Anda di halaman 1dari 6

Tinjauan Produksi Broiler dengan Persentase Pemberian Ransum yang

Berbeda Antara Siang dan Malam Hari

The Study of Broiler Production Given Different Percentage of Ration during the
Day and Night

Khaira Nova1), Tintin Kurtini1), dan Nining Purwaningsih1)


1)
Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung
Jln. Soemantri Brojonegoro no 1, Bandar Lampung 35145

Abstract

The present experiment was conducted to investigate (1) the effects of different
percentage of ration between day and night toward broiler production and (2) the best
level of percentage of ration given during the day and night toward broiler production.
This research was arranged with 5 treatments and 4 replications, in which each
experimental unit consisted of 5 broilers. The data were analyzed by using Analysis of
Variance in 5% significant degree. The result of this research showed that the different
percentage of ration during the day and night affected (P< 0,05) body weight gain and
water consumption, but did not significantly affect feeding consumption and feeding
convertion. These results suggested that the ration which was given 30% during the day
and 70% at night is the best treatment in influencing body weight gain.

Key Words: Broiler Production, Percentage of Ration, Day and Night

Diterima: 15 Nopember 2007, disetujui: 29 Desember 2007

Pendahuluan

Teknologi peternakan memberikan istilah broiler pada ayam yang biasa dipakai untuk
menyebut ayam hasil budidaya teknologi peternakan yang memiliki karakteristik ekonomis
dengan ciri yang khas antara lain pertumbuhannya cepat, Sebagai penghasil daging dengan
konversi makanan rendah dan siap dipotong pada usia yang relatif muda ( Priyatno, 2000).
Broiler merupakan salah satu jenis ternak yang mempunyai kemampuan yang tinggi dalam
mengonversikan ransum yang dikonsumsinya menjadi daging. produktivitas broiler
dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Lingkungan memberikan pengaruh terbesar
(70%) dalam menentukan performan ternak. sedangkan faktor genetik 30%.
Indonesia merupakan negara beriklim tropis. Perbedaan suhu antara siang dan malam
hari cukup tinggi berkisar antara 3 – 5° C dengan kisaran suhu 26 – 32° C, Sedangkan suhu
optimal untuk pemeliharaan broiler agar dapat berproduksi dengan baik adalah 21 – 22° C
(North dan Bell, 1990). Menurut rao, nagalashmi, dan redy (2002) pemeliharaan unggas di
negara-negara tropis, suhu lingkungan merupakan stressor utama dengan kisaran suhu yang
luas dari 5 sampai 35—43 °C untuk waktu yang lama. suhu ideal pada pemeliharaan broiler
untuk mencapai bobot tubuh optimal 10—22 °C dan untuk efisiensi ransum 15—27 ° C,
Tingginya suhu lingkungan di Indonesia merupakan salah satu masalah dalam
pencapaian performans broiler yang optimal. pada suhu yang tinggi, broiler akan mengalami
stres, yang akan mempengaruhi penurunan konsumsi ransum sehingga terjadi penurunan bobot
tubuh. broiler mengalami stres karena panas proses metabolisme setelah mengonsumsi ransum
dan panas tambahan karena suhu lingkungan yang tinggi sehingga broiler akan banyak
mengonsumsi air minum. Meminimalkan gangguan selama cuaca panas dapat dilakukan
dengan cara mengubah spesifikasi ransum dan praktek pemberian ransum. unggas banyak
dihadapkan pada stres yang berasal dari berbagai sumber antara lain praktek manajemen.
Nutrisi. dan kondisi lingkungan. Kebiasaan peternak broiler yang pada umumnya lebih banyak
memberikan ransum pada siang hari, sangat tidak mendukung untuk pencapaian performans
broiler yang optimal. Hal ini terlihat pada hasil survey pada beberapa peternak di bandar
lampung, bahwa rata-rata persentase pemberian ransum pada siang hari sebesar 64,06% dan
malam hari sebesar 39,94%. Hal ini menunjukkan bahwa peternak memberikan ransum lebih
banyak pada siang hari dan belum terdapat suatu perbandingan ideal pembagian persentase
pemberian ransum antara siang dan malam hari. oleh karena tingginya suhu lingkungan di
Indonesia, perlu dilakukan manipulasi untuk mengimbangi feed intake yang kurang optimal
pada siang hari yang suhunya tinggi dan melakukan pemberian ransum saat suhu lingkungan
mulai turun pada malam hari.
pemberian ransum yang lebih banyak pada siang hari ini, merupakan praktek pemberian
ransum yang kurang efisien karena unggas akan mengalami stres akibat suhu yang tinggi di
siang hari dan stres tambahan karena panas metabolisme didalam tubuhnya setelah
mengonsumsi ransum yang diberikan. Menurut rao, nagalashmi, dan redy (2002) selama cuaca
panas, unggas harus dijauhkan dari ransum sementara karena suhu akan meningkat dan
mencapai puncaknya. Pemberian ransum pada jam-jam awal dan akhir dari hari terang akan
membantu mengurangi kematian pada broiler.
Oleh sebab itu diperlukan suatu kajian yang mendalam tentang hal ini agar produksi
broiler lebih optimal Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pembagian
persentase pemberian ransum pada siang hari dan malam hari dan mengetahui level pembagian
persentase pemberian ransum pada siang dan malam hari yang terbaik terhadap produksi
broiler.

Metode Penelitian

Penelitian ini melaksanakan di kandang ayam Jurusan Produksi Ternak, Fakultas


Pertanian, Universitas lampung, digunakan rancangan acak lengkap (RAL) terdiri dari 5
perlakuan, yaitu R1 (pemberian ransum 30% siang dan 70% malam hari), R2 (pemberian
ransum 40% siang dan 60% malam hari), R3 (pemberian ransum 50% siang dan 50% malam
hari), R4 (pemberian ransum 60% siang dan 40% malam hari), R5 (pemberian ransum 70%
siang dan 30% malam hari). masing-masing perlakuan diulang 4 kali dan setiap ulangan terdiri
dari 5 ekor ayam. Persentase ransum memberikan berdasarkan kebutuhan ransum broiler pada
hari itu
DOC broiler yang digunakan galur CP 707 unsexed sebanyak 100 ekor dengan bobot
awal rata-rata 41,21 ± 2,53 g.ekor-1. Broiler dipelihara selama 6 minggu. Kandang yang
digunakan sebanyak 20 petak. Setiap petak kandang berukuran 60 x 80 x 60 cm yang
dilengkapi dengan 1 buah tempat ransum, tempat minum, dan lampu pijar 40 watt yang
berfungsi sebagai pemanas selama 15 hari dan sebagai penerang di malam hari. ransum yang
digunakan adalah ransum komersil 511 dan 512 produk PT charoen pokphand Jaya Farm.
Ransum 511 diberikan saat DOC sampai umur 4 minggu dan ransum 512 diberikan pada umur
5 – 6 minggu. Ransum diberikan 4 kali sehari yaitu pukul 06.00; 12.00; 18.00; 24.00 WIB.
Kandungan nutrisi dari ransum penelitian tertera pada Tabel 1. Peralatan lain yang
menggunakan adalah timbangan kapasitas 10 kg, timbangan 600 g dengan ketelitian 0,1 g,
gelas ukur, termohigrometer, dan peralatan kebersihan.

2
Tabel 1. Kandungan nutrisi ransum broiler 511 dan 512 produksi PT Charoen Popkhand Jaya
Farm.

Jenis ransum
Zat nutrisi
511 512
Air (%) 12,60 8,90
Protein (%) 19,60 18,20
Lemak (%) 6,67 10,43
Serat kasar (%) 4,00 5,80
Abu (%) 7,47 5,10
Energi bruto (kkal. Kg-1) 3.835,86 4.018,02
Energi metabolis (kkal.kg-1)* 2.685,10 2.812,61
Sumber : Hasil analisis di Laboratorium Makanan Ternak, Fakultas Pertanian, Universitas
Lampung (2004).
* Hasil perhitungan 70% dari energi bruto (Schaibel, 1976).

data yang diperoleh dianalisis ragam pada taraf nyata 5% dan apabila terdapat
perbedaan nyata antar perlakuan dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan (steel dan
torrie, 1991).
peubah yang diukur adalah: (1) Konsumsi ransum (g.ekor -1.minggu-1) memperoleh dari
data pengukuran konsumsi ransum setiap hari selama 7 hari untuk mendapatkan data per
minggu. (2) Konsumsi air minum (g.ekor -1.minggu-1) diukur berdasarkan air minum yang
diberikan pada pagi hari dikurangi dengan sisa air minum pada pagi hari berikutnya. (3)
Pertambahan berat tubuh (g.ekor-1.minggu-1) dihitung setiap unggas berdasarkan selisih antara
bobot tubuh akhir minggu (g) dengan bobot tubuh awal minggu (g). (4) konversi ransum yang
dihitung berdasarkan jumlah ransum yang dikonsumsi setiap minggu (g) dibagi dengan
pertambahan berat tubuh (g) pada unggas yang sama.

Hasil dan Pembahasan

Data yang diperoleh selama penelitian terhadap semua peubah yang diukur dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2 : Rata-rata konsumsi ransum, konsumsi air minum, pertambahan berat tubuh, dan
konversi ransum broiler selama penelitian.
Perlakuan
Peubah
R1 R2 R3 R4 R5
Konsumsi ransum
(g.ekor-1.minggu-1) 654,55a 645,93a 642,34a 632,77a 629,67a
Konsumsi air minum
(ml.ekor-1.hari-1) 187.76a 190.22ab 208.41abc 217.94bc 226.39c
Pertambahan berat
tubuh (g.ekor-1.minggu-1) 349,86a 344,83ab 338,25ab 330,71b 324,90b
Konversi ransum 1,87a 1,87a 1,90a 1,92a 1,94a
Keterangan : Huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata dengan Uji
Jarak Berganda Duncan ( 0,05)
R1 : Persentase pemberian ransum 30% siang : 70% malam
R2: Persentase pemberian ransum 40% siang : 60% malam
R3: Persentase pemberian ransum 50% siang : 50% malam
R4: Persentase pemberian ransum 60% siang : 40% malam
R5: Persentase pemberian ransum 70% siang : 30% malam
Konsumsi ransum

3
Hasil analisis ragam data konsumsi ransum menunjukkan bahwa pembagian persentase
pemberian ransum siang dan malam hari tidak berbeda nyata (P>0,05). Jika dilihat dari rata-
rata konsumsi ransum pada R1 (654,55 g.ekor-1.minggu-1) dan R2 (645,93 g.ekor-1.minggu-1)
menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan R3 (642,34 g.ekor-
1
.minggu-1), R4 (632,77 g.ekor-1.minggu-1), dan R5 (629,67 g.ekor-1.minggu-1). Hal ini
disebabkan oleh perlakuan pembagian persentase pemberian ransum yang lebih banyak pada
malam hari pada R1 dan R2. rendahnya suhu lingkungan kandang di malam hari (25,4 – 27,6°
C), menyebabkan ayam akan meningkatkan konsumsi ransumnya. Sebaliknya persentase
pemberian ransum R4 dan R5 lebih banyak pada siang hari, karena tingginya suhu kandang di
siang hari (± 29,9° C).
Suhu lingkungan kandang yang lebih tinggi disebabkan ayam mengurangi konsumsi
ransumnya agar produksi panas dalam tubuhnya tidak berlebih dan akan meningkatkan
konsumsi air minum sebagai upaya dalam mengurangi tekanan panas. marjuman (1995)
menyatakan bahwa terjadi penurunan konsumsi ransum sebesar 1,7% pada setiap kenaikan
suhu sebesar 1° C. fati (1991) mengatakan bahwa bila suhu tinggi, ayam akan mengonsumsi
air lebih banyak, akibatnya nafsu makan menurun. Akan tetapi. hal ini berakibat pada
penurunan konsumsi energi.
Disamping terjadinya penurunan konsumsi energi sebagai akibat dari penurunan
konsumsi ransum, penggunaan energi sudah tidak efisien lagi. hal ini disebabkan oleh sejumlah
energi yang seharusnya digunakan untuk pertumbuhan, terpaksa digunakan untuk aktifitas
fisiologis tubuh karena suhu yang tinggi. Sebaliknya pada suhu rendah (sejuk hari) ayam akan
makan dengan frekuensi lebih banyak sehingga konversi ransum akan lebih baik (amrullah,
2003).

Konsumsi air minum


Hasil analisis ragam ditunjukkan bahwa pembagian persentase pemberian ransum siang
dan malam hari berpengaruh nyata terhadap konsumsi air minum broiler (P<0.05). Hasil uji
jarak berganda Duncan menunjukkan bahwa konsumsi air minum broiler pada R1, R2, dan R3
berbeda nyata (P<0.05) terhadap R4 danR5. pada Tabel 2 terlihat bahwa konsumsi air minum
pada R1, R2, R3, lebih rendah daripada R4 dan R5. oleh karena ransum yang diberikan siang
hari lebih banyak, ayam mengalami cekaman panas yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan
R1, R2, dan R3. Cekaman panas yang diderita oleh ayam pada R4 dan R5 selain berasal dari
suhu lingkungan di sekitar kandang juga berasal dari ransum yang dikonsumsi yang
menyebabkan panas thermogenik dari pencernaan dan metabolisme sehingga untuk menjaga
suhu tubuhnya agar tetap stabil ayam akan meningkatkan konsumsi air minumnya. Hal ini juga
diikuti oleh rendahnya konsumsi ransum pada R4 dan R 5 yakni sebesar 632.77 g.ekor -
1
.minggu-1 dan 629.67 g.ekor-1.minggu-1 (Tabel 2). Menurut Soeharsono (1976), pada suhu
lingkungan yang tinggi ternak akan meningkatkan frekuensi pernafasan (evaporasi) sehingga
konsumsi air minum juga meningkat. Unandar (2003) menambahkan bahwa gangguan
pernafasan pada broiler dapat berpengaruh negatif pada konsumsi ransum. Hal ini juga karena
terjadinya peningkatan konsumsi air minum pada suhu yang tinggi. Unggas akan sulit
mengatur suhu tubuhnya pada suhu yang tinggi, sehingga tubuh unggas menjadi panas yang
berakibat pada penurunan konsumsi ransum dan meningkatnya konsumsi air minum.

Pertambahan bobot tubuh


Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan berbeda nyata (P<0,05) terhadap pertambahan
bobot tubuh broiler (Tabel 2). Hasil uji jarak berganda Duncan menunjukkan bahwa perlakuan
R1, tidak berbeda nyata terhadap R2, dan R3, namun R2, dan R3 berbeda nyata dengan R4 dan
R5 (P<0,05). Perlakuan R4 dan R5 yakni pemberian ransum yang lebih banyak persentasenya
pada siang hari daripada malam hari. Hasilnya menunjukkan bahwa pertambahan bobot
4
tubuhnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan ayam yang mendapatkan pemberian ransum
lebih banyak pada malam hari. Pemberian ransum yang lebih banyak di malam hari yakni pada
saat suhu yang rendah menyebabkan ayam mengonsumsi ransum lebih banyak . . Ransum yang
dikonsumsi banyak pada malam hari sangat efisien dan dialokasikan untuk pembentukan
jaringan tubuh. Hal ini karena konsumsi ransum dengan jumlah sedikit pada siang hari akan
menekan panas yang terbuang sia-sia karena proses metabolisme sehingga ayam tidak
mengalami tekanan panas yang tinggi.
Selain itu, ransum yang lebih banyak dikonsumsi saat malam hari (saat suhu rendah)
merupakan waktu yang sangat baik untuk proses pencernaan dan penyerapan zat-zat nutrisi
dari ransum yang dikonsumsi. Oleh karena proses pencernaan dan penyerapan nya baik,
menyebabkan pertambahan bobot tubuh yang lebih baik pula. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Anggorodi (1994) bahwa pertumbuhan dipengaruhi oleh konsumsi ransum serta lingkungan
kandang tempat produksi, lingkungan kandang harus memberikan kenyamanan pada ayam.
Menurut Rao, Nagalashmi, dan Redy (2002), suhu tubuh unggas meningkat setelah
mengonsumsi ransum disebabkan oleh proses thermogenik dari pencernaan dan metabolisme.
Pada pemberian ransum pagi, pengaruh thermogenik bersamaan dengan peningkatan suhu
lingkungan akan memperparah unggas akibat stres panas. Pengaruh thermogenik berakhir
setelah 8—10 jam pada suhu 35 °C, dibandingkan hanya 2 jam pada suhu 20 °C. Produksi
panas metabolik 20—70% lebih rendah pada ayam yang lapar dibandingkan dengan ayam
setelah diberi makan.

Konversi ransum
rata-rata konversi ransum pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 2.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa persentase pemberian ransum siang dan malam hari
tidak berpengaruh nyata (P>0,05).Walaupun secara statistik tidak berbeda nyata, dari Tabel 2
terlihat bahwa perlakuan R1 dan R2 memberikan nilai konversi ransum yang lebih kecil dari
pada R3, R4, dan R5. Perlakuan R1 (persentase pemberian ransum 30% siang dan 70% malam
hari) serta R2 (persentase pemberian ransum 40% siang dan 60% malam hari) merupakan
perlakuan yang memberikan ransum kepada ayam sedikit pada saat suhu panas dan jumlah
yang banyak saat sejuk hari. Ketersediaan ransum yang lebih banyak di malam hari dan suhu
yang terendah terjadi di malam hari. ayam akan mengonsumsi ransum lebih banyak dan betul-
betul dikonversikan untuk pertambahan berat tubuh ayam. sehingga ransum yang dikonsumsi
jadi efisien.. Hal ini terbukti dengan lebih rendahnya angka konversi ransum pada perlakuan
R1 dan R2.. Hal ini sesuai dengan pendapat amrullah (2003) yang menyatakan bahwa
pemberian ransum pada jam-jam sejuk akan membantu mengefisienkan ransum sehingga
konversi ransum akan lebih baik. Menurut rao, Nagalashmi, dan Redy (2002), konsumsi
ransum yang rendah merupakan penyebab utama dari rendahnya penampilan broiler selama
suhu tinggi

Kesimpulan
Pembagian persentase pemberian ransum siang dan malam hari berpengaruh nyata terhadap
pertambahan berat tubuh dan konsumsi air minum, serta tidak berpengaruh terhadap konsumsi
dan konversi ransum broiler . Pembagian persentase pemberian ransum siang dan malam hari
yang terbaik adalah pemberian siang hari 30% dan malam hari 70%.

Daftar Pustaka
5
Amrullah, I.K. 2003. Nutrisi Ayam Broiler. Cetakan ke-1. Lembaga Satu Gunung Budi.
Bogor.
Anggorodi, R. 1985. Kemajuan Mutakhir Ilmu Makanan Ternak Unggas. Cetakan ke-1.
Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Fati, N. 1991. Pengaruh beda Ketinggian Tenpat dan Luas Kandang terhadap Laju
Pertumbuhan Ayam Broiler. [Skripsi]. Fakultas Peternakan. Universitas Andalas.
Padang.
Marjuman, E. 1995. Pengaruh Suhu Kandang dan Imbangan Kalori-Protein Ransum terhadap
Laju Metabolisme Basal, Pertumbuhan, Efisiensi Penggunaan Ransum, dan Deposisi
Lemak pada Ayam Broiler. [Disertasi]. Fakultas Peternakan. Universitas Padjadjaran.
Bandung.
North, M.O and D.D. Bell. 1990. Commercial Chicken Production Manual. 4 th Ed. Avi
Publishing Company Inc. Van Norstrand Reinhold. New York.
Priyatno, M.A. 2000. Mendirikan Usaha Pemotongan Ayam. Cetakan ke-3. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Rao, R,S.V., D. Nagalashmi, and V.R. Redy. 2002. Feeding to Minimize Heat Stress. Poultry
International. 41: 42 – 46.
Schaibel. P.J. 1976. Poultry Feed and Nutrition. 1 st Ed. Department Lansing. Michigan.
Soeharsono. 1976. “Respons Broiler terhadap Berbagai Kondisi Lingkungan”. [Disertasi].
Program Pasca Sarjana. Universitas Padjadjaran. Bandung.
Steel, R.G.D and J.H.Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika. Edisi ke-2. Alihbahasa
oleh B. Sumantri. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Unandar, T. 2003. “Temu Plasma PINTAR 2003”. Bahan Seminar Teknis Bersama Elanco
Animal Health Indonesia dan PINTAR Lampung. Bandar Lampung, 14 Februari 2003.

Anda mungkin juga menyukai