Anda di halaman 1dari 103

BUKU PROSIDING

Peningkatan Keterampilan Klinis Dokter Umum


dalam Praktik Sehari-Hari

Simposium
Peningkatan Ketrampilan Klinis THT-KL untuk Dokter Umum
Dalam Upaya Meningkatkan Pelayanan Kesehatan
serta Ketrampilan kepada Dokter Umum

Gd. Pangkal Pejuang, RSUD Karawang, 7 Oktober 2018

Diterbitkan oleh :
Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran
Jl. Eijkman No. 38 Bandung 40161
Telp. 022 – 2037823
http://www.fk.unpad.ac.id
e-mail :
Balik Halaman Judul

PROSIDING
Peningkatan Keterampilan Klinis Dokter Umum dalam Praktik Sehari-Hari
Simposium Peningkatan Ketrampilan Klinis THT-KL untuk Dokter Umum
Dalam Upaya Meningkatkan Pelayanan Kesehatan serta Ketrampilan
kepada Dokter Umum
Karawang, 7 Oktober 2018

Steering Committee : 1 Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., Sp.THT-KL(K)., M.Kes., FICS
2. M. Bima Mandraguna, dr., Sp.THT-KL., FICS
3. Aditya Arifianto, dr., Sp.THT-KL., FICS
4. Erlina Julianti, dr., Sp.THT-KL., M.Kes
5. Yuswandi Affandi, dr., Sp.THT-KL
Pelindung : Ketua Perhati-KL Cabang Jawa Barat
Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., Sp.THT-KL(K)., M.Kes., FICS
Penasehat : 1. Prof. Dr. Thaufiq S Boesoirie, dr., Sp.THT-KL(K)., M.Sc
2. Prof. Dr. Iwin Sumarman, dr., Sp.THT-KL(K)., KAI.KRN
3. Prof. Dr. Teti Madiadipoera, dr., Sp.THT-KL(K)., F.AAAAI
Reviewer : 1. Dr. Ratna Anggraeni Agustian, dr., Sp.THT-KL(K)., M.Kes
2. Dr. Lina Lasminingrum, dr., Sp.THT-KL(K)., M.Kes
Editor : Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., Sp.THT-KL(K)., M.Kes., FICS
Ketua : M. Bima Mandraguna, dr., Sp.THT-KL., FICS
Wakil Ketua : Arif Dermawan, dr., Sp.THT-KL(K)., M.Kes
Sekretaris: : Erlina Julianti, dr., Sp.THT-KL., M.Kes
Bendahara : Tantri Kurniawati, dr., Sp.THT-KL., M.Kes

Diterbitkan oleh :
Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, Jl. Eijkman No. 38 Bandung
40161 Telp. 022 – 2037823
http://www.fk.unpad.ac.id
e-mail :
Copyright © 2018
ISBN : 978-602-0877-50-1
Hak cipta dilindungi oleh undang – undang.
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh
isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunianya sehingga buku
Peningkatan Keterampilan Klinis Dokter Umum dalam Praktik Sehari-Hari ini dapat
diselesaikan. Buku panduan ini merupakan kumpulan seminar yang dilaksanakan pada bulan
Oktober 2018 lalu. Sehingga dapat menjadi pedoman bagi dokter umum dalam mendiagnosis
serta menangani pasien dengan kasus THT-KL dalam praktek sehari-hari.

Terimakasih juga disampaikan kepada SMF THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas


Padjadjaran Bandung, Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung dan Kodi PERHATI-KL Cabang
Jawa Barat atas kontribusi dalam penyempurnaan buku ini. Terimakasih kepada seluruh pihak
yang telah berkontribusi dalam editing dan telah ikut membantu dalam penyelesaian buku ini.

Kami menyadari masih terdapat kekurangan dalam buku ini sehingga untuk itu kritik dan
saran terhadap penyempurnaan buku ini sangat diharapkan. Semoga buku ini dapat memberi
maanfaat bagi seluruh dokter umum dan Spesialis THT-KL khususnya dan bagi semua pihak
yang membutuhkan.

