Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

ANALISIS KEBIJAKAN PAI DI INDONESIA

“KEBIJAKAN YANG MEMISAHKAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM


DAN LEMBAGA PENDIDIKAN UMUM”

Dosen pengampu: Dr. Sunarto, M.Pd.I

Disusun Oleh:
Abu Abdullah Muhammad
BAB 1
Pendahuluan

Pendidikan Islam dl Indonesia, tidak dapat dllepaskan darl kerangka SIstem Pendidikan
Naslonal, karena poslslnya sebagal sub-slstem pendidi kan naslonal. Menurut pengertiannya,
pendidikan Islam yang ada dl Indonesia dapat dipahami dalam dua bentuk. Pertama, pendidikan
Islam sebagal proses pembelajaran dan kedua, pendidikan Islam sebagal kelembagaan. Menurut
Zuhalrl, dkk. (1995:149), pendidikan Islam diartikan sebagal suatu aktivitas untuk
mengembangkan seluruh aspek keprlbadlan manusia yang berjalan seumur hidup. Dengan kata
lain, pendidikan (Islam) tIdak hanya berlangsung di dalam kelas, tetapl juga di luar kelas. Dalam
hal In, bukan berarti formal saja, tetapl mencakup pula pendidikan dalam bentuk Informal dan
non formal. Dalam prakteknya, menurut Mochtar Buchori (1994:50) pendidikan Islam di
Indonesia dapat dibagi menjadi Pertama, Pendidikan Pondok Pesantren, yaltu pendidikan Islam
yang diselenggarakan secara tradisional, bertolak darl pengajaran al-Qur'an dan Hadits, dan
merancang segenap kegiatan pendidikannya untuk mengajarkan kepada para siswa Islam sebagai
cara hidup, Islam sebagal way of life; Pendidikan Madrasah, yaltu pendidikan Islam yang
diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan model Barat, yang mempergunakan metode
pengajaran klasikal, dan berusaha menanamkan Islam sebagai landasan hidup ke dalam diri para
siswa; Pendidikan Umum yang Bernafaskan Islam, yaltu pendidikan Islam yang dliakukan
dengan cara mengembangkan suasana pendidikan yang bernafaskan Islam di lembagalembaga
yang menyelenggarakan program pendidikan yang bersifat umum, dan; Keempat, Pelajaran
Agama Islam yang diselenggarakan dl lembaga lembaga pendidikan umum sebagai
suaPendahuluan Pendidikan Islam dl Indonesia, tidak dapat dllepaskan darl kerangka SIstem
Pendidikan Naslonal, karena poslslnya sebagal sub-slstem pendidi kan naslonal. Menurut
pengertiannya, pendidikan Islam yang ada dl Indonesia dapat dipahami dalam dua bentuk.
Pertama, pendidikan Islam sebagal proses pembelajaran dan kedua, pendidikan Islam sebagal
kelembagaan. Menurut Zuhalrl, dkk. (1995:149), pendidikan Islam diartikan sebagal suatu
aktivitas untuk mengembangkan seluruh aspek keprlbadlan manusia yang berjalan seumur hidup.
Dengan kata lain, pendidikan (Islam) tIdak hanya berlangsung di dalam kelas, tetapl juga di luar
kelas. Dalam hal In, bukan berarti formal saja, tetapl mencakup pula pendidikan dalam bentuk
Informal dan non formal
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Lembaga Pendidikan Islam Secara bahasa, lembaga adalah badan atau
organisasi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa, lembaga adalah
badan atau organisasi yang tujuannya melakukan suatu penyelidikan keilmuan atau
melakukan suatu usaha.1 Badan atau lembaga pendidikan adalah organisasi atau
kelompok manusia yang karena satu dan lain hal memikul tanggung jawab pendidikan
kepada peserta didik sesuai dengan misi badan tersebut. Sebagian lagi mengartikan
lembaga pendidikan sebagai lembaga atau tempat berlangsungnya proses pendidikan
yang dilakukan dengan tujuan untuk mengubah tingkah laku individu ke arah yang lebih
baik melalui interaksi dengan lingkungan sekitar. Berdasarkan pengertian di atas dapat
dipahami bahwa lembaga pendidikan Islam adalah tempat atau organisasi yang
menyelenggarakan pendidikan Islam, yang mempunyai struktur yang jelas dan
bertanggung jawab atas terlaksananya pendidikan Islam. Oleh karena itu, lembaga
pendidikan Islam tersebut harus dapat menciptakan suasana yang memungkinkan
terlaksananya pendidikan dengan baik, menurut tugas yang diberikan kepadanya, seperti
sekolah (madrasah) yang melaksanakan proses pendidikan Islam. 2 Lembaga pendidikan
dewasa ini sangat mutlak keberadaannya bagi para siswa
Pendidikan di Pondok Pesantren dan Madrasah sangat jeias aspek keIslamannya. Namun
untuk jenis pendidikan islam ketiga sebagaimana dikemukakan di atas, untuk pendidik an
tinggi dapat disebutkan antara lain seperti yang berlangsung di Universitas Islam
Indonesia (Ull) Yogyakarta, Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makasar atau
Universitas Islam Bandung (UNISBA) di Bandung. Sedangkan untuk pendidikan
menengah dapat disebutkan seperti SMA Muhammadiyah atau SMA Islam lainnya.
