Pemberontakan RMS Kel 6
Pemberontakan RMS Kel 6
A. Latar Belakang
Didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia, menimbulkan respon dari masyarakat
Maluku Selatan saat itu. Seorang mantan jaksa agung Negara Indonesia Timur, Mr. Dr. Christian
Robert Soumokil, memproklamirkan berdirinya Republik Maluku Selatan pada tanggal 25 April
1950. Hal ini merupakan bentuk penolakan atas didirikannya NKRI, Soumokil tidak setuju
dengan penggabungan daerah-daerah Negara Indonesia Timur ke dalam wilayah kekuasaan
Republik Indonesia. Dengan mendirikan Republik Maluku Selatan, Ia mencoba untuk melepas
wilayah Maluku Tengah dan NIT dari Republik Indonesia Serikat.
Berdirinya Republik Maluku Selatan ini langsung menimbulkan respon pemerintah yang merasa
kehadiran RMS bisa jadi ancaman bagi keutuhan Republik Indoensia Serikat. Maka dari itu,
pemerintah langsung ambil beberapa keputusan untuk langkah selanjutnya.
2. Blokade Laut
Ketika upaya damai dan berunding ditolak mentah-mentah oleh Soumokil, pemerintah Indonesia
kemudian merencanakan untuk melakukan blokade laut. Upaya ini bertujuan untuk memaksa
pihak RMS agar bersedia untuk berunding. Blokade laut sendiri dilakukan pada 18 Mei hingga
14 Juli 1950 dengan melakukan pengawasan di semua perairan Maluku dan juga penghancuran
terhadap kapal-kapal pemberontak. Sayangnya upaya kedua ini juga belum berhasil memaksa
Soumokil untuk bersedia berunding dengan pemerintah Indonesia. Oleh sebab itulah
direncanakan untuk melakukan upaya atau langkah yang ketiga, yaitu ekspedisi atau operasi
militer.
C. Tokoh – Tokoh
D. Lambang ,Bendera,Lagu Kebangsaan, dan Teks Proklamasi
Lambang RMS menampilkan burung merpati putih Maluku bernama 'Pombo'. Merpati putih
dianggap sebagai simbol positif dan harapan baik. 'Pombo' ditunjukkan bersiap-siap terbang,
sayapnya setengah terbuka dan di paruhnya terdapat cabang pohon damai. Dadanya bertuliskan
'parang', 'salawaku', dan bentuk tombak.
Bagian blazon dari lambang RMS bertuliskan 'Mena - Moeria'. Slogan ini berasal dari bahasa
Maluku Melanesia asli. Sejak dulu, kata-kata ini diteriakkan oleh nakhoda dan pendayung perahu
tradisional Maluku, Kora Kora, untuk menyeragamkan gerakan mereka saat ekspedisi lepas
pantai. Slogan ini berarti 'Depan - Belakang', tetapi bisa juga diterjemahkan menjadi 'Saya pergi-
Kita mengikuti' atau 'Satu untuk semua- Semua untuk satu'.
Di Indonesia
Penduduk Maluku Selatan mayoritas beragama Kristen, tidak seperti wilayah-wilayah lain di
Indonesia yang didominasi Muslim. Republik Maluku Selatan juga didukung oleh Muslim
Maluku pada masa-masa awalnya. Saat ini, meski mayoritas penganut Kristen di Maluku tidak
mendukung separatisme, ingatan akan RMS dan tujuan-tujuan separatisnya masih bergaung di
Indonesia. Umat Kristen Maluku, saat kekerasan sekte 1999-2002 di Maluku, dituduh
memperjuangkan kemerdekaan oleh umat Islam Maluku. Tuduhan ini berhasil membakar
semangat umat Islam untuk melawan dengan mendirikan Laskar Jihad. Situasi tersebut tidak
diperparah oleh fakta bahwa umat Kristen Maluku di luar negeri memang memperjuangkan
berdirinya RMS.
Di Maluku, Piagam Malino II ditandatangani untuk mengakhiri konflik dan menciptakan
perdamaian di Maluku. Penduduk Maluku mengaku "menolak dan menentang segala jenis
gerakan separatis, termasuk Republik Maluku Selatan (RMS), yang mengancam kesatuan dan
kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia". Akan tetapi, saat presiden Indonesia
berkunjung ke Ambon pada musim panas 2007, sejumlah simpatisan RMS melancarkan
provokasi dengan menari Cakalele dan mengibarkan bendera RMS.Sejak 1999, sebuah
organisasi baru bernama Front Kedaulatan Maluku (FKM) beroperasi di Ambon, mengumpulkan
senjata, dan mengibarkan bendera RMS di tempat-tempat umum. Pemimpin FKM, Alex
Manuputty, mengungsi ke Amerika Serikat dan terus memperjuangkan kemerdekaan.
Dampak positif
Adanya pemberontakan RMS pastinya membuat masyarakat, terutama masyarakat Maluku
kembali sadar akan pentingnya kesatuan bangsa. Selain itu, diterapkannya kembali penghargaan
dan juga pengembalian pedoman atau orientasi adat istiadat serta budaya Maluku pada
masyarakat setempat. Dimana kondisi tersebut juga menyadarkan masyarakat Maluku akan
pentingnya dan kokohnya adat istiadat dan juga kebudayaan Maluku itu sendiri.
2. Dampak Negatif
Dibandingkan dengan dampak positif, RMS lebih banyak memberikan dampak negatif terutama
bagi negara Indonesia. Beberapa dampak tersebut diantaranya seperti:
.
Nama Kelompok 6 :
1. Cira Amadia Wikan(10)
2. Faradia Apriani Margantari(13)
3. Faraha Aulia Az Zahra(14)
4. Kartika Retnaningrum(19)
5. Naura Dewi Anindya(27)
6. Vita Sigi Ifada(33)