Anda di halaman 1dari 3

Jum’at Kliwon Juli 2015

Pandangan mata yang kosong pada malam Jum’at Kliwon. Jum’at Kliwon adalah hari
yang dikeramatkan bagi suku jawa di Indonesia. Banyak masyarakat mempercayai bahwa pada
malam itu banyak hantu yang berkeliaran dengan tujuan menghasut manusia untuk mengikuti
jalan sesat dengan menyembah hal yang ghaib atau hanya untuk menakut- nakuti umat manusia.
Namun bagi sebagian kepercayaan malam Jumat adalah malam yang sangat baik untuk
mendoakan saudara yang telah meninggal dunia. Malam Jumat kliwon tidak ada yang spesial
bagiku, sama halnya seperti malam- malam pada hari biasa. Namun untuk kali ini dan untuk
pertama kali aku melihat hal yang tidak biasa, semua berawal dari kemah pramuka.
Kemah pramuka sebagai bentuk penerimaan siswa SMA sebagai bagian dari kepanduan
wajib dilaksanakan. Entah suatu kebetulan atau sudah direncanakan, kami melaksanakan kemah
pada hari kamis yang bertepatan dengan malam jumat kliwon. Saat pagi hari kegiatan berjalan
seperti biasa, kami mendirikan tenda, melakukan kegiatan baris berbaris, adanya pendisiplinan,
dan berlatih untuk pertunjukan api unggun. Saat pertunjukan api unggun dilaksanakan kami
mengintari api unggun membentuk lingkaran besar, banyak pembimbing pramuka yang
mengintari kami. Awalnya aku merasa hal ini wajar, karena kami wajib untuk diawasi dan kami
berada di bawah perlindungan mereka. Namun, pada tengah pertunjukan yang menampilkan
parodi peristiwa perang berdarah dengan membawa property kain putih dengan pewarna merah
sebagai simulasi bercak darah, hal yang aneh mulai bermunculan.
Suara teriakan terdengar dari barisan belakang, serempak banyak siswa langsung
menoleh ke arah tersebut, namun pembimbing menghimbau kami untuk tidak melihat sumber
suara dan tetap melaksanakan pertunjukan. Namun sebelum pandanganku kembali ke
pertunjukan aku sempat melihat bayangan hitam besar mengelilingi sumber suara. Aku mencoba
berfikir postif dan hanya menganggapnya sebagai bayangan yang dihasilkan dari api unggun.
Pertunjukan berlangsung lagi sampai akhirnya hujan deras mengguyur api unggun dan
memadamkan api sedikit demi sedikit. Karena kondisi yang tidak kondusif kami diarahkan
menuju ke dalam Gedung darurat untuk melanjutkan pertunjukan.
Selesai pertunjukkan kami dihimbau untuk membersihkan area gedung darurat tersebut
untuk digunakan sebagai tempat tidur kami. Ya, betul sekali, tenda kami sudah tidak berbentuk
dan semua basah kuyup. Terpaksa kami harus tidur di atas lantai yang dingin dan berdesak-
desakan. Jumlah kami kurang lebih 300 siswa sehingga mau tidak mau kondisi seperti ini terjadi.
Saat membersihkan area gedung darurat aku selalu menggerutu kenapa semua ini harus terjadi.
Bayangkan saja perkemahan yang sudah kami harapkan dengan tidur di dalam tenda yang hangat
di atas rerumputan gagal dan yang lebih menyebalkan kami harus tidur berdesak- desakan karena
Pembina tidak ingin kami berpencar dengan alasan mempermudah pengawasan. Tapi pikirku ini
terlalu berlebihan.
Hari sudah larut malam, menunjukkan pukul 11 malam dan sudah waktunya untuk kami
tidur. Namun, sebelum tidur aku izin kepada Pembina untuk beribadah dengan membaca kitab
suciku. Aku selalu diajarkan untuk selalu beribadah sebelum tidur, karena kebiasaan itu Pembina
mengizinkanku untuk beribadah di seberang gedung darurat. Saat aku sedang beribadah Pembina
bergantian untuk mengawasiku dan saat itu seluruh temanku sudah menuju ke alam mimpi.
Setelah selesai beribadah aku dibawa oleh Pembina untuk tidur Bersama Pembina lainnya
dengan alasan agar aku tetap aman. Aneh bukan? Aku bias saja tidur Bersama teman
kelompokku di bagian depan namun mereka memintaku untuk tidur dibagian belakang. Lagi-
lagi tidurku diawasi oleh Pembina yang tidur tepat di samping kanan dan kiriku, sungguh aku
merasa sebagai tahanan.
Saat aku mulai terlelap aku merasa selalu ada yang melewati atas kepalaku, seperti kaki
yang terbang tepat di atasku. Aku menghiraukanya dan kembali tidur. Pukul 3 dini hari kami
semua dibangunkan dan berbaris sesuai dengan urutan kelompok. Kebetulan aku ketua kelompok
sehingga aku berada pada barisan terdepan. Tujuan kami dibangunkan karena adanya misi untuk
kami berjalan menuju suatu tempat dan mengambil pin tanda penerimaan siswa. Sebelum
pemberangkatan aku diwajibkan untuk menghitung jumlah anak di kelompokku. Aku tidak
hanya melakukan perhitungan sekali namun sampai 4 kali namun selalu saja jumlah kami lebih
dari satu. Disitu aku hanya berdiam diri mengamati siswa barisan terakhir di kelompokku,
pandanganya kosong tepat menatap ke arahku. Aku tidak bisa melihat jelas mukanya, namun
tatapan mata yang kosong itu sungguh terlihat jelas. Saat aku mencoba berhitung untuk terakhir
kalinya aku melantunkan doa- doa yang diajarkan oleh ibuku, syukurnya dalam hitunganku yang
kelima jumlah kami sudah sesuai.
Sudah waktunya untuk kami menjalankan misi, kelompokku terpilih sebagai
pemberangkatan pertama, otomatis akulah yang pertama dalam melakukan perjalanan ini karena
kami harus berjalan sendiri dan tiap anak akan diberi jeda kurang lebih 3 menit. Saat aku akan
memulai perjalanan Pembina mengoleskan minyak wangi yang biasa digunakan untuk ritual
tertentu orang jawa, jadi aku pikir ini adalah bentuk simbolis untuk menciptakan kehororan
perjalanan misi ini. Di tengah perjalanan aku menemukan kejanggalan dengan adanya bunga
tujuh rupa, dimana bunga ini adalah salah satu properti yang digunakan dalam ritual juga. Aku
tidak mengangkapnya dengan serius dan focus dengan misiku. Saat perjalananku sudah akan
berakhir aku dikagetkan dengan wanita yang berdiri di depanku. Bagaimana aku tidak kaget,
bukanya aku siswa pertama dalam pemberangkatan? Namun dia hanya berdiri diam sampai aku
mendekatinya, dia menoleh ke arahku. Aku membeku seketika. Matanya, dia adalah orang yang
sama seperti yang ku temui saat menghitung temanku dan dia penyebab jumlah kelompokku
bertambah.
Takut? Jujur saja tidak. Aku hanya terkejut matanya yang kosong hanya menatapku dan
aku menyadari bahwa mukanya mirip denganku. Tidak, tidak hanya mirip tapi itu mukaku.
Bagaimana bias? Aku merasa waktu terhenti saat itu juga. Ibuku melahirkanku bukan sebagai
anak kembar, bagaimana bias ada dia yang mukanya sangat mirip denganku. Aku tidak sempat
berteriak ataupun meminta pertolongan, karena keterkejutanku membawaku ke kegelapan. Ya,
aku pingsan. Saat bangun aku diberi tahu jika aku terjatuh saat mendekati pos terakhir. Dan yang
mereka lihat hanya pandangan kosongku sebelum aku terjatuh.
Karena kondisi tubuhku yang tidak baik, aku putuskan untuk izin pulang dan
menceritakan semuanya ke Ibuku. Disitu aku mengetahui kebenaran akan semua hal yang terjadi.
Aku adalah orang terpilih untuk mempunyai indra ke enam. Mulai hari itu aku mulai terbiasa
dengan kehadiran mereka, bahkan wanita pemiliki mata dengan pandangan kosong itu.

Anda mungkin juga menyukai