Disusun Oleh:
NAMA : ARYA SANJAYA
NIM : 19100026
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring dengan intensitas kejadian bencana alam khususnya, yang dapat
menimbulkan korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak kerusakan non materi maupun psikologis, maka sejalan dengan itu pemerintah
dituntut untuk memberikan perhatian secara prioritas terhadap penyelenggaraan
penanggulangan bencana meliputi tahap pra bencana, saat tanggap darurat dan pasca
bencana secara cepat, tepat dan terpadu.
Dewasa ini paradigma penanganan bencana tidak hanya menekankan pada aspek
tanggap darurat, namun telah bergeser kepada paradigma manajemen risiko bencana
yang mempunyai kompetensi mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan dalam rangka Pengurangan Risiko Bencana.
Bencana adalah suatu peristiwa atau rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh
alam, manusia atau keduanya yang mengakibatkan korban manusia, kerugian harta
benda, kerusakan lingkungan, kerusakan sarana prasarana, dan fasilitas umum serta
menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat. Bencana
alam adalah salah satu faktor yang bisa mengakibatkan rusaknya lingkungan hidup.
Bencana alam bila dilihat dari penyebabnya, dapat dibedakan sedikitnya menjadi tiga
jenis, yaitu geologis, klimatologis, dan ekstra-terestial. Berikut adalah macam-macam
bencana alam yang terjadi di Indonesia, diantaranya: Tsunami, Banjir, Kebakaran,
Longsor, Gunung Berapi, Kekeringan dan Abrasi
Dampak bencana yang ditimbulkan dapat berupa kematian masal, terganggunya
tatanan sosiologis dan psikologis masyarakat, pengangguran, kemiskinan, kriminalitas,
keterbelakang-an, dan hancurnya lingkungan hidup masyarakat. Begitu besarnya risiko
yang ditimbulkan oleh bencana ini, maka penanganan bencana menjadi sangat penting
untuk menjadi perhatian dan tugas kita bersama. Hodgetts & Jones (2002), mengatakan
bahwa faktor yang mendukung keberhasilan dalam pengelolaan bencana adalah
manajemen bencana.
1
Kejadian gawat darurat dapat terjadi kapan saja dan di mana saja, dan
memerlukan penanganan yang segera, karena dapat mengancam jiwa atau menimbulkan
kecacatan permanen. Kejadian gawat darurat dapat disebabkan antara lain karena
kecelakaan lalu lintas, penyakit, kebakaran maupun bencana alam. Salah satu dari tiga
pilar utama Program Indonesia Sehat adalah penguatan pelayanan kesehatan, di
antaranya meliputi strategi peningkatan akses pelayanan kesehatan, optimalisasi sistem
rujukan dan peningkatan mutu pelayanan kesehatan, dimana salah satu caranya adalah
melalui Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT)..
Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) yaitu merupakan
suatu sistem penanggulangan pasien gawat darurat yang terdiri dari unsur, pelayanan
pra Rumah Sakit, pelayanan di Rumah Sakit dan antar Rumah Sakit. Pelayanan
berpedoman pada respon cepat yang menekankan time saving is life and limb saving,
yang melibatkan pelayanan oleh masyarakat awam umum dan khusus, petugas medis,
pelayanan ambulans gawat darurat dan sistem komunikasi. Dalam hal ini khususnya
penanggulangan kasus bencana industri memerlukan penanganan yang menyeluruh baik
pra Rumah Sakit, intra Rumah Sakit, dan antar Rumah Sakit sehingga mampu menekan
angka kematian dan kecacatan yang diakibatkan oleh kondisi tersebut.
Keberhasilan penanganan korban/pasien gawat darurat ini tergantung pada
beberapa komponen, yaitu pada penyelenggaraan SPGDT yang terdiri atas sistem
komunikasi gawat darurat, sistem penanganan korban/ pasien gawat darurat dan sistem
transportasi gawat darurat yang harus saling terintegrasi satu sama lain. Kompetensi
seorang tenaga kesehatan dalam manajemen bencana merupakan kemampuan
mengarahkan dan memobilisasi (respon eksternal multisektoral), dengan mengakses
kebutuhan sumber daya lintas instansi kesehatan secara cepat, tepat dan terpadu dalam
kondisi bencana.
