

setiap anggota. Jika tidak, mereka akan “trashed out” karena kurangnya

komunikasi dengan sesama (Whittier, 2003:103-115).

Jaringan pada gilirannya juga bisa tetap eksis karena sebuah komitmen dari

para anggota-anggotanya. Sangatlah penting mempertahankan sebuah jaringan

karena emosi dan kedekatan intelektual akan tumbuh dan menyebarkan

pengalaman yang penting pula. Bentuknya bisa berupa persahabatan dan

kekeluargaan. Sehingga jaringan merupakan sesuatu yang penting untuk

dipertahankan demi memapankan batas-batas kelompok. Beberapa hubungan

pertemanan atau kekeluargaan juga membantu untuk mempertahankan komitment

dan identitas kolektif (Whittier, 2003:113-115).

Dari ulasan teori jaringan, setidaknya memberikan 2 gambaran besar dalam

penelitian ini. Pertama, teori jaringan sosial menjelaskan kenapa seseorang bisa

mendukung atau berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan komunitas Baha‟i di

Jakarta dan kenapa „mereka‟ tidak mau berpartisipasi. Kedua, teori jaringan sosial

mecoba menjelaskan kenapa seseorang bertahan dalam sebuah kegiatan atau

komunitas Baha‟i dan kenapa ada „orang lain‟ keluar dari kegiatan atau komunitas

Baha‟i. Sehingga dalam penjelasan ini menggambarkan corak pola bertahan dan

perkembangan komunitas Baha‟i di Jakarta.

40
F. Metodologi Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini ingin membaca dan memahami fungsi-fungsi maupun peran

struktur jaringan lebih mendalam terhadap strategi bertahan dan berkembangnya

komunitas Baha‟i di Jakarta. Oleh karenanya, metode kualitatif dipandang

merupakan pemilihan metode yang memadai (adequate) karena dapat menangkap

arti (meaning/understanding) dan memberikan kualitas data serta pemahaman

yang mendalam (depth-understanding) atas suatu peristiwa, gejala, fakta, kejadian

realitas atau masalah tertentu. Sejalan dengan hal tersebut menurut Strauss dan

Corbin (2015) penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan

penemuan-penemuan yang tidak bisa dicapai dengan prosedur-prosedur statsistik

atau cara-cara lain dari kuantifikasi (pengukuran) (Strauss & Corbin, 2015:4-5).

Peneliti mencoba menggali secara mendalam sebuah data informasi di lapangan

dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Dengan cara menangkap dan

memahami makna dari struktur jaringan yang ada dalam kejadian-kejadian

tertentu untuk dianalisa lebih mendalam.

2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan dalam jangka waktu 11 bulan. Mulai Desember 2015

sampai dengan Nopember 2016. Penelitian juga dilakukan di daerah Jakarta dan

sekitarnya. Pelaksaan penelitian ini kiranya cukup untuk mendapatkan data-data

yang dibutuhkan peneliti.

41
3. Metode Pengumpulan Data

a. Wawancara

Teknik wawancara merupakan bentuk komunikasi verbal atau percakapan

yang bertujuan untuk memperoleh informasi dari objek. Wawancara ini dilakukan

oleh dua pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan informan

yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut (Moleong, 1996:135).

Wawancara juga merupakan alat re-checking atau pembuktian terhadap

informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya. Teknik wawancara yang

digunakan dalam penelitian kualitatif adalah wawancara mendalam. Wawancara

mendalam (in-depth interview) adalah proses memperoleh keterangan untuk

tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka dengan informan

(Sudikan, 2001:62). Wawancara juga dilakukan dengan tidak terstruktur

(unstructured interviews) dimana peneliti dan informan melakukan interaksi

dengan cair (Marvasti, 2004:20-22). Dan menggunakan wawancara terbuka

dengan informan (Moleong, 1996:137)

b. Observasi

Observasi juga dapat disebut sebagai penelitian lapangan, atau observasi

partisipan. Konsep ini menggandaikan bahwa seorang peneliti harus berpartisipasi

langsung dalam kegiatan-kegiatan objek penelitiannya. Peneliti diharapkan

bertatap muka dengan real people (dalam penelitian ini umat Baha‟i) dalam

natural setting. Dalam penelitian lapangan, seorang peneliti berinteraksi sekaligus

mengamati langsung objek (Neuman, 2007:276). Observasi merupakan salah satu

42
bagian dalam pengumpulan data yang diharapkan dapat mendapatkan makna

sosial dan memahami perspektif-perspektif dalam social setting (Neuman,

2007:278). Pengamatan dilakukan agar mendapatkan data otentik.

c. Dokumentasi

Dokumentasi juga merupakan suatu bentuk teknik pengumpulan data yang

diperoleh dari dokumen-dokumen, seperti: (1) surat memorandum dan

pengumuman resmi. (2) dokumen-dokumen administratif dan dokumen-dokumen

intern lainnya. (3) artikel-artikel yang muncul di media masa (Yin, 1996:103-

104). Dokumentasi digunakan untuk memverifikasi, mendukung dan menambah

bukti, menambah informasi dari sumber-sumber lain (Yin, 1996:104).

4. Strategi Pemilihan Informan

Penentuan informan menggunakan strategi purposive sampling dan teknik

Snowball. Teknik purposive sampling biasa digunakan pada sebuah kondisi ketika

seorang peneliti menggunakan justifikasi dalam memilih kasus dengan tujuan

tertentu dalam pikirannya. Hal ini sering digunakan dalam penelitian eksplorasi

atau penelitian lapangan. Setidaknya ada tiga situasi yang sesuai dalam teknik

purposive sampling. Pertama, peneliti menggunakannya pada kasus unik dan

membutuhkan orang yang informatif. Kedua, peneliti menggunakan teknik

tersebut untuk memilih anggota yang sulit dijangkau, populasinya terspesialisasi.

Ketiga, ketika peneliti ingin mengetahui jenis fakta dari sebuah kasus untuk

investigasi yang dalam. Selanjutnya, pemilihan sampel secara purposive pada

43
sebuah penelitian harus berpedoman pada syarat-syarat yang harus dipenuhi

sesuai dengan kebutuhan data (Neuman. 2007:142-143).

Teknik snowball sering disebut network, chain referral, atau reputational

sampling. Teknik ini merupakan metode untuk mengenali kasus dalam sebuah

jaringan. Teknik ini juga sering digunakan untuk membaca sebuah jaringan

interkoneksi sebuah organisasi atau kelompok (Neuman, 2007:144).

Dalam teknik snowball sampling, peneliti menggunakan bantuan sociogram.

Sociogram seperti sebuah diagram dari lingkaran koneksi dari para informan atau

objek kajian untuk membantu peneliti membaca proses sosialisasi makna, simbol

dan lain-lain dari koneksi setiap jaringannya (Neuman, 2007:144).

Dalam penelitian ini telah di tetapkan beberapa informan:

1. Anggota Majelis Rohani Nasional dan Setempat komunitas Baha‟i

Indonesia dan Jakarta, serta lembaga hubungan luar komunitas Baha‟i (8

informan).

2. Penganut Baha‟i (8 informan).

3. Tetangga penganut Baha‟i (1 informan), kelompok pertemanan (1

informan).

5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Setelah semua data terkumpul, langkah selanjutnya yaitu pengolahan dan

analisis Data. Menyusun data berarti menggolongkan data ke dalam pola, tema,

atau kategori. Pada penelitina kualitatif, analisis data harus dimulai sejak awal.

Data yang diperoleh dalam lapangan segera harus dituangkan dalam bentuk

44
tulisan dan dianalisis (Muhadjir, 1998:104). Setidaknya ada beberapa teknik

dalam pengolahan dan analisa data.

5.1. Konseptualisasi

Dalam penelitian kualitatif, konseptualisasi ialah cara seorang peneliti untuk

memilah data mana yang „makes sense’ dan mana yang tidak. Seorang peneliti

memilah data ke dalam bentuk kategori-kategori pada tema penelitian, konsep dan

bentuk-bentuk lain yang diperlukan. Peneliti juga bisa membangun konsep baru,

kemudian memformulasikannya dalam definisi-definisi konseptual, yang

kemudian menjelaskan hubungan antar konsep (Neuman, 2007:330).

5.2. Analisa Data

Menurut Miles dan Huberman (1994) dalam menganalisa data dalam kualitatif

harus melewati beberapa tahap. Pertama, reducing data yaitu proses pemilihan,

pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data

kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi ini terus

berkelanjutan selama penelitian ini berlangsung. Kedua, displaying data yang

berarti mengumpulkan informasi secara tersusun yang memberikan kemungkinan

adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Ketiga, penarikan

kesimpulan. Langkah ini melibatkan “penggambaran makna dari data yang

ditampilkan”. Peneliti menarik makna yang relevan, kemudian mensistematiskan

data berdasarkan jenis analisis yang peneliti pilih (Miles & Huberman dikutip

Marvasti, 2004:88-90).

45
G. Sistematika Penulisan

Penulisan penelitian ini disusun dengan sistematika pembahasan yang terdiri

dari empat bab, yang uraiannya terdiri dari berikut:

Bab pertama: berisikan tentang pernyataan penelitian, pertanyaan masalah,

tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metode penelitian

dan sistematika pembahasan. Bab ini menjelaskan urgensi penelitian ini agar

dilakukan dan juga sebagai pijakan dan langkah awal untuk pembahasan

selanjutnya.

Bab kedua: membahas tentang gambaran umum mengenai (1) sejarah

kemunculan Agama Baha‟i, (2) sosial-budaya-politik, dan kedatangannya di

Indonesia, sekaligus (3) kondisi para penganutnya, serta (4) kehidupan komunitas

Baha‟i di Jakarta. Pembahasan dalam bab ini bertujuan untuk menjelaskan

dinamika secara umum objek yang dibahas (komunitas Baha‟i) dalam penelitian

ini.

Bab ketiga: berisi deskripsi dan analisis hasil dan temuan selama penelitian

yang juga sekaligus menjadi jawaban pertanyaan penelitian yaitu: (1) Proses

strategi bertahan komunitas Baha‟i di Jakarta sehingga bisa bertahan dan

berkembang, serta (2) faktor-faktor mendukung mereka untuk memilih strategi

tersebut.

Bab keempat: yaitu bab akhir dari penelitian ini yang berisi kesimpulan dari

semua hasil dari temuan penelitian dan penutup yang juga mencangkup saran

serta masukan kepada pihak yang mempunyai kepentingan terhadap tema

46
penelitian ini. Dalam bagian ini juga harus mencangkup daftar pustaka dan

lampiran-lampiran hasil penelitian.

47
BAB II

AGAMA BAHA’I: SEJARAH, SOSIAL-BUDAYA, DAN

KEDATANGANNYA DI INDONESIA

A. Kemunculan Bahá’í dan Kondisi Sosial-Politik

Kemunculan dan perkembangan komunitas Bahá‟í tidak terlepas dari peran

tokoh-tokoh pendirinya. Mereka menjadi rangkaian perjalanan yang utuh

dalam kemunculan dan perkembangannya. Oleh karena itu, penjelasan kondisi

dari kemunculannya komunitas Bahá‟í akan dibagi bedasarkan peran dari

tokoh-tokoh dalam Bahá‟í itu sendiri. Begitupun juga konteks sosial-politiknya

terbagi dalam fase setiap tokoh-tokohnya.

A.1. ‘Sang Báb’ (1819-1850) dan Gerakan Babisme

Asal-usul kepercayaan Bahá‟í (Bahá’í Faith) pada awalanya merujuk pada

gerakan milenarian (gerakan Babisme) yang ditemukan pada 1844 Masehi oleh

seorang saudagar muda dari Iran, Sayyid „Ali Muhammad Shirazi (1819-1850)

yang disebut atau yang bergelar „sang Báb‟. Sang Báb diartikan secara bahasa

yaitu „gerbang‟ (the gate), merupakan suatu gerakan „bawah tanah‟ yang

muncul dari salah satu sekte minoritas dalam muslim Syi‟ah yaitu, Ithna

‘Asharia (Nurish, 2015:146; Warburg, 2006:7; Momen, 1997:135). Ithna

‘Asharia merupakan sekte yang menggagungkan 12 Imam (Zulkifli, 2013:1).

Tetapi ada perbedaan pendapat dengan Ahura Mazda (salah satu konselor

Baha‟i se-Asia) menurutnya “gerakan Bab pada saat itu bukanlah gerakan yang

sembunyi-sembunyi, ia bahkan mendeklarasikan gerakannya secara terbuka”

48
(Wawancara, Ahura Mazda, Salah Satu Konselor Baha‟i Asia, Jakarta, 30 Juli

2016).

„Sang Báb‟ dilahirkan di kota Shiraz, bagian selatan Iran yang mayoritas

penduduk menganut muslim. „Sang Báb‟ juga merupakan keturunan Nabi

Muhammad SAW sehingga ia diberikan nama „Ali Muhammad yang juga

menjadi nama kebanyakan di negeri tersebut. Ayahnya meninggal setelah ia

dilahirkan sehingga ia dibesarkan oleh pamannya (Fathea‟zam, 2009:28).

Sewaktu kecil, ia rutin mempelajari Al-Qur‟an dengan teman-teman

sebayanya. Banyak kalangan guru dan orang-orang pada saat itu menganggap

kemampuannya dalam memahami Al-Qur‟an melampaui anak-anak

seumurannya. Sehingga dengan kecerdasan tersebut, pada umur 25 tahun, ia

mengumumkan diri kepada orang-orang mengenai sebuah „Misi‟ yang telah

Tuhan berikan kepadanya. Ia mendeklarasikan dirinya sebagai perwujudan

Tuhan dimuka bumi yang kemudian dilegitimasi oleh paman dan gurunya,

karena mengetahui kemampuannya sedari kecil. Ia mendeklarasikan sebagai

orang „yang dijanjikan‟ (Fathea‟zam, 2009:28-29).

Konteks masyarakat Iran yang populasinya didominasi oleh muslim Syi‟ah,

juga berkembang sebuah wacana tentang sosok „Imam Mahdi‟ yang dalam

keyakinan masyarakat Iran (khususnya Syi‟ah) sebagai pemimpin yang

ditunggu-tunggu kedatangannya. Syi‟ah juga mempunyai sekte-sekte di

dalamnya salah satunya Ithana ‘Asharia. Sementara gerakan Báb sendiri lahir

dari sub-sekte Ithana ‘Asharia yaitu, Shaikhiyyah yang dipimpin oleh Ahmad

Al Ahsa-i (1751-1826). Kepemimpinan Ahmad Al Ahsa-i digantikan oleh

49
Kazim Rasyti (1789-1843). Setelah Kazim Rasyti meninggal, salah satu

pengikut utamanya yaitu, Ali Muhammad (Sang Báb) yang mendeklarasikan

diri sebagai „orang yang dijanjikan‟ (Nurish, 2015:146). Dalam kalangan

muslim Syi‟ah, „Sang Báb‟ beserta pengikutnya maupun masyarakat Iran,

mempunyai keyakinan bahwa Imam Mahdi ialah orang ke-12 (terakhir) dari

rangkaian para pemimpin (disebut „Imam‟) yang hidup pada abad 7-9 Masehi.

Namun ketika masuk pada abad ke-9 masehi, Imam Mahdi tak pernah turun

dan dianggap telah bersembunyi. Oleh karenanya, muslim Syi‟ah menunggu

kedatangan Imam Mahdi dari persembunyian. Dalam waktu yang bersamaan,

„sang Báb‟ mengumumkan bahwa ia merupakan pintu gerbang dari tempat

persembunyian Imam Mahdi. Awalnya, banyak orang yang mempercayainya,

tetapi kemudian para ulama setempat telah menyadari bedasarkan tulisan-

tulisannya, bahwa sebenarnya „sang Báb‟ mengklaim posisi yang jauh lebih

tinggi dari pada itu, yaitu mengaku telah menerima wahyu ilahi sehingga

menempatkan dirinya sejajar dengan Muhammad SAW (dalam Islam). Sejak

saat itu „sang Báb‟ mendeklarasikan bahwa inilah awal siklus agama baru

(Momen, 1997:135-136). Dalam versi Zabihi-Moghaddam (2004) „Sang Báb‟

mendeklarasikan dirinya sebagai Imam Mahdi yang ditunggu-tunggu

kedatangannya (Moghaddam, 2004:181).

Bukan hanya di Iran, di belahan dunia lain seperti Amerika dan Eropa,

gejala ramalan-ramalan tentang messianis dan millennial oleh William Miller

(1782–1849) juga menjadi pembicaraan yang hangat. Ramalan-ramalan yang

bertepatan pula dengan munculnya „sang Báb‟, sama seperti lahirnya Agama

Mormon atas ramalan dari Joseph Smith (1805–1844). Gerakan Ahmadiyyah di

50
India dan perkembangan yang luar biasa oleh HaBaD (Lubavitch) yaitu

gerakan Hasidic di Eropa barat (yang didirikan oleh Shneor Zalman 1747–

1812). Serta intelektual asal Jerman yang hidup abad ke-19 yaitu Karl Marx

dan Engels, (meski mereka mengambil posisi yang jauh dari agama) boleh jadi

mereka bisa didefinisikan sebagai agama tanpa Tuhan karena pemikirannya

berpengaruh terhadap wajah dunia setelahnya (Sharon, 2004:4). Setidaknya ada

konteks dan kondisi yang sama seperti kekacauan tatanan sosial, politik,

ekonomi yang mengharuskan para pemikir dari seluruh penjuru belahan dunia

berkontemplasi menciptakan konsep untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Dan juga kemunculan agama-agama baru dikarenakan rasa ketidakpuasan

terhadap agama-agama yang mapan sebelumnya yang dianggap korup. Oleh

sebab itu, kemunculan pandangan messianis atau melennial sebagai „juru

selamat‟ menganggap bahwa keadaan sosial-politik yang caru-marut bisa

diselesaikan oleh campur tangan „ilahiah‟ yang termanifestasikan dalam diri

manusia. Hal ini juga menjadi motif awal kemunculan agama-agama besar

lainnya di dunia (Momen, 2004:98-99).

Sama dengan anggapan bahwa „Sang Báb‟ ialah pintu dari hadirnya

seseorang yang mampu menyelesaikan persoalan di muka bumi, maka melalui

tulisan-tulisannya dengan cepat gerakan yang disebut Bábisme mempunyai

banyak pengikut di Iran. Pertumbuhannya yang cepat dari gerakan Bábisme

(para pengikut sang Báb) telah menciptakan kegelisahan publik karena

mengganggu stabilitas politik. Pada tahun 1848 pengikut „sang Báb‟

dihadapkan dengan pertarungan yang berdarah-darah oleh pemerintahan Iran.

„Sang Báb‟ akhirnya ditangkap dan diasingkan (Warburg, 2006:11). Pada

51
pengasingannya, ia terus menyebarkan dakwah-dakwah bahwa ia merupakan

seorang yang dijanjikan. Pada tanggal 9 Juli 1850, „sang Báb‟ dihukum mati

dengan cara ditembak oleh 750 serdadu dan sepuluh ribu orang menyaksikan

kematiannya (Fathea‟zam, 2009:31).

Gerakan Bàbìsme sering digambarkan sebagai gerakan revolusioner.

Gerakan Bàbìsme juga sering terlibat pertikaian dengan negara, yang pada

gilirannya gerakan tersebut mendapatkan represi dari negara. Menurut M.S.

Ivanov (1939) ia menyatakan pandangan bahwa gerakan Bàb adalah "gerakan

massa populer, lahir dari kondisi sosial yang krisis dan diarahkan terhadap

kelas penguasa" (Ivanov dikutip Moghaddam, 2004:193). Dalam analisisnya,

krisis ekonomi di Ìràn pada waktu itu telah menciptakan munculnya gerakan-

gerakan anti pemerintah. Dalam sebuah analisa terbaru, Kurt Greussing (1984)

berpendapat sama. Menurut studinya, gerakan Bàbì awalnya gerakan

Reformasi keagamaan, yang mencari dukungan diantara para elit perkotaan.

Namun, ketika gerakan Bàbìs gagal memperoleh kesuksesan di kalangan elit,

mereka secara bertahap berubah menjadi masyarakat miskin perkotaan. Setelah

1848, di bawah tekanan krisis ekonomi, gerakan agama yang radikal tersebut

berubah menjadi sebuah revolusi sosial. Dia berpendapat bahwa gerakan Bàb'

mempunyai pengaruh yang kuat di daerah-daerah sekitar rute perdagangan,

karena tempat-tempat tersebut paling banyak terkena krisis ekonomi. Dalam

kondisi ini, pemerintah menggangap gerakan Bàbìsme melakukan mobilisasi

kampanye untuk menggulingkan pemerintah pusat, dengan mengambil basis

petani dan sesama mereka untuk memasok kekuatan, sebuah metode yang juga

digunakan oleh musuh-musuh mereka (tentara). Tetapi setidaknya telah

52
terbukti adanya masalah ekonomi di Ìràn di pertengahan abad ke-19 yang

menciptakan krisis pangan (Greussing dikutip Moghaddam, 2004:193-194).

A.2. Bahá’u'lláh (1817-1892) dan Agama Bahá’í

Mirza Husein Ali Núrí lahir di Teheran pada 12 November 1817. Ia

merupakan seorang anak bangsawan terkenal di Iran yang merupakan salah

satu menteri raja Iran. Mirza Husein Ali Núrí ialah salah satu pengikut gerakan

Bábisme yang antusias. Ia mendeklarasikan dirinya sebagai penerus dari misi-

misi yang sudah diajarkan oleh „sang Báb‟. Dirinya mendapatkan wahyu dari

Tuhan sama seperti nabi-nabi dari agama-agama sebelumnya. Dengan begitu,

dirinya mendapatkan gelar Bahá‟u'lláh (gelar rasul dalam agama Bahá‟í)

(Momen, 1997:139).

Karena konflik yang berkepanjangan antara pemerintah dengan gerakan

Babisme, pada tahun 1852, gerakan Bábisme dihancurkan. Para murid dan

penerus gerakan Bábisme yang masih hidup (termasuk Bahá‟u'lláh), diasingkan

ke berbagai kota tetangga Utsmaniyah. Pertama ke Baghdad daerah Istanbul

tahun 1863 (Constantinople), dan tak lama setelah itu ke Edirne (Adrianopel) di

bagian Eropa (sekarang Turki) (Warburg, 2006:-11).

Dalam masa pengasingan, setidaknya telah muncul ketegangan dalam

komunitas Babisme sendiri yaitu antara Bahá‟u'lláh dan Subh-i-Azal (1830-

1912) yang merupakan adik tiri dari Bahá‟u'lláh. Ia mengklaim juga menjadi

pemimpin kelompok tersebut. Ketegangan menyebabkan perpecahan dalam

gerakan Babisme pada tahun 1866-1867 di Edirne (Cole, 2004:227-229).

Namun ketika Bahá‟u'lláh secara terbuka menyatakan bahwa ia adalah

53
"cerminan kemuliaan Tuhan". Mayoritas Babisme dengan segera menerima

Bahá‟u'lláh sebagai nabi mereka yang baru, sementara minoritas Babisme,

yang disebut „Azalis‟, sebagai pengikut Subh-i-Azal mempunyai pengikut yang

lebih sedikit (Warburg, 2006:7-11).

Setelah Bahá‟u'lláh mendeklarasikan telah menerima wahyu dari Tuhan, ia

memerintahkan pengikutnya untuk tidak terlibat dalam konflik-kolflik politik,

dan menganjurkan pengikutnya untuk taat kepada pemerintah. Sebaliknya,

pendukung Subh-i-Azal yang disebut Azalis, dalam tafsir keagamaannya justru

memberi jalan untuk aktivisme politik, dan beberapa dari mereka memainkan

peran menonjol dalam revolusi konstitusional tahun 1906-1911 (Moghaddam,

2004:181-182). Dari segelintir konflik tersebut akhirnya memotivasi

pemerintahan imperium Ottoman untuk mengasingkan Bahá‟u'lláh (meski

sudah mendeklarasikan untuk tidak terlibat dalam konflik terhadap

pemerintah), dengan keluarga dan beberapa pengikutnya, ke Akko (Acre),

Haifa bagian utara di wilayah Israel. Bahá‟u'lláh berada di sana selama sisa

hidupnya. Ia terus-menerus bekerja untuk mengubah warisan Babisme ke

agama baru, yaitu Baha'i (Warburg, 2006:7-11). Bahá‟u'lláh menjadikan agama

Bahá‟í sebagai salah satu agama baru di dunia (Keene, 2010:178; Momen,

1997:135; Warburg, 2006:7). Baha‟i bukanlah sekte dalam Islam, tapi Baha‟i

adalah Agama yang berdiri sendiri dengan rumah ibadah, ajaran, kitab suci,

Nabi dan Tuhan sendiri. Agama Baha'i diambil dari nama Baha'ullah. Oleh

pengikutnya agama/faham ini di namai Baha'i atau Baha‟iyyah (Hakim,

2009:18).

54
Banyak pandangan yang menganggap gerakan Bahá‟í mirip atau sama

dengan gerakan mahdiisme, messianis atau millennial. Sebagaimana gerakan

Mahdiisme atau gerakan Messianis, Bahá'u'lláh juga hadir karena kurangnya

persatuan dalam masyarakat modern sebagai hal utama yang perlu ditangani

oleh orang-orang di dunia. Hanya sedikit orang yang perlu diyakinkan dari

fakta bahwa salah satu masalah utama kami adalah kekompakan sosial dan

semangat komunal telah dirusak dalam perjalanannya seratus tahun terakhir.

Telah banyak orang merasa terasing dari masyarakat. Hal ini mungkin karena

kemiskinan mereka, kurangnya kepercayaan pada mereka sebagai sebuah

masyarakat, kurangnya kapasitas pendidikan atau intelektual untuk menangani

kompleksitas masyarakat modern, atau prasangka mereka karena warna

mereka, etnis atau agama (Momen, 1997:36).

Pada gilirannya, para penganut agama Bahá‟í mengimani Baha‟ullah

sebagai sosok Nabi yang membawa ajaran untuk mereformasi cara hidup

beragama mereka untuk mengatasi masalah di dunia modern, hingga kemudian

mereka diterima dan mengalami ekspansi di beberapa benua dan Negara

(Nusrih, 2012:176). Pandangan hidup yang modernis ini, merupakan prinsip-

prinsip yang dipandang sesuai dengan konteks perkembangan zaman.

A.3. 'Abbàs Effendì (‘Abdu’l-Bahá) (1844-1921) Dan Perjanjian

Tuhan.

Bahá‟u‟lláh menunjuk anak tertuanya yaitu 'Abbàs Effendì sebagai

pemimpin komunitas Bahá‟í berikutnya melalui wasiat (yang sekarang dikenal

Kitab Perjanjian). Penunjukan ini dikenal oleh masyarakat Baha‟i sebagai

55
„Perjanjian Tuhan‟. Abbas Effendi atau Abdul-Baha dianggap sebagai pusat

perjanjian yang fungsinya sebagai pembimbing masyarakat Baha‟i di dunia.

