Anda di halaman 1dari 4

Nama : Elisama Febrian Anthom Wakum

No : 02
Kelas : XII MIPA 8

Kehidupan Setelah kematian


Mau tidak mau, Adi buka buku itu. Dengan perlahan Adi pegang sampul buku itu, lalu dibaliknya. Angin
berhembus kencang, Adi bergetar ketakutan, tak pernah ia kira akan ada hembusan angin yang kencang
dalam gudang tua yang tertutup ini. Tiba-tiba buku tersebut bergerak sendiri, seakan hidup dan
membalik-balikkan halaman demi halaman hingga ke bagian tengah. Adi terkejut, mundur ia selangkah
kebelakang. Namun rasa ketakutannya mengalahkan akalnya, ia bergerak mendekati buku itu, dilihatnya
bagian tengah buku tersebut.

“Aaaahhh…!!!”. Adi melompat kaget, tersungkur jatuh ke tanah. Untung sikunya menahan posisi
badannya sehingga ia tidak jatuh terlentang dan kepalanya selamat. Bisa ia rasakan sikunya berdarah
karena tergores lantai gudang yang kasar dan kotor. Ia ketakutan. Badannya bergetar hebat, bajunya basah
seperti mandi keringat. Ia tak bisa berkata-kata, berdiri pun tidak bisa. “SATAN” pikirnya, kepala
kambing dengan sebuah pentagram persis di tengah buku. Keluarlah cahaya merah dari lambang setan
tersebut hingga menerangi langit-langit gudang. Tiba-tiba ruangan gudang tersebut menjadi gelap, seakan
diselimuti kabut hitam yang pekat. Kepalanya menengadah, dan matanya terbelalak. Terlintaslah di
benaknya akan kejadian yang menimpanya…

Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Lalu lintas masih ramai dengan mobil dan motor, pejalan kaki
masih banyak berlalu-lalang di pinggir jalan yang baru di aspal. Walikota telah menyulap kota ini dengan
membangun trotoar yang indah dan besar di pinggir jalan dan menghiasinya dengan bangku taman,
disertai dengan bollard yang menambah kesan estetika. Lampu jalanan menyala menambah keramaian
kota. Itu semua memang program walikota yang baru terpilih pada periode keduanya, sebagai bukti
baktinya pada masyarakat.

Seperti hari-hari sebelumnya, anak itu pulang menggunakan angkot malam. Namanya Adi. Ia pulang
dengan berjalan kaki dari sekolah sekitar 5 menit, hingga sampai di pinggir jalan sudirman, lalu
mengambil angkot. Ia duduk lemas di angkot. Bibirnya berdarah, namun ia seperti tak merasakan apa-
apa. Pipinya bengkak, berwarna kebiru-biruan. Matanya sayu, dengan pandangan kosong. Kalau ada
orang yang melihatnya, mungkin akan mengira bahwa pikirannya pun kosong, namun nyatanya tidak.
Pikirannya kacau, bergejolak. Ibarat laut samudera, tampak tenang di permukaan namun terdapat arus
yang sangat deras di dasar. Ia tampak tenang dengan pembullyan yang terjadi padanya, padahal ia
sebenarnya sangat tertekan. Ia sudah tidak bisa sabar dengan apa yang dihadapinya. Perlahan meneteslah
air matanya, mengalir perlahan di pipinya. Ia tidak menghapusnya, untunglah malam itu penumpang
angkot sepi, hanya ia seorang ditemani pak supir.
“Mati saja kalian semua!!!” hardiknya keras sambil menggigit jari jempolnya hingga berdarah. Ia sudah
tak bisa memendamnya lagi, ia pun menangis sambil meratapi nasibnya. Dari pagi hingga pulang sekolah,
teman-temannya mengucilkannya. Ia tidak tahu kenapa ia bisa ditempatkan di kelas itu, ya, kelas yang
menurutnya adalah neraka dunia. Ia tahu, bahwasanya “mereka”, teman-teman sekelasnya, adalah setan-
setan munafik bermuka dua. Tidak, masalah ini tidak sesederhana kelas, ia tahu yang bermasalah adalah
sekolah ini, yang menurutnya dipenuhi kebencian dari para penghuninya. Ia tidak tahu kenapa ia
mendapat sekolah itu, ia sudah belajar giat agar bisa mendapat sekolah terbaik. Orang bilang usaha tidak
akan mengkhianati hasil, namun ia tahu, hasilnya telah mengkhianati dia sendiri, yang mencampakkan ia
pada neraka dunia ini, yaitu “sekolah”.

Namun masalahnya tidak sesederhana itu. Tidak, sekolah bukanlah neraka dunia ini, namun dunia ini
adalah neraka itu sendiri. Ia tidak tahu kenapa ia ditempatkan di neraka ini. Sudah sering ia mendengar
bahwa neraka adalah tempat pembalasan bagi orang-orang yang berbuat jahat di dunia, namun ia tidak
mengerti kenapa ia lahir di neraka. Lahir dari Rahim orangtua dalam keadaan premature 7 bulan, dan
memiliki fisik yang lemah. Umur 7 tahun ia terserang Syndrome Steven Johnson, hingga membuat dia
harus dirawat intensif di rumah sakit selama 2 minggu. Kesialannya tidak sampai disitu, orangtuanya
harus menanggung biaya rumah sakit yang besar hingga membuat keretakan pada hubungan keluarganya.
Dia yang masih polos setiap hari harus mendengar pertengkaran ayah dan ibunya, membuat mentalnya
hancur. Broken Home. Itulah pikiran tetangga dan teman-temannya. Itulah sebabnya teman-teman sebaya
menjauhinya, padahal ia tahu itu bukan salahnya. Bukan salahnya lahir secara premature dan
berpenyakitan. Bukan salahnya mendapat orangtua yang sering bertengkar. Bukan salahnya…

“hiks hiks…, bukan salahku.. hiks hiks…” ia menangis, lalu termenung sejenak dalam duduknya. “dunia
inilah yang salah…!!!” teriaknya kuat tiba-tiba, wajahnya merah kecoklat-coklatan, seperti apel busuk.
“sudah sepatutnya dunia ini hancur…, sudah sepatutnya mereka musnah…, sudah sepatutnya dunia ini
berubah… jadi NERAKA!!!” hardiknya kuat-kuat, nafasnya mulai tak beraturan, tangannya sudah
mengepal terlalu kuat, tampaklah urat nadi di leher dan tangannya. “Duggg…”, ia terdiam. Seperti ada
yang menusuk dadanya, merasuk tepat dalam jiwanya, redalah kemarahannya.

Fikiran dan akalnya kembali, kembalilah ia ke tempatnya semula, berada di angkot. Aneh, fikirnya. Dia
merasa ganjil dengan suasananya, terlalu “tenang”. Padahal ia sempat berteriak sebelumnya. Dilihatnya
keluar kaca angkot, “ini… dimana?” ucapnya pelan. Sekitarnya rimbun dengan semak-semak dan
pepohonan layaknya hutan. Hanya sedikit lampu jalanan, itupun hidup-mati. Ini bukan jalan ke rumahnya.
Hilanglah keindahan dan keramaian kota tadi. Semuanya mendadak hening, sepi. Ia pun melihat ke
depan, ke arah pak sopir. Ia tertegun. Pucat, wajahnya sangat pucat seperti memakai bedak tebal,
pandangannya kosong kedepan. Angkot mulai hilang arah, membuat Adi mulai panik. Keringatnya
mengalir deras.

Dengan cepat dan panik ia langsung memegang pundak sopir. “pak, berhenti pak!!!”. Dingin terasa.
“Kriittttt…” tiba-tiba angkot oleng, isi dalamnya berguncang-guncang dengan kuat. “sial!!!”, pikir Adi. Ia
berusaha memegang kursi supir. BUMMM!!!, dia terlempar ke bagian depan angkot. Angkot tersebut
telah menabrak pohon besar di kiri jalan. “Ngiiinggggg…” Kepalanya berdenging kuat menghantam
dashboard angkot. Darah mengucur keluar dari kepala dan hidung Adi. “uuhh…” ia berusaha meraba-
raba sesuatu dengan mata terpejam. Puk, dipegangnya sesuatu yang dingin. Ia membuka mata. “aahhh…”
Teriaknya sembari melompat kaget. Itu tangan pak supir. Tubuhnya pucat, mengeluarkan busa dari mulut.

Adi segera keluar dari angkot dengan memegang kepalanya yang sakit. Angkot tersebut rusak parah.
“kiikkk kiikkk…” tiba-tiba keluar banyak kelelawar dari mulut supir angkot, memecahkan kaca depan
angkot dan terbang ke langit. Adi merinding melihatnya. Badannya bergetar hebat, ia tak percaya dengan
yang dilihatnya barusan. Diluar Logika, pikirnya. Ia tak ambil pusing, dilihatnya keadaan sekitar. Gelap
dan mencekam. Ia tidak tahu dimana ini, semuanya terasa asing. Tak ada orang sama sekali di jalan.

“srekk srekkkk…” suara sesuatu dari semak dan pohon di sekitarnya. Keluarlah siluet hitam, berbentuk
mahluk dengan enam tangan dan leher yang sangat panjang seperti ular dari semak. Tak hanya satu, ia
melihat makhluk-makhluk aneh di seberang jalan, keluar dari balik hutan. Ia panik, untung ia segera
melihat sebuah gudang kayu dibelakang pohon yang ditabraknya. Jaraknya sekitar 20 meter. Dengan kaki
yang pincang, ia pun segera berlari menuju gudang. SIAL! SIAL! SIAL! Fikirnya, apa yang sedang
terjadi???

Pintu gudang tidak dikunci, ia langsung mendobrak ke dalam gudang. Dengan cepat ia langsung menutup
pintu gudang dan menguncinya dari dalam. “Dukkkk” ia langsung terduduk lemas di balik pintu, dengan
memegang kepalanya. Remang-remang. Gudang ini berbentuk persegi dengan banyak alat perkakas di
sekitarnya, dengan sebuah meja aneh di tengah ruangan dan sebuah buku tebal diatasnya. Belum hilang
paniknya, Adi dikejutkan dengan penampakan tulisan berwarna merah darah di langit-langit gudang.

“BUKA BUKU ITU MAKA KEINGINAN TERBESARMU AKAN TERKABUL!!!”. Adi tersentak
bangun dari duduknya. “hihihi.. hik… dorr… dorrr”, makhluk-makhluk aneh tersebut mulai mencoba
masuk, Adi mulai berlari menjauh dari pintu, mendekat ke bagian tengah ruangan. Dilihatnya diatas meja
berbentuk segi-enam tersebut, dengan corak bintang daud di permukaannya, terdapat sebuah buku. Buku
tersebut sudah tua dan usang, dengan sampul coklat tebal dan berjudul “SATANIC”. Teringatlah ia akan
cerita bahwa zaman dahulu terdapat pemuja setan yang disebut SATANIC, mereka memuja sosok
berkepala kambing yang mereka namakan “BAPHOMET”. BAPHOMET, sosok yang dia ingat memiliki
wajah seperti kambing, bersayap, dan memiliki tanduk seperti setan serta tubuh manusia… ya, persis
seperti yang dilihatnya sekarang. Perlahan ia mulai sadar bahwa ia telah membuka buku tersebut!!!.

“KEINGINANMU TELAH TERKABULKAN!!!”, suara BAPHOMET terngiang berkali-kali di


telinganya, seakan tidak mau berhenti. Adi makin pusing, ia menutup mata dan telinganya bersamaan,
berusaha melupakan semuanya, dan berharap ini semuanya hanya mimpi, dan ia akan terbangun.
“Bang! Bisa diam gak!” bentak pak supir, Adi tersadar. Bajunya keringatan, nafasnya tak karuan. Ia baru
sadar bahwa ia masih di angkot. Ia baru saja kembali. Adi berusaha menenangkan diri dan mencerna apa
yang terjadi. Ia merebahkan badan sejenak, dilapnya keringat di kepala dan bernafas lega. “untung semua
cuman mimpi”, fikirnya tenang.

“Kriiitttt… aaahhhhh” angkot direm mendadak hingga berhenti bersamaan dengan teriaknya pak supir
mengangetkan Adi. “lari Bang!!!” teriak pak supir yang sudah lari keluar angkot. “Ahh” desah Adi pelan,
ia keluar angkot dengan perlahan sambil mencerna semuanya. Langit telah berubah merah, makhluk-
makhluk aneh telah memenuhi seisi kota dan mulai memakan para penghuninya. Udara makin lama
makin terasa panas, bau udara makin busuk diiringi suara menjerit dari segala penjuru kota.

“toloongg… ahhh awas… aahhh… huhuhu… hiks… hiks” suara teriakan dan tangisan mulai bercampur
di udara. Tidak ada lagi keindahan kota, lampu jalanan padam, darah tergenang dimana-mana, Adi
berjalan pelan menyusuri trotoar, sebelum akhirnya ia melihat ada seekor burung bersayap 4 mulai
mengarah ke dirinya. Adi tersenyum. “setidaknya keinginanku sudah terpenuhi”.

Anda mungkin juga menyukai