B. Tujuan
1. Mengetahui struktur operasi kegawat daruratan dalam penanganan bencana.
2. Mengetahui dukungan pelayanan medis dalam penanganan bencana.
3. Mengetahui sistem komunikasi dalam keadaan bencana
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
4. Kendali
Selama kondisi darurat bencana di tingkat kabupaten/kota, kendali operasi
umum berada di bawah pengawasan kepala BPBD. Kendali Operasional dalam
situasi darurat bencana di tingkat kabupaten/kota di pegang oleh Komandan
Insiden and kendali operasional teknis yang bertugas di pos komando.
5. Komunikasi
a. Melalui Radio, menggunakan jaringan radio masyarakat (ORARI/RAPI)
b. Melalui telepon, nomor khusus (Pos darurat bencana/damkar) di lokasi tsb
4
sumber daya atau kapasitas yang ada sehingga tidak dapat memenuhi
kebutuhan-kebutuhan pokok dan terjadi penurunan drastis terhadap kualitas
hidup, kesehatan atau ancaman secara langsung terhadap keamanan banyak
orang di dalam suatu komunitas atau lokasi.
2. Pemulihan (recovery) adalah suatu proses yang dilalui agar kebutuhan pokok
terpenuhi. Proses recovery terdiri dari:
a. Rehabilitasi : perbaikan yang dibutuhkan secara langsung yang sifatnya
sementara atau berjangka pendek.
b. Rekonstruksi : perbaikan yang sifatnya permanen
3. Pencegahan (prevension); upaya untuk menghilangkan atau mengurangi
kemungkinan timbulnya suatu ancaman. Namun perlu disadari bahwa
pencegahan tidak bisa 100% efektif terhadap sebagian besar bencana.
4. Mitigasi (mitigation); yaitu upaya yang dilakukan untuk mengurangi dampak
buruk dari suatu ancaman. Misalnya: penataan kembali lahan desa agar
terjadinya banjir tidak menimbulkan kerugian besar.
5. Kesiap-siagaan (preparedness); yaitu persiapan rencana untuk bertindak ketika
terjadi (kemungkinan akan terjadi) bencana. Perencanaan terdiri dari perkiraan
terhadap kebutuhan-kebutuhan dalam keadaan darurat danidentifikasi atas
sumber daya yang ada untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Perencanaan ini
dapat mengurangi dampak buruk dari suatu ancaman
C. Manajemen Keadaan Darurat
Keadaan Darurat (emergency) adalah suatu keadaan tidak normal yang tidak ingin
terjadi pada tempat kegiatan, yang membahayakan manusia, dan merusak
peralatan/benda, atau lingkungan. Contoh : Gempa bumi, Kebakaran, Ancaman
Bom, Pencemaran berat lingkungan, dan lain-lain.
Manajemen Keadaan darurat di tempat kerja harus dilakukan sedemikian rupa
sehingga dapat meminimalisir kerugian yang terjadi. Cara yang dapat dilakukan
dalam Manajemen Tanggap Darurat yaitu :
1. Tahap Pencegahan
5
a. Identifikasi, Melakukan identifikasi terhadap sumber / potensi terjadinya
keadaan darurat kemungkinan resiko kehilangan, kerusakan dan ancaman
terhadap arsip dan informasi
b. Penilaian Risiko,merupakan proses mengidentifikasi resiko yang ada
terhadap arsip yang meliputi kegiatan: evaluasi keamanan dan pengawasan,
survei menentukan letak,mengindentifikasi dan merekomendasikan
pengamanan dan pengawasan, dan melaksanakan pengamanan dan
pengawasan, sehingga dapat diketahui Prioritas Lokasi ataupun Proses
Kerja yang dapat menyebabkan Keadaan Daurat.
2. Persiapan
Tahap yang ketiga ini sangat diperlukan untuk antisipasi terjadinya keadaan
darurat, karena pada dasarnya Keadaan Darurat yang disebabkan oleh Manusia
dapat dicegah. Yang harus dilakukan pada tahap Persiapan yaitu :
Mengembangkan Standar / Prosedur Keadaan Darurat
Menentukaan Alat Tanggap Darurat yang dibutuhkan spt APAR, Hydrant,
Sprinkler dll
Membentuk Team Tanggap Darurat yg didalamnya terdapat tim inti
minimal Tim Pemadan Kebakaran, Tim P3K, Tim Penyelamat Dokumen,
Tim Evakuasi, Tim Sekurity, sebaiknya tim ini terdiri dari semua level
yang mewakili semua fungsi organisasi.
Mengembangkan program & sistem pelatihan Tanggap Darurat, Contoh
Fire Drill secara periodik
Mempertimbangkan Biaya Yang Dibutuhkan untuk kegiatan manajemen
keadaan darurat.
Menentukan Strategi Tindakan (respons), terkait dengan apa yang
dilakukan oleh organisasi,
Menentukan Strategi Pemulihan (recovery) dalam rangka pemulihan
operasional organisasi dengan melakukan persiapan: pemeriksaan
kerusakan, menghubungi vendor untuk perbaikanarsip, restorasi arsip.
Mengembangakan Rancangan Manajemen Keadaaan Darurat, berupa
rancangan tertulis yang disahkan oleh pimpinan.
6
3. Respon Cepat / Tanggap
Pada saat terjadinya keadaan darurat Manajemen dan tim Keadaan Daruat
hendaknya sudah siap dan tanggap jika hal ini terjadi. Yang harus dilakukan
yaitu :
Mengoptimumkan seluruh sistem dan sarana untuk mengontrol keadaan
darurat sesuai tingkatannya dengan melaksanakan rencana yang sudah
dibuat, tim segera bertindak untuk menghadapi
Memastikan keterlibatan seluruh pihak yang terkait. Apa – siapa? (who
doing what?)
Siapkan seluruh data yang diperlukan untuk proses penanganan tanggap
darurat. (Drawing, jenis material, akses, jumlah karyawan, dll.)
Tanggap cepat & tepat.
Menghubungi Pihak Terkait, bencana yang sudah dideteksi
Memperketat pengamanan aset perusahaan agar tidak dimanfaatkan oleh
fihak-fihak yang tidak bertanggungjawab.
4. Pemulihan
Setelah terjadinya bencana, Manajemen dan Tim Keadaan Daruat
hendaknya melakukan tindakan untuk mencegah terjadinya keadaan darurat ini
berulang. Hal yang harus dilakukan yaitu :
Membentuk team evaluasi/tim investigasi
Mengidentifikasi Jumlah korban dan kerusakan
Membentuk sistem pengumpulan dan penyimpanan matrail tersisa
Melakukan pendataan nama, nomor telephon, alamat orang orang yang
bertanggung jawab untuk kelangsungan kegiatan perusahaan.
Mengumpulkan data supplies & service untuk keperluan seperti utility (gas,
air dan listrik), vendor equipment, kontraktor dll.
Membentuk mutual aid plan/strategy dengan organisasi lain.
Melakukan evaluasi efektifitas dan peningkatan terhadap pelaksanaan
sistem tanggap darurat dan persiapkan pembaharuan sistem.
7
Mempersiapkan kembali sarana dan prasarana tanggap darurat.
Restorasi (perbaikan), perlu ada tindakan perbaikan terhadap aset
organisasi, baik bangunan dan arsip. Arsip elektronik perlu diduplikasi.
Perlu relokasi sementara jika lokasi awal tidak memungkinkan untuk
berjalannya organisasi.
5. Penyampaian Kepada Publik
Sesaat terjadinya bencana keadaan darurat, media massa dan masyarakat sekitar
akan berkumpul untuk mengetahui Apa, Siapa, Kapan, Dimana, Penyebab
terjadinya bencana tsb. Agar tidak terjadinya kesimpangsiuran informasi
termasuk Informasi yang bersifat rahasia perusahaan, hendaknya Manajemen
dan tim Tanggap Darurat :
Membentuk pusat kontrol untuk review seluruh statement dan photographs
untuk direlis/disebarkan ke media.
Mengevaluasi seluruh hal yang telah dirilis
Mematuhi seluruh ketentuan hukum
Menunjuk koordinator komunikasi
Menunjuk seseorang untuk menyampaikan kepada public (Juru Bicara)
Membentuk team penanganan sosial
8
dihadapinya, mengurangi serta memantau dan mengevaluasi kinerjanya sendiri
dalam upaya pengurangan bencana. Namun pokok dari keduanya adalah
penyelenggaraan yang seoptimal mungkin memobilisasi sumber daya yang dimiliki
dan yang dikuasainya serta merupakan bagian integral dari kehidupan keseharian
komunitas (Paripurno, 2006a). Pemahaman ini penting, karena masyarakat akar
rumput yang berhadapan dengan ancaman bukanlah pihak yang tak berdaya
sebagaimana dikonstruksikan oleh kaum teknokrat. Kegagalan dalam memahami
hal ini berakibat pada ketidakberlanjutan pengurangan risiko bencana di tingkat
akar rumput. Bila agenda-agenda pengurangan bencana tidak lahir dari kesadaran
atas kapasitas komunitas lokal serta prioritas yang dimiliki oleh komunitas maka
upaya tersebut tidak mungkin berkelanjutan.
Peran serta atau partisipasi masyarakat merupakan bagian dari prinsip
demokrasi. Salah satu prasyarat utama dalam mewujudkan partisipasi itu adalah
adanya keterbukaan dan transparansi. Asas keterbukaan mengandung sekurang-
kurangnya lima unsur utama yang memungkinkan peran serta masyarakat itu dapat
terjadi, yaitu:
1. Hak untuk mengetahui (right to know, meeweten).
PRBBK adalah produk publik/umum dan pemenuhan hak untuk aman dari
bencana merupakan bagian dari HAM. Hak ini pada dasarnya merupakan hak
yang mendasar dalam alam demokrasi. Artinya segala hal yang berkenaan
dengan kepentingan publik, maka seyogyanya publik mengetahuinya secara
utuh, benar, dan akurat.
2. Hak untuk memikirkan (right to think, meedenken).
Setelah masyarakat mendapat akses informasi tentang apa yang menjadi hak
masyarakat untuk mengetahuinya, maka selanjutnya hak masyarakat pula untuk
ikut serta terlibat dalam pemikiran, pengkajian, dan penelitian tentang apa yang
terbaik bagi semua pihak. Kegiatan pengkajian dan penelitian yang dilakukan
oleh masyarakat memberi makna, di satu pihak, adanya rasa tanggung jawab
masyarakat terhadap masalah yang dihadapi; dan di lain pihak, pemerintah pun
sesungguhnya “diringankan” dari beban permasalahan yang harus mendapatkan
solusinya
9
3. Hak untuk menyatakan pendapat (right to speech, meespreken).
Sebagai konsekuensi logis dari adanya hak untuk ikut memikirkan, maka
tindak lanjutnya adalah hak untuk berbicara guna menyatakan sesuatu pendapat.
Maksudnya adalah bahwa apa yang telah dikaji, diteliti dengan pemikiranyang
dalam dan matang, maka masyarakat berhak untuk menyampaikan pendapatnya
tersebut ke hadapan publik lainnya. Pernyataan ini dapat berupa hal-hal yang
menyangkut kepentingan umum maupun kepentingan individual atau kelompok,
termasuk di dalamnya pernyataan tentang sesuatu masalah yang ada pada
pemerintah (yang dapat berisi masukan dan atau kritik) maupun masalah yang
ada pada masyarakat itu sendiri.
4. Hak untuk memengaruhi pengambilan keputusan (right to participate in decision
making process, meebeslissen).
Substansi yang dinyatakan sebagaimana diuraikan di atas, sesungguhnya
juga dimaksudkan agar masyarakat dapat mengambil peran dan melibatkan diri
dalam batas-batas tertentu secara proporsional untuk memengaruhi pengambilan
keputusan oleh pihak yang berwenang. Dengan perkataan lain, substansi dari
suatu putusan yang diambil oleh pihak yang berwenang tersebut adalah
didasarkan pada pertimbangan masukan dari masyarakat yang patut untuk
diakomodasi. Konkretnya, setiap masukan seyogyanya dipertimbangkan secara
saksama, dikaji dan diteliti manfaat dan kerugiannya bagi kepentingan dan
kebaikan umum (semua pihak). Apabila masukan atau saran tersebut akan
ditolak, maka harus dijelaskan alasan dan tujuannya, agar jerih payah usaha
masyarakat dalam pemikiran dan pendapatnya itu tetap merasa dihargai. Hak
untuk memengaruhi pengambilan keputusan ini sering pula digolongkan ke
dalam pengawasan apriori, yakni pengawasan atau kontrol dilakukan sebelum
dikeluarkannya suatu putusan oleh pihak yang berwenang. Dalam hal ini, jelas
unsur preventif dari maksud pengawasan atau kontrol, yaitu untuk mencegah
atau menghindari terjadinya kekeliruan.
5. Hak untuk mengawasi pelaksanaan keputusan (right to monitor in implementing
of the decision, meetoezien).
10
Secara langsung maupun tidak langsung, masyarakat berhak pula untuk
mengawasi jalannya putusan yang telah diambil. Pengawasan masyarakat ini
merupakan bagian dari hak demokrasi dalam kerangka public control.
Pengawasan atau kontrol terhadap jalannya putusan ini atau dapat disebut
kontrol aposteriori adalah dimaksudkan untuk tindakan korektif dan
memulihkan suatu tindakan yang keliru.
11
Gempa bumi yang disebabkan karena interaksi lempeng tektonik dapat
menimbulkan gelombang pasang apabila terjadi di samudera. Dengan wilayah yang
sangat dipengaruhi oleh pergerakan lempeng tektonik ini, Indonesia sering
mengalami tsunami. Tsunami yang terjadi di Indonesia sebagian besar disebabkan
oleh gempa-gempa tektonik di sepanjang daerah subduksi dan daerah seismik aktif
lainnya (Puspito, 1994). Selama kurun waktu 1600-2000 terdapat 105 kejadian
tsunami yang 90 persen di antaranya disebabkan oleh gempa tektonik, 9 persen oleh
letusan gunung berapi dan 1 persen oleh tanah longsor (Latief dkk, 2000). Wilayah
pantai di Indonesia merupakan wilayah yang rawan terjadi bencana tsunami
terutama pantai barat Sumatera, pantai selatan Pulau Jawa, pantai utara dan selatan
pulau-pulau Nusa Tenggara, pulau-pulau di Maluku, pantai utara Irian Jaya dan
hampir seluruh pantai di Sulawesi. Laut Maluku adalah daerah yang paling rawan
tsunami. Dalam kurun waktu tahun 1600-2000, di daerah ini telah terjadi 32
tsunami yang 28 di antaranya diakibatkan oleh gempa bumi dan 4 oleh meletusnya
gunung berapi di bawah laut.
Wilayah Indonesia terletak di daerah iklim tropis dengan dua musim yaitu
panas dan hujan dengan ciri-ciri adanya perubahan cuaca, suhu dan arah angin yang
cukup ekstrim. Kondisi iklim seperti ini digabungkan dengan kondisi topografi
permukaan dan batuan yang relatif beragam, baik secara fisik maupun kimiawi,
menghasilkan kondisi tanah yang subur. Sebaliknya, kondisi itu dapat menimbulkan
beberapa akibat buruk bagi manusia seperti terjadinya bencana hidrometeorologi
seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan kekeringan. Seiring dengan
berkembangnya waktu dan meningkatnya aktivitas manusia, kerusakan lingkungan
hidup cenderung semakin parah dan memicu meningkatnya jumlah kejadian dan
intensitas bencana hidrometeorologi (banjir, tanah longsor dan kekeringan) yang
terjadi secara silih berganti di banyak daerah di Indonesia. Pada tahun 2006 saja
terjadi bencana tanah longsor dan banjir bandang di Jember, Banjarnegara, Manado,
Trenggalek dan beberapa daerah lainnya. Meskipun pembangunan di Indonesia
telah dirancang dan didesain sedemikian rupa dengan dampak lingkungan yang
minimal, proses pembangunan tetap menimbulkan dampak kerusakan lingkungan
dan ekosistem. Pembangunan yang selama ini bertumpu pada eksploitasi sumber
12
daya alam (terutama dalam skala besar) menyebabkan hilangnya daya dukung
sumber daya ini terhadap kehidupan mayarakat. Dari tahun ke tahun sumber daya
hutan di Indonesia semakin berkurang, sementara itu pengusahaan sumber daya
mineral juga mengakibatkan kerusakan ekosistem yang secara fisik sering
menyebabkan peningkatan risiko bencana.
Pada sisi lain laju pembangunan mengakibatkan peningkatan akses masyarakat
terhadap ilmu dan teknologi. Namun, karena kurang tepatnya kebijakan penerapan
teknologi, sering terjadi kegagalan teknologi yang berakibat fatal seperti kecelakaan
transportasi, industri dan terjadinya wabah penyakit akibat mobilisasi manusia yang
semakin tinggi. Potensi bencana lain yang tidak kalah seriusnya adalah faktor
keragaman demografi di Indonesia. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2004
mencapai 220 juta jiwa yang terdiri dari beragam etnis, kelompok, agama dan adat-
istiadat. Keragaman tersebut merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang tidak
dimiliki bangsa lain. Namun karena pertumbuhan penduduk yang tinggi tidak
diimbangi dengan kebijakan dan pembangunan ekonomi, sosial dan infrastruktur
yang merata dan memadai, terjadi kesenjangan pada beberapa aspek dan terkadang
muncul kecemburuan sosial. Kondisi ini potensial menyebabkan terjadinya konflik
dalam masyarakat yang dapat berkembang menjadi bencana nasional.
13
BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang terjadi secara
mendadak/tidak terencana/secara perlahan tetapi berlanjut yang menimbulkan dampak
terhadap pola kehidupan normal atau kerusakansehingga diperlukan tindakan darurat
dan luar biasa untuk menolong dan menyelamatkan korban baik manusia maupun
lingkungannya.
Sumber daya manusia (SDM) kesehatan adalah seseorang yang bekerja secara
aktif di bidang kesehatan baik yang memiliki pendidikan formal kesehatan maupun tidak
yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan dalam melakukan upaya kesehatan.
Jenis Bencana Secara garis besar bencana dapat diklasifikasikan menjadi
bencana alam (natural disaster), bencana akibat ulah manusia (manmade
disaster) atau gabungan keduanya.
Upaya yang dilakukan dalam manajemen SDM Kesehatan yang terkait
dengan penanggulangan krisis akibat bencana dibagi dalam tiga tahap Prabencana
(pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan), Saat bencana (tanggap darurat),
Pascabencana (pemulihan/rehabilitasi dan rekonstruksi)
B. Saran
Agar upaya penanggulangan krisis akibat bencana dapat dilaksanakan dengan
optimal, maka SDM Kesehatan baik medis maupun non-medis perlu dikelola secara lebih
baik dan profesional, dengan memperhatikan tingkat kerawanan terhadap bencana
DAFTAR PUSTAKA
14
Depkes. Kebijakan Kemenkes dalam Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu
(Spgdt) dan Bencana.http://buk.depkes.go.iddiakses tanggal 18 November 2013
Dirjen Bina Yanmed Depkes RI.2006. Seri Penanggulangan Penderita Gawat Darurat
(PPGD) / General Emergency Life Support (GELS) : Sistem Penanggulangan
Gawat Darurat Terpadu (SPGDT). Cetakan ketiga.
Efendy, Ferry dan Makhfudli. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas : Teori dan
Praktik dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
15