Mulai dari rujukan tafsir sampai ajaran-ajaran suci Bahá‟u‟lláh harus merujuk

kepada Abdul-Baha. Pada gilirannya, dengan merujuk pada tafsir tunggal,

perpecahan dan konflik dalam agama Baha‟i dapat diminimalisir. Mereka

belajar dari agama-agama sebelumnya yang tercerai-berai karena perbedaan

tafsir dan otoritas kepemimpinan (Fathea‟zam, 2009:43-47).

„Abdu‟l-Bahá yang merupakan penafsir tunggal atas tulisan-tulisan suci

Bahá‟í lahir di Teheran pada 23 Mei 1844, hari dimana „sang Báb‟ memulai

misinya. Diawal jabatannya sebagai pemimpin, Abdu‟l-Baha mendapat

perlawanan dari adiknya Mírzá Muhammad „Alí karena dianggap Abdu‟l-Baha

telah melampaui otoritasnya sehingga mengurangi pengaruh adiknya. Namun

permasalahan selesai ketika semua umat Bahá‟í mendukung „Abdu‟l-Bahá

sebagai pemimpin umat karena konsep „Perjanjian Tuhan‟ tersebut yang

tercantum jelas dalam Kitab Perjanjian. (Momen, 1997:148).

Pada awal abad kedua puluh, Pusat administratif agama Baha'i pindah

lokasi ke Haifa. Di sanalah komunitas Baha'i dimulai pada 1890-an dengan

membeli tanah di lereng Gunung Karmel. Melalui aktifitas misi yang telah

disistematiskan oleh Abdu'l-Baha, Baha'i secara bertahap berkembang di luar

lingkungan Muslim. Para misionaris Baha'i mulai pergi ke Amerika Serikat dan

Kanada pada tahun 1890 serta ke Eropa Barat sekitar tahun 1900 untuk

menyebarkan ajarannya demi mencapai sebuah persatuan dan perdamaian

sedunia. Pertumbuhan di Eropa kurang efektif, sampai setelah Perang Dunia II.

Abdu'l-Baha menurunkan jabatannya kepada cucunya, yaitu Shawqì Eff endì

56
Rabbànì atau yang lebih dikena dengan Shoghi Eff endi (1897-1957), dan

mengutusnya untuk melakukan penyebaran misi Baha'i di Eropa, dibantu oleh

umat Baha'i Amerika yang datang ke Eropa sebagai misionaris Baha'i

(Warburg, 2006:7).

A.4. Shoghi Effendi (Sang Wali) Dan Penyebaran Bahá' í (1897–

1957)

Shoghi Effendi adalah orang terakhir yang memimpin komunitas Baha'i. Ia

merupakan cucu dari Abdu'l-Baha yang ditunjuk langsung untuk menjadi

pemimpin komunitas Baha'i selanjutnya melalui konsep perjanjian tuhan.

Dengan adanya konsep tersebut, seluruh masyarakat Baha‟i di dunia akhirnya

merujukan diri mereka kepada Shoghi Effendi (Fathea‟zam, 2009:52). Selama

tahun-tahun awal pelayanan Shoghi Effendi sedikitnya telah terjadi beberapa

tragedi penganiayaan komunitas Bahá'í. Di Iran pada tahun 1922–1927, ada

beberapa ledakan yang menewaskan umat Bahá'í, dan terjadi lagi pada tahun

1934. Dari 1926 dan seterusnya, Uni-Soviet yang pada saat itu sebagai negara

besar, semakin menganiaya komunitas Bahá'í di Kaukasus, dan Asia Tengah.

Shoghi Effendi menghabiskan lima belas tahun pertama jabatannya

membangun dan memfungsikan struktur administrasi Bahá'í. Kemudian ia

mulai menggunakan administrasi tersebut untuk memperluas jangkauan

geografis kepercayaan Bahá'í. Pada tahun 1937, ia melakukan penyebaran di

berbagai negara Amerika. Kemudian di negara Iran, Mesir, Arab, India juga

dilakukan penyebaran yang masif. Bahá' í untuk Asia Tenggara penyebarannya

dibantu oleh komunitas Bahá' í Ingrris. Sedangkan penyebaran Bahá' í di

Afrika dibantu oleh komunitas Bahá' í Amerika. Kemudian komunitas Bahá' í

57
di Amerika melakukan penyebaran yang lebih luas ke Amerika Latin dan

Eropa. Begitupun negara-negara miskin di penjuru dunia seperti Uganda,

Bolivia, Indonesia dan India, penduduk desa buta huruf dan suku-suku mulai

bergabung dalam komunitas Bahá'í (Momen, 1997:149-150).

Ketika ia meninggal pada tahun 1957, Baha‟i tidak lagi mempunyai

pemimpin. Namun fungsi-fungsi nya digantikan oleh badan hukum tertinggi

agama Baha'i, yaitu Balai Keadilan Sedunia (Universal House of Justice)

melalui konsep perjanjian tersebut. Artinya, segala urusan masyarakat Baha‟i

di dunia dibimbing langsung oleh bimbingan Tuhan melalui Balai Keadilan

Sedunia. „Sang Bab‟ yang menempati posisi sentral dan mencolok dalam

agama Baha'i, jenazahnya dimakamkan dalam Kuil kubah emas indah di lereng

Gunung Carmel di Haifa. Kuil Bab dianggap sebagai tempat suci sekaligus

pusat dari komunitas Bahá' í, dimana tempat tersebut merupakan markas

administratif komunitas Baha'i, pusat Baha‟i sedunia, juga pusat arsitektur yang

luar biasa dengan pelataran teras dan kebun sangat indah (Warburg, 2006:7-

11).

Umat-umat Baha'i yang pergi meninggalkan Iran, telah membuat persentase

yang signifikan dalam penyebaran Baha'i di Barat. Di Iran, komunitas Baha'i

merupakan agama minoritas terbesar, menghitung antara 0,5 dan 1 persen dari

populasi Iran. Namun, komunitas Baha'i di Iran telah dianiaya dan bahkan

„dibunuh‟ keyakinan agamanya. Dalam tahun pertama setelah revolusi Iran

pada tahun 1979, rezim Khomeini mengatur penganiayaan-penganiayaan kejam

yang mengakibatkan penghancuran komunitas Baha'i secara luas dan terjadi

sekitar dua ratus pembunuhan. Hal ini membuat komunitas Baha'i dikenal

58
untuk umum di Barat, dan untuk sesekali, kondisi tersebut membangkitkan

minat politik mereka di Iran (Warburg, 2006:12).

B. Komunitas Bahá’í di Dunia

Ajaran Bahá‟í banyak berisikan prinsip-prinsip yang tinggi dan ideal seperti

persatuan umat manusia, perdamaian dunia dan pembangunan kesejahteraan

masyarakat. Komunitas Bahá‟í ialah representasi yang mencoba mengambil

prinsip-prinsip tersebut kedalam tindakan. Prinsip-prinsip kehidupan komunitas

Bahá‟í diletakan oleh Bahá‟u‟lláh dan „Abdu‟l-Bahá, sedangakan Shoghi

Effendi membangun sebagian besar struktur administrasi yang membantu

mengaktulisasikan ajaran-ajaran serta perluasan kepercayaan Bahá‟í. Stuktur

tersebut terdiri dari beberapa lembaga yang mengelola komunitas Bahá‟í

(Momen, 1997:76).

Struktur-struktur administrasi Bahá‟í sangatlah penting karena kepercayaan

Bahá‟í tidak mempunyai pemimpin atau pemuka agama. Bahá‟u‟lláh telah

menegaskan bahwa pemimpin dan pemuka agama ialah model yang sudah

usang ketika mayoritas masyarakat buta huruf dan membutuhkan bimbingan.

Hari ini (menurut Bahá‟u‟lláh) manusia telah memiliki kemampuan untuk

membawa pendidikan dan literasi untuk seluruh manusia. Sangatlah mungkin

untuk semua orang membaca „Kitab Suci‟ mereka sendiri dan hadir pada

pemahaman mereka untuk mereka sendiri. Bahá‟u‟lláh akhirnya mengakhiri

dan menghapus konsep „ke-ulamaan‟ dan „kepemimpinan agama‟. Di sisi lain,

institusi tersebut mengisi fungsi-fungsi pemuka agama atau pemimpin agama

59
seperti: the pastoral care (kepedulian ulama) dan pengelolaaan masyarakat

(Momen, 1997:76).

C. Struktur Administrasi Komunitas Bahá' í di Dunia

Agama Baha‟i merupakan agama non-otokratis. Ia tidak memiliki

kepemimpinan individual hirarkis yang menjadi otoritas keagamaan. Otoritas

Baha‟i hanya dimiliki oleh oleh Baha‟ullah dan keturunannya Abdul-Baha dan

Shogi Effendi melalui konsep perjanjian. Setelah nabi dan pimpinan spiritual

mereka wafat, tidak ada lagi otoritas keagamaan. Demikian pula tidak ada

keulamaan dan kependetaan yang memiliki otoritas penafsir kitab suci.

Ketiadaan otoritas maupun keulamaan ini dimaksudkan sebagai pengembalian

proses keberagamaan kepada masing-masing individu. Individu dalam agama

Baha‟i memiliki kebebasan untuk mengembangkan pemahaman keagamaan

berdasarkan akal pikiran dan pertumbuhan rohaninya sendiri. Yang terdapat

dalam agama Baha‟i hanya tata tertib dunia yang melingkupi suatu Adminstrasi

Baha‟i (Momen, 1997:76-77).

Administrasi Baha‟i adalah sistem organisasional yang bersifat melingkupi

umat, sebagai mekanisme penyaluran rahmat Tuhan. Secara ilustratif,

adminstrasi ini digambarkan seperti sistem perairan besar, dimana terdapat

sungai besar yang disalurkan oleh saluran besar mengalirkan air ke

persawahgan melalui selokan kecil. Sungai besar adalah Bimbingan Tuhan

yang menjadi sumber air ketuhanan bagi seluruh umat Baha‟i. Untuk

mengalirkan Bimbingan Tuhan, terdapat Aliran Besar berupa Balai Keadilan

60
sedunia pada level dunia. Balai Keadilan Sedunia (BKS) ini mengalirkan

Bimbingan Tuhan kepada Majelis Rohani Nasional (MRN) pada level negara,

yang kemudian mengalirkan Bimbingan Tuhan kepada Majelis Rohani

Setempat (MRS) di tingkat daerah-daerah (Fatheazam, 2009:103-139).

Komunitas Bahá‟í diatur secara baik oleh lembaga demokratis dalam tiga

tingkat hirarki. Tingkat pertama yaitu Majelis Rohani Setempat (MRS) yang

bertanggung jawab untuk semua urusan masyarakat Baha'i dalam suatu kota.

Pembatasannya mengikuti batasan teritorial setiap negara. MRS dibentuk

ketika ada jumlah umat Bahá‟í dalam suatu kota mencapai sembilan orang di

suatu kota. Dengan catatan, bahwa sembilan orang tersebut sudah mencapai

umur 21 tahun dan bertempat tinggal di kota tersebut. Maka, dengan segera

sembilan orang tersebut menempati posisi sebagai anggota MRS. Jika di suatu

kota umat Bahá‟í melebihi sembilan orang, maka harus dilakukan pemilihan

untuk menentukan siapa yang menempati posisi menjadi MRS. Pemilihan

terjadi setiap satu tahun sekali pada tanggal 21 April Masehi (atau 1 Ridván

dalam kalender Bahá‟í) (Warburg, 2006:7-11).

Tingkat kedua yaitu Majelis Rohani Nasional Bahá' í (MRN) yang berada

pada setiap ibu kota negara. Di tingkat nasional, komunitas Baha'i juga

melakukan pemilihan sembilan anggota MRN, pemilihan berlangsung pada

setiap satu tahun sekali melalui pemungutan suara oleh para delegasi dari total

populasi. Tingkat ketiga sekaligus yang paling tinggi kepemimpinan komunitas

Bahá‟í se-dunia adalah di tangan Balai Keadilan Sedunia (BKS) (Universal

House of Justice), diisi oleh sembilan orang yang dipilih dalam lima tahun

sekali oleh delegasi (hanya orang yang memenuhi syarat) di setiap negara.

61
Balai Keadilan Sedunia (BKS) memiliki otoritas keagamaan dan administrasi

tertinggi dalam agama Baha'i (Warburg, 2006:11).

Dengan demikian, BKS, MRN dan MRS merupakan sistem kelembagaan

Baha‟i, yang menghubungkan seluruh umat Baha‟i sedunia secara integral.

Hanya saja, pimpinan baik di BKS, MRN dan MRS bukan pimpinan pusat

yang memiliki otoritas kegamaan sebagaimana Paus di Vatikan, Dalailama

Tibet, atau Rais Am dalam Nahdlatul Ulama. Pimpinan-pimpinan dalam

lembaga tersebut hanya merupakan pimpinan koordinatif fungsional, biasanya

untuk memimpin musyawarah (Momen, 1997:76-77).

Hingga tahun 2001, telah terdapat 46 Majelis Rohani Nasional di Benua

Afrika, 43 di Amerika, 39 di asia, 17 di Australia dan 37 di benua Eropa. Total

terdapat 182 MRN di seluruh dunia. Semenetra itu terdapat 3.808 Majelis

Rohani Setempat di benua Afrika, 3.152 si Amerika, 2.948 di asia, 856 di

Australia dan 976 di benua Eropa. Total terdapat 11.740 MRS di dunia

(Nuhrison, 2015:135).

Secara umum, Majelis Rohani memiliki lima fungsi. Pertama, menciptakan

kesatuan, persahabatan, dan cinta diantara masyarakat. Menurut Ahura Mazda

“hal tersebut merupakan spirit yang bersumber dari Kitab-i-Aqdas”

(Wawancara, Ahura Mazda, Salah Satu Konselor Baha‟i Asia, Jakarta, 30 Juli

2016). Kedua, forum musyawarah antara umat dan anggota majelis. Ketiga,

forum komunikasi program dan keputusan antar majelis, Keempat, panitia

penyelenggara hari-hari besar, Kelima, otoritas pengesahan pernikahan antar

pemeluk Baha‟i (dan pernikahan umat Baha‟i dengan umat lain di luar Baha‟i).

Kemudian BKS mempunyai tambahan satu fungsi otoritas yang tidak dimiliki

62
majelis rohani, yakni perumusan hukum yang tidak ada di dalam kitab maupun

tulisan-tulisan suci Baha‟ullah. Dengan sifat dasar para anggota Majelis Rohani

tidak memiliki otoritas keagamaan, maka Majelis berfungsi sebagai lembaga

kolektif dan bukan pemimpin perorangan. Anggota-anggota Majelis harus

menjadi orang-orang yang dipercayai oleh yang Maha Pengasih diantara

manusia, diwajibkan bagi mereka untuk bermusyawarah bersama dan

memperhatikan kepentingan-kepentingan hamba-hamba Tuhan (Momen,

1997:76-77).

Fungsi dasar Majelis Rohani Setempat ialah menggelar Sembilan hari raya

umat Bahá‟í. Kegiatan Sembilan hari raya ini diselenggarakan pada awal bulan

di setiap bulan kalender Bahá‟í. Seluruh komunitas Bahá‟í harus dianjurkan

untuk menghadiri acara tersebut. Dan pertemuannya dibagi kedalam tiga

bagian. Pertama, bagian devotional (kebaktian atau ritual) di mana berisi doa-

doa dan pembacaan tulisan suci. Kedua, yaitu bagian administrative

(pengelolaan) pada pertemuan tersebut terkait urusan atau peristiwa-peristiwa

kepercayaan Bahá‟í setempat. bagian. Bagian kedua ini juga termasuk yang

paling penting karena adanya ruang konsultasi umum antar sesama umat Bahá‟í

yang hadir terkait permasalahan-permasalahan yang muncul dari para individu.

Ketiga, ramah-tamah sesama umat Baha‟i yang datang, seperti makan-makan

dan sebagainya. Biasanya pada komunitas Bahá‟í yang kecil, perayaan hari

raya diselenggarakan di rumah salah satu umat Bahá‟í, sedangkan makanan dan

sajian-sajiannya ditanggung oleh pemilik rumah (Momen, 1997:76-77).

63
D. Pelopor Masuknya Baha’i Ke Indonesia Dan Jakarta

„Pelopor‟ merupakan sebuah istilah untuk seseorang yang membawa pesan

untuk mengabarkan kedatangan Baha‟ullah dan zaman baru atas himbauan dari

pusat bimbingan Tuhan (Roumie, 1885:76). Di Indonesia, sejarah agama

Baha‟i dimulai oleh dua orang pelopor yang diutus Baha‟ullah. Sulayman Khan

Tunukabani (Jamal Effendi) yang berasal dari Iran berusia 65 tahun, dan

pemuda dari Iraq Sayyid Mustafa Rumi berusia 33 tahun. Dua orang tersebut

menginjakan kaki ke Indonesia pertama kali di Batavia (sekarang Jakarta)

tahun 1885 (Vries, 2007:23).

Jamal Effendi dipilih oleh Bahá‟u‟lláh pada awalnya untuk mengadakan

perjalanan ke India sekitar tahun 1875. Selain mengunjungi beberapa wilayah

di India, dia juga mengunjungi Sri Langka. Pada perjalanan-perjalanan

berikutnya, dia didampingi oleh Sayyid Mustafa Rumi termasuk kunjungan ke

Burma (Myanmar), pada tahun 1878 dan juga Penang (sekitar tahun 1883).

Pada sekitar tahun 1884-85, mereka meninggalkan usaha dagang mereka di

Burma dan kembali melakukan perjalanan ke India. Dari sini mereka

melanjutkan perjalanan ke Dacca (sekarang dikenal dengan nama Dhaka, ibu

kota Bangladesh), kemudian ke Bombay dan setelah tinggal di sana selama tiga

minggu, mereka pergi ke Madras (Bahai Indonesia, 19 April 2015).

Dari Madras, mereka berlayar ke Singapura ditemani dua orang pelayan

yaitu Shamsu‟d-Din dan Lapudoodoo dari Madras. Setelah mendapatkan ijin

untuk berkunjung ke Jawa, mereka tiba di Batavia (Jakarta), dimana mereka

ditempatkan di pemukiman Arab, Pakhojan. Mereka hanya diijinkan untuk

64
mengunjungi kota-kota pelabuhan di Indonesia oleh pemerintah Belanda. Dari

sini mereka berkunjung ke Surabaya, dan sepanjang garis pantai, mereka juga

singgah di pulau Bali dan kemudian Lombok (Bahai Indonesia, 19 April 2015).

Mereka kemudian melanjutkan perjalanannya ke Makassar. Dengan

menggunakan sebuah kapal kecil (sampan) mereka berlayar ke pelabuhan Pare-

Pare. Mereka disambut oleh Raja Fatta Aron Matwa Aran Raffan dan anak

perempuannya, Fatta Sima Tana. Dengan menggunakan sampan, mereka

melanjutkan perjalanan sepanjang sungai sampai mereka tiba dengan selamat

di Bone. Raja Bone merupakan seorang lelaki muda dan terpelajar, meminta

mereka untuk menyiapkan suatu buku panduan untuk administrasi kerajaan,

oleh karena itu Sayyid Mustafa Rumi menulisnya sejalan dengan ajaran-ajaran

Bahá‟i (Nuhrison, 2015:132). Masih dengan spirit yang sama ketika Bahá‟í

didirikan, ia hidup di tengah-tengah masyarakat yang carut-marut akan keadaan

politik, ekonomi dan sosial. Bahá‟í datang untuk memberikan persatuan di

dalam masyarakat. Dari waktu ke waktu, sehingga ia berhasil menanamkan

kepercayaan Bahá‟í sebagai gerakan keagamaan baru di Indonesia. Karena

batas kunjungan empat bulan yang secara tegas diberikan oleh Gubernur

Belanda di Makassar, mereka meninggalkan Sulawesi menuju ke Surabaya dan

kemudian kembali ke Batavia. Setelah itu kembali ke Singapura dan ke bagian-

bagian lain di Asia Tenggara (Bahai Indonesia, 19 April 2015). Penyebaran

agama Bahá‟í di Indonesia yang melalui asimilasi budaya terus menerus

mencapai pengikut hingga mereka memiliki Majelis Rohani Nasional Bahá‟í

(MRN) sebagai pusat administrasi dan pusat kegiatan keagamaan (Nuhrison,

2014:9).

65
Intensitas umat Baha‟i di Jakarta dimulai ketika para pelopor mendapatkan

himbauan dari Shoghi Effenfi, pada November 1949, untuk mengabarkan telah

dimulainya jaman baru (kedatangan Baha‟ullah) ke seluruh pelosok dunia,

tanpa terkecuali di Indonesia. Shoghi Effendi memberikan himbauan pada

MRN yang paling dekat dengan Indonesia bahwa akan sampai dua orang

pemuda dari belanda. Dua orang tersebut ialah Kapten H Buys dan J.P. de

Borst yang akan bekerjasama dengan MRN terdekat dalam penyebaran

kepercayaan Baha‟i di Indonesia. Pada April 1950, Rahman Delbasteh, salah

seorang relawan yang ditunjuk oleh MRN India atas himbauan Shoghi Effendi

untuk bekerja sama pun sampai di Jakarta. Tetapi, karena belum cukup untuk

membuat sebuah lembaga, pada Oktober 1950, Delbasteh mengirim surat

kepada MRN India untuk mengirimkan beberapa orang untuk memperluas

kegiatan di Indonesia. Akhirnya, pada September 1951, MRN Baha‟i India

mengirim beberapa keluarga Delbasteh diantaranya dua saudara kandungnya

dan satu sepupu yang bertujuan mendirikan Majelis Rohani di Jakarta sekaligus

majelis rohani pertama di Indonesia (Kesheh, 1991:15-16).

Tahun 1953, Shoghi Effendi mengumumkan sebuah rencana besar untuk

perluasan umat Baha‟i di dunia yang disebut sebagai „Ten Year Crusade‟.

Rencana global ini ditunjukan kepada 132 negara baru untuk membentuk

Majelis Rohani Nasional (MRN), Majelis Rohani Setempat (MRS), dan

meningkatkan pemeluk Baha‟i secara masif (Hatcher & Martin, 1885:69).

Pesan tersebut dikirim oleh Shoghi Effendi untuk kegiatan Asian

Intercontinental Teaching Conference yang diselenggarakan di New Delhi

pada Oktober 1953 (Effendi, 1970:212).

66
Indonesia akhirnya dibantu oleh lembaga Majelis di negara-negara

tetangga. MRN Baha‟i India, Pakistan dan Burma telah mengkonsolidasikan

umat Baha‟i Indonesia untuk membentuk Harizatu’l-Quds (a Baha’i Centre

and administrative headquarters) di Jakarta dan pusat penerjemahan sekaligus

publikasi literatur Baha‟i di Indonesia. MRN Baha‟i Australia dan New

Zealand membantu pembuatan kelompok kecil di Mentawai (Kesheh,

1991:17).

Himbauan atau rencana global tersebut disambut hangat oleh para dokter

dari Iran untuk migrasi ke Indonesia selain untuk menyebarkan agama Baha‟i,

mereka juga sebagai relawan medis pada tahun 1955. Menurut WHO (World

Health Organization) Sekitar 10-20 dokter umum datang ke Jakarta dan dengan

mudah membuat kontrak dengan pemerintah R.I. yang pada saat itu sangat

membutuhkan tenaga medis (WHO dikutip Kesheh, 1991:18).

Kedatangan mereka selain untuk kepentingan medis, mereka juga

berupaya mendirikan lembaga administratif di Jakarta, dan menyebarkan pesan

kedatangan Baha‟ullah kepada orang-orang di daerah sekitar di mana dia

tinggal. Sampai pada akhirnya mereka berhasil mendirikan Majelis Rohani

setempat (MRS) di Jakarta pada 21 April 1954. Di pimpin oleh Grosfeld

(seorang berdarah Belanda yang lama tinggal di Indonesia), Delbasteh sebagai

wakilnya, sedangkan 7 orang sisanya diantaranya sanak-saudara Delbasteh dan

beberapa dokter dari Iran. MRS Baha‟i Jakarta tercatan sebagai lembaga yang

legal pada 30 Oktober 1954. Sedangkan Harizatu’l-Quds yang berada di

Jakarta menjadi cikal-bakal terbentuknya Majelis Rohani Nasional Baha‟i

67
Indonesia dengan bantuan dana dari MRN Baha‟i India melalui Indian National

Found (Kesheh, 1991:18-19).

MRS Jakarta juga menjadi pusat lembaga Baha‟i se Asia tenggara. Jakarta

juga terpilih menjadi tempat tiga konferensi besar umat Baha‟i se Asia tenggara

tahun 1956-1958. Diantaranya Regional Teaching Conference of Southeast

Asia pada tanggal 15-18 Agustus 1956, Convention of the Baha’is of Southeast

Asia pada April 1957, dan Intercontinental Conference pada tahun 1958 yang

menjadikan Jakarta menjadi sebagai pusat administratif agama Baha‟i di Asia

Tenggara (Kesheh, 1991:20).

Tahun 1962, ada sekitar 15.000 umat Baha‟i di Indonesia yang tersebar di

berbagai daerah (The Baha‟i World, 1970:476). Namun kemunculan agama

Bahá‟í di Indonesia tidak semulus yang diperkirakan. Di era orde lama dan

orde baru dengan adanya keputusan presiden Ir. Soekarno No. 264/Tahun 1962

yang berisikan pelarangan atas tujuh organisasi termasuk Bahá‟í. Pelarangan

tersebut dikarenakan “tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia dan

menghambat penyelesaian revolusi, atau bertentangan dengan cita-cita

sosialisme Indonesia”, perkembangan agama Baha‟i mengalami hambatan

yang sangat serius dari pemerintah (Nuhrison, 2014:2). Setidaknya ada dua

faktor sehingga munculnya pelarangan tersebut. Pertama, adanya tekanan dari

muslim Indonesia sebagai mayoritas dari pertengahan sampai akhir 1950.

Kedua, tekanan bertambah dari kalangan nasionalis pada akhir 1950 sampai

1960 sebagai bentuk perlawanan revolusioner terhadap asing (Kesheh,

1991:33).

68
Era reformasi, presiden Indonesia ke-4 Abdurrahman Wahid mencabut

keputusan No. 264/Tahun 1962 tersebut. Karena dipandang sudah tidak sesuai

dengan semangat reformasi (Nuhrison, 2014:3). Meski pelarangan telah

dicabut, fakta kemudian menjelaskan bahwa komunitas Bahá‟í berada dalam

posisi yang dilematis. Di satu sisi mereka merupakan sebuah agama yang setara

dengan agama-agama lain di Indonesia. Di sisi lain, pelayanan negara terhadap

komunitas Bahá‟í masih belum maksimal. Hal tersebut ditandai tidak

tercantumnya kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) umat Bahá‟í,

tidak tersedianya pelajaran agama Bahá‟í di sekolah-sekolah, lahan kuburan,

serta pelayanan pernikahan oleh KUA (Nurish, 2012:172-182).