Sedangkan tingkat dasar
misalnya SD AI Azhar, At-Irsyad, Al - Ma'arif dan lain sebagainya. Sedangkan Kegitan'
pendidikan agama Islam adalah merupakan salah satu jenis atau bentuk pengajaran
pendidikan Islam yang sangat terbatas cakupannya, sehlngga banyak yang mangartikan
bahwa sebenarnya jenis inl tidak dapat dikatakan sebagai kegiatan pendidikan Isiam dan
leblh tepat disebut sebagai kegiatan pengajaran saja. Bila dikaitkan dengan tuntutan
perkembangan saat ini, yaitu abad 21 atau mlllineum ketiga, maka sebenarnya banyak
persoalan yang dihadapi oleh pendidikan Islam di Indonesia. Untuk itulah dalam tulisan
ini akan dibahas beberapa persolan atau yang disebut dengan problem pendidikan Islam
di Indonesia, kemudlan strategl kebijakan pendidikan Islam di Indonesia dan diakhiri
dengan sebuah kesimpulan. Problem Pendidikan Islam di Indonesia Pada dasarnya,
persoalan mendasar pendidikan Islam leblh kurang sama dengan persoalan pendidikan
pada umumnya yaitu berkaitan dengan kualitas sumber daya manusia dan masalah
manajemen. Masalah ini tidak dapat dilepaskan dari adanya sejumlah tantangan yang
sangat besar sudah sejak lama, apalagi ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi dan
politik sejak tahun 1997 hingga kini. Di samping juga sejumlah tantangan globalisasi dan
dorongan keras untuk mewujudkan masyarakatmadani. Menurut Santosa Hamiddjojo,
(1998) dan dikutip oleh Kelompok Kerja Pengkajian Perumusan Filosofi, Paradigma
Baru Pendidikan Islam Kebijakan dan Strategl Pendidikan Nasional (1999 :1-2),
dirumuskan bahwa tantangan itu antara lain; Pertama, krisis secara langsung
menyebabkan GNP Indonesia hanya mencapai kurang dari $ 380, sehlngga menempatkan
Indonesia menjadi negara terbelakang dengan jumlah orang miskin sekitar 80 juta. Secara
empirik, krisis ini terjadi disebabkan oleh menurunnya nilai kurs rupiah terhadap valuta
asing, namun secara substansial krisis ekonomi dan meneter ini diduga sebagai akibat
sejumlah faktor, diantaranya: (1) akibat membudayanya sikap paternalisms yang
berkonsekuensi terhadap sentralisme, (2) keterikatan dengan tradisi (orientasi ke
belakang, baik sosiai, moral maupun kultural), (3) ada nya kecenderungan kondisi bangsa
yang statis, (4) tidak adanya kejujuran intelektual (balk guru maupun dosen), (5)
rendahnya ketelitian, ketekunan, dan kesabaran dalam mendldlk anak, dan (6) rendahnya
upaya mengejar keunggulan. Selain itu, krisis total merupakan salah satu akibat dari
filosofi dan paltform pendidikan nasional yang kurang kuat (sangat rentanj, .sehingga
sistem' pendidikan nasional tidak memiliki kemampuan yang handal dalam menghadapl
dinamika perkembangan global. Krisis yang bermula dari krisis ekonomi dan monster
setidaktldaknya berdampak kepada krisis sosiai dan politik. Sementara itu krisis sosia!
