Anda di halaman 1dari 46

Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang

bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap


sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi
terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu
pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang
acak serta seringkali merupakan warga sipil.

Istilah teroris oleh para ahli kontraterorisme dikatakan


merujuk kepada para pelaku yang tidak tergabung dalam
angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti
peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga
mengandung makna bahwa serang-serangan teroris yang
dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki
justifikasi, dan oleh karena itu para pelakunya ("teroris")
layak mendapatkan pembalasan yang kejam.

Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan


"teroris" dan "terorisme", para teroris umumnya menyebut diri
mereka sebagai separatis, pejuang pembebasan, militan,
mujahidin, dan lain-lain. Tetapi dalam pembenaran dimata
terrorism : "Makna sebenarnya dari jihad, mujahidin adalah
jauh dari tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil
padahal tidak terlibat dalam perang". Padahal Terorisme
sendiri sering tampak dengan mengatasnamakan agama.

Selain oleh pelaku individual, terorisme bisa dilakukan oleh


negara atau dikenal dengan terorisme negara (state terorism).
Misalnya seperti dikemukakan oleh Noam Chomsky yang
menyebut Amerika Serikat ke dalam kategori itu. Persoalan
standar ganda selalu mewarnai berbagai penyebutan yang
awalnya bermula dari Barat. Seperti ketika Amerika Serikat
banyak menyebut teroris terhadap berbagai kelompok di
dunia, di sisi lain liputan media menunjukkan fakta bahwa
Amerika Serikat melakukan tindakan terorisme yang
mengerikan hingga melanggar konvensi yang telah disepakati.

Terorisme di dunia

Terorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru, namun


menjadi aktual terutama sejak terjadinya peristiwa World
Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat pada
tanggal 11 September 2001, dikenal sebagai “September
Kelabu”, yang memakan 3000 korban. Serangan dilakukan
melalui udara, tidak menggunakan pesawat tempur, melainkan
menggunakan pesawat komersil milik perusahaan Amerika
sendiri, sehingga tidak tertangkap oleh radar Amerika Serikat.
Tiga pesawat komersil milik Amerika Serikat dibajak, dua di
antaranya ditabrakkan ke menara kembar Twin Towers World
Trade Centre dan gedung Pentagon.

Berita jurnalistik seolah menampilkan gedung World Trade


Center dan Pentagon sebagai korban utama penyerangan ini.
Padahal, lebih dari itu, yang menjadi korban utama dalam
waktu dua jam itu mengorbankan kurang lebih 3.000 orang
pria, wanita dan anak-anak yang terteror, terbunuh, terbakar,
meninggal, dan tertimbun berton-ton reruntuhan puing akibat
sebuah pembunuhan massal yang terencana. Akibat serangan
teroris itu, menurut Dana Yatim-Piatu Twin Towers,
diperkirakan 1.500 anak kehilangan orang tua. Di Pentagon,
Washington, 189 orang tewas, termasuk para penumpang
pesawat, 45 orang tewas dalam pesawat keempat yang jatuh di
daerah pedalaman Pennsylvania. Para teroris mengira bahwa
penyerangan yang dilakukan ke World Trade Center
merupakan penyerangan terhadap "Simbol Amerika". Namun,
gedung yang mereka serang tak lain merupakan institusi
internasional yang melambangkan kemakmuran ekonomi
dunia. Di sana terdapat perwakilan dari berbagai negara, yaitu
terdapat 430 perusahaan dari 28 negara. Jadi, sebetulnya
mereka tidak saja menyerang Amerika Serikat tetapi juga
dunia[1]. Amerika Serikat menduga Osama bin Laden sebagai
tersangka utama pelaku penyerangan tersebut.

Kejadian ini merupakan isu global yang memengaruhi


kebijakan politik seluruh negara-negara di dunia, sehingga
menjadi titik tolak persepsi untuk memerangi Terorisme
sebagai musuh internasional. Pembunuhan massal tersebut
telah mempersatukan dunia melawan Terorisme
Internasional[2]. Terlebih lagi dengan diikuti terjadinya
Tragedi Bali, tanggal 12 Oktober 2002 yang merupakan
tindakan teror, menimbulkan korban sipil terbesar di dunia[3],
yaitu menewaskan 184 orang dan melukai lebih dari 300
orang. Perang terhadap Terorisme yang dipimpin oleh
Amerika, mula-mula mendapat sambutan dari sekutunya di
Eropa. Pemerintahan Tony Blair termasuk yang pertama
mengeluarkan Anti Terrorism, Crime and Security Act,
December 2001, diikuti tindakan-tindakan dari negara-negara
lain yang pada intinya adalah melakukan perang atas tindak
Terorisme di dunia, seperti Filipina dengan mengeluarkan
Anti Terrorism Bill[4].

Definisi Terorisme

Banyak pendapat yang mencoba mendefinisikan Terorisme,


satu di antaranya adalah pengertian yang tercantum dalam
pasal 14 ayat 1 The Prevention of Terrorism (Temporary
Provisions) act, 1984, sebagai berikut: “Terrorism means the
use of violence for political ends and includes any use of
violence for the purpose putting the public or any section of
the public in fear[5].” Kegiatan Terorisme mempunyai tujuan
untuk membuat orang lain merasa ketakutan sehingga dengan
demikian dapat menarik perhatian orang, kelompok atau suatu
bangsa. Biasanya perbuatan teror digunakan apabila tidak ada
jalan lain yang dapat ditempuh untuk melaksanakan
kehendaknya. Terorisme digunakan sebagai senjata psikologis
untuk menciptakan suasana panik, tidak menentu serta
menciptakan ketidak percayaan masyarakat terhadap
kemampuan pemerintah dan memaksa masyarakat atau
kelompok tertentu untuk mentaati kehendak pelaku teror[6].
Terorisme tidak ditujukan langsung kepada lawan, akan tetapi
perbuatan teror justru dilakukan di mana saja dan terhadap
siapa saja. Dan yang lebih utama, maksud yang ingin
disampaikan oleh pelaku teror adalah agar perbuatan teror
tersebut mendapat perhatian yang khusus atau dapat dikatakan
lebih sebagai psy-war.

Sejauh ini belum ada batasan yang baku untuk mendefinisikan


apa yang dimaksud dengan Terorisme. Menurut Prof. M.
Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa
tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik
yang dapat diterima secara universal sehingga sulit
mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut.
Sedangkan menurut Prof. Brian Jenkins, Phd., Terorisme
merupakan pandangan yang subjektif[7], hal mana didasarkan
atas siapa yang memberi batasan pada saat dan kondisi
tertentu.