E. Konteks Sosial dan Kehidupan Baha’i di Jakarta

Semenjak dianggap sebagai agama yang berdiri sendiri oleh Kementerian

Agama RI tahun 2014, Bahá'í dalam berkehidupan belum mempunyai tempat

ibadah sampai hari ini di Indonesia. Komunitas Baha'i juga bersembahyang

seperti halnya agama lainnya. Sembahyang mereka dilakukan secara individu.

Sementara itu, Baha'i berpuasa selama periode tertentu menurut kalendernya.

Selain sembahyang wajib, adapula do'a dan yang disebut Tulisan Suci.

Keduanya disebutkan dianjurkan untuk dibaca dan dipelajari oleh umat Baha'i.

Disebutkan juga bahwa secara individu mereka membaca salah satu dari tiga

shalat wajib atau do'a untuk bacaan setiap hari sesuai ajaran Baha'u'llah

(Republika, 13 Agustus 2014).

Majelis Rohani Nasional Bahá‟í (MRN) berada di DKI Jakarta. Sama

seperti di negara-negara lain, bahwa MRN akan selalu ada di ibu kota setiap

negara. Salah satu ciri khas komunitas Bahá‟í adalah keanekaragamannya.

69
Komunitas Bahá‟í tidak membeda-bedakan suku, etnis dan ras. Mereka

tergabung menjadi satu dalam sebuah payung agama. bermacam-macam

profesi serta berbagai golongan sosial ekonomi semuanya bersatu demi

mengabdi kepada kemanusiaan. Dalam masyarakat Bahá‟í keanekaragaman

dihormati dan dihargai, dalam segala keanekaragamannya, masyarakat dapat

hidup bersatu dengan penuh kedamaian dan cinta. Tidak ada simbol-simbol

fisik, atau cara berpakaian dan atribut, yang membedakan umat Bahai secara

khusus (Bahai Indonesia, 19 April 2015).

Komunitas Bahá‟í selalu berupaya membangun masyarakat yang bersatu

tanpa ada ketimpangan antara pria dan wanita, ketimpangan ekonomi,

kekerasan dan perpecahan antara umat beragama lainnya. Menurut

pandangannya, tujuan-tujuan tersebut bisa dicapai dengan pendidikan. Oleh

karena itu, hari ini komunitas Bahá‟í di Jakarta maupun di dunia sedang

bekerja keras dalam menjalankan pendidikan untuk seluruh manusia melalui

Institut Ruhi (lembaga pendidikan komunitas Bahá‟í). Metode pendidikannya

tidak seperti yang dibayangkan dalam sekolah-sekolah sekarang. Komunitas

Bahá‟í mempunyai metode pengajarannya dan modul ajarnya sendiri.

Pendidikan bisa diikuti oleh seluruh manusia, tidak pandang etnis, suku, ras

atau agama (Balai Keadilan Sedunia, 2 Maret 2013).

Komunitas Bahá‟í di Jakarta sering melakukan kegiatan-kegiatan dalam

agenda hari raya agama Bahá‟í. Seperti hari Raya Naw-Ruz (hari raya umat

Bahá‟í dan tahun baru umat Bahá‟í) yang bertepatan tanggal 20 Maret tahun

2016 dirayakan salah satunya dirumah salah seorang penganut Bahá‟í daerah

70
Menteng, Jakarta Pusat. Acara tersebut dihadiri oleh komunitas Bahá‟í di

Jakarta dan teman-teman dari agama lain seperti Islam dan Kristen.

Gambar II.2. Hari Raya Baha’i (Nawruz)

Sumber: Observasi

Tanggal 20 April 2016, komunitas Bahá‟í di Jakarta melakukan pemilihan

anggota Majelis Rohani Setempat (MRS) di Jakarta. Semua komunitas Bahá‟í

di Jakarta berkumpul dan melakukan doa bersama dan kegiatan-kegiatan

lainnya dengan baik dan lancar. Sama dengan hari raya lainnya, komunitas

Bahá‟í merayakan dengan cara berkumpul bersama. Hari raya komunitas

Bahá‟í ditentukan oleh kalender sendiri (Tabel I.4.2.). Setidaknya ada sembilan

hari raya komunitas Bahá‟í dalam tabel I.4.1.

71
Tabel II.E.1. Hari Raya Baha’i
No. BAHÁ’Í HOLY DAYS

1. Naw-Rúz (New Year) 21 March

2. Ridván first day 21 April

3. Ridván ninth day 29 April

4. Ridván twelfth day 2 May

5. The Báb‟s declaration of his mission 23 May

6. Passing of Bahá‟u‟lláh 29 May

7. Martyrdom of the Báb 9 July

8. Birth of the Báb 20 October

9. Birth of Bahá‟u‟lláh 12 November

Sumber: Momen (1997:84), The Baha’i Faith

72
Tabel II.E.2. Bulan dalam Penanggalan Kalender Bahai
No. MONTHS OF THE BAHÁ’Í YEAR

1. Bahá 21 March

2. Jalál 9 April

3. Jamál 28 April

4. Azamat 17 May

5. Núr 5 June

6. Rahmat 24 June

7. Kalimát 13 July

8. Kamál 1 August

9. Asmá‟ 20 August

10. „Izzat 8 September

11. Mashíyyat 27 September

12. Ilm 16 October

13. Qudrat 4 November

14. Qawl 23 November

15. Masá‟il 12 December

16. Sharaf 31 December

17. Sultán 19 January

18. Mulk 7 February

19. „Alá‟ 2 March

Sumber: Momen (1997:83) The Baha’i Faith

73
F. Kegiatan Inti Masyarakat Baha’i

Gagasan persatuan umat manusia, perdamaian dunia, kesetaraan dan

kesejahteraan diartikulasikan dalam 4 kegiatan inti masyarakat Baha‟i. 4

Kegiatan inti ini sebuah aktifitas yang memang diselenggarakan atau dipelopori

oleh masyarakat Baha‟i di seluruh dunia. Pada prinsipnya kegiatan ini

berorientasi pada persatuan, perdamaian, dan kesejahteraan umat manusia, oleh

karenanya kegiatan ini terbuka untuk seluruh umat manusia. Berikut ialah

penjelasan ringkas tentang 4 kegiatan inti.

F.1. Doa Bersama

Berdoa ialah wajib hukumnya dalam agama Baha‟i. karena berdoa ialah

makanan roh untuk memperkuat rohani. Oleh karenanya pertemuan-pertemuan

Baha‟i selalu dimulai dan ditutup dengan melakukan dengan doa. Mereka satu

persatu bergiliran melantunkan dan membacakan ayat suci dengan indah dan

caranya masing-masing (Fathea‟zam, 2009:163-164).

Doa bersama ialah manifestasi dari tradisi tersebut, hanya saja kegiatan

rohani masyarakat Baha‟i ini bisa melibatkan seluruh umat manusia untuk

berkumpul dan berdoa bersama. Walaupun berbeda latar belakang agama,

etnis, suku, budaya, bahasa, mereka tetap berdoa menurut kepercayaan dan

metodenya masing-masing. Tidak ada waktu khusus dalam kegiatan doa

bersama, waktu dan tempat bisa kapan saja dan di mana saja. Begitupun ayat

suci yang dibaca, tidak ada ayat khusus untuk dibaca (kecuali ada permintaan

dan kejadian khusus, seperti doa untuk kesehatan karena sanak keluarga sedang

sakit, atau doa kemudahan untuk sanak saudara yang memiliki hajat).

74
Apabila ada umat selain Baha‟i menghadiri kegiatan doa bersama,

mereka dipersilahkan untuk membaca ayat sucinya masing-masing. Tidak ada

paksaan ataupun melecekan sesama agama dalam kegiatan ini. Kegiatan doa

bersama ini dilakukan secara bergiliran satu per satu dengan tradisi dan caranya

masing-masing. Serta menggunakan bahasa apapun yang diyakini oleh para

partisipan. Biasanya umat Baha‟i membaca doa (ayat suci) dengan lantunan

alat musik, atau seperti membaca puisi. Ada yang membaca teks, atau pun

menghafal. Di jakarta, ada yang membaca doa dengan bahasa Inggris, Persia,

Arab, maupun Indonesia. Tidak ada aturan yang kaku dalam kegiatan ini,

hanya saja pembacaan doa musti bergantian dan berurutan satu persatu

(Observasi, 6 Agustus 2016). Kegiatan ini dilakukan oleh seluruh umat Baha‟i

di dunia, dan terbuka untuk seluruh umat manusia (Fathea‟zam,2009:165).

F.2. Rangkaian Pendidikan Baha’i

Rangkaian pendidikan ini terbagi 3 dan menjadi bagian dari 4 kegiatan inti

dengan „doa bersama‟. Metode rangkaian pendidikan ini ada pada tahun 1996,

menurut Gita Marniza (umat Baha‟i) “....dengan melakukan trial and error

selama kurang lebih 20 tahun di berbagai negara dengan cara yang berbeda-

beda” (Wawancara, Gita Marniza, mantan anggota Majelis Rohani Setempat

Baha‟i Jakarta. LBH, 3 Agustus 2016). Akhirnya pada awal 90-an, metode

yang paling menonjol ialah metode dari Kolombia, hingga akhirnya tahun 1996

BKS mengadopsi metode pendidikan tersebut dan diterapkan diseluruh dunia.

Menurut Hamed Ja‟far (umat Baha‟i dan salah satu Animator) pendidikan

ini dibuat berjenjang yaitu; (1) Kelas Anak mulai dari 10 tahun ke bawah,

75
kemudian (2) kelopok belajar dari umur 11 tahun sampai 15 tahun, dan (3)

kelompok belajar dengan usia di atas 16 tahun (Wawancara, Hamed Ja‟far,

salah satu Animator. Jakarta, 25 Juli 2016). Kegiatan ini diikuti oleh

masyarakat luas di luar Baha‟i. Rangkaian pendidikan ini membutuhkan

keterlibatan seluruh masyarakat karena rangkaian ini merupakan manifestasi

dari cita-cita persatuan, perdamaian, kesetaraan dan kesejahteraan umat

manusia. Oleh karenanya, dengan tergabungnya masyarakat dalam kegiatan

dan aktifitas ini, persatuan, perdamaian dan kesejahteraan ummat manusia ialah

keniscayaan. Tidak ada waktu dan tempat khusus dalam berjalannya kegiatan

ini. Artinya bisa dilaksanakan kapan saja dan dimana saja. Program atau

kegiatan ini sudah berjalan di seluruh dunia. Sedangkan output dari kegiatan ini

ialah proyek sosial dan ekonomi. Sosial merujuk pada kondisi pembangunan

masyarakat seperti kesehatan, kebersihan lingkungan, kesadaran praksis dalam

kesehari-harian. Sedangkan proyek ekonomi merujuk kepada kesejahteraan

masyarakat sekitar seperti pembangunan kooperasi atau bank masyarakat yang

dibangun bedasarkan asas persatuan dan kesetaraan.

a. Kelas Anak

Kelas anak yaitu sebuah model pendidikan yang berbeda dari konsep

pendidikan konvensional di Indonesia. Pendidikan ini bertujuan untuk

menggali mutiara-mutiara yang ada dalam diri manusia sejak dini. Dengan

seorang guru sebagai fasilitator dalam berjalannya kegiatan dan anak-anak

yang idealnya sekitar 5 sampai 10 orang. Pembelajarannya tidak satu arah,

tidak menggurui dan mendominasi. Ada serangkaian modul ajar yang

diterbitkan oleh Balai Keadilan Sedunia (BKS) yang diterjemahkan ke dalam

76
berbagai bahasa sebagai bahan diskusi. Modulnya bersumber dari tulisan-

tulisan suci Baha‟ullah dan prinsip-prinsip ajaran Baha‟i tentang persatuan,

perdamaian, kesetaraan dan kesejahteraan. Partisipan dari kelas anak terbuka

umum (tidak hanya umat Baha‟i).

b. Kelompok Remaja

Rangkaian lanjutan dari kelas anak berikutnya ialah kelompok remaja.

Kegiatan ini juga mendiskusikan beberapa buku khusus remaja yang terdiri dari

beberapa rangkaian. Kegiatan ini difasilitasi oleh seorang Animator dalam

berjalannya kegiatan. Proses diskusinya sama, tidak ada yang menggurui dan

diskusi berjalan dari segala arah. Kegiatan ini dimulai dari umur 11 tahun

sampai 15 tahun. Ketika seorang anak yang mengikuti kelas anak, dan dalam

prosesnya diskusinya belum menyelesaikan serangkaian buku, namun umur

mereka sudah melampaui 10 tahun, berarti mereka juga dapat mempelajari

buku remaja tahap 1.

c. Kelompok Belajar

Menurut Daryush Asytar (umat Baha‟i dan Animator) kelompok belajar

ialah sebutan dari rangkaian terakhir pendidikan di atas umur 16 tahun.

Difasilitasi oleh seorang tutor dalam berjalannya diskusi. Sebagaimana

rangkaian pendidikan yang lain bahwa tidak ada dominasi dari seorang tutor,

melainkan semua melakukan proses belajar tak terkecuali seorang tutor.

Rangkaian terakhir ini memiliki 9 modul ajar. Kelompok belajar ini memiliki

peran yang cukup penting, salah satunya menciptakan sumberdaya fasilitator.

Seorang guru dalam kelas anak idealnya ialah seseorang yang telah

77
mempelajari buku 1 dalam kelompok belajar. Begitupun seorang animator

idealnya yang telah mempelajari buku 5, dan seorang tutor ialah seseorang

yang telah mempelajari buku 7. Tetapi, hal tersebut bukanlah aturan yang baku.

Artinya, itu merupakan keadaal yang ideal. Namun pada kondisi tertentu bisa

lentur. Misal, ada sekelompok muda-mudi yang ingin membentuk kelompok

belajar tetapi tidak ada sumberdaya tutor yang telah mempelajari buku 7.

Kondisi ini bisa ditoleransi bahwa seseorang yang telah mempelajari buku 1

dalam kelompok belajar bisa memfasilitasi kelompok yang baru terbentuk

tersebut untuk mendiskusikan buku 1 karena seseorang tersebut dianggap telah

mempelajari konten isi buku tersebut (Wawancara, Daryush Asytar, salah satu

Animator remaja. Jakarta, 30 Juli 2016).

78
BAB III

STRATEGI BERTAHAN KOMUNITAS BAHA’I DI JAKARTA

DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

A. Jaringan Sosial Sebagai Strategi Bertahan dan Perkembangan

Komunitas Baha’i Di Jakarta

Strategi bertahan dan perkembangan komunitas Baha‟i di Jakarta dalam

penelitian ini harus dilihat melalui upaya komunitas Baha‟i dalam memobilisasi

sumber daya, dan merekrut partisipan maupun simpatisan untuk terlibat dalam

kegiatan-kegiatan yang diselenggarakannya. Pada gilirannya, upaya tersebut

memberikan sebuah pola bertahan gerakan dan berkembangnya komunitas Baha‟i

di Jakarta. Oleh sebab itu, upaya mobilisasi dan rekrutmen komunitas Baha‟i di

Jakarta harus terlebih dahulu dianalisis melalui mekanisme atau proses kerja dari

jaringan, dan memahami proses pengembangan jaringan tersebut dalam struktur-

struktur sosial sebagai kebutuhan rekrutmen yang lebih luas yang merupakan

upaya dalam bertahan dan berkembang.

Jalur-jalur rekrutmen digunakan bedasarkan corak jaringan atau jalur

keterlibatan pada konteks mobilisasi yang berbeda-beda. Bongkar pasang strategi

terjadi disebabkan adanya perbedaan kondisi struktur-struktur jaringan sosial yang

menjadikan self-organization dari komunitas Baha‟i harus beradaptasi.

Mekanisme atau self-organization tersebut selalu beririsan erat dengan pola

bertahan dan berkembangnya komunitas Baha‟i di Jakarta. Pembagian jaringan

79
bedasarkan jalur-jalurnya dibuat oleh peneliti guna mempermudah pembacaan

terhadap pola rekrutmen yang dilakukan oleh komunitas Baha‟i di Jakarta.

Setidaknya, kerangka analisis dala penelitian ini di bagi menjadi 2 dimensi.

Pertama, Dimensi Periodik membagi berbagai kegiatan bedasarkan periodenya.

Pembagiannya terdiri dari sebelum reformasi dan pasca reformasi. Selain itu,

pembagian ini memiliki kegiatannya masing masing yang dipengaruhi oleh

dinamika internal komunitas Baha‟i dan struktur sosial politik yang dinamis.

Dalam dimensi periodik ini, kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan komunitas

Baha‟i Jakarta mengambil jalur jaringan informal yang berbeda-beda sebagai

sarana mobilisasi partisipan.

Gambar III.3. Dimensi Periodik

DIMENSI PERIODIK

Sebelum Reformasi Pasca Reformasi

Kelompok Kelas
Belajar Anak
Jaringan
Doa Sosial Kelompok
Bersama Informal Remaja

Kelompok
Dewasa

Doa
Bersama

80
Dimensi kedua yaitu dimensi tematis yang membagi jaringan bedasarkan

peran dan fungsinya selain sebagai sarana utama dalam proses mobilisasi

partisipan. Setidaknya dimensi tematis ini terbagi menjadi 3: (1) Jaringan informal

dan penguatan komitment, (2) Jaringan lama dan Jaringan Baru, (3) Jaringan

prodictive dan unproductive.

Gambar. III.4. Dimensi Tematis

Dimensi Tematis

Jaringan Jaringan lama Jaringan


dan dan Jaringan productive
Komitmen Baru dan
unproductive

1. Jaringan Informal dan Mobilisasi Komunitas Baha’i Di Jakarta

Jaringan informal merupakan sebuah struktur mobilisasi sehari-hari yang

seringkali menjadi sarana keterlibatan seseorang dalam sebuah gerakan

(McCharty, 1996:141). Karena jaringan perlu dibangun bagi kelompok minoritas

seperti Baha‟i yang kemunculan dalam ruang publiknya rendah. Maka, jaringan

yang kuat merupakan sebuah prasyarat bagi kelompok tersebut untuk bertahan

dan berkembang (Passy, 2003:21). Oleh sebab itu, jaringan dalam kasus ini dilihat

dalam upaya komunitas Baha‟i memobilisasi partisipan ke dalam kegiatan-

kegiatan yang diselenggarakan pada konteks yang berbeda-beda.

81
1.1. Sebelum Reformasi

Kegiatan inti yang diselenggarakan komunitas Baha‟i era pelopor masih

terbagi menjadi dua yaitu, doa bersama dan belajar bersama. Ini merupakan

bentuk artikulasi komunitas Baha‟i sebagai upaya menuju cita-cita universal

(persatuan umat manusia, perdamaian dunia dan kesejahteraan masyarakat).

Tetapi, untuk melibatkan masyarakat dalam kegiatan inti tersebut memerlukan

proses sosiologis yang panjang. Artinya, keterlibatan partisipan ke dalam gerakan

agama bukan lah proses ilahiyah yang bersumber dari kekuatan Tuhan, melainkan

proses dari rutinitas interaksi antara aktor dan partisipan. Salah satunya para

pelopor menggunakan jaringan persahabatan dan tetangga untuk melibatkan

masyarakat dalam kegiatan inti tersebut.

Jaringan persahabatan dan tetangga ini menjadi pola yang umum semenjak

Baha‟i datang ke Jakarta, khususnya saat tahun 1950-an. Kedatangan mereka pada

waktu itu melalui para utusan dan para relawan medis yang singgah di Jakarta.

Mereka melakukan aktifitas sosial dilingkungan mereka tinggal, yaitu sekitar

daerah Tanah Abang, Jakarta Pusat tempat Rahman Delbasteh (umat Baha‟i)

tinggal. Setelah para dokter tersebut datang, mereka diperkenalkan ke Departemen

Kesehatan oleh Delbasteh. Pada gilirannya, para dokter ditempatkan ke daerah-

daerah pelosok Indonesia. Diantaranya menurut Murni (staf Majelis Rohani

Nasional Bahai), “....dr. Astani di Padang, dr. Muhajir di Mentawai, dr.

Sumandari di Aceh (kemudian pindah ke Bandung), dr. Soraya di Bojonegoro,

dan beberapa dokter lain seperti dr. Samimi, dr. Ma‟ani, dr. Hasbi di tempatkan

pada daerah-daerah tertinggal yang membutuhkan tenaga medis” (Wawancara,

82
Murni, Staf Majelis Rohani Nasional Baha‟i Indonesia. Jakarta, 4 Agustus 2016).

Menurut Aneta Gzifa (anak dari salah satu pelopor Baha‟i di Indonesia)

mengatakan bahwa “...hampir 99 persen para pelopor Baha‟i yang datang ke

Indonesia ialah seorang dokter” (Wawancara, Aneta Gzifa, anak salah satu

pelopor Baha‟i Indonesia. Ciputat, 10 Agustus 2016).

Menurut Bamshad Dastan (salah satu petinggi Majelis Rohani Nasional

Baha‟i Indonesia) “...mereka datang sebagai relawan untuk memberikan

pengobatan kepada seluruh masyarakat, tidak pandang suku, etnis dan agamanya.

Ini merupakan bagian dari pengabdian” (Wawancara, Bamshad Dastan, salah satu

petinggi Majelis Rohani Nasional Baha‟i Indonesia, Jakarta 25 Agustus 2016).

Menurut Devansha Mahila (salah satu Anggota MRN Baha‟i Indonesia):

Para dokter menyumbangkan tenaga apa yang mereka bisa bantu, penyuluhan
tentang kebersihan kah atau kesehatan. Jadi kan akhirnya berteman dan mereka
biasanya kagum ya melihat dokter. Pasien datang secara berkala selama proses
pengobatan berlangsung. Selain karena tempat para dokter Baha‟i dekat dengan
lingkungan masyarakat, mereka juga seringkali mendapatkan pengobatan gratis.
Beliau layani satu persatu dengan cinta kasih tanpa ada perbedaan. Terus mau
pulang dikasih obat. Terus kadang-kadang kalau mereka sakit keras enggak bisa
datang ke kliniknya, tengah malam dipanggil atau ditelpon atau ada yang datang
membawa surat, dia akan naik becak pergi ke desa itu tengah malam Jadi hal-hal
itu yang membuat orang akhirnya pelan-pelan jadi tertarik dan banyak yang
bertanya ke dokter Soraya „kok bapak bisa begini, kok dokter bisa begini
pengabdiannya ke masyarakat?‟ mau ngga mau dia berbagi keyakinan bahwa
Bahaullah menyatakan ini, itu, bahwa manusia adalah satu gitu, kesatuan umat
manusia (Wawancara, Devansha Mahila, salah satu anggota Majelis Rohani
Nasional Baha‟i Indonesia. Jakarta, 6 Agustus 2016).

Konteks pengobatan gratis dalam konteks ini diperjelas oleh Ahura Mazda

“sebagai kondisi yang memang masyarakatnya tidak mampu membayar”.

(Wawancara, Ahura Mazda, Salah satu Konselor Baha‟i Asia. Jakarta 30 Juli

2016).

83
Bahkan menurut Natalie Mobini-Kesheh (1991:27) tak jarang para relawan dokter

Baha‟i memberikan pendidikan gratis dan hadiah kepada pasien seperti, sabun dan

alat mandi yang pada waktu itu masih jarang (Kesheh, 1991:27). Konteks

pengobatan gratis dan pemberian hadiah yang dimaksud dalam konteks ini

diperjelas oleh Ahura Mazda “...merupakan kondisi yang memang masyarakatnya

tidak mampu membayar. Dan pemberian sabun, makanan dan lain-lain merupakan

keharusan untuk membantu penyembuhan karena masyarakat tidak mampu

membelinya” (Wawancara, Ahura Mazda, Salah satu Konselor Baha‟i Asia.

Jakarta 30 Juli 2016).

Karena proses interaksi yang berjalan rutin antara dokter dengan pasien,

tetangga dan lingkungan, sehingga di antara mereka terbangun tali inter-personal

atau tali persahabatan yang kuat. Hal ini diakui oleh Devashna Mahila (umat

Baha‟i) bahwa “persahabatan dan kasih sayang merupakan cara yang selalu

dilakukan umat Baha‟i di manapun mereka berada dalam bermasyarakat”

(Wawancara, Devashna Mahila, salah satu anggota Majelis Rohani Nasional

Baha‟i Indonesia. Jakarta, 6 Agustus 2016). Dalam konteks ini, pembangunan tali

persahabatan juga merupakan manifestasi dari nilai-nilai kehidupan masyarakat

Baha‟i secara umum di dunia, dan khususnya di Jakarta.

Pada gilirannya tali inter-personal tersebut bekerja dalam proses sosialisasi

nilai, akhlak dan ajaran Baha‟i. Prosesnya melalui berbagai macam cara. Ada

yang didahului karena masyarakat menanyakan secara detail maksud dari

kebaikan hati para pelopor Baha‟i, sehingga hal tersebut menjadi titik poin untuk

menjelaskan maksud dari kebaikan hati yang merupakan manifestasi ajaran-ajaran

84
agama Baha‟i. Tetapi secara tidak langsung bahwa hal tersebut telah menandakan

terjadinya proses sosialisasi melalui jaringan sosial atau tali sosial melalui

persahabatan ataupun kedekatan satu sama lain. Oleh karena itu juga, agama

Baha‟i era pelopor lebih banyak dikenal di kalangan para pasien atau tetangga dan

kerabat dekat dari pelopor tersebut.

Begitupun perluasan pemahaman tentang agama Baha‟i sebagai sebuah

komunitas pada saat itu kebanyakan menggunakan tali inter-personal. Artinya, tali

inter-personal lebih memfasilitasi komunitas Baha‟i untuk menyebarkan nilai,

tujuan dan ajarannya. Termasuk melibatkan para pasien (yang merupakan

tetangga) dalam kegiatan inti yang diselenggarakan oleh komunitas Baha‟i di

Jakarta pada saat itu, yaitu doa bersama dan belajar bersama.

Doa dan kegiatan belajar bersama di era pelopor diselenggarakan oleh

komunitas Baha‟i sebagai kegiatan yang melibatkan masyarakat Jakarta atau di

mana pun umat Baha‟i tinggal. Artinya, berbagai elemen masyarakat (lintas

agama, etnis, kelas dan identitas) di Jakarta tergabung dalam suatu kegiatan untuk

memenuhi kebutuhan rohani dan sebagai bagian dari proses terciptanya persatuan

umat manusia, kedamaian dunia dan kesejahteraan masyarakat.

