Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
ISBN 978-979-1157-53-7
KATA PENGANTAR
Ardhi Arsala Rahmani atau Ardhi adalah seorang profesional
berpengalaman dengan pengalaman luas dalam menganalisa isu-
isu high politic terkait dengan krisis iklim. Kami bertemu melalui
seorang teman, dan melihat karyanya tentang dimensi politik
percakapan krisis iklim telah mencetuskan ide untuk kami ber-
kolaborasi dalam menciptakan buku ini. Dia pernah bekerja
untuk Global Green Growth Initiatives sebagai konsultan untuk
tim pengembangan pengetahuan dan kapasitas sebelum meng-
undurkan diri dan melanjutkan studinya di School of Government
and Public Policy. Latar belakangnya, publikasi sebelumnya, dan
kecerdasannya membuat saya percaya bahwa dia adalah orang
yang tepat untuk memperkenalkan kerangka kerja kebijakan iklim
dan aksi iklim global melalui tulisannya disini. Buku ini ditujukan
bagi masyarakat, khususnya pelajar, yang ingin mendalami sejarah
dan dasar kebijakan iklim; dari Stockholm ke Rio, Kyoto ke Bali,
Copenhagen ke Paris.
Salam,
Jonathan Davy
DAFTAR ISI
Kata Pengantar i
PRAKATA
Keilmuan dan Perkembangan Isu Iklim Kontemporer iv
BAB 1
Gerakan Sosial-Politik, Tata Kelola
dan Kebijakan Iklim Global 1
Tetesan Pertama: Kisah-kisah yang Membawa
Reaksi & Melahirkan Gelombang Aksi 1
Konferensi Lingkungan Dunia Pertama 4
Tahun-tahun Menuju Konvensi Kerangka Iklim Global 6
Kyoto Protokol 10
Rencana Aksi Bali & Kesepakatan Kopenhagen 13
Persetujuan Paris 15
BAB 2
Indonesia in the Spotlight – Peran dan Posisi
Indonesia dari DUNCHE hingga Perjanjian Paris
Indonesia di Stockholm, 1972 17
Indonesia di Stockholm, 1972 17
Institusionalisasi Politik
yang kemudian melahirkan gerakan 20
Indonesia dan UNFCCC hingga Protokol Kyoto 21
Indonesia Pasca-Kopenhagen: Komitmen Penurunan
Emisi & Pembangunan Rendah Karbon 22
BAB 3
Masa Depan Perubahan Iklim – Ekspektasi Jangka
Pendek dan Jangka Panjang 27
Kebersamaan ini...janganlah cepat berlalu 28
Mengapa kehidupan di dunia perlu merata? 29
Kesempatan kedua...hapuskan emisi dunia 32
Aksi Perubahan Iklim Sekarang & Nanti 34
iv PERJALANAN AKSI IKLIM GLOBAL
DAFTAR PUSTAKA 40
Prakata 41
Bab 1 42
Bab 2 43
Bab 3
Profil Penulis 45
Tentang FNF 46
PERJALANAN AKSI IKLIM GLOBAL v
PRAKATA
Keilmuan dan
Perkembangan Isu
Iklim Kontemporer
Gambar 1: Penurunan Massa Es Antartika & Greenland (2003 - 2017) dan Tingkat Penurunannya [2].
PERJALANAN AKSI IKLIM GLOBAL vii
1 Gerakan Sosial-Politik,
Tata Kelola dan
Kebijakan Iklim Global
Sebagai manusia, kita telah berkembang untuk atribusikan
fenomena dalam kerangka sebab-akibat. Hal ini tentunya kita
lakukan untuk lebih memahami dunia di sekitar kita, khusus
untuk fenomena alamiah, sains eksakta melahirkan rumus, for-
mulasi dan segala bentuk hukum yang bernarasi sebab akibat.
Namun, untuk fenomena sosial-politik, kerangka sebab-akibat
tidak dapat direduksi dalam bentuk hukum termodinamika.
Rangkaian-rangkaian kejadian sosial-politik selalu bersifat kom-
pleks, inter-dinamis, bercabang dan berseri. Kita dapat berce-
rita bagaimana Perang Dunia Ke-2 dimulai oleh Jepang pada
saat mereka menyerang Manchuria, atau dimulai Jerman saat
mereka mengokupasi Sudetenland. Yang jelas, satu aksi tidak
dapat secara tunggal menjadi penyebab terjadinya fenomena
sosial-politik, dibutuhkan rentetan-rentetan aksi, tindakan dan
gebrakan lainnya untuk mengkristalisasi sebuah gerakan dan ini
berlaku untuk gerakan iklim global. Jika satu tetesan pada se-
buah genangan air hanya akan menghasilkan reverberasi dan
gelombang sekilas, sedangkan rintik-rintik air akan meningkat-
kan frekuensi gelombang, maka guyuran deras akan membuat
genangan terombang-ambing.