Belum tercapainya kesepakatan mengenai apa pengertian


terorisme tersebut, tidak menjadikan terorisme dibiarkan lepas
dari jangkauan hukum. Usaha memberantas Terorisme
tersebut telah dilakukan sejak menjelang pertengahan abad
ke-20. Pada tahun 1937 lahir Konvensi Pencegahan dan
Penghukuman Terorisme (Convention for The Prevention and
Suppression of Terrorism), di mana Konvensi ini mengartikan
terorisme sebagai Crimes against State. Melalui European
Convention on The Supression of Terrorism (ECST) tahun
1977 di Eropa, makna Terorisme mengalami suatu pergeseran
dan perluasan paradigma, yaitu sebagai suatu perbuatan yang
semula dikategorikan sebagai Crimes against State (termasuk
pembunuhan dan percobaan pembunuhan Kepala Negara atau
anggota keluarganya), menjadi Crimes against Humanity, di
mana yang menjadi korban adalah masyarakat sipil[8]. Crimes
against Humanity masuk kategori Gross Violation of Human
Rights (Pelanggaran HAM Berat) yang dilakukan sebagai
bagian yang meluas/sistematik yang diketahui bahwa
serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap
penduduk sipil, lebih diarahkan pada jiwa-jiwa orang tidak
bersalah (Public by innocent), sebagaimana terjadi di Bali[9].

Terorisme kian jelas menjadi momok bagi peradaban modern.


Sifat tindakan, pelaku, tujuan strategis, motivasi, hasil yang
diharapkan serta dicapai, target-target serta metode Terorisme
kini semakin luas dan bervariasi. Sehingga semakin jelas
bahwa teror bukan merupakan bentuk kejahatan kekerasan
destruktif biasa, melainkan sudah merupakan kejahatan
terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia (crimes
against peace and security of mankind)[10]. Menurut Muladi,
Tindak Pidana Terorisme dapat dikategorikan sebagai mala
per se atau mala in se[11] , tergolong kejahatan terhadap hati
nurani (Crimes against conscience), menjadi sesuatu yang
jahat bukan karena diatur atau dilarang oleh Undang-Undang,
melainkan karena pada dasarnya tergolong sebagai natural
wrong atau acts wrong in themselves bukan mala prohibita
yang tergolong kejahatan karena diatur demikian oleh
Undang-Undang[12].

Dalam rangka mencegah dan memerangi Terorisme tersebut,


sejak jauh sebelum maraknya kejadian-kejadian yang
digolongkan sebagai bentuk Terorisme terjadi di dunia,
masyarakat internasional maupun regional serta pelbagai
negara telah berusaha melakukan kebijakan kriminal (criminal
policy) disertai kriminalisasi secara sistematik dan
komprehensif terhadap perbuatan yang dikategorikan sebagai
Terorisme[13].

Pemberantasan Terorisme di Indonesia

Menyadari sedemikian besarnya kerugian yang ditimbulkan


oleh suatu tindak Terorisme, serta dampak yang dirasakan
secara langsung oleh Indonesia sebagai akibat dari Tragedi
Bali, merupakan kewajiban pemerintah untuk secepatnya
mengusut tuntas Tindak Pidana Terorisme itu dengan
memidana pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa
tersebut. Hal ini menjadi prioritas utama dalam penegakan
hukum. Untuk melakukan pengusutan, diperlukan perangkat
hukum yang mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme.
Menyadari hal ini dan lebih didasarkan pada peraturan yang
ada saat ini yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) belum mengatur secara khusus serta tidak cukup
memadai untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme[14],
Pemerintah Indonesia merasa perlu untuk membentuk
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,
yaitu dengan menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang pada
tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-Undang
dengan nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme. Keberadaan Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di samping KUHP
dan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), merupakan Hukum Pidana Khusus.
Hal ini memang dimungkinkan, mengingat bahwa ketentuan
Hukum Pidana yang bersifat khusus, dapat tercipta
karena[15]:

Adanya proses kriminalisasi atas suatu perbuatan tertentu di


dalam masyarakat. Karena pengaruh perkembangan zaman,
terjadi perubahan pandangan dalam masyarakat. Sesuatu yang
mulanya dianggap bukan sebagai Tindak Pidana, karena
perubahan pandangan dan norma di masyarakat, menjadi
termasuk Tindak Pidana dan diatur dalam suatu perundang-
undangan Hukum Pidana.

Undang-Undang yang ada dianggap tidak memadai lagi


terhadap perubahan norma dan perkembangan teknologi
dalam suatu masyarakat, sedangkan untuk perubahan undang-
undang yang telah ada dianggap memakan banyak waktu.
Suatu keadaan yang mendesak sehingga dianggap perlu
diciptakan suatu peraturan khusus untuk segera
menanganinya.

Adanya suatu perbuatan yang khusus di mana apabila


dipergunakan proses yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan yang telah ada akan mengalami kesulitan dalam
pembuktian.

Sebagai Undang-Undang khusus, berarti Undang-Undang


Nomor 15 tahun 2003 mengatur secara materiil dan formil
sekaligus, sehingga terdapat pengecualian dari asas yang
secara umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP)/Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) ''(lex specialis derogat lex generalis)''. Keberlakuan
lex specialis derogat lex generalis, harus memenuhi
kriteria[16]:

bahwa pengecualian terhadap Undang-Undang yang


bersifat umum, dilakukan oleh peraturan yang setingkat
dengan dirinya, yaitu Undang-Undang.
bahwa pengecualian termaksud dinyatakan dalam Undang-
Undang khusus tersebut, sehingga pengecualiannya hanya
berlaku sebatas pengecualian yang dinyatakan dan bagian
yang tidak dikecualikan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan pelaksanaan Undang-Undang khusus
tersebut.

Sedangkan kriminalisasi Tindak Pidana Terorisme sebagai


bagian dari perkembangan hukum pidana dapat dilakukan
melalui banyak cara, seperti[17]:

Melalui sistem evolusi berupa amendemen terhadap pasal-


pasal KUHP.

Melalui sistem global melalui pengaturan yang lengkap di


luar KUHP termasuk kekhususan hukum acaranya.

Sistem kompromi dalam bentuk memasukkan bab baru


dalam KUHP tentang kejahatan terorisme.

Akan tetapi tidak berarti bahwa dengan adanya hal yang


khusus dalam kejahatan terhadap keamanan negara berarti
penegak hukum mempunyai wewenang yang lebih atau tanpa
batas semata-mata untuk memudahkan pembuktian bahwa
seseorang telah melakukan suatu kejahatan terhadap
keamanan negara, akan tetapi penyimpangan tersebut adalah
sehubungan dengan kepentingan yang lebih besar lagi yaitu
keamanan negara yang harus dilindungi. Demikian pula
susunan bab-bab yang ada dalam peraturan khusus tersebut
harus merupakan suatu tatanan yang utuh. Selain ketentuan
tersebut, pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) menyebutkan bahwa semua aturan termasuk asas
yang terdapat dalam buku I Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) berlaku pula bagi peraturan pidana di luar
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) selama
peraturan di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) tersebut tidak mengatur lain[18].