dapat mengakibatkan krisis budaya dan moral, misalnya kondisi yang diindikasikan
dengan kenakalan remaja, tawuran antaf peserta didik, penjarahan, dan perampokan, serta
krisis politik dapat berakibat pada krisis kepercayaan, misalnya
demonsJPIFIAIJumsanTarbiyah Volume VIII Tahun VIJuni2003 29 Nanang Nuryanta,
Memahami Problem dan Pengembangan Kebijakan Baru Pendidikan Islam di Indonesia
trasi yang anarkhis, tindakan saling mengancam antar golongan dan partal bahkan
menyangkut Isu SARA dan disintegrasi bangsa. Dengan tidak disadari bangsa Indonesia
secara berangsur-angsur menuju kepada krisis total. Kondisi krisis total sangat
memungkinkan dapat mengaklbatkan kemerosotan masyarakat, bangsa dan negara dalam
berbagai aspek kehldupan. Kedua, Indonesia dihadapkan pada tantangan global, era
global menuntut kehadiran sumber daya manusia (SDM) yang handal yang memiliki
keunggulan kompetitif. SDM yang dimaksudkan tidak hanya memiliki keunggulan di
bidang akademik dan keterampilan teknis, melainkan jauh lebih penting adalah
kompetensi keterampilan generik. Ketiga, Indonesia melalul Reformasi pembangunan, di
samping mengatasi krisis ekonomi, mewujudkan kedaulatan rakyat, dan menegakkan
hukum berdasarkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan, bertujuan untuk meletakkan
dasardasar kerangka dan agenda reformasi pembangunan agama dan sosial budaya dalam
usaha mewujudkan masyarakatmadani. Selain permasalahan besar di atas, sebenarnya
pendidikan islam secara khusus juga mempunyai problem kalsik yang masih berlangsung
sampai saat ini, yaitu mengenai kualitas Pendidikan Agama Islam. Menurut Ahmad
Darmadji (1997:6; Muhammad Idrus: 1996:36) bahwa persolaan pendidikan Islam akan
menyangkut tiga hal, yaitu pertama, institusi (kelembagaan), kedua, proses pendidikan
yang disemangati ruh Islam dan ketiga, subjectmatter. Untuk memadukan ketiga hal di
atas sampai saat ini masih mengalami kendala yang besar. Pendidikan Islam belum
mampu melaksanakan ketiga hal tersebut secara serempak dalam penyelenggaraan
pendidikannya. Pada satu sisi sebagaimana dikemukakan dalam pendahuluan di atas,
pendidikan Islam sebagai contoh pesantren, telah berhasll melaksana kan tugas poin satu
dan dua, yaitu sebagai lembaga pendidikan dan dinaungi oieh ruh islam. Tetapl dalam hal
poin ketiga yaitu subjet matter serlngkali masih cenderung tertumpu pada ilmu-ilmu
tertentu atau terbatas pada kitab-kitab kuning (atau lebih dominan llmu agama),
sedangkan ilmu umum masih sangat sedikit diberikan kepada para peserta didlk.
Demikian pula sebaliknya, bahwa lembaga pendidikan umum yang sudah bernafaskan
Islam sebagai contoh Ull, telah berupaya memadu kan ketiganya, tetapl kendalanya
masih pada seputar proses pembelajaran subjek maternya. Bahkan secara empirik
lembaga pendidikan Islam masih menjadi pilihan kedua atau second choice oleh sebagian
masyarakat Indonesia yang nota bene mayoritas beragama Islam dan mengaku sebagai
muslim; setidaknya untuk tingkat SLIP dan SLTA dalam jenjang pendidikan menengah.