Gambar 1: Rachel Carson berlatar belakang ilmu biologi kelautan. Pada masa-masa pertarungannya untuk
meningkatkan kepedulian publik akan isu lingkungan, ia sedang bertarung juga dengan kanker payudara.
PERJALANAN AKSI IKLIM GLOBAL 3
4 PERJALANAN AKSI IKLIM GLOBAL
Gambar 3:
Konferensi
PBB mengenai
Lingkungan
Manusia di
Stockholm, 1972.
6 PERJALANAN AKSI IKLIM GLOBAL
Gambar 5:
Video Pidato
Severn Cullis-
Suzuki di Rio
sudah ditonton
oleh 32 juta orang
sejak diunggah
pada tahun 2008.
10 PERJALANAN AKSI IKLIM GLOBAL
Kyoto Protokol
Menindaklanjuti disahkannya UNFCCC, dan dibuatnya Konferensi
Para Pihak (Conference of Parties/COP) sebagai badan pembuat
keputusan tertinggi, para pihak-pihak yang telah meratifikasi ber-
temu kembali dalam pertemuan-pertemuan COP untuk memutus-
kan tata-cara mencapai tujuan yang tertuang dalam Artikel 2 dari
UNFCCC. Pertemuan COP pertama diadakan di Berlin pada
tahun 1995—namun baru di Kyoto, saat COP-3 diadakan dari
1 – 10 Desember 1997, perjanjian yang mengatur tata-cara men-
capai tujuan UNFCCC secara mengikat dirumuskan dan dinego-
siasikan. Tata-cara yang diatur berbentuk target penurunan emi-
si yang mengikat secara hukum untuk negara-negara Annex I.
Hal ini mencerminkan penemuan dari Laporan Kajian IPCC yang
kedua (IPCC Second Assessment Report/SAR) yang secara
spesifik mengatribusikan penyebab perubahan iklim pada ak-
tivitas industri yang dilakukan oleh negara-negara maju. Setelah
negosiasi intens selama pertemuan yang memakan waktu satu
minggu lebih, perjanjian turunan yang secara lengkap berjudul
Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on
Climate Change, disahkan pada akhir pertemuan COP-3 dan di-
puji sebagai pencapaian karena negara-negara Annex I menyetu-
jui penurunan emisi bertarget dengan periode waktu yang ditetap-
kan. Dalam dokumen UNFCCC yang asli, ada 41 negara-negara
pihak yang ditetapkan sebagai Annex I, dan dengan adanya Pro-
tokol Kyoto, negara-negara tersebut diwajibkan untuk mengurangi
emisi mereka sebesar 5-persen di bawah level emisi tahun 1990
mulai dari tahun 2008 hingga 2012. Ketentuan ini dinilai lebih pro-
gresif daripada anjuran yang tertuang dalam dokumen UNFCCC
yang hanya mengajak negara-negara Annex I untuk secara suka-
rela mengembalikan emisi mereka ke level emisi tahun 1990.
Dengan dokumen ini, jika negara A menghasilkan emisi sebesar
10 GtCO2 pada tahun 1990, dan pada saat penandatanganan
Protokol Kyoto di tahun 1997 negara tersebut menghasilkan emisi
sebesar 17 GtCO¬2. Maka, antara tahun 2008 hingga 2012, negara
A harus memastikan bahwa emisinya menurun menjadi 9,5 GtCO2
(yang didapatkan dari 10 GtCO2 dikurangi 5-persen).
PERJALANAN AKSI IKLIM GLOBAL 11
Gambar 6:
Wakil Presiden
Amerika Serikat,
Al-Gore mem-
berikan Pidato
pada Pertemuan
Para Pihak (COP)
Ketiga di Kyoto,
1997.
Persetujuan Paris
Setelah berakhirnya periode komitmen penurunan emisi bertarget
yang diatur dalam Protokol Kyoto pada tahun 2012, negara-negara
yang terikat oleh Protokol Kyoto menyetujui pengesahan Aman-
demen Doha (Doha Amendment) yang membuat komitmen peri-
ode kedua berlangsung dari tahun 2013 hingga 2020. Komitmen
periode kedua tersebut diatur serupa dengan stipulasi dalam Pro-
tokol Kyoto yang diperjelas dalam Kesepakatan Marrakesh seperti
pada periode pertama, dengan target penurunan emisi yang baru.
Meskipun demikian, perencanaan dan formulasi jenis komitmen
penurunan emisi baru, sebagaimana telah tertuang dalam do-
kumen Kesepakatan Kopenhagen dan Perjanjian Cancun, tetap
dikembangkan secara lebih jauh untuk membuat perjanjian baru
yang dapat menggantikan Protokol Kyoto seusai periode komit-
men kedua. Perjanjian penerus Protokol Kyoto yang dimaksud
tersebut baru dibentuk pada pertemuan COP-21 yang diadakan
di Paris pada tanggal 30 November hingga 12 Desember 2015.
Hingga Mei 2019, Perjanjian Paris telah ditandatangani oleh 195
negara dan diratifikasi oleh 185 negara.
Gambar 8: Dengan sistem NDC ini, setiap negara dapat mengajukan ambisi
Perayaan penurunan emisi mereka secara tanpa syarat (unconditional) atau
Keberhasilan
Disepakatinya
bersyarat (conditional). Jumlah emisi yang diajukan berbentuk
Persetujuan persentase dari prospek emisi dalam skenario tanpa adanya NDC
Paris. (business-as-usual/BaU). Skenario BaU ini ditentukan dari pola
dan tren historis emisi suatu negara yang dibandingkan dengan
perencanaan jangka panjang suatu negara tersebut yang berkai-
tan dengan sektor beremisi (misalnya rencana kehutanan dan
rencana energi). Pada penandatangan Perjanjian Paris, Indonesia
juga mengajukan target penurunan emisinya untuk tahun 2030.
Target penurunan emisi gas rumah kaca yang diajukan pun lebih
ambisius daripada target nationally appropriate mitigation actions
(NAMA) yang disampaikan pada tahun 2010 untuk Kesepakatan
Kopenhagen. Dalam NDC Indonesia, target penurunan emisi se-
besar 29% tanpa syarat dibandingkan skenario BaU. Selain itu,
Indonesia juga menambahkan target penurunan sebesar 41%
dibandingkan skenario BaU jika mendapatkan bantuan inter-
nasional sebagaimana ditetapkan pada stipulasi-stipulasi yang
ada dalam Perjanjian Paris—yakni dalam bentuk pendanaan,
pengembangan kapasitas atau transfer teknologi.
PERJALANAN AKSI IKLIM GLOBAL 17
2 Indonesia in the
Spotlight – Peran
dan Posisi Indonesia
dari DUNCHE hingga
Perjanjian Paris
Di saat banyak negara-negara industri Barat mengalami arus
perkembangan gerakan lingkungan hidup yang dijuluki abad
emas oleh Naomi Klein, kemewahan berekspresi yang dimiliki
negara-negara demokrasi liberal tersebut tidak ada di Indonesia.
Sehingga kondisi struktur sosio-politik selama dekade 1960 ke
1970 tidak memungkinkan lahirnya gerakan-gerakan lingkungan
hidup akar rumput di Indonesia. Namun, sebagaimana disampai-
kan di bab sebelumnya, sains memiliki bahasa yang universal,
dan Indonesia pun terpapar arus keilmuan yang menempatkan
perhatian terhadap lingkungan.
Gambar 2:
Usai menjabat sebagai Presiden,
Susilo Bambang Yudhoyono ditunjuk
menjadi Presiden Majelis GGGI.
PERJALANAN AKSI IKLIM GLOBAL 23
Gambar 4:
Presiden Jokowi
menyampaikan
pidato pada Kon-
ferensi Para Pihak
ke-21 (COP-21)
di Paris, 2015.
PERJALANAN AKSI IKLIM GLOBAL 25
Gambar 5:
Berdasarkan berbagai skenario dalam laporan LCDI, Indonesia sebenarnya hanya perlu menerapkan
kebijakan-kebijakan yang sudah direcanakan untuk NDC jika sekadar ingin memenuhi Perjanjian Paris,
tetapi setelah 2030, emisi akan terus meningkat [7].
26 PERJALANAN AKSI IKLIM GLOBAL
dijamu oleh Indira Gandhi pada suatu pagi tahun 1972 di Stockholm
sayangnya masih dipegang banyak orang hari ini. Memang, tun-
tutan keadilan dan kesetaraan penting untuk dijadikan perhatian,
terlebih lagi saat alokasi pembangunan karbon telah dinikmati
berbagai negara lebih dahulu, sehingga menyebabkan ketimpang-
an sosio-ekonomi dunia. Kendati demikian, materialisasi per-
debatan, saling menyalahkan dan saling menunjuk jari akan per-
tanggungjawaban hanya akan berakhir pada sebuah kepastian
yang saling menghancurkan (mutually assured destruction).
Penggentaran individualistik dapat berhasil pada pertarungan
yang melibatkan hanya satu atau dua pihak, namun di saat per-
tarungan berdampak pada dunia secara keseluruhan maka per-
lombaan bukan untuk saling mengambil atau menyaingi tapi
saling membantu [11].
Melihat realita tersebut, adalah hal wajar untuk kemudian kita terus
mengupayakan kehidupan yang merata dan berkecukupan bagi
semua golongan. Hal ini tentunya bukan hanya untuk meng-
hadapi COVID-19, tapi permasalahan lingkungan global dan
potensi pandemi-pandemi berikutnya. Sebagaimana pesan
Indira Gandhi ke Emil Salim hampir setengah abad yang lalu,
masyarakat miskin akan lebih rentan terhadap dampak kerusakan
lingkungan. Kita pun sudah melihat ini dengan nyata melalui ben-
cana alam seperti banjir tahunan yang melanda berbagai sudut
Indonesia, di mana mereka yang tidak mempunyai pilihan lokasi
tempat tinggal atau mampu meninggikan rumah-rumah mere-
ka harus rela kehilangan harta hingga nyawa karena banjir. Oleh
karenanya, perjuangan melawan COVID-19 dan perjuangan me-
lawan perubahan iklim di kemudian hari seyogyanya merupakan
perjuangan melawan ketimpangan juga [13].
Gambar 1:
Ketimpangan akses sumber daya
akibat perubahan iklim akan me-
mantik konflik di berbagai belahan
dunia. Instabilitas akan berdampak
pada semua lapisan masyarakat.
PERJALANAN AKSI IKLIM GLOBAL 31
32 PERJALANAN AKSI IKLIM GLOBAL
Gambar 2: Judul subbab ini memang terkesan berlebihan. Kita belajar dari
Perbandingan
langit Beijing
pendahuluan buku ini bahwa emisi merupakan kejadian alamiah
sebelum dan yang bisa dikeluarkan melalui pembangkaian dan pembuangan
saat ada pandemi. angin manusia itu sendiri, sehingga penghapusan emisi secara
total adalah tidak mungkin. Namun, menguranginya secara sig-
nifikan hingga titik di mana ibu pertiwi dapat bernapas kembali
dan memulihkan diri bukan hal mustahil. COVID-19 memberi-
kan peluang bagi kita untuk mengulangi kesuksesan perjuangan
memulihkan lapisan ozon yang dimulai pada tahun 1985 melalui
PERJALANAN AKSI IKLIM GLOBAL 33
Ke mana kita mengarah masih bisa kita tentukan hari ini. Penentu-
an arah tersebut bergantung pada tindakan yang kita ambil se-
bagai individu dan manusia secara kolektif.
PRAKATA
BAB 1
BAB 2
BAB 3
PROFIL PENULIS
TENTANG FNF
• Demokrasi
• Supremasi Hukum
• Hak Asasi Manusia
• Kebebasan Ekonomi
• Perubahan Iklim
Buku ini bertujuan untuk mendokumentasikan dan menjadi
pengantar terkait usaha-usaha global yang telah dilakukan untuk
memayungi usaha perlambatan perubahan iklim, dan pengaruh-
nya terhadap kebijakan yang diambil oleh Indonesia.
Selain itu, buku ini juga akan menyorot peran Indonesia dalam
aksi iklim global, dan ingin memberikan pandangan dan sikap
untuk berjuang bersama-sama mewujudkan pembangunan
rendah karbon pasca pandemi COVID-19 di Indonesia.
Bagi para penggerak iklim yang sudah aktif maupun baru me-
mulai, buku ini dapat memberikan landasan pemikiran dan
pergerakan yang membawa perspektif internasional ke level
nasional dan akar rumput. Semoga buku ini dapat membantu
kalian, seperti buku ini telah membantu saya dalam mendorong
aksi nyata melawan perubahan iklim.