Hukum Pidana khusus, bukan hanya mengatur hukum pidana


materielnya saja, akan tetapi juga hukum acaranya, oleh
karena itu harus diperhatikan bahwa aturan-aturan tersebut
seyogyanya tetap memperhatikan asas-asas umum yang
terdapat baik dalam ketentuan umum yang terdapat dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bagi hukum
pidana materielnya sedangkan untuk hukum pidana formilnya
harus tunduk terhadap ketentuan yang terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana/KUHAP)[19].

Sebagaimana pengertian tersebut di atas, maka pengaturan


pasal 25 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, bahwa untuk
menyelesaikan kasus-kasus Tindak Pidana Terorisme, hukum
acara yang berlaku adalah sebagaimana ketentuan Undang-
Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP).
Artinya pelaksanaan Undang-Undang khusus ini tidak boleh
bertentangan dengan asas umum Hukum Pidana dan Hukum
Acara Pidana yang telah ada. Namun, pada kenyataannya,
terdapat isi ketentuan beberapa pasal dalam Undang-Undang
tersebut yang merupakan penyimpangan asas umum Hukum
Pidana dan Hukum Acara Pidana. Penyimpangan tersebut
mengurangi Hak Asasi Manusia, apabila dibandingkan asas-
asas yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP). Apabila memang diperlukan suatu
penyimpangan, harus dicari apa dasar penyimpangan tersebut,
karena setiap perubahan akan selalu berkaitan erat dengan
Hak Asasi Manusia[20]. Atau mungkin karena sifatnya
sebagai Undang-Undang yang khusus, maka bukan
penyimpangan asas yang terjadi di sini, melainkan
pengkhususan asas yang sebenarnya menggunakan dasar asas
umum, namun dikhususkan sesuai dengan ketentuan-
ketentuan yang khusus sifatnya yang diatur oleh Undang-
Undang Khusus tersebut.

Sesuai pengaturan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981


tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana/KUHAP), penyelesaian suatu perkara Tindak
Pidana sebelum masuk dalam tahap beracara di pengadilan,
dimulai dari Penyelidikan dan Penyidikan, diikuti dengan
penyerahan berkas penuntutan kepada Jaksa Penuntut Umum.
Pasal 17 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana/KUHAP) menyebutkan bahwa perintah Penangkapan
hanya dapat dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras
telah melakukan Tindak Pidana berdasarkan Bukti Permulaan
yang cukup. Mengenai batasan dari pengertian Bukti
Permulaan itu sendiri, hingga kini belum ada ketentuan yang
secara jelas mendefinisikannya dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menjadi dasar
pelaksanaan Hukum Pidana. Masih terdapat perbedaan
pendapat di antara para penegak hukum. Sedangkan mengenai
Bukti Permulaan dalam pengaturannya pada Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, pasal 26 berbunyi[21]:

Untuk memperoleh Bukti Permulaan yang cukup, penyidik


dapat menggunakan setiap Laporan Intelijen.

Penetapan bahwa sudah dapat atau diperoleh Bukti


Permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus dilakukan proses pemeriksaan oleh Ketua dan Wakil
Ketua Pengadilan Negeri.

Proses pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)


dilaksanakan secara tertutup dalam waktu paling lama 3 (tiga)
hari.

Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat


(2) ditetapkan adanya Bukti Permulaan yang cukup, maka
Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan dilaksanakan
Penyidikan.
Permasalahannya adalah masih terdapat kesimpang siuran
tentang pengertian Bukti Permulaan itu sendiri, sehingga sulit
menentukan apakah yang dapat dikategorikan sebagai Bukti
Permulaan, termasuk pula Laporan Intelijen, apakah dapat
dijadikan Bukti Permulaan. Selanjutnya, menurut pasal 26
ayat 2, 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, penetapan suatu
Laporan Intelijen sebagai Bukti Permulaan dilakukan oleh
Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Negeri melalui suatu
proses/mekanisme pemeriksaan (Hearing) secara tertutup. Hal
itu mengakibatkan pihak intelijen mempunyai dasar hukum
yang kuat untuk melakukan penangkapan terhadap seseorang
yang dianggap melakukan suatu Tindak Pidana Terorisme,
tanpa adanya pengawasan masyarakat atau pihak lain mana
pun. Padahal kontrol sosial sangat dibutuhkan terutama dalam
hal-hal yang sangat sensitif seperti perlindungan terhadap
hak-hak setiap orang sebagai manusia yang sifatnya asasi,
tidak dapat diganggu gugat.
Oleh karena itu, untuk mencegah kesewenang-wenangan dan
ketidakpastian hukum, diperlukan adanya ketentuan yang
pasti mengenai pengertian Bukti Permulaan dan batasan
mengenai Laporan Intelijen, apa saja yang dapat dimasukkan
ke dalam kategori Laporan Intelijen, serta bagaimana
sebenarnya hakikat Laporan Intelijen, sehingga dapat
digunakan sebagai Bukti Permulaan. Terutama karena
ketentuan pasal 26 ayat (1) tersebut memberikan wewenang
yang begitu luas kepada penyidik untuk melakukan
perampasan kemerdekaan yaitu penangkapan, terhadap orang
yang dicurigai telah melakukan Tindak Pidana Terorisme,
maka kejelasan mengenai hal tersebut sangatlah diperlukan
agar tidak terjadi pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia
dengan dilakukannya penangkapan secara sewenang-wenang
oleh aparat, dalam hal ini penyidik.

Demikian pula perlu dirumuskan tentang pengaturan, cara


mengajukan tuntutan terhadap petugas yang telah salah dalam
melakukan tugasnya, oleh orang-orang yang menderita akibat
kesalahan itu dan hak asasinya telah terlanggar, karena
banyak Pemerintah suatu negara dalam melakukan
pencegahan maupun penindakan terhadap perbuatan teror
melalui suatu pengaturan khusus yang bersifat darurat, di
mana aturan darurat itu dianggap telah jauh melanggar bukan
saja hak seseorang terdakwa, akan tetapi juga terhadap Hak
Asasi Manusia. Aturan darurat sedemikian itu telah
memberikan wewenang yang berlebih kepada penguasa di
dalam melakukan penindakan terhadap perbuatan teror[22].