Menurut Aneta Gzifa, kegiatan doa bersama itu dilakukan oleh dr. Astani

(salah satu pelopor Baha‟i Indonesia) setiap malam Jum‟at. Di mana orang-orang

yang berkumpul merupakan tetangga dan para pasien dari dr. Astani. Begitupun

kegiatan belajar dan doa bersama yang diselenggarakan oleh umat Baha‟i diikuti

oleh umat non-Baha‟i, dan mereka merupakan pasien dan para tetangga yang telah

85
mengenal Baha‟i dari para relawan dokter. Ada pula yang dari para tetangga

dimana ia tinggal (Wawancara, Aneta Gzifa, anak salah satu pelopor Baha‟i

Indonesia. Ciputat, 10 Agustus 2016).

Menurut pengalaman Gita Marniza (umat Baha‟i) menunjukan bahwa

perkenalan dia dengan Baha‟i difasilitasi oleh jaringan pertemanan dan tetangga:

Jadi saya kenal Baha‟i itu dari temennya Ibu Saya. Saya kenal memang dari usia 7
tahun. Jadi memang sudah terbiasa diajarin doa Baha‟i, doa Bersama. Terus
kemudian suka ada sekolah, kalau di kristen kaya sekolah minggu gitu kayak anak-
anak, jadi saya sering diajak kesitu. Tapi memutuskan untuk Baha‟i dijadikan
keyakinan saya sih sekitar 18-19 tahunan lah. Saya terlibat dalam proses kegiatan
pendidikannya. Tapi jaman dulu itu belum seorganize sekarang. Jadi paling kaya
tadi saya bilang, saya diajarin doa Baha‟i, diajak ke kelas anaknya (Wawancara,
Gita Marniza, mantan anggota Majelis Rohani Setempat Baha‟i Jakarta. LBH
Jakarta, 3 Agustus 2016).

Hal tersebut memberikan contoh bahwa struktur mobilisasi tetangga

dibangun melalui tali inter-personal antara umat Baha‟i dengan orang tua, pada

gilirannya, tali inter-personal tersebut menjadi sebuah sarana keterlibatan

seseorang anak maupun anggota keluarga lainnya untuk ikut berpartisipasi dalam

kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh komunitas Baha‟i. Dengan kata lain,

bahwa struktur lingkungan tetangga turut memfasilitasi keterlibatan anak dalam

kegiatan belajar anak yang diselenggarakan komunitas Baha‟i.

Keterlibatan masyarakat non-Baha‟i sebagai partisipan ialah proses

sosiologis di mana mereka melalui rutinitas interaksi yang panjang dan terus-

menerus dalam seting sosial, sehingga membentuk tali inter-personal sebagai

sarana sosialisasi yang pada gilirannya tali inter-personal memfasilitasi para aktor

(dalam hal ini umat Baha‟i) untuk mengajak masyarakat di Jakarta terlibat dalam

dua kegiatan inti. Partisipan yaitu merujuk pada individu yang mencurahkan

86
waktu, tenaga, dan sumber daya lainnya kepada gerakan yang ia geluti (Snow,

Zurcher, and Ekland-Olson, 1980:789). Partisipan dari kegiatan inti tersebut

merupakan para tetangga, rekan kerja, pasien yang juga merupakan tetangga para

pelopor, teman dari anak dan sebagainya. Mereka siap mencurahkan waktu setiap

minggu di malam jum‟at untuk terlibat dalam kegiatan doa bersama, tak jarang

pula kegiatan belajar dan doa bersama dilakukan dirumah partisipan.

1.2. Pasca Reformasi

Pasca reformasi, umat Baha‟i memperluas kegiatan inti yang melibatkan

masyarakat luas sebagai upaya menuju cita-cita universal. setidaknya ada 3 faktor

yang mempengaruhi kegiatan tersebut bisa terartikulasi di Jakarta. Pertama, ialah

faktor determinan yaitu BKS telah mengadopsi institut ruhi sebagai metode

pendidikan Baha‟i di seluruh dunia pada tahun 1996 (Wawancara, Ahura Mazda,

salah satu Konselor Baha‟i Asia. Jakarta, 30 Juli 2016). Kedua, karena dicabutnya

keputusan presiden Ir. Soekarno No. 264/Tahun 1962 oleh K.H. Abdurrahman

Wahid (Presiden RI ke-4) sehingga ruang gerak komunitas Baha‟i dapat lebih

bebas (Nuhrison, 2014:2). Ketiga, himbauan dari BKS kepada Baha‟i Indonesia

untuk membentuk Majelis Rohani Nasional, sehingga mereka bisa

mengaktualisasikan program ruhi tahun 2000-an lebih optimal (Wawancara, Nipa

Marvasti, salah satu koordinator animator remaja klaster Jakarta. Jakarta, 27 Juli

2016).

Kegiatan tersebut merupakan 4 kegiatan inti diantaranya, kelas anak,

kelompok remaja, kelompok belajar dewasa dan doa bersama. Menurut Bamshad

87
Dastan, “....Dalam ajaran komunitas Baha‟i kegiatan-kegiatan ini esensinya ialah

sama, yang berubah hanya bentuknya. Bahwa seluruh kegiatan ini merupakan

proses kedewasaan masyarakat menuju persatuan, kedamaian dan kesejahteraan”

(Wawancara, Bamshad Dastan, salah satu petinggi Majelis Rohani Nasional

Baha‟i Indonesia, Jakarta 25 Agustus 2016). Artinya, kegiatan ini berbeda secara

bentuk dan metode, namun esensi nya tetap kepada cita-cita universal. Akan tetapi

secara sosiologi, perubahan bentuk ini mempunyai dampak terhadap proses

mobilisasi dalam dinamika komunitas Baha‟i di Jakarta. Sebab, dalam 4 kegiatan

ini ada bermacam-macam cara kerja jaringan dalam proses sosialisasi dan

melibatkan seseorang ke dalam kegiatan. Seperti yang dikatakan Nipa Marvasti

(salah satu Koordinator Animator Remaja Klaster Jakarta):

Bahwa prinsipnya gini dimana saya berada saya akan mencoba berbagi, ya kalo
saya sedang bekerja, ya saya berbagi dengan teman kerja saya, ketika saya pulang
kerumah ya saya bersama orang rumah saya. Temen sekolah, temen kuliah ya itu
kan lingkungan saya juga. Jadi ya prinsipnya dimana saya berada ya disitu saya
harus berbagi. Dan yang menarik dari kelompok belajar institut ini adalah kita akan
bertemu dengan teman-teman kita sendiri (Wawancara, Nipa Marvasti, salah satu
koordinator animator remaja klaster Jakarta. Jakarta, 27 Juli 2016).

Artinya, semakin banyak identitas seseorang, akan semakin banyak tali inter-

personal yang akan tumbuh dalam seting sosial tertentu.

Keterlibatan seseorang yang disebut sebagai partisipan ini merupakan proses

dari mobilisasi yang difasilitasi oleh tali inter-personal atau jaringan sosial yang

lebih luas. Dalam konteks 4 kegiatan inti, tali inter-personal atau jaringan ini

mempunyai dominasinya masing-masing.

88
1.2.1. Kelas Anak, Jaringan Keluarga dan Pertemanan Orang Tua

Kelas anak memang muncul secara konsepsi dan diadopsi oleh masyarakat

Baha‟i sedunia pada tahun 1996. Di Indonesia baru melakukan kegiatan ini secara

optimal sekitar tahun 2000-an. Menurut Hamed Ja‟far, Kegiatan ini idealnya

membutuhkan 5 sampai 10 orang anak berusia dibawah 10 tahun. Kegiatan ini

mendiskusikan buku/modul yang sudah diterjemahkan oleh Majelis Rohani

Nasional Baha‟i Indonesia yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Buku dan modul untuk diskusi memang bersumber pada ajaran-ajaran agama

Baha‟i yang sifatnya universal (Wawancara, Hamed Ja‟far, salah satu Animator.

Jakarta, 25 Juli 2016).

Di Jakarta, ada beberapa kelas anak yang sudah terbentuk seperti di Jakarta

Pusat, Jakarta Selatan dan Jakarta Barat. Awalnya kegiatan kelas anak ini digeluti

oleh anak-anak Baha‟i sendiri. Menurut Nipa Marvasti “Karena kurikulum kelas

anak-anak memakai ajaran Baha‟i dan kelas ini diperuntukan untuk anak-anak

Baha‟i, tapi dibuka untuk umum” (Wawancara, Nipa Marvasti, salah satu

koordinator animator remaja klaster Jakarta. Jakarta, 27 Juli 2016). Jadi pada

dasarnya, keluarga merupakan sarana untuk memobilisasi seorang anak agar

berpartisipasi. Di mana anak-anak Baha‟i dimobilisasi untuk mengikuti kegiatan

kelas anak tersebut.

Kedua, keterlibatan seorang anak juga tidak melulu melalui keluarga Baha‟i.

Artinya, kegiatan ini terbuka untuk umum dan digeluti oleh anak non-Baha‟i.

keterlibatan anak non Baha‟i ini biasanya melalui jalur pertemanan di kalangan

89
orang tua atau jaringan tetangga dari orang tua. Menurut Daryush Asytar “kalau

anak dimulai dari orang tua. Orang tua teman atau saudara. Itu kita harus diskusi

dulu, penyamaan visi. Biasanya setelah sekali proses itu jadi, selanjutnya

gampang” (Wawancara, Daryush Asytar, salah satu Animator remaja. Jakarta, 30

Juli 2016).

Menurut Santi Amisha (salah satu anggota Hubungan Luar Baha‟i

Indonesia) yaitu:

Anak-anak yang terlibat dalam kelas anak biasanya kadang-kadang ibunya sudah
mengikuti buku. Tetapi karena tidak setiap ibu memiliki kemampuan bakat
mengajar yang berbeda, Dia gak berani di depan kelas misalnya. Dia mulai titipin
ke teman Baha‟i, ke kami atau apa. Tetapi dia kalau datang, dia harus tau bahwa
anaknya ini diajar tentang pendidikan moral dengan Baha‟i style. Semua yang
seusia di bawah dewasa, entah anak-anak dan remaja, harus sepengetahuan orang
tua. Harus ada trust (Wawancara, Santi Amisha, salah satu anggota hubungan luar
Baha‟i Indonesia. Jakarta, 2 Agustus 2016)

Serupa dengan Santi Amisha dan Daryush Asytar, selanjutnya menurut Gita

Marniza:

Keterlibatan seorang anak biasanya pintu masuknya lewat orang tua. Jadi rata-rata
sih temen yang sudah berpengalaman itu orang tuanya ikut ruhi, kemudian karena
di dalam suatu keluarganya itu ada anak yang usia nya remaja dan yang anak-anak
(menurut kategori Baha‟i). Karena dia sudah tau materinya sendiri terlebih dahulu,
terus kalau kita tawarkan program, yaudah mereka mengirimkan anak mereka
(Wawancara, Gita Marniza, mantan anggota MRS Jakarta Pusat. LBH Jakarta, 3
Agustus 2016).

Devansha Mahila juga mengutarakan hal yang serupa:

Kelas anak bisa melalui orang tuanya, jadi kita selalu libatkan orang tua. Kelas
anak tidak boleh kalau orang tuanya tidak terlibat. Orang tuanya tidak duduk, tidak
hanya menyaksikan apa yang anaknya pelajari, jadi orang tua akan diundang. Jadi
kalo ada kelas cooking atau memasak gitu, atau membuat apa jadi kita minta
kontribusi orang tuanya juga “ibu mau ngajarin apa hari ini”, atau ganti-gantian
paling enggak harus ada dua orang tua. Jadi orang tuanya tertarik terus bilang “ibu
saya mau bikin kelompok anak sendiri, gimana ?”, nah nanti orang tuanya kita
bantu, begitu (Wawancara, Devansha Mahila, salah satu anggota Majelis Rohani
Baha‟i Indonesia. Jakarta, 6 Agustus 2016).

90
Jaringan pertemanan yang dibentuk melalui tali inter-personal dengan orang

tua anak merupakan hal yang penting guna memfasilitasi seorang anak untuk

terlibat menjadi partisipan dalam kegiatan kelas anak. Karena tanpa jaringan yang

dibangun dengan orang tua, seorang anak-anak tidak mungkin terlibat menjadi

seorang partisipan. Hal tersebut disebabkan karena hubungan antara negara

dengan masyarakat melalui undang-undang No. 35 tahun 2014 (perubahan atas

undang-undang No. 23 tahun 2002) tentang perlindungan anak (Undang-undang

Republik Indonesia, 2014). Pada gilirannya, hubungan antara negara dengan

masyarakat ini mempengaruhi pola interaksi antara orang tua dan anak.

Konsekuensi logisnya bahwa keputusan seorang anak untuk terlibat atau tidak

akan dipreferensikan kepada orangnya.

Begitupun interaksi dan proses mobilisasi anak-anak ke dalam kegiatan

kelas anak terbentuk bedasarkan konsekuensi logis dari hubungan regulasional

antara negara dengan masyarakat. Hal ini diutarakan oleh Devansha Mahila

bahwa “Anak-anak dari usia 0 sampai 18 tahun berada dalam bimbingan orang

tua. Jadi kita sekarang di Indonesia ini enggak mungkin akan adanya kelas anak

dari masyarakat setempat kalau orang tuanya tidak mengijinkan” (Wawancara,

Devansha Mahila, salah satu anggota Majelis Rohani Nasional Baha‟i Indonesia.

Jakarta 6 Agustus 2016).

Jadi, bahwa partisipasi anak difasilitasi oleh jaringan keluarga/pertemanan

orang tua merupakan faktor determinan karena adanya hubungan regulasional

tersebut. Tetapi perlu diperhatikan bahwa orang tua/keluarga dalam kasus ini

harus melalui proses sosialisasi terlebih dahulu agar orang tua/keluarga

91
memahami dan mengenal program ruhi atau kegiatan inti tersebut. Artinya, orang

tua juga merupakan individu yang sebelumnya sudah tersosialisasi dengan baik

nilai-nilai dan tujuan program kelas anak tersebut melalui tali inter-personal.

Proses sosialisasi ini perlu dilakukan apabila orang tua belum mengetahui

program kelas anak tersebut. Menurut Nipa Marvasti “program kelas anak harus

disampaikan sejelas-jelasnya. Karena kurikulum kelas anak-anak memakai ajaran

Baha‟i dan kelas ini diperuntukan untuk anak-anak Baha‟i, tapi dibuka untuk

umum” (Wawancara, Nipa Marvasti, salah satu koordinator animator remaja

klaster Jakarta. Jakarta, 27 Juli 2016). Jadi pada dasarnya, jaringan keluarga yang

dibangun melalui orang tua merupakan jalur utama seorang anak untuk

berpartisipasi. Sedangkan jaringan orang tua tersebut dibangun bedasarkan proses

interaksi rutin antara umat Baha‟i dengan orang tua karena berada dalam seting

sosial yang sama.

1.2.2. Kelompok Remaja, Struktur Jaringan Keluarga Dan

Pertemanan

Kelompok remaja merupakan kegiatan belajar pasca anak-anak yang

merupakan serangkaian kegiatan pendidikan yang diselenggarakan komunitas

Baha‟i atau salah satu dari 4 kegiatan inti. Kelompok remaja diikuti oleh individu

berusia 11 sampai 15 tahun. Kelompok remaja dalam proses pembentukan dan

proses mobilisasi para remaja melalui berbagai macam saluran. Keterlibatan

remaja menurut pengalaman Ahura Mazda “Melalui pertemanan, kelompok

92
bermain, dan saudara/keluarga. Di seluruh dunia persis sama, walaupun di tempat

lain ada yang ketemu dengan kepala desanya dan kepala rumah tangga, „wah iya,

semua remaja saya harus ikut‟” (Wawancara, Ahura Mazda, salah satu Konselor

Baha‟i di Asia. Jakarta, 30 Juli 2016).

Artinya, keterlibatan remaja menjadi seorang partisipan bisa melalui

berbagai cara, seperti kelompok pertemanan, kelompok bermain, saudara,

keluarga atau bahkan struktur-struktur lingkungan. Jaringan-jaringan ini yang

pada gilirannya memfasilitasi para remaja untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan

belajar remaja yang diselenggarakan komunitas Baha‟i di Jakarta. Para remaja

dalam kasus ini merupakan individu-individu yang memang sebelumnya telah

melakukan interaksi rutin dengan umat Baha‟i atau seseorang dari struktur

keluarganya telah mengenal Baha‟i, karena memang mereka memiliki habitat atau

lingkup sosial yang sama. Dengan kata lain mereka hidup dalam seting sosial

bersama.

Proses mobilisasi untuk melibatkan seseorang ke dalam gerakan (4 kegiatan

inti) ini memang ditujukan pada individu yang sudah memiliki tali inter-personal

kuat dengan umat Baha‟i. Ajakan untuk melibatkan diri tidak serta-merta secara

dibuka begitu saja, tetapi jalur mobilisasi harus melalui pembentukan tali inter-

personal yang kuat terlebih dahulu. Hal ini yang merupakan struktur mobilisasi

untuk melibatkan remaja ke dalam kegiatan yang diselenggarakan Baha‟i.

Menurut pengalaman Devansha Mahila:

Kalau saya sih biasanya melalui persahabatan ya dan cinta kasih yang tulus. Jadi
kita enggak bisa yang saya bilang bujukan atau tipu muslihat. Jadi biasanya teman-
teman yang tulus, yang udah kenal, lama-lama kan mereka bertanya, ya namanya

93
kan kawan ya sahabat, mereka juga ingin tau agamanya apa, ya kita berbagi saja
dan kita juga bisa bilang bahwa ini ada program ruhi. Intinya memang kita belajar
bersama dengan siapa pun yang memang minat dan mereka yang tertarik biasanya
mereka ikut. Jadi gitu, caranya memang melalui persahabatan. Kita dengan tulus
terus mereka juga pasti ke tetangga kita yang memang dekat atau teman sekolah,
teman kuliah, kolega di kantor gitu kan biasa kalau orang setiap hari ketemu kan
dia akan tanya agamamu apa, ya kita sharing kan kalo udah lama-lama akrab kan
mereka juga akan berbagi inti dari agama mereka apa (Wawancara, Devasha
Mahila, salah satu anggota Majelis Rohani Baha‟i Indonesia. Jakarta, 6 Agustus
2016).

Dalam proses mobilisasi, setidaknya ada 3 jalur bagi para remaja untuk

menjadi partisipan gerakan. Dua jaringan pertama yaitu (1) jaringan keluarga dan

(2) jaringan pertemanan orang tua. Sama seperti proses keterlibatan seorang anak

sebelumnya, bahwa jaringan keluarga dan jaringan pertemanan dikalangan orang

tua ini patut diberikan perhatian. Jaringan ini menjadi sarana mobilisasi di

kalangan remaja untuk terlibat dalam kegiatan belajar remaja yang diselengarakan

komunitas Baha‟i di Jakarta. Pertama, jaringan keluarga memfasilitasi anggota

dari sruktur keluarga, khususnya anak remajanya untuk terlibat. Jaringan keluarga

juga menjadi sarana mobilisasi sanak saudaranya seperti keponakan, sepupu dan

lain-lain.

Kedua, Jaringan pertemanan orang tua ini terbentuk bedasarkan tali inter-

personal antara orang tua dengan umat Baha‟i karena mereka tinggal dalam seting

sosial yang tertentu (tetangga, teman kerja, kolega dan lain-lain). Pada gilirannya,

para orang tua memfasilitasi anaknya, saudaranya keponakannya atau anggota

dalam struktur keluarganya yang masih remaja untuk terlibat dalam kegiatan

belajar remaja yang diselenggarakan oleh komunitas Baha‟i di Jakarta.

Pola mobilisasi melalui jaringan keluarga dan jaringan pertemanan orang tua

ini merupakan salah satu basis struktur kehidupan sehari-hari dari kalangan orang

94
tua. Kemudian, hubungan orang tua dengan anak remajanya memiliki pertalian

kekeluargaan yang erat. Hubungan tersebut patut diperhatikan karena

pengambilan keputusan untuk terlibat atau tidaknya seorang remaja sama halnya

seperti kasus anak-anak, bahwa mereka akan mempreferensikan keputusannya

kepada orang tua. Oleh karena itu, jaringan atau tali inter-personal antara umat

Baha‟i dengan orang tua sangat penting.

Ketiga, jaringan pertemanan remaja. Menurut pendapat dan pengalaman

Gita Marniza yaitu:

Biasanya sih natural saja. rata-rata natural. Maksudnya kayak gini. Saya berteman
dengan anda. Saya punya kegiatan nih misalnya setiap hari tertentu, doa bersama
kah, atau macam-macam lah. Atau proyek remaja itu ya paling kita ajak. Jadi
natural aja. Jadi biasanya si teman itu responsif. Kalau mereka tertarik bisa ikut
terus, kalau mereka sekedar ingin tahu ya udah. Ada juga kan orang yang sekedar
ingin tahu ya udah cuman sekali-dua kali (Wawancara, Gita Marniza, mantan
anggota MRS Jakarta Pusat. LBH Jakarta, 3 Agustus 2016).

Kasus Gita memperlihatkan bahwa jaringan pertemanan remaja dengan teman-

teman Baha‟i merupakan sebuah sarana mobilisasi yang memfasilitasi keterlibatan

para remaja dalam kegiatan pendidikan yang diselenggarakan komunitas Baha‟i

Jakarta. Tali pertemanan ataupun persahabatan remaja juga patut diberikan

perhatian dalam struktur mobilisasi para remaja. Prosesnya menurut Nipa

Marvasti “...kita bangun percakapan dengan diskusi musyawarah, termasuk kita

dalam konteks bersahabat, karena aku merasa bahwa prinsipnya itu ya kita yakin

kalo udah sahabat itu ya lega. Jadi mungkin titiknya ada disitu dulu saya harus

bersahabat dengan masyarakat”(Wawancara, Nipa Marvasti, salah satu

koordinator Animator remaja klaster Jakarta. Jakarta, 27 Juli 2016).

95
Tetapi patut diperhatikan, bahwa dalam kasus jaringan pertemanan remaja

ini masih perlu legitimasi dari orang tua. Masih dalam konteks yang sama dengan

kasus kelas anak bahwa hubungan regulasional antara negara melalui undang-

undang perlindungan anak dengan masyarakat yang terikat sebagai warganya

membentuk sebuah relasi yang tertutup dalam pengambilan keputusan terhadap

sang anak. Artinya, keputusan anak atau remaja di bawah 18 tahun masih dalam

pengawasan orang tua/wali. Dengan begitu proses melibatkan seorang remaja juga

diperlukan pendekatan terhadap orang tuanya. Menurut pengalaman Devansha

Mahila yaitu:

Di remaja juga orang tuanya yang kita approach, enggak bisa kalo enggak. Jadi
kalau biasanya kan kalo diremaja sama remaja berteman kaya si Dini, dia berteman
dan “aku ikut dong, aku ingin program remaja”, nah itu kan sangat menarik.
Mereka bikin proyek-proyek untuk remaja, program remaja ruhi memang sangat
menarik. Nah kalau mereka tertarik kita bilang “kita harus bicara dengan orang tua
kamu dulu”, nah terus langsung kita ke orang tuanya, menjelaskan materi, semua
orang tuanya lihat, beri mereka waktu dan kalau orang tuanya bilang “tidak”, tidak
mungkin anak remaja itu akan bergabung tapi kalau orang tua mengijinkan maka
remaja itu akan bergabung. Biasanya yang approach itu animator terus animator
biasanya ajak juga si orang tua dari animator. Kadang-kadang kalo perlu approach
ke orang tua yaa saya ikut. Kita kasih lihat buku-buku, video-video tentang proyek-
proyek yang sedang dilakukan. Jadi orang tua biasanya sangat terkesan daripada
anak-anaknya itu narkoba atau bahasa-bahasa yang kotor, mereka jadi bangga
anak-anaknya itu berubah terus disekolah juga nilainya jadi bagus (Wawancara,
Devansha Mahila, salah satu anggota Majelis Rohani Nasional Baha‟i Indonesia.
Jakarta, 6 Agustus 2016)

Oleh sebab itu, tali pertemanan di kalangan remaja perlu dilegitimasi dengan tali

inter-personal orang tua/wali sebagai konsekuensi logis dari hubungan

regulasional antara negara (melalui undang-undang) dengan masyarakat sebagai

warga negara.

Pembentukan jaringan pertemanan di kalangan remaja dengan umat Baha‟i

dikarenakan adanya seting sosial tertentu (biasanya karena bertetangga) sehingga

96
mereka bisa melakukan interaksi yang cukup sering sebagai bagian dari rutinitas

sehari-hari. Menurut pengalaman Ahura Mazda:

Dulu juga rumah kita itu kan sering orang datang bermain. Tetangga-tetangga itu
banyak. Terus orang tuanya diajak duduk bersama, diskusi tentang program ruhi.
Jadi animatornya berkunjung ke orang-orang tua itu, membahas mengenai konsepsi
ini, menjelaskan tujuannya. Pada saat yang sama bicara juga dengan remaja-remaja
yang ada itu, untuk membangun bagaimana supaya 4 tahun ke depan itu kita punya
kelompok yang kita bisa diskusi secara rutin. Mereka itu bukan orang Baha‟i saja.
Jadi main-main ngumpul. Akhirnya terbentuk kelompok remaja (Wawancara,
Ahura Mazda, salah satu Konselor Baha‟i Asia. Jakarta, 30 Juli 2016)

Seluruh proses keterlibatan anak maupun remaja untuk berpartisipasi ke

dalam 4 kegiatan inti yang diselenggarakan komunitas Baha‟i yang sudah

dijelaskan sebelumnya yaitu menggunakan private channels – face to face yang

menurut Snow, Zurcher, Olson (1980:790) merupakan pola rekrutmen dengan

mengajak langsung seseorang yang sudah dikenal salah satunya dengan cara tatap

muka atau door to door, karena memiliki tali inter-personal yang kuat.

