Anda di halaman 1dari 5

SASTRA DAN PERJALANAN HIDUP MANUSIA

Sastra tidak pernah mati. Sastra akan selalu hidup dan selalu menjadi ‘ruh’ yang
menggerakkan manusia agar keluar dari kenyamanan dan kemapanan duniawi. Dalam
sejarah bangsa Indonesia, jika kita menarik ulur perjuangan sastra dalam membongkar
dominasi kekuasaan totaliter maka kita akan mendengar sederetan nama seperti
Pramoedya Ananta Toer, W. S. Rendra, Chairil Anwar, Goenawan Mohamad dan lain
sebagainya. Lewat karya-karya besar mereka, kita bisa melihat sebuah kenyataan dalam
fiksi, kenyataan yang menggetarkan jiwa dan raga akan pentingnya penghargaan terhadap
kemanusiaan. Satu hal yang penting bagi kita bahwa karya-karya mereka telah menjadi
sebuah fondasi awal bagi perjuangan untuk memuliakan manusia.
Melihat peran sentral sastra nusantara dalam menetralisir keseimbangan kekuasaan di
bumi nusantara merupakan suatu keharusan bagi setiap kalangan akademik. Oleh karena
itu, tulisan ini bermaksud menyingkap keberadaan sastra sebagai salah satu instrument
yang memuliakan manusia dari berbagai macam hegemoni destruktif yang mengekang
dan merebut kemanusiaan dari kebebasan.
Tulisan ini dibagi dalam empat sub judul. Pertama, berupa pendahuluan yang memuat
latar belakang penulisan. Kedua, hegemoni yang mengekang kemanusiaan. Pada bagian
ini akan dijelaskan tentang berbagai macam penindasan struktural yang merasuki
kehidupan masyarakat. . Ketiga, sastra yang memuliakan manusia. Pada bagian ini akan
dijelaskan tentang bagaimana peran sastra dalam memperjuangkan kemanusiaan yang
terlanjur dilabrak oleh berbagi macam hegemoni yang dikonstruksi secara sistematis dan
terselubung. Keempat, penutup berupa kesimpulan dan saran.
Hegemoni yang mengekang kemanusiaana
Kegamangan modernitas yang diikuti dengan berbagai macam pola kehidupan kian
menunjukkan kesangarannya. Jika dibaca dengan cermat, konsep modernitas yang dibawa
dari ‘luar’ cenderung diselipi oleh berbagai macam penindasan struktural terhadap
manusia. Memang benar bahwa konsep modernisme ini berwajah ganda. Dalam arti
bahwa di satu sisi modernisme datang dengan membawa konsep-konsep yang begitu
meyakinkan akan adanya kesejahteraan bersama (bonum comune), namun di sisi lain
sebenarnya ia datang dengan gaya yang melabrak lapisan masyarakat sehingga
masyarakat dikekang secara halus dan tak bisa berbuat banyak. Konsekuensi logisnya
ialah terjadinya dehumanisasi dalam kehidupan.
Pengekangan secara halus inilah yang kemudian dikatakan oleh Antonio Gramsci sebagai
hegemoni. Dalam pandangan Gramsci, secara garis besar hegemoni dapat diartikan
sebagai sebuah upaya untuk menguasai suatu klas secara ideologis dalam masyarakat
tertentu. (NEGARA DAN HEGEMONI HLM. ) Dalam arti bahwa hegemoni bukan
sebuah upaya represif dan koersif dalam menguasai klas masyarakat tertentu melainkan
sebuah upaya yang dilakukan oleh aktor intelektual untuk meyakinkan masyarakat akan
kebenaran ide-ide tertentu.
Demi tercapainya hal ini maka diperlukan sebuah konsensus dari kelas yang ingin
dihegemoni. Konsensus sendiri bisa terjadi karena 3 hal. Pertama, karena rasa takut akan
konsekuensi-konsekuensi bila tidak menyesuaikan diri. Kedua, karena terbiasa mengikuti
tujuan dengan cara-cara tertentu. Ketiga, karena kesadaran atau persetujuan terhadap
unsur-unsur tertentu. Dari ketiga hal ini konsensus dalam pandangan gramasci tercipta
karena adanya persetujuan. Bagi gramsci sebuah konsensus yang diterima oleh kelas
pekerja pada dasarnya bersifat pasif, artinya konsensus terjadi bukan karena kelas pekerja
menganggap struktur sosial yang ada itu sebagai keinginannya, tetapi lebih karena mereka
kekurangan basis konseptual yang memungkinkan mereka memahami realitas sosial
secara efektif. (dalam )
Merebaknya hegemoni dalam situasi hidup masyarakat kemudian menimbulkan satu
keadaan yang disebut oleh Herbet Marcus sebagai repressif tolerance, yaitu suatu
keadaan yang kelihatannya toleran dan memberi kesan seolah-olah memberi kebebasan
seluas-luasnya namun dalam kenyataannya tidak lain adalah penindasan. (hlm
121,epistemologi kiri)
Inilah dampak yang terjadi ketika masyarakat dihegemoni oleh kekuatan tertentu. Akan
ada penindasan kemanusiaan secara halus dengan pola-pola tertentu. Contoh paling nyata
dari hegemoni adalah adanya kapitalisme yang cenderung melahirkan manusia yang
pragmatis dan korup sehingga di kemudian hari terjadi sebuah penindasan terhadap
manusia lainnya. Merebaknya kapitalisme dalam kehidupan sosial juga bermuara pada
merosotnya moralitas manusia sebagai makhluk bermoral.
Wabah kapitalisme ini kemudian melahirkan kesenjangan sosial yang berujung pada
penindasan atau pengekangan terhadap masyarakat. Satu hal yang menarik dari hal ini
bahwa basis utama kapitalisme sebenarnya berakar pada ideologinya yang menggiring
opini publik untuk menjadi manusia pekerja (homo faber) tanpa memperhatikan
pentingnya kemanusiaan itu sendiri. Dengan demikian eksploitasi terhadap manusia tak
terhindarkan lagi. Konsep hegemoni kapitalisme inilah yang akan melahirkan ekses
destruktif dalam kehidupan. Bukan tidak mungkin adanya Putus Hubungan Kerja (PHK)
terhadap 2.683 karyawan Krakatau Steel, 2.500 karyawan dari dua perusahaan di Batam,
dan 2.000 pekerja di perusahaan rokok Surabaya (the columnist) merupakan bukti bahwa
wajah baru kapitalisme telah berkelindan dalam kehidupan kita.
Wajah baru kapitalisme akhirnya berusaha menjustifikasi sesuatu seturut kepentingannya.
Kebenaran dimanipulasi dan dimonopoli semaunya sehingga klaim kebenaran hanya
berada di tangan para kapitalis. Implikasinya jelas, bahwa hegemoni ini pun mengekang
kemanusiaan. Manusia tidak bisa lagi hidup sesuai dengan kodratnya sebagai manusia
yang punya kehendak bebas. Manusia teralienasi dari kemanusiaannya sebab mereka
dihegemoni oleh ide-ide modernisme dan kapitalisme yang menggerus kemanusiaan
lewat cara eksploitasi kerja yang tidak manusiawi sehingga manusia dituntut menjadi
seperti mesin yang bisa bekerja tanpa kenal lelah.
Sayangnya masyarakat kita menerima begitu saja hegemoni ini. Belum ada perjuangan
untuk melawan hegemoni kapitalisme yang mengekang kemanusiaan. Oleh sebab itu,
hemat saya butuh satu instrument yang bisa digunakan oleh masyarakat demi melawan
hegemoni yang mengekang kemanusiaan ini.
Pada tataran ini, hemat saya sastra sebagai sebuah instrument yang memuliakan
kemanusiaan punya peran yang sentral. Peran sentral sastra bisa diklasifikasikan sebagai
sebuah perjuangan untuk memanusiakan manusia. Oleh sebab itu, seperti yang telah
dijelaskan pada bagian awal tulisan ini maka pada bagian selanjutnya akan dijelaskan
tentang peran sentral sastra sebagai sebuah buah pemikiran kritis manusia demi
memperjuangkan kemanusiaan yang terlanjur dilabrak berbagai macam hegemoni yang
dikonstruksi penguasa.
Sastra yang Memanusiakan Manusia: Sebuah Tinjauan Kritis Terhadap Hegemoni
Penguasa
Sejarah Sastra humanitas
Sebelum melangkah lebih jauh setidaknya kita harus mengetahui latar belakang historis
sastra humanis. Tak dapat dipungkiri bahwa sastra humanis telah hadir di tengah dunia
sejak manusia itu sendiri ada. Surwardi Endraswara dalam salah satu artikelnya
mengklasifikasikan sejarah sastra humanis dalam tiga periode. Pertama, zaman sastra
klasik. Kedua, zaman sastra pra renaissance. Ketiga, zaman sastra modern (sastra
humanitas hlm. 7-10)
Pertama, zaman sastra klasik. Sastra klasik senantiasa bermuara pada moralitas manusia.
Manusia ideal dalam pandangan sastra klasik adalah manusia yang mengalami
keselarasan jiwa dan raga, suatu kondisi di mana manusia mencapai kebahagiaan
(eudaimonia). Gerakan Paideia (seni mendidik) menjadi cikal bakal para filsuf Yunani
kuno untuk mendamaikan (menyelaraskan) konsep jiwa dan badan dalam diri manusia
yang sering berkonfrontasi. (Sastra humanis 7-8)
Kedua, zaman sastra pra renaissance. Jika pada sebelumnya pembicaraan sastra humanis
hanya bercokol pada pendamaian konsep jiwa dan badan, maka pada zaman ini para aktor
humanis lebih menekankan pada keyakinan akan martabat manusia, nilai hidup aktif di
dunia dan kehendak bebas untuk bertindak. Humanisme bermaksud menggali kembali
nilai-nilai manusia dari segala aspek (sastra humanis hlm. 9)
Ketiga, zaman sastra modern. Humanisme modern telah berkembang menjadi 2 bentuk.
Pertama sebagai humanisme moderat dan seimbang dengan menjunjung tinggi keutamaan
manusiawi yang luhur seperti kebaikan hati, kebesaran hati, wawasan yang luas,
keterbukaan pada seni, universalisme, religiositas yang dekat dengan alam. Kedua,
sebagai humanisme yang anti agama yang menganggap agama sebagai sumber berbagai
masalah di dunia. Walaupun demikian kunci renaisance adalah pembaharuan ide. Sastra
humanis pun diberi ide baru, diberi ruh baru agar menemukan hakikat kemanusiaan.
(sastra humanis 11-12)
Dari perkembangan sastra dalam tiga periode ini bisa disimpulkan beberapa hal berikut.
Pertama, sastra humanis punya corak yang berbeda dengan gaya lebih fleksibel dalam
membaca realitas kemanusiaan. Kedua, sastra humanis berani mendobrak berbagai upaya
yang mengekang kemanusiaan dari berbagai macam dominasi. Ketiga, sastra humanis
selalu mengutamakan kebebasan manusia. Kebebasan manusia menjadi harga mati yang
tidak bisa ditawar dan diperjualbelikan.
Selain sejarah sastra humanis, pendekatan-pendekatan dalam membaca karya sastra juga
dianggap urgen. Sebab pendekatan-pedekatan ini mengantar kita untuk mengerti makna
dibalik teks sastra. Seperti yang diterangkan oleh setya yuwana sudikan bahwa sekurang-
kurangnya terdapat 4 pendekatan sastra. (sastra humanis hlm. 60) Pendekatan itu
diantaranya: (a) pendekatan sosiologi, (b) pendekatan historis, (c) pendekatan
antropologi, (d) pendekatan mitopoik, dan (e) pendekatan psikologis. Kelima pendekatan
ini efektif untuk menemukan hakikat manusia dan kemanusiaan dalam karya sastra.
Pendekatan sosiologi akan menyadarkan kita pada hakikat manusia sebagai makhluk
sosial di satu sisi dan pada sisi lain bagaimana menjadi manusia yang baik secara sosial.
Secara historis, pendekatan ini akan menawarkan bagaimana karya itu lahir sehingga
proses kejadian teks sastra itu dapat dijejaki. Sebuah jejak kemanusiaan yang mengalir
dalam karya sastra. Sebab, dalam logika karya biasanya selalu diawali oleh realitas
empirik yang menyentuh emosi dan hati sastrawannya. Karya yang demikian dengan
sendirinya mengalirkan kodrat kemanusiaan secara tidak langsung di dalamnya.
Selian itu, pendekatan psikologis mengingatkan kita bahwa karya sastra juga
mengajarkan bagaimana pentingnya kita memahami karakter tokoh dan kompleksitas
kejiwaannya. Dengan begitu, membaca tokoh-tokoh dalam teks sastra sesungguhnya
adalah bersahabat dan bersosial dengan kehidupan itu sendiri. Di situlah kemudian kita
dapat menemukan keragaman karakter jiwa manusia.
Sedangkan, pendekatan mitopoik menuntun kita bahwa di dalam teks sastra itu
menyiratkan mitos-mitos sosial. Karya sastra tidak terlepas dari mitos-mitos itu yang
sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia Secara makro. Dengan begitu, maka mitos-
mitos itu biasanya menggerakkan para tokohnya.
Pendekatan antropologis akan menyadarkan bahwa secara antopologis teks sastra itu
menyimpan jejak-jejak antropologis yang magis.

sastra yang memanusiakan manusia


Goerg lucas dalam ignas kleden seperti yang dikutip setya yuwana sudikan
mengungkapkan fungsi refleksi imaji karya sastra dapat berperan sebagai pantulan
kembali masyarakatnya (wiederspiegelung), baik menjadi semacam salinan atau copy
suatu struktur sosial, maupun menjadi tiruan atau mimesis masyarakat. (sastra humanis
hlm. 59) Hal ini berarti bahwa karya sastra bukan hanya suatu entitas yang terpisah dari
kemanusiaan. Sastra selalu menyatu dan berada bersama manusia, dan menjadi produk
untuk memahami hakikat kemanusiaan itu sendiri.
Pembicaraan tentang arti dan makna sebuah karya sastra bukan lagi menjadi suatu yang
terlepas dan berseliweran begitu saja. Horotius seorang filsuf yunani kuno beranggapan
bahwa sastra memiliki peran dan fungsi dulce et utile (menyenangkan dan bermanfaat).
Fungsi ini secara ekstrem dieksplisitkan oleh plato dengan menganggap penyair yang tak
membantu msyarakat/negara hanya melakukan suatu keisengan. (kebenran dan dusta
dalam sastra hlm. 80). Lebih lanjut horotius juga menegaskan bahwa sastra itu memiliki
daya persuasi; docere (memberi nikmat), delectara (mengajar), dan movere
(menggerakan). (kebenran dan dusta dalam sastra hlm.89). pemikiran para filsuf
tentang sastra bukanlah sebuah untaian metafora biasa. Pemikiran-pemikiran mereka
melalui karya sastra telah mengafirmasi bahwa sastra bukan hanya merupakan sebuah
karya di mana seorang bisa menyalurkan bakatnya dalam menulis, melainkan lebih dari
itu, yakni sebagai sebuah instrumen yang bisa menggerakkan manusia untuk keluar dari
hegemoni yang mengekang kemanusiaan.
Terminologi movere (menggerakan) yang digagas Horotius menjadi cikal bakal lahirnya
berbagai macam karya sastra yang memfokuskan diri untuk menggarap arti kehidupan
manusia (human). Sastra sebagai penggerak berarti sastra punya ‘ruh’ yang bisa
menembus kisi-kisi hati manusia dalam merefleksikan arti penting kehidupan. Dalam
konteks sejarah indonesia, kadang sastra ditempatkan sebagai prototipe untuk
menggambarkan situasi kemanusiaan yang biadap. Misalnya lewat karya pramoedya
ananta toer dalam tretalogi pulau buruh, kita bisa melihat bagaimana potret derita
manusia dalam pagutan sejarah yang tidak menguntungkan. (sastra humanis hlm. 57)
Pada tataran ini, bisa dilihat dengan jernih bahwa sastra sebenarnya mengantar pembaca
untuk sadar akan situasi khaos yang membelenggu kemanusiaan. Kehadiran sastra
sebagai sebuah instrumen yang memanusiakan manusia harus menjadi latar belakang
lahirnya gerakan emansipasi terhadap nilai kemanusiaan yang telah dikebiri.
Peran sentral sastra adalah menjadikan dirinya sebagai suatu tempat di mana nilai-nilai
manusiawi mendapat tepatnya yang layak secara wajar. (sastra humanis hlm.55) lewat
sastra nilai-nilai kemanusiaan bisa diinternalisasi dalam relasi-relasi sosial masyarakat.
Penutup

Anda mungkin juga menyukai