Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Masalah gizi kurang pada balita masih menjadi masalah mendasar di dunia.
WHO (2013), jumlah penderita kurang gizi di dunia mencapai 104 juta anak.
Riskesdas (2013), prevalensi balita dengan berat kurang (under weight) adalah
berjumlah 19,6%. Sebanyak 13,9% balita memiliki status gizi kurang. Dinkes Kab.
Kulon Progo (2014) melaporkan jumlah balita gizi kurang adalah sebanyak 4 %.
Kondisi gizi kurang pada balita, dimungkinkan terjadi karena interaksi dari beberapa
faktor diantaranya persediaan makanan dirumah, perawatan anak dan ibu hamil,
pelayanan kesehatan, asupan makanan, penyakit infeksi. Penyebab dasar terjadinya
gizi kurang pada balita adalah status ekonomi yang rendah (UNICEF, 2013). Kondisi
kemiskinan mempengaruhi kondisi ketahanan pangan dalam keluarga (Almatsier,
2009). Penyebab dasar lain yang berkontribusi dalam terjadinya masalah gizi kurang
pada balita adalah pendidikan (UNICEF, 2013). Hasil penelitian Handono (2012),
menunjukkan bahwa pendidikan orang tua terutama ibu berpengaruh secara signifikan
terhadap status gizi balita. Wong et al (2014), masalah gizi kurang pada balita secara
langsung disebabkan oleh anak tidak mendapatkan cukup asupan makanan yang
mengandung gizi seimbang. Gizi kurang juga diakibatkan oleh adanya infeksi pada
balita. Infeksi akan mengganggu metabolisme, keseimbangan hormon dan fungsi
imunitas (Bantamen, Belaynew, & Dube, 2014). Faktor lain yang erat kaitannya
dengan gizi kurang adalah pola pengasuhan anak dalam keluarga. Penelitian yang
dilakukan oleh Maseta, Makau dan Omwega (2008) menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara pola pengasuhan anak dan praktik perawatan
kesehatan anak dalam keluarga dengan status nutrisi pada anak usia 6-36 bulan di
Tanzania. Faktor selanjutnya adalah pelayanan kesehatan. Rendahnya pemanfaatan
pelayanan kesehatan berpengaruh sebesar 60-70% kematian balita dengan gizi
kurang.
Melihat jumlah angka kejadian gizi kurang pada Balita di wilayah Kulon
Progo, Yogyakarta yang masih tinggi dan masalah gizi disebabkan oleh
multifaktorial, oleh karena itu diperlukan penelitian mengenai determinan gizi kurang
pada balita di wilayah ini. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor

1
yang berpengaruh terhadap penyakit infeksi dari kemiskinan di wilayah Kulon Progo,
Yogyakarta.

B. Rumusan Masalah

Kekurangan gizi  (malnutrisi) merupakan gangguan kesehatan serius yang


terjadi ketika tubuh tidak mendapat asupan nutrisi yang cukup. Padahal,
nutrisi dibutuhkan oleh tubuh untuk dapat menjalankan fungsinya dengan baik.

Malnutrisi bisa terjadi karena tubuh kekurangan gizi dalam jangka waktu yang
lama. Tanda tubuh mengalami kekurangan gizi pada tahap awal tidak terlalu jelas,
sehingga banyak orang tidak menyadari bahwa tubuhnya mulai kekurangan gizi

Melihat jumlah angka kejadian gizi kurang pada Balita di wilayah Kulon
Progo, Yogyakarta yang masih tinggi dan masalah gizi disebabkan oleh
multifaktorial, oleh karena itu diperlukan penelitian mengenai determinan gizi kurang
pada balita di wilayah ini. Penelitian ini bertujuan unntuk menganalisis faktor-faktor
kemiskinan terhadap penyakit infeksi di wilayah Kulon Progo, Yogyakarta.

C. Tujuan Penelitian
 Tujuan Umum : Untuk mengetahui pengaruh kemiskinan terhadap penyakit
infeksi.
 Tujuan Khusus :
- Dapat mengetahui infeksi pada balita sebelum dipenuhi nutrisinya.
- Dapat mengetahui infeksi pada balita sesudah dipenuhi nutrisinya.
- Dapat mengetahui infeksi pada balita sebelum dan sesudah dipenuhi
nutrisinya.

D. Manfaat Penelitian
 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat mengenai gizi pada balita
dengan cara-cara yang diberikan oleh pelayanan kesehatan di daerah tersebut
seperti imunisasi.
 Manfaat Praktis
a. Bagi responden

2
Hasil penelitian ini diharapkan dapat diterapkan sebagai sarana informasi
bagi ibu-ibu dan menjadi salah satu metode yang di pakai pada balita
tersebut agar balita tidak mengalami gizi buruk.
b. Bagi institusi pendidikan di STIKes Madani Yogyakarta
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pustaka dan bahan
kajian sehinggadapat menambah pengetahuan bagi institusi pendidikan
khususnya mahasiswa STIKes Madani Yogyakarta tentang pelayanan
kesehatan terhadap gizi buruk pada balita.
c. Bagi tenaga kesehatan
Untuk menambah ilmu pengetahuan bagi tenaga kesehatan dan
mengevaluasi tindakan terhadap pelayanan tersebut kepada balita
d. Bagi peneliti selanjutnya.
Meningkatkan wawasan terhadap buruknya gizi pada balita dan melatih
kemampuan dalam penelitian di bidang keperawatan.

E. Keaslian Penelitian

No Peneliti Tempat Desain dan Populasi dan Instrumen Hasil


analisa data teknik sampel penelitian
1 Dwi Kulon Cross proportional Kuesioner 1. Berdasarkan analisis
Lestari Progo, Sectional dan cluster mengenai hubungan
(2016) Yogyakarta univariat, sampling riwayat penyakit infeksi
bivariat, dengan gizi kurang pada
multivariat balita menunjukkan tidak
ada hubungan yang sign
ifikan disebabkan karena
upaya pencegahan
terhadap kasus gizi
kurang sudah
dilaksanakan dengan baik
oleh keluarga balita.
2. Berdasarkan analisis
menunjukkan bahwa tidak
terdapat hubungan yang
bermakna antara
pendidikan ibu dengan
gizi kurang balita
disebabkan karena ibu
tidak mendapatkan
pendidikan mengenai
status gizi di pendidikan

3
formal.
3. Hasil analisis statistik
menunjukkan tidak ada
hubungan yang signifikan
atara status ekonomi
dengan
gizi kurang balita (p
value=0,643). Hal ini
disebabkan keluarga
dengan status
perekonomian rendah
justru mampu
mengalokasikan
keuangan keluarga
dengan
lebih teliti dan hati-hati.
4. Status perekonomian
keluarga tidak memiliki
hubungan yang signifikan
dengan status gizi
disebabkan
oleh adanya pemanfaatan
lahan yang baik oleh
keluarga
dalam menunjang nutrisi
anak.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori
1. Gizi
A. Definisi Gizi
gizi adalah substansi organik yang dibutuhkan organisme untuk fungsi normal
dari sistem tubuh, pertumbuhan, pemeliharaan kesehatan.

