Oleh :
HASRINING TRI SUPRAPTI
P27820820022
A. Pengertian
Contusio paru adalah manifestasi trauma tumpul toraks yang paling umum
terjadi. Kontusio pulmonum paling sering disebabkan trauma tumpul pada
dinding dada secara langsung yang dapat menyebabkan kerusakan parenkim,
edema interstitial dan perdarahan yang mengarah ke hipoventilasi pada
sebagian paru. Kontusio juga dapat menyebabkan hematoma intrapulmoner
apabila pembuluh darah besar didalam paru terluka. Diagnosis didapatkan
dari anamnesis, pemeriksaan fisik (adanya suara gurgling pada auskultasi),
foto toraks, dan CT scan toraks. Kontusio lebih dari 30% pada parenkim paru
membutuhkan ventilasi mekanik (Milisavljevic, et al., 2012 ; Lugo, et al.,
2015).
Contusio paru adalah kerusakan jaringan paru yang terjadi pada hemoragie
dan edema setempat (Smeltzer, 2002), sedangkan menurut Asih (2003)
diartikan sebagai memarnya parenkim paru yang sering disebabkan oleh
trauma tumpul. Kelainan ini dapat tidak terdiagnosa saat pemeriksaan rontgen
dada pertama, namun dalam keadaan fraktur scapula, fraktur rusuk atau flail
chest harus mewaspadakan perawat terhadap kemungkinan adanya contusio
pulmonal.
B. Anatomi fisiologi
Tulang - tulang yang elastis dan otot - otot pernapasan menyokong dan
mengelilingi rongga toraks. Tiga dari bagian ruangan kompartemen ditempati
oleh dua buah paru - paru dengan lima segmennya yang terhubung oleh
struktur vaskuler kearah pusat kompartemen kardiovaskuler. Sebagai
tambahan, trakea dan bronkus menghubungkan paru - paru dan pharynk, dan
beberapa saraf di dalam rongga toraks. ( Ombregt, 2013 ). Kerangka toraks
meruncing pada bagian atas dan berbentuk kerucut terdiri dari sternum, dua
belas pasang kosta, sepuluh pasang kosta yang berakhir di anterior dalam
segmen tulang rawan dan dua pasang kosta yang melayang. Tulang kosta
berfungsi melindungi organ vital rongga toraks seperti jantung, paru-paru,
hati dan Lien ( Drake, et al., 2010; Hansen, 2014).
Dinding toraks terdiri dari elemen tulang dan otot – otot. Bagian posterior
disusun oleh dua belas tulang vertebrae toraks. Bagian lateral dibentuk oleh
tulang costa ( masing – masing 12 pada setiap sisi ) dan 3 lapisan dari otot –
otot datar yang membentang pada ruang intercosta antara tulang osta yang
berdeekatan, menggerakkan kosta dan memberikan kekuatan pada ruang
interkosta. Bagian depan dibatasi oleh sternum yang terdiri dari manubrium
sternum, body sternum dan processus xiphoideus. (Drake, et al., 2010; Assi &
Nazal, 2012; Hansen, 2014).
Muskulatur dinding dada terdiri atas otot-otot yang mengisi dan
menyokong spatium interkostalis, otot-otot yang berada antara sternum dan
tulang rusuk, dan otot-otot yang melintang melewati beberapa tulang rusuk di
antara perlekatan tulang kosta seperti gambar 2.4 dan 2.5. Otot-otot dinding
dada, bersama dengan otot-otot di antara vertebra dan tulang rusuk secara
posterior (m.levatores costarum, m.serratus posterior superior, dan m.serratus
posterior inferior) merubah posisi tulang rusuk dan sternum sehingga
merubah volume torakal selama bernapas. Otot-otot ini juga memperkuat
dinding thorakal seperti gambar 2.4 (Drake, et al., 2010).
Muskulus interkostal merupakan tiga otot pipih yang terdapat pada tiap
spatium interkostalis yang berjalan di antara tulang rusuk yang bersebelahan.
Setiap otot pada kelompok otot ini dinamai berdasarkan posisi mereka
masingmasing :
m.interkostal eksternal merupakan yang paling superfisial
m.interkostal internal terletak diantara m.interkostal eksternal dan profundal
Muskulus interkostal diinervasi oleh nervus interkostal terkait. Sebagai
suatu kelompok otot. Otot-otot interkostal menyediakan sokongan struktural
untuk spatium interkostalis selama respirasi. Mereka juga menggerakkan
tulang rusuk. Sebelas pasang m.interkostal eksternal memanjang dari tepi
bawah tulang rusuk yang berada di atas hingga tepi atas tulang rusuk di
bawahnya. Otot-otot ini memanjang mengelilingi dinding toraks dari regio
tuberkel rusuk hingga kartilage kosta, dimana tiap lapisan berlanjut sebagai
suatu aponeurosis jaringan ikat tipis yang dinamai membrane interkostal
eksternal. Muskulus interkostal eksternal merupakan otot yang paling aktif
saat inspirasi.
