Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
KASUS HIDUP
Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kelulusan
Kepaniteraan Klinik Ilmu Forensik pada
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana
Disusun oleh:
Gusti Agung Sinta Shakuntala
42200416
Dosen Pembimbing Klinik:
dr. Lipur Riyantiningtyas B.S., S.H., Sp. F
2. Penilaian luka ke 2
Penganiayaan adalah penggunaan kekuatan fisik, baik dalam kondisi terancam atau
tidak pada seseorang, kelompok, atau komunitas yang dapat menyebabkan trauma,
kematian, trauma psikologis, gangguan perkembangan, dan kerugian.Penganiayaan
terhadap tubuh dan nyawa manusia merupakan tindak pidana. Sanksi terhadap pelaku
penganiayaan diatur dalam KUHP, yang merupakan pijakan hukum dalam
menetapkan sanksi terhadap pelaku. Dalam tindak pidana penganiayaan, terdapat tiga
benda yang merupakan barang bukti yaitu korban, pelaku, dan alat atau senjata.
Jumlah tindakan penganiayaan berfluktuasi di Indonesia selama periode tahun 2011–
2016. Catatan pada Biro Pengendalian Operasi, Mabes Polri memperlihatkan jumlah
tindakan penganiayaan pada tahun 2011 sebanyak 35.800 kasus dengan kategori
penganiayaan ringan dan berat, menurun menjadi sebanyak 30.901 kasus pada tahun
2013 dan meningkat kembali pada tahun 2016 menjadi 35.153 kasus Korban dan
pelaku adalah barang bukti biologis sedangkan alat merupakan barang bukti non
biologis.
Data mengenai kekerasan perempuan di Indonesia telah banyak beredar.
Dalam kurun waktu 12 Tahun (2008-2020) kekerasan terhadap perempuan
meningkat sebanyak 792% atau 8 kali lipat menurut komnas perempuan.
b. Aspek Medikolegal
Dilihat dari perspektif kriminologi, kekerasan ini merujuk pada tingkah laku
yang berbeda-beda baik mengenai motif maupun mengenai tindakannya, seperti
perkosaan dan pembunuhan, kedua macam kejahatan ini diikuti dengan
kekerasan.Para pelaku kejahatan dapat melakukan aksinya dengan berbagai upaya
dan berbagai cara. Keadaan seperti itu yang disebut dengan istilah “modus operandi”
(model pelaksanaan kejahatan). Dengan kemajuan teknologi dewasa ini, modus
operandi para penjahat juga mengarah kepada kemajuan ilmu dan teknologi. Faktor-
faktor yang melatarbelakangi kejahatan, menurut Mulyana W. Kusumah pada
dasarnya dapat 7 dikelompokkan ke dalam 4 (empat) golongan faktor, yaitu:
a. Faktor dasar atau faktor sosio-struktural, yang secara umum mencakup aspek
budaya serta aspek pola hubungan penting di dalam masyarakat.
b. Faktor interaksi sosial, yang meliputi segenap aspek dinamik dan prosesual di
dalam masyarakat, yang mempunyai cara berfikir, bersikap dan bertindak individu
dalam hubungan dengan kejahatan
c. Faktor pencetus (precipitating factors), yang menyangkut aspek individu serta
situasional yang berkaitan langsung dengan dilakukannya kejahatan.
d. Faktor reaksi sosial yang dalam ruang lingkupnya mencakup keseluruhan respons
dalam bentuk sikap,
Hukum di Indonesia menyatakan bahwa penganiayaan termasuk tindak
pidana. Hal itu sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) (1958)
yang berbunyi, “Korban dengan luka ringan dapat merupakan hasil dari tindak
pidana penganiayaan ringan (pasal 352 KUHP), sedangkan korban dengan luka
“sedang” dapat merupakan hasil dari tindak pidana penganiayaan (pasal 351 (1) atau
353 (1)). Korban luka berat (pasal 90 KUHP) dapat merupakan hasil dari tindak
pidana penganiayaan dengan akibat luka berat (pasal 351 (2) atau 353(2)) atau akibat
penganiayaan berat (pasal 354 (1) atau 355(1)”. Perbuatan tersebut disertai ancaman
(sanksi) bagi yang melanggar dan diperlukan penegakan hukum.
c. Aspek Traumatologi
Dalam kasus kasus ini dapat dikatan korban mempunyai luka yang dicurigai
akibat oleh kekerasan benda tumpul. Kekerasan dengan benda tumpul ini dapat
menimbulkan luka memar, luka lecet, dan luka sobek. Luka memar adalah suatu
pendarahan pada jaringan bawah kulit subkutan/kutan diakibatkan oleh rupturnya
pembulu darah. Luka memar tidak akan menimbulkan kuntinuitas kulit hilang yang
berarti kulit tetap utuh. Penyebabnya terutama oleh trauma benda tumpul, faktor-
faktor yang mempengaruhi timbulnya luka memar:
Bitemark didefinisikan sebagai cetakan pola sebagai hasil kontak suatu objek
atau gigi- geligi (gigitan) pada kulit. Objek Pemeriksaan Sebagai objek pemeriksaan
dalam suatu penyelidikan secara garis besar dapat ditentukan antara lain:
1. Korban hidup
2. Korban mati
b. Air liur di sekitar bekas pola gigitan dan bekas gigitan makanan tertentu.
5. Benda mati yang secara fisik dianggap sebagai barang bukti, antara lain:
b. Gigi palsu penuh/ full denturec. Mahkota dan jembatan/ crown and bridge
6. Semua jaringan rongga mulut yaitu pipi bagian dalam dan bibir yang lepas yang
terdapat di tempat kejadian perkara.
Menurut William Eckert (1992), pola gigitan adalah bekas gigitan dari pelaku yang
tertera pada kulit korban dalam bentuk luka, jaringan kulit maupun jaringan ikat di
bawah kulit sebagai pola akibat dari pola permukaan gigitan dari gigi-gigi pelaku
melalui kulit korban. Menurut Bowers dan Bell (1955) mengatakan bahwa pola
gigitan merupakan suatu perubahan fisik pada bagian tubuh yang disebabkan oleh
kontak atau interdigitasi antara gigi atas dengan gigi bawah sehingga struktur
jaringan terluka baik oleh gigi manusia maupun hewan. Menurut Sopher (1976)
mengatakan bahwa pola gigitan yang ditimbulkan oleh hewan berbeda dengan
manusia oleh karena perbedaan morfologi dan anatomi gigi geligi serta bentuk
rahangnya. Menurut Curran et al (1680) mengatakan bahwa pola gigitan pada hewan
buasyang dominan membuat perlukaan adalah gigi kaninus atau taring yang
berbentuk kerucut. Menurut Levine (1976) mengatakan bahwa pola gigitan baik pola
permukaan kunyah maupun permukaan hasil gigitan yang mengakibatkan putusnya
jaringan kulit dandibawahnya baik pada jaringan tubuh manusia maupun pada buah-
buahan tertentumisalnya buah apel dapat ditemukan baik korban hidup maupun yang
sudah meninggal. Sedangkan menurut Soderman dan O’Connel pada tahun 1952
mengatakan bahwa yang paling sering terdapat pola gigitan pada buah-buahan yaitu
buah apel,pear dan bengkuang yang sangat terkenal dengan istilah Apple Bite Mark.
Sedangkan menurut Lukman (2003) mengatakan bahwa pola gigitan mempunyai
suatu gambaran darii anatomi gigi yang sangat karakteristik yang meninggalkan pola
gigitan pada jaringan ikat manusia baik disebabkan oleh hewan maupun manusia
yang masing-masing individu sangat berbeda.
Pola gigitan mempunyai derajat perlukaan sesuai dengan kerasnya gigitan, pada pola
gigitan manusia terdapat 6 kelas yaitu:
1. Kelas I : pola gigitan terdapat jarak dari gigi insisive dan kaninus.
2. Kelas II : pola gigitan kelas II seperti pola gigitan kelas I tetapi terlihat pola
gigitan cusp bukalis dan palatalis maupun cusp bukalis dan cusp lingualis tetapi
derajat pola gigitannya masih sedikit.
3. Kelas III : pola gigitan kelas III derajat luka lebih parah dari kelas II yaitu
permukaan gigit insisive telah menyatu akan tetapi dalamnya luka gigitan
mempunyai derajat lebih parah dari pola gigitan kelas II.
4. Kelas IV : pola gigitan kelas IV terdapat luka pada kulit dan otot di bawah kulit
yang sedikit terlepas atau rupture sehingga terlihat pola gigitan irreguler.
5. Kelas V : pola gigitan kelas V terlihat luka yang menyatu pola gigitan insisive,
kaninus dan premolar baik pada rahang atas maupun bawah.
6. Kelas VI : pola gigitan kelas VI memperlihatkan luka dari seluruh gigitan dari
rahang atas, rahang bawah, dan jaringan kulit serta jaringan otot terlepas sesuai
dengan kekerasan oklusi dan pembukaan mulut.
Bekas gigitan yang dapat menimbulkan luka, yaitu:
2) Kekerasan dalam rumah tangga dan penyiksaan anak (oleh orang tua).
3) Kasus kriminal lain, dimana korban menyerang pelaku untuk melindungi dirinya
dengan cara menggigit.
2) Obviously Defined = Tekanan gigitan tingkat satu (terdapat lekukan jelas pada
kulit).
Pada kasus ini telah dilakukan pemeriksaan terhadap wanita berusia 17 tahun
dimana hasil penemuan didapatkan luka memar pada lengan kanan bagian atas , luka
memar pada lengan kanan bagian bawah dekat pergelangan,luka gigitan pada
selangka kanan Penyebab luka-luka tersebut oleh karena kekerasan dengan penggitan
dan pemukulan.Dari pemeriksaan yang di lakukan untuk dampak yang dialami
korban tidak mempengaruhi aktifitas kesehariannya.