Tidak jarang masyarakat muslim yang rela menyekolahkan putra-putrinya di lembaga
pendidikan non Islam (Kristen, sebagai contoh), hanya demi mengejar kualitas
akademiknya tanpa mempertimbangkan kualitas pendidikan agamanya. Masyarakat
Indonesia beranggapan bahwa Islam bisa dipelajari di luar kelas dari buku, perpustakaan,
dan literatur-literaturtertentu. Kondisi tersebut acapkali dikaitkan dengan masalah
lainnya, yaitu relevansi pendidikan dengan dunia kerja. Pendidikan Islam masih belum
cukup mampu dalam memberikan lapangan kerja yang memadal bagi para out putnya
dalam reailtas kehldupan nyata. Suatu bukti bahwa bangsa Indonesia maslh belum slap
untuk bersaing dalam dunIa global yang dapat dllihat darl kemampuan daya saing sumber
daya manusianya. Boediono (1997:82) dalam Suyanto dan HIsyam (2000:3) menyatakan
bahwa berblcara kemampuan sebagal bangsa, tampaknya kita belum slap benar
menghadapl persalngan pada mllenlum ketlga. Tenaga ahll kita belum cukup memadal
untuk bersaing ditingkat global. Menurut Boediono, dllihat darl pendldlkannya, angkatan
kerja kita saat ini sungguh memprlhatlnkan. Sebaglan besar angkatan kerja (53%) tidak
berpendidlkan. Mereka yang berpendldlkan dasar sebanyak 34%, berpendidlkan
menengah 11%, dan yang berpendidlkan tinggi (unlversltas) hanya 2%. Padahal tuntutan
darl dunia kerja pada akhir pembangunan pada jangka panjang 11 nanti mengharuskan
angkatan kerja kita berpendidlkan. Darl angkatan kerja yang ada hanya 11% saja yang
tIdak berpendldlkan; 52% berpendidlkan dasar; 32% berpendldlkan menengah; dan 5%
darl angkatan kerja harus telah berpendidlkan universltas. Selain itu, masalah lain yang
juga menjadi problem serlus pendidikan Islam adalah masalah manajeman
pendldlkannya. Manajemen pendidik an yang dllakukan sekarang PARADIGMA BARU
PENDIDIKAN ISLAM cenderung bersifat sentrallsasi darl pada desentrallsasi, balk yang
menyangkut pembiayaan maupun pengelolaannya. Serlngkall masalah pembiayaan
menjadi kendala utama dalam penyelenggaraan pendidikan Islam. Sebagal kasus nyata,
dalam kerangka pembiayaan pendidikan Islam adalah bahwa blaya satu IKIP (sekarang
sudah menjadi Universltas) sama dengan seluruh blaya untuk IAIN se Indonesia. Ini
benar-benar sangat memprlhatlnkan bagi penyelenggara an pendidikan Islam. Untuk
Itulah, beberapa kebijakan pendidikan Islam perlu ditempuh agar pendidikan Islam
mempunyal kontribusl yang berarti dalam kerangka pendidikan Naslonal. Strategi
Pengembangan Kebijakan Untuk mengatasi berbagal persoalan yang muncul dl atas maka
beberapa kebijakan yang dapat diambll dalam rangka pemberdayaan pendidikan tIdak
dapat dllepaskan darl tuntutan kualltas manusia abad ke-21. Pendidikan harus melaju
pada pembentukan manusia yang handal, yang tIdak hanya memillkl kualltas akademlk
tetapl juga memlliki kualltas keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT sehingga
mempunyal sumbangan yang berarti bagi penA/ujudan masyarakat madanl. Agar
kebijakan pendidikan Islam dapat dllaksanakan dengan tepat, maka pendidikan Islam
harus mampu mellhat kecenderungan-kecenderungan yang akan terjadi pada abad ke-21.
Menurut Ahmad Tafsir (1999 : 5), kecenderungan kecenderungan yang akan terjadi yang
sekallgus menjadi karakteristik pada abad ke-21. Kecenderungan-kecenderungan ter
sebut adalah:
i

Pertama, kita akan memasuki pasar bebas. In! berarti akan terjadi suatu Interaksl ahtar
negara dalam Investasi, bisnis barang maupLJn jasa. Masyarakat Indonesia akan
membuka dirl bag! Interaksl dengan bangsabangsa lain. Interaksl Itu menuntut bangsa
Indonesia mampu bersalng. Untuk Itu diperlukan kemandlrlan, kerja keras serta etos
kerja yang tinggi dengan sifat tahan ujl.bahkan tahan bantlngan. Mengharapkan proteksl,
dari mana pun, akan sia-sia. Pasar bebas Itu tidak hanya mempengaruhl aspek ekonomi
tetapi juga berpengaruh pada aspek-aspek lain yang berhubungan balk langsung maupun
tIdak langsung. Kedua, tuntiitan otonomi daerah akan semakin gencar dan relevan.
Pembangunan yang dilaksnakan selama Inl telah menghasilkan antara lain penlngkatan
kemampuan bangsa Indonesia. TIngkat pendidikan semakin tInggI, rasa percaya diri juga
semakin tinggi. Hal Itu akan menlmbulkan kelnginan untuk menuntut otonomI semakin
luas. Sementara tuntutan otonomi itu tidak akan melemahkan rasa kebangsaan, maupun
persatuan, tuntutan itu justru semakin relevan. Akibatnya, pendidikan juga akan semakin
beralih darisentralisasi ke desentrallsasl. Ketiga, masyarakat kita akan menjadi
masyarakat madanl. Masya rakat madani (civil society) lalah masyarakat yang mandiri
dan bertanggung jawab (Tilaar: 1999 :109). Inilah masyarakat yang akan berkembang
dari rakyat untuk rakyat. Masyarakat madani seperti itu adalah masyarakat yang memlliki
kesadaran tInggI, masyarakat yang berdisiplin tinggi juga merupakan ciri masyarakat
Industri. Masyarakat industri adalah masyarakat yang serba teratur, masyarakat yang
cerdas, yang weil informed (hidup dalam masyarakat informasi). Dengan demlkian
masyarakat madani itu adalah masyarakat yang menguasai sumbersumber Informasi baik
politik, hukum, teknologi, seni maupun agama. Masyarakat madani adalah masyarakat
yang sadar akan hak dan kewajibannya dan hidup dalam alam demokrasi. Keempat, pada
masa datang, peran swasta akan semakin besar. Ini berkaitan dengan semakin cerdasnya
penduduk dan semakin tingginya kesadaran akan tanggungjawab. Semakin tingginya rasa
percaya dirl pada masyarakat juga akan menyebabkan peran swasta semakin besar. Ini
bukan berarti peran pemerintah akan hilang. Pemerintah maslh berperan terutama dalam
mengarahkan masyarakat besar Indonesia. Inl merupakan wujud masyarakat madani.
Kelima, telah terjadi berbagal perubahan dalam masyarakat, terutama dari masyarakat
agraris ke masyarakat industri. Perubahan itu akan menlmbulkan goncangan,
menyebabkan depresi relatif, dislokasi, disorientasi dan negativisme. Depresi relatif yaitu
perasaan teringkari, tersisihkan atau tertinggal dari orang lain dan kalangan tertentu
dalam masyarakat akibat tidak dapat mengikuti perubahan dan kesulitan menyesuaikan
diri dengan perubahan itu. Dislokasi maksudnya iaiah • perasaan tidak punya tempat
dalam tatanan sosial yang sedang berkembang. Dalam wujudnya yang
nyata dislokasi itu dapat dilihat pada krisis-krisis yang diaiami kaum marginal atau
pinggiran di kota-kota besar akibat urbanisasi. Disorientasi iaiah perasaan tidak
mempunyai pegangan hidup akibat dari apa yang ada selama Inl tIdak dapat lag!
dlpertahankan karena terasa tIdak cocok dan kehllangan Identltas. Sedangkan yang
dimaksud negativisme lalah perasaan yang mendorong kearah pandangan yang serba
negatif kepada susunan yang mapan, dengan sikap-sikap tIdak percaya, curlga,
bermusuhan, melawan dan sebagalnya. Jlka gejala-gejala yang dlaklbatkan perubahan
mendadak itu tIdak diantislpasi dengan balk, maka la akan menjadi lahan subur bagi
tumbuhnya gejala-gejala radlkallsme, fanatlsme, sektarianisme, fundamentallsme,
sekularlsme dan laln-lain yang serba negatif. Dengan kecermatan mellhat adanya
tantangan dan peluang yang ada tersebut, maka paling tIdak kebijakan Pendidikan Islam
dl Indonesia diarahkan pada: (1) Peningkatan kualitas pendidikan Islam itu sendiri.
Pendidikan Islam harus mampu memperbalkl kualitas manajemen pendldlkannya yaltu
berallh dari sistem sentrallsasi kearah desentrallsasi. Dl samping Itu perlu juga
diupayakan peningkatan kualitas belajar mengajar serta proses penyelenggaraan
pendidikan, termasuk upaya untuk meningkatkan kualitas pendldlk dan peserta didlknya
serta tenaga admlnistrasl kependldlkannya kearah profeslonalisme dan kemandirlan.
Paradigma Baru pendidikan Islam Dalam kartannya dengan kualitas materl pendidikan,
perlu diupaya kan perbalkan kurikulum pendi dikan agamanya, dl samping pendidikan
pada umumnya. Muatan kurikulum lokal yang dapat mendorong adanya kemampuan
keahlian khusus, minimal bahasa sebagal alat komunikasi harus ditingkatkan, sehlngga
dengan bekal bahasa yang balk para pendldlk dan peserta didlk dapat memperoleh
sekaligus mengembangkan llmu dengan balk. Seiain Itu proporsi antara pendidikan
umum dan pendidikan agama juga harus dibuat secara proporsionai, mungkin dapat
50% : 50% atau yang penting integrasi antara keduanya tersebut yang paling perlu untuk
dikembangkan. Dalam keglatan pendidikan Islam ruh Islamnya harus menjadi penentu
bagi setiap aktiflas pendidikan yang dilakukan. Dalam hal Ini, penekanan aspek
moralltas, afektif harus bisa ditonjolkan dan bukan hanya aspek kognltif dan
psikomotoriknyasaja. (2) Relevansi Pendidikan Islam dengan Tuntutan Masyarakat atau
Stakeholder. Dalam rangka meningkatkan relevansi pendidik an upaya yang dapat
ditempuh antara lain dengan pembekalan ' kepada para peserta didlk untuk dapat
menguasai ilmu dan teknologi dengan sebalk-balknya dan didukung oleh mentalltas
keagamaan yang tinggi. Upaya inl harus didukung oleh sarana dan prasarana penunjang
yang dapat bersaing sehingga kualifikasi yang diperlukan oleh masyarakat dan dunla
kerja dapat dipenuhi. (3) Pendidikan Islam hams Mampu Melahirkan Profil Religius.
Dalam al-Qur'an, disebutkan bahwa tujuan manusia diciptakan adalah agar berbidah
kepadaNya (Q.S. 51:56). Untuk Itu tujuan pendidikan Islam juga mengacu pada tujuan
manusia diciptakan dan dengan demlklan, pendidikan Islam harus melahirkan InsanInsan
yang senantiasa taat kepada Khallk-nya. Berdasarkan hal tersebut, maka paradlgma yang
harus dibangun oleh pendidikan Islam adalah Tauhid Paradigm atau paradlgma tauhid.
Pendidikan Islam harus dapat mendldik dan mengajarkan kepada setlap peserta didlk agar
menjadl manusia religius. AlQur'an menyebutkan bahwa sejak manusia ditlupkan ruh
pertama kali oleh Allah sebenamya telah menyatakan ketauhidan tersebut. "Bukankah
Aku ini Tuhamu ?", Mereka menjawab: "BetuI (Engkau Tuhan kami), kami
menjadisaksi". (Q.S.:7:172) demikian juga dalam Q.S. 30:30. Dengan demlklan
pendidikan Islam harus melahirkan SDM yang religius, karena darl person yang religius
ini maka akan terlahlrlah masyarakat yang religius yang akan memunculkan peradaban
yang religius pula. Profil yang mempunya! kekuatan spirltual-rellglus inilah yang akan
sanggup menghadapl tantangan zaman modern yang serba cangglh dan dan tidak sedikit
yang memunculkan perubahan masyarakat modern yang jauh darl nuansa ketuhanan dan
cenderung mendewadewakan aka! piklran dan kekebasan yang yang tIdak berperadaban.
Kualifikasi reiiglusltas harus didukung pula dengan kualltas Intelektual yang memadal,
sehingga tIdak hanya dipandang sebagal "ahii ibadah yang kolot tanpa memlklrkan
kualltas pengetahuan". Menurut Johar MS dalam "Reiiglusltas Iptek" yang diterbltkan
Fakultas Tarblyah IAIN Sunan Kalljaga (1998 : 31), kualifikasi profil yang religius
adalah seseorang yang melek llmu, memiilkl cara berflkir yang balk, memlllkl motlvasi
positif, dan menampllkan tindakan yang kontruktlf
Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah kebijakan pendidikan nasional terhadap
pendidikan Islam dan pendidikan sekular. Pada mulanya, sekularisme memang hanya
berbicara tentang hubungan antara agama Kristen dan negara saja. Namun kemudian
berkembang merambah kepada seluruh aspek kehidupan dunia manusia, dan juga masuk
ke dalam berbagai pemikiran para filsuf dan kaum intelektual pada saat itu. Selanjutnya,
ide pemikiran sekularisme ini juga masuk menyebar ke dunia Islam dan juga masuk ke
dalam undang-undang sistem pendidikan nasional. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui kebijakan sistem pendidikan nasional terhadap keberadaan pendidikan Islam
dan pendidikan sekular. Penelitian ini adalah studi literatur yang sumber datanya dari
buku-buku dan dokumen tertulis. Setelah dianalisa, ditemukan bahwa dasar pemikiran
sekularisme yang bertentangan dengan ajaran Islam telah mempengaruhi kebijakan
sistem pendidikan nasional
berhubungan dengan keduniawian atau bersifat keduniaan dan tidak berkaitan dengan
agama atau keyakinan agama yang bersifat spiritual. Syed Muhammad Naquib al-Attas
mengatakan bahwa “kata sekuler diambil dari bahasa Latin, Saeculum yang memiliki dua
konotasi makna, yaitu time yang artinya masa atau waktu, dan location yang artinya
tempat atau lokasi. Masa atau waktu menunjukkannowataupresent, yaitu masa atau waktu
sekarang, sedangkan location atau tempat dinisbahkan kepada world atau dunia, yaitu
menunjukkan kepada keberadaannya di dunia pada saat ini. Dengan demikian, makna
sekuler itu adalah waktu atau masa sekarang yang tempat keberadaannya adalah di
dunia.”19 Sekularisasisering juga diartikan sebagai sebuah proses untuk menuju kepada
sekular dan sekularisme. Sedangkan sekularisme banyak diartikan sebagai sebuah paham
ideologi yang dihasilkan dari proses sekularisasi. Tetapi sebenarnya dapat disimpulkan
juga bahwa sekularisasi adalah merupakan sebuah ideologi. Karena sekularisasi adalah
sebuah proses yang berupaya untuk menuju menjadi sekuler, dan orang yang
melaksanakan sekularisasi dalam hidupnya pada akhirnya akan menjadi sekuler dan akan
menganut paham sekularisme. Jadi, sekularisasi pada akhirnya akan mengantar
penganutnya menjadi orang yang berpaham sekularisme dan menganut aliran paham
sekularisme. Ideologi sekularisme yang pada mulanya diterapkan di dunia Barat untuk
melakukan kebijakan khusus terhadap pemisahan kekuasaan gereja dari negara, akhirnya
berkembang ke seluruh dunia dan merambah masuk ke dunia Islam. Paham sekularisme
ini berkembang ke seluruh dunia dibawa oleh negara-negara Barat lewat hegemoni
kekuasaan. Negara-negara penjajah Barat yang Kristen membawa paham sekuler dan
menerapkan paham sekuler tersebut di negeri jajahannya. Kemudian melalui dunia
pendidikan lewat sekolah-sekolah dan perguruan tinggi yang menerapkan pendidikan
sekuler gaya Barat. Cara lainnya ialah melalui program pertukaran pelajar dan
mahasiswa, serta pengiriman mahasiswa dan penyediaan beasiswa keluar negeri.
Terakhir adalah melalui operasi intelejen dan gerakan politik. Semua usaha yang
dilakukan Barat kepada umat Islam pada intinya adalah untuk melakukan brain washing,
yaitu cuci otak, sehingga akibatnya ada orang Indonesia yang menyandang status tokoh
intelektual Muslim, tapi justru pahamnya lebih Barat dari orang Barat, dan lebih sekuler
dari orang Barat yang paling sekuler. Jadi, dunia pendidikan adalah salah satu media
yang dapat dijadikan sarana untuk mengembangkan paham sekularisme, yang ditopang
pula oleh kekuasan politik negara, yang melahirkan kebijakan-kebijakan pendidikan
berdasarkan politik pendidikan sekuler. Dari semua uraian di atas dapat diketahui, bahwa
yang dimaksud dengan politik pendidikan sekuler itu ialah politik kebijakan negara atau
pemerintah dalam bidang pendidikan yang bersifat sekuler, dan berisi konsep untuk
memisahkan agama dari kehidupan duniawi,
1

1
Hasbullah Hadi, et al.: Kebijakan Pendidikan Nasional
BAB III
KESIMPULAN
pendidikan Islam yang ada dl Indonesia dapat dipahami dalam dua bentuk. Pertama, pendidikan
Islam sebagal proses pembelajaran dan kedua, pendidikan Islam sebagal kelembagaan. Menurut
Zuhalrl, dkk. (1995:149), pendidikan Islam diartikan sebagal suatu aktivitas untuk
mengembangkan seluruh aspek keprlbadlan manusia yang berjalan seumur hidup. Dengan kata