Trauma pada toraks dapat dibagi 2 yaitu oleh karena trauma tumpul
65% dan trauma tajam 34.9 % (Ekpe & Eyo, 2014). Penyebab trauma toraks
tersering adalah kecelakaan kendaraan bermotor (63-78%) (Saaiq, et al.,
2010). Dalam trauma akibat kecelakaan, ada lima jenis benturan (impact)
yang berbeda, yaitu depan, samping, belakang, berputar, dan terguling
(Sudoyo, 2010). Oleh karena itu harus dipertimbangkan untuk
mendapatkan riwayat yang lengkap karena setiap orang memiliki pola
trauma yang berbeda. Penyebab trauma toraks oleh karena trauma tajam
dibedakan menjadi 3 berdasarkan tingkat energinya, yaitu berenergi rendah
seperti trauma tusuk berenergi sedang seperti tembakan pistol, dan berenergi
tinggi seperti pada tembakan senjata militer.
Penyebab utama terjadinya contusio paru adalah trauma tumpul pada dada.
(Smeltzer, 2012) Penyebab lain:
1) Kecelakaan lalu lintas
2) Cedera ledakan atau gelombang kejut yang terkait dengan trauma penetrasi.
3) Trauma tumpul dengan fraktur Iga yg multipel
4) Flail chest
5) Dapat pula terjadi pada trauma tajam dengan mekanisme perdarahan dan
edema parenkim.
6) Memar akibat penetrasi oleh sebuah proyektil bergerak cepat
biasanya mengelilingi jalan sepanjang perjalanan jaringan yang di lalui oleh
proyektil
Kontusio paru terjadi pada 25-35% dari semua trauma dada tumpul. Terjadi pada
30-75% dari luka dada yang parah dengan angka kematian diperkirakan 14-40%.
Sekitar 70% dari kasus hasil dari tabrakan kendaraan bermotor, cedera olah raga,
ledakan adalah penyebab lainnya.
D. Manifestasi Klinis
7. Penatalaksanaan Medis
Tidak ada perawatan yang dikenal untuk mempercepat penyembuhan luka
memar paru;. Perawatan utama adalah mendukung upaya yang dilakukan
untuk menemukan luka memar yang menyertai, untuk mencegah cedera
tambahan, dan untuk memberikan perawatan suportif sambil menunggu luka
memar pada tahap proses penyembuhan. Pemantauan, termasuk melacak
keseimbangan cairan, fungsi pernapasan, dan saturasi oksigen dengan
menggunakan pulse oximetry juga diperlukan untuk monitor kondisi pasien.
Monitoring untuk komplikasi seperti sindrom gangguan pneumonia dan
pernapasan akut yang sangat penting. Pengobatan bertujuan untuk mencegah
kegagalan pernapasan dan untuk memastikan oksigenasi darah yang memadai.
Oksigen tambahan dapat diberikan dan mungkin dihangatkan dan
dilembabkan. Ketika tidak merespon maka tindakan lainnya dalam perawatan
harus dilakukan, seperti oksigenasi membran extracorporeal dapat digunakan,
memompa darah dari tubuh ke mesin yang oxygenates dan menghilangkan
karbon dioksida sebelum memompa kembali masuk.
Penatalaksanaan Utama : Patency Air way, Oksigenasi adekuat, kontrol nyeri
Perawatan utama: menemukan luka memar yang menyertai, mencegah cedera
tambahan, dan memberikan perawatan suportif sambil menunggu luka memar
paru sembuh.