Penelitian di bidang nutrisi mempelajari hubungan antara makanan dan


minuman terhadap kesehatan dan penyakit, khususnya dalam menentukan diet yang
optimal. Dahulu, penelitian mengenai nutrisi hanya terbatas pada pencegahan
penyakit kurang gizi dan menentukan kebutuhan dasar (standar) nutrisi pada makhluk
hidup. Angka kebutuhan nutrisi (zat gizi) dasar ini dikenal di dunia internasional
dengan istilah Recommended Daily Allowance (RDA).

Seiring dengan perkembangan ilmiah di bidang medis dan biologi molekular,


bukti-bukti medis menunjukkan bahwa RDA belum mencukupi untuk menjaga fungsi
optimal tubuh dan mencegah atau membantu penanganan penyakit kronis. Bukti-bukti
medis menunjukkan bahwa akar dari banyak penyakit kronis adalah stres
oksidatif yang disebabkan oleh berlebihnya radikal bebas di dalam tubuh. Penggunaan
nutrisi dalam level yang optimal, dikenal dengan Optimal Daily Allowance (ODA),
terbukti dapat mencegah dan menangani stres oksidatif sehingga membantu
pencegahan penyakit kronis. Level optimal ini dapat dicapai bila jumlah dan
komposisi nutrisi yang digunakan tepat. Dalam penanganan penyakit, penggunaan
nutrisi sebagai pengobatan komplementer dapat membantu efektivitas dari
pengobatan dan pada saat yang bersamaan mengatasi efek samping dari pengobatan.
Karena itu, nutrisi / gizi sangat erat kaitannya dengan kesehatan yang optimal dan
peningkatan kualitas hidup. Hasil ukur bisa dilakukan dengan metode antropometri.

B. Faktor Penyebab Gizi

- Ketidaktahuan orang tua tentang gizi

Kurangnya pengetahuan orang tua terhadap pola makan sehat dan gizi
yang seimbang merupakan penyebab paling umum kurang gizi pada anak. Bila
orang tua tidak mengetahui jenis dan jumlah nutrisi yang dibutuhkan anak,

5
asupan nutrisi yang diberikan bisa tidak mencukupi kebutuhan anak sehingga
ia menjadi kurang gizi.
- Tingkat sosial ekonomi yang rendah
Kondisi sosial ekonomi keluarga yang kurang baik juga bisa menjadi
penyebab anak mengalami kekurangan gizi. Hal ini karena jika porsi dan jenis
makanannya tidak memenuhi kebutuhan gizi dalam waktu yang lama, anak
akan mengalami gizi kurang.
Namun, hal ini bisa diakali dengan mengetahui sumber-sumber makanan
yang bergizi lengkap yang mudah ditemui. Sumber makanan ini tidak perlu
mahal, tetapi tetap terjaga kebersihannya.
- Kebersihan lingkungan yang buruk
Lingkungan yang tidak bersih juga dapat menyebabkan anak
mengalami kekurangan gizi, sebab lingkungan yang kotor bisa membuat anak
terserang beragam penyakit. Hal ini dapat menyebabkan penyerapan gizi
terhambat, meskipun asupan makanannya sudah baik.
- Menderita penyakit tertentu
Selain karena makanan, anak kurang gizi bisa juga disebabkan oleh
suatu penyakit atau kondisi medis, terutama penyakit saluran pencernaan
yang membuat tubuh anak sulit mencerna atau menyerap makanan.
Contohnya adalah penyakit celiac, penyakit Crohn, dan radang usus.
Selain itu, penyakit jantung bawaan dan penyakit infeksi, seperti TB
paru, juga bisa menyebabkan anak mengalami kurang gizi.

6
C. Tingkatan status gizi

1. Jenis kelamin

Penilaian status gizi anak laki-laki tentu tidak sama dengan anak perempuan.
Hal ini disebabkan karena tumbuh kembangnya pun berbeda, biasanya anak perempuan akan
tumbuh jauh lebih cepat ketimbang laki-laki. Itu sebabnya, dalam melakukan cara
menghitung status gizi anak terhadap status gizi anak, penting untuk memerhatikan jenis
kelamin. Sebab pola pertumbuhan anak laki-laki berbeda dengan perempuan.
2. Usia

Faktor usia sangat penting untuk menentukan dan melihat apakah status gizi si kecil,
termasuk gizi anak sekolah, sudah baik atau belum. Hal ini sebenarnya memudahkan Anda
untuk tahu, apakah sang buah hati mengalami pertumbuhan yang normal jika dibandingkan
dengan anak-anak seusianya. Meski memang setiap anak akan mengalami tumbuh kembang
yang berbeda walaupun memiliki rentang usia yang sama.
3. Berat badan

7
Berat badan adalah salah satu indikator dari penilaian status gizi anak yang paling
sering dipakai. Ya, berat badan dianggap dapat memberikan gambaran mengenai kecukupan
jumlah zat gizi makro dan mikro yang ada di dalam tubuh. Tak seperti tinggi badan yang
perubahannya membutuhkan waktu yang agak lama, berat badan bisa sangat cepat berubah.
Perubahan berat badan bisa menunjukkan perubahan status gizi pada anak. Itulah mengapa
berat badan kerap dipakai untuk menggambarkan status gizi anak saat ini, atau dikenal juga
sebagai pertumbuhan massa jaringan.
4. Tinggi badan atau panjang badan

Berbeda dengan berat badan yang bisa berubah dengan sangat cepat, tinggi badan
justru bersifat linier. Arti linier di sini adalah perubahan tinggi badan tak begitu cepat dan
dipengaruhi oleh banyak hal dari masa lampau, tak hanya saat ini saja. Mudahnya begini, jika
si kecil makan terlalu banyak mungkin saja berat badannya bertambah meski hanya 500 gram
atau satu kilogram dalam beberapa hari. Namun, hal ini tidak berlaku pada tinggi badan.
Pertumbuhan tinggi badan sangat berkaitan dan tergantung dengan kualitas makanan yang
Anda berikan pada anak sejak kecil, bahkan mulai dari ia lahir.

