Agar supaya peran Notaris dapat dioptimalkan dan tidak ketinggalan dalam
mengikuti perubahan, maka diperlukan penyesuaian dan perubahan UU No. 30 Tahun
2004 tentang Jabatan Notaris, khususnya mengenai tugas dan kewenangannya dalam
membuat akta otentik.
Terhadap masalah tersebut, pelaksanaan Cyber notary menjadi jawabannya, hal ini
tidak dapat lagi dibendung dan dielakkan, karena berbagai manfaat dan keuntungan
yang dapat diperoleh, yaitu lebih cepat karena dapat menghemat waktu, dan praktis
sebab tidak ada kendala transportasi, biaya dapat diperhitungkan, hanya saja dalam
pelaksanaannya terdapat berbagai hambatan baik juridis maupun non-juridis.
Berbagai hambatan yang akan dihadapi, salah satu hambatan pelaksanaan Cyber
Notary yaitu dibidang hukum pembuktian khususnya masalah format atau bentuk
dan tata cara pembuatan akta Notaris yang secara tegas diatur dalam Pasal 1 angka
7 UU No 30 Tahun 2004 bahwa : Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat
oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UU
ini.
Ketentuan Pasal 15 UU No 30 Tahun 2004 ; Notaris berwenang membuat akta otentik
mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan
perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta ,
menyimpan data , memberikan grose akta , salinan dan kutipan akta, semuanya itu
sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat
lain atau orang lain yang ditetapkan dalam UU ini.
Selain itu, kendala infrastruktur ( kesiapan teknis ), serta Sumber Daya Manusia
akan dihadapi dalam pelaksanaan Cyber notary , misalnya keberadaan pihak
Certificate Authority atau Penyelenggara Sertifikasi Elektronik sebagai pihak
ketiga yang dipercaya (trusted third party) atau pihak mendapat legitimasi dalam
penyimpanan dan mengamankan dokumen hasil transaksi elektronik yang dilakukan
antara pihak penjual (seller atau vendor ) dengan pihak pembeli (buyers,
cunsumers) menyangkut soal kerahasian, keutuhan dan keaslian serta
pertanggungjawaban dokumen/informasi elektronik kepada pihak yang melakukan
transaksi.
B. Pengertian Cyber notary
Cyber Notary dimaksudkan untuk memudahkan atau mempercepat pelaksanaan tugas
dan kewenangan Notaris dalam membuat akta otentik mengenai semua perbuatan atau
perjanjian atau ketetapan yang diharuskan UU atau apa yang dikehendaki para pihak
yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik.
Apa yang dimaksud dengan Cyber notary : yaitu penggunaan / pemanfaatan teknologi
informasi misalnya komputer, jaringan komputer dan atau media elektronik lainnya
misalnya telekonferensi atau video konferensi dalam pelaksanaan tugas kewenangan
Notaris.
Pendapat pakar ; Notaris publik yang melakukan pelayanan jasa notaris melalui
dokumen elektronik.
Brian Prasetyo ; Notaris menjalankan tugas atau kewenangan jabatannya dengan
berbasis teknologi informasi.
Saiful dalam seminar “Cyber Notary dalam perspektif Hukum dan Teknologi”
mengatakan bahwa Digital Notary Services adalah perangkat yang membantu notaris
melakukan pekerjaannya dan mengorganisasi komunikasasi antara notaris dengan pihak-
pihak yang melakukan transaksi.
C. Pengaturan Hukum Dokumen Elektronik sebagai Alat Bukti yang Sah
Pengaturan alat bukti elektronik dalam sistem hukum di Indonesia sudah dikenal,
meskipun terbilang masih baru.
Ketentuan Pasal 26 A UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU NO. 20 Tahun
2001 mengatur bahwa alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 188 ayat (2) UU No. Tahun 1981 tentang KUHAP, khusus untuk tindak
pidana korupsi juga diperoleh dari ;
1. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima,
atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau serupa dengan itu.
2. Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat,
dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu
sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik, apapun selain kertas,
maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara , gambar, peta,
rancangan, foto, huruf, tanda, angka atau ferforasi yang memeiliki makna.
Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronika, telah menerima dan mengakui Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektonik dan/atau hasil cetaknya sebagai alat bukti elektronik yang sah menurut
hukum, akan tetapi alat bukti elektronik tidak berlaku terhadap suatu akta
autentik.
Ketentuan Pasal 77 ayat (1) dan ayat (4) Undang-undang No. 40 Tahun 2009 tentang
Perseroan Terbatas , telah mengatur penyelenggaraan RUPS dengan memanfaatkan
perkembangan teknologi.
Ketentuan Pasal 77 ayat (1) menegaskan bahwa selain penyelengraan RUPS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 76, RUPS dapat dilakukan melalui media telekonferensi, video
konferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta
RUPS saling melihat dan mendegar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat.
Ketentuan Pasal 77 ayat (4) menentukan bahwa setiap penyelenggara RUPS , harus
dibuatkan risalah rapat yang disetujui dan ditanda tangani oleh semua peserta RUPS.
Apabila ketentuan tersebut ditafsirkan , mengandung arti bahwa hasil RUPS melalui
media media telekonferensi dan video konferensi atau sarana media elektronik
lainnya, dan dihadiri oleh Notaris, maka risalah RUPS yang disetujuai dan ditanda
tangani peserta RUPS baik secara manual maupun elektronik , sehingga risalah RUPS
tersebut , kemudian disebut sebagai alat bukti elektronik berbentuk akta autentik.
Ketiga ketentuan tersebut telah mengakomodasi alat bukti elektronik sebagai alat
bukti yang sah menurut. Hanya saja UU No. 11 Tahun 2008 dan UU No. 40 Tahun 2007
tidak menentukan bentuk alat bukti elektronik, apakah sebagai bukti tertulis atau
bukan, apakah sebagai bukti autentik atau dibawah tangan. Dengan kata lain, UU No.
11 Tahun 2008 tidak secara tegas menyebutkan atau mengelompokkan alat bukti
elektronik sebagai alat bukti tertulis atau bukan. Sedangkan UU No. 31 Tahun 1999
diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 secara tegas menentukan bahwa alat bukti
elektronik sebagai alat bukti petunjuk.
Malasah lain yang bakal muncul ke depan, seiring dengan pelaksanan Cyber notary ,
yaitu timbulnya dampak kriminal / kejahatan yaitu potensi munculnya
penyalahgunaan atau Cyber Crime dalam pelaksanaan Cyber Notary.
D. Pelaksanaan Cyber Notary dengan dukungan Sertifikasi Elektronik.
Pelaksanaan Cyber notary dalam menjalankan tugas dan kewenangan Notaris yaitu
memberi legitimasi hukum yang kuat. Notaris harus dapat meyakini tentang
otentikasi pihak yang bertanda tangan, dan dengan melakukan verifikasi.
Dalam pelaksanaan Cyber Notary melalui sistem elektronik, Notaris tidak dapat
bekerja dengan baik untuk memberi legitimasi hukum yang kuat apabila hanya bekerja
seorang diri . Notaris harus dibantu dan bekerjasama dengan pihak ketiga sebagai
Penyelenggara Sertifikat Elektronik / Certificate Authority .
Pihak ketiga ini diberi kepercayaan dengan kewenangan menjaga dan mengamankan
kontrak elektronik, dengan cara memberikan dan mengaudit Sertifikasi Elektronik .
Kedudukan pihak Notaris memberi legitimasi sedangkan pihak Penyelenggara
Sertifikasi Elektonik menjamin keamanan kontrak elektronik.
Badan hukum pihak ketiga tersebut, bertugas menerbitkan Sertifikat yang bersifat
Elektronik yang berisikan : Tanda Tangan Elektronik dan identitas yang menunjukkan
status subjek pemilik sertifikat, yang digunakan dalam kontrak /transaksi
elektronik.
Pasal 11 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 menentukan bahwa Tanda Tangan Elektronik
memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah selama memenuhi persyaratan :
1. Data pembuatan tanda tangan elektronik terkait hanya kepada penanda
tangan;
2. Data pembuatan tanda tangan elektronik pada saat proses penandatangan
elektronik hanya berada dalam kuasa penanda tangan.
3. Segala perubahan terhadap tanda tangan elektronik yang terjadi setelah
waktu penanda tanganan dapat diketahui.
4. Segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang terkait dengan
tanda tangan elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui.
5. Terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengindentifikasi siapa
penandatangannya.
6. Terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa penanda tangan telah
memberi persetujuan terhadap Informasi elektronik yan g terkait.
Meskipun hanya merupakan kode, tanda tangan elektronik memiliki kedudukan yang sama
dengan tanda tangan manual yang mempunyai kekuatan hukum dan akibat hukum yang sama
pula.
Untuk menjaga jangan sampai terjadi pemalsuan tanda tangan elektronik, Pasal 12
ayat (2) UU No. 11 Tahun 2008 mengatur tentang bagaimana cara pengamanan Tanda
Tangan Elektronik
1. Sistem tidak dapat diakses oleh orang lain yang tidak berhak;
2. Penanda tangan harus menerapkan prinsip kehatihatian untuk menghindari
penggunaan yang tidak sah terhadap data terkait pembuatan Tanda Tangan
Elektronik .
3. Penanda tangan harus menggunakan cara yang diajurkan oleh penyelenggara
Tanda Tangan Elektronik ataupun cara lain yang layak dan sepatutnya harus segera
memberitahu kepada seorang, yang oleh Penanda Tangan dianggap memercayai Tanda
Tangan Elektronik atau kepada pihak pendukung layanan Tanda Tangan Elektronik
jika ;
1. Penanda Tangan mengetaui bahwa data pembuatan Tanda Tangan Elektronik
telah bobol
2. Keadaan yang diketahui oleh Penanda Tangan dapat menimbulkan resiko
akibat bobolnya data pembuatan Tanda Tangan Elektronik
3. Dalam hal Sertifikat Elektronik digunakan untuk mendukung Tanda Tangan
Elektronik, Penanda Tangan harus memastikan kebenaran dan keutuhan seluruh
informasi yang terkait Sertifikat Elektronik.
Keabsahan dan legitimasi Cyber notary terletak dan tergantung pada kemampuan dan
dukungan dengan Penyelengara Sertifikasi Elektronik/ Certificate Authority sebagai
pihak penjamin / memberi pengamanan transaksi /kontrak eletronik sebagai pihak
yang terlibat dalam tanda tangan eletronik.
Tanggungjawab Notaris yaitu menjamin legalitas / kepastian tanggal pembuatan
akta, menyimpan akta, memberikan gros akta, salinan dan kutipan akta.
Ketentuan yang menjadi payung hukum menempatkan Informasi /dokumen elektronik
setara atau identik dengan alat bukti tertulis yaitu penjelasan ketentuan Pasal 6
UU No. 11 Tahun 2008 yang menyatakan selama ini bentuk tertulis identik dengan
informasi dan/atau dokumen yang tertuang di atas kertas semata, padahal pada
hakikatnya informasi dan/atau dokumen dapat dituangkan ke dalam media apa saja,
termasuk media elektronik. Bahwa dalam lingkup sistem elektronik , informasi yang
asli dengan salinannya tidak relevan lagi untuk dibedakan, sebab sistem elektronik
pada dasarnya beroperasi dengan cara penggandaan yang mengakibatkan informasi yang
asli tidak dapat dibedakan lagi dengan salinannya.
Arsyad Sanusi bahwa pengakuan data elektronik memang menjadi issu menarik seiring
dengan penggunaan teknologi informasi dan internet. Beberapa negara seperti
Australia, Chile , China, Jepang , Amerika Serikat dan Singapura telah memiliki
peraturan hukum yang memberikan pengakuan data elektronik sebagai alat bukti yang
sah di Pengadilan. China , misalnya, memiliki peraturan khusus yang mengakui data
elektronik. Salah satu Pasal dari Contract Law of Teh Peoples Republic of China
1999 menyebutkan , “bukti tulisan “ yang diakui sebagai alat bukti dalam
pelaksanaan kontrak/perjanjian antara lain, surat dan data teks dalam bebrbagai
bentuk, seperti : telegraph, telex, faksimili dan email.
Bahwa dalam praktek peradilan di Indoensia alat bukti elektonik dianggap sebagai
alat bukti petunjuk.
Alat bukti dalam Undang-undang telah ditentukan secara enumeratif , artinya UU
terlebih dahulu telah menentukan satu persatu alat bukti yang sah dan bernilai
sebagai alat bukti.
E. Produk Cyber notary sebagai Akta Autentik ?
Ketentuan Pasal 1867 s/d 1869 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata / Burgerlijk
Wetboek secara jelas mengatur tentang penertian Akta Otentik.
Ada beberapa permasalahan hukum yang dihadapi para Notaris dalam menggunakan
sistem kerja elektronik yaitu soal bagaimana legalitas atau kekuatan pembuktian
dokumen elektronik yang merupakan produk Cyber Notary.
Edmon Makarim ; menyatakan bahwa masalah hukum yang dihadapi Notaris dalam
pelaksanaan Cyber Notary adalah menyangkut otentikasi serta time-stamping atau
soal pembacaan .
Terdapat perbedaan pendapat dikalangan parar hukum mengenai produk Cyber Notary,
apakah kekuatan pembuktian sama dengan alat bukti autentik atau akta dibawah
tangan.
Arsyad Sanusi berpendapat : bahwa suatu dokumen elektronik , sekiranya dihasilkan
oleh suatu sistem Informasi Elektronik yang telah dilegalisasi atau dijamin oleh
para profesional yang berwenang untuk itu, maka hal itu termasuk dokumen autentik,
dan jika sistem Informasi Elektronik dapat tetap berjalan sebagaimana mestinya,
sepanjang tidak dibuktikan oleh para pihak, dokumen elektronik tersebut diterima
layaknya sebagai akta atau dokumen autentik, dan bukan akta dibawah tangan.
Pendapat berbeda dikemukan oleh Brian Prasetyo bahwa akta otentik untuk saat ini
belum bisa berbentuk elektronik. Kalau kedudukannya sama dengan akta dibawah tangan
boleh saja, sebab bentuk akta elektronik hanya merupakan kesepatakan para pihak.
Alasan Brian Prasetyo menyatakan bukan sebagai akta otentik :
1. Akta otentik bentuknya ditentukan oleh peraturan dan belum ada
peraturan yang menyatakan bahwa akta otentik boleh dalam bentuk elektronik.
2. Akta harus ditandatangani dan sampai saat ini belum ada peraturan yang
secara eksplisit dan bersifat lex specialis menyatakan bahwa Digital Signature
boleh digunakan untuk menandatangani akta otentik.
3. Pembuatan akta dan penandatanganan harus dihadiri dan disaksikan oleh
Notaris dan para saksi dan sampai saat ini belum ada peraturan yang menyatakan
bahwa Notaris boleh menyaksikan panandatanganan melalui misalnya teleconference.
Pandangan Brian Prasetyo sejalan dengan ketentuan ketentuan Pasal 5 ayat (4) UU
No. 11 Tahun 2008 bahwa ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektonik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk :
Seharusnya tidak semua tugas atau kewenangan Notaris sebagaimana dimaksud dalam
15 ayat (2) huruf f , dapat dilaksanakan melalui Cyber Notary yaitu membuat
akta yang berkaitan dengan pertanahan. Misalnya pembuatan akta jual beli barang
tidak bergerak berupa tanah dan bangunan, kesulitan yang dihadapi ketika balik nama
ke BPN. Tidak semua kewenangan Notaris dapat dilaksanakan melalui sistem
elektronik.
Perbedaan Akta Otentik dengan surat/dokumen cyeber Notary :
1. Akta autentik bentunya tertulis sedangkan surat/dokumen cyber Notary
tidak tertulis, berbentuk surat/dokumen elektronik.
2. Akta autentik mempunyai minuta akta sedangkan dokumen Cyber tidak
mempunyai minuta akta ( asli akta notaris).
3. Akta otentik dibuat secara manual, sebaliknya dibuat menggunakan sistem
elektronik.
Menggunakan jasa pihak ketiga sebagai pihak yaitu CA sebagai penjamin pelaksaan
Cyber Notary, sehingga menyebabkan potensi terjadi penyalahgunaan atau cyber Crime.
Simpulan dan saran;
– Pelaksanaan Cyber Notary sangat dibutuhkan dalam perkembangan dunia
bisnis/usaha sehingga kehadirannya tidak dapat dielakkan, akan tetapi
pemberlakuannya masih membutuhkan waktu 5 tahun hingga 10 tahun mendatang, sebab
masih perlu pengkajian lebih mendalam khususnya mengenai kesiapan dan pembenahan
serta ketersediaan infrastruktur yang memadai dan handal, dalam rangka menjamin
pelaksanaan Cyber Notary serta menjamin pemyimpanan dokumen elektronik secara aman
dan rahasia.
– Perubahan dan singkronisasi peraturan perundang-undangan yang dapat
menjadi payung hukum pelaksanan Cyber notary dalam sistem hukum Indonesia.
– Kesiapan sumberdaya manusia para notaris Indonesia untuk menerima Cyber
notary dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya.
– Dalam Undang-undang Jabatan Notaris maupun Kitab Undang-undang Hukum
Perdata harus dirumuskan bahwa produk Cyber notary yang merupakan alat bukti
elektronik dapat diterima dan diidentikkan alat bukti tertulis /autentik.
– Syarat minimum yang harus dipenuhi agar supaya produk Cyber Notary
dapat menjadi alat bukti autentik yaitu; (1) Syarat keaslian , (2) Syarat
kerahasiaan
– Proses yang terjadi di didalam transaksi elektronik harus dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum terhadap para pihak.
– Ada jaminan kepastian hukum bagi semua pihak, bahwa Notaris dalam
menggunakan/memanfaatkan teknologi informasi berupa komputer, jaringan komputer
dan/atau media elektronik lainnya dapat berkomunikasi, mendengarkan, mengamati dan
mencermati , serta memahami seluruh perbuatan atau kejadian atau keadaan yang
berlangsung dalam proses pelaksanakan tugas dan kewenangan jabatan Notaris dalam
memberi legitimasi transaksi elektronik.
– Teknologi Informasi yang digunakan dapat menjamin bahwa penandatanganan
melalui elektronik dapat mengetahui keinginan masing-masing pihak, identitas
penandatangan, keinginan serta dapat membaca seluruh Dokumen/Informasi Elektronik.
Saran : Istilah akta autentik diubah menjadi elektronik autentik, alasannya
untuk menghilangkan istilah pengertian tertulisn