- Bronchial toilet, batasi pemberian cairan (iso/hipotonik), O2, pain control,
diuretika, bila perlu ventilator dengan tekanan positif (PEEP > 5)
- Intubasi ET untuk dapat melakukan penyedotan dan memasang ventilasi
mekanik dengan continuous positive end-expiratory pressure (PEEP)
Penatalaksanaan pada kontusio ringan :
- Nebulisasi
- Postural drainase
- Fisio terapi dada Suctioning
- Anastesi Spinal, Opioid
- Oksigenasi Jam pertama
- Antibiotik
Penatalaksanaan pada kontusio sedang :
- Intubasi
- Ventilator PEP
- Deuretik
- NGT
- Cek Kultur
Penatalaksanaan pada kontusio berat :
- Penaganan Agresif Intubasi Endotracheal
- Ventilator
- Deuretik
- Anti mikrobal
- Pembatasan cairan
Penalalaksanaan Keperawatan :
1. Berikan analgesic sesuai pesanan tiap 3 jam
2. Pantau tanda-tanda kelebihan cairan
a. Pertahankan semua catatan masukan dan haluaran dengan adekuat
b. Pantau tanda-tanda vital setiap 30 menit. Frekuensi nadi dan
pernapasan dapat diperkirakan meningkat pada keadaan kelebihan
cairan
c. Pantau bunyi napas setiap 30 menit
3. Pantau status ventilator setiap 30 menit
a. Periksa terhadap tanda gawat napas; dispnea, peningkatan frekuensi
napas, dan perubahan dalam bunyi napas.
b. Periksa hasil pemeriksaan AGD
4. Pantau terhadap tanda dan gejala flail chest, yang umumnya sering
menyertai kontusio pulmonal
5. Dukung klien untuk tetap tirah baring sampai status fisik stabil (Asih,
2013).
8. Komplikasi
Memar paru dapat mengakibatkan kegagalan pernafasan, sekitar setengah
dari kasus terjadi dalam beberapa jam dari trauma awal. Komplikasi lainnya,
termasuk infeksi akut dan sindrom gangguan pernapasan (ARDS). Sekitar
50% pasien dengan ARDS memar paru, dan 80% pasien dengan kontusio paru
melibatkan lebih dari 20% dari volume paru-paru. Orang tua dan mereka yang
punya penyakit hati, paru-paru, atau penyakit ginjal sebelum cedera lebih
mungkin untuk tinggal lebih lama di rumah sakit dan memiliki komplikasi
dari cedera. Komplikasi terjadi pada 55% orang dengan jantung atau penyakit
paru-paru dan 13% dari mereka tanpa penyakit tertentu dengan memar paru
saja, 17% mengembangkan ARDS, sementara 78% orang dengan setidaknya
dua cedera tambahan mengembangkan kondisi. Pneumonia, komplikasi lain
potensial, berkembang pada sebanyak 20% dari orang dengan memar paru.
ASUHAN KEPERAWATAN TEORI
A. Pengkajian
1. Ketidakseimbangan
ventilasi-perfusi Thorax
2. Perubahan membran
alveolus-kapiler. Perdarahan jarinan interstitium,
perdarahan intra alveolar, kolaps
Tanda dan Gejala arteri, pembuluh darah paru
meningkat
1. Dispnea.
2. PCO2 meningkat / Reabsorbsi darah oleh pleura tidak
menurun memadai/ tidak optimal
3. PO2 menurun
4. Takikardia Kontusio pulmonal
5. pH arteri
meningkat/menurun. Ekspansi paru
6. Bunyi napas tambahan Gangguan Ventilaasi
7. Pusing
8. Penglihatan kabur Gangguan pertukaran gas
9. Sianosis.
10. Diaforesis
11. Gelisah
12. Napas cuping hidung
13. Pola napas abnormal
(cepat / lambat,
regular/iregular,
dalam/dangkal).
14. Warna kulit abnormal
(mis. pucat, kebiruan)