8
Pemberian ASI eksklusif atau tidak saat bayi hingga kualitas makanan pendamping yang
Anda berikan kepada si kecil berpengaruh ke pertumbuhannya. Maka itu, tinggi badan
cenderung dipakai sebagai indikator untuk mengetahui masalah gizi kronis pada anak alias
masalah nutrisi yang sudah berlangsung sejak lama. Dahulu, saat anak berusia 0-2 tahun
panjang badan diukur dengan menggunakan papan kayu (length board).
Sementara untuk anak yang berusia lebih dari 2 tahun, pengukuran tinggi badan
menggunakan alat bernama mikrotoise yang disandarkan ke dinding.
5. Lingkar kepala

Selain indikator yang sudah disebutkan sebelumnya, lingkar kepala termasuk hal yang
biasanya diukur untuk tahu status gizi si kecil. Meski tidak menggambarkan secara langsung,
lingkar kepala bayi harus selalu diukur setiap bulan hingga anak menginjak usia 2 tahun.
Pasalnya, lingkar kepala dapat memberi gambaran bagaimana ukuran dan tumbuh kembang
otak anak saat itu. Pengukuran biasanya dilakukan di dokter, bidan, atau posyandu, dengan
menggunakan pita ukur yang dilingkarkan di kepala bayi.
Setelah diukur, lingkar kepala anak akan dikelompokkan ke dalam kategori normal, kecil (
mikrosefalus), atau besar (makrosefalus). Lingkar kepala yang berukuran terlalu kecil atau
besar merupakan tanda ada masalah dengan perkembangan otak anak.

9
Bagaimana cara menghitung status gizi anak?

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, penilaian dan cara menghitung status gizi anak dan
orang dewasa tidaklah sama. Indikator usia, berat, serta tinggi badan, saling berkaitan untuk
menentukan status gizi anak. Ketiga indikator tersebut nantinya akan dimasukkan ke dalam
grafik pertumbuhan anak (GPA) yang juga dibedakan sesuai dengan jenis kelaminnya. Nah,
grafik ini yang nantinya akan menunjukkan apakah status gizi anak baik atau tidak. GPA juga
memudahkan Anda dan tim medis untuk memantau tumbuh kembang si kecil. Ini karena
karena dengan adanya grafik pertumbuhannya, penambahan tinggi dan berat badan anak akan
lebih mudah terlihat. Ada beberapa kategori yang digunakan untuk menilai status gizi anak
menggunakan GPA, meliputi:

Mengukur status gizi anak usia 0-5 tahun Grafik yang digunakan untuk mengukur status gizi
anak usia kurang dari 5 tahun yaitu grafik WHO 2006 (cut off z score). Penggunaan grafik
WHO 2006 dibedakan berdasarkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan:

1. Berat badan berdasarkan umur (BB/U)

Indikator ini digunakan oleh anak usia 0-60 bulan, dengan tujuan untuk mengukur berat
badan sesuai dengan usia anak. Penilaian BB/U dipakai untuk mencari tahu kemungkinan
seorang anak mengalami berat badan kurang, sangat kurang, atau lebih. Namun, indikator ini
biasanya tidak bisa dipakai jika umur anak tidak diketahui secara pasti.

Status gizi anak berdasarkan BB/U yakni:

 Berat badan normal: -2 SD sampai +1 SD

10
 Berat badan kurang: -3 SD sampai <-2 SD

 Berat badan sangat kurang: <-3 SD

 Risiko berat badan lebih: >+1 SD

Anak yang tergolong ke dalam risiko berat badan lebih bisa saja punya masalah
pertumbuhan. Usahakan untuk memeriksa ulang menggunakan indikator BB/TB atau IMT/U.

2. Status gizi tinggi badan berdasarkan umur anak (TB/U)

Indikator ini digunakan oleh anak usia 0-60 bulan, dengan tujuan untuk mengukur tinggi
badan sesuai dengan usia anak. Penilaian TB/U dipakai untuk megindentifikasi penyebab jika
anak memiliki tubuh pendek. Akan tetapi, indikator TB/U hanya bisa digunakan bagi anak
usia 2-18 tahun dengan posisi berdiri.

Sementara jika usianya masih di bawah 2 tahun, pengukurannya menggunakan indikator


panjang badan atau PB/U dengan posisi berbaring.

Bila anak berusia di atas 2 tahun diukur tinggi badannya dengan cara berbaring, nilai TB
harus dikurangi dengan 0,7 sentimeter (cm).

Status gizi anak berdasarkan TB/U yakni:

 Tinggi: >+3 SD

 Tinggi badan normal: -2 SD sampai dengan +3 SD

 Pendek (stunting): -3 SD sampai dengan <-2 SD

 Sangat pendek (severe stunting): <-3 SD

3. Berat badan berdasarkan tinggi badan (BB/TB)

Indikator ini digunakan oleh anak usia 0-60 bulan, dengan tujuan untuk mengukur berat
badan sesuai dengan tinggi badan anak. Pengukuran ini yang umumnya digunakan untuk
mengelompokkan status gizi anak.

Status gizi anak berdasarkan BB/TB yakni:

11
 Gizi buruk (severelywasted): <-3 SD

 Gizi kurang (wasted): -3 SD sampai <-2 SD

 Gizi baik (normal): -2 SD sampai +1 SD

 Risiko gizi lebih: >+1 SD sampai +2 SD

 Gizi lebih (overweight): >+2 SD sampai +3 SD

 Obesitas: >+3 SD

Contoh Grafik Pertumbuhan Anak (GPA) dengan indikator BB/U untuk anak laki-laki.
Sumber: WHO

12
Cont
oh Grafik Pertumbuhan Anak (GPA) dengan indikator BB/U untuk anak perempuan. Sumber:
WHO

Mengukur status gizi anak usia 5-18 tahun

Pengukuran status gizi anak usia di atas 5 tahun bisa menggunakan aturan CDC 2000 (ukuran
persentil). Persentil digunakan sebagai gambaran berapa nilai IMT anak. Indeks massa tubuh
digunakan pada usia ini karena pada masa tersebut anak-anak mengalami pertambahan tinggi
dan berat badan yang berbeda-beda meski umurnya sama. Jadi, perbandingan tinggi dan berat
badan anak akan dilihat berdasarkan usianya.