lain, pendidikan (Islam) tIdak hanya berlangsung di dalam kelas, tetapl juga di luar kelas. Dalam
hal In, bukan berarti formal saja, tetapl mencakup pula pendidikan dalam bentuk Informal dan
non formal. Dalam prakteknya, menurut Mochtar Buchori (1994:50) pendidikan Islam di
Indonesia dapat dibagi menjadi Pertama, Pendidikan Pondok Pesantren, yaltu pendidikan Islam
yang diselenggarakan secara tradisional, bertolak darl pengajaran al-Qur’an dan Hadits, dan
merancang segenap kegiatan pendidikannya untuk mengajarkan kepada para siswa Islam sebagai
cara hidup, Islam sebagal way of life; Pendidikan Madrasah, yaltu pendidikan Islam yang
diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan model Barat, yang mempergunakan metode
pengajaran klasikal, dan berusaha menanamkan Islam sebagai landasan hidup ke dalam diri para
siswa; Pendidikan Umum yang Bernafaskan Islam, yaltu pendidikan Islam yang dliakukan
dengan cara mengembangkan suasana pendidikan yang bernafaskan Islam di lembagalembaga
yang menyelenggarakan program pendidikan yang bersifat umum, dan; Keempat, Pelajaran
Agama Islam yang diselenggarakan dl lembaga lembaga pendidikan umum sebagai
suaPendahuluan Pendidikan Islam dl Indonesia, tidak dapat dllepaskan darl kerangka SIstem
Pendidikan Naslonal, karena poslslnya sebagal sub-slstem pendidi kan naslonal. Menurut
pengertiannya, pendidikan Islam yang ada dl Indonesia dapat dipahami dalam dua bentuk.
Pertama, pendidikan Islam sebagal proses pembelajaran dan kedua, pendidikan Islam sebagal
kelembagaan. Menurut Zuhalrl, dkk. (1995:149), pendidikan Islam diartikan sebagal suatu
aktivitas untuk mengembangkan seluruh aspek keprlbadlan manusia yang berjalan seumur hidup.
Dengan kata lain, pendidikan (Islam) tIdak hanya berlangsung di dalam kelas, tetapl juga di luar
kelas. Dalam hal In, bukan berarti formal saja, tetapl mencakup pula pendidikan dalam bentuk
Informal dan non formal
SARAN
Dipisahkannya pendidikan agama islam dan pendidikan umum di Indonesia sudah cukup baik
mengingat perbedaan pendidik dan cara pengajar namun perlu cukup diperhatikan dalam system
mengajarnya supaya tidak terjadinya problem problem tertentuii
Daftar Pustaka
Abdullah, Amin, dkk. 2003. Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum: Upaya
mempertemukan Epistemologi Islam.
Yogyakarta: SUKA Press. ___________. 2003. “Arah Baru Kajian Islam di Indonesia
(Integrasi Keilmuan kajian Islam, Humaniora Kontemporer dan Ilmu-ilmu Sosial)” makalah
disampaikan dalam Diskusi Panel Integrasi Ilmu dan Agama di Perguruan Tinggi, Kerjasama
antara IAIN Sunan Kalijaga dengan Masyarakat Yogyakarta untuk ilmu dan Agama (MYIA).
20 Desember. Anwar, Samsul. 2005. “Ke Arah Epistemologi Integratif Mencari Arah
Penegmbangan Keilmuan dalam Rangka Pemekaran IAIN” dalam M. Amin Abdullah, dkk.
Menyatukan Kembali Ilmu-ilmu Agama dan Ilmu Umum. Yogyakarta: SUKA Press. Asy’arie,
Musa.
2005. “Epistemologi dalam Perspektif Pemikiran Islam” dalam Amin Abdullah dkk.
Menyatukan Kembali Ilmu-ilmu Agama dan Ilmu Umum. Yogyakarta: SUKA Press. Azra,
Azyumardi.
1999. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos.
Berger, Peter. 1969. Langit-langit Suci. Capra, Frithjof dkk.
1999. Menyatu dengan Semesta(Menyingkap Batas Antara Sains dan Spiritualitas).
Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru. Haught, John F.
2005. Perjumpaan Sains dan Agama: Dari Dialog ke Konflik. Jakarta: Mizan. Kuntowijoyo.
2005. Islam Sebagai Ilmu: epistemologi, Metodologi, dan Etika. Jakarta: Teraju. __________.
2005. “Epistemologi dan Paradigma Ilmu-ilmu Humaniora dalam Perspektif Pemikiran Islam”
dalam M. Amin Abdullah dkk. Menyatukan Kembali Ilmu-ilmu Agama dan Ilmu Umum.
Yogyakarta: SUKA Press.
i
Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum: Upaya mempertemukan Epistemolog
ii

Anda mungkin juga menyukai