Mohammad Hatta
Pada tangal 27 November 1956, Bung Hatta memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu Doctor Honoris
Causa dalam Ilmu Hukum dari Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. Pidato pengukuhannya berjudul
"Lampau dan Datang".
Saat berusia 15 tahun, Hatta merintis karier sebagai aktivis organisasi, sebagai bendahara Jong Sumatranen
Bond Cabang Padang. Kesadaran politik Hatta makin berkembang karena kebiasaannya menghadiri
ceramah-ceramah atau pertemuan-pertemuan politik. Salah seorang tokoh politik yang menjadi idola Hatta
ketika itu ialah Abdul Moeis. Di Batavia, ia juga aktif di Jong Sumatranen Bond Pusat sebagai Bendahara.
Ketika di Belanda ia bergabung dalam Perhimpunan Hindia (Indische Vereeniging). Saat itu, telah
berkembang iklim pergerakan di Indische Vereeniging. Sebelumnya, Indische Vereeniging yang berdiri pada
1908 tak lebih dari ajang pertemuan pelajar asal tanah air. Atmosfer pergerakan mulai mewarnai Indische
Vereeniging semenjak tibanya tiga tokoh Indische Partij (Suwardi Suryaningrat, Ernest Douwes Dekker, dan
Tjipto Mangunkusumo) di Belanda pada 1913 sebagai orang buangan akibat tulisan-tulisan tajam anti-
pemerintah mereka di media massa.
Perjuangan
Saat berusia 15 tahun, Hatta merintis karier sebagai aktivis organisasi, sebagai bendahara Jong Sumatranen
Bond (JSB) Cabang Padang. Di kota ini Hatta mulai menimbun pengetahuan perihal perkembangan
masyarakat dan politik, salah satunya lewat membaca berbagai koran, bukan saja koran terbitan Padang
tetapi juga Batavia. Lewat itulah Hatta mengenal pemikiran Tjokroaminoto dalam surat kabar Utusan
Hindia, dan Agus Salim dalam Neratja.
Pada usia 17 tahun, Hatta lulus dari sekolah tingkat menengah (MULO). Lantas ia bertolak ke Batavia untuk
melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik School. Di sini, Hatta mulai aktif menulis.
Karangannya dimuat dalam majalah Jong Sumatera, "Namaku Hindania!" begitulah judulnya. Berkisah
perihal janda cantik dan kaya yang terbujuk kawin lagi. Setelah ditinggal mati suaminya, Brahmana dari
Hindustan, datanglah musafir dari Barat bernama Wolandia, yang kemudian meminangnya. “Tapi Wolandia
terlalu miskin sehingga lebih mencintai hartaku daripada diriku dan menyia-nyiakan anak-anakku,” rutuk
Hatta lewat Hindania.
Pemuda Hatta makin tajam pemikirannya karena diasah dengan beragam bacaan, pengalaman sebagai
Bendahara JSB Pusat, perbincangan dengan tokoh-tokoh pergerakan asal Minangkabau yang mukim di
Batavia, serta diskusi dengan temannya sesama anggota JSB: Bahder Djohan. Saban Sabtu, ia dan Bahder
Djohan punya kebiasaan keliling kota. Selama berkeliling kota, mereka bertukar pikiran tentang berbagai
hal mengenai tanah air. Pokok soal yang kerap pula mereka perbincangkan ialah perihal memajukan bahasa
Melayu. Untuk itu, menurut Bahder Djohan perlu diadakan suatu majalah. Majalah dalam rencana Bahder
Djohan itupun sudah ia beri nama Malaya. Antara mereka berdua sempat ada pembagian pekerjaan.
Bahder Djohan akan mengutamakan perhatiannya pada persiapan redaksi majalah, sedangkan Hatta pada
soal organisasi dan pembiayaan penerbitan. Namun, “Karena berbagai hal cita-cita kami itu tak dapat
diteruskan,” kenang Hatta lagi dalam Memoir-nya.
Selama menjabat Bendahara JSB Pusat, Hatta menjalin kerjasama dengan percetakan surat kabar Neratja.
Hubungan itu terus berlanjut meski Hatta berada di Rotterdam, ia dipercaya sebagai koresponden. Suatu
ketika pada medio tahun 1922, terjadi peristiwa yang mengemparkan Eropa, Turki yang dipandang sebagai
kerajaan yang sedang runtuh (the sick man of Europe) memukul mundur tentara Yunani yang dijagokan
oleh Inggris. Rentetan peristiwa itu Hatta pantau lalu ia tulis menjadi serial tulisan untuk Neratja di Batavia.
Serial tulisan Hatta itu menyedot perhatian khalayak pembaca, bahkan banyak surat kabar di tanah air yang
mengutip tulisan-tulisan Hatta.
Hatta mulai menetap di Belanda semenjak September 1921. Ia segera bergabung dalam Perhimpunan
Hindia (Indische Vereeniging). Saat itu, telah tersedia iklim pergerakan di Indische Vereeniging.
Sebelumnya, Indische Vereeniging yang berdiri pada 1908 tak lebih dari ajang pertemuan pelajar asal tanah
air. Atmosfer pergerakan mulai mewarnai Indische Vereeniging semenjak tibanya tiga tokoh Indische Partij
(Suwardi Suryaningrat, Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumo) di Belanda pada 1913 sebagai
eksterniran akibat kritik mereka lewat tulisan di koran De Expres. Kondisi itu tercipta, tak lepas karena
Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara) menginisiasi penerbitan majalah Hindia Poetra oleh Indische
Vereeniging mulai 1916. Hindia Poetra bersemboyan “Ma’moerlah Tanah Hindia! Kekallah Anak-
Rakjatnya!” berisi informasi bagi para pelajar asal tanah air perihal kondisi di Nusantara, tak ketinggalan
pula tersisip kritik terhadap sikap kolonial Belanda.
Di Indische Vereeniging, pergerakan putra Minangkabau ini tak lagi tersekat oleh ikatan kedaerahan. Sebab
Indische Vereeniging berisi aktivis dari beragam latar belakang asal daerah. Lagipula, nama Indische –meski
masih bermasalah– sudah mencerminkan kesatuan wilayah, yakni gugusan kepulauan di Nusantara yang
secara politis diikat oleh sistem kolonialisme belanda. Dari sanalah mereka semua berasal.
Hatta mengawali karier pergerakannya di Indische Vereeniging pada 1922, lagi-lagi, sebagai Bendahara.
Penunjukkan itu berlangsung pada 19 Februari 1922, ketika terjadi pergantian pengurus Indische
Vereeniging. Ketua lama dr. Soetomo diganti oleh Hermen Kartawisastra. Momentum suksesi kala itu
Biografi Mohammad Hatta | 2
punya arti penting bagi mereka di masa mendatang, sebab ketika itulah mereka memutuskan untuk
mengganti nama Indische Vereeniging menjadi Indonesische Vereeniging dan kelanjutannya mengganti
nama Nederland Indie menjadi Indonesia. Sebuah pilihan nama bangsa yang sarat bermuatan politik. Dalam
forum itu pula, salah seorang anggota Indonesische Vereeniging mengatakan bahwa dari sekarang kita
mulai membangun Indonesia dan meniadakan Hindia atau Nederland Indie.
Pada tahun 1927, Hatta bergabung dengan Liga Menentang Imperialisme dan Kolonialisme di Belanda, dan
di sinilah ia bersahabat dengan nasionalis India, Jawaharlal Nehru. Aktivitasnya dalam organisasi ini
menyebabkan Hatta ditangkap pemerintah Belanda. Hatta akhirnya dibebaskan, setelah melakukan pidato
pembelaannya yang terkenal: Indonesia Free.
Pada tahun 1932 Hatta kembali ke Indonesia dan bergabung dengan organisasi Club Pendidikan Nasional
Indonesia yang bertujuan meningkatkan kesadaran politik rakyat Indonesia melalui proses pelatihan-
pelatihan. Belanda kembali menangkap Hatta, bersama Soetan Sjahrir, ketua Club Pendidikan Nasional
Indonesia pada bulan Februari 1934. Hatta diasingkan ke Digul dan kemudian ke Banda selama 6 tahun.
Pada tahun 1945, Hatta secara aklamasi diangkat sebagai wakil presiden pertama RI, bersama Bung Karno
yang menjadi presiden RI sehari setelah ia dan bung karno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Oleh karena peran tersebut maka keduanya disebut Bapak Proklamator Indonesia.
Kehidupan pribadi
Hatta menikah dengan Rahmi Rachim pada tanggal 18 Nopember 1945 di Megamendung, Bogor, Jawa
Barat. Mereka mempunyai tiga orang putri, yaitu Meutia Farida, Gemala Rabi'ah, dan Halida Nuriah. Dua
orang putrinya yang tertua telah menikah. Yang pertama dengan Dr. Sri-Edi Swasono dan yang kedua
dengan Drs. Mohammad Chalil Baridjambek. Hatta sempat menyaksikan kelahiran dua cucunya, yaitu Sri
Juwita Hanum Swasono dan Mohamad Athar Baridjambek.
Berbagai tulisan dan kisah perjuangan Muhammad Hatta telah ditulis dan dibukukan, mulai dari masa kecil,
remaja, dewasa dan perjuangan beliau untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Namun ada hal yang
rasanya perlu sedikit digali dan dipahami yaitu melihat Bung Hatta sebagai tokoh organisasi dan partai
politik, hal ini dikaitkan dengan usaha melihat perkembangan kegiatan politik dan ketokohan politik di
dunia politik Indonesia sekarang maka pantas rasanya kita ikut melihat perjuangan dan perjalanan kegiatan
politik Bung Hatta.
Setelah perang dunia I berakhir generasi muda Indonesia yang berprestasi makin banyak yang mendapat
kesempatan mengenyam pendidikan luar negeri seperti di Belanda, Kairo (Mesir). Hal ini diperkuat dengan
diberlakukannya politik balas budi oleh Belanda. Bung Hatta adalah salah seorang pemuda yang beruntung,
beliau mendapat kesempatan belajar di Belanda. Kalau kita memperhatikan semangat berorganisasi Bung
Hatta, sebenarnya telah tumbuh sewaktu beliau berada di Indonesia. Beliau pernah menjadi ketua Jong
Sematera (1918-1921) dan semangat ini makin membara dengan asahan dari kultur pendidikan Belanda /
Eropa yang bernafas demokrasi dan keterbukaan.
Keinginan dan semangat berorganisasi Bung Hatta makin terlihat sewaktu beliau mulai aktif di kelompok
Indonesische Vereeniging yang merupakan perkumpulan pemuda-pemuda Indonesia yang memikirkan dan
berusaha memajukan Indonesia, bahkan dalam organisasi ini dinyatakan bahwa tujuan mereka adalah : “
kemerdekaan bagi Indonesia “. Dalam organisasi yang keras dan anti penjajahan ini Bung Hatta makin
“tahan banting” karena banyaknya rintangan dan hambatan yang mereka hadapi.
Biografi Mohammad Hatta | 3
Walau mendapat tekanan, organisasi Indonesische Vereeniging tetap berkembang bahkan Januari 1925
organisasi ini dinyatakan sebagai sebuah organisasi politik yang kemudian dinamai Perhimpunan Indonesia
(PI). Dan dalam organisasi ini Bung Hatta bertindak sebagai Pemimpinnya. Keterlibatan Bung Hatta dalam
organisasi dan partai poltik bukan hanya di luar negeri tapi sekembalinya dari Belanda beliau juga aktif di
PNI (Partai Nasional Indonesia) yang didirikan Soekarno tahun 1927. Dalam organisasi PNI, Bung Hatta
menitik beratkan kegiatannya dibidang pendidikan. Beliau melihat bahwa melalui pendidikanlah rakyat
akan mampu mencapai kemerdekaan. Karena PNI dinilai sebagai partai yang radikal dan membahayakan
bagi kedudukan Belanda, maka banyak tekanan dan upaya untuk mengurangi pengaruhnya pada rakyat.
Hal ini dilihat dari propaganda dan profokasi PNI tehadap penduduk untuk mengusakan kemerdekaan.
Hingga akhirnya Bunga Karno di tangkap dan demi keamanan organisasi ini membubarkan diri.
Tak lama setetah PNI (Partai Nasional Indonesia) bubar, berdirilah organisasi pengganti yang dinamanakan
Partindo (Partai Indonesia). Mereka memiliki sifat organisasi yang radikal dan nyata-nyata menentang
Belanda. Hal ini tak di senangi oleh Bung Hatta. Karena tak sependapat dengan Partindo beliau mendirikan
PNI Pendidikan (Partai Nasional Indonesia Pendidikan) atau disebut juga PNI Baru. Organisasi ini didirikan di
Yogyakarta bulan Agustus 1932, dan Bung Hatta diangkat sebagai pemimpi. Organisasi ini memperhatikan “
kemajuan pendidikan bagi rakyat Indonesia, menyiapkan dan menganjurkan rakyat dalam bidang
kebathinan dan mengorganisasikannya sehingga bisa dijadakan suatu aksi rakyat dengan landasan
demokrasi untuk kemerdekaan “.
Organisasi ini berkembang dengan pesat, bayangkan pada kongres I di Bandung 1932 anggotanya baru
2000 orang dan setahun kemudian telah memiliki 65 cabang di Indonesia. Organisasi ini mendapat pengikut
dari penduduk desa yang ingin mendapat dan mengenyam pendidikan. Di PNI Pendidikan Bung Hatta
bekerjasama dengan Syahrir yang merupakan teman akrabnya sejak di Belanda. Hal ini makin memajukan
organisasi ini di dunia pendidikan Indonesia waktu itu. Kemajuan, kegiatan dan aksi dari PNI Pendidikan
dilihat Belanda sebagai ancaman baru tehadap kedudukan mereka sebagai penjajah di Indonesia dan
mereka pun mengeluarkan beberapa ketetapan ditahun 1933 diantaranya:
Akhirnya ditahun 1934 Partai Nasional Indonesia Pendidikan dinyatakan Pemerintahan Kolonial Belanda di
bubarkan dan dilarang keras bersama beberapa organisasi lain yang dianggap membahayakan seperti :
Partindo dan PSII. Ide-ide PNI Pendidikan yang dituangkan dalam surat kabar ikut di hancurkan dan surat
kabar yang menerbitkan ikut di bredel. Namun secara keorganisasian, Hatta sebagai pemimpin tak mau
menyatakan organisasinya telah bubar. Ia tetap aktif dan berjuang untuk kemajuan pendidikan Indonesia.
Soekarno yang aktif di Partindo dibuang ke Flores diikuti dengan pengasingan Hatta dan Syahrir. Walau para
pemimpin di asingkan namun para pengikut mereka tetap konsisten melanjutkan perjuangan partai. PNI
Pendidikan tetap memberikan kursus-kursus, pelatihan-pelatuhan baik melalui tulisan maupun dengan
kunjungan kerumah-rumah penduduk.
Dalam sidang masalah PNI Pendidikan M.Hatta, Syahrir, Maskun, Burhanuddin ,Bondan dan Murwoto
dinyatakan bersalah dan dibuang ke Boven Digul (Papua). Demi harapan terciptanya ketenangan di daerah
jajahan. Walau telah mendapat hambatan yang begitu besar namun perjuangan Hatta tak hanya sampai
disitu, beliau terus berjuang dan salah satu hasil perjuangan Hatta dan para pahlawan lain tersebut adalah
kemerdekaan yang telah kita raih dan kita rasakan sekarang.
Sebagai tulisan singkat mengenai sejarah ketokohan Muhammad Hatta di organisasi dan partai politik yang
pernah beliau geluti, kita haruslah dapat mengambil pelajaran dari hal ini. Karena sejarah tak berarti apa-
apa bila kita tak mampu mengambil manfaat dan nilai-nilai positif didalamnya. Dari kehidupan Hatta di
dunia politik kita bisa melihat bahwa : Munculnya seorang tokoh penting dan memiliki jiwa patriot yang
tangguh dan memikirkan kehidupan orang banyak serta memajukan bangsa dan negara “bukan hanya
muncul dalam satu malam” atau bukanlah tokoh kambuhan yang muncul begitu saja, dan bukanlah sosok
Biografi Mohammad Hatta | 4
yang mengambil kesempatan untuk tampil sebagai pahlawan dan sosok pemerhati masyarakat. Tapi tokoh
yang dapat kita jadikan contoh dan panutan dalam organisasi, partai, dan kehidupan berbangsa dan
bernegara yang sesunguhnya adalah seorang sosok yang lahir dan tumbuh dalam lingkungan masyarakat, ia
terlatih untuk mampu memahami keinginan dan cita-cita masyarakat, serta bertindak dengan
menggunakan ilmu dan iman.
Seiring dengan meruaknya wacana demokrasi, terutama di era reformasi kita bisa melihat bahwa di
Indonesia berkembang berbagai partai baru yang jumlahnya telah puluhan. Dalam kenyataanya
memunculkan nama-nama baru sebagai tokoh, elit partai, elit politik yang berpengaruh di berbagai partai
tersebut. Ada juga tokoh politik yang merupakan wajah-wajah lama yang konsisten di partainya atau
beralih membentuk partai baru. Apakah mereka sudah pantas dikatakan sebagai tokoh, elite politik / elite
partai?. Sebagai salah satu sosok tokoh ideal, dengan mencontoh ketokohan Bung Hatta kita harus mampu
melihat berapa persen diantara tokoh-tokoh, orang-orang penting, elite politik / elite partai di Indonesia
sekarang yang telah memperhatikan kehidupan masyarakat, berapa persen diantara mereka yang sudah
melakukan usaha untuk memajukan kehidupan masyarakat Indonesia baik di bidang ekonomi, pendidikan,
politik dan lain-lain.
Dalam kenyataannya, kebanyakan kita melihat tokoh politik, elite politik dan tokoh-tokoh partai di
Indonesia dewasa ini kurang memperhatikan kehidupan dan kemajuan masyarakat. Mereka hanya
mengambil simpati masyarakat disaat-saat mereka membutuhkan suara dan partisipasi penduduk, seperti
saat-saat akan diadakannnya pemilihan umum (nasional), saat diadakannya pemilihan kepala daerah
(Pilkada), setelah kegiatan itu berlangsung mereka mulai meninggalkan dan melupakan masyarakat. Namun
ada beberapa partai dan tokoh yang sering terlihat dalam berbagai kegiatan social dan memperhatikan
masyarakat.
Apakah kita masih menganggap bahwa seorang penjahat, pemaling (koruptor) yang lolos dari sergapan
hukum sebagai tokoh panutan kita di organisasi, partai politik, pemerintahan, atau kehidupan sehari-hari?.
Jadi pantaslah kita belajar dari ketokohan Muhammad Hatta dalam kehidupan politiknya yang selalu
bertindak demi kesejahteraan dan kemajuan rakyat Indonesia.
12 Agustus 1902
Lahir Bukittinggi, Sumatera Barat, Hindia
Belanda
14 Maret 1980 (umur 77)
Meninggal
Jakarta, Indonesia
Kebangsaan Indonesia
Partai politik Non partai
Suami/Istri Rahmi Rachim
Meutia Hatta
Anak Gemala Hatta
Halida Hatta
Agama Islam