Contoh grafik kategori penilaian IMT dengan persentil sesuai usia anak bisa dilihat pada
gambar berikut:

13
Contoh Grafik Pertumbuhan Anak Laki-Laki untuk IMT. Sumber: Centers for Disease
Control and Prevention (CDC).

14
Contoh Grafik
Pertumbuhan Anak Perempuan untuk IMT. Sumber: Centers for Disease Control and
Prevention (CDC).

Sementara kategori penilaian IMT anak di atas usia 5 tahun yakni:


 Gizi kurang (thinness): -3 SD sampai <-2 SD
 Gizi baik (normal): -2 SD sd +1 SD
 Gizi lebih (overweight): +1 SD sd +2 SD
 Obesitas: >+2 SD

Pengukuran status gizi anak dengan metode GPA memang tidak semudah penggunaan indeks
massa tubuh (IMT) seperti pada orang dewasa. Supaya lebih mudah dan akurat, Anda bisa
mencari tahu perkembangan status gizi anak dengan cara rutin melakukan pengukuran ke
dokter, bidan, maupun posyandu.

15
2. Gizi kurang

a. Definisi gizi kurang

Gizi kurang merupakan salah satu bentuk malnutrisi. Malnutrisi itu sendiri
dapat dipahami sebagai kesalahan dalam pemberian nutrisi. Kesalahan bisa berupa
kekurangan maupun kelebihan nutrisi.
b. Penyebeb gizi buruk
Penyebab gizi buruk ada 2 yaitu :
 Langsung
Asupan makanan
Penyakit infeksi
 Tidak langssung
Persediaan makanan di rumah
Perawatan anak dan ibu hamil
Pelayanan Kesehatan

c. Epidemiologi
Secara epidemiologi, malnutrisi ditemukan hampir di seluruh belahan
dunia dengan populasi paling berisiko adalah bayi, anak-anak dan wanita.
i. Global
Sekitar 462 juta dewasa tergolong berat badan kurang (underweight).
Selain itu, diperkirakan lebih dari 150 juta balita mengalami stunting dan 50
juta anak mengalami gizi buruk. [1] Data UNICEF menyatakan bahwa secara
global, 1 dari 4 balita menderita stunting. India merupakan negara dengan
jumlah balita pendek tertinggi, sementara Indonesia menempati peringkat
kelima.
Populasi yang paling berisiko mengalami malnutrisi adalah wanita, bayi,
dan anak-anak. Untuk itu, penting untuk memastikan asupan nutrisi adekuat
bagi ibu dan anak, sejak saat konsepsi hingga usia 2 tahun.[1] Populasi lanjut
usia juga berisiko untuk mengalami malnutrisi, khususnya yang dirawat inap
di rumah sakit.
ii. Indonesia
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, persentase balita pendek
(stunting) di Indonesia termasuk tinggi, yaitu mencapai 37,2%, dengan Nusa

16
Tenggara Timur sebagai provinsi dengan angka persentase tertinggi
menderita stunting.
d. Klasifikaasi gizi buruk
Gizi buruk berdasarkan gejala klinisnya dapat dibagi menjadi 3,
yaitu:
a. Marasmus
Marasmus terjadi disebabkan asupan kalori yang tidak cukup.
Marasmus sering sekali terjadi pada bayi di bawah 12 bulan. Pada
kasus marasmus, anak terlihat kurus kering sehingga wajah seperti
orangtua, kulit keriput, cengeng dan rewel meskipun setelah makan,
perut cekung, rambut tipis, jarang dan kusam, tulang iga tampak jelas
dan pantat kendur dan keriput (baggy pant).
b. Kwashiorkor
Kwashiorkor adalah salah satu bentuk malnutrisi protein yang
berat disebabkan oleh asupan karbohidrat yang normal atau tinggi
namun asupan protein yang inadekuat (Liansyah TM, 2015).
Beberapa tanda khusus dari kwashiorkor adalah: rambut berubah
menjadi warna kemerahan atau abu-abu, menipis dan mudah rontok,
apabila rambut keriting menjadi lurus, kulit tampak pucat dan
biasanya disertai anemia, terjadi dispigmentasi dikarenakan habisnya
cadangan energi atau protein. Pada kulit yang terdapat dispigmentasi
akan tampak pucat, Sering terjadi dermatitis (radang pada kulit),
terjadi pembengkakan, terutama pada kaki dan tungkai bawah
sehingga balita terlihat gemuk. Pembengkakan yang terjadi
disebabkan oleh akumulasi cairan yang berlebihan. Balita memiliki
selera yang berubah-ubah dan mudah terkena gangguan pencernaan
(Arvin Ann M, 2000).
c. Marasmus-Kwashiorkor
Memperlihatkan gejala campuran antara marasmus dan
kwashiorkor. Makanan sehari-hari tidak cukup mengandung protein
dan energi untuk pertumbuhan normal. Pada penderita berat badan
dibawah 60% dari normal memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor
seperti edema, kelainan rambut, kelainan kulit serta kelainan biokimia
(Pudjiadi S, 2010).

17
3. Balita
a. Definisi balita
Bawah Lima Tahun atau sering disingkat sebagai Balita merupakan
salah satu periode usia manusia setelah bayi dengan rentang usia dimulai
dari dua sampai dengan lima tahun, atau biasa digunakan
perhitungan bulan yaitu usia 24-60 bulan.
b. Ciri khas perkembangan balita

1. Perkembangan fisik

Pertambahan berat badan menurun, terutama diawal balita. Hal ini terjadi


karena balita menggunakan banyak energi untuk bergerak.
2. Perkembangan psikologis

a. Psikomotor

Terjadi perubahan yang cukup drastis dari kemampuan psikomotor


balita yang mulai terampil dalam pergerakannya (lokomotion).
Mulai melatih kemampuan motorik kasar misalnya berlari,
memanjat, melompat, berguling, berjinjit, menggenggam,
melempar yang berguna untuk mengelola keseimbangan tubuh dan
mempertahankan rentang atensi.

Pada akhir periode balita kemampuan motorik halus anak juga


mulai terlatih seperti meronce, menulis, menggambar,
menggunakan gerakan pincer yaitu memegang benda dengan
hanya menggunakan jari telunjuk dan ibu jari seperti
memegang alat tulis atau mencubit serta memegang sendok dan
menyuapkan makanan kemulutnya, mengikat tali sepatu

b. Aturan

Pada masa balita adalah saatnya dilakukan latihan mengendalikan diri


atau biasa disebut sebagai toilet training. Freud mengatakan bahwa pada
usia ini individu mulai berlatih untuk mengikuti aturan melalui proses
penahanan keinginan untuk membuang kotoran.

18
c. Kognitif

 Pada periode usia ini pemahaman terhadap obyek telah lebih ajeg.