Telah banyak negara-negara didunia yang mengorbankan Hak


Asasi Manusia demi pemberlakuan Undang-Undang
Antiterorisme, termasuk hak-hak yang digolongkan kedalam
non-derogable rights, yakni hak-hak yang tidak boleh
dikurangi pemenuhannya dalam keadaan apapun[23].
Undang-Undang Antiterorisme kini diberlakukan di banyak
negara untuk mensahkan kesewenang-wenangan (arbitrary
detention) pengingkaran terhadap prinsip free and fair trial.
Laporan terbaru dari Amnesty Internasional menyatakan
bahwa penggunaan siksaan dalam proses interogasi terhadap
orang yang disangka teroris cenderung meningkat[24]. Hal
seperti inilah yang harus dihindari, karena Tindak Pidana
Terorisme harus diberantas karena alasan Hak Asasi Manusia,
sehingga pemberantasannya pun harus dilaksanakan dengan
mengindahkan Hak Asasi Manusia. Demikian menurut Munir,
bahwa memang secara nasional harus ada Undang-Undang
yang mengatur soal Terorisme, tetapi dengan definisi yang
jelas, tidak boleh justru melawan Hak Asasi Manusia.
Melawan Terorisme harus ditujukan bagi perlindungan Hak
Asasi Manusia, bukan sebaliknya membatasi dan melawan
Hak Asasi Manusia. Dan yang penting juga bagaimana ia
tidak memberi ruang bagi legitimasi penyalahgunaan
kekuasaan

Jaringan teroris di Indonesia ternyata lebih besar dan


lebih berpengalaman dari yang selama ini dipikirkan oleh
banyak pihak. Analis International Crisis Group (ICG)
mengatakan perekrutan anggota baru dalam jaringan yang
dibangun Noordin M Top ternyata dilakukan dengan sangat
mudah. Jaringannya pun terus berkembang dan semakin
meluas di tanah air.
Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang
bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap
sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi
terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu
pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang
acak serta seringkali merupakan warga sipil.
Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh
perkataan "teroris" dan "terorisme", para teroris umumnya
menyebut diri mereka sebagai separatis, pejuang pembebasan,
pasukan perang salib, militan, mujahidin, dan lain-lain. Tetapi
dalam pembenaran dimata terrorism : "Makna sebenarnya dari
jihad, mujahidin adalah jauh dari tindakan terorisme yang
menyerang penduduk sipil padahal tidak terlibat dalam
perang". Padahal Terorisme sendiri sering tampak dengan
mengatasnamakan agama.

2.1 Pengertian Teroris


Kata teror pertama kali dikenal pada zaman Revolusi
Prancis. Diakhir abad ke-19, awal abad ke-20 dan menjelang
PD-II, terorisme menjadi teknik perjuangan revolusi.
Misalnya, dalam rejim Stalin pada tahun 1930-an yang juga
disebut ”pemerintahan teror”. Di era perang dingin, teror
dikaitkan dengan ancaman senjata nuklir.
Kata Terorisme sendiri berasal dari Bahasa Prancis le
terreur yang semula dipergunakan untuk menyebut tindakan
pemerintah hasil Revolusi Perancis yang mempergunakan
kekerasan secara brutal dan berlebihan dengan cara
memenggal 40.000 orang yang dituduh melakukan kegiatan
anti pemerintah. Selanjutnya kata terorisme dipergunakan
untuk menyebut gerakan kekerasan anti pemerintah di Rusia.
Dengan demikian kata terorisme sejak awal dipergunakan
untuk menyebut tindakan kekerasan oleh pemerintah maupun
kegiatan yang anti pemerintah.
Namun, istilah ”terorisme” sendiri pada 1970-an
dikenakan pada beragam fenomena: dari bom yang meletus di
tempat-tempat publik sampai dengan kemiskinan dan
kelaparan. Beberapa pemerintahan bahkan menstigma musuh-
musuhnya sebagai ”teroris” dan aksi-aksi mereka disebut
”terorisme”. Istilah ”terorisme” jelas berkonotasi peyoratif,
seperti istilah ”genosida” atau ”tirani”. Karena itu istilah ini
juga rentan dipolitisasi. Kekaburan definisi membuka peluang
penyalahgunaan. Namun pendefinisian juga tak lepas dari
keputusan politis.
T.P.Thornton dalam Terror as a Weapon of Political
Agitation (1964) mendefinisikan terorisme sebagai
penggunaan teror sebagai tindakan simbolis yang dirancang
untuk mempengaruhi kebijakan dan tingkah laku politik
dengan cara-cara ekstra normal, khususnya dengan
penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan. Terorisme
dapat dibedakan menjadi dua katagori, yaitu enforcement
terror yang dijalankan penguasa untuk menindas tantangan
terhadap kekuasaan mereka, dan agitational terror, yakni teror
yang dilakukan menggangu tatanan yang mapan untuk
kemudian menguasai tatanan politik tertentu. Jadi sudah
barang tentu dalam hal ini, terorisme selalu berkaitan erat
dengan kondisi politik yang tengah berlaku.
Menurut konvensi PBB tahun 1939, terorisme adalah
segala bentuk tindak kejahatan yang ditujukan langsung
kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk teror
terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau
masyarakat luas.
Menurut kamus Webster's New School and Office
Dictionary, terrorism is the use of violence, intimidation, etc
to gain to end; especially a system of government ruling by
teror, pelakunya disebut terrorist. Selanjutnya sebagai kata
kerja terrorize is to fill with dread or terror'; terrify; ti
intimidate or coerce by terror or by threats of terror.
 Menurut ensiklopeddia Indonesia tahun 2000, terorisme
adalah kekerasan atau ancaman kekerasan yang
diperhitungkan sedemikian rupa untuk menciptkan suasana
ketakutan dan bahaya dengan maksud menarik perhatian
nasional atau internasional terhadap suatu aksi maupun
tuntutan.
RAND Corporation, sebuah lembaga penelitian dan
pengembangan swasta terkemuka di AS, melalui sejumlah
penelitian dan pengkajian menyimpulkan bahwa setiap
tindakan kaum terorris adalah tindakan kriminal.
Definisi konsepsi pemahaman lainnya menyatakah
bahwa :
(1)   terorisme bukan bagian dari tindakan perang, sehingga
seyogyanya tetap dianggap sebagai tindakan kriminal, juga
situasi diberlakukannya hukum perang
(2)   sasaran sipil merupakan sasaran utama terorisme, dan
dengan demikian penyerangan terhadap sasaran militer tidak
dapat dikategorikan sebagai tindakan terorisme
(3)   meskipun dimensi politik aksi teroris tidak boleh dinilai,
aksi terorisme itu dapat saja mengklaim tuntutanan bersifat
politis
a.      Ciri-ciri terorisme
Menurut beberapa literatur dan reference termasuk surat
kabar dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri terorisme adalah :
1.      Organisasi yang baik, berdisiplin tinggi & militant
2.      Mempunyai tujuan politik, ideologi tetapi melakukan
kejahatan kriminal untuk mencapai tujuan.
3.      Tidak mengindahkan norma-norma universal yang berlaku,
seperti agama, hukum dan HAM.
4.      Memilih sasaran yang menimbulkan efek psikologis yang
tinggi untuk menimbulkan rasa takut dan mendapatkan
publikasi yang luas.
5.      Menggunakan cara-cara antara lain seperti : pengeboman,
penculikan, penyanderaan, pembajakan dan sebagainya yang
dapat menarik perhatian massa/publik.
Yon seorang Koordinator Bidang Kajian, Publikasi, dan
Penelitian Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam Universitas
Indonesia itu menjelaskan, secara umum pelaku terorisme,
termasuk pelaku bom bunuh diri, berdasarkan motivasi dapat
dibedakan dalam empat kategori.
Kategori pertama, berkaitan dengan ideologi dan
keyakinan, yakni kelompok teroris yang dimotivasi oleh
ajaran agama biasanya dididik dalam lembaga-lembaga
pendidikan keagamaan dalam waktu yang lama dan
dipersiapkan untuk aktifitas terorisme.
"Kelompok ini biasanya memiliki ciri-ciri keagamaan
tertentu. Melihat trend pengeboman di Indonesia pada
dasawarsa terakhir ini dapat disimpulkan bahwa terorisme
dengan motivasi ajaran agama secara murni hampir dipastikan
telah hilang.
Hal itu, lanjutnya, karena komunitas agama di Indonesia
tidak menolerir segala bentuk aksi terorisme. Bahkan
kelompok-kelompok yang dianggap keras sekalipun, seperti
Ustaz Abu Bakar Baasyir dan Majelis Mujahidin Indonesia
(MMI), secara tegas menolak cara-cara yang dilakukan
kelompok Noordin M Top.
Kategori kedua, kelompok yang tereksploitasi.
Kelompok inilah yang mendominasi aksi-aksi terorisme di
Indonesia.
Walaupun pelaku mendapatkan indoktrinasi dan sekaligus
proyeknya dari anggota dalam jaringan teroris di Indonesia,
tetapi sebagian besar tidak mengenal dengan baik orang telah
mencuci otaknya (brainwashing),
mereka yang dapat dieksploitasi menjadi suicide bombers
(pelaku bom bunuh diri) adalah yang memiliki perasaan
bersalah atau merasa hidupnya tak bermakna.
Sebagian besar dari mereka berasal dari segmen pemuda
yang bermasalah secara psikologis dan sosial, serta bukan
berasal dari kelompok religius.
"Ciri-cirinya pun berbeda dengan kategori pertama. Mereka
tidak direkrut di masjid tetapi di jalan. Tentu mengeksploitasi
segmen masyarakat seperti ini sangat mudah dan inilah yang
menjadi fenomena terorisme di Indonesia," ujarnya.
Kategori ketiga, dimotivasi oleh balas dendam atas
kekerasan oleh rezim Orde Baru terhadap anggota keluarga
mereka, Kelompok ini dapat berasal dari keluarga Darul Islam
(DI). Hanya saja untuk saat ini tentu sangat susah
mendapatkan keluarga DI yang masih mengalami trauma
kekerasan yang diterima oleh keluarga mereka.
Sedangkan kategori keempat adalah kelompok separatis
yang berkembang di Indonesia.
Pada kenyataannya, kata Yon, kelompok itu telah melakukan
transformasi kepada gerakan politik dan berdamai dengan
pemerintah Indonesia.

b.      Bentuk-bentuk Terorisme.


Dilihar dari cara-cara yang digunakan :
1) Teror Fisik yaitu teror untuk menimbulkan ketakutan,
kegelisahan memalui sasaran pisik jasmani dalam bentuk
pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaan, penyanderaan
penyiksaan dsb, sehingga nyata-nyata dapat dilihat secara
pisik akibat tindakan teror.
2) Teror Mental, yaitu teror dengan menggunakan segala macam
cara yang bisa menimbulkan ketakutan dan kegelisahan tanpa
harus menyakiti jasmani korban (psikologi korban sebagai
sasaran) yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan
tekanan batin yang luar biasa akibatnya bisa gila, bunuh diri,
putus asa dsb.
Dilihat dari Skala sasaran teror :
1) Teror Nasinal, yaitu teror yang ditujukan kepada pihak-pihak
yang ada pada suatu wilayah dan kekuasaan negara tertentu,
yang dapat berupa : pemberontakan bersenjata, pengacauan
stabilitas nasional, dan gangguan keamanan nasional.
2) Teror Internasional. Tindakan teror yang diktujukan kepada
bangsa atau negara lain diluar kawasan negara yang didiami
oleh teroris, dengan bentuk :
a) Dari Pihak yang kuat kepada pihak yang lemah. Dalam
bentuk penjajahan, invansi, intervensi, agresi dan perang
terbuka.
b) Dari Pihak yang Lemah kepada Pihak yang kuat. Dalam
bentuk pembajakan, gangguan keamanan internasional,
sabotase, tindakan nekat dan berani mati, pasukan bunuh diri,
dsb.

2.2 Usaha Teroris Dalam Merekrut Anggota


Menurut Margaretha seorang Psikolog Universitas
Airlangga (Unair), konsep pencucian otak merupakan
terminologi yang sangat umum. Dari perspektif komunikasi,
pelaku kejahatan ini mendekati calon korban dengan proses
persuasi. Proses yang secara sadar bertujuan untuk
mempengaruhi orang berperilaku sesuatu.
Pencucian otak sangat bisa berhasil dengan proses
persuasi yang sangat profesional. Bisa dengan teknik lowball
atau juga sugesti.
Teknik lowball, biasanya diawali dengan sebuah
permintaan halus. Permintaan ringan yang disodorkan
berlangung terus menerus. Misalnya, seseorang meminta
pertolongan secara materil.
Kejahatan dengan teknik lowball ini dilakukan dengan
jangka waktu lama dan dilakukan secara berulang-ulang pada
korban yang sama. Semakin lama, si pelaku semakin
memberikan permintaan yang semakin berat. Teknik
pencucian otak ini dilancarkan kepada calon korban secara
sadar.
Sedangkan, teknik sugesti digunakan si pelaku dengan
menyerang alam tak sadar calon korban. Biasanya masyarakat
lebih akrab dengan teknik gendam. Calon korban diserang
dalam posisi tenang yakni pada saat istirahat atau tahap
gelombang otak mengarah tenang.
Menurut Mardigu WP ahli pengamat terorisme, modus
yang digunakan para ‘pencuci otak’ untuk melaksanakan
tujuannya adalah mencari dana dengan doktrin jihad. Pertama,
pelaku akan mengajak si korban untuk hijrah, lalu berjihad,
dan terakhir memintanya berinfaq.
Pendekatan yang dilakukan para pelaku juga tergolong
singkat. Sejak pertama kali mengenal korban hingga
melakukan eksekusi, mereka butuh waktu dua minggu.
Tidak hanya itu, sasaran korban pun beragam. Tidak ada
golongan khusus, atau jenis kelamin tertentu. Yang jelas,
Mardigu meminta semua pihak waspada jika ada orang-orang
asing yang mengajak kenalan dengan cara yang sangat intens.

2.3 Tujuan Teroris


a.          Tujuan Jangka Pendek, meliputi :
1.      Mempeeroleh pengakuan dari masyarakat lokal, nasional,
regional maupun dunia internasional atas perjuangannya.
2.      Memicu reaksi pemerintah, over reaksi dan tindakan
represif yang dapat mengakibatkan keresahan di masyarakat.
3.      Mengganggu, melemahkan dan mempermalukan
pemerintah, militer atau aparat keamanan lainnya.
4.      Menunjukkan ketidak mampuan pemerintah dalam
melindungi dan mengamankan rakyatnya.
5.      Memperoleh uang atau perlengkapan.
6.      Mengganggu dan atau menghancurkan sarana komunikasi,
informasi maupun transportasi.
7.      Mencegah atau menghambat keputusan dari badan
eksekutif atau legislatif.
8.      Menimbulkan mogok kerja.
9.      Mencegah mengalirnya investasi dari pihak asing atau
program bantuan dari luar negeri.
10.  Mempengaruhi jalannya pemilihan umum.
11.  Membebaskan tawanan yang menjadi kelompok mereka.
12.  Membalas dendam.
b.         Tujuan Jangka Panjang, meliputi :
1.      Menimbulkan perubahan dramatis dalam pemerintahan,
seperti revolusi, perang saudara atau perang antar negara.
2.      Mengganti ideologi suatu negara dengan ideologi
kelompoknya.
3.      Menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi pihak
teroris selama perang gerilya.
4.      Mempengaruhi kebijakan pembuat keputusan baik dalam
lingkup lokal, nasional, regional atau internasional.
5.      Memperoleh pengakuan politis sebagai badan hukum
untuk mewakili suatu suku bangsa atau kelompok nasional,
misalnya PLO.

2.4 Perkembangan Terorisme Saat Ini


Pola Terorisme terus berubah dan berkembang.
Sedangkan pada permukaan pada intinya tetap
"Merencanakan suatu tindakan dengan menggunakan
kekerasan atau ancaman kekerasan yang melanggar
hukum untuk menanamkan rasa takut ..." Ini sangat efektif
digunakan sebagai alat strategis dalam menghadapi Lawan
yang dihadapinya. Bagaimanapun terorisme telah berkembang
dengan luar biasa dengan menerapkan strategi perang abad
21, mereka juga selalu beradaptasi dengan perubahan sosial
politik dunia serta lingkungan. Beberapa perubahan itu telah
mampu memfasilitasi kemampuan dari teroris dalam
beroperasi, memperoleh dana, dan mengembangkan
kemampuan baru. Perubahan lain adalah secara perlahan
terorisme telah bergerak membangun hubungan yang berbeda
menuju dunia yang lebih luas.
Untuk mengetahui lebih dalam tentang bagaimana
konteks perubahan ini , maka kita perlu melihat sejarah
perkembangan terorisme, dengan mewarisi perubahan kontur
atas teknik yang dipelopori oleh orang lain. Perkembangan ini
didorong oleh perkembangan yang berlangsung secara alami,
berlangsung dalam suatu konflik dan hubungan internasional.
Hal ini juga perlu di pertimbangkan karena dapat menjadi
kemungkinan penyebab konflik yang lebih besar di masa
mendatang, sehingga sangat penting untuk mengetahui Tokoh
dan motivasi mereka.
Berbicara tentang evolusi/perkembangan terorisme dan
penggunaan teror berdasarkan sejarah, penting untuk
diketahui bahwa bentuk-bentuk masyarakat dan pemerintah di
masa lalu sangat berbeda dari apa yang ada saat ini. Seperti
diketahui bahwa negara-negara modern belum terbentuk
sampai 1648 (Perjanjian Westphalia), dan negara pada saat itu
di monopoli oleh perang, atau kekerasan antar-negara.
Keterbatasan dari pemerintah pusat tidak memungkinkan
untuk menggunakan teror sebagai metode untuk
mempengaruhi perubahan politik, karena tidak ada satu
otoritas politik yang dominan. Demikian juga dengan tidak
adanya pusat kekuasaan berarti bahwa penggunaan
peperangan lebih terbuka bagi setiap kelompok. Tidak hanya
tentara nasional, masyarakat golongan bawah, Tentara
bayaran, pimpinan golongan agama, atau para pedagang dan
pengusaha turut serta terlibat dan berpartisipasi dalam
peperangan. Keterlibatan mereka dalam peperangan dianggap
sah. Hal ini tentu sangat kontras dengan era modern, di mana
Negara terlibat dalam perang, sedangkan partisipasi pribadi
adalah illegal
Teori awal dari Terorisme
Awal penggunaan terorisme, seperti fanatisme dan
pembunuhan sebenarnya tidak meninggalkan filosofi tertentu
atau doktrin tertentu dalam penggunaan terorisme. Suatu
pengecualian atas kegagalan spektakuler seperti “Guy
Fawkes” dengan terinspirasi agama berusaha untuk
membunuh King James I dan Anggota Parlemen Inggris,
membuktikan terorisme tidak pernah terpisah dengan
kemajuan atau melampaui batas normal dari bentuk
peperangan pada saat itu. Sebagaimana sistem politik menjadi
lebih canggih, dan kekuasaan politik dilihat kurang lebih
merupakan karunia ilahi dan dan banyak lagi pembangunan
sosial ide-ide baru yang mengakibatkan timbulnya konflik-
konflik baru.
Suasana perang dan konflik politik yang melanda Eropa
setelah Revolusi Perancis telah memberikan inspirasi dan
pemikiran pada theory politik pada awal 1800an. Beberapa
teori penting dari revolusi sosial telah berkembang selama
waktu itu. Menghubungkan antara kekerasan revolusioner dan
teror yang telah berkembang sejak awal. Theory Revolusioner
menolak kemungkinan reformasi sistem dan menginginkan
kekerasan dan kerusakan. Tindakan ekstrimis ini menjadi
dasar untuk penggunaan kekerasan politik .
Dua ideologi yang menggunakan kekerasan dalam
perubahan sosial adalah Marxism yang kemudian berkembang
menjadi komunisme, dan Anarkisme. Keduanya pada
dasarnya adalah hanya khayalan yang muluk-muluk, mereka
menyatakan bahwa mereka meletakkan teori dan praktek
dapat menghasilkan masyarakat yang ideal. Kedua ideologiy
ini sepaham bahwa kemunculan mereka adalah karena
kerusakan sistem yang ada. Keduanya mengakui bahwa
kekerasan di luar batas dapat diterima dan peperangan dan
pemberontakan justru diperlukan. Komunisme memfokuskan
pada perang kelas ekonomi, dan diasumsikan penyitaan
kekuasaan negara oleh (rakyat jelata) sampai negara tidak lagi
diperlukan, dan akhirnya dibuang .Anarkisme menganut
paham kurang lebih penolakan terhadap segala bentuk
pemerintahan. Para anarkis percaya bahwa setelah negara
benar-benar hancur, tidak perlu lagi dibentuk yagng baru
sehingga orang bisa hidup dan berinteraksi tanpa paksaan
pemerintah. Dalam jangka pendek, penerimaan dari apa yg di
tawarkan komunisme ini diperlukan untuk keperluan
organisasi dan pemaksaan yang digunakan oleh negara saat itu
membuat ideologi ini lebih berhasil dari dua ideologi yang
lain. Anarkisme bertahan di era modern, dengan
mempertahankan daya tarik untuk tetap menerapkan
kekerasan sampai hari ini

Abad Evolution of Terrorism


Pada awal Abad 20an. Ideologi yang berdasarkan
Nasionalisme dan revolusi adalah merupakan suatu kekuatan
yang paling utama yang terus di kembangkan menghadapi
terorisme. Bila Perjanjian Versailles menggambar kembali
peta Eropa setelah Perang Dunia I oleh kehancuran kekaisaran
Austro-Hungarian yang mengakibatkan terciptanya negara-
negara baru, ini diakui sebagai prinsip penentuan nasib sendiri
untuk negara dan kelompok etnis. Hal ini mendorong etnis
minority dan penduduk asli tidak menerima pengakuan untuk
mengkampanyekan kemerdekaan atau otonomi. Namun,
dalam banyak kasus, penentuan nasib sendiri adalah terbatas
pada negara-negara Eropa dan kelompok etnik di Eropa
sementara yang lain tidak boleh, terutama penguasa
kekuasaan Eropa, telah menciptakan kepahitan dan periode
konflik jangka panjang di daerah-daerah jajahan atau
koloninya..
Secara khusus, Negara-Negara Arab merasa bahwa mereka
telah di Khianati. mereka percaya akan kemerdekaan, mereka
sangat kecewa; pertama ketika Perancis dan Inggris diberi
kewenangan atas tanah mereka, dan kemudian ketika Inggris
mengijinkan imigrasi Zionist masuk ke wilayah Palestina
Sesuai dengan isi Deklarasi Balfour.
Sejak akhir Perang Dunia II, terorisme telah mempercepat
perkembangannya menjadi komponen utama dalam konflik
kontemporer. Terutama di gunakan segera setelah perang
sebagai unsur utama anti-penjajahan dan perannya semakin
meluas. Dalam Pelayanan di berbagai aspirasi dan ideologi,
terkadang terorisme digantikan dengan bentuk konflik lain.
Hal ini menjadi senjata jarak jauh yang mampu mencapai efek
global lebih kurang seperti roket jarak jauh. Ia juga telah
dibuktikan dapat menjadi alat signifikan dari diplomasi
internasional dan terbukti beberapa negara cenderung untuk
menggunakannya.
Nampaknya hasil yang cepat dan goncangan yang besar dari
terorisme telah menjadi pertimbangan sebagai jalan singkat
menuju kemenangan. Kelompok Revolusioner yang tidak rela
untuk memberikan waktu dan sumber daya dalam mengatur
kegiatan politik akan bergantung pada "propaganda dari aksi
yang dibuat" untuk menggerakkan aksi massa yang besar. Hal
ini menunjukkan bahwa kelompok pergerakan kecil dapat
menumbangkan setiap pemerintah melalui penggunaan terror
hal ini dipercayai oleh oleh kaum revolusioner
Saat ini, motif terorisme lebih sering dikaitkan dengan
dimensi moral yang luas seperti nilai, ideologi, agama,
ketidakadilan tatanan dan struktur sosial maupun konstelasi
dunia. Namun tidak dipungkiri, bahwa sekarang ini, Islam
diidentikan sedemikian rupa sebagai agama yang mengusung
terorisme. Perkembangan Islam, baik secara institusi dan
ataupun individualnya, telah mengkhawatirkan dunia
internasional sedemikian rupa tanpa alasan yang jelas sama
sekali.
Stigma Islam yang melahirkan kekerasan terus dimunculkan
setiap hari di berbagai belahan dunia.Hingga umat pun
perlahan-lahan mulai percaya bahwa Islam mengusung
kekerasan seperti itu, padahal tak sedikitpun agama ini
menganjurkan kekerasan. Dalam berperang, Islam telah
mengajarkan syarat dan ketentuan seperti tidak sembarangan,
tidak boleh membunuh non-kombatan, tidak boleh merusak
pepohonan, tidak boleh berlebihan, dan sebagainya.
Terorisme gaya baru mengandung beberapa karakteristik:
1.      ada maksimalisasi korban secara sangat mengerikan.
2.      keinginan untuk mendapatkan liputan di media massa
secara internasional secepat mungkin.
3.      tidak pernah ada yang membuat klaim terhadap Terorisme
yang sudah dilakukan.
4.      serangan Terorisme itu tidak pernah bisa diduga karena
sasarannya sama dengan luasnya seluruh permukaan bumi.

