Anda di halaman 1dari 2

Sidang Pengujian Formil UU Cipta Kerja Memperjelas Adanya Cacat Formil Sehingga

Bertentangan dengan UUD 1945

Siaran Pers KEPAL

Jakarta, 22 Agustus 2021

Pada hari Kamis tanggal 12 Agustus 2021, Mahkamah Konstitusi telah menggelar sidang
pengujian formil UU Omnibus law Cipta Kerja dengan agenda mendengarkan keterangan
ahli yang diajukan oleh PEMOHON yang terdiri dari gabungan 15 organisasi masyarakat
yaitu Serikat Petani Indonesia, Yayasan Bina Desa Sajadiwa, Federasi Serikat Pekerja
Pertamina Bersatu, Serikat Petani Kelapa Sawit, Perkumpulan Pemantau Sawit (Sawit
Watch), Indonesia Human Right Comittee For Social Justice (IHCS), Indonesia for Global
Justice (IGJ), Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia, Serikat Nelayan Indonesia, Yayasan
Daun Bendera Nusantara, Koalisi Rakyat Untuk Kedaulatan Pangan, Jaringan Masyarakat
Tani Indonesia, Aliansi Organis Indonesia, Perkumpulan Perempuan Nelayan Indonesia dan
Koalisi Rakyat Untuk Hak Atas Air yang tergabung dalam KEPAL (Komite Pembela Hak
Konstitsuional). Ahli yang diajukan oleh PEMOHON adalah Dr. Aan Eko Widiarto, SH,
MHum pakar hukum perancangan peraturan perundang-undangan dari Universitas Brawijaya
Malang.

Menurut Ahli, pembentukan UU Cipta Kerja telah melanggar keharusan adanya Naskah
Akademik sebelum penyusunan RUU, dan keharusan RUU dibacakan sebelum disahkan,
serta dirubah setelah disahkan. Ahli juga menyatakan bahwa UU Cipta Kerja yang tidak
mengabaikan aspirasi masyarakat akan menjadi undang-undang yang represif. Selain itu Ahli
juga menyatakan bahwa Omnibus Law sebagai metode tidak dikenal dalam sistem
pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Menurut perwakilan PEMOHON dari IHCS, Gunawan, keterangan Ahli dalam persidangan
tadi telah membuktikan bahwa partisipasi dari masyarakat adalah persyaratan
konstitusionalitas yang wajib untuk dipenuhi dalam pembentukan undang-undang. Para
pemohon yang mewakili anggota maupun masyarakat yang didampingi potensial terdampak
dari berlakunya undang-undang ini tidak pernah sama sekali mendapatkan sosialisasi maupun
diberi kesempatan untuk didengar pendapatnya. padahal sebelumnya seringkali diundang
untuk berpartisipasi dalam pembentukan undang-undang. Ini adalah diskriminasi, UU Cipta
Kerja tidak ditujukan untuk melindungi kerja petani, nelayan, dan buruh, tetapi merubah
undang-undang terkait hak petani, hak nelayan, hak buruh, dan hak atas Pendidikan. Namun
aspirasinya tidak diserap dalam pembentukan UU Cipta Kerja.

1
Sementara itu, Koordinator Tim Kuasa Hukum Pemohon (Tim Advokasi Gugat Omnibus
Law), Janses E Sihaloho menjelaskan bahwa keterangan yang disampaikan oleh Ahli telah
memberikan gambaran kepada Majelis Hakim bahwa proses pembentukan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja yang telah disahkan oleh Presiden pada tanggal 2
November 2020 banyak melanggar syarat-syarat pembentukan suatu Undang-Undang (syarat
formil) sebagaimana diatur dalam UUD 1945 dan Undang-Undang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan

Janses juga menjelaskan bahwa keterangan ahli juga menguatkan temuan kami pada saat
proses inzage (pemeriksaaan alat bukti), kami mendapati bahwa bukti-bukti yang diajukan
oleh Pemerintah justru semakin membuktikan bahwa terdapat cacat prosedur dalam
pembentukan UU Omnibuslaw Cipta Kerja ini, seperti misalnya dalam bukti yang diajukan
oleh Pemerintah mengenai partisipasi masyarakat, dalam buktinya Pemerintah hanya
melibatkan organisasi masyarakat yang justru tidak terlalu terdampak dari berlakunya UU
Omnibus Law ini, tetapi PEMOHON yang terkena dampak langsung malah sama sekali tidak
pernah dilibatkan untuk disosialisasikan maupun ikut berpartisipasi, namun yang paling
penting bagi kami adalah adanya bukti dari Pemerintah bahwa Pengambilan Keputusan
Tingkat I dilakukan tertutup dan terburu-buru pada sabtu malam tanggal 3 Oktober 2020
tanpa adanya naskah RUU Cipta Kerja yang sudah final maupun pembacaan dari naskah
RUU Cipta Kerja. Seharusnya pengambilan keputusan tersebut harus dilakukan dengan
membacakan naskah RUU dan disetujui substansi pasal-per pasalnya sampai dengan titik
komanya. Secara logika dan penalaran wajar, kami sangat meragukan Rancangan Undang-
Undang Cipta Kerja dapat dibahas dan disetujui dalam waktu yang sangat singkat, apalagi
Naskah Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja ini didalamnya memuat 79 Undang-Undang
yang berbeda-beda materi muatannya.

David Sitorus, Koordinator Inzage dari Tim Advokasi Gugat Omnibus Law menambahkan,
kami juga menilai bahwa Pemerintah tidak berani untuk melampirkan bukti naskah
Rancangan Undang-Undang hasil pengambilan keputusan Tingkat II (paripurna), maupun
naskah yang dikirimkan ke Presiden untuk ditandatangani sebagaimana yang diminta oleh
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi karena faktanya Pemerintah hanya melampirkan
Undang-Undang Cipta Kerja yang telah disahkan. Hal ini semakin membuktikan bahwa telah
terjadi perubahan substansi antara Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang disetujui
bersama antara DPR dengan Presiden pada pengambilan keputusan Tingkat II (paripurna),
padahal seharusnya apabila sudah ketok palu pada rapat paripurna tidak boleh lagi ada
perubahan-perubahan apapun.

Inda Fatinaware dari Sawit Watch, selaku Pemohon menyimpulkan, berdasarkan hal-hal
tersebut maka sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia menyatakan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja tersebut cacat formil dan tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat.

Nb :
Info lebih lanjut dapat menghubungi
Lodji (Bina Desa) - 081290767747
Marcel Andry (SPKS) - 081314605024
Angga Hermanda (SPI) - 081283835818
Hadi (Sawit Wacth) - 082154574142

Anda mungkin juga menyukai