Balita memahami bahwa objek yang diaembunyikan masih tetap ada,
dan akan mengetahui keberadaan objek tersebut jika proses
penyembunyian terlihat oleh mereka. Akan tetapi jika prose
penghilangan objek tidak terlihat, balita mengetahui benda tersebut
masih ada, namun tidak mengetahui dengan tepat letak objek
tersebut. Balita akan mencari pada tempat terakhir ia melihat objek
tersebut. Oleh karena itu pada permainan sulap sederhana, balita
masih kesulitan untuk membuat prediksi tempat persembunyian
objek sulap.
 Kemampuan bahasa balita bertumbuh dengan pesat. Pada periode
awal balita yaitu usia dua tahun kosa kata rata-rata balita adalah 50
kata, pada usia lima tahun telah menjadi di atas 1000 kosa kata. Pada
usia tiga tahun balita mulai berbicara dengan kalimat sederhana
berisi tiga kata dan mulai mempelajari tata bahasa dari bahasa
ibunya.
contoh kalimat
Usia 24 bulan: "Haus, minum"
Usia 36 bulan:"Aku haus minta minum"

4. Penyakit Infeksi
a. Definisi penyakit infeksi
Penyakit infeksi adalah masalah kesehatan yang disebabkan oleh
organisme seperti virus, bakteri, jamur, dan parasit. Meski beberapa jenis
organisme terdapat di tubuh dan tergolong tidak berbahaya, pada kondisi
tertentu, organisme-organisme tersebut dapat menyerang dan menimbulkan
gangguan kesehatan, yang bahkan berpotensi menyebabkan kematian.

 Jenis dan Penyebab Penyakit Infeksi

Infeksi dapat disebabkan oleh 4 organisme berbeda, yakni virus,


bakteri, parasit, dan jamur. Masing-masing organisme dapat menimbulkan

19
masalah kesehatan yang berbeda. Berikut adalah contoh penyakit berdasarkan
organisme yang menyebabkannya:

 Virus. Organisme ini menyerang sel dalam tubuh. Human


immunodeficiency virus (HIV) adalah salah satu contoh jenis virus
yang menyebabkan penyakit HIV/AIDS.

 Bakteri. Organisme ini dapat melepaskan racun penyebab penyakit. E.


coli adalah salah satu contoh jenis bakteri yang menyebabkan infeksi
saluran kemih.

 Jamur. Dermatophytes adalah salah satu contoh jenis jamur yang juga


menjadi penyebab kutu air. Jamur ini dapat berkembang biak dengan
cepat di lingkungan bersuhu hangat dan lembap.

 Parasit. Parasit hidup dengan bergantung pada organisme


lain. Plasmodium adalah salah satu contoh jenis parasit yang
bergantung hidup di nyamuk dan menjadi penyebab malaria.

 Pencegahan Infeksi

Semua jenis penyakit infeksi pada dasarnya dapat dicegah. Beberapa


upaya yang dapat dilakukan guna mengurangi risiko terjadinya infeksi adalah:

 Melakukan pemeriksaan secara rutin.


 Menghindari kontak dengan hewan liar.
 Melakukan vaksinasi sesuai jadwal.
 Menerapkan kehidupan seks yang sehat.
 Menjaga kebersihan.
 Tidak berbagi pakai barang pribadi, seperti sikat gigi, handuk, atau
sepatu.
 Tidak jajan sembarangan.

20
 Pengobatan Infeksi
Dampak gizi buruk lainnya yang kerap kali terjadi adalah risiko
penyakit infeksi. Ya, anak dengan gizi yang kurang akan sangat rentan
mengalami penyakit infeksi, seperti gangguan pencernaan anak. Hal ini
disebabkan oleh sistem kekebalan tubuhnya yang tak kuat akibat nutrisi tubuh
yang tidak terpenuhi.
Ada banyak vitamin dan mineral yang sangat memengaruhi kerja
sistem kekebalan tubuh, misalnya vitamin C, zat besi, dan zink. Bila kadar
nutrisi tersebut tidak tercukupi, maka sistem kekebalan tubuhnya juga buruk.
Belum lagi jika ia kekurangan zat gizi makro seperti karbohidrat dan protein
yang merupakan sumber energi dan pembangun sel-sel tubuh.
Kekurangan nutrisi tersebut akan membuat fungsi tubuhnya terganggu.
Penanganan infeksi disesuaikan dengan organisme yang
menyebabkannya dan bagian tubuh yang terinfeksi. Umumnya penanganan
infeksi dilakukan dengan pemberian obat atau operasi. Beberapa obat yang
dapat digunakan untuk menangani infeksi meliputi:

 Antivirus, seperti zanamivir dan acyclovir.
 Antibakteri, seperti amoxicillin dan doxycycline.
 Antijamur, seperti clotrimazole dan fluconazole.
 Antiparasit, seperti albendazole dan artesunate.

Obat untuk menangani infeksi tersedia dalam berbagai bentuk, mulai dari
tablet, kaplet, salep, krim, hingga suntik. Dosis dan jenis masing-masing obat
perlu disesuaikan dengan kondisi dan riwayat pasien. Hindari menggunakan
obat tanpa terlebih dahulu berkonsultasi dengan dokter.

Selain pemberian obat, beberapa jenis infeksi juga perlu ditangani dengan
operasi. Operasi yang dilakukan akan disesuaikan dengan kondisi yang
diderita, organisme penyebab, dan riwayat kesehatan pasien. Misalnya, pada
penyakit katup jantung akibat infeksi, maka perlu dilakukan operasi
untuk mengganti katup jantung.

21
B. Kerangka Teori

Gizi Kurang

Asupan Intensitas Penyebab


Makanan Infeksi langsung

Perawatan Penyebab tidak


Persediaan
anak dan Pelayanan langsung
makanan di
ibu hamil Kesehatan
rumah

Kemiskinan, Kurang Pokok masalah


pendidikan, Kurang
keterampilan

Krisis Ekonomi Akar masalah


Langsung

22
C. Kerangka Konsep
Kerangka konsep merupakan suatu hubungan antara konsep satu terhadap konsep lain
dari masalah yang diteliti. Kerangka konsep penelitian adalah suatu hubungan atau kaitan
antara konsep lainya dari masalah yang akan diteliti (Setiadi, 2007).