Perkembangan Terorisme di Indonesia


Terorisme sebuah fenomena yang mengganggu. Aksi
terorisme seringkali melibatkan beberapa negara. Sponsor
internasional yang sesungguhnya adalah negara besar. Harus
dipahami bahwa terorisme sekarang telah mendunia dan tidak
memandang garis perbatasan internasional.
Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1373 yang
menetapkan Al Qaeda pimpinan Osama bin Laden berada
dibalik tragedi 11 September 2001 dan dinyatakan sebagai
Terorisme yang harus diberantas oleh dunia telah
menimbulkan berbagai reaksi dikalangan masyarakat
internasional diantaranya muncul tanggapan yang menyatakan
bahwa justru Amerika Serikat lah yang mensponsori aksi teror
di dunia dengan membentuk konspirasi global yang didukung
sekutunya dengan tujuan menghancurkan Islam di Indonesia
tanggapan tersebut santer ketika munculnya pernyataan PM
Senior Singapura Lee Kuan Yeuw bahwa Indonesia “Sarang
Teroris” yang serta merta seluruh masyarakat Indonesia
menolak pernyataan tersebut dengan membakar
gambar/patung PM Singapura.
Walaupun Polri berhasil menangkap para pelaku serta
mengungkap jaringan Terorisme yang berada dibalik
peristiwa tersebut, namun hal ini sangat berdampak pada
semua aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Atas
hasil pengungkapan kasus peledakan bom Bali reaksi
masyarakat yang semula cenderung apriori terhadap bom Bali,
seolah-olah semua ini adalah hasil rekayasa internasional
bersama pemerintah, kini telah bergeser dan mampu melihat
fakta secara obyektif melalui proses penanganan dan
pengungkapan berbagai macam serta semua jaringan dan para
pelaku serta.
Taktik. Yang sering dilakukan oleh para teroris adalah:
1) Bom. Taktik yang sering digunakan adalah pengeboman.
Dalam dekade terakhir ini sering terjadi aksi teror yang
dilaksanakan dengan menggunakan bom, baik di Indonesia
maupun di luar negeri, dan hal ini kedepan masih mungkin
terjadi.
2) Pembajakan. Pembajakan sangat populer dilancarkan oleh
kelompok teroris. Pembajkan terhadap pesawat terbang
komersial pernah terjadi di beberapa negara, termasuk
terhadap pesawat Garuda Indonesia di Don Muang Bangkok
pada tahun 1981. Tidak menutup kemungkinan pembajakan
pesawat terbang komersial masih akaan terjadi saat ini dan
massa yang akan datang, baik di Indonesia maupun di luar
negeri.
3) Pembunuhan. Pembunuhan adalah bentuk aksi teroris yang
tertua dan masih digunakan hingga saat in. Sasaran dari
pembunuhan ini seringkali telah diramalkan, teroris akan
mengklaim bertanggungjawab atas pembunuhan yang
dilaksanakan. Sasaran dari pembunuhan ini biasanya adalah
pejabat pemerintah, penguasa, politisi dan aparat keamanan.
Dlam sepuluh tahun terakhir tercatat 246 kasus pembunuhan
oleh teroris seluruh dunia.
4) Penculikan. Tidak semua penghadangan ditujukan untuk
membunuh. Dalam kasus kelompok gerilya Abu Sayaf di
Filipina, penghadangan lebih ditujukan untuk menculik
personel, sepperti yang dilakukan oleh kelompok GAM
terhadap kameraman RCTI Ersa Siregar dan Fery Santoro di
Aceh. Penculikan biasanya akan diikuti dengan tuntutan
imbalan berupa uang atau tuntutan p[olitik lainnya.
5) Penyanderaan. Perbedaan antara penculikan dan
penyanderaan dalam dunia terorisme sangat tipis. Kedua
bentuk operasi ini seringkali meimiliki pengegertian yang
sama. Penculik biasanya meennan korbannya di tempat
tersembunyi dan tuntutannya adalah berupa materi dan uang,
sedangkan penyanderaan biasanya menahan sandera di tempat
umum ataupun di dalam hutan seperti yang dilakukan oleh
kelompok Kelly Kwalik di Papua yang menyandera tim
peneliti Lorenz pada tahun 1996. Tuntutan penyannderaan
lebih dari sekedar materi. Biasanya tuntutan politik lebih
sering dilemparkan pada kasus penyanderaan ini.

2.5  Cara Agar Terhindar Dari Pengaruh Terorisme


Dalam rangka memerangi aksi terorisme, secara umum
diperlukan persyaratan kesiapan yang meliputi :
(1) kesiapan dibidang politik, yakni perlunya dukungan
masyarakat secara penuh bahwa terorisme adalah musuh
bangsa dan negara yang harus dihadapi oleh segenap bangsa;
(2) kesiapan dibidang hukum, peraturan perudangan dibidang
pemberantasan terorisme merupakan agenda mutlak, karena
hukum ini akan memberikan kekuatan kepada semua pihak
untuk menjerat pelaku terorisme, disadari bahwa hukum untuk
menghadapi aksi teror kurang sejalan dengan semangat
demokrasi dan HAM;
(3) kesiapan bidang operasional, yakni menuntut kesiapan
adanya satuan antiteror dan Litbang teror, bekerjasama
dengan semua pihak, permasalahannya adalah belum adanya
aturan baku atau prosedur tetap yang baku dan mengikat
semua pihak.
Masyarakat harus lebih menyadari tentang keadaan
dirinya, menyadari proses yang dirinya sedang terlibat saat
itu. Untuk teknik lowball, biasanya yang diserang adalah
orang bertipe mudah merasa bersalah. Jadi saat diminta untuk
berbuat sesuatu, tidak bisa menolak.

Tak jauh beda dengan teknik lowball, teknik sugesti juga


harus diwaspadai. Kuncinya, masyarakat memang harus
meningkatkan kesadaran diri. “Bila ada orang asing yang
memberikan perhatian berlebihan, jangan ragu-ragu menolak.
Biasanya pelaku-pelaku kejahatan tersebut mensugesti kita
menuju ketenangan, bisa dengan memberikan kue atau bahkan
mengajak ke suatu tempat.

Tidak banyak yang melihat kejadian aksi teror menggunakan


bendera diduga lambang kelompok radikal ISIS di Polsek
Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Hanya saja, petugas
keamanan atau satpam dari Puskemas yang berada persis di
sebelah Mapolsek mengaku mendapatkan cerita soal peristiwa
itu.

Salah satu petugas keamanan Puskesmas Kebayoran Lama,


Wahyu, menyampaikan, rekannya yang bernama Ibnu melihat
aksi tersebut. Yang bersangkutan kala itu mendapat tugas
berjaga malam, sementara dirinya pada pagi hari.

"Jadi kata teman saya, teman saya yang piket malam cerita,
tadi sekitar 05.30 WIB ada yang masang bendera, sekitar dua
orang," tutur Wahyu saat ditemui di lokasi, Selasa (4/7/2017).

Menurut Wahyu, berdasarkan cerita Ibnu, pengendara motor


yang merupakan pelaku pemasangan bendera diduga ISIS itu
merupakan pria dan wanita yang berboncengan. "Kayaknya
suami istri. Memakai gamis," jelas dia.

Meski tidak dapat memastikan lebih detail, Wahyu


melanjutkan, setelah adanya teror tersebut, aparat kepolisian
langsung meramaikan lokasi.

Satuan penjinak bom juga turut melakukan sterilisasi di


sekitar Mapolsek Kebayoran Lama.
"Jam 07.30 WIB datang mobil Gegana. Brimob ramai di sini,"
kata Wahyu.

Anda mungkin juga menyukai