Salah satu bentuk keakraban Lakshmi Sita (salah satu anggota hubungan

luar Baha‟i Indonesia) saat menjadi animator dengan partisipan kelompok remaja

yang menunjukan pentingnya tali persahabatan dan pendekatan kepada orang tua

dalam proses mobilisasi:

Jadi apa yang kita lakukan di lingkungan tetangga itu ya kadang kita berkunjung
satu sama lain. Kalau misalkan hari raya, ya aku dateng kerumahnya, aku dulu
sampai punya satu kelompok remaja. Remaja ku 3 orang, Islam 1 orang, kristen 2
orang, dan aku Baha‟i. Terus kalau mau lebaran, aku tuh sering berkunjung. Aku
sama 3 keluarga mereka akrab banget. Sampai manggil mama sama orang tua
mereka. Kita belajar juga ganti-gantian ke rumah masing-masing. Mereka sudah
paham. Pas ramadhan, kan mereka bikin kue, terus aku bantuin bikin kue. Sampai
ada sikap menghargai yang sangat tinggi. Aku dibikinin jus pas bulan puasa,
padahal mereka sedang puasa. ...dan kita hubungannya udah kaya menjadi sebuah
keluarga. Mereka akhirnya mempercayai aku, percaya kalo aku sebagai seorang
kaka yang gak bakal menjerumuskan anaknya. Pernah ada masalah ada yang
ngomong “ohh jangan belajar sama si itu karena dia begini-begini” tapi akhirnya

97
mamannya sendiri yang mempertahankan gituloh, kalo yang diajarkan tuh seperti
ini. Mereka mulai menyatakan hal itu, bukan saya. Karna memang pada awalnya
aku udah menjelaskan (Wawancara, Lakshmi Sita, salah satu anggota hubungan
luar Baha‟i Indonesia. Ciputat, 15 Mei 2016).

Kedekatan seperti pengalaman Lakshmi tersebut menunjukan bahwa

pentingnya kekuatan tali persahabatan dan kekeluargaan yang dibangun dalam

proses mobilisasi. Sehingga struktur mobilisasi harus memiliki prakondisi

jaringan sosial, tidak semata-mata melakukan proses mobilisasi ke seluruh

individu.

Begitupun dengan kegiatan remaja lainnya seperti festival remaja yang

diselenggarakan oleh panitia klaster Baha‟i di Jakarta bersama dengan para

partisipan remaja. Kegiatan festival ini diikuti oleh para remaja dari berbagai

kelompok remaja se-Jakarta. Menurut Ahura Mazda:

Yang sampean ikut itu. Nanti anak-anak itu dari waktu ke waktu dikumpulkan. Ada
festival. Di festival itu di beberapa tempat, pergi 3 sampai 4 hari pergi kemana
untuk menyelesaikan 1 buku. Ada yang sampai ibu-ibunya ikut. Sampai Ibu RT nya
ikut. RT nya juga ikut, RW nya juga Ikut. Kelompoknya remaja sekitar 20 sampai
30an (Wawancara Ahura Mazda, salah satu Konselor Baha‟i Asia. Jakarta, 30 Juli
2016).

Di Jakarta proses mobilisasi masih belum mencapai perangkat kenegaraan,

seperti RT/RW atau perangkat desa dan lain-lainnya. Berbeda dengan negara atau

klaster-klaster di negara lain seperti India, Kanada, Kolombia, Singapore dan

Malaysia yang dalam proses mobilisasinya difasilitasi oleh perangkat-perangkat

negara. Menurut Ahura Mazda “Di Malaysia kantor desanya sudah di pakai.

Karena di sana kesadaran itu meningkat di semua level bahwa ini bagus untuk

semua. Bagus untuk masyarakatnya” (Wawancara Ahura Mazda, salah satu

Konselor Baha‟i Asia. Jakarta, 30 Juli 2016).

98
1.2.3. Kelompok Belajar Dewasa Dan Jaringan Pertemanan

Kelompok belajar dewasa merupakan kelompok yang idealnya berisikan 5-

10 muda-mudi di setiap daerah. Usia mereka diatas 16 tahun. Mereka mempelajari

modul dan buku ruhi yang diterjemahkan oleh Majelis Rohani Nasional Baha‟i

Indonesia yang bersumber dari ajaran agama Baha‟i dan tulisan suci Baha‟ullah.

Proses keterlibatan para partisipan ke dalam kelompok belajar dewasa ini tidak

lagi memerlukan jaringan orang tua. Tetapi adanya jaringan pertemanan, kolega

yang bekerja dalam proses mobilisasi. Menurut Devansha Mahila:

Enggak, kalo ditingkat dewasa kan udah dewasa jadi langsung aja. Prosesnya
seperti berteman aja. Kaya pak Ahura ada kelompok belajar di kantornya..... kaya
pak Boy, pak Ruhul, pak Dani, teman-teman koleganya sangat tertarik “ohh ini luar
biasa materinya”, jadi mereka dewasa dengan keinginan sendiri ya mereka bentuk
sendiri gitu. (Wawancara, Devasha Mahila, salah satu anggota Majelis Rohani
Nasional Baha‟i Indonesia. Jakarta, 6 Agustus 2016)

Begitupun menurut Santi Amisha “Kalau dewasa kan urusan dia sendiri.

Kalau dewasa sudah menentukan sendiri, gak perlu ke orang tuanya lagi”

(Wawancara, Santi Amisha, salah satu anggota hubungan luar Baha‟i Indonesia.

Jakarta, 2 Agustus 2016). Artinya, mobilisasi kelompok belajar dewasa tidak lagi

membutuhkan persetujuan orang tua dalam melibatkan dirinya. Tetapi bukan

berarti bahwa jaringan kekeluargaan tidak berperan dalam proses rekrutment.

Jaringan keluarga memfasilitasi para muda-mudi untuk terlibat dalam kegiatan-

kegiatan yang diselenggarakan komunitas Baha‟i di Jakarta.

Pembentukan kelompok belajar dewasa menurut Ahura Mazda: “di Jakarta

orang-orang Baha‟i pasti punya kelompok belajar sendiri-sendiri. Ada yang

dengan keluarganya, ada yang dengan tetangganya, ada yang dengan teman

99
kantornya, ada yang dengan teman mahasiswanya” (Wawancara Ahura Mazda,

salah satu Konselor Baha‟i Asia. Jakarta, 30 Juli 2016)

Pendapat tersebut membuktikan setidaknya ada 4 jalur sesorang terlibat

dalam kelompok belajar dewasa di Jakarta. Pertama, melalui jaringan keluarga.

Kedua, jaringan tetangga rumah. Ketiga, jaringan kolega atau rekan kerja.

Keempat jaringan pertemanan. Jaringan-jaringan tersebut terbentuk karena proses

interaksi rutin sehari-hari yang membentuk tali inter-personal.

Dalam kegiatan-kegiatan muda-mudi lainnya (selain kegiatan inti) yang

diselenggarakan oleh komunitas Baha‟i juga dimobilisasi melalui jaringan

pertemanan. Seperti yang dikatakan Ahura Mazda:

Tahun 2013, mas. BKS mengundang anak muda di seluruh dunia untuk diskusi
bagaimana masa depan kita bisa lebih baik. Pemudanya bukan hanya yang ikut
ruhi. Jadi orang Baha‟i dan teman-temannya. Jadi sampean saya undang karena ada
disini. Hampir 150 ribu dari berbagai negara, selama 3 hari belajar. Anak-anak
muda itu, mas. Jam 7 pagi sampai jam 11 malam tidak keluar ruangan saking
antusiansnya. Sebagian besar bukan Baha‟i. Baha‟i nya mungkin 20 persen. 80
persennya Kristen, Islam, Budha dan lain-lain. Mereka tau dari temen-temen Baha‟i
yang cerita, terus diajak. Saya pergi itu yang di India itu 2000 orang. Di Indonesia
400 sampai 500 orang. Gedungnya besar. Gede gedungnya. Jadi BKS mengajak
untuk berpikir. (Wawancara, Ahura Mazda, salah satu Konselor Baha‟i Asia.
Jakarta, 30 Juli 2016)

Dari sini terlibat bahwa pola mobilisasi dalam kelompok dewasa didominasi

dengan jaringan pertemanan atau kolega-kolega. Hal ini tentu berbeda dengan

kelompok remaja dan anak-anak, sehingga patut dipahami bahwa proses

mobilisasi partisipan ke dalam gerakan menggunakan dominasi jaringan yang

berbeda-beda. Misalnya di Singapore serangkaian kegiatan belajar anak, remaja

dan dewasa difasilitasi oleh jaringan doa bersama dari para orang tua. Menurut

pengalaman Daryush Asytar:

100
Di Singapore itu di daerah sekitar orang tuanya itu 1 bulan sekali itu kumpul ada
acara doa bersama. Jadi dari berbagai agama itu doa bersama. Sama anak-anak.
Terus anak-anak nya ikut kelas anak-anak. Remajanya ikut kelompok remaja, orang
tuanya belajar ruhi, terus sebulan sekali mereka kumpul semua doa bersama.
Padahal masyarakat Singapore terkenal sekuler (Wawancara, Daryush Asytar, salah
satu Animator Remaja. Jakarta, 30 Juli 2016)

Di Jakarta, kegiatan-kegiatan belajar masih difasilitasi oleh jaringan-

jaringan yang beragam. Jaringan-jaringan ini yang pada giliranya nanti akan

diperkuat untuk menjaga komitmen partisipan atau bahkan memperluas jaringan

baru.

1.2.4. Doa Bersama Dan Jaringan Sosial

Kegiatan ini masih sama seperti sebelum reformasi, bahwa umat Baha‟i

Jakarta dan daerah-daerah lainnya, melakukan kegiatan berdoa menurut

kepercayaan dan agamanya masing-masing. Kegiatan ini diinisiasi oleh komunitas

Baha‟i. Tentunya kegiatan ini dipercayai sebagai manifestasi dari kedewasaan

masyarakat dan sekaligus manifestasi daci cita-cita universal. Doa bersama biasa

dilakukan melalui rutinitas mingguan, maupun pada acara-acara besar umat

Baha‟i di dunia pada umumnya, dan di Jakarta lebih khususnya.

Proses mobilisasi dari kegiatan ini berbagai macam jalur. Ada jalur melalui

jaringan pertemanan, jaringan tetangga, jaringan para kolega dan jaringan

keluarga. Jaringan-jaringan ini menjadi sarana mobilisasi oleh umat Baha‟i untuk

mengajak para teman-teman dalam lingkungan kesehariannya memiliki tali inter-

personal yang kuat. Pada gilirannya, mereka berpartisipasi untuk mengikuti

kegiatan doa bersama. Menurut Ahura Mazda:

101
Saya dikalangan rekan-rekan saya, saya sering undang untuk doa bersama, ada
tetangga dan siapa saja. Misalnya tiap sabtu malam, ya kita ada doa bersama. Kalau
kita di jakarta kita pastikan kita ada doa bersama. Siapapun yang datang ada
tetangga, teman kantor kadang-kadang, anak-anak yang pengungsi itu juga kadang-
kadang, kemudian saudara-saudara kita kadang. Kita juga ke rumah mereka berdoa
bersama-sama. Ada juga yang sebagian ikut buku ruhi. (Wawancara Ahura Mazda,
salah satu Konselor Baha‟i Asia. Jakarta, 30 Juli 2016)

Begitupun pengalaman umat Baha‟i di Jakarta lainnya yang menggunakan

jaringan pertemanan, jaringan kolega maupun keluarga sebagai sarana mobilisasi

partisipan dalam kegiatan doa bersama. Dalam lingkup rekan kerja pada salah satu

rumah sakit di Jakarta, menurut pengalaman Santi Amisha:

Teman saya itu belum ke arah ruhi. Ada satu sih. Tapi kita doa bersama iya. karena
saya agak jarang di sini, praktek. Mustinya memang di masyarakat, Tapi kita
diajarkan bahwa buat di tempat rumah di daerahnya. tapi kami pasti ada diskusi
atau apa gitu. Paling enggak bahwa gak ada prasangka disini (Wawancara, Santi
Amisha, salah satu anggota hubungan luar Baha‟i Indonesia. Jakarta, 2 Agustus
2016).

Pengalaman Santi menunjukan bahwa jaringan dapat memobilisasi individu untuk

menjadi partisipan maupun simpatisan (Snow, Zurcher & Olson, 1980:790).

Kegiatan doa bersama dalam hari raya besar umat Baha‟i juga biasanya

diselenggarakan secara individual di rumah umat Baha‟i ataupun secara kolektif

melalui lembaga Majelis Rohani lokal dan Nasional. Bagaimanapun juga

penyelenggaraan individual maupun kolektif tetap ada proses mobilisasi

sumberdaya untuk berdoa bersama-sama. Seperti kegiatan doa bersama pada

tanggal 1 Nopember 2016 pada peringatan kelahiran „Sang Bab‟ dan Baha‟ullah

di kediaman Ahura Mazda, Jakarta Selatan. Perayaan tersebut dihadiri oleh para

tetangga sekitar, mulai dari ketua Rukun Warga dan ketua Rukun Tangga di

daerah tersebut. Tetangga dari berbagai agama pun turut mengadiri, seperti agama

102
umat kristen dan salah satu ustadzah di daerah tersebut. Bahkan Devansha Mahila

yang bekerja sebagai psikolog PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) di bagian imigran,

mendatangkan beberapa klien (pengungsi) untuk mengikuti kegiatan doa bersama

dalam rangka peringatan kelahiran „Sang Bab‟ dan Baha‟ullah di rumahnya.

Gambar III.5. Peringatan Kelahiran „Sang Bab‟ dan Baha‟ullah

Sumber: Observasi

Gambar III.5. menunjukan kebersamaan partisipasi dari para tetangga di

lingkungan Ahura Mazda (umat Baha‟i). Selain doa bersama, kegiatannya disertai

dengan pemotongan tumpeng dan makan-makan sebagai bagian dari kegiatan

yang disebut „ramah-tamah‟.

103
Gambar III.6. Pemotongan Tumpeng

Sumber: Observasi

Gambar III.6. merupakan pemotongan tumpeng peringatan kelahiran „Sang

Bab‟ dan Baha‟ullah di kediaman Ahura Mazda. Dalam gambar tersebut

pemberian tumpeng oleh ketua RW setempat kepada seorang ustadzah, dan

beberapa seremonial lainnya. Sebelumnya kegiatan doa bersama dimulai, Ahura

Mazda memberikan sambutan selaku perwakilan tuan rumah dan sedikit

menjelaskan tentang agama Baha‟i yang merupakan salah satu agama di dunia

sebagai bentuk sosialisasi secara langsung kepada tamu. Para tamu di undang

langsung oleh tuan rumah beberapa hari sebelum peringatan di mulai.

104
Gambar III.7. Kegiatan Ramah Tamah

Sumber: Observasi

Gambar III.7. diambil saat ustadzah sedang menyuapi para anggota keluarga

sebagai bentuk eratnya tali persaudaraan dan persatuan dari kebertetaanggaan.

Ditambah ucapan ustadzah saat menyuapi anggota keluarga yang menganggap

Ahura dan Istrinya layaknya anak sendiri. Tentunya hal tersebut menunjukan tali

kedekatan yang erat di dalam lingkungan sosial kebertetanggaan. Tali sosial

dalam neighborhood yang kemudian digunakan untuk memobilisasi para tetangga

di sekitar untuk hadir mengikuti kegiatan doa bersama.

Seperti pengakuan Ridho (tetangga muslim yang menghadiri kegiatan doa

bersama):

105
Saya belum tau sama sekali tentang agama Baha‟i, tapi kenal pak Ahura sudah
lama. Sudah kenal. Kan saya tinggal di atas situ, dua rumah dari sini doang. Tau
pak Ahura, tapi gak tau orangnya yang mana. baru akhirnya 2 bulan yang lalu saya
kenal. Terus saya sering main.baru tau (agama Baha‟i) sabtu kemarin. Itu pertama
kali saya tau kalo ada agama Baha‟i. kenal sama keluarga pak Ahura ya baru 2
bulan itu. Itu karena kerja bakti. (Wawancara, Ridho, salah satu tentangga umat
Baha‟i. Jakarta, 1 Nopember 2016)

Hal tersebut menunjukan bahwa mobilisasi tidak semata-mata dilakukan pada

seluruh individu atau masyarakat, tetapi perlu adanya pra-kondisi dari tali inter

personal yang dibangun melalui proses interaksi yang panjang.

Dari pemaparan awal kegiatan inti era pelopor sampai pasca reformasi,

setidaknya dapat diambil poin yang sejalan dengan apa yang dikatakan Passy

(2003:23-27) bahwa fungsi jaringan yang pertama ialah sosialisasi, di mana

jaringan menciptakan proses transformasi dan penyebaran nilai-nilai dan norma

khususnya pada skesadaran sosial. Kedua, Fungsi koneksi-struktural, bahwa

social ties merupakan salah satu dari banyak cara untuk memfasilitasi individu

yang telah memiliki tali inter-personal dengan umat Baha‟i di Jakarta. Mereka

akan cenderung siap untuk dimobilisasi dan siap mengubah kesadaran sosial

menjadi aksi. Tetapi dengan catatan bahwa fungsi sosialisasi telah berjalan

sebelumnya. Ketiga, Fungsi Pembentukan keputusan, di mana individu akan

memutuskan keputusan untuk bergabung dalam sebuah gerakan dipengaruhi aktor

di dalam gerakan. Seseorang tidak akan membuat keputusan dalam keadaan yang

terisolasi (tidak mempunyai hubungan sosial), tetapi mereka akan merujukan

dirinya pada apa yang orang lain lakukan (khususnya orang terdekat).

Dengan kata lain, tali inter-personal yang terbangun melalui proses

sosiologis dalam social setting tertentu membentuk sebuah jaringan-jaringan yang

106
pada gilirannya menjadi sarana utama dari komunitas Baha‟i di Jakarta dalam

merekrut masyarakat luas agar terlibat dalam kegiatan-kegiatan inti yang

diselenggarakan komunitas Baha‟i.

2. Jaringan Sosial dan Penguatan Komitmen

Alasan bahwa seseorang bertahan dalam sebuah kelompok, berbeda dengan

alasan kenapa seseorang terlibat dalam sebuah kelompok (Goodwin & Jasper,

2003:91). Sebab, jaringan-jaringan sosial bukan hanya digunakan sebagai

rekrutmen, tetapi juga bekerja untuk mempertahankan para partisipan di dalam

gerakan (Porta & Diani 2006:118). Dengan melihat peranan dari jaringan yang

ada dalam komunitas Baha‟i, maka sebetulnya kita juga dapat melihat proses kerja

jaringan dalam pembangunan komitmen dalam mempertahankan partisipan untuk

terus berada dalam kegiatan.

Menurut Daryush Asytar:

Jadi sebagai animator kita juga harus berhubungan dengan orang tua. Jadi kita
selain berhubungan baik dengan remajanya, kita juga harus berhubungan baik
dengan orang tua remajanya. Mangkanya penting kita membuat kelompok di
lingkungan kita, selain kita bertemu dengan orang tuanya secara rutin, kan anak-
anak ini kan tiap hari juga ketemu diantara mereka sendiri. Misalnya remaja saya
awalnya itu ada 17. Yang lulus programnya 7. Sisanya walkout. Ya daerah sini kan
ada alasannya nikah muda, jadi orang tuanya itu, misalnya anaknya umurnya sudah
15, dinikahkan. Ada juga yang curiga. Karena intensitas kita dengan orang tuanya
juga gak bagus, itu berpengaruh. Akhirnya 7 orang ini yang intensitas dengan orang
tuanya juga kuat. itu bedasarkan pengalaman diseluruh dunia. Ternyata, kelompok
remaja yang intensitas diskusi dengan orang tuanya gak bagus, tidak bertahan lama.
Saya itu kurang intens, mangkanya dari 17 tinggal 7. Dari 7 yang ikut buku ruhi
tinggal 3 (Wawancara, Daryush Asytar, salah satu Animator Remaja. Jakarta, 30
Juli 2016).

Menurut Nancy Whittier (2003:112) banyak partisipan di dalam gerakan

bertahan karena mereka selalu kept in touch dengan sesama partisipan yang sering

107
dilakukan dalam lokasi social setting (lingkungan keseharian) atau ketika kegiatan

bersama itu berlangsung.

Pengalaman Daryush membuktikan bahwa jaringan yang sudah ada

(jaringan orang tua) dalam kelas anak dan kelompok remaja sangat mempengaruhi

partisipan untuk bertahan dalam kegiatan yang diselenggarakan komunitas Baha‟i

di Jakarta. Semakin sering frekuensi interaksi di dalam jaringan, maka jaringan

semakin kuat, kemudian jaringan akan bekerja dalam mempengaruhi komitmen

partisipan selama keberlangsungan gerakan ataupun kegiatan. Oleh karenanya,

proses pembentukan komitmen dalam kasus ini merupakan proses penguatan

jaringan melalui frekuensi interaksi yang rutin dan intens.

Pengalaman Lakshmi Sita juga menunjukan bahwa kedekatan dengan para

remaja dan orang tua menjadi faktor yang patut dilihat untuk menentukan

komitmen para remaja:

Remaja ku 3 orang, Islam 1 orang, kristen 2 orang, dan aku Baha‟i. Terus kalau
mau lebaran, aku tuh sering berkunjung. Aku sama 3 keluarga mereka akrab
banget. Sampai manggil mama sama orang tua mereka. Kita belajar juga ganti-
gantian ke rumah masing-masing. Mereka sudah paham. Pas ramadhan, kan mereka
bikin kue, terus aku bantuin bikin kue. Sampai ada sikap menghargai yang sangat
tinggi. Aku dibikinin jus pas bulan puasa, padahal mereka sedang puasa. Terus pas
lebaran aku dibelikan kue, dan kita hubungannya udah kaya menjadi sebuah
keluarga. Mereka akhirnya mempercayai aku, percaya kalo aku sebagai seorang
kaka yang gak bakal menjerumuskan anaknya. Pernah ada masalah ada yang
ngomong “ohh jangan belajar sama si itu karena dia begini-begini” tapi akhirnya
mamannya sendiri yang mempertahankan gituloh, kalo yang diajarkan tuh seperti
ini. “Saya tau kok apa yang diajarkan. Dia tidak pernah mengajarkan, maksudnya
untuk memindahkan agama anak saya”. Mereka mulai menyatakan hal itu, bukan
saya. Karna memang pada awalnya aku udah menjelaskan (Wawancara, Lakshmi
Sita, salah satu anggota hubungan luar Baha‟i Indonesia. Ciputat, 15 Mei 2016).

Pada girlirannya peran orang tua dalam membangun komitment keterlibatan para

remaja merupakan hal yang patut di perhatikan dalam fenomena ini. Sehingga

pembacaan terhadap jaringan orang tua merupakan hal yang penting. Artinya,

108
selain sejauh mana kedekataan para animator dengan para remaja, perlu dibaca

pula sejauh mana kedekatan para animator dengan para orang tuanya.

Dalam hal pembangunan komitmen, komunitas Baha‟i di Jakarta juga

mempunyai sebuah mekanisme internal untuk membentuk pola interaksi yang

merupakan manifestasi dari ajaran dan nilai-nilai keagamaan, yang pada

gilirannya manifestasi tersebut menjadi sebuah mekanisme organisasi untuk

penguatan komitmen partisipan dalam komunitas Baha‟i di Jakarta yang disebut

dengan “kerangka kerja”.

Kerangka kerja merupakan sebuah bimbingan dari Balai Keadilan Sedunia

(BKS) untuk seluruh umat Baha‟i di dunia yang disalurkan melalui Majelis

Rohani Nasional kemudian mengalir ke Majelis Rohani Setempat, khususnya

Jakarta. Kerangka kerja merupakan suatu metode kerja umat Baha‟i dalam

memperjuangkan cita-cita universal (persatuan umat manusia, perdamaian dunia

dan kesejahteraan). Dalam perjuangannya, umat Baha‟i mengajak seluruh umat

manusia untuk mengikuti program pendidikan yang ditawarkan Baha‟i yaitu;

pendidikan kelas anak, kelompok remaja dan kelompok dewasa. Kerangka kerja

disini merupakan metode dari bimbingan BKS untuk bekerja di daerah nya

masing-masing agar proses pencapaian cita-cita bisa lebih efektif. Seperti yang

dikatakan Lakshmi Sita:

Sebenernya gini, karena Balai Keadilan Sedunia memiliki kerangka kerja bahwa
teman-teman ini dalam usahanya, mereka akan berjuang bersama rekan sekerja,
teman terdekat atau sahabat, kerabat, dan tetangga. Kenapa ada kerangka seperti
ini? Karena orang-orang seperti tetangga, teman dekat atau sahabat, rekan kerja,
intensitas bertemunya lebih banyak, sehingga prasangka itu semakin besar
kemungkinannya hilang karena sudah mengenal kehidupan keseharian, rasa

109
kepercayaan juga mulai tumbuh, tantangannya juga nyata di lingkungan. Maka
jarak jauh akan sulit. Itu semua dari bimbingan Balai Keadilan Sedunia
(Wawancara, Lakshmi Sita, salah satu anggota hubungan luar Baha‟i Indonesia.
Ciputat, 15 Mei 2016)

Kerangka kerja demikian setidaknya termanifestasi dalam prilaku

masyarakat Baha‟i di manapun mereka berada. Sehingga umat Baha‟i

mengkonsentrasikan dan mengabdikan dirinya pada lingkungan sekitar. Kerangka

kerja ini merupakan manifestasi dari bimbingan-bimbingan BKS yang kemudian

direproduksi oleh Majelis Rohani Nasional (MRN) dan Majelis Rohani Setempat

(MRS) disetiap pertemuan maupun perkumpulan masyarakat Baha‟i, khususnya

di Jakarta. Kerangka kerja ini juga dilihat dari proses kehidupan sehari-hari dalam

melakukan pengabdian (dalam hal ini pendidikan yang diselenggarakan

masyarakat Baha‟i).

Pada gilirannya kerangka kerja ini diartikulasikan ke dalam pembangunan

dan penguatan jaringan sebagai sumber dari komitment. Kedekatan secara

personal yang terus dirawat menjadikan orang-orang yang berada di lingkungan

Baha‟i membuat partisipan mempertahankan komitmen dalam gerakan. Hal ini

menjadi pola prilaku keseharian dalam kehidupan umat Baha‟i.

3. Jaringan Lama dan Jaringan Baru

Jaringan lama pada gilirannya akan membentuk jaringan baru (Porta & Diani

2006:115). Tali inter-personal yang terus dirawat melalui interaksi sosial di

lingkungan sehari-hari maupun yang difasilitasi oleh kegiatan-kegiatan yang

diselengarakan oleh Baha‟i ini bukan hanya sekedar untuk mempertahankan

keterlibatan seseorang dalam gerakan Baha‟i. Pada keberlangsungannya,

110
partisipan ialah individu yang multi-identitas. Artinya, keunikan partisipan

sebagai seorang individu ialah merupakan bagian dari kelompok gerakan dan

dalam waktu yang bersamaan bisa menjadi anggota kelompok lain sehingga kita

bisa menciptakan hubungan antara kedua identitas tersebut (Simmel & Breiger

dikutip Porta & Diani, 2006:115). Sehingga partisipan dalam konteks ini juga

dapat melakukan mobilisasi dan memfasilitasi terbentuknya jaringan-jaringan

yang baru.

