Anda di halaman 1dari 3

Nama : Indra Cipta Putra Samosir

NPM : 1706052901

Sumber Bacaan :

Kriesberg, L. (2008). Waging conflicts constructively. In D. D. Sandole, S. Byrne, I. Sandole,


Staroste, & J. Senehi, Handbook of Conflict Analysis and Resolution (pp. 157-169).
London: Routledge.

Tulisan ini berfokus pada pendekatan konstruktif, yang mana melihat konflik dari segi seluruh
tahapan di dalamnya, tidak terbatas hanya pada fase penyelesaian konflik. Dengan topik utama CAR
(conflict analysis and resolution), dijelaskan bahwa konflik harus dikembangkan ke arah di mana
kedua belah pihak mendapatkan keuntungan bersama yang maksimal dan meminimalisasi kerugian
sebisa mungkin. Namun fakta bahwa keuntungan bersama adalah hal yang sulit untuk dicapai karena
salah satu pihak cenderung memiliki kuasa yang lebih, standar konstruktif konflik di sini
menggunakan acuan hak asasi manusia.

Adapun hakikat konflik pada dasarnya tidak ada yang sepenuhnya konstruktif atau destruktif.
Sebab konflik sangat subjektif, di mana hal menguntungkan bagi satu pihak bisa jadi merugikan bagi
pihak lainnya. Destruktivitas dari konflik seringkali terjadi secara asimetris, terutama di konflik
dengan kekuatan yang sangat kontras seperti kejahatan genosida oleh pihak berkuasa. Kekonstruktifan
dari konflik juga bervariasi dari tahap mana konflik tersebut sedang terjadi, apakah sedang eskalasi,
penyelesaian, atau proses pemulihan.

Escalating conflicts constructively

Eskalasi konflik yang konstruktif memang sangat terdengar asing dan sulit dicapai, sebab
eskalasi biasanya dipahami sebagai peningkatan kekerasan oleh satu pihak terhadap pihak lainnya.
Adapun dalam bahasan ini eskalasi dapat dipahami bisa dilakukan dengan cara non-kekerasan dan
kekerasan koersif.

Berbagai penelitian menyatakan bahwa eskalasi dengan cara non-kekerasan cenderung lebih
efektif dalam mencapai peningkatan di bidang sosiopolitik dan pencegahan agresi. adapun tindakan
non-kekerasan yang dimaksud adalah demonstrasi, penolakan mengikuti aturan opresif, pembentukan
institusi otonom, dan mengurangi ketergantungan atas pihak kedua. Selain itu, metode konstruktif
lainnya adalah persuasi dan menjanjikan manfaat dari kesepakatan. Di sini, satu pihak menjanjikan
dan meyakinkan bahwa dengan mengikuti kesepakatan yang diajukan mereka tidak akan mengalami
kerugian.

Pendekatan memahami konflik secara konstruktif juga menyoroti potensi eskalasi destruktif.
Biasanya eskalasi yang disertai kekerasan destruktif akan dilakukan oleh pihak yang memiliki
kapasitas koersif yang rendah. Di sini tindakan kekerasan oleh kelompok minor dapat dilakukan untuk
memicu respons keras dari kelompok antagonis dominan, sehingga pada akhirnya akan membuat
perjuangan mereka lebih tersorot dan kemudian mendapatkan dukungan lebih.

Eskalasi juga dapat diperoleh dengan bantuan pihak ketiga. Di sini pihak ketiga dapat
berperan membantu membatasi atau menghentikan eskalasi destruktif dengan cara menghentikan
dukungan terhadap pihak yang memulai eskalasi destruktif. Selain itu organisasi internasional dapat
melakukan embargo atau sanksi yang bisa membatasi eskalasi konflik dan membatasi kerugian yang
diderita satu pihak, yang mana akan membantu upaya penyelesaian konflik. Strategi lain yang dapat
dilakukan adalah upaya membantu pembentukan kebijakan oleh perwakilan pemerintah, organisasi
pemerintahan internasional, dan NGO.

Settling conflicts constructively

Penyelesaian konflik secara konstruktif, terutama setelah terjadi eskalasi yang destruktif,
sangat bergantung pada banyak faktor.

 Faktor internal
Apa yang dianggap tepat sebagai solusi bagi satu pihak belum tentu tepat bagi pihak lainnya.
Di sini ideologi dan kepercayaan religi biasanya menjadi alasan untuk menjustifikasi langkah
apa yang dianggap benar. Namun kepercayaan juga dapat membawa arah penyelesaian
konflik menjadi lebih inklusif dan tidak merugikan pihak yang berlawanan.
 Faktor relasional
Bagaimana pihak-pihak dalam konflik berhubungan sangat memengaruhi bagaimana konflik
terbentuk dan konflik tersebut diakhiri. Salah satu contoh yang menggambarkan hal ini adalah
sebuah penelitian menunjukkan bahwa negara yang memiliki hubungan relasional dan
perdagangan yang tinggi memiliki kemungkinan berperang yang lebih rendah. Di sini pihak
yang terbiasa berhubungan dengan pihak lain memiliki kecenderungan untuk lebih
menghindari eskalasi konflik yang mereka alami secara destruktif.
 Faktor eksternal
Pada hari ini konflik lokal sekalipun dapat dengan mudah diketahui oleh seluruh dunia, hal ini
akan menunjang de-eskalasi dan penyelesaian konflik. Hal ini dapat dilihat sebagai erupsi dari
konflik atau eskalasi dari konflik. Di sini intervensi eksternal dapat berperan lebih besar
apabila melibatkan aktivitas organisasi transnasional baik oleh pemerintahan atau NGO.

Building peace after destructive conflict

Salahsatu strategi agar upaya penyelesaian konstruktif lebih tahan lama adalah melalui
pembentukan institusi yang menjaga kebergantungan satu sama lain, membentuk kerjasama,
meningkatkan interaksi sosial dan kultural, serta membentuk atau menjaga suatu tujuan utama secara
bersama-sama.

Beberapa strategi dapat ditujukan pada pembentukan aturan dan institusi yang menyediakan
prosedur untuk menangani perselisihan. Prosedur ini dapat meliputi pelatihan dalam negosiasi dan
mediasi, yang mana akan disediakan oleh institusi pendidikan dan oleh NGO transnasional.

Adapun beberapa strategi lain lebih relevan dilakukan pada penyelesaian konflik destruktif,
yakni upaya rekonsiliasi, pengupayaan keadilan, kebenaran, keamanan dan penghormatan kepada
sesama. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberikan kompensasi kepada korban masa lalu dan
menghukum secara proporsional pelakunya. Keadilan juga dapat dicapai melalui pembentukan aturan
dan institusi yang dapat mencegah ketidakadilan di masa depan. Keamanan juga adalah hal utama
apabila kita berbicara tentang rekonsiliasi. Hal ii adalah perhatian utama sebab orang yang pernah
menjadi korban akan sangat ingin diyakinkan bahwa mereka telah aman dari tragedi yang pernah
menimpanya.

Anda mungkin juga menyukai