Anda di halaman 1dari 9

GULUNGAN I

Bermula saat Raden Panji Kuda Waneng Pati diutus sang guru yaitu Resi Saptani

untuk bertapa selama beberapa waktu. Dalam perjalanannya, Raden Panji memulai

pertapaan di sekitar Gunung Penanggungan. Selang beberapa waktu dan selesai

bertapa, tanpa sengaja Raden Panji bertemu dengan seorang gadis bernama Dewi

Anggraeni. Gadis sederhana nan ayu yang menggetarkan jiwa raga Raden Panji.

Tanpa banyak berpikir Raden Panji memutuskan untuk menikahi Dewi Anggraeni.

Namun, Prabu Jayantaka ayah Raden Panji tidak merestui keputusannya.

Kemudian, Raden Panji meminta tolong ibundanya untuk membujuk ayahnya.

Alhasil, meskipun terpaksa pada akhirnya Prabu Jayantaka merestui pernikahan

Raden Panji dan Dewi Anggraeni.


GULUNGAN II

Berita pernikahan Raden Panji dengan Dewi Anggraeni, seorang gadis tak

berbangsa, sampai juga kepada Sri Baginda Jayawarsa, Raja Kediri. Prabu

Jayawarsa merasa dihina dan dihianati oleh Raja Jayantaka, mengingat

perjanjiannya untuk menikahkan Raden Panji dan Sekar Taji putrid Prabu

Jayawarsa. Prabu Jayawarsa naik pitam, amarahnya memuncak bahkan hendak

melakukan penyerangan ke kerajaan Djenggala. Namun, hal tersebut diurungkan

atas nasehat dari beberapa patihnya. Alhasil, dipanggillah Sang Kili Suci untuk

menengahi permasalah tersebut. Sang Kili Suci adalah wakil tetua dua kerajaan

baik Jenggala maupun Kediri, yang menyebabkan kerajaan Raja Airlangga dipecah

dua. Karena Sang Kili Suci tidak sudi memangku tahta dan lebih memilih

kehidupan pertapa. Pada akhirnya, hadirnya Sang Kili Suci mampu menyelesaikan

kesalapahaman antar dua kerajaan. Prabu Jayantaka pun memutuskan untuk

memenuhi perjanjian terdahulu, yaitu menikahkan Raden Panji dengan Sekar Taji.
GULUNGAN III

Di kerajaan Jenggala, digelar pertemuan kerajaan yang dihadiri oleh Raja

Jayantaka, Raden Panji, Tumenggung Brajanata, Patih Prasanta dan yang lainnya.

Pertemuan tersebut membahas perihal pernikahan Raden Panji dan Sekar Taji.

Dengan tegas Raden Panji menolak pernikahan tersebut yang membuat sang ayah

marah besar. Ditengah perdebatan yang memanas antara ayah dan putranya, Patih

Prasanta pun angkat bicara dan membujuk Raden Panji untuk mau menikah dengan

Sekar Taji. Kemudian, Raja menitahkan Raden Panji untuk pergi ke Pucangan

tanpa memberitahu istrinya dengan tujuan untuk mengalihkan perhatian Raden

Panji. Disisi lain, Raja menitahkan kepada Tumenggung Brajanata untuk

membunuh Dewi Anggraeni secepatnya. Dengan dalih menyusul Raden Panji,

Tumenggung Brajanata membujuk Dewi Anggraeni untuk ikut bersamanya.

Emban Wagini, pengasuh Dewi Anggraeni pun turut serta mendampingi.


GULUNGAN IV

Kereta kuda yang ditunggangi Tumenggung Brajanata, Dewi Anggraeni dan

Emban Wagini tiba-tiba berhenti. Tepat di tengah hutan, setelah perjalanan yang

begitu panjang. Dengan penuh Tanya Dewi Anggraeni kemudian turun disusul

Tumenggung Brajanata dan pengasuhnya. Kemudian Dewi Anggraeni

menanyakan beberapa hal kepada Tumenggung Brajanata yang berakhir pada

perdebatan. Semakin lama Dewi Anggraeni semakin curiga dan menyadari bahwa

dirinya tengah diculik untuk dibunuh atas perintah Raja Jayantaka, ayah

mertuanya. Pada akhirnya, dengan lapang dada Dewi Anggraeni mengikhlaskan

cinta dan hidupnya dengan bunuh diri menggunakan keris yang dibawa oleh

Tumenggung Brajanata. Emban Wagini, menangis tanpa henti yang kemudian

bunuh diri menyusul Dewi Anggraeni. Setelah beberapa waktu, saat Raden Panji

pulang dari Pucangan dan menemui istrinya menghilang. Raden Panji mencari

istrinya dengan penuh cemas. Dengan hati yang hancur, Raden Panji menemukan

jasad Dewi Anggraeni dan Emban Wagini berlumuran darah di tengah hutan.

Kemudian Raden Panji membawa jasad istrinya menuju kapal.


GULUNGAN V

Kepergian Dewi Anggraeni membuat Raden Panji kehilangan akal. Melihat Raden

Panji yang kebingungan, bersedih bahkan terlihat seperti orang yang tidak waras,

membuat hati Raja Jayantaka hancur dan sedih. Raja Jayantaka kemudian

memutuskan untuk bertapa. Saat Raja Jayantaka melakukan pertapaan, Raden

Panji membawa jasad istrinya untuk disemayamkan di suatu pulau. Ketika sampai

di pulau, Raden Panji melihat sosok yang menyerupai Dewi Anggraeni. Sosok itu

meminta Raden Panji untuk mengikhlaskan kepergian Dewi Anggraeni dan

kembali memimpin kerajaan. Setelah menyemayamkan jasad istrinya, Raden Panji

bergegas kembali ke kerajaan. Kembalinya Raden Panji disambut gelak tangis oleh

sang ibunda. Melihat kekosongan tahta, akhirnya Raden Panji meneruskan tahta

kerajaan Jenggala.
GULUNGAN VI

Beberapa bulan kemudian, muncullah seorang satria yang mengaku dirinya berasal

dari tanah sebrang bernama Kelana Daeng Sari. Kelana Daeng Sari suka

melakukan berbagai perbuatan mulia dan bersifat kepahlawanan. Melindungi

masyarakat, menaklukkan banyak kerajaan tanpa menduduki tahtanya. Kelana

Daeng Sari selalu didampingi oleh seorang yang sudah lanjut usia bernama Ki

Kebo Pandogo yang sakti dan sebagai penasihatnya. Suatu ketika, Kelana Daeng

Sari menaklukkan kerajaan Lumajang. Atas bisikan patihnya, Raja Lumajang

kemudian mempersembahkan seorang putra dan seorang putrinya kepada Kelana

Daeng Sari untuk dijadikan hamba sebagai tanda takluk. Sesungguhnya hal

tersebut hanya muslihat sang patih agar Kelana Daeng Sari mau tinggal di

Lumajang. Tetapi peristiwa aneh terjadi, ketika sang putra dan sang putri dating ke

hadapan Daeng Kelana Sari, sang Kelana memburu sang putrid dan berteriak

kegirangan menyebut nama Candra Kirana. Sang putri Lumajang terkejut dan

ketakutan seraya berkata bahwa namanya Lukita Sari bukan Candra Kirana.
GULUNGAN VII

Dewi Sekartaji merasa disepelekan oleh sang ayah, lantaran sang ayah telah

memutuskan untuk meminta tolong melawan Raja Metaun kepada Kelana Daeng

Sari. Sekartaji marah dan ingin membuktikan bahwa ia lebih kuat dan mampu

melawan Raja Metaun. Akhirnya Sekartaji menyamar menjadi seorang satria dan

masuk ke hutan untuk melawan Kelana Daeng Sari. Namun, Sekartaji kalah dalam

pertarungan tersebut. Kelana Daeng Sari curiga atas musuh dibalik topeng yang

menyerangnya. Sementara itu, Prabu Gajah Angun-Angun Raja Metaun, terus

berulah membuat kekacauan hingga Kelana Daeng Sari pun turun tangan

membantu kerajaan Kadiri. Melihat hal itu, Sekartaji terus memaksa untuk ikut

berperang yang pada akhirnya mengungkap kebohongannya, satri bertopeng yang

menyerang Daeng Kelana di hutan adalah dirinya. Di medan perang, akhirnya

Prabu Gajah Angun-Angun Raja Metaun mati tertusuk keris Kelana Daeng Sari.
GULUNGAN VIII

Seluruh Kediri memuji Kelana Daeng Sari yang telah membunuh Prabu Gajah

Angun-Angun. Prabu Jayawarsa mengadakan pesta kemenangan Kelana Daeng

Sari dan berpikir untuk menikahkan Kelana Daeng Sari dengan putrinya Sekartaji.

Seluruh rakyat, Kelana Daeng Sari dan Sekartaji menyetujui pernikahan tersebut.

Kabar pernikahan Kelana Daeng Sari dan Sekartaji sampai pula pada kerajaan

Jenggala, Prabu Braja Nata. Prabu Braja Nata kakak Raden Panji murka dan

merasa dihianati oleh raja Jayawarsa. Prabu Braja Nata memutuskan untuk

menyerang kerajaan Kediri. Tetapi Prabu Braja Nata bertindak hati-hati, ketika

sampai diperbatasan ia mendirikan perkemahan dan berkirim surat kepada Raja

Jayawarsa. Dalam surat tersebut Prabu Brajanata mengingatkan akan pertunangan

Raden Panji dan Sekartaji. Pertunangan itu belum pernah diputuskan meskipun

Raden Panji dikabarkan tenggelam didasar laut. Pada akhir suratnya Prabu Bradja

Nata menuntut agar pernikahan itu dibatalkan dan Kelana Daeng Sari

menyerahkan diri pada Prabu Bradja Nata. Menerima surat itu, Raja Jayawarsa

merasa gelisah sehingga menyampaikan isi surat tersebut kepada seluruh anggota

kerajaan. Dengan banyak pertimbangan, pada akhirnya Kelana Daeng Sari

memutuskan untuk menyerahkan diri pada Prabu Braja Nata


GULUNGAN IX

Pada Akhirnya, Raden Panji dan Sekartaji menikah. Mereka berdua berpindah

tempat tinggal menuju Gunung Penanggungan. Ditengah perjalanan, Raden Panji

melihat Dewi Anggraeni istri pertamanya yang sudah meninggal. Dalam

penglihatannya, Dewi Anggraeni masuk kedalam tubuh Sekartaji. Semenjak itulah

Sekartaji disebut Candra Kirana oleh Raden Panji.

Anda mungkin juga menyukai