Seperti apa yang dikatakan Devansha Mahila:

Misalnya pak Ahura itu teman kantor dia kan ada pak Boy, pak Dani dan lainnya
tapi setelah orang ini melewati satu proses jenjang buku, dia akan tertarik dia akan
ajak temannya yang lain, dia sendiri yang menjelaskan jadi bukan kita. Jadi apa
yang terjadi di India dan Kanada ya begitu,jadi mereka dengan kesadaran sendiri
bisa membentuk grup saya sendiri setelah nanti saya selesai buku ini, jadi dia akan
ajak teman-teman dia, itu terjadi di remaja. Terjadi secara alami. Dia membangun
kelompok tersendiri. Dia ajak teman-temannya lagi jadi bukan lagi kelompok yang
pertama. Jadi, sudah ada kelompok sendiri lagi. Mereka yang udah selesai pun.
Bisa buku satu dia bisa bikin kelompok sendiri. Karena ketika dia selesai jenjang
buku itu kan dia tau caranya diskusi gimana apa saja yang terjadi. Kadang-kadang
kalau dia mau tutor, yang dari sini (umat Baha‟i) mendampingi dia ya bisa
didampingi. Kalau dia sambil tutorin buku satu maka dia akan ikut buku
berikutnya. Jadi biasanya dari grup ini dia akan ada grup lagi, akan pecah akan ada
lagi, biasanya begitu ya yang terjadi (Wawancara, Devansha Mahila, salah satu
anggota Majelis Rohani Nasional Baha‟i Indonesia. Jakarta, 6 Agustus 2016).

Sama halnya dengan pendapat dari Ahura Mazda “Kalau dia (partisipan)

sudah selesai di buku itu, maka dia juga bisa membuka kelas untuk orang-orang

Baha‟i maupun bukan Baha‟i, untuk belajar tentang kemuliaan manusia, tentang

nilai-nilai rohani manusia, hidup yang bermakna dan sebagainya” (Wawancara

Ahura Mazda, salah satu Konselor Baha‟i Asia. Jakarta, 30 Juli 2016)

111
Gambar. III. 8. Jaringan Lama dan pembentukan Jaringan baru

AA
P P P
P P
P P
P
P P P
P P

P P P P
P P P
P P
P P P
P P
P
P
P P P P

P P P
P

AA : Aktor Awal
P : Partisipan Dalam Jaringan Lama
P : Partisipan Dalam Jaringan Baru 1
P : Partisipan Dalam Jaringan Baru 2
P : Partisipan Dalam Jaringan Baru 3

Gambar. III. 8. menunjukan proses pembentukan jejaring informal yang

dihasilkan dari jaringan-jaringan lama yang terus dirawat oleh aktor-aktor

komunitas Baha‟i. Proses ini harus melewati beberapa tahap belajar melalui

buku/modul yang telah ada dalam pendidikan Baha‟i. Para partisipan baru pun di

ciptakan melalui kelompok belajar dewasa. Mereka harus melalui program

pendidikan buku Ruhi 7 untuk menciptakan kelompok belajar baru, yang peneliti

112
kategorikan sebagai bentuk dari jaringan baru. Jaringan baru terbentuk karena

para partisipan yang telah melewati pendidikan Ruhi memiliki jaringan-

jaringannya sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga proses pelibatan

partisipan berikutnya sama sebagaimana jaringan lama memfasilitasi para

partisipan. Tetapi, hal ini yang kemudian memperlihatkan peran jaringan lama

dalam pembentukan jaringan baru.

Penyebaran atau pengembangan jaringan ini juga dilakukan sebagai

manifestasi dari cita-cita universal. Lebih jauh lagi, partisipan mengembangkan

kelompok merupakan bagian dari kesadaran dari pengabdian terhadap masyarakat

menuju cita-cita universal. Pola ini dilakukan terus-menerus oleh komunitas

Baha‟i Jakarta pasca reformasi sampai saat ini sebagai bentuk dari strategi

bertahan dan berkembangnya komunitas Baha‟i di Jakarta.

Begitupun dalam kelompok remaja, bahwa keterlibatan partisipan remaja

dalam 4 kegiatan inti juga nyatanya memfasilitasi keluarganya untuk turut

bergabung kedalam kegiatan tersebut. Menurut Devansha Mahila “akhirnya

remaja itu ajak adik-adiknya, kita jelasin ke orang tuanya nah adik-adiknya

biasanya masuk ke kelas anak. Kemudian orang tuanya terus ikut ke kelompok

belajar itu jadi hampir sama lah, dan biasanya begitu yang terjadi” (Wawancara,

Devansha Mahila, salah satu anggota Majelis Rohani Nasional Baha‟i Indonesia.

Jakarta, 6 Agustus 2016). Artinya bahwa anggota keluarga yang sudah mejadi

partisipan dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan komunitas Baha‟i di

Jakarta nyatanya juga memfasilitasi anggota keluarganya untuk turut

berpartisipasi dan terlibat di dalam kegiatan.

113
Pengalaman Lakshmi pun membuktikan bahwa jaringan sosial selain

sebagai jalur keterlibatan partisipan dan penguatan komitmen partisipan untuk

bertahan di dalam gerakan, jaringan sosial di dalam lingkungan sehari-hari juga

dapat membantu membentuk jaringan baru untuk memfasilitasi individu-individu

yang lainnya untuk terlibat ke dalam gerakan. Menurut Lakshmi Sita:

Dimulai dari 3 orang. Dan satu kelompok ini. Pelan-pelan kita sedang
menginspirasi yang lainnya. Sebenernya di satu desa ini ada 50 pemuda yang
sebenernya semua pemuda bisa pegang adik-adiknya. Itu yang sedang kita
diskusikan, dan aku juga ikut karang taruna daerah proklamasi. Mereka biasa kalo
ada 17 agustus, kita bikin lomba. Pelan-pelan juga dari 3 orang, taunya kita merasa
loh kita menjadi besar ya. Karena 3 orang itu masing2 punya keluarga, punya kaka,
adik, tetangga, ngobrol dan semakin luas. Kalau kamu pergi ke tambak di daerah
proklamasi, deket taman Amir Hamzan, itu aku hampir dari ujung sampe ujung, itu
dikenal orang. 1 rw itu 600 KK. Karna selain aku punya kelompok remaja, aku ikut
karang taruna pos RW. Dimana ada kegiatan lainnya kaya pendidikan lebih ke
bahasa Inggris umum. Kadang ditolak juga sih. Ditolaknya karena bahai. Pernah
ditolak sama ustad, mereka bilang “udahlah agama mu, agamamu. Agama ku,
agama ku”. Seolah-olah kita itu mengajarkan agama bahai. Tapi yang menjadi
penting ialah persahabatan. Sejauh ini masyarakat bahai menjadi sahabat sehingga
mereka bisa paham satu sama lain. Dan akhirnya mereka memperbolehkan
(Wawancara, Lakshmi Sita, salah satu anggota hubungan luar Baha‟i Indonesia.
Ciputat, 15 Mei 2016).

Mekanisme inilah yang menjadi pola umum dalam pengembangan jaringan

di lingkungan sehari-hari. Ini yang disebut McCarthy dan Wolfson (1988) sebagai

corak dari kelompok gerakan lokal (McCarthy & Wolfson dikutip McCharty,

1996:142).

Di sisi lain, mekanisme mobilisasi dan pengembangan kelompok-kelompok

tersebut pun dilakukan oleh komunitas Baha‟i melalui proses yang disebut

„konsolidasi‟ dan „ekspansi‟ yang mana para fasilitator dan panitia di kluster

Jakarta melakukan sebuah pertemuan rapat setiap 3 bulan sekali untuk melakukan

114
refleksi dari proses kegiatan-kegiatan belajar. Menurut Heri salah satu staf MRN

dan Animator berpendapat bahwa:

Proses itu adalah rencana 5 tahun BKS dimana ekspansi itu adalah perluasan
dimana kita bisa mencangkup lebih banyak orang yang berpastisipasi dalam 4
kegiatan inti yaitu; doa Bersama, kelompok belajar, kelompok remaja, dan kelas
anak. Kita kan ada siklus. Siklus itu selama 3 bulan sekali, namanya siklus kluster.
Jadi di dalam meeting itu kan ada meeting kluster. Dimana meeting kluster itu
setiap 3 bulan sekali. Di dalam siklus 3 bulan ini ada 2 minggu awal, yaitu ekspansi
untuk perluasan setiap habis meeting kluster. 2 minggu awal itu ekspansi dimana
perluasan itu kita memperkenalkan di 4 kegiatan inti itu dan setelah 2 minggu itu,
selebihnya kebelakang itu konsolidasi. Dimana konsolidasi itu kita juga
mempererat yang lama, kita juga menekankan yang baru. Di 3 bulan itu, kita
ketemu lagi 3 bulan kedepan. Dimana kita refleksi. Jadi ekspansi, konsolidasi dan
refleksi itu jadi satu. Jadi, dimana kita udah melakukan ekspansi, konsolidasi kita
bagaimana nanti akan di refleksikan. (Wawancara, Heri, staf MRN Baha‟i
Indonesia. Jakarta, 4 Agustus 2016)

Ekspansi dilakukan untuk memperbanyak partisipan dalam kegiatan.

Ekspansi ini salah satunya menggunakan tali inter-personal yang dimiliki para

partisipan terhadap orang lain yang belum terlibat. Proses ini lebih tepatnya

dilakukan oleh para muda-mudi (partisipan dalam kelompok belajar dewasa)

khususnya yang sudah melampaui buku Ruhi. Sebab, buku-buku tersebut bisa

membangun kapasitas muda-mudi untuk menjadi sumberdaya fasilitator yang siap

untuk membentuk sebuah kelompok remaja, kelompok belajar dewasa maupun

kelas anak. Artinya, muda-mudi yang telah melampaui buku-buku Ruhi juga

memiliki jaringan sosial dengan individu-individu seperti; keluarga, teman

sekolah, teman kuliah, teman kerja, tetangga, kelompok bermainya yang pada

gilirannya jaringan atau tali inter-personal tersebut digunakan untuk merekrut

individu-individu lain menjadi partisipan dalam 4 kegiatan inti komunitas Baha‟i

di Jakarta.

115
Pendapat Hamed Ja‟far (salah satu animator) lebih mempertajam maksud

dari ekspansi dan konsolidasi sebagai praktik dari tindakan sosial yang merupakan

artikulasi dari nilai-nilai ajaran Baha‟i:

Salah satu prinsip di bidang tindakan sosial itu, bagaimana kita bisa
mengembangkan kesejahteraan, spiritual dan material. Jadi gak cuma materi saja.
gak cuma spiritual saja, sehingga bisa berguna bagi masyarakat. Jadi tentu disetiap
lintas kita ada tiga hal itu. Misal kelompok remaja. Itu kan kita menggunakan buku
institut, itukan masuk ekspansi dan konsolidasi. Tapi di kelompok itu juga ada
kegiatan sosial. Maksudnya bagaimana kita bisa memberdayakan orang lain supaya
mereka ikut serta dalam membangun kesatuan di masyarakat. Itu aja. Jadi
bagaimana kita bisa mengajak orang lain untuk membangun kesatuan di
masyarakat. Metodenya ya kelompok remaja, kelas anak-anak, ruhi institut
(Wawancara, Hamed Ja‟far, salah satu Animator Remaja. Jakata, 25 Juli 2016).

Dengan mengacu pada nilai dan prinsip-prinsip universal ajaran Baha‟i,

pendapat Hamed meneguhkan tindakan yang dilakukan oleh umat Baha‟i dalam

melakukan ekspansi dan konsolidasi melalui pendidikan-pendidikan Baha‟i

sebagai bentuk pengaplikasian ajaran Baha‟i. Oleh karena itu, salah satu titik poin

bahwa persatuan haruslah tercipta dari seluruh elemen dan umat manusia, maka

harus ada upaya untuk melibatkan seluruh masyarakat di dunia, khususnya di

Jakarta. Ini lah yang dimaksud dengan ekspasi dan konsolidasi sebagai praktik

dari upaya mencapai nilai-nilai yang universal.

4. Jaringan Sosial Productive dan Unproductive

Komunitas Baha‟i di Jakarta memiliki mekanisme keorganisasian yang baik

dalam membangun jaringan-jaringan organisasi. Pembangunan jaringan ini

dilakukan oleh bagian hubungan luar komunitas Baha‟i Indonesia. Bagian

hubungan luar telah membangun banyak kerjasama dengan komunitas, organisasi

maupun LSM-LSM yang ada dengan baik. Fungsi hubungan luar menurut Gita

Marniza “lebih untuk menjalin hubungan dengan pemerintahan, kemudian, CSO,

116
NGO, LSM, masyarakat, pihak-pihak luar. HL (hubungan luar) tugasnya lebih

mengenalkan masyarakat Baha‟i dan ajaran Baha‟i kepada orang luar”

(Wawancara, Gita Marniza, mantan anggota MRS Jakarta Pusat. LBH Jakarta, 3

Agustus 2016).

Menurut Ratn Vineeta (salah satu anggota hubugan luar Baha‟i Indonesia):

Sudah banyak, kita kerjasama baik dengan lembaga-lembaga keagamaan seperti


NU, Muhammadiyah, mau siapa kek hayo sini tau. Dan terlibat kolaborasi dalam
program-program. Misalnya yang belakangan lagi gencar kan, ada keprihatinan isu
kekerasan terhadap anak. Lalu organisasi keagamaan ini berkumpul, kira apa ya
sumbangan dari organisasi keagamaan. Terus nanti kita bisa berkumpul membuat
suatu rekomendasi, lalu rekomendasinya itu bisa disampaikan kepada kementerian
sosial, kementerian agama. Bisa rencana membuat video yang akan ditayangkan di
TV-TV. Ya seperti itulah. Jadi kita orang Baha‟i ini kita berusahalah untuk melihat
apasih kebutuhan saat ini yang sedang dibutuhkan di Indonesia. Dan kita berusaha
untuk melihat dengan segala keterbatasan kita, kita ingin menyumbang apasih yang
bisa disumbangkan. Masih banyak loh, biasanya juga gak keitung. Organisasi,
NGO-NGO gitu banyak. Contohnya kita juga secara rutin ada kerjasama tahunan
sama organisasinya isteri Gus Dur. Itu kerjasamanya resmi semua kok, sekarang
bahkan di lembaga-lembaga pemerintahan kalau ada kegiatan lintas agama itu
umumnya orang Baha‟i juga dapat undangan. Jadi agama Baha‟i ini bener-bener
sudah gak asing di Indonesia ini. Sudah dikenal baik lah. Orang Baha‟i juga
diundang untuk ngasih kuliah agama di UPJ itu juga bagian dari program ICRP
(Wawancara, Ratna Vineeta, salah satu anggota hubungan luar Baha‟i Indonesia.
Tangerang Selatan, 18 Juli 2016).

Perlu menjadi catatan bahwa pada dasarnya semua jaringan sosial bisa

membantu dalam proses mobilisasi gerakan komunitas Baha‟i Jakarta, khususnya

perekrutan partisipan dan simpatisan. Tetapi, dalam realitasnya, tidak semua

jaringan sosial mampu menjadi sarana mobilisasi gerakan komunitas Baha‟i

Jakarta. Indikatornya mudah, bahwa jaringan sosial (organisasi, keluarga,

pertemanan, tetangga, dan tali sosial lainnya) bisa dikatakan sebagai sarana

mobilisasi apabila jaringan sosial tersebut membantu dalam proses mobilisasi

(rekrutmen) partisipan ke dalam gerakan. Dalam kasus jaringan sosial yang

117
seperti ini peneliti sebut sebagai jaringan sosial produktif (istilah dibuat untuk

mempermudah pembaca).

Apabila jaringan sosial tidak membantu dalam proses mobilisasi (tidak

membantu dalam rekrutmen) ia tidak dapat dikatakan sarana mobilisasi. Jaringan

sosial tersebut hanya dapat dikategorikan yang peneliti sebut sebagai jaringan

sosial unproductive. Seperti apa yang dijelaskan sebelumnya bahwa perekrutan

dalam kegiatan kelas anak, remaja, dewasa dan doa bersama setidaknya ada upaya

mobilisasi pada jaringan keluarga, pertemanan, rekan kerja, kelompok bermain,

jaringan organisasi, struktur pemerintahan dan lain-lain. Tapi bukan berarti bahwa

seluruh jaringan keluarga, pertemanan, rekan kerja, kelompok bermain, organisasi

sosial yang memiliki hubungan dengan komunitas Baha‟i Jakarta membantu

dalam proses mobilisasi. Artinya batas mobilisasi ditentukan sejauh mana jaringan

sosial tersebut membantu dalam proses mobilisasi (productive) atau tidak

(unproductive).

Seperti pengalaman Santi Amisha seorang dokter yang bekerja pada salah

satu Rumah Sakit besar di Jakarta Barat mengakui bahwa dalam kalangan rekan

kerjanya, belum ada yang mengarah pada program pendidikan Baha‟i. Teman

kerja Santi tetap bisa disebut sebagai jaringan sosial, tetapi dalam kategori

jaringan unproductive (Wawancara, Santi Amisha, salah satu anggota hubungan

luar Baha‟i Indonesia. Jakarta, 2 Agustus 2016).

Seperti pendapat Aneta Arif Sunandar (salah satu penggagas Komunitas

Kelas Damai) bahwa “kelompok Kelas Damai disertai oleh berbagai orang dari

latarbelakang agama yang berbeda, ada Islam, Nasrani, Hindu, dan Baha‟i”

118
(Wawancara melalui Aplikasi Chatting, Arif Sunandar, salah satu penggagas kelas

damai. 5 Desember 2016). Tapi dari kelompok tersebut tidak ada yang mengikuti

kegiatan belajar maupun doa bersama yang diselenggarakan oleh komunitas

Baha‟i di Jakarta. Artinya, kelas damai yang peneliti anggap sebagai jaringan

informal dari komunitas Baha‟i bedasarkan ikatan pertemanan dan perkumpulan

tidak memfasilitasi komunitas Baha‟i Jakarta dalam melakukan mobilisasi

gerakan (rekrutmen).

119
B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terbentuknya Pola Strategi

Bertahan

Strategi dalam bertahan dan berkembangnya komunitas Baha‟i di Jakarta

tidak semata-mata terbentuk karena proses alamiyah, melainkan terbentuk karena

proses dialektika antara struktur-struktur sosial yang ada dengan masyarakat.

Penjelasan dalam bagian ini dibagi menjadi dua untuk melihat faktor determinan

yang mempengaruhi pembentukan strategi tersebut. Pertama, faktor struktur relasi

sosial dalam masyarakat Jakarta yang terbentuk dalam jejaring-jejaring formal

(sebagai ciri dari masyarakat perkotaan) dan juga membentuk jaringan-jaringan

informal bedasarkan pola keseharian dan kebutuhan dari masyarakat. Kedua,

faktor sosial politik yang terbagi bedasarkan 2 periode utama: (1) Sebelum

reformasi yang represi dalam rezim politik dan tertutupnya masyarakat saat itu.

(2) pasca reformasi yang identik dengan gelombang demokratisasi, merubah

struktur politik, tetapi tidak merubah ketertutupan masyarakat. Dua periode

tersebut menjadi faktor dalam pemilihan jaringan informal sebagai strategi

mobilisasi dalam upaya bertahannya komunitas Baha‟i di Jakarta.

Gambar. III. 9. Bagan Analisis Faktor Pemilihan Pola Strategi Bertahan

Homophily Principles
Relasi Sosial Masyarakat
Foci of Activity
Faktor-Faktor

Sebelum Reformasi
Struktur Sosial-politik
Pasca Reformasi

120
1. Terbentuknya Relasi Masyarakat Perkotaan Dan Jaringan

Informal

Pembacaan terhadap relasi masyarakat merupakan hal yang perlu dalam

menginterpretasi dan menjelaskan pembentukan strategi bertahan dan

berkembangnya komunitas Baha‟i di Jakarta. Bagaimanapun juga komunitas

Baha‟i hidup dalam relasi sosial perkotaan yang dinamis, dan pada saat yang

bersamaan pula, komunitas Baha‟i di Jakarta perlu beradaptasi dengan dinamisasi

dalam masyarakat perkotaan. Oleh karena itu, pembacaan terhadap struktur relasi

sosial masyarakat harus dilakukan untuk melihat perubahan strategi dan

mobilisasi komunitas Baha‟i di Jakarta.

Hampir seluruh teoritikus dari berbagai belahan dunia, setidaknya telah

menyebutkan bahwa networking merupakan salah satu sarana seseorang untuk

terlibat ke dalam gerakan (Snow et al, 1980; McAdam, 1986; McAdam, 2003;

Diani, 1995; Diani, 2003; Passy, 2003; Anheier, 2003). Tetapi eksistensi jaringan

yang terbentuk dalam masyarakat bukanlah sesuatu yang taken for granted.

Singaktnya, relasi dan jaringan terbentuk dari frekuensi pengulangan interaksi

yang cukup rutin satu sama lain (Eijk, 2010:41). Interaksi sebagai sebuah proses

sosiologis pun dibangun di atas kondisi dan setting sosial tertentu. Setidaknya ada

2 hal pola relasi umum dalam masyarakat perkotaan, khususnya Jakarta yang

mempengaruhi komunitas Baha‟i Jakarta dalam memilih strategi bertahan: (1)

homophily principle (2) foci of Activity.

Pertama, „homophily principle’. Istilah yang digunakan Paul Lazarsfeld dan

Robert Merton (1954:23) ini merujuk kepada perilaku seseorang yang cenderung

121
memilih untuk bergaul dengan individu yang memiliki kesamaan dengan dirinya.

Para peneliti jaringan sosial setidaknya menyimpulkan bahwa seseorang pada

umumnya memiliki preferensi untuk bersosialisasi dengan orang yang serupa

(Eijk, 2010:45). Sedangkan, preferensi tersebut terbangun karena adanya

kesamaan identitas, yang mana identitas itu sendiri muncul karena keberlanjutan

sehari-hari dari proses pertemuan dan interaksi satu sama lain. Individu yang

memiliki multi-identitas, bisa membokar pasang identitasnya menyesuaikan

konteks (Eijk, 2010:45). Dalam kondisi inilah jaringan sosial terbentuk, seperti

kelompok pertemanan, kelompok bermain, kelompok di sekolah, teman kerja dan

lain-lain yang muncul karena identitas bersama.

Hal ini kemudian mempengaruhi dengan siapa umat Baha‟i Jakarta akan

bersosialisasi dan menyebarkan nilai-nilai ajaran serta mengajak orang lain masuk

ke dalam gerakan, atau mengajak orang lain mengikuti kegiatan inti. Seperti

pendapat Fadli Hossein (salah satu anggota MRS Baha‟i Jakarta Pusat) saat

mengajak partisipan untuk terlibat dalam proses kegiatan inti:

Pertama pasti kenal dulu ya. Kenal dulu dong. Terus yang kedua pasti dalam
kehidupan saya berharap mencerminkan konsep-konsep yang ada di dalam ruhi.
Cuma secara teknis kita bicara lah tentang metode-metode institut ruhi. Saya sering
bicara sama orang lain tentang institut ruhi. Bagaimana metodenya. Dan
kebanyakan mereka mau ikut institut. Dan kita sering mengatakan memang institut
ini terinspirasi dari ajaran agama Baha‟i. itu yang pertama kali kita sampaikan.
(Wawancara, Fadli Hossein, salah satu anggota MRS Baha‟i Jakarta Pusat. Jakarta
31 Juli 2016).

Pendapat tersebut menunjukan bahwa proses mobilisasi dilakukan pada

orang-orang terdekat, atau orang-orang yang dikenal terlebih dahulu. Sedangkan

perkenalan atau bergaulnya seseorang ialah persoalan pergaulan keseharian.

Dengan kata lain dalam prinsip „homophily principle’ pergaulan keseharian

122
dibangun dalam asas kesamaan atau adanya kemiripan sesamanya. Oleh karena

itu, „homophily principle’ menjelaskan bagaimana jaringan-jaringan informal

pertemanan, kelompok bermain, rekan kerja dan sebagainya terbentuk, kemudian

proses tersebut bergeser sebagai sarana dalam proses mobilisasi. Karena proses

sosialisasi dari nilai-nilai yang ada dalam kegiatan komunitas Baha‟i di Jakarta

tidak serta-merta disosialisasikan pada seluruh orang, melainkan pada beberapa

orang yang sudah saling mengenal satu sama lain. Artinya, proses mobilisasi

bedasarkan jaringan-jaringan informal yang bekerja dalam kelompok belajar

remaja, dewasa dan kegiatan doa bersama digunakan karena pada dasarnya

bekerja sesuai dengan „homophily principle’.

Kedua, „foci of Activity’ merupakan istilah yang dipakai oleh Scott L. Feld

(1982:797) sebagai sebuah konteks (atau fokus dalam lingkungan atau tempat

berkumpul) yang memfasilitasi pertemuan antara individu untuk berinteraksi

dalam pembentukan relasi dalam masyarakat. Foci of activity bisa berupa

medium-medium yang lebih partikular dalam neighbourhood, sebagai contoh,

pusat berkumpul, taman, tempat ibadah, sekolah, dan tempat atau konteks-konteks

lain yang dapat menjadi media untuk memaksa mereka berinteraksi satu sama

lain.

Dalam konteks ini, foci of activity (fokus) memainkan peran yang sangat

penting dalam penentuan strategi mobilisasi. Karena relasi masyarakat perkotaan,

khususnya kota Jakarta memiliki berbagai macam fokus sebagai prakondisi dari

mobilisasi. Artinya mobilisasi dilakukan oleh komunitas Baha‟i Jakarta pada

fokus-fokus tertentu yang mana umat Baha‟i memang sudah bergelut dan

123
berkecimpung di dalamnya. Dan bahwa anggota komunitas Baha‟i memobilisasi

individu ataupun masyarakat yang berada di dalam foci of activity yang sama

untuk bergabung di dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakannya.

Seperti pengakuan Ridho (salah satu tetangga dari Ahura Mazda umat Baha‟i

di Jakarta):

Saya belum tau sama sekali tentang agama Baha‟i, tapi kenal pak Ahura sudah
lama. Sudah kenal. Kan saya tinggal di atas situ, dua rumah dari sini doang. Tau
pak Ahura, tapi gak tau orangnya yang mana. baru akhirnya 2 bulan yang lalu saya
kenal. Terus saya sering main.baru tau (agama Baha‟i) sabtu kemarin. Itu pertama
kali saya tau kalo ada agama Baha‟i. kenal sama keluarga pak Ahura ya baru 2
bulan itu. Itu karena kerja bakti (Wawancara, Ridho, salah satu tetangga umat
Baha‟i Jakarta. Jakarta, 1 Nopember 2016).

Sistem neighborhood atau sistem kerja bakti di lingkungan sekitar dalam

konteks ini merupakan foci of activity yang merupakan sebuah sarana untuk

menciptakan tali intra personal dengan para tetangga melalui proses interaksi yang

rutin. Pada gilirannya, foci of activity menjadi salah satu faktor yang

mempengaruhi proses mobilisasi untuk mengajak individu berpartisipasi ke dalam

kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan komunitas Baha‟i di Jakarta. Dengan kata

lain, bahwa proses mobilisasi menggunakan jaringan-jaringan yang terbentuk

dalam foci of activity dan hal ini merupakan strategi yang efektif.

2. Kondisi Struktur Sosial-Politik

Berpartisipasinya seseorang ke dalam gerakan bukan hanya karena adanya

rasa tertekan, terpinggirkan atau rasa kerugian yang sama terhadap sebuah

sistem/struktur, tetapi menurut Jasper (1999:67) “the best predictor of who will

124
join is whether a person knows someone else already in the movement”. Bahkan,

mayoritas partisipan yang bergabung ke dalam gerakan ialah mereka yang terlibat

melalui proses tersebut (Snow et al, 1980:787-800). Pola keterlibatan partisipan

yang muncul semenjak tahun 1970-an ini menggunakan „social network’ sebagai

sarana mobilisasi dominan untuk merekrut partisipan. Dengan kata lain, terjadinya

sebuah kelompok gerakan ialah karena adanya sumberdaya yang dimobilisasi

secara terorganisir.

Dalam kasus ini, mulai dari datangnya Baha‟i ke Jakarta sampai pasca

reformasi, sudah berbagai bentuk kegiatan mengalami perubahan. Tetapi,

setidaknya, jaringan dan proses mobilisasi selalu kuat pada dan didominasi pada

jaringan-jaringan informal (jaringan keluarga, pertemanan, rekan kerja, kelompok

bermain dan lain-lain). Pemilihan strategi jaringan informal sebagai sarana

mobilisasi dominan bukanlah sebuah taktik yang datang begitu saja, tetapi

melainkan berangkat dari proses adaptasi atas lingkungan sosial maupun politik.

Konteks di Indonesia merupakan negara yang menganut hukum konstitusi

sebagai rule dalam bernegara. Bedasarkan itu pula konsekuensi peran sebagai

warga negara ialah menyesuaikan dengan norma dan desain institusionalnya

sebagai jaminan kelestarian masyarakat yang demokratis. Di sisi lain, menurut

Weber (1946:78), negara sebagai otoritas legal-formal telah memonopoli

kekuatan-kekuatan pertahanan maupun kekerasan untuk menjaga stabilitas dan

keteraturan dalam berjalannya hubungan antara masyarakaat dengan negara

(Orum, 2001:38). Dengan begitu, hukum sebagai sumber dari otoritas legal-

formal, dan aparatus negara (kekuatan kekerasan yang dimonopoli negara)

125
sebagai eksekutor dari hukum setidaknya salah satu alat yang mengatur berbagai

seluk-beluk kehidupan bermasyarakat, khususnya relasi sosial masyarakat agar

terciptanya stabilitas.

Dengan kata lain, hukum ialah salah satu sumber berkehidupan di Indonesia.

Sehingga, hubungan bernegara dan bermasyarakat menjadi sebuah hubungan

timbal-balik yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Artinya, segala tindakan

individu, kelompok, komunitas maupun organisasi akan selalu beririsan dengan

hukum di Indonesia. Begitupun hukum sebagai produk politik dibangun

bedasarkan asas rezim politik dan kondisi sosiologis masyarakat setempat.

Oleh karena itu peneliti membagi 2 babak bedasarkan konteks sosial politik.

Pertama, sebelum reformasi yang identik dengan rezim tertutup dan represif

terhadap komunitas Baha‟i di Indonesia pada umumnya. Kedua, pasca reformasi,

yang mana memiliki corak dalam keterbukaan politik (demokratisasi) yang sangat

berbeda dengan iklim politik sebelum reformasi. Meski ada 2 pembagian rezim,

setidaknya komunitas Baha‟i Jakarta sampai saat ini masih tetap menggunakan

jaringan-jaringan informal sebagai sarana mobilisasi.

2.1. Sebelum Reformasi

Menurut Diane Singerman (2007:183-185) gerakan sosial yang

menggunakan jaringan-jaringan informal sebagai sarana mobilisasi seringkali

ditemukan dalam rezim-rezim politik yang represif. Corak dari gerakan ini sering

ditemukan di negara-negara otoriter, seperti Timur Tengah atau negara-negara

represif lainnya yang mencirikan sistem politik yang eksklusif (Singerman,

126
2007:183-185). Begitupun Quintan Wiktorowicz (2007:36) menambahkan bahwa

pemilihan jaringan-jaringan informal (seperti jaringan keluarga, persahabatan,

pertemanan, tetangga dan sebagainya) dalam rezim yang represif merupakan

strategi yang lebih efektif dibandingkan dengan menggunakan jaringan-jaringan

formal. Hal ini disebabkan karena keberadaan komunitas Baha‟i dalam ruang

publik yang terlalu mencolok merupakan hal yang sangat berbahaya, karena

dalam konteks politik yang demikian, sumberdaya-sumberdaya formal seringkali

mengundang represi rezim dan mengamputasi atauu mengontrol gerakan untuk

menjaga stabilitas ekonomi-politik (Wiktorowicz, 2007:36).

Kondisi tersebut yang dialami komunitas Baha‟i di Jakarta sebelum

reformasi, saat berlakukannya keputusan presiden Ir. Soekarno No. 264/Tahun

1962 yang berisikan pelarangan atas tujuh organisasi termasuk Bahá‟í. Pelarangan

tersebut dikarenakan “tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia dan menghambat

penyelesaian revolusi, atau bertentangan dengan cita-cita sosialisme Indonesia”.

Aktivitas Baha‟i di Jakarta kemudian mengalami hambatan, terutama di ruang

publik (Nuhrison, 2014:2).

Konteks terciptanya regulasi No. 264/Tahun 1962, setidaknya menurut

Kesheh (1991:31) ada 2 kondisi. Pertama, tekanan dari kelompok agama

mayoritas di Indonesia pada pertengahan 1950 sampai reformasi, khususnya dari

kalangan pemimpin agama muslim dan dominasi islam dalam kementrian agama.

Menurut Kesheh (1991:32) ketertutupan masyarakat Indonesia, khususnya umat

muslim terhadap komunitas Baha‟i, salah satunya karena kekeliruan umat muslim

dalam mengidentifikasi agama Baha‟i dengan sekte muslim Syi‟ah. Umat muslim

127
mulai mengidentifikasi bahwa Baha‟i merupakan sekte dari Syiah melalui

pandangannya terhadap Imam Mahdi dan tempat kemunculan dari Baha‟i yaitu

Iran. Muslim Indonesia yang mayoritas Sunni bermazhab Syafi‟iyyah ini memiliki

pandangan fiqih yang berbeda dengan kalangan muslim Syi‟ah di Indonesia.

Sehingga komunitas Baha‟i menjadi korban dari gelombang stereotip Syi‟ah di

Indonesia. Menurut Nurish (2015:153) secara teologis, komunitas Baha‟i

dianggap menyimpang dari ajaran islam, khususnya kalangan militan Sunni yang

mayoritas di Indonesia. Diskursus penyimpangan Baha‟i dari islam terus

direproduksi ulang oleh kalangan umat muslim selama orde baru (Nurish,

2015:153).

Menurut Ahura Mazda:

Tahun 74 ada lagi golongan yang menjadi Baha‟i lagi. Dan kemudian agama Baha‟i
itu ditentang diawalnya. Terjadi gesekan-gesekan karena orang gak tau Baha‟i. Ada
yang memikirkan ini aliran islam, ada yang mengatakan ini organisasi, ada yang
mengatakan ini macam-macam, sudah pokoknya lengkap tujuannya gak karu-karuan
itu. Tiap kali ada orang Baha‟i di tentang, bahkan ada yang di penjara, ada yang
dipenjara 10 tahun, hanya karena ia agama Baha‟i. Tetapi akibat dari itu juga, orang
Baha‟i gak bisa tinggal di tempat itu kan akhirnya menyebar-menyebar gitu kan
(Wawancara Ahura Mazda, salah satu Konselor Baha‟i Asia. Jakarta, 17 Mei 2016).

Lebih jauh lagi dalam pandangan tekanan dari masyarakat pada saat itu,

Baha‟i kerap dianggap sebagai PKI karena memiliki kemiripan secara ideologis

atau pun pandangan hidup dalam bermasyarakat yang mengharuskan tanpa kelas

(Nurish, 2015:155). Eksklusi masyarakat ini memberikan tekanan kepada

komunitas Baha‟i di masyarakat di ruang publik maupun keseharian. Kekeliruan

masyarakat dalam mengidentifikasi Baha‟i sebagai PKI ini juga berperan dalam

tertutupnya masyarakat. Ditambah lagi peran historis memilukan dari tragedi 1965

yang terus direproduksi oleh negara (orde baru) bahwa PKI sebagai dalang.

128
Sehingga eksklusifitas masyarakat terhadap Baha‟i merupakan akumulasi

stereotip yang diberikan masyarakat kepada komunitas Baha‟i.

Kedua, dari kalangan „nasionalis‟ dari tahun 1950 sampai 1960-an yang

memiliki narasi „anti asing‟. Hal ini yang salah satunya memicu terciptanya

regulasi No. 264/Tahun 1962 (Kesheh, 1991:31). Seperti pendapat Ahura Mazda:

Di tahun 61 dan 62, ada kesalahpahaman karena waktu itu pemerintah itu kurang
begitu juga harmonis dengan „barat‟ waktu itu. Menurut cerita ini, semua ini adalah
apa yang kita mengerti per hari ini. Muncul pelarangan organisasi Baha‟i, jadi bukan
agama Baha‟i tahun 1962. Melalui dekrit presiden. Pelarangan itu digabung menjadi
satu dengan rotary club, lions club, jadi Baha‟i itu dianggap seperti club-club itu
juga, seperti itu. Saking tidak pahamnya tentang agama Baha‟i sampai kemudian
dipikir ini juga pasti aliran barat seperti barat gitu-gitu. Akibatnya luar biasa besar,
karena agama Baha‟i tidak ada pemimpin yang ada organisasinya. Waktu itu
organisasi agama Baha‟i pun dilarang. Nah orang Baha‟i itu ada prinsip dasar,
keyakinannya bahwa dia harus taat kepada pemerintah. Jadi kalau pemerintah
mengatakan bahwa gak boleh ada organisasi ya kita gak ada organisasi, taat.
Akibatnya kan serius, kita harus menyesuaikan diri dengan keadaan itu (Wawancara
Ahura Mazda, salah satu petinggi Baha‟i Asia Tenggara. Jakarta, 17 Mei 2016).

Peran kalangan nasionalis sebagai civil society tidak seperti kalangan muslim

Indonesia pada tahun 1950-an yang langsung menyerang komunitas Baha‟i

dengan berbagai interpretasi dan tuduhan-tuduhan keliru. Tekanan kaum

nasionalis lebih secara politik dan hukum melalui produk regulasi No. 264/Tahun

1962 yang mendiskriminasi komunitas Baha‟i selama era sebelum reformasi.

Terciptanya regulasi tersebut bisa dikatakan dalam logika pemerintah ialah

salah satu upaya untuk stabilitas politik luar negeri maupun dalam negeri. Seperti

pendapat Lakshmi Sita:

Pertama tentang kepres soekarno tahun 1962. Sukarno waktu itu karna memang
untuk menjaga stabilitas negara ya. Konteksnnya adalah organisasinya bersamaan
dengan beberapa organisasi-organisasi asing yang dianggap juga bawaan dari luar
negeri gitu. dengan adanya pelarangan itu memang ada pengaruhnya, dimana
mempengaruhi kepercayaan diri dan akhirnya teman-teman Baha‟i memang banyak

129
berkembang dilingkungan-lingkungan yang kecil-kecil itu dan berusaha untuk
bertahan dengan keyakinannya dan dengan tidak sedikitpun berusaha untuk
menutupi diri, tetapi dalam keadaan yang sama, dia juga tidak begitu agresif gitu.
Agresif dalam hal ini bukan berarti kita secara terbuka atau gimana ya tetapi ya kita
lebih bagaimana menjalankan agama itu ya saya adalah seorang Baha‟i tapi memang
kita tidak terlalu terbuka (Wawancara, Lakshmi Sita, salah satu anggota hubungan
luar Baha‟i Indonesia. Ciputat, 15 Mei 2016).

Dalam konteks ruang lingkup politik yang tertutup sebelum reformasi,

komunitas Baha‟i di Jakarta tetap melakukan beberapa aktivitas rutin keagamaan

maupun sosial masyarakat. Tetapi hanya kadar kemunculan di ruang publik saja

yang dikurangi. Mereka tetap melakukan kegiatan inti di Indonesia, khususnya di

Jakarta. Seperti doa bersama dan belajar bersama masih eksis pada saat itu. Oleh

sebab itu, proses mobilisasi dari kegiatan inti tersebut lebih mengutamakan

jaringan-jaringan informal (keluarga, pertemanan, kerabat, rekan kerja, tetangga

dan lain-lain) sebagai medium utama mobilisasi. Seperti yang disebut oleh Snow,

Zurcher, Olson (1980:790) melalui private channels – face to face, merupakan

jalur mobilisasi jaringan-jaringan informal pada saat itu. Atau menururt Nurish

gerakannya secara sembunyi-sembunyi (Nurish, 2015:155).

Konteks ini seperti yang dikatakan oleh Singerman (2007:184) dan

Wiktorowicz (2007:36) bahwa jaringan-jaringan sosial akan lebih dipilih

ketimbang jaringan-jaringan formal, karena lebih efektif dan tidak mengundang

represi dari rezim pemerintahan maupun menciptakan konflik horizontal dengan

masyarakat. Represifitas dari rezim sebelum reformasi terhadap komunitas Baha‟i

di Indonesia, khususnya Jakarta, termanifestasi melalui keputusan presiden Ir.

Soekarno No. 264/Tahun 1962. Itulah sebabnya komunitas Baha‟i Jakarta yang

130
mendapatkan represi melalui negara dan masyarakat lebih aman dan efektif

melakukan mobilisasi menggunakan jaringan-jaringan informal.

2.2. Pasca Reformasi

Pasca reformasi, regulasi No. 264/Tahun 1962 di cabut oleh KH.

Abdurrahman Wahid sebagai presiden ke-4 karena sudah tidak sesuai dengan cita-

cita demokrasi Indonesia. Reformasi sebagai titik poin dari keterbukaannya

demokrasi dan kebebasan berekspresi, berpendapat dan berserikat, menjadi

peluang bagi komunitas Baha‟i Jakarta untuk memperkuat gerakan dan mobilisasi

secara masif, khususnya pada gerakan pendidikan dan transformasi sosial

masyarakat (Nuhrison, 2014:2)..

Namun, runtuhnya rezim represif (sebelum reformasi) nyatanya tidak

mengubah keeksklusifan masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim. Apalagi

mengingat komunitas Baha‟i mendapatkan berbagai macam stereotip dari civil

society di Indonesia. Seperti cap sesat dari MUI daerah lampung, dan Forum

Umat Islam (FUI). Reformasi atau gelombang demokratisasi hanya melunakan

negara yang menekan kelompok-kelompok minoritas. Tetapi, tekanan dan

penolakan dari kalangan kaum muslim sebagai komposisi mayoritas di Indonesia

dari 1950-an masih terus berjalan pasca reformasi. Dalam kehidupan sehari-hari

pun masih ada juga penolakan dari kalangan agama. Seperti pengalaman Lakshmi

Sita “....kadang-kadang ditolak juga sih. Ditolaknya karena Baha‟i. Pernah ditolak

sama ustad, mereka bilang „udahlah agama mu, agamamu. Agama ku, agama ku‟.

131
Seolah-olah kita itu mengajarkan agama Baha‟i” (Wawancara, Lakshmi Sita,

salah satu anggota hubungan luar Baha‟i Indonesia. Ciputat, 15 Mei 2016).

Kemudian pendapat Ratna Vineeta tentang kekeliruan masyarakat yang

menyebabkan seringkali terjadinya penolakan:

Jadi kalau saya pelajari lebih banyak di daerah-daerah itu terjadinya permasalahan
dengan orang Baha‟i murni ya hampir kebanyakan karena kesalah pahaman.
Kesalah pahaman itu ada banyak faktor, kadang prasangka yang timbul karena
kurangnya informasi mengenai agama Baha‟i. Karena waktu jaman masih dilarang
orang Baha‟i ini kan kebanyakan menutup diri. Jadi, Karena orang Baha‟i menutup
diri, kalau dia ada di suatu lingkungan atau di desa yang mayoritas agama tertentu,
lalu orang dengan otomatis saja mengasumsikan dia beragama. Kamu liat muka
saya, kamu langsung asumsi saya agama kristen, gitulah kira-kira. Ada prasangka.
Jadi waktu akhirnya ketahuan orang ini agama Baha‟i, disitu timbul masalahnya.
umumnya yang terjadi konflik yang saya tau itu kesalah pahaman, karena dalam
agama Baha‟i ini lahir di timur tengah. Kalau di desa-desa yang mayoritas islam,
terus terang, agama Baha‟i ini banyak yang dianggap sempalan Islam, terus
dianggap aliran sesat. Mirip Ahmadiyah dan sejenisnya gitu (Wawancara, Ratna
Vineeta, salah satu anggota hubungan luar Baha‟i Indonesia. Tangerang Selatan, 18
Juli 2016).

Kekeliruan dalam mengidentifikasi ternyata terus diproduksi dalam

masyarakat melalui fatwa-fatwa para ulama-ulama daerah maupun lembaga-

lembaga keagamaan masyarakat seperti Forum Umat Islam (FUI), Majelis Ulama

Indonesia (MUI) dan lain-lain. Ikhwal tersebutlah yang berkontribusi dalam

eksklusifitas masyarakat muslim Indonesia, khususnya di Jakarta terhadap

komunitas Baha‟i di Jakarta. Bentuk reproduksi lain misalnya, Ketua Dewan

Pimpinan MUI Pusat, Muhyidin Djunaidi sangat tidak sepakat apabila Baha‟i

diakui sebagai Agama oleh pemerintah RI. Menurutnya, “Baha‟i merupakan

perpanjangan tangan dari sekte yang masih memiliki hubungan historis dengan

islam jadi sangat tidak setuju jika Baha‟i diakui menjadi agama di Indnesia”

(Republika, 13 Agustus 2014). Kemudian Forum Islami (FIS) menggelar

132
pertemuan yang merasa resah karena umat Baha‟i yang dianggap mencoba

mengkikis ajaran Islam. (Salam Online, 15 Maret 2013).

Tekanan dari Front Pembela Islam (FPI) pun datang melalui statement Habib

Riziq (Imam Besar Front Pembela Islam) yang menganggap Baha‟i sebagai

agama sesat saat diskusi di Megamendung Bogor, Jumat 1 Agustus 2014. Baha‟i

dianggap merupakan sekte dalam Islam yang telah keluar dan menyimpang. Oleh

karena itu, menurut Habib Riziq “mereka harus kita lawan, tidak boleh diijinkan

di Indonesia” (Suara Islam, 2 Agustus 2014).

Statement MUI yang menganggap bahwa Baha‟i telah menyimpang dari salat

5 waktu dan dianggap tidak mengakui Nabi Muhammad sebagai Nabi. Statement

MUI juga yang dimuat Kompas tentang kesesatan Baha‟i. Dan bahwa Baha‟i

dianggap telah menistakan Agama Islam. Hal ini kemudian direspon oleh pihak

kepolisian dan dianggap melanggar undang-undang tentang penistaan agama.

(News Okezone, 26 Oktober 2009; Regional Kompas, 26 Oktober 2009).

Dalam beberapa media online misalnya, ada beberapa media yang menekan

aktivitas-aktivitas komunitas Baha‟i dalam ruang publik. Beberapa media skala

nasional juga memreproduksi diskursus tentang komunitas Baha‟i yang dianggap

aliran sesat seperti Republika, voa-islam.com, kiblat.net dan media-media yain

dengan narasi dan interpretasi masing-masing tentang kesesatan komunitas

Baha‟i. (Republika, 24 Juli 2014; VOA Islam, 27 Oktober 2009; Kiblat, 24 Juli

2014).

133
Tekanan masyarakat dalam media online dan reproduksi diskursus kesesatan

Baha‟i tersebut memberikan contoh tertutupnya relasi masyarakat pasca reformasi

yang kemudian menjadikan komunitas Baha‟i Jakarta masih enggan untuk

meningkatkan kadar penampakannya di ruang publik. Inilah yang menjadi sebab

komunitas Baha‟i Jakarta sulit untuk bergerak dalam ruang publik, dan lebih

memilih bergerak dalam akar-rumput menggunakan jaringan-jaringan informal.

Jalur mobilisasi (rekrutment) inilah yang mereka gunakan pasca reformasi sebagai

upaya dalam bertahan dan berkembangnya komunitas Baha‟i Jakarta. Jika

Singerman (2007) dan Wiktorowicz (2007) menganggap bahwa pemilihan

jaringan-jaringan informal sebagai sarana mobilisasi agar tidak mengundang

represi rezim, pada konteks fenomena komunitas Baha‟i di Jakarta yang

menggunakan jaringan-jaringan informal bukan hanya karena adanya represi dari

negara, tapi bergeser pada represi dari lingkup sosial masyarakat.

134
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Bedasarkan hasil eksplorasi dan penjelasan dalam analisis yang telah dituangkan

dalam pembahasan, setidaknya ada beberapa kesimpulan dan benang merah yang

dapat diambil bahwa dalam bertahan dan berkembangnya komunitas Baha’i di

Jakarta harus terlebih dahulu dilihat dari upaya mobilisasi sumberdaya komunitas

Baha’i di Jakarta. Komunitas Baha’i di Jakarta yang aktif dalam melakukan berbagai

kegiatan-kegiatan sebagai upaya bertahan ini melakukan proses mobilisasi melalui

jaringan-jaringan informal sebagai sarananya. Meski ada sedikit bukti bahwa

beberapa jaringan-jaringan formal ikut serta dalam proses mobilisasi pasca reformasi,

tapi setidaknya corak jaringan-jaringan informal menjadi sarana dominan yang

berperan besar dalam proses mobilisasi.

Jaringan-jaringan informal seperti pertemanan diantara keluarga, persahabatan,

rekan kerja, lingkungan tetangga, kelompok bermain dan sebagainya, mengambil

perannya masing-masing yang terbagi dalam 2 babak periode. Pertama, kegiatan inti

sebelum reformasi (kegiata belajar dan doa bersama) dan 4 kegiatan inti pasca

reformasi (kelas anak, kelompok remaja, kelompok dewasa dan doa bersama), serta

beberapa kegiatan monumental (hari raya) yang diselenggarakan komunitas Baha’i di

Jakarta.

135
Hasilnya, kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan komunitas Baha’i sebelum

reformasi didominasi oleh jaringan informal sebagai sarana mobilisasi. Dua kegiatan

inti (belajar bersama dan doa bersama) diikuti oleh partisipan-partisipan masyarakat

di Jakarta melalui jalur tersebut. Begitupun pasca reformasi, bahwa jaringan informal

mengambil peran dominan sebagai sarana mobilisasi partisipan ke dalam kegiatan

yang diselenggarakan komunitas Baha’i di Jakarta. Setidaknya 4 kegiatan inti pasca

reformasi memiliki corak dan jalur jaringan informalnya masing-masing.

Pertama, bahwa jaringan informal seperti pertemanan antar keluarga mengambil

peran penting dalam proses mobilisasi pada kelas anak. Jaringan informal ini menjadi

corak dominan dalam proses mobilisasi dalam kegiatan tersebut.

Kedua, jaringan informal pertemanan antar keluarga dan kelompok bermain (peer

group) menjadi corak dominan dalam proses mobilisasi pada kegiatan kelompok

belajar remaja. Ketiga, jaringan informal persahabatan, pertemanan, rekan kerja,

teman bermain, tentangga merupakan jaringan yang bekerja dalam proses mobilisasi

partisipan ke dalam kegiatan kelompok belajar dewasa. Ketiga kegiatan ini memiliki

jalur-jalur atau corak jaringannya masing-masing karena karakter dari kegiatan

tersebut (kelas anak, kelompok belajar remaja dan kelompok belajar dewasa).

Keempat, kegiatan doa bersama (ritus keagamaan) dan beberapa kegiatan

monumental (hari raya) memiliki jaringan-jaringan informal yang lebih banyak

mencangkup pertemanan antar keluarga, tetangga, rekan kerja, kelompok bermain

136
sebagai sarana dari proses mobilisasi partisipan. Ada juga beberapa tempat yang

sudah melibatkan jaringan formal (seperti organisasi dan RT/RW) dalam proses

mobilisasi yang tidak terlalu signifikan.

Dari jaringan-jaringan tersebut, selain berperan dalam proses memobilisasi

partisipan ke dalam kegiatan atau gerakan, jaringan-jaringan sosial informal juga

bekerja dalam proses mempertahankan partisipan agar tidak keluar (trashed-out) dari

kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan komunitas Baha’i Jakarta. Artinya, jaringan-

jaringan tersebut berperan dalam pembentukan komitmen partisipan dalam

menjalankan kegiatan-kegiatan secara rutin. Pada gilirannya, komitmen yang telah

terbangun tersebut memberikan border terhadap para partisipan kegiatan agar tetap

bertahan dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan komunitas Baha’i. Lebih

jauh lagi, bahwa jaringan-jaringan sosial tersebut pada gilirannya akan membuka

jaringan-jaringan sosial yang baru untuk proses memobilisasi partisipan-partisipan

yang lebih luas.

Perlu dipahami, bahwa jaringan-jaringan informal tersebut nyatanya tidak selalu

memfasilitasi proses mobilisasi komunitas Baha’i Jakarta dalam kegiatan-kegiatan

yang diselenggarakannya. Dalam konteks ini, peneliti membagi 2 karakter jaringan

bedasarkan peran dan fungsinya sebagai sarana mobilisasi. Pertama, jaringan

produktif, yaitu jaringan yang terbentuk atau dimiliki komunitas Baha’i Jakarta dan

bekerja dalam proses memobilisasi partisipan untuk terlibat ke dalam kegiatan

ataupun gerakan. Kedua, jaringan unproductive, yaitu jaringan yang terbentuk atau

137
dimiliki komunitas Baha’i Jakarta, tetapi tidak berperan dalam proses memobilisasi

partisipan ke dalam gerakan. Karena tidak semua jaringan sosial informal dapat

dimobilisasi oleh komunitas Baha’i di Jakarta.

Pemilihan jaringan informal sebagai corak dominan dari proses mobilisasi

komunitas Baha’i di Jakarta bukan merupakan sesuatu yang taken for granted.

Pemilihan dan pembentukan jaringan tersebut merupakan proses sosiologis dan

dialektis yang dipengaruhi oleh beberapa faktor struktur-struktur sosial-politik.