Independent Dependent

Kemiskinan Intensitas Infeksi

Variabel Confounding

1. Persediaan
makanan di
rumah
2. Perawatan anak
dan ibu hamil
3. Pelayanan
Kesehatan

Gmabar Kerangka Konsep Penelitian

Keterangan Gambar :

Diteliti :

23
D. Hipotesis
Ho: Ada pemenuhan kebutuhan nutrisi terhadap infeksi pada balita di Kelurahan Sogan,
Kecamatan Wates, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta
Ha: Tidak ada pemenuhan kebutuhan nutrisi terhadap infeksi pada balita di Kelurahan
Sogan, Kecamatan Wates, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta

24
BAB III
Metode Penelitian

A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode proportional cluster sampling dengan
pendekatan cross sectional. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui mengenai
pemberian makanan pada anak usia 12-59 bulan di wilayah Kulon Progo, Yogyakarta.
Pendekatan cross sectional yaitu peneliti mengambil data variabel bebas dan variabel
terikat dalam periode waktu yang sama.
B. Tempat dan waktu penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Kulon Progo, Yogyakarta dengan dasar
pertimbangan penelitian ingin mengetahui pengetahuan dan perilaku ibu tentang
keluarga sadar gizi terhadap status gizi anak balita.
2. Waktu Penelitian
Survey pendahuluan dilakukan di Dinas Kesehatan Kulon Progo pada bulan Mei
2014. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Oktober 2014.
C. Populasi dan sampel
a) Populasi Penelitian
Populasi yang terdapat dalam penelitian ini adalah ibu-ibu yang memiliki anak
balita usia 12-59 bulan Kulon Progo, Yogyakarta. Populasi balita sebanyak 270
balita.
b) Sampel Penelitian
Sampel penelitian merupakan bagian dalam populasi yakni ibu-ibu yang memiliki
anak balita usia 12-59 bulan dengan memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Kriteria Inklusi:
a. Keluarga yang bertempat tinggal dan menetap di Kulon Progo, Yogyakarta
b. Bersedia menjadi sampel
c. Dapat membaca dan menulis
d. Pendidikan ibu minimal Sekolah Dasar
e. Anak balita yang diasuh oleh ibu kandung

25
f. Ibu sehat jasmani dan rohani
2. Kriteria Eksklusi:
a. Ibu yang pergi/pindah rumah pada waktu pengambilan data
b. Ibu/balita yang sakit/meninggal dunia sewaktu penelitian
berlangsung.
 Rumus Yamane:
n= N
1+ N (e)2 Keterangan :
n = Jumlah sampel yang diperlukan
= 270 N = Jumlah populasi
e = Tingkat kesalahan sampel
1 + 270 (0,5)2
(sampling eror), biasanya 5 %
= 4%
D. Variabel penelitian

Variabel penelitian adalah karakter, atribut atau segala sesuatu yang terbentuk, atau
yang menjadi perhatian dalam suatu penelitian sehingga mempunyai variasi antara satu objek
yang satu dengan objek yang lain dalam satu kelompok tertentu kemudian ditarik
kesimpulannya.
 Jenis-jenis variabel

1. Variabel terikat atau variabel tergantung (dependent variables). Variabel


terikat adalah faktor-faktor yang diobservasi dan diukur untuk menentukan adanya
pengaruh variabel bebas, yaitu faktor yang muncul, atau tidak muncul, atau berubah
sesuai dengan yang diperkenalkan oleh peneliti. Variabel terikat dalam penelitian ini
adalah intensitas infeksi.
2. Variabel bebas adalah variabel yang menyebabkan atau memengaruhi, yaitu faktor-
faktor yang diukur, dimanipulasi atau dipilih oleh peneliti untuk menentukan
hubungan antara fenomena yang diobservasi atau diamati. Variabel bebas dalam
penelitian ini adalah kemiskinan.
3. Variabel pengganggu merupakan variabel yang mengganggu pengaruh atau hubungan
antara variabel bebas dengan variabel terikat (Notoatmodjo, 2012). Variabel
pengganggu dalam penelitian ini yaitu:
a. Persediaan makanan di rumah
b. Perawatan anak dan ibu hamil
c. Pelayanan Kesehatan
26
E. Instrumen Penelitian
Instrumen yang di gunakan pada penelitian ini adalah menggunakan kuesioner
sebagai instrumen penelitian.
F. Validitas dan Rehabilitas
Kuesioner adalah salah satu metode survei dalam melakukan penelitian yang dipakai
untuk mengumpulkan data dari responden. Instrumen ini merupakan teknik pengumpulan
data dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada
responden untuk menjawabnya (Sugiyono (2010).
Instrumen pengambilan data variabel terikat menggunakan kuesioner yang
dikembangkan peneliti yang telah dinyatakan valid dan reliable melalui uji validitas dan
reliabilitas. Variabel status gizi diukur berdasarkan indeks antropometri BB/U, dengan
klasifikasi status gizi baik: -2 SD s.d +2 SD. Status gizi kurang: <-2 SD s.d <-3 SD,
status gizi buruk: d” -3 SD. Status gizi dikelompokkan menjadi gizi baik dan gizi kurang
(gizi kurang dan gizi buruk).
G. Prosedur Penelitian
Metode Pengumpulan Data
a. Data Primer
Data diperoleh dari data primer melalui wawancara dan observasi dengan
menggunakan kuesioner sebagai instrumen penelitian kepada ibu-ibu dari balita di
wilayah Kulon Progo, Yogyakarta
b. Data skunder
Data skunder pada penelitian ini berupa data base (Riwayat penyakit balita)
dan hasil wawancara dengan dinas kesehatan di wilayah Kulon Progo,
Yogyakarta.

H. Analisa Data

Teknik analisis data adalah metode dalam memproses data menjadi informasi.
Saat melakukan suatu penelitian, kita perlu menganalisis data agar data tersebut mudah
dipahami. Analisis data juga diperlukan agar kita mendapatkan solusi atas permasalahan

27
penelitian yang tengah dikerjakan. Ada dua jenis teknik analisis data dalam penelitian.
Dua jenis teknik analisis data adalah teknik analisis data kualitatif dan kuantitatif.

Untuk analisis data pada penelitian ini yaitu tentang masalah gizi kurang pada
balita yang masih menjadi masalah mendasar di dunia, terutama di wilayah Kulon Progo.
Penelitian ini bertujuan agar tercapainya penurunan gizi buruk pada balita di wilayah
Kulon Progo. Penelitian di awali dengan penentuan lokasi, dilanjutkan dengan
pengambilan data identifikasi, dan analisis data, serta pelaporan. Analisis dengan
memberikan pemenuhan nutrisi pada balita. Hasil penelitian menunjukan bahwa gizi
buruk yang terjadi di wilayah Kulon Progo berdampak karna kurangnya malnutrisi yang
cukup.