15. Kesadaran menurun.
D. Diagnosa Keperawatan
a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang
tertahan atau hepersekresi jalan nafas (D.0001)
b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya napas
(kelemahan otot pernafasan) (D.0005)
c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan
ventilasi-perfusi (D.0003)
d. Nyeri akut berhubugan dengan agen pencedera fisik (trauma) (D.0077)
E. Intervensi Keperawatan
DIAGNOSA PERENCANAAN
NO
KEPERAWATAN (SDKI) LUARAN KEPERAWATAN (SLKI) INTERVENSI KEPERAWATAN (SIKI)
1 (D.0001) Bersihan Jalan Napas (L.01001) Manajemen Jalan Nafas (I.01011)
Bersihan Jalan Napas Tidak Setelah dilakukan tindakan keperawatan, Observasi
Efektif diharapkan klien dapat mempertahankan 1. Monitor pola napas ( frekuensi, kedalaman, usaha
Penyebab: jalan napas agar efektif dengan, napas)
3. Fisiologis (misal: spasme Kriteria Hasil: 2.Monitor bunyi napas tambahan
jalan napas, hipersekresi (mis.Gurgling,mengi,wheezing,ronkhi)
1. Batuk efektif menurun
jalan napas, fungsi 3. Monitor sputum (jumlah,warna,aroma)
2. Produksi sputum menurun
neuromuskuler, benda asing Terapeutik
3. Mengi menurun
dalam jalan napas, adanya 1. Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt
4. Wheezing menurun
jalan napas buatan, sekresi dan chin-lift (jaw trust jika dicurigai trauma servikal)
5. Dyspnea menurun
yang bertahan, hiperplasia 2. Posisikan semi-fowler atau fowler
6. Gelisah menurun
dinding jalan napas, proses 3. Berikan minum hangat
7. Frekuensi membaik
infeksi, respon alergi, dan 4. Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
efek agen farmakologis) (12-20 x/menit) 5. Lakukan penghisapan lender kurang dari 15 detik
4. Situsional (misal: merokok 8. Pola napas membaik 6. Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan
aktif, merokok pasis, dan endotrakeal
terpajan polutan). 7. Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep
Tanda dan Gejala: McGill
9. Gelisah 8. Berikan oksigen, jika perlu
10. Sianosis Edukasi
11. Bunyi napas menurun 1. Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak
12. Frekuensi napas berubah kontraindikasi
13. Pola napas berubah 2. Ajarkan teknik batuk efektif
14. Batuk tidak efektif Kolaborasi
15. Tidak mampu batuk 1. Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran,
16. Mengi, wheezing dan/atau mukolitik, jika perlu
ronkhi kering
2. Diaforesis. ditransportasi
G. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan adalah tahapan terakhir dari proses keperawatan untuk
mengukur respons klien terhadap tindakan keperawatan dan kemajuan klien ke arah
pencapaian tujuan (Potter & Perry, 2010). Evaluasi keperawatan merupakan tindakan
akhir dalam proses keperawatan (Tarwoto & Wartonah, 2015). Evaluasi dapat berupa
evaluasi struktur, proses dan hasil. Evaluasi terdiri dari evaluasi formatif yaitu
menghasilkan umpan balik selama program berlangsung. Sedangkan evaluasi sumatif
dilakukan setelah program selesai dan mendapatkan informasi efektivitas pengambilan
keputusan (Deswani, 2011).
Evaluasi asuhan keperawatan didokumentasikan dalam bentuk SOAP yaitu S
(Subjektif) dimana perawat menemui keluhan pasien yang masih dirasakan
setelahdiakukan tindakan keperawatan, O (Objektif) adalah data yang berdasarkan hasil
pengukuran atau observasi perawat secara langsung pada pasien dan yang dirasakan
pasien setelah tindakan keperawatan, A (Assesment) yaitu interpretasi makna data
subjektif dan objektif untuk menilai sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan dalam
rencana keperawatan tercapai. Dapat dikatakan tujuan tercapai apabila pasien mampu
menunjukkan perilaku sesuai kondisi yang ditetapkan pada tujuan, sebagian tercapai
apabila perilaku pasien tidak seluruhnya tercapai sesuai dengan tujuan, sedangkan tidak
tercapai apabila pasien tidak mampu menunjukkan perilaku yang diharapkan sesuai
dengan tujuan, dan yang terakhir adalah planning (P) merupakan rencana tindakan
berdasarkan analisis. Jika tujuan telah dicapai, maka perawat akan menghentikan rencana
dan apabila belum tercapai, perawat akan melakukan modifikasi rencana untuk
melanjutkan rencana keperawatan pasien. Evaluasi ini disebut juga evaluasi proses
(Dinarti, Aryani, Nurhaeni, Chairani, & Utiany., 2013).
Evaluasi yang diharapkan sesuai dengan masalah yang pasien hadapi yang telah
dibuat pada perencanaan tujuan dan kriteria hasil. Evaluasi penting dilakukan untuk
menilai status kesehatan pasien setelah tindakan keperawatan. Selain untuk menilai
pencapaian tujuan, baik tujuan jangka panjang maupun jangka pendek, dan mendapatkan
informasi yang tepat dan jelas untuk meneruskan, memodifikasi, atau menghentikan
asuhan keperawatan yang diberikan (Deswani, 2011).
DAFTAR PUSTAKA
Aru W, Sudoyo. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, edisi V. Jakarta:
darurat. Padang : Medical book
Hudak dan Gallo. (2011). Keperawatan Kritis: Pendekatan Asuhan Holistik. Edisi
Interna Publishing
Lewis, SL., Dirksen, SR., Heitkemper, MM, and Bucher, L.(2014).Medical surgical Nursing.
Mosby: ELSIVER
Nugroho, T. Putri, B.T, & Kirana, D.P. (2015). Teori asuhan keperawatana gawat - VIII
Jakarta: EGC
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI),
Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI), Edisi
1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), Edisi
1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia