Anda di halaman 1dari 23

TUGAS ASSESSMENT

Psychological Assessment in Forensic Settings

Oleh :

Ira Safitri W / 18.E1.0020

Fadia Tasyafa / 18.E1.0034

Nadia Putri A / 18.E1.0046

Bryna Widodo / 18.E1.0065

Luluk Maula H / 18.E1.0072

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIKA SOEGIJAPRANATA SEMARANG


TAHUN AJARAN 2020/2021

Historical of Forensic Psychology

Psikologi pertama kali masuk ke pengadilan pada awal tahun 1900-an, saat itu muncul saksi ahli
psikologi di pengadilan namun lebih masuk ke ranah eksperimental ketimbang ranah psikologi
klinis. Hal tersebut terjadi karena pada waktu itu psikologi klinis belum termasuk sebagai salah
satu disiplin ilmu. Sekitar tahun 1940-an setelah berakhirnya Perang Dunia II, psikologi klinis
mulai berkembang pesat, pada saat ini lah para psikolog klinis membangun jalan untuk masuk ke
pengadilan. Awalnya hakim meminta juri untuk mengabaikan kesaksian dari psikolog karena
hakim memandang bahwa psikolog tidak memenuhi syarat untuk mendiagnosis penyakit mental.

Masuknya psikologi ke dalam proses hukum belum sepenuhnya diterima dan masih menuai pro
dan kontra. Sebagian kalangan masih cenderung menggunakan pendekatan ilmu sosial dalam
penyelesaian kasus-kasus hukum. Namun seiring perkembangan zaman di mana semakin banyak
kasus kriminal yang didapati melibatkan pelaku-pelaku yang mengalami tekanan atau gangguan
mental yang melatarbelakangi tindakan mereka, maka semakin intensif juga peran psikolog
dilibatkan secara aktif dalam mengusut dan memperjelas berbagai kasus hukum yang terjadi.
Meski mengalami perjalannya yang panjang dan bergelombang akhirnya pada tahun 1962
psikolog klinis diakui dan dilihat sebagai ahli kesehatan mental yang kompeten di pengadilan.

Dengan diakuinya psikolog sebagai ahli di pengadilan, bidang Psikologi Forensik mulai muncul.
Pada awal pengembangan Psikologi Forensik dibarengi dengan pengembangan program
pelatihan doctor dalam Psikologi Forensik serta berbagai jurnal dan asosiasi professional.
Adanya tuntutan pekerjaan dan factor kebutuhan ekonomi, membuat semakin banyak psikolog
yang berkecimpung dan melakukan penilaian forensic. Pada masa millennium baru, American
Academy of Forensic Psychology dan Divisi ke-14 dari APA (American Psychology Law
Society) petisi agar Psikologi Forensik dapat diakui sebagai bidang khusus. Pada bulan Agsustus
2001 diadakan pertemuan perwakilan dewan APA dimana dewan memberi suara untuk
mengakui Psikologi Forensik sebagai bidang khusus psikologi.

DEFINING CLINICAL FORENSIC PSYCHOLOGY


Forensic berasal dari bahasa latin yaitu foronesis yang artinya debat atau perdebatan. Forensic
sendiri diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang digunakan untuk membantu proses penegakan
keadilan melalui proses penerapan ilmu/sains.

Psikologi forensic merupakan suatu bidang yang mencakup berbagai hal penerapan psikologi
dalam bidang hukum. Menurut Heilbrun (2000) psikologi forensic merupakan praktek profesi
psikologi dalam bidang psikologi klinis, psikologi konseling, neuropsychology, dan psikologi
sekolah, yang kemudian ahli psikologi tersebut menggunakan keahlian mereka untuk
memberikan layanan profesional pada sistem hukum.

Praktisi forensik adalah psikolog yang terlibat dalam praktek psikologi forensik, profesi tersebut
tergolong sebagai bentuk profesi, dimana profesi tersebut memberikan keahlian pada masalah
psiko-hukum secara ekslusif.( APA 2008).

Forensik psikologi adalah aplikasi metode, teori, dan temuan empiris dari berbagai area ilmu
psikologi pada konteks dan kebutuhan proses hukum pidana dan perdata.(Needs, 2008)

Psikologi Forensik adalah upaya penelitian yang memeriksa aspek perilaku manusia yang terkait
dengan proses hukum dan peradilan (misal: memori dan kesaksian, pembuatan putusan hakim
dan juri, perilaku krimimal), dan penerapan profesi psikologi dalam dan atau dengan kaitan
dengan sistem hukum, yang mencakup sistem hukum pidana dan perdata, serta interaksi antara
keduanya. (Bartol dan Bartol 2008)

Meski masih luas, ini berhasil definisi berfokus pada aspek klinis terapan psikologi forensik.
Oleh karena itu, definisi tersebut tidak termasuk pekerjaan yang dilakukan oleh psikolog
eksperimental yang bekerja di bidang psikologi dan hukum. Karena kita membahas asesmen atau
penilaian forensik, definisi berfokus pada asesmen yang dilakukan oleh psikolog profesional
untuk pengadilan, atau untuk sistem hukum ditafsirkan secara lebih luas. Definisi ini tidak
mencakup praktik neuropsikolog atau psikolog klinis, konseling, atau sekolah yang pekerjaannya
hanya kadang-kadang masuk ke dalam sistem hukum.

Where Forensic Psychology Fits Within Clinical Psychology

Secara umum, asesmen forensic merupakan bagian dari spesialisasi psikologi klinis. Dengan
demikian, asesmen forensic dibuat atas hasil dari pelatihan dasar, pengetahuan, dan pengalaman
psikologi klinis. Mengingat batasan dan cakupan yang dimiliki psikologi forensic, ditekankan
bahwa diperlukan tingkat keahlian khusus yang signifikan untuk melakukan asesmen forensic.
Telah diketahui banyak orang bahwa evaluasi forensic yang dilakukan oleh psikolog di masa
lampau tidak berbeda dengan asesmen klinis umum. Karena psikologi forensic telah berkembang
selama 20 tahun terakhir maka metode, instrument, dan keterampilan umum psikolog forensic
mulai tampak perbedaan yang signifikan dari asesmen klinis umum.

Asesmen psikologis dapat masuk ke pengadilan atau system hukum dengan 2 cara.

i. Asesmen psikologis dapat ditarik langsung ke dalam konteks hukum secara tidak terduga
Ketika psikolog klinis telah melakukan asesmen pada seseorang dengan tujuan terkait
pekerjaan, kemudian di waktu yang akan datang ketika orang tersebut terlibat suatu
kasus, asesmen psikologis orang tersebut dapat di gunakan jika relevan sebagai bukti.
Namun jika masuk dengan cara ini, asesmen tersebut tidak dapat dikatakan sebagai
asesmen forensic karena dilakukan dengan tujuan di luar konteks forensic dan tidak
mengikuti The Speciality Guidelines For Forensic Psychologist.
ii. Asesmen psikologis dapat diperintahkan atau diminta secara khusus oleh pengadilan
untuk tujuan hukum
Ketika psikolog secara khusus menetapkan asesmen untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan hukum. Psikolog yang melakukan asesmen forensik akan diminta untuk
mematuhi aturan APA Ethical Principles Association yang berhubungan forensic dan
juga mematuhi standar The Speciality Guidelines For Forensic Psychologist.

The Need for Professional Competence in Forensic Psychology

Bagaimanapun cara psikolog masuk ke persidangan, mereka tetap berkewajiban untuk mematuhi
pedoman prinsip dan kode etik secara umum. Meskipun sudah tampak jelas bagaimana kode etik
diatur, namun di lapangan masih banyak psikolog yang melakukan asesmen forensic tanpa
adanya pelatihan atau pengalaman yang tepat, sehingga munculah kesulitan bagi mereka sendiri
dan keluhan etika dari subjek asesmen. Psikolog yang melakukan kegiata forensic harus berdasar
pada pengetahuan dan kompetensi yang sesuai di bidang mereka. Kode Etik APA mensyaratkan
bahwa “psikolog memberikan layanan, mengajar, dan melakukan penelitian hanya dalam batas-
batas kompetensi mereka, berdasarkan pelatihan, pengalaman yang diawasi, atau pengalaman
profesional yang sesuai” (Standar APA 1.04; lihat juga Standar APA 7.01). Selain hal-hal yang
menyangkut batasan kompetensi profesionalnya, psikolog forensik wajib memiliki pemahaman
yang mendasar tentang standar hukum dan profesi di wilayahnya (Speciality Guideline III [C]),
dan harus memahami hak hukum para pihak yang terlibat. yang mereka hubungi untuk
memastikan bahwa mereka tidak secara tidak sengaja mencabut hak-hak tersebut (Pedoman
Khusus III [D]). Meskipun psikolog forensik tidak perlu memiliki gelar sarjana hukum, psikolog
forensik secara etis berkewajiban untuk memastikan bahwa mereka benar-benar terbiasa dengan
hukum yang relevan dengan bidang praktik mereka.

The Scope of Forensic Psychological Assessments

Dalam hukum pidana, jenis asesmen yang mungkin diminta seperti evaluasi hukuman atau
mencari kesesuaian yang pas untuk diadili dan keadaan mental pada saat pelanggaran. Dalam
masalah kriminal, psikolog dapat ditahan oleh penuntut, pembela. Masalah pidana dapat
melibatkan terdakwa dewasa atau remaja, meskipun masalah hukum khusus yang muncul dan
standar hukum yang relevan mungkin akan berbeda di antara populasi ini.

Dalam hukum perdata berbeda dengan hukum pidana, hukum perdata adalah bidang hukum
privat karena dikembangkan untuk menyelesaikan konflik antara pihak swasta atau perusahaan.
Hukum perdata mencakup penegakan kontrak dan penyelesaian kesalahan pribadi antara
individu atau perusahaan. Kesalahan tersebut dapat mencakup hal-hal seperti pelanggaran,
cedera pribadi, fitnah, pemalsuan, dan sebagainya. Dalam hal demikian, sengketa hukum terjadi
antara dua orang atau lebih atau perusahaan yang telah mengajukan diri ke pengadilan untuk
menyelesaikan sengketa secara adil dan tidak memihak. Asesmen forensik dapat diperlukan di
bidang ini untuk menetapkan tingkat cedera pribadi (misalnya, gangguan kognitif atau gangguan
emosional), kompensasi pekerja, kapasitas untuk membuat surat wasiat, dan hal-hal lain.

Bidang hukum lainnya adalah hukum keluarga. Di mana psikolog forensik secara rutin dipanggil
untuk melakukan asesmen. Hukum keluarga menyangkut pernikahan dan perceraian, hak asuh
anak, pembagian aset, dan pemeliharaan keuangan untuk dukungan anggota keluarga (atau
mantan anggota keluarga). Psikolog paling sering ditahan untuk melakukan asesmen untuk
membantu pengadilan dalam memutuskan hal-hal seperti hak asuh dan akses ke anak-anak atau
hal-hal yang berkaitan dengan penangkapan anak dari orang tua mereka oleh badan layanan
perlindungan anak. Terkadang psikolog mungkin diminta untuk melakukan asesmen pihak-pihak
dalam perselisihan keluarga untuk hal-hal seperti kapasitas untuk menikah.

LEGAL PARAMETERS OF FORENSIC ASSESSMENTS

The Legal Contours of Forensic Assessments


Tujuan utama penilaian forensik adalah untuk membantu para pembuat keputusan hukum dalam
mengambil keputusan hukum. Seperti yang diulas di atas, ada banyak sekali keputusan hukum
yang dapat digunakan dalam penilaian psikologis forensik untuk memberikan informasi yang
relevan. Benang merah yang ada di berbagai bidang hukum dan penilaian forensik adalah bahwa
keputusan hukum harus dibuat. Pengambil keputusan hukum mungkin bersifat yudisial ( hakim,
juri) atau kuasi-yudisial (pengadilan administratif), sumber otoritas dapat berasal dari undang-
undang, kuasi-undang-undang (peraturan, anggaran rumah tangga), atau hukum umum.
Terlepas dari sifat dan sumber putusan hukum yang harus dibuat, terdapat kriteria hukum khusus
yang akan menjadi dasar dimana kriteria hukum dapat dianggap sebagai pertanyaan rujukan yang
mendasari permintaan penilaian forensik. Misalnya, sebuah undang-undang mungkin
mensyaratkan bahwa terdakwa ditemukan tidak kompeten untuk diadili karena gangguan mental
yang dialami. Dalam kasus ini, psikolog yang melakukan penilaian kompetensi bahwa untuk
diadili harus memenuhi setiap kriteria hukum kemudian memberikan informasi yang diperlukan
kepada pengadilan untuk memutuskan apakah tergugat layak untuk diadili.
Penilaian forensik mungkin dianggap benar-benar bersifat legal karena dalam banyak situasi,
penilaian seperti itu diamanatkan oleh sumber hukum yang sama yaitu undang-undang atau
peraturan. Perbedaan asesmen psikologi forensik dengan jenis asesmen psikologi lainnya adalah
konteks hukum dari asesmen psikologi forensik. Implikasi praktis dari situasi ini adalah bahwa
undang-undang mendikte, pada tingkat yang lebih rendah atau lebih besar tergantung pada
masalahnya dan area yang harus ditangani dalam penilaian psikologis forensik. Hal tersebut
menjadi kendala pada kebebasan yang dimiliki dokter dalam menentukan apa yang harus
dicakup oleh asesmen mereka. Selain itu, penilaian yang tidak membahas kriteria hukum atau
menyimpang terlalu jauh dari pertanyaan hukum yang diajukan tidak dapat membantu
pengadilan. Tujuan dari setiap asesmen forensik adalah untuk memberikan kesesuaian yang
optimal antara persyaratan hukum dan asesmen psikologis yang sesuai, sehingga temuan dari
asesmen tersebut menghasilkan kesimpulan untuk membuat keputusan.
Agar dokter dan peneliti forensik dapat memberikan asesmen yang diinformasikan secara hukum
dan penelitian klinis, mereka harus memiliki pengetahuan tentang hukum yang relevan dengan
asesmen mereka. Seperti dibahas sebelumnya, pedoman etika dari APA (1992) dan Asosiasi
Psikologis Kanada (2000) mensyaratkan bahwa psikolog memiliki pengetahuan tentang
konteks tempat mereka berlatih, misalnya bagi psikolog forensik, konteks ini adalah hukum.

Psycholegal Content Analysis: A Method and an Example


Penilaian forensik dikembangkan melalui prosedur yang dapat disebut analisis isi psikolegal
(Douglas, 2000; Ogloff, Roberts, & Roesch, 1993). Pertanyaan asesmen berasal dari standar
persyaratan hukum dan sejauh standar hukum ini bervariasi. Apabila pertanyaan asesmen
hukum bervariasi, maka korpus penelitian harus bervariasi agar responsif terhadap tugas
penilaian hukum. Analisis isi psikolegal membutuhkan langkah-langkah berikut :
1. Sumber otoritas hukum yang mengatur pertanyaan penilaian forensik biasanya sebuah
undang-undang kemudian diidentifikasi.
2. Prinsip hukum atau persyaratan yang disediakan oleh otoritas yang relevan untuk penilaian
kemudian harus disaring.
3. Jika ada mekanisme hukum lain yang memperluas kewenangan hukum asli biasanya kasus
hukum yang menafsirkan undang-undang tersebut dianalisis sekali lagi, prinsip yang relevan
dengan tugas asesmen.
4. Setelah asas-asas hukum yang relevan dengan penilaian ini disaring dan diatur, pengetahuan
psikologis atau strategi yang memetakan ke dalam asas-asas hukum ini dapat dilihat.
Mengenai penelitian yang terkait dengan asesmen dan pertanyaan studi dapat dirancang oleh
orang yang menginformasikan pertanyaan asesmen, kemudian dengan sendirinya telah
diinformasikan oleh prinsip-prinsip hukum terkait asesmen.
Intinya, metode ini menggabungkan penelitian hukum tradisional dengan tradisi psikologis
asesmen klinis dan studi empiris. Di sini, prosedur asesmen klinis dan pertanyaan studi
penelitian diinformasikan, dibentuk, atau ditentukan oleh parameter atau prinsip hukum.
Melton dkk (1997) memberikan banyak ilustrasi tentang bagaimana penilaian klinis forensik
harus diinformasikan berdasarkan standar hukum relevan yang berlaku. Secara umum mereka
berpendapat bahwa penting untuk tes forensik dan langkah-langkah asesmen untuk
menginformasikan keputusan hukum. Bidang penilaian risiko kekerasan menggambarkan
parameter yang ditetapkan oleh undang-undang tentang penilaian forensik. Melton dkk. (1997)
menunjukkan bahwa "bahaya," secara hukum, dapat terjadi dalam berbagai pengaturan dan
yurisdiksi dengan kriteria hasil yang sangat berbeda. Misalnya, kerusakan properti atau kerugian
emosional dapat memenuhi kriteria di beberapa pengaturan dan di beberapa yurisdiksi contohnya
komitmen sipil tidak sukarela, sedangkan di pengaturan lain misalnya, kasus hukuman mati atau
kasus pelanggar berbahaya termasuk kriteria hasil kekerasan fisik yang serius. Perbedaan kriteria
hukum tersebut berimplikasi pada asesmen forensik yang dilakukan dan penelitian yang dapat
digunakan untuk mendukung prosedur asesmen.
Poin utama yang dapat diambil dari diskusi ini adalah (a) bahwa hukum membentuk atau
menetapkan parameter penilaian forensik. (b) baik penilaian klinis-forensik dan penelitian terkait
penilaian perlu diinformasikan oleh hukum yang berbeda. persyaratan yang berkaitan dengan
pertanyaan asesmen (misalnya, penilaian risiko kekerasan), yang berkaitan dengan bidang
hukum yang berbeda (misalnya, komitmen sipil versus pembebasan orang yang dibebaskan dari
penyakit gila) dan yurisdiksi hukum yang berbeda.

The Admissibility of Forensic Assessments Into Evidence


Tinjauan komprehensif mengenai dapat diterimanya bukti psikologis berada di luar cakupan
bab ini, namun penting untuk menyoroti kriteria hukum relevan yang dipertimbangkan
pengadilan ketika memutuskan apakah bukti dari seorang psikolog dapat diterima sebagai bukti
opini ahli. Aturan khusus tentang bukti berbeda-beda di setiap negara bagian dan di pengadilan
federal. Federal Rules of Evidence (FRE) adalah hukum federal, banyak negara bagian telah
memasukkan setidaknya sebagian dari FRE ke dalam undang-undang bukti mereka.
Agar dapat diterima, bukti psikologis harus terlebih dahulu ditemukan oleh pengadilan agar
relevan. Artinya, informasi yang diberikan oleh asesmen psikologis harus terkait dengan
beberapa hal yang dipermasalahkan dalam kasus tersebut. Kedua, pengadilan harus diyakinkan
bahwa nilai pembuktian dari bukti psikolog tidak sebanding dengan nilai prasangkanya. Ini
berarti bahwa nilai dari kesaksian ahli tidak akan terlalu berpengaruh terhadap juri. Setelah
pengadilan memutuskan apakah kesaksian ahli tersebut relevan dan bahwa bobot pembuktiannya
melebihi nilai prasangka, pengadilan dapat beralih ke peninjauan langsung atas kesaksian ahli itu
sendiri. Ketentuan yang relevan dari FRE yang mengatur kesaksian ahli meliputi : FRE 702
(kesaksian ahli), FRE 703 (dasar pendapat pendapat ahli), FRE 704 (pendapat tentang isu akhir),
dan FRE 705 (pengungkapan fakta atau data yang mendasari pendapat ahli)
Agar kesaksian ahli dapat diterima menurut FRE 702, tiga persyaratan harus dipenuhi: (a)
hakim atau juri harus meminta bantuan dari kesaksian ahli; (b) ahli harus memiliki kualifikasi
untuk memberikan pendapat; dan (c) jika pakar tersebut mengandalkan fakta atau data ilmiah,
fakta atau data tersebut harus "diandalkan secara wajar oleh para ahli di bidang tertentu". Selain
itu, FRE 702 menetapkan bahwa kesaksian ahli dapat berupa opini. Tidak seperti semua saksi
lain yang memberikan bukti di persidangan, hanya ahli yang diizinkan untuk menyatakan
pendapatnya tentang masalah yang dipermasalahkan dalam kasus tersebut. Saksi lain hanya
boleh melaporkan informasi berbasis fakta yaitu informasi yang mereka ketahui secara
langsung (apa yang mereka lihat atau dengar). Karena fakta bahwa bukti mereka diperlukan
untuk membantu hakim atau juri, para ahli diizinkan untuk memberikan informasi berbasis
fakta dan bukti opini.
Pengadilan menggunakan Uji Frye (Frye v. US, 1923) untuk menentukan apakah bukti ilmiah
yang menjadi dasar kesaksian ahli harus diakui sebagai bukti di pengadilan. Untuk memenuhi
Uji Frye, seorang ahli saksi yang menawarkan bukti opini harus menunjukkan bahwa tidak
hanya metode yang diandalkan diterima secara umum, tetapi bahwa metode tersebut digunakan
dalam bidang yang relevan dari bidang pakar keahlian.
Setelah pengadilan memastikan bahwa teknik yang mendasari kesaksian ahli yang diajukan
adalah valid, pengadilan harus memutuskan apakah saksi yang diusulkan memenuhi syarat
sebagai ahli di bidang yang bersangkutan (FRE 702). Seorang saksi mungkin memenuhi syarat
sebagai seorang ahli berdasarkan pelatihan atau pendidikan, pengetahuan, keterampilan, atau
pengalamannya. Biasanya, tidak sulit bagi psikolog untuk memenuhi syarat sebagai ahli,
asalkan mereka menunjukkan pelatihan dan pengetahuan yang memadai tentang teknik yang
digunakan di bidang tertentu.
FRE final yang secara khusus mengatur tentang diterimanya kesaksian ahli melibatkan
pendapat ahli tentang masalah terakhir (FRE 704). Pendapat utama secara langsung menjawab
pertanyaan hukum yang diajukan (misalnya, apakah almarhum kompeten untuk membuat surat
wasiat, atau apakah almarhum meninggal akibat kecelakaan atau bunuh diri). Pada tahun 1984,
Kongres mengubah FRE 704 (b) sebagai tanggapan atas putusan dalam kasus United States v.
Hinckley (1981) di mana calon pembunuh Presiden Reagan dinyatakan tidak bersalah dengan
alasan kegilaan. Amandemen tersebut menghalangi para ahli dalam kasus pidana untuk
bersaksi apakah mereka yakin terdakwa memiliki kondisi mental atau kondisi yang diperlukan
untuk memuaskan elemen kejahatan atau pembelaan terhadap kejahatan tersebut.
Singkatnya, agar dapat diterima, kesaksian psikologis ahli harus relevan dengan isu-isu dalam
sebuah kasus dan nilai pro-batifnya harus lebih besar daripada dampak yang merugikan. Jika
kedua persyaratan umum tersebut terpenuhi, ahli psikologi saksi akan diterima jika dibuktikan
bahwa (a) masalah yang dipermasalahkan berada di luar pemahaman hakim atau juri dan
keputusan yang diambil oleh hakim atau juri akan menguntungkan sebagai hasil dari keahlian
khusus, (b) teknik atau metode yang digunakan dalam penilaian diterima di lapangan, dan (c)
saksi yang ditawarkan memiliki keahlian terkait dengan pertanyaan yang dibicarakan. Selain
itu, FRE memungkinkan para ahli untuk mendasarkan kesaksian mereka pada pengamatan
mereka (di dalam dan di luar pengadilan). Para ahli hanya perlu mengungkapkan sumber yang
mendasari pendapat mereka jika diminta untuk melakukannya melalui pemeriksaan silang.

CONTEMPORARY ISSUES IN FORENSIC ASSESSMENT

Clinical versus Actuarial Predictions Revisited

Kami akan mendiskusikan manifestasi dalam penilaian forensik yang memiliki aspek unik dalam
bagian ini dan tetap menjadi topic perdebatan yang hidup di beberapa area penilaian forensik.
Ada sedikit keraguan mengenai prediksi aktual cenderung mengungguli prediksi klinis tidak
terstruktur dalam hal indeks validitas. Di bidang penilaian risiko kekerasan, perdebatan terus
berlanjut terkait instrumen penilaian risiko kekerasan. Beberapa instrument mengadopsi prosedur
pengambilan keputusan aktual murni. Instrumen lain yang dikembangkan membutuhkan
pengambilan keputusan klinis terstruktur. Baru-baru ini, Douglas dan Ogloff (2001) telah
mengusulkan pendekatan hukuman profesional terstruktur untuk pengambilan keputusan klinis
dalam penilaian risiko kekerasan.

Beberapa komentator berpendapat bahwa pendekatan terstruktur untuk penilaian risiko mungkin
dapat mengatasi beberapa kelemahan yang melekat pada sifat impresionistik dari opini klinis
global. Menurut Hart (1998), khususnya di bidang penilaian risiko, tugas klinis jauh lebih luas
daripada prediksi, termasuk masalah yang terkait dengan pencegahan dan pengelolaan risiko
kekerasan. Untuk alasan ini, tugas klinis belakangan ini disebut, penilaian risiko kekerasan,
daripada prediksi kekerasan itu sendiri.

Argumennya adalah penilaian klinis terstruktur dapat mencapai penilaian yang lebih individualis
dan komprehensif daripada prediksi aktual, sambil tetap mencapai tingkat validitas dan
reliabilitas antar penilai yang terhormat. Instrumen yang memiliki prosedur penilaian profesional
terstruktur cenderung dikembangkan secara rasional atau analitis daripada secara empiris.

Penelitian tentang tiga pengukuran penilaian risiko kekerasan yang telah mendukung validitas
prediksi dari opini klinis yang mereka serukan. Dalam studi terbaru, Douglas dan Ogloff (2001)
menguji reliabilitas antar penilai dan validitas prediksi dari penilaian risiko kekerasan dengan
skema HCR-20. HCR-20 adalah panduan yang dikembangkan secara analitis atau logis yang
dimaksudkan untuk menyusun keputusan profesional tentang risiko kekerasan dengan
mendorong pertimbangan 20 faktor risiko kekerasan utama yang tersebar menjadi tiga skala:
Historical (H), Clinical (C), dan Risk Management (R).

Faktor risiko yang diidentifikasi dengan HCR-20 telah ditemukan dalam literatur yang berkaitan
dengan kemungkinan seseorang untuk terlibat dalam perilaku kriminal yang kejam. Skala H
berfokus pada masa lalu, terutama faktor risiko statis, C pada situasi aspek status mental dan
sikap. R untuk kondisi masa depan. Douglas dan Ogloff (2001) menemukan reliabilitas antar
penilaian dari penilaian profesional terstruktur mengenai risiko pasien untuk risiko kekerasan
adalah baik atau substansial.

Hasil serupa ditemukan untuk dua instrumen risiko kekerasan tambahan. Menyelidiki validitas
prediktif SVR-20, Dempster (1998) menyelesaikan SVR-20 pada sampel 95 terpidana pelanggar
seksual. SVR-20, yang dimodelkan pada HCR-20, memberikan daftar faktor-faktor yang telah
ditemukan untuk memprediksi risiko pelanggaran seksual dan kekerasan seksual. Dempster
(1998) membandingkan item total yang dijumlahkan dan level risiko dari tinggi, sedang, dan
rendah. Ia menemukan bahwa pendekatan penilaian profesional terstruktur memberikan validitas
tambahan atas item yang diberi skor pada skala risiko kekerasan seksual.
Akhirnya, Kropp dan Hart (2000) mengevaluasi penilaian klinis terstruktur yang dihasilkan oleh
Spousal Assault Risk Assesment guide (SARA), contoh lebih lanjut dari model penilaian
profesional terstruktur dari penilaian risiko. Kropp dan Hart (2000) menemukan bahwa penilaian
profesional terstruktur berdasarkan peringkat risiko ringkasan SARA dari risiko rendah, sedang,
dan tinggi mengungguli penjumlahan item SARA dalam hal hubungan masing-masing dengan
residivisme penyerangan pasangan. Kropp dan Hart juga melaporkan indeks keandalan antar
penilai yang baik untuk penilaian risiko akhir.

Secara keseluruhan, penelitian yang menyelidiki penilaian profesional terstruktur berdasarkan


HCR-20, SVR-20, dan SARA mendukung reliabilitas antar penilai dan validitas prediktif dari
instrumen. Ada beberapa dukungan yang muncul, oleh karena itu, untuk anggapan bahwa
pendekatan penilaian profesional terstruktur untuk penilaian risiko kekerasan, jika dilakukan
dengan cara yang terstruktur, dioperasionalkan, dan terukur, dapat diandalkan dan valid, serta
berpotensi lebih komprehensif dan responsif terhadap perhatian idiografis daripada prediksi
aktual.

Legally Informed Practitioner Model

Seperti diketahui, psikologi klinis mengadopsi model pelatihan dan praktik ilmuwan-praktisi
"Boulder" lebih dari setengah abad yang lalu. Model praktik ini memang memiliki kritik, dan ini
merupakan sumber perselisihan dan argumen profesional yang terus ada hingga hari ini.
akibatnya, psikologi forensik klinis, sebagai sub bidang psikologi klinis secara lebih luas,
menganut prinsip-prinsipnya. Oleh karena itu, penilaian forensik, sebagai aktivitas khusus dalam
psikologi forensik klinis, juga bertumpu pada model ilmuwan-praktisi. Meskipun kami lebih
menyukai model ilmuwan-praktisi sebagai pilihan bagi mereka yang melakukan penilaian
forensik, kami harus mencatat bahwa kami menyadari sejak awal bahwa mereka yang terlatih
dalam sarjana-praktisi dapat menjadi psikolog forensik yang kompeten.

Program pelatihan doktoral ilmuwan-praktisi dan sarjana-praktisi mengharuskan siswa untuk


mendapatkan pelatihan sistematis dan pengalaman yang diawasi dalam penilaian psikologis dan
intervensi psikologis. Program pelatihan berlangganan model ilmuwan-praktisi, biasanya
mengarah ke gelar PhD, mengharuskan siswa untuk menyelesaikan tesis doktor atau disertasi
yang terdiri dari proyek penelitian empiris. Sebaliknya, program pelatihan berdasarkan model
sarjana-praktisi yang mengarah ke gelar PsyD tidak mengharuskan siswa untuk menyelesaikan
penelitian empiris. Sebaliknya, program-program ini mengharuskan siswa memperoleh keahlian
dalam membaca, menafsirkan, dan menganalisis penelitian empiris secara kritis. Oleh karena itu,
daripada berfokus pada gelar doktor tertentu yang dimiliki psikolog, pertimbangan kesesuaian
psikolog untuk mempraktikkan psikologi forensik harus didasarkan pada kemampuan individu
untuk memahami penelitian empiris dan memasukkannya ke dalam karyanya.

Ada beberapa modifikasi dan batasan model ilmuwan-praktisi dan sarjana-praktisi tentang
penilaian forensik. Pertama, model harus dikonseptualisasikan agar ditempatkan dalam konteks
hukum. Dalam psikologi forensik, ada batasan utama faktor: hukum dan standar hukum yang
dapat diturunkan dari pertanyaan hukum tertentu yang ditanyakan dalam penilaian. Ini tidak
berarti bahwa semua ilmu psikologi forensik harus selalu persis dengan masalah hukum.
Faktanya, ada banyak penelitian primer nonforensik yang sangat dapat diterapkan dan sangat
bermanfaat bagi bidang forensik. Misalnya, penelitian tentang efek trauma, kekerasan, dan
gangguan mental utama penting bagi ilmu dan praktik psikologi forensik. Namun, selain
memaksimalkan kegunaan penelitian ini karena berkaitan dengan penilaian forensik, peneliti
juga merancang studi yang memetakan semirip mungkin ke kriteria atau standar hukum yang
cukup ketat. Kebutuhan ini menjelaskan keberadaan, misalnya, penelitian tentang psikometri
sifat ukuran kompetensi yang itemnya didefinisikan sebagian besar oleh definisi hukum tentang
ketidakmampuan khususnya pengaturan (misalnya, ketidakmampuan untuk diadili,
ketidakmampuan untuk mengelola harta atau urusan) dan yurisdiksi seseorang.

Praktik klinis memiliki fleksibilitas yang lebih rendah daripada sains untuk menyimpang dari
standar hukum. Semua praktik forensik, dan banyak penelitian forensik, bagaimanapun, harus
memperhatikan hukum.

Batasan lebih lanjut dari praktisi yang diinformasikan secara hukum model dalam konteks
forensik melibatkan keterbatasan pada metodologi penelitian. Masalah penting tertentu tidak
pernah dipelajari dengan cara metodologis yang ideal karena dari batasan pragmatis hukum.
Misalnya, hampir semuanya penelitian tentang penilaian risiko kekerasan, prediksi kekerasan,
dan korelasi kekerasan telah dilakukan terpotong pada sampel penelitian.

Untuk meringkas, tiga poin utama yang dapat dibuat tentang model praktisi yang diinformasikan
secara hukum seperti yang terwujud dalam penilaian forensik:
a) Praktik dan kebebasan ilmiah harus dibatasi, sebagian, oleh pertanyaan hukum yang diajukan.

b) Lapangan kadang-kadang harus menyesuaikan dirinya sendiri dan pendekatan ilmiah dan
klinisnya sebagai tanggapan terhadap perubahan hukum.

c) Kepraktisan hukum terkadang menghalangi pendekatan metodologis yang optimal untuk topik
penyelidikan.

The Role and Limits of General Psychological Testing in Forensic Context

Pada bagian ini, kami akan mendiskusikan secara spesifik menggunakan instrumen penilaian
psikologi dan tes yang diterapkan pada konteks forensik. Mengikuti tema spesifikasi hukum dan
parameter penilaian forensik, kami akan membahas masalah seputar penggunaan tes psikologi
reguler dalam penilaian forensik, serta pengembangan dan penggunaan tes yang dimaksudkan
untuk bersifat forensik.

Menurut Heibrun (2002) telah mengusulkan tipologi tindakan psikologis yang sederhana namun
efektif yang relevan dengan penilaian forensic. Ini termasuk instrumen penilaian forensik,
instrumen yang relevan secara forensik, dan instrumen klinis.

 Instrumen penilaian forensik adalah instrument yang “secara langsung dengan standar
hukum tertentu dan mencakup kapasitas yang dibutuhkan bagi individu yang dievaluasi
untuk memenuhi standar hukum tersebut. Contoh standar hukum khusus adalah
kompetensi pidana untuk diadili, tanggung jawab pidana, dan kompetensi untuk
mengelola harta milik seseorang. Contoh instrumen asesmen forensik adalah MacArthur
Competence Assessment Tool. MacCAT-CA dikembangkan untuk memandu para
profesional kesehatan mental yang menilai kompetensi terdakwa untuk diadili
 Instrumen yang relevan secara forensik adalah instrumen yang tidak membahas standar
hukum tertentu tetapi "konstruksi klinis yang terkadang sesuai dengan standar hukum".
Contohnya dapat mencakup tindakan psikopati atau tindakan risiko kekerasan.
 Pengukuran Klinis. Pengukuran dalam penilaian psikologi klinis biasanya diinformasikan
melalui instrumen psikologis. Instrumen ini biasanya dikembangkan untuk
menginformasikan keputusan tentang konstruksi psikologis umum atau tradisional,
seperti kecerdasan, ingatan, depresi, atau kecemasan.
Adanya masalah ketika instrument ini diterapkan pada penilaian forensik. Dasar masalahnya
adalah bahwa konstruksi dan pertanyaan forensic jarang menghubungkan langsung ke konstruksi
psikologis tradisional. Dengan begitu, adanya perpecahan di satu sisi instrumen psikologis umum
dan di sisi lain pertanyaan penilaian psikologis forensik. Instrumen psikologis forensik tidak
dirancang untuk menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan konstruksi hukum seperti
kegilaan, kompetensi, atau risiko untuk jenis kekerasan. Meskipun instrumen psikologis dapat
bekerja dengan baik, tetapi sehubungan dengan pertanyaan penilaian psikologis umum di antara
sampel forensik kemampuan untuk menginformasikan pertanyaan forensik tertentu kadang
lemah.

Penelitian mendukung masalah yang melekat dalam penggunaan instrument psikologis


tradisional untuk menjawab pertanyaan forensik atau hukum. Pertama, tidak banyak penelitian
yang membahas tentang validitas instrumen psikologis tradisional yang diaplikasikan ke
pertanyaan forensik. Kedua, penelitian yang ada tidak memberikan dukungan yang kuat untuk
digunakan dalam penilaian forensik untuk menjawab pertanyaan forensik secara khusus.

Legal Specificity

Seluruh area psikologi assasment bertujuan untuk memiliki pertanyaan rujukan yang dibuat
spesifik dan bermanfaat, begitu juga diperlukan nasehat dalam forensik asasmen. Hukum, dan
khususnya dalam pengadilan, enggan membahas lebih dari yang dibutuhkan untuk menjawab
pertanyaan hukum yang dipertaruhkan. Alasannya masuk akal, sistem hukum di mana kita hidup
memungkinkan pihak lawan untuk mengajukan perkara hukum mereka di depan hakim dan juri,
yang pada dasarnya mendidik pengadilan tentang masalah hukum tertentu yang
dipermasalahkan. Mengikuti logika yang disajikan, tidak diinginkan untuk penilaian forensik,
yang sering akan digunakan untuk mendidik pembuat keputusan hukum, baik untuk menjawab
pertanyaan rujukan yang terlalu luas atau menyimpang melampaui pertanyaan rujukan yang
ditanyakan. Pertanyaan rujukan yang terlalu luas adalah pertanyaan yang tidak memberikan
informasi yang cukup kepada evaluator forensik untuk melanjutkan penilaian. Misalnya, tanpa
mengetahui secara pasti pada tahap apa tergugat dalam proses hukum dan masalah hukum yang
sebenarnya yang dipermasalahkan dan memerlukan penilaian forensik, dokter forensik dapat
melakukan lebih dari sekedar memberikan sesuatu yang mirip dengan penilaian psikologis
tradisional. Menyimpang di luar pertanyaan rujukan mengakibatkan dokter mengangkat masalah
atau menangani masalah yang melampaui masalah hukum tertentu yang sedang
dipertimbangkan. Berikut ini adalah kutipan aktual dari laporan yang disiapkan oleh seorang
praktisi forensik

 Masalah Kontemporer dalam Penilaian Forensik yang diminta untuk melakukan penilaian
untuk menentukan apakah kondisi mental terdakwa pada saat melakukan pelanggaran
mungkin menjadi dasar untuk mengajukan pembelaan gangguan mental.
 Psikolog harus menahan diri untuk tidak melampaui pertanyaan rujukan hukum ketika
menyiapkan laporan penilaian forensik karena laporan yang disiapkan dalam kasus
hukum.
 Meskipun penting bahwa asesmen forensik menjawab pertanyaan hukum yang diminta,
psikolog umumnya disarankan untuk sangat berhati-hati jika diminta untuk menjawab
pertanyaan hukum terakhir yang diajukan. Dalam hukum, ini disebut sebagai menjawab
masalah pamungkas (Melton et al., 1997). Masalah utama dalam sebuah kasus adalah
pertanyaan yang harus diputuskan oleh hakim atau juri.
 Meskipun aturan pembuktian saat ini tidak terlalu ketat, para psikolog pada umumnya
harus menahan diri dari menjawab masalah terakhir, baik karena melakukan hal itu dapat
merampas kekuasaan pengadilan atau juri dan karena, paling sering, masalah hukum
terakhir tidak berhubungan langsung dengan konstruksi psikologis yang relevan.
Misalnya, tidak ada konstruksi dalam psikiatri atau psikologi yang berhubungan langsung
dengan kompetensi untuk diadili.
 Terlepas dari argumen yang meyakinkan untuk tidak memberikan opini tertinggi,
psikolog forensik secara teratur diminta oleh pengacara dan hakim untuk menyatakan
apakah mereka berpikir, misalnya, terdakwa kompeten untuk diadili. Sebaliknya, kami
menyarankan agar psikolog memberikan pengadilan informasi psikologis yang relevan
yang berkaitan dengan kriteria hukum untuk kompetensi diadili. Misalnya, psikolog dapat
mendiskusikan informasi psikologis yang relevan yang berkaitan dengan bagaimana
keadaan mental terdakwa akan mempengaruhi kemampuannya untuk berkomunikasi
dengan penasihat atau untuk memahami sifat dari proses hukum.

Training in Forensic Assessment


Fakta bahwa kebanyakan orang yang bekerja di psikologi hukum sebagai dokter atau peneliti
fokus pada satu atau dua bidang hukum tertentu. Sebaliknya, mereka yang mendukung program
gelar ganda berpendapat bahwa meskipun semua psikolog hukum tidak memerlukan pelatihan
formal di bidang hukum, ada banyak keuntungan untuk mengejar pelatihan formal di bidang
hukum dan psikologi (Hafemeister et al., 1990).

Kebanyakan psikolog forensik yang bekerja saat ini memperoleh pelatihan dan pengalaman
forensik sebagian besar melalui pengalamannya sendiri. Dengan pertumbuhan di lapangan,
pengakuan baru-baru ini tentang psikologi forensik sebagai bidang khusus, dan perkembangan
pengetahuan dan teknik penilaian yang canggih di lapangan, akan ada pertumbuhan
berkelanjutan dalam program pelatihan formal di lapangan.

Pertama adalah model mentor,

mahasiswa pascasarjana mempelajari keterampilan mereka dengan bekerja dan melakukan


penelitian dengan anggota yang mempraktikkan atau melakukan penelitian di bidang hukum dan
psikologi.

Model kedua sebagai "model pelatihan fokus terbatas”

Mahasiswa belajar dan berlatih di suatu jurusan yang di dalamnya terdapat lebih dari satu orang
yang bekerja di bidang hukum dan psikologi. Atau, mereka mungkin belajar di departemen
dengan satu orang di lapangan, tetapi memiliki akses ke psikolog di institusi. Program sejenis ini
memberi siswa pengalaman pelatihan yang lebih luas daripada yang tersedia bagi siswa yang
dilatih melalui model mentor.

Hanya ada sedikit magang terakreditasi dengan pelatihan khusus dalam psikologi forensik dan
bahkan lebih sedikit beasiswa pascadoktoral yang tersedia. Kami berpandangan bahwa dengan
pesatnya pertumbuhan dan perkembangan di lapangan, terdapat sedikit keraguan bahwa program
forensik akan terus bermunculan dan bahwa pada titik tertentu beberapa bentuk akreditasi dapat
dikembangkan.

FUTURE CONCERNS
Di sisa bab ini, kami ingin menyoroti beberapa masalah yang berkaitan dengan asesmen forensik
yang perlu ditangani di masa mendatang. Hal-hal yang akan kami soroti dapat dibagi menjadi
dua topik umum: kebutuhan untuk kendali mutu dalam penilaian forensik dan bidang yang
membutuhkan pengembangan di masa depan (misalnya, penilaian forensik sipil dan penilaian
forensik dengan pemuda, wanita, dan minoritas yang terlihat).

Quality Control in Forensic Assessment

Di masa lalu yang indah, sebagian besar psikolog memandang psikologi forensik sebagai bidang
yang tidak menarik dan tidak menarik. Namun seiring berjalannya waktu muncul banyak
masalah yang berkaitan dengan psikologi forensik. Salah satu masalah utama yang kita lihat di
lapangan adalah kenyataan bahwa banyak psikolog yang masuk ke bidang forensik, dengan
terang-terangan kurang terlatih dan tidak berpengalaman serta tidak melakukan pekerjaan dengan
baik secara keseluruhan dibidangnya. Mengingat kekuatan hukum dalam kehidupan orang-orang
yang bekerja sebagai psikolog forensik, perhatian ekstra harus diberikan untuk memastikan
bahwa pekerjaan dapat dilakukan secara profesional.
Seperti catatan Otto dan Heilbrun (2002), Bahwa beberapa psikolog termotivasi untuk memasuki
profesi psikologi forensik karena masalah ekonomi tidak dengan sendirinya memilih profesi
tersebut. Oleh sebab itu psikolog yang secara aktif berusaha untuk meningkatkan pengetahuan,
keterampilan, dan kemampuan forensik mereka melalui pendidikan berkelanjutan, pengawasan,
dan metode lainnya harus dipuji dan didukung. Hal ini akan menjadi masalah, bagaimanapun,
ketika beberapa psikolog dikarenakan masalah keuangan masuk dan berlatih di bidang forensik
tanpa persiapan. Keahlian psikologis, forensik atau lainnya, tidak dapat dikembangkan dalam
semalam. Pada dasarnya, pekerjaan forensik cenderung menjadi sasaran pengawasan yang lebih
ketat daripada jenis layanan psikologis lainnya, dan ada beberapa dukungan untuk klaim bahwa
ini terjadi dari waktu ke waktu.
Psikolog harus memastikan bahwa mereka kompeten sebelum memasuki praktik forensik. di
seluruh Amerika Utara, badan perizinan melaporkan bahwa keluhan yang timbul dari penilaian
dan praktik di bidang forensik. Meskipun psikolog forensik dapat mengharapkan risiko yang
lebih besar untuk menjadi fokus keluhan etika hanya karena sifat hukum yang bertentangan,
faktanya adalah bahwa ada substansi dari sebagian besar keluhan yang diajukan. Sejauh
psikolog tidak mengawasi diri mereka sendiri dengan tepat, maka muncul pertanyaan apakah
kita tidak harus bergerak ke arah model kredensial dan sertifikasi dalam psikologi forensik.
kemajuan dalam kredensial dan sertifikasi yang muncul dalam psikologi forensik. Secara
khusus, tercatat bahwa sebanyak sembilan negara bagian memiliki program kredensial psikolog
yang melakukan penilaian forensik kriminal. Selain itu, semakin banyak psikolog forensik yang
mencari sertifikasi dewan. Yang paling menonjol di antara dewan kredensial ini adalah Dewan
Psikologi Forensik Amerika, yang menggunakan proses ketat dalam meninjau pelatihan,
pengalaman, dan pengetahuan individu sebelum memberikan status diplomasi terhadap individu.
Sayangnya, sejumlah dewan baru bermunculan yang memberikan diplomat atau status sesama
tanpa pengawasan yang cermat. Gelar semacam itu digunakan dengan tidak baik sebagai ajang
kesombongan, dan secara umum kami tidak memaksakan semua psikolog forensic harus
memiliki sertifikasi maupun krdensial. Tidak terdapat bukti yang jelas mengenai psikolog yang
memiliki sertifikasi lebih berkompeten daripada psikolog forensic secara umum. Namun hal
tersebut dapat membantu psikolog untuk memenuhi kriteria agar dapat diterima.

Areas Requiring Future Development

Mengingat bahwa psikologi forensik dapat dilihat sebagai tahap perkembangan remaja (Grisso,
1991), tidak terlalu mengejutkan bahwa banyak bidang penilaian forensik memerlukan
pengembangan atau penyempurnaan lebih lanjut. Di sini, kami akan fokus pada dua topik yang
sangat membutuhkan perhatian lebih saat ini. Yang pertama adalah seluruh area penilaian
forensik sipil dan yang kedua adalah kebutuhan untuk lebih memfokuskan perhatian pada
penilaian forensik yang dilakukan dengan pemuda, wanita, dan minoritas yang terlihat.
Civil Forensic Assessments
Secara tradisional, psikolog forensik bekerja terutama di bidang kriminal. Memang, paling sering
ketika orang memikirkan psikolog forensik, mereka memikirkan psikolog yang bekerja dengan
penjahat. Saat ini, meskipun lebih banyak psikolog forensik yang bekerja di bidang hukum
nonkriminal, fokus penelitian dan pengembangan instrumen dan teknik dalam praktiknya masih
pada topik dalam hukum pidana. Tanpa ragu, bagaimanapun, lebih banyak orang yang
terpengaruh oleh hukum perdata daripada yang pernah terpengaruh oleh hukum pidana. Psikolog
forensik sebaiknya belajar mengenai topik hukum perdata yang mana psikologi memiliki
beberapa relevansi. Lebih penting lagi, tentu saja, psikolog perlu mengembangkan lebih banyak
instrument yang relevan dengan topik hukum perdata dan untuk mengembangkan teknik
penilaian untuk mengatasi masalah ini.

Forensic Assessments With Youth, Women, and Visible Minorities

karena fokus historis terhadap perilaku kriminal, banyak penelitian dan praktik dalam
psikologi forensik berfokus pada pria, dan pria dewasa pada saat itu. Selain itu, meskipun
terdapat representasi berlebihan dari beberapa minoritas yang terlihat dalam sistem peradilan
pidana, perhatian yang relatif sedikit telah diberikan dalam penilaian forensik untuk
pertanyaan tentang validitas penilaian forensik untuk populasi selain laki-laki dewasa kulit
putih. Meskipun telah terjadi peningkatan dramatis dalam instrumen asesmen forensik yang
telah dikembangkan selama 15 tahun terakhir ternyata sedikit perhatian telah diberikan pada
validasi tersebut. Tes untuk populasi yang beragam yang terkadang menggunakan instrument
yang sama untuk seluruh populasi, tanpa memandang usia, ras, atau jenis kelamin orang yang
dinilai, adalah tidak pantas. Setidaknya, psikolog forensik perlu diyakinkan bahwa tes yang
mereka lakukan adalah valid dan bahwa ada data normatif yang tersedia untuk populasi dari
mana orang yang akan dinilai diambil. Secara ekstrim, menggunakan instrumen yang belum
menjadi norma dari populasi asal orang yang dinilai adalah bukti ketidakmampuan. Karena
penyempurnaan standar hukum untuk diterimanya kesaksian psikologis ahli telah
dikembangkan setelah keputusan dalam Daubert v. Merrell Dow Pharmaceuticals (1993),
fokus penyelidikan oleh pengadilan telah bergeser dari penerimaan umum suatu tindakan di
lapangan ke pemeriksaan dasar ilmiah dari instrumen. Ini, sekali lagi, meningkatkan
kebutuhan psikolog forensik untuk memastikan bahwa instrumen psikometri dan teknik klinis
yang mereka gunakan dalam penilaian mereka divalidasi secara empiris.

CONCLUSION

Ini adalah saat yang menyenangkan untuk bidang psikologi forensik. Sekarang psikologi
forensik telah secara resmi diakui sebagai bidang praktik khusus dalam psikologi, kebutuhannya
lebih besar dari sebelumnya untuk memastikan bahwa psikologi forensik memenuhi standar
tertinggi dari disiplin tersebut. Tidak seperti kebanyakan bidang psikologi lainnya, psikologi
forensik bergantung pada hukum, yang menempatkan tuntutan unik di lapangan. Secara khusus,
standar hukum yang mengatur penilaian yang dilakukan oleh psikolog forensik menetapkan
parameter penilaian. Dengan demikian, psikolog forensik harus memiliki pengetahuan
menyeluruh tentang bidang hukum tempat mereka bekerja.
Sebagai bidang psikologi forensik telah berkembang, beberapa masalah kontemporer telah
mendapat perhatian. Secara khusus, psikolog forensik tidak boleh hanya mengandalkan
pengalaman klinis saat melakukan asesmen, mereka juga tidak boleh membatasi asesmen
mereka pada tindakan aktuaria murni. Sebaliknya, kami menganjurkan penggunaan pengambilan
keputusan klinis terstruktur. Teknik ini melibatkan beberapa ketergantungan pada instrumen
aktuaria dan, yang lebih penting, bukti yang didukung secara empiris dalam mengembangkan
keputusan klinis. Mengingat ketergantungannya pada instrumen dan teknik yang divalidasi
secara empiris, kami mendukung model ilmuwan-praktisi dalam psikologi forensik.
Selain itu, kami menyadari kebutuhan psikolog forensik untuk memiliki pengetahuan tentang
hukum di area tempat mereka bekerja. Meskipun pengujian psikologis umum memiliki beberapa
kegunaan untuk penilaian forensik, sudah tidak ada lagi hari-hari ketika penilaian psikologis
standar dapat memenuhi tuntutan sistem hukum untuk pekerjaan kita. Seperti yang kami catat,
sangat penting untuk menggunakan kriteria hukum yang mendasari rujukan asesmen forensik
sebagai pedoman asesmen. Namun, pada saat yang sama, kami memperingatkan agar ahli
psikologi forensik memberikan pendapat mereka tentang masalah hukum terakhir yang sedang
ditangani oleh pengadilan atau pembuat keputusan hukum lainnya. Selain itu, sangat penting
bahwa psikolog forensik tidak terjebak menjadi pendukung atau menyewa senjata untuk pihak
yang mempekerjakan mereka. Akhirnya, Kemunculan psikologi forensik telah melihat beberapa
perkembangan program pelatihan forensik. Saat ini, program yang komprehensif belum tersedia
untuk memenuhi kebutuhan lapangan. Seiring waktu, juga, akan menjadi penting untuk
mengeksplorasi kemungkinan akreditasi program pelatihan klinis forensik khusus.
Beranjak dari masalah yang muncul di lapangan, kami menyoroti dua bidang utama yang
menjadi perhatian masa depan. Pertama, dengan ledakan bidang psikologi forensik, menjadi
semakin penting untuk memastikan bahwa beberapa mekanisme kontrol kualitas dikembangkan.
Meskipun kami tidak menerapkan model serti fi kasi dewan yang ketat, kami mengakui nilai
mekanisme kredensial semacam itu. Selain itu, kami memperingatkan pembaca untuk
menghindari dikenali oleh papan rias yang semakin terkenal kejam.
Hal yang sangat penting dalam asesmen forensik adalah kebutuhan untuk melampaui bidang
hukum pidana dan untuk mengembangkan teknik dan instrumen asesmen forensik khusus yang
akan valid untuk digunakan dalam bidang hukum perdata yang luas. Akhirnya, secara
mengejutkan hanya sedikit perhatian yang diberikan untuk memvalidasi instrumen penilaian dan
metode untuk digunakan dengan populasi yang berbeda, termasuk pemuda, perempuan, dan
minoritas yang terlihat.
Secara keseluruhan, kami di bidang psikologi forensik telah mencapai banyak hal dalam waktu
yang relatif singkat di bidang psikologi forensik. Pembaca yang tertarik hanya perlu meninjau
buku-buku utama yang dicetak pada pertengahan 1980-an (misalnya, Melton, Petrila, Poythress,
& Slobogin, 1987; Grisso, 1986) dan membandingkan informasi di dalamnya dengan jilid yang
lebih baru. (misalnya, Melton et al., 1997) yang tersedia untuk melihat seberapa jauh kita telah
berhasil dalam waktu yang sangat singkat. Seiring dengan pertumbuhan di lapangan telah
muncul beberapa masalah kontemporer dan kekhawatiran masa depan yang harus ditangani.
Dari perspektif kami, bidang penilaian klinis forensik sangat menantang dan bermanfaat, dan
kami melihat dengan penuh semangat ke arah perkembangan masa depan yang akan kami alami
di lapangan.

Contoh Kasus

Seorang siswi SMP berinisial NF gadis berusia 15 tahun terlibat dalam kasus pembunuhan
seorang anak berusia 5 tahun yang merupakan tetangganya sendiri.

NF menjalani pemerikasaan kesehatan jiwa dan mental di RS Polri Kramat Jati, Jakarta Timur
selama 14 hari yang ditangani oleh tim fornesik yang terdiri dari dokter kejiwaan dan psikolog
yang berjumlah sekitar 10 orang. Wawancara juga dilakukan pada NF, namun pertanyaan yang
dilontarkan sedikit demi sedikit supaya NF tetap nyaman sehingga mau kooperatif. Tim
mengalami kesulitan menilai kejiwaan NF dari ekspresi wajah yang ditunjukkan NF selama
proses berlangsung, untuk itu tim menggunakan metode lain dengan meminta NF untuk
menggambar. Tim memberi pensil yang memadai untuk NF menggambar, setelah itu NF akan
diminta untuk menceritakan kembali tentang gambar yang ia buat (lisan maupun tulisan), dari
situ tim akan memperoleh data-data psikologis dari NF.

NF ditetapkan menjadi tersangka waktu itu, namun ia dirujuk ke rumah aman kementrian sosial
untuk NF menjalani rehabilitasi. Selama masa rehabilitasi NF menjalani berbagai macam terapi
fisik, mental, spiritual dan psikosial serta diikut sertakan dalam pelatihan keterampilan dengan
maksud supaya NF mendapatkan kembali rasa kepercayaan diri dan rasa aman. Disertai maksud
lain yaitu agar NF merasa nyaman sehingga dapaat mengungkapkan dengan sebagaimana adanya
tentang dirinya. Adanya rasa aman dan nyaman membangun kedekatan NF pada pekerja sosial
dan psikolog di Rumah Aman, akhirnya NF bercerita tentang apa yang terjadi sesungguhnya.
Terungkap bahwa ada 3 orang yang melakukan pelecahan seksual pada NF yang sangat
menghantui dirinya, dimana ketika ia melakukan tindak kekerasan pada korban balita ia
memikirkan kalau korban balita adalah R (pelaku pelecehan seksual sampai 9 kali dengan
memberi ancaman video nya disebar).

Setelah NF bercerita, ternyata gambar yang dibuat NF ketika masa pemeriksaan (gambar orang
terikat, mata menangis, tulisan-tulisan kesedihan dan tulisan “dady”) merupakan refleksi dari
kejadian yang dialami NF ketika ia dilecehkan. Setelah ia dilecehkan tiba hari dimana ia
menyadari dirinya tidak menstruasi (mengira dirinya hamil), NF merasa tidak dapat
menyeritakan hal ini kepada siapapun karena latar belakang perceraian orang tua, ia takut kalau
bercerita ke pada ayahnnya akan meperkeruh hubungan ayahnnya dengan ibu tirinya.

Pengalaman pelecehan seksual merupakan pengalaman traumatis, banyak penelitian yang


menyatakan bahwa ketika kita melakukan perbuatan jahat “modeling” menjadi salah satu
faktornya. Awalnya di duga NF memiliki kepribadian psikopat. Bisa jadi karena NF dijahati
berbulan-bulan namun ketika didalami adakah adanya endapan psikologis abnormal tertentu
yang menyebabkan adanya benih benih kekerasan.

Anda mungkin juga menyukai