Pertama yaitu homophily principle sebagai ciri umum pertama dari proses interaksi

masyarakat perkotaan, khususnya kota Jakarta. Prinsip-prinsip ini menjadi pola

interaksi yang umum sehingga membentuk jaringan-jaringan sosial informal yang ada

dalam masyarakat Jakarta. Kedua, yaitu foci of activity sebagai ciri umum kedua dari

proses interaksi masyarakat perkotaan seperti Jakarta, yang pada gilirannya juga

membentuk jaringan-jaringan sosial informal masyarakat perkotaan, khususnya

Jakarta. Dua pola interaksi umum masyarakat perkotaan ini yang membentuk relasi

atau jaringan-jaringan informal dalam masyarakat perkotaan. Artinya, Jakarta sebagai

daerah perkotaan, struktur-struktur sosialnya tidak selalu identik dengan formalitas

modern. Jaringan-jaringan sosial informal justru juga memadati relasi masyarakat

perkotaan.

Setelah terbentuknya jaringan-jaringan sosial informal masyarakat Jakarta,

penentuan jaringan-jaringan informal sebagai proses mobilisasi partisipan oleh

komunitas Baha’i Jakarta dipengaruhi oleh 2 hal. Pertama, sistem politik yang

138
represif. Kedua, masyarakat yang tertutup. Sistem politik yang represif dan

tertutupnya masyarakat terhadap komunitas Baha’i Jakarta ini terjadi pada

pemerintahan sebelum reformasi. Sedangkan era reformasi yang identik dengan

gelombang demokratisasi, setidaknya menghilangkan represifitas rezim politik,

namun tidak menyentuh pada persoalan ketertutupan masyarakat akar rumput.

Artinya, tertutupnya masyarakat tidak mampu dibendung oleh proses demokratisasi

tersebut.

Jaringan informal sebagai sarana mobilisasi partisipan ke dalam kegiatan-kegiatan

komunitas Baha’i ini merupakan pemilihan yang tepat karena dipandang jauh lebih

efektif dalam kondisi tersebut. Selain tidak mengundang represi rezim, juga tidak

mengundang konflik dan tekanan horizontal dari tertutupnya masyarakat. Dua faktor

besar inilah yang mendasari komunitas Baha’i lebih memilih jaringan informal

sebagai sarana mobilisasi.

Dari analisis yang berkesinambungan tersebut setidaknya menggambarkan proses

bertahan komunitas Baha’i di Jakarta sebagai sebuah gerakan sosial. Seluruh proses

sosiologis tersebut menjadi titik poin dalam upaya bertahannya komunitas Baha’i di

Jakarta.

139
B. Saran

Penelitian ini bukanlah final dalam kajian komunitas Baha’i. Artinya bahwa

penelitian ini memiliki kelemahan-kelemahan pada titik-titik tertentu. Bahwa

penelitian ini hanya membaca proses dan peran jaringan-jaringan informal sebagai

strategi bertahan komunitas Baha’i di Jakarta. Penelitian ini tidak menggunakan

seluruh perspektif gerakan sosial secara konprehensif.

Oleh karena itu, peneliti menyarankan agar penelitian-penelitian selanjutnya dari

perspektif sosiologi bisa melakukan kajian dan penelitian yang lebih konprehensif

dan mendalam terkait komunitas Baha’i, khususnya dalam unit analisasi sosiologi

agama, sosiologi politik, sosiologi globalisasi maupun gerakan sosial. Melihat proses

keberlangsungan komunitas Baha’i sebagai sebuah kelompok keagamaan di

Indonesia merupakan kasus yang unik sebagai sebuah agama dengan berbagai macam

ritual keagamaan yang berimplikasi atau bahkan dipengaruhi oleh relasi-relasi sosial

masyarakat. Fenomena komunitas Baha’i di Indonesia pun juga memiliki urgensi

yang tidak kalah penting karena proses keberlangsungan hidupnya seringkali

mengalami diskriminasi maupun tekanan dari lingkungan masyarakat, yang tidak

mampu dijawab oleh gelombang demokratisasi yang digadang-gadang sebagai proses

kesamarataan dalam berkehidupan dan mampu menjunjung tinggi hak manusia yang

paling asas.

140
Peneliti menyarankan adanya kajian sosiologi lebih lanjut untuk menjawab

persoalan-persoalan yang lebih mendalam menggunakan aplikasi teoritis yang juga

konprehensif sebagai sebuah rekomendasi yang bermanfaat untuk kehidupan

bermasyarakat yang lebih adil sebagaimana dicita-citakan oleh pendiri bangsa.

141
DAFTAR PUSTAKA

Anheier, Helmut, 2003. “Movement Development and Organizational Networks:


The Role of Single Members' in the German Nazi Party, 1925-30” h. 49-74
di Social Movements and Networks: Relational Approaches to Collective
Action, diedit Mario Diani dan Doug McAdam. Oxford: Oxford University
Press.

Arikunto, S, 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. (Edisi Revisi),


Jakarta: Rineka Cipta.

Burke, Peter, 2011. Sejarah dan Teori Sosial. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.

Bruinessen, Martin V. 1992. "Gerakan sempalan di kalangan umat Islam


Indonesia: latar belakang sosial-budaya" dalam Ulumul Qur'an vol. III no.
1, 16-27. Diunduh pada 17 April 2016. (dspace.library.uu.nl)

Cole, R.I.Juan, 2004. “The Azali-Baha’i Crisis of September 1867.” h. 227-251 di


Studies In Modern Religions: Religious Movements and The BaBi- Baha’I
Faith diedit Moshe Sharon, Leiden: Boston. (www.BookFi.org)

Davis, Gerald. F, et al, 2005. Social Movements and Organization Theory.


Cambrigde: Cambridge University Press.

Diani, Mario, 2003. “Networks and Social Movements: A Research Programme.”


h. 299-319 di Social Movements and Networks: Relational Approaches to
Collective Action, diedit Mario Diani dan Doug McAdam. Oxford: Oxford
University Press.

Diani, Mario, 2004. “Networks and Participation.” h. 339-359 di The Blackwell


Companion to Social Movements diedit oleh David A. Snow, Sarah A.
Soule, dan Hanspeter Kriesi. Blackwell Publishing.

Effendi, Shoghi. 1970. “Dawn A New Day: Message to India 1923-1957”, Baha’i
Publishing Trust: New Delhi.

Eijk, Gwen Van, 2010. Unequal Networks: Spatial Segregation, Relationships


And Inequality In The City, IOS Press under the imprint: Delft University
Press.

142
Fathea’zam, Husmand, 2009. Taman Baru. Indonesia: Majelis Rohani Nasional
Bahá’í Indonesia.

Fazel, Seenal. 1994. “Is the Bahá’í Faith a World Religion?” h: 1-16 di Journal of
Bahá’í Studies Vol. 6, nomor 1, Ottawa: Association for Bahá’í Studies
North America. Diunduh pada 4 April 2015 (www.bahai-studies.ca) dan
(www.bahai-library.com)

Feld, S.L. 1982, Social Structural Determinants of Similarity among Associates,


American Sociological Review, pp. 797-801.

Flanangan, William G. 2010. Urban Sociology Images and Structure, United


States of America. (www.BookFi.org) diunduh pada 27 April 2016.

Fuchs, Christian. 2006. “The Self-Organization of Social Movements.” h. 101-137


dalam Systemic Practice and Action Research, Vol. 19, No. 1, Pebruari.
(http://fuchs.uti.at/wp-content/uploads/SM1.pdf)

Guha, Ranajit, 1999. Elementary Aspects of Peasant Insurgency In Colonial


India, Durham and London: Duke University Press. Diunduh 8 April 2015
(www.bookfi.net)

Godwin, Jeff & Jasper, James M, 2003. The Social Movements Reader: Case and
Concepts. Blackwell Publishing.

Hampson, Arthur. 1980. “The Growth and Spread of The Baha’i Faith”. Disertasi
untuk meraih gelar Doctor of Philosophy di University of Hawaii.

Hanley, Paul, 1990. “Agriculture: A Fundamental Principle.” di Journal Bahá’í


Studies Vol. 3, Nomor 1, Ottawa: Association for Bahá’í Studies North
America. Diunduh pada 4 April 2015 (www.bahai-studies.ca) dan
(www.bahai-library.com)

Hatcher, William S. & Martin, J. Douglas. 1885. “The Baha’i Faith: The
Emerging Global Religion”, Harper and Rom: San Francisco.

Hoonaard, Will C. van den, 1988. “The Bahá’í Community of Canada: A Case
Study in the Transplantation of Non-Western Religious Movements to
Western Societies.” di Journal Bahá’í Studies Vol. 7, Nomor 3, Ottawa:
Association for Bahá’í Studies North America, (1995). Diunduh pada 4
April 2015 (www.bahai-studies.ca) dan (www.bahai-library.com)

143
Hoonard, Will C. van den. 1996. The Origins of The Baha’i Community of
Canada, 1898-1948. Canada: Willfrid Laurier University Press.
(www.BookFi.org)

Human Rights Watch: Atas Nama Agama. Printed in the United States of America
ISBN: 1-56432-996-8 Cover design by Rafael Jimenez, 2003. Diunduh pada
8 Januari 2016 (www.hrw.org)

Jasper, James M. 1999. “Recruiting Intimates, Recruiting Strangers: Building The


Contemporary Animmal Rights Movement” dalam Waves of Protest:
Social Movements Since The Sixties, di edit Jo Freeman & Victoria
Johnson. Maryland: Rowman & Littlefield Publisher.

Jenkins, J Craig. 1983. “Resource Mobilization Theory And The Study of Social
Movements.” h. 527-553 dalam Annual Review of Sociology, Vol. 9.
(http://courses.arch.vt.edu/courses/wdunaway/gia5274/jenkins83.pdf)

Keene, Michael. 2006. Agama-Agama Dunia: Hinduisme, Yahudisme,


Buddhisme,Kristianitas, Islam, Sikhisme, Konfusianisme, Taonisme,
Zoroastrianisme, Shintoisme, Kepercayaan Baha’i. Penerbit Kanisius,
Yogyakarta.

Kepel, Gilles, 1997. Pembalasan Tuhan: Kebangkitan Agama-Agama Samawi di


Dunia Modern. Pustaka Hidayah.

Klandersmans, Bert. 1984. “Mobilization And Participation: Social-Psychological


Expansions of Resource Mobilization Theory.” h. 583-600 dalam
American Sociological Review, Vol. 49, Oktober. Amsterdam: Free
University.
(https://investimentosocial.wikispaces.com/file/view/14858682.pdf)

Kustini & Arif, Syaiful. 2015. “Eksistensi Agama Baha’i Di Palopo Sulawesi
Selatan”. h. 53-80 dalam Baha’i, Sikh, Tao: Penguatan Identitas dan
Perjuangan Hak-Hak Sipil. Puslitbang Kehidupan Keagamaan: Badan
Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI.

Lazarsfeld, P.F. & R. K. Merton. 1954. “Friendship as a Social Process: A


Substantive and Methodological Analysis”, dalam Freedom and control in
modern society, h. 18-66, diedit Morroe Berger, Theodore Abel, dan
Charles Page, New York: Van Nostrand.

144
Mahmoudi, Hoda, 2008. “The Permanence of Change: Contemporary
Sociological and Bahá’í Perspective” h. 41-76 di Journal of Bahá’í
Studies, Vol. 18, nomor 1/4, , Ottawa: Association for Bahá’í Studies
North America, 2008. Diunduh pada 4 April 2015 (www.bahai-studies.ca)
dan (www.bahai-library.com)

Marvasti, Amir B. 2004. Qualitative Research in Sociology: An Introduction.


New Delhi-London: SAGE Publications.

McAdam, Doug. 1986. “Recruitment to High-Risk Activism: The Case of


Freedom Summer.” h. 64-90 dalam American Journal of Sociology Vol.
92, Issue 1, Juli. The University of Chicago Press.
(http://www.sscnet.ucla.edu)

McAdam, Doug, 2003. “Recruits to Civil Rights Activism.” h. 55-63 di The


Social Movements Reader: Case and Concepts, diedit Jeff Godwin & James
M. Jasper. Blackwell Publishing.

McAdam, Doug, John D. McCarthy, dan Meyer N Zald. 1996. Comparative


Perspectives on Social Movements: Political Opportunities, Mobilizing
Structures, and Cultural Framings. Cambridge:Cambridge University Press.

McCharty, John and Mayer Zald. 1977. Resource Mobilization and Social
Movement: A Partial Theory. Chicago Journals h:1212-1241, University of
Chicago Press.

McCharty, John D. 1996. “Constraints And Opportunities In Adopting, Adapting,


And Inventing”, h. 141-151 dalam Comparative Perspectives On Social
Movements: Political Opportunities, Mobilizing Structures, And Cultural
Framings diedit Doug McAdam, John D, McCharty, Mayer N. Zald,
Cambridge University Press.

Kesheh, Natalie Mobini. 1991. “Guided Religion’: Religious Policy In Old Oreder
Indonesia and The Banning of The Baha’is”, tesis di Monash University,
Australia.

Moleong, Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja


Rosdakarya.

Momen, Moojan. 1997. Baha’i Faith: A Beginner’s Guide, England: One World
Oxford. Diunduh pada 9 Juli 2015 (www.BookFi.org)

145
Momen, Moojan. 2002. The Baha’I Faith: A Short Introduction, Englang, Oxford:
OneWorld Press. Diunduh pada 9 Juli 2015 (www.BookFi.org)

Momen, Moojan. 2004. “Millennialist Dreams and Apocalyptic Nightmares.” h.


97-116 di Studies In Modern Religions: Religious Movements and The
BaBi- Baha’I Faith diedit Moshe Sharon, Leiden: Boston.
(www.BookFi.org)

Muhadjir, Noeng. 1998. Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake


Sarasan.

Neuman, W. Lawrence. 2007. Basic of Social Research: Qualitative and


Quantitative Approaches. Pearson Education.

Nuh, M. Nuhrison. 1994. “Kelompok Penganut Agama Baha’I, di Kecamatan


Margoyoso Kabupaten Pati” h. 16-21. Di Direktori Aliran, Faham dan
Gerakan Keagamaan, diedit Bashori A. Hakim, Jakarta: Puslitbang
Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Agama, Departemen Agama RI.
Diunduh pada 8 Januari 2016 pukul 17:49 (www.simbi.kemenag.go.id)

Nuh, M. Nuhrison. 2015. “Analisis Kebijakan Pemerintah Terhadap Penganut


Agama Baha’i di Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah” h. 129-143. Di
Jurnal Multikultural & Multireligius. Vol. 14. Jakarta: Puslitbang
Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI.

Nurish, Amanah. 2010. “Baha’i: A Narrative of Minority Religion In Indonesia: A


Case Study In Banyuwangi, East Java”, Tesis di The Center for Religious
And Cross-Cultural Studies (CRCS), Universitas Gajah Mada.

Nurish, Amanah. 2015. “Perjumpaan Baha’i dan Syi’ah Di Asia Tenggara:


Paradoks Munculnya Imam Mahdi si Abad Modern.” h. 145-160 di Jurnal
Maarif Vol. 10, No. 2. Desember, Jakarta: Maarif Institute for Culture and
Humanity.

Orum, Anthony M. 2001. Introduction To Political Sociology. University of


Illinois: Chicago.

Passy, Florence, 2003. “Social Networks Matter. But How?” h. 21-48 di Social
Movements and Networks: Relational Approaches to Collective Action,
diedit Mario Diani dan Doug McAdam. Oxford: Oxford University Press.

Porta, Della & Diani, Mario. 2006. Social Movement: An Intriduction, second
edition, Blackwell Publishing.

146
Rachman, Maman. 1999. Strategi dan Langkah-Langkah Penelitian, Semarang:
IKIP Semarang Perss.

Rahardjo, Dawam. 1999. Gerakan Keagamaan Dalam Penguatan Civil Society:


Analisis Perbandingan Visi dan Misi LSM dan Ormas Berbasis
Keagamaan. Jakarta:Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF).

Rassekh, Farhad, 2001. “The Bahá’í Faith and the Market Ekonomy” (2001) di
Journal of Baha’i Studies Vol. 11, nomor 3/4, Ottawa: Association for
Bahá’í Studies North America. Diunduh pada 4 April 2015 (www.bahai-
studies.ca) dan (www.bahai-library.com)

Rosyid, Moh. 2015. “Agama Baha’i: Dalam Lintas Sejarah Di Jawa Tengah”.
Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Roumi, Siyyid Mustafa. 1885. “Baha’i Pioneers: A Short Historical Survey of The
Baha’i Movement In India, Burma, Java Islands, Siam, And Malay
Peninsula”. The Baha’i Magazine, h: 76-79.

Semiawan, Conny R, 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Grasindo.

Sharon, Moshe, 2004. Studies In Modern Religions: Religious Movements and


The BaBi- Baha’I Faith, Leiden: Boston. (www.BookFi.org)

Singerman, Diane. 2007. “Dunia Sosial Islamis Yang Berjejaring”, dalam


Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial. h. 183-208, diedit
Quintan Wiktorowiccz. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen
Agama.

Situmorang, Abdul Wahib. 2007. Gerakan Sosial: Studi Kasus Beberapa


Perlawanan. Yogyakarta:Pustaka Belajar.

Snow, David A, Zurcher, Louis A, Ekland-Olson, Sheldon. 1980. “Social


Networks and Social Movements: A Microstructural Approach to
Differential Recruitment.” h. 787-801 dalan American Sociological
Review, Vol. 45, No. 5 Oktober. Tersedia
(https://campus.fsu.edu/bbcswebdav/institution/academic/social_sciences/s
ociology/Reading%20Lists/Stratification%20%28Politics%20and%20Soci
al%20Movements%29%20Copies%20of%20Articles%20from%202009/S
now-ASR-1980.pdf)

Somantri, Gumilar R, dkk, 2004. Sosiologi Perkotaan. Jakarta: Universitas


Terbuka.

147
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. CV. Alfabeta:
Bandung.

Suyanto, B & Suminah. 2007. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif


Pendekatan. Jakarta:Kencana.

Strauss, Anselm & Corbin, Juliet. 2015. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sztompka, Piotr. 1993. Sosiologi Perubahan Sosial. Prenada.

Tarrow, Sydney. 1998. Power in Movement: Social Movement and Contentious


Politics. Cambridge: Cambridge University Press.

The Editors of Salem Press. 2011. Sociology Reference Guide: Theories of Social
Movements. California: Salem Press.

Usman H., Akbar, Setiady P. 1995. Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta: PT.
Bumi Aksara.

Vries, Jelle De. 2007. “Jamal Effendi and Sayyid Mustafa Rumi in Celebes: The
Context of Early Baha’i Missionary Activity in Indonesia” h.23-37 di
Baha’i Studies Review, Vol. 14, Ottawa: Association for Bahá’í Studies
North America. Diunduh pada 25 Agustus 2016 pukul 16:28 WIB
(http://bahai-library.com/devries_jamal_effendi_rumi)

Warburg, Margit, 2006. Citizens of the World A History and Sociology of the
Baha’is from a Globalisation Perspective, Leiden: Boston.
(www.BookFi.org)

Weber, Max. 1946. “Politics As a Vacation”, dalam From Max Weber: Essays In
Sociology, h. 77-128, diedit H.H. Gerth dan C. Wright Mills. Oxford
University Press.

Weinberg, Matthew, 2011. “Identity, Discourse, and Policy: Reconstructing the


Public Sphere” dalam Journal of Bahá’í Studies, Vol. 21, nomor 1/4 ,
h:73-98, Ottawa: Association for Bahá’í Studies North America. Diunduh
pada 4 April 2015 (www.bahai-studies.ca) dan (www.bahai-library.com)

Whittier, Nancy, 2003. “Sustaining Commitment Among Radical Feminists.” h.


103-115 di The Social Movement Reader: Case and Concepts diedit oleh
Jeff Goodwin dan James M. Jasper, Blackwell Publishing.

148
Wiktorowicz, Quintan. 2007. Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial.
Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama.

Zabihi-Mogaddham, Siyamak. 2004. “The Bàbì-State Conflict in Màzandaràn:


Background, Analysis and Review of Sources.” h. 179-226 di Studies In
Modern Religions: Religious Movements and The BaBi- Baha’I Faith diedit
Moshe Sharon, Leiden: Boston. (www.BookFi.org)

Zulkifli. 2013. The Struggle of The Shi’is In Indonesia. Australian National


University: ANU Press.

Website

Adhila, “Habib Rizieq: Baha’i Kelompok Sesat, Wajib Ditolak Di Indonesia”.


Suara-islam.com. 2 Agustus 2014. Diakses 9 Desember 2016.
http://www.suara-islam.com/read/index/11529

“Ajaran Agama Baha’i”. bahaiindonesia.org. diakses pada 19 April 2015.


http://bahaiindonesia.org/ajaran-agama-bahai/

Dendy. “Ingin Diakui, Aliran Sesat Baha’i Muncul di Bandung, Umat Islam
Waspada”. Salam-online.com. 15 Maret 2013. Diakses 9 Desember 2016.
http://www.salam-online.com/2013/03/ingin-diakui-aliran-sesat-bahai-
muncul-di-bandung-umat-islam-waspada.html

Hamdani, A Ibrahim & Putra, Erik Purnama, “Ikadi: Sesuai Kriteria MUI, Baha'i
Termasuk Aliran Sesat”. Republika.co.id. 24 Juli 2014. Diakses 9
Desember 2016. http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-
nusantara/14/07/24/n98303-ikadi-sesuai-kriteria-mui-bahai-termasuk-
aliran-sesat

Kesesatan Ajaran Baha'i” voa-islam.com. 27 Oktober 2009. Diakses pada 9


Desember 2016. http://www.voa-
islam.com/read/tsaqofah/2009/10/27/1526/kesesatan-ajaran-
bahai/#sthash.GY64pwX3.dpbs

Marbun, Julkifli. “Bentuk Ibadah Agama Baha’i”. Nasional.republika.co.id. 13


Agusrus 2014. diakses pada 20 April 2016.
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/08/13/na80cn-
bentuk-ibadah-agama-bahai

149
“Masuknya Agama Baha’i di Asia Selatan dan Asia Tenggara”.
Bahaiindonesia.org. diakses pada 19 April 2015.
http://bahaiindonesia.org/masyarakat-bahai/masuknya-agama-bahai-di-
asia-selatan-dan-asia-tenggara/

“Mereka Shalat Sehari Sekali, Kiblatnya Gunung Karmel”.


Regional.kompas.com. 26 Oktober 2009. Diakses 9 Desember 2016.
http://regional.kompas.com/read/2009/10/26/09424015/Mereka.Salat.Seha
ri.Sekali..Kiblatnya.Gunung.Karmel

“MUI Lampung Blacklist 16 Paham Aliran Sesat”. Hizbut-tahrir.or.id. 10


Pebruari 2011. diakses pada 24 Nopember 2015. www.hizbut-
tahrir.or.id/2011/02/10/mui-lampung-blacklist-16-paham-aliran-sesat/

Radityo, Muhammad. “Lima Agama Dengan Perkembangan Tercepat Mengejar


Islam”, m.merdeka.com. 7 April 2015. diakses pada 24 Nopember 2015.
m.merdeka.com/dunia/lima-agama-dengan-perkembangan-tercepat-
mengejar-islam/bahai.html/

Sadewo, Joko. “Ini Beda Pandangan MUI dan Kemenag Soal Agama Baha’i”.
republika.co.id. 13 Agustus 2014. Diakses 9 Desember 2016.
http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/08/13/na8e6r-ini-
beda-pandangan-mui-dan-kemenag-soal-agama-bahai

Qathrunnada. “Menag Baru Tetapkan Baha’i Sebagai Agama Baru”. Kiblat.net.


24 Juli 2014. Diakses 9 Desember 2016.
https://www.kiblat.net/2014/07/24/menag-baru-tetapkan-bahai-sebagai-
agama-baru.

150
LAMPIRAN LAMPIRAN
LAMPIRAN I
Silsilah dan Kronologi Kepemimpinan Baha’i

No. Nama Pemimpin Masa Hidup Keterangan


1. Ahmad Al Ahsa-i 1751-1826 Pemimpin Shaikhiyyah
(merupakan sub-sekte dari
Ithna ‘Asharia yang juga
sebagai Sekte dari Syi’ah di
Iran)
2. Kazim Rasyti 1789-1843 Penerus kepemimpinan
setelah meninggalnya
Ahmad Al Ahsa’i
3. Ali Muhammad Shirazi 1819-1950 Pengganti Kazim Rasyti,
(Sang Bab) sekaligus pemimpin
gerakan Babisme di Iran.
4. Mirza Husein Ali Nuri 1817-1992 Salah satu pengikut gerakan
(Baha’ullah) Babisme, yang kemudian
mendeklarasikan tujuan dari
gerakan Babisme menjadi
sebuah agama Baha’i yang
berdiri sendiri dan tidak
menginduk pada agama
atau sekte manapun.
5. Abbas Effendi (Abdul- 1844-1921 Anak tertua dari Baha’ullah
Baha) sebagai penerus
kepemimpinan Baha’ullah
dalam Agama Baha’i dan
penafsir tunggal dari kitab
maupun teks-teks suci yang
ditulis Baha’ullah
6. Soghi Effendi (Sang Wali) 1897-1957 Cucu dari Abdul-Baha yang
meneruskan
kepemimpinannya dalam
agama Baha’i, sekaligus
mengantarkan masyarakat
Baha’i pada sistem
kepemimpinan lembaga.
7. Balai Keadilan Sedunia 1957- (Sampai Pusat Lembaga Baha’i
(BKS) sekarang) Sedunia yang menggantikan
peran kepemimpinan dalam
agama.
LAMPIRAN II

Perjalanan Baha’i Ke Jakarta

No. Tokoh Asal Kedatangan Keterangan


1. Sulayman Khan Tunukabani Iran Mendapat
(Jamal Effendi) himbauan untuk
menyebarkan
Agama Bahai Ke
Asia Tenggara
2. Sayyid Mustafa Rumi Iraq Menemani Jamal
Effendi ke Jakarta
(Batavia) 1885.
3. Kapten H Buys dan J.P. de Borst - Mendapat
Himbauan Soghi
Effendi untuk
menyebarkan
Agama Baha’i ke
Asia, khususnya
Indonesia. Tiba di
Jakarta tahun 1949
4. Rahman Delbasteh dan keluarga India Dutusan MRN
Baha’i India untuk
membantu
mendirikan Majelis
Rohani di
Indonesia. Datang
ke Jakarta tahun
1950
5. Grosfeld Belanda Ketua Majelis
Rohani Setempat di
Jakarta pertama
tahun 1954. MRS
Jakarta juga
menjadi Majeli
Rohani Regional
Asia Tenggara
6. Para Dokter pelopor Iran Diutus dan
mendarat ke
Indonesia tahun
1955 untuk
kepentingan medis
dan menyebarkan
Agama Baha’i di
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai