Anda di halaman 1dari 6

Gubernur BI: Suku Bunga Nol Persen Tak

Jamin Ekonomi Maju


Gubernur BI Perry Warjiyo memberikan
penjelasan kepada wartawan di Jakarta, Kamis
(20/6/2019). RDG Bank Indonesia 19-20 Juni
2019 memutuskan untuk mempertahankan
BI7DRR sebesar 6,00%, suku bunga Deposit
Facility sebesar 5,25%, dan suku bunga Lending
Facility sebesar 6,75%.(Liputan6.com/Angga
Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Gubernur Bank


Indonesia Perry Warjiyo menjelaskan bahwa suku
bunga nol persen sudah terbukti bukan jaminan
ekonomi negara bisa maju. Ia berkata sudah ada
negara-negara maju yang suku bunganya rendah
tapi tak efektif mendorong pertumbuhan.

Perry menyebut kini bank sentral sudah tidak


dapat mengandalkan suku bunga saja. Berbagai
negara juga mulai memadukan kebijakan suku
bunga dan kuantitatif.

"Terlihat di sejumlah negara maju suku bunga


sudah nol tapi kurang mampu menjaga stabilitas
harga atau bahkan mendorong pertumbuhan, sehingga di sejumlah negara maju melakukan
pelonggaran kuantitatif dari sisi uang beredar. Jadi respons kebijakan dari bank sentral tak bisa
hanya mengandalkan suku bunga," ujar Perry di Bali, Kamis (29/8/2019).

Gubernur Perry mengingatkan bahwa tugas bank sentral di berbagai negara tak melulu soal suku
bunga dan inflasi, tetapi ikut menjaga stabilitas sistem keuangan sehingga kebijakan
makroprudensial diterapkan di berbagai negara.

"Bank sentral perlu mengkomplementer suku bunga dengan stabilitas nilai tukar, kebijakan uang
beredar, dengan kemudian makroprudensial," ujar orang nomor satu di Bank Indonesia ini.

Berkurangnya keefektifan suku bunga dinilai Perry sebagai salah satu dari empat tanda
melemahnya globalisasi dan bangkitnya digitalisasi. Tiga pertanda lain adalah perang dagang,
arus modal dan nilai tukar yang volatile, dan maraknya digitalisasi.

 
Gubernur BI: Perang Dagang jadi Tanda Kematian Era
Globalisasi
Gubernur Bank Indonesia Perry
Warjiyo menyampaikan keynote
speech pada Konferensi Internasional
Bulletin of Monetary Economics and
Banking (BEMB) yang ke-13. Acara
yang berlangsung di Bali ini dihadiri
akademisi dari seluruh dunia dan
bertajuk menjaga stabilitasi di era
disrupsi digital.

Pidato Gubernur Perry bertema Dead


of Globalization and the Rise of
Digitalization
(Kematian Globalisasi dan Kebangkitan Digitalisasi). Ia mengajak para akademisi dan
pengambil kebijakan memahami pertanda terjadinya fenomena itu demi merespons secara bijak
dan Perry menyebut ada empat pertanda.

"Bank Sentral mesti memahami lebih baik apa saja karakteristik di era kematian globalisasi dan
kebangkitan digitalisasi. Karakteristik pertama adalah kebangkitan anti-perdagangan global. Kita
sedang menghadapi perang dagang antara AS dan China, serta AS dengan negara lain," ujar
Gubernur Perry pada Kamis (29/8/2019) di Bali.

Menurutnya, perang dagang justru berbeda dari teori-teori ekonomi yang ada karena
perdagangan global justru bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi, produktivitas, dan
kemakmuran. Efek perang dagang pun menjalar ke negara-negara lain, termasuk negara Asia.

"Ini perlu kita sikapi bahwa ketegangan perdagangan tidak baik. Itu akan menurunkan
perdagangan internasional, menurunkan pertumbuhan ekonomi tak hanya dua negara yang
berperang tapi juga semua negara," ujar Perry.

Pertanda Lain
Rapat Koordinasi Nasional
Pengendalian Inflasi 2019.

Gubernur BI juga mengingatkan


pertanda lain kematian globalisasi dan
bangkitnya digitalisasi, yakni seperti
arus modal antar negara dan nilai yang
volatile, respons Bank Sentral yang
perlu ditingkatkan, serta maraknya
digitalisasi sektor keuangan.
Kalangan ekonom memprediksi AS akan mengalami resesi pada 2021 mendatang jika perang
dagang berlanjut antara AS-China. Proteksionisme AS juga berpotensi berlanjut jika Presiden
Trump terpilih kembali di pemilu 2020.

https://www.liputan6.com/bisnis/read/4049950/gubernur-bi-suku-bunga-nol-persen-tak-jamin-ekonomi-
maju

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Melambat,


Ini Buktinya
Pemandangan gedung bertingkat di
kawasan Bundaran HI, Jakarta, Kamis
(14/3). Kondisi ekonomi Indonesia
dinilai relatif baik dari negara-negara
besar lain di Asean.
(Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Sejumlah


ekonom mulai menyoroti beberapa
indikator pertumbuhan ekonomi
Indonesia hingga semester I 2019. Hal
ini dikarenakan beberapa hal mulai
menunjukkan perlambatan.

Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia (EconAct) Ronny P Sasmita, salah satunya.
Menurutnya, ada lima hal yang bisa menjadi lampu kuning bagi pemerintah.

Pertama, stagnasi tingkat konsumsi rumah tangga. Berdasarkan data dari BPS, ekonomi
Indonesia kuartal I 2019 hanya tumbuh 5,07 persen dibandingkan periode sama tahun lalu atau
tumbuh negatif 0,52 persen dibandingkan dengan kuartal sebelumnya. Salah satu penyebab
ekonomi tumbuh tidak maksimal adalah melambatnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga.

"Pada kuartal I 2019, pertumbuhan konsumsi tercatat sebesar 5,01 persen secara tahunan. Meski
lebih baik dibanding periode yang sama tahun lalu, angka tersebut sedikit melambat dari kuartal
IV 2018 yang mencapai 5,08 persen," kata Ronny kepada Liputan6.com, Minggu (21/7/2019).

Sebagai kontributor terbesar, kata Ronny, konsumsi rumah tangga menjadi salah satu acuan
untuk mengukur ekonomi secara keseluruhan. Tren pertumbuhan konsumsi selalu sejalan dengan
laju pertumbuhan ekonomi. Saat konsumsi melambat, hampir dipastikan akan berefek pada
agregat pertumbuhan ekonomi.
Sebut sana misalnya data PDB Triwulan IV-2017, kontribusi konsumsi sektor rumah tangga
dalam perhitungan PDB masih dominan, yaitu 56,13 persen terhadap PDB. Namun kontribusi
tersebut menurun dari Triwulan IV-2016 (56,56 persen). Penurunan terjadi akibat imbas dari
konsumsi rumah tangga yang hanya tumbuh sebesar 4,97 persen (yoy) atau menurun dibanding
Triwulan IV-2016 (4,99 persen).

Kedua adalah pelemahan kapasitas ekspor nasional akibat pertumbuhan ekonomi global yang
melambat. Berdasarkan data BPS, selama periode Januari-Juni 2019, ekspor Indonesia tercatat
US$80,32 miliar atau turun 8,57 persen dibanding periode yang sama tahun lalu yang sebesar
USD 87,88 miliar.

Penurunan ekspor memberikan gambaran lesunya sektor-sektor terkait, terutama sektor


komoditas yang merupakan penopang ekspor terbesar Indonesia.

 Investasi Melambat
Pekerja menyelesaikan pembangunan gedung bertingkat di Jakarta, Senin (7/5). Badan Pusat
Statistik (BPS) melansir pertumbuhan ekonomi kuartal 1 2018 mencapai 5,06%.
(Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Ketiga adalah perlambatan investasi. Pada kuartal I lalu, dipaparkan Ronny, Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM) mencatat investasi sebesar Rp195,1 triliun atau hanya tumbuh 5,3
persen. Padahal, di periode yang sama tahun lalu, pertumbuhannya bisa mencapai 11,8 persen
secara tahunan.

Perlambatan investasi juga terlihat dari data pertumbuhan Pembentukan Modal Tetap Bruto
(PMTB). Pada kuartal I lalu, PMTB hanya tumbuh 5,03 persen, melambat dibandingkan periode
yang sama tahun lalu yang mencapai 7,94 persen.

Keempat, yang tak kalah mengkhawatirkan adalah dari sisi penerimaan negara. Di sektor pajak,
pada semester I 2019, realisasinya tercatat Rp603,34 triliun atau 38,24 persen dari target APBN
2019. Jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu, realisasi tersebut hanya tumbuh 3,7
persen.

Pemasukan dari Pajak Penghasilan (PPh), penolong terbesar setoran pajak, hanya mampu
tumbuh 4,71 persen menjadi Rp376,33 triliun. Bahkan, setoran Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) merosot 2,66 persen menjadi Rp212,32 triliun.

Jika dilihat secara sektoral, industri pengolahan, kontributor terbesar penerimaan pajak,
setorannya tahun ini tercatat Rp160,62 triliun atau turun 2,6 persen dibandingkan tahun lalu. Pun
penurunan juga terjadi pada penerimaan pajak di sektor pertambangan sebesar 14 persen menjadi
Rp33,43 triliun.

Padahal, di periode yang sama tahun lalu, setoran pajak sektor pertambangan melesat 80,3
persen. Apalagi, lesunya harga komoditas juga berimbas pada raupan Penerimaan Negara Bukan
Pajak (PNBP). Sepanjang Januari- Juni 2019, realisasi PNBP tercatat Rp209,08 triliun atau
hanya tumbuh 18,24 persen secara tahunan. 

 Transaksi Berjalan
Pemandangan gedung bertingkat di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Kamis (14/3). Bank
Indonesia (BI) optimistis ekonomi Indonesia akan lebih baik di tahun 2019.
(Liputan6.com/Angga Yuniar)

Kelima, ada ancaman yang juga datang dari sisi internal, yakni dari sisi transaksi berjalan. Belum
lama ini, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Indonesia bahkan memperkirakan bahwa defisit transaksi berjalan alias current
account deficit (CAD) pada kuartal II/2019 akan memburuk dibandingkan dengan kuartal
sebelumnya. 

"Perkiraan tersebut sejalan dengan proyeksi Bank Indonesia, yang secara umum memprediksi
bahwa kinerja neraca pembayaran Indonesia kuartal II/2019 tetap terjaga sehingga menopang
stabilitas eksternal Indonesia," ungkap Ronny.

Menurut BI, perkembangan tersebut ditopang oleh surplus transaksi modal dan finansial yang
lebih tinggi dari prakiraan sebelumnya. Namun demikian, BI mengingatkan bahwa defisit
transaksi berjalan diprakirakan akan melebar dipengaruhi oleh kinerja ekspor barang dan jasa
yang menurun.

"Selain itu, faktor lain yang ikut mempengaruhi adalah perilaku musiman terkait dengan
peningkatan kebutuhan repatriasi dividen dan pembayaran bunga utang luar negeri," pungkas
dia.

https://www.liputan6.com/bisnis/read/4018038/pertumbuhan-ekonomi-indonesia-melambat-ini-buktinya
TUGAS EKONOMI
Berita Masalah
Pertumbuhan Ekonomi
D

OLEH
Nama : dandy BINTANG N
KELAS : XI MIA3

Anda mungkin juga menyukai