I. Etika Penelitian
Peniliti dalam menjalankan penelitian ini, akan melibatkan Ibu-ibu yang
mempunyai balita di wilayah Kulon Progo. Peneliti dalam melakukan penelitian ini akan
memperhatikan hak asasi manusia yang berpedoman pada lima spek sesuai pedoman
american nurse association, diantaranya (Whitehead dkk., 2011) :
1. Right to self-determination
Responden memiliki hak asasi dan kebebasan untuk menentukan pilihan
untuk ikut atau menolak terlibat dalam penelitian tidak boleh ada paksaan atau
teknan bagi responden untuk bersedia ikut dalam penelitian. Selain itu responden
berhak mendapatkan informasi yang lengkap tentang tujuan dan manfaat penelitian
serta prosedur kegiatan pelaksanaan.
2. Rigt to privacyand dignity
Responden dalam penelitian ini memiliki hak untuk mendapatkan privasi
dalam hal menentukan waktu, tempat dan kondisi lingkungan yang menjamin privasi
responden. Peneliti tetap menjamin privasi responden pada saat responden
memberikan informasi yang bersifat pribadi dan menjaga kerahasiaan informasi
pribadi dari responden terkait sikap, tingkah laku dan pendapat responden.peneliti
memberikan informasi yang jelas dan lengkap kepada responden tentang tujuan,
manfaat, prosedur, resiko serta keuntungan dari penelitian yang akan dilakukan.
Responden setelah diberikan penjelasam dari peneliti, kemudian responden yang

28
bersedia diberikan informed consent yaitu persetujuan untuk berpartisipasi dalam
penelitian ini.
3. Right to anonymity and confidentiality
Responden perlu mendapatkan hak untuk tidak diketahuin identitasnya
pribadi, serta dijaga kerahasiaannnya dari data yang telah diberikan oleh responden.
Untuk menjaga kerahasiaan identintas responden, peneliti tidak akan mencantumkan
nama responden pada lembar pengumpulan data yang diisi oleh responden, lembar
tersebut hanya diberi kode tertentu.
4. Right to protection from discomfort and harm
Penelitian yang dilakukan harus memperhatikan prinsip kenyamanan pasien
dan tidak merugikan bagi pasien.
5. Right to fair treatment
Peneliti dalam melaksanakan kegiatannya tidak membeda-bedakan
responden dengan memperhatikan prinsip keadilan. Semua responden yang telah
ditentukan berdasarkan kriteria inklusi diperlakukan sama dengan responden
lainnya.

29
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi/Gambaran Lokasi Penelitian


 Kondisi Geografi Kabupaten Kulon Progo
Kabupaten Kulon Progo merupakan salah satu kabupaten yang terletak di Daerah
Istimewa Yogyakarta selain Kabupaten Bantul, Gunung Kidul, Sleman dan Kota Jogja,
letak dari Kabupaten Kulon Progo berada pada posisi paling Barat DIY. Kabupaten
Kulon Progo yang beribukota di Wates juga merupakan ‘pintu gerbang’ bagi Daerah
Istimewa Yogyakarta dimana Kabupaten Kulon Progo ini menghubungkan Daerah
Istimewa Yogyakarta dengan pusat-pusat kegiatan ekonomi dan pemerintahan yang
terletak pada bagian barat Pulau Jawa dan utara Pulau Jawa, posisi tersebut memberikan
keuntungan bagi perkembangan bagi wilayah Kabupaten Kulon Progo maupun
perkembangan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Secara astronomis Kabupaten Kulon Progo terletak diantara 7038’30” -
7058’3” LS dan 11001’37”–110016’26” BT, jika dari posisi geostrategic
Kabupaten Kulon Progo yang terletak di bagian barat Daerah Istimewa
Yogyakarta dan berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Tengah.

B. Hasil dan Pembahasan


1) Hasil
Disimpulkan bahwa mayoritas balita yang menjadi responden adalah berusia
pra sekolah. Berdasarkan jenis kelamin, prosentase laki-laki dan perempuan hampir
sama. Responden lebih banyak yang memiliki riwayat ASI ekslusif dibandingkan
yang tidak ekslusif. Sebagian besar responden pernah mengalami penyakit infeksi
dalam 6 bulan terakhir dan mayoritas memiliki status gizi baik. Berdasarkan analisis
menggunakan regresi logistik berganda di peroleh bahwa variabel yang paling
dominan mempengaruhi status gizi balita adalah asupan makanan

2) Pembahasan
Hasil analisis mengenai hubungan riwayat penyakit infeksi dengan gizi kurang
pada balita menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara riwayat penyakit
infeksi dengan gizi kurang balita (p value=0,496). Hal ini disebabkan karena upaya

30
pencegahan terhadap kasus gizi kurang sudah dilaksanakan dengan baik oleh keluarga
balita, misalnya dengan pemberian ASI secara ekslusif. Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian Nakamori et al (2010) bahwa penyakit infeksi tidak berpengaruh
terhadap kejadian underweight disebabkan adanya tindakan pencegahan yang secara
dini dilakukan untuk mencegah balita mendapatkan underweight seperti melalui
pemberian ASI ekslusif.
Hasil penelitian ini didukung oleh Nakamori et al (2010), bahwa bayi yang
tidak mendapatkan ASI ekslusif memiliki peluang 3,95 kali mengalami underweight
dibandingkan dengan bayi yang mendapatkan ASI ekslusif. Hal ini disebabkan karena
pemberian ASI ekslusif menurunkan angka kejadian penyakit infeksi yang
berhubungan dengan kondisi status gizi balita. ASI ekslusif akan meningkatkan
sistem imunitas bayi, sehingga daya tahan tubuh terhadap infeksi akan meningkat.
Hasil analisis mengenai hubungan riwayat pemberian ASI dengan gizi kurang
balita menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara riwayat
pemberian ASI dengan status gizi balita (p value=,003). Balita dengan riwayat ASI
nonekslusif berpeluang mengalami gizi kurang sebanyak 4,34 kali lebih besar
dibandingkan dengan balita dengan riwayat ASI ekslusif.

31
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

 Simpulan
Simpulan berdasarkan hasil analsis ini, faktor-faktor yang berhubungan secara
bermakna dengan status gizi balita di wilayah Kulon progo, Yogyakarta adalah
intensitas infeksi, riwayat pemberian ASI, asupan makanan, persediaan makanan
dirumah dan perawatan anak dan ibu hamil. Hasil penelitian ini menunjukkan angka
kejadian gizi kurang di wilayah Kulon progo masih cukup tinggi bila dibandingkan
dengan data kejadian gizi kurang balita dalam cakupan wilayah Provinsi
D.I.Yogyakarta. Oleh karena itu angka kejadian gizi kurang di wilayah ini perlu
mendapatkan perhatian bagi tenaga kesehatan. Hasil penelitian ini dapat memberikan
sumbangan informasi bagi pelayanan kesehatan dan keperawatan untuk dapat
meningkatkan program gizi di masyarakat. Perlunya dilakukan penyuluhan secara
berkala di pelayanan kesehatan dasar mengenai gizi pada balita sehingga dapat
memperbaiki pola asuh, persepsi ibu yang kurang baik mengenai gizi pada balita dan
perubahan perilaku keluarga menuju keluarga sadar gizi.

 Saran
Dari hasil penelitian ini disarankan bagi :
1. Dinas Kesehatan
- meningkatkan kualitas dan kuantitas program PMT-P dan juga penyuluhan
gizi, sehingga sebagian besar masyarakat gizi buruk dapat tercover dalam hal
pemberian makanan tambahan ini.
- melakukan pembagian PMT-P langsung ke rumah-rumah keluarga pasien gizi
buruk, sehingga semua pasien mendapatkan bantuan makanan tersebut.
- peningkatan kegiatan pelacakan gizi buruk ke rumah-rumah, agak dapat
tersaring balita-balita gizi buruk yang tidak datang ke Puskesmas atau
Posyandu.
- mendirikan pusat pelayanan kesehatan gratis tanpa dikenakan biaya
bagi masyarakat miskin

32
2. Masyarakat setempat
- tetaplah berjuang dan berusaha dalam mencukupi kebutuhan gizi harian
balita walaupun dengan keadaan ekonomi yang tidak mencukupi.
- janganlah hanya mengharapkan bantuan dari Dinas Kesehatan,
melainkan harus bisa mandiri dalam menjaga keadaan status gizi balita.
- janganlah hanya memberikan makanan kepada balita dari PMT-P yang
diberikan oleh Dinkes, tetapi harus tetap memberikan makanan
harian keluarga, sehingga angka kecukupan gizi harian balita dapat
terpenuhi.
- datanglah ke Puskesmas atau Posyandu pada saat pembagian PMTP,
sehingga balita mendapat makanan tambahan dengan kecukupan gizi
harian yang baik.

33
Daftar Pustaka

Almatsier. S. (2009). Prinsip dasar ilmu gizi (edisi ketujuh). Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama

Annim, S.K.,&Imai K.S.,(2014. Nutritional status of children, food consumtion diversity and
ethnicity in Lao PDR. Economics school of Social Sciece. University of Manchaster. UK

Bantamen, Belaynew, & Dube (2014). Assessment of Factors Associated with Malnutrition
among Under Five Years Age Children at Machakel Woreda, Northwest Ethiopia: A Case
Control Study. Journal nutrition food science vol 4 No 1 2014

Charmarbaglawa,R.,Ranger.,M.,Waddington H, White H (2010). The determination of child


health and nutrition: a meta analysis. Departemen of economic, university of maryland and
operation evaluation departement, world bank

Dinkes Kab Kulon Progo (2014). Profil Kesehatan Kabupaten


Kulon progo Tahun 2014 (Data tahun 2013). Kulon
Progo, DIY

Handono, N.P (2010). Hubungan Tingkat Pengetahuan pada Nutrisi, Pola Makan, dan
Tingkat Konsumsi Energi
dengan Status Gizi Anak Usia Lima Tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Selogiri, Wonogiri.
Jurnal Keperawatan Vol 1 No.1, Juli 2010.

Hayati (2014). Analisis faktor orang tua terhadap status gizi balita. Pendekatan teori health
belief model. Program studi ners Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga.

Kartika, et al (2000). Pola pemberian makan anak (6-18 bulan) dan hubungannya dengan
tumbang anak pada keluarga miskin dan tidak miskin. Jurnal Penelitian Gizi dan Makanan
Jilid 23 Tahun 2000 Hal 37-47

Maseta, E., Makau K.W., & Omwega A.M., (2008). Childcare practice and nutritional status
of children aged 6-36 months among short ang long term beneficiaries of the child survival
protection and development programmes (the case Morogoro, Tanzania). South Africa
Journal of Clinical Nutrition. Vol 21, No 1, 2008

34
Mirayanti, N. (2012). Hubungan pola asuh pemenuhan nutrisi dalam keluarga dengan status
gizi balita di
Kelurahan Pasir Gunung Selatan Kecamatan Cimanggis Kota Depok. Tesis. Fakultas Ilmu
Keperawatan Magister Ilmu Keperawatan: Depok.

Naghashpour et al (2014). Nutrition education based on health belief model improves dietary
calcium intake
among female students of junior high schools. Journal of Health Population Nutrition. Vol 32
, No 3, 420-
429p. 2014

Nakamori et al (2010). Nutritional status, feeding practice and incidence of infectious disease
among children aged 6 to 18 months in northern mountainous Vietnam. The journal of
medical investigations vol. 57.2010

Putri, D.S.K & Wahyono,T.Y.M (2013). Faktor langsung dan tidak langsung yang
berhubungan dengan kejadian wasting pada anak umur 6-59 bulan di Indonesia tahun 2010.
Media litbangkes Vol 23, No 3, September 2013, 110-121

Riskesdas. (2013). Riset Kesehatan Dasar 2013. Kementerian Kesehatan RI.


https://www.litbang.depkes.go.id

Salehi et al (2004). Asessing the impact of nutrition education on growth of Iranian nomadic
children: an application of a modified beliefs, attitudes, subjectives norms and enabling
factors model. The British Journal of Nutrition, vol 91, 779p

Sartika, R. (2010). An anlysis on the usage of health service related to nutritional status of
under five years old
children. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol 5, No.2, Oktober 2010

Stanhope, M. & Lancaster, J. (2012). Public Health Nursing Population Centered Health Care
in The Community. (8th e). Missouri: Elsevier.

Unicef (2011). Gender influences on child survival, health and nutrition:a narative review.
New York

35
United Nations Children’s Fund (UNICEF) (2013). Improving child nutrition: the achievable
imperative for
global progress, UNICEF, New York, 2013.

WHO (2013). The Millenium Development Goals (MDGs) Report 2013. United Nation New
York.Diperoleh tanggal 25 Desember 2013 dari http://www.who.int/
nutrition/publications/severemalnutrition

Wong et al.(2014). Risk factors of malnutrition among preschool children in Terengganu,


Malaysia: a case control study. BMC Public Health Journal 2014, 14: 785

36

Anda mungkin juga menyukai