Bandung, Oktober 2018

Dr. Yussy Afriani Dewi, dr., M.Kes., Sp.THT-KL (K)., FICS


DAFTAR ISI

Epistaksis 1
Desno Marbun, dr., Sp.T.H.T.K.L .....................................................................
Rinosinusitis 12
M. Ivan Djajalaga, dr., M.Kes., Sp T.H.T.K.L .........................................................
Gangguan Pendengaran 21
Bekti Darmastuti, dr., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L .........................................................
Deteksi Dini Keganasan Laring 30
Infeksi Telinga Richard F Nanlohy, dr., Sp.T.H.T.K.L ............................................
Obstruksi Saluran Nafas Atas (OSNA) 40
Erlina Julianti, dr., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L ..............................................................
Fraktur Maksilofasial 53
M. Bima Mandraguna, dr., Sp.T.H.T.K.L., FICS ....................................................
Deteksi Dini Keganasan Kepala dan Leher 61
Aditya Arifianto, dr., Sp.T.H.T.K.L., FICS .............................................................
Kegawatdaruratan di bidang THT-KL 70
Ichsan Juliansyah Juanda, dr., Sp.T.H.T.K.L ...........................................................
Kompetensi di Bidang THT-KL untuk Dokter Umum 92
R. Ayu Hardianti Saputri, dr., Sp.T.H.T.K.L ...........................................................
EPISTAKSIS
Desno Marbun, dr., Sp.T.H.T.K.L

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Keadaan bagian dalam dari rongga hidung menyediakan keadaan yang baik untuk perubahan aliran
udara laminar. Selama proses inspirasi, akan terjadi proses penyaringan humidifikasi udara oleh epitel
kolumnar pseudostratified bersilia. Daerah mukosa hidung, terutama sepanjang daerah konka media
dan inferior banyak mengandung pembuluh darah pada daerah lamina propia. Arteriola pada daerah
konka yang masuk dan melewati tulang konka akan dikelilingi oleh pleksus venosus yang
dikendalikan oleh saraf parasimpatis. Jika terdapat dilatasi pada arteri akan menyebabkan terjadinya
sumbatan pada pleksus venosus sehingga akan menyebabkan terjadinya sumbatan (kongesti) pada
daerah hidung.
Kartilago septum tidak mengandung pembuluh darah intrinsik dan dilindungi oleh lapisan
mukoperikondrium.
Kelenjar mukus dan serous banyak terdapat didaerah hidung, terutama daerah konka. Keadaan dalam
hidung sangat mudah dipengaruhi oleh keadaan di luar lingkungan. Sekresi cairan dari kelenjar
tersebut dibutuhkan untuk melindungi mukosa dan aktivitas ciliar.
Pembuluh darah mukosa hidung yang berhubungan dengan dunia luar dan tidak terlindung mudah
ruptur dan menyebabkan perdarahan. Terutama pembuluh darah septum, kurang ditunjang atau
dilindungi terhadap rangsangan luar, hanya terlindung oleh mukosa yang tipis. Sekali terluka,
pembuluh darah tidak dapat melakukan retraksi ke dalam submukosa yang tipis. Karenanya luka
ringan atau erosi saja sudah dapat menyebabkan perdarahan hidung yang hebat.
2. Rumusan Masalah
Bagaimana cara penatalaksanaan pasien dengan kasus perdarahan hidung atau epistaksis?
3. Tujuan
Untuk mengetahui dan memahami berbagai macam kasus epistaksis dan bagaimana
penatalaksanaannya.

1
BAB II
PEMBAHASAN

Fisiologi Pembuluh Darah Hidung


Pengaturan sirkulasi darah hidung bergantung pada keberadaan anastomosis arteroarterial antara
berbagai pembuluh darah yang mensuplai hidung. Cabang-cabang dari A. Ethmoidalis Anterior dan
Posterior bertemu pada daerah 1/3 atas hidung dan cabang-cabang A. Sphenopalatina beranastomosis
dengan cabang-cabang A. Ethmoidalis di atas konka media. Ada dugaan bahwa anastomosis ini dapat
melewati garis tengah, berada pada perbatasan dengan nasofaring atau antara kedua A. Ethmoidalis
Anterior yaitu di daerah krista gali. Berbagai variasi letak anastomosis ini menerangkan mengapa
pada beberapa kasus, terjadi kegagalan ligasi.

Patologi perdarahan hidung


Shaheen, 1967 meneliti kelainan arteri hidung pada kadaver yang semasa hidupnya sering mengalami
epistaksis. Terlihat terjadi perubahan yang progresif, dimana lapisan otot dari pembuluh darah
digantikan oleh jaringan kolagen. Perubahan ini bervariasi, mulai dari terjadinya fibrosis interstisial
sampai terjadinya jaringan parut yang menggantikan seluruh lapisan otot. Tetapi tidak bisa dikatakan
bahwa perubahan ini yang mendasari pecahnya arteri. Bila ditinjau dari segi lamanya perdarahan yang
terjadi, perubahan ini dapat diperhitungkan karena arteri gagal berkontraksi akibat kekurangan
jaringan otot di tunika media.
Hal tersebut di atas juga memperlihatkan bahwa ukuran pembuluh darah yang lebih besar dari A.
Maksilaris cenderung mengalami kalsifikasi (Monckeberg's sclerosis). Kurangnya elastisitas
pembuluh darah menyokong patogenesis pecahnya pembuluh darah kecil dengan timbulnya hipertensi
sistolik lokal. Diduga, mekanisme epistaksis yang sebenarnya adalah terputusnya aneurisma dari A.
Nasopalatina atau salah satu cabangnya, tetapi faktor penyebab belum bisa dipastikan.
Yang juga masih menjadi misteri adalah mengapa pada usia muda sering terjadi perdarahan yang
berasal dari vena retro-kolumela. Pada pengamatan segera setelah terjadi perdarahan vena, didapatkan
adanya area yang membengkak pada vena, kemungkinan area ini adalah area yang lemah pada
dinding vena, yang terjadi karena iskemi lokal atau trauma.
Pada anak dan dewasa muda, epistaksis terutama timbul dari bagian anterior septum yang disebut
daerah Little atau Pleksus Kiesselbach. Daerah ini terbuka terhadap efek pengeringan udara inspirasi
dan trauma kecil multipel. Terjadi ulkus, ruptur, atau kondisi patologik lokal lainnya, selanjutnya
timbul perdarahan.
Pada orang yang lebih tua, lokasi perdarahan lebih sering ditemukan berasal dari bagian posterior
hidung. Penyebab biasanya bukan karena trauma tetapi lebih mungkin ruptur spontan pembuluh darah
yang sklerotik. Perdarahan akan lebih berat jika pasien menderita hipertensi.

2
Etiologi
Pengetahuan tentang anatomi hidung khususnya tentang vaskularisasi pembuluh darah hidung sangat
penting untuk mengetahui lokasi dan pengendalian perdarahan aktif.
Epistaksis atau perdarahan dari bagian dalam hidung dapat primer atau sekunder, spontan atau akibat
rangsangan, dan berlokasi di sebelah anterior atau posterior. Berdasarkan penelitian, 90-95 %
epistaksis berasal dari daerah anterior. Sebagian besar dari kasus ini disebabkan sekunder terhadap
manipulasi, suhu relatif dingin dengan kelembaban rendah dan penggunaan dekongestan nasal spray
jangka lama.
Episode epistaksis minor tunggal dengan riwayat dan pemeriksaan fisik normal tidak memerlukan
suatu evaluasi yang ekstensif. Sebaliknya, episode epistaksis berat dan berulang memerlukan
pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan penyebabnya. Karena epistaksis dapat merupakan
manifestasi dari kelainan lokal yang lebih serius atau penyakit sistemik. Sangat berguna untuk
membagi penyebab epistaksis ke dalam 2 kategori:
LOKAL;
1. ldiopathic
Trauma: Self-inflicted, maxillo-facial fractures, iatrogenic surgery, kondisi hidung kering, septum
deviasi dan perforasi, benda asing, inflamasi, alergi.
2. Infeksi.
3. Tumor: angiofibroma, Ca nasofaring.
4. Nasal spray, Alkohol, bahan kimia, obat.
SISTEMIK;
1. Atherosclerosis
2. Diskrasia darah
3. Hereditary hemorrhagic telangiectasia (HHT)

FAKTOR LOKAL: Trauma adalah penyebab paling umum dari epistaksis lokal. Anak-anak atau
orang dewasa dengan kebiasaan mengorek hidung mempunyai insidensi yang tinggi terjadinya
epistaksis hidung anterior.
Trauma yang berkelanjutan merusak perikondrium, sehingga terjadi perforasi septum. Perforasi
septum menghasilkan aliran udara turbulen, timbul kekeringan dan pembentukan krusta dan
perdarahan halus.
Trauma tulang nasal dapat berupa fraktur nasal simpel dan terisolasi atau fraktur midface dan basis
kranial yang berat dan mengancam jiwa dengan perdarahan arteri yang hebat.
Trauma yang terisolasi dari struktur yang berhubungan seperti sinus, orbita, dan telinga tengah dapat
bermanifestasi sebagai perdarahan hidung.
Epistaksis masif pada pasien dengan trias gejala klasik : kebutaan monokuler, fraktur orbita ipsilateral
dan delayed epistaksis dengan riwayat trauma kepala sebelumnya harus diwaspadai kemungkinan

3
pseudoaneurisma arteri karotis interna.
Penderita dengan distorsi rangka hidung yang nyata memerlukan reduksi tertutup dari fraktur sebelum
epistaksis dapat dikontrol.
Septoplasty dan bedah sinus endoskopi dapat menyebabkan epistaksis sebagai komplikasi post
operasi.
Benda asing intranasal biasanya pada anak-anak atau penderita retardasi mental. Gejala nasal
unilateral persisten yaitu perdarahan, rhinorrhea, atau sekret nasal yang berbau merupakan dugaan
kuat adanya benda asing atau tumor. Benda asing menyebabkan laserasi mukosa langsung, infeksi
sekunder dan terjadinya respon inflamasi dengan pembentukan jaringan granulasi.
Reaksi inflamasi lokal sehubungan iritan lingkungan seperti asap rokok dapat mengganggu lapisan
pelindung mukosa normal dan mukosa dibawahnya, menyebabkan kekeringan, timbul krusta,
eksposur dan perdarahan. Penggunaan spray nasal dekongestan dan steroid menimbulkan kekeringan
dan perdarahan.
Penyebab trauma lain pada masyarakat masa kini adalah penyalahgunaan kokain dengan dihisap
melalui hidung. Mukosa hidung mengalami iritasi kronis dan sering terinfeksi, menyebabkan
perforasi septum, pembentukan krusta dan epistaksis.
Neoplasma jinak atau ganas menyebabkan epistaksis tak langsung dari erosi struktur normal sinonasal
atau epistaksis langsung sebagai masa tumor yang sangat vaskuler seperti juvenile angiofibroma atau
hemangioma.
Tumor, baik yang jinak maupun yang ganas akan menghasilkan suatu cairan mukus.
Juvenile angiofibroma adalah neoplasma vaskuler jinak pada laki-laki dewasa muda yang berasal dari
nasofaring atau sinus paranasal, dapat menyebabkan epistaksis masif secara spontan atau sebagai
respon dari trauma atau biopsi. Pada perdarahan hidung ringan yang berulang dengan asal yang tidak
diketahui, dokter harus menyingkirkan kemungkinan suatu tumor nasofaring atau sinus paranasal
yang mengikis pembuluh darah.

FAKTOR SISTEMIK: Faktor sistemik meliputi terjadinya kelainan pembekuan darah, abnormalitas
dari dinding kapiler pembuluh darah, dