Bermula saat Raden Panji Kuda Waneng Pati diutus sang guru yaitu Resi Saptani
untuk bertapa selama beberapa waktu. Dalam perjalanannya, Raden Panji memulai
bertapa, tanpa sengaja Raden Panji bertemu dengan seorang gadis bernama Dewi
Anggraeni. Gadis sederhana nan ayu yang menggetarkan jiwa raga Raden Panji.
Tanpa banyak berpikir Raden Panji memutuskan untuk menikahi Dewi Anggraeni.
Berita pernikahan Raden Panji dengan Dewi Anggraeni, seorang gadis tak
berbangsa, sampai juga kepada Sri Baginda Jayawarsa, Raja Kediri. Prabu
perjanjiannya untuk menikahkan Raden Panji dan Sekar Taji putrid Prabu
atas nasehat dari beberapa patihnya. Alhasil, dipanggillah Sang Kili Suci untuk
menengahi permasalah tersebut. Sang Kili Suci adalah wakil tetua dua kerajaan
baik Jenggala maupun Kediri, yang menyebabkan kerajaan Raja Airlangga dipecah
dua. Karena Sang Kili Suci tidak sudi memangku tahta dan lebih memilih
kehidupan pertapa. Pada akhirnya, hadirnya Sang Kili Suci mampu menyelesaikan
memenuhi perjanjian terdahulu, yaitu menikahkan Raden Panji dengan Sekar Taji.
GULUNGAN III
Jayantaka, Raden Panji, Tumenggung Brajanata, Patih Prasanta dan yang lainnya.
Pertemuan tersebut membahas perihal pernikahan Raden Panji dan Sekar Taji.
Dengan tegas Raden Panji menolak pernikahan tersebut yang membuat sang ayah
marah besar. Ditengah perdebatan yang memanas antara ayah dan putranya, Patih
Prasanta pun angkat bicara dan membujuk Raden Panji untuk mau menikah dengan
Sekar Taji. Kemudian, Raja menitahkan Raden Panji untuk pergi ke Pucangan
Emban Wagini tiba-tiba berhenti. Tepat di tengah hutan, setelah perjalanan yang
begitu panjang. Dengan penuh Tanya Dewi Anggraeni kemudian turun disusul
perdebatan. Semakin lama Dewi Anggraeni semakin curiga dan menyadari bahwa
dirinya tengah diculik untuk dibunuh atas perintah Raja Jayantaka, ayah
cinta dan hidupnya dengan bunuh diri menggunakan keris yang dibawa oleh
bunuh diri menyusul Dewi Anggraeni. Setelah beberapa waktu, saat Raden Panji
pulang dari Pucangan dan menemui istrinya menghilang. Raden Panji mencari
istrinya dengan penuh cemas. Dengan hati yang hancur, Raden Panji menemukan
jasad Dewi Anggraeni dan Emban Wagini berlumuran darah di tengah hutan.
Kepergian Dewi Anggraeni membuat Raden Panji kehilangan akal. Melihat Raden
Panji yang kebingungan, bersedih bahkan terlihat seperti orang yang tidak waras,
membuat hati Raja Jayantaka hancur dan sedih. Raja Jayantaka kemudian
Panji membawa jasad istrinya untuk disemayamkan di suatu pulau. Ketika sampai
di pulau, Raden Panji melihat sosok yang menyerupai Dewi Anggraeni. Sosok itu
bergegas kembali ke kerajaan. Kembalinya Raden Panji disambut gelak tangis oleh
sang ibunda. Melihat kekosongan tahta, akhirnya Raden Panji meneruskan tahta
kerajaan Jenggala.
GULUNGAN VI
Beberapa bulan kemudian, muncullah seorang satria yang mengaku dirinya berasal
dari tanah sebrang bernama Kelana Daeng Sari. Kelana Daeng Sari suka
Daeng Sari selalu didampingi oleh seorang yang sudah lanjut usia bernama Ki
Kebo Pandogo yang sakti dan sebagai penasihatnya. Suatu ketika, Kelana Daeng
Daeng Sari untuk dijadikan hamba sebagai tanda takluk. Sesungguhnya hal
tersebut hanya muslihat sang patih agar Kelana Daeng Sari mau tinggal di
Lumajang. Tetapi peristiwa aneh terjadi, ketika sang putra dan sang putri dating ke
hadapan Daeng Kelana Sari, sang Kelana memburu sang putrid dan berteriak
kegirangan menyebut nama Candra Kirana. Sang putri Lumajang terkejut dan
ketakutan seraya berkata bahwa namanya Lukita Sari bukan Candra Kirana.
GULUNGAN VII
Dewi Sekartaji merasa disepelekan oleh sang ayah, lantaran sang ayah telah
memutuskan untuk meminta tolong melawan Raja Metaun kepada Kelana Daeng
Sari. Sekartaji marah dan ingin membuktikan bahwa ia lebih kuat dan mampu
melawan Raja Metaun. Akhirnya Sekartaji menyamar menjadi seorang satria dan
masuk ke hutan untuk melawan Kelana Daeng Sari. Namun, Sekartaji kalah dalam
pertarungan tersebut. Kelana Daeng Sari curiga atas musuh dibalik topeng yang
berulah membuat kekacauan hingga Kelana Daeng Sari pun turun tangan
membantu kerajaan Kadiri. Melihat hal itu, Sekartaji terus memaksa untuk ikut
Prabu Gajah Angun-Angun Raja Metaun mati tertusuk keris Kelana Daeng Sari.
GULUNGAN VIII
Seluruh Kediri memuji Kelana Daeng Sari yang telah membunuh Prabu Gajah
Sari dan berpikir untuk menikahkan Kelana Daeng Sari dengan putrinya Sekartaji.
Seluruh rakyat, Kelana Daeng Sari dan Sekartaji menyetujui pernikahan tersebut.
Kabar pernikahan Kelana Daeng Sari dan Sekartaji sampai pula pada kerajaan
Jenggala, Prabu Braja Nata. Prabu Braja Nata kakak Raden Panji murka dan
merasa dihianati oleh raja Jayawarsa. Prabu Braja Nata memutuskan untuk
menyerang kerajaan Kediri. Tetapi Prabu Braja Nata bertindak hati-hati, ketika
Raden Panji dan Sekartaji. Pertunangan itu belum pernah diputuskan meskipun
Raden Panji dikabarkan tenggelam didasar laut. Pada akhir suratnya Prabu Bradja
Nata menuntut agar pernikahan itu dibatalkan dan Kelana Daeng Sari
menyerahkan diri pada Prabu Bradja Nata. Menerima surat itu, Raja Jayawarsa
merasa gelisah sehingga menyampaikan isi surat tersebut kepada seluruh anggota
Pada Akhirnya, Raden Panji dan Sekartaji menikah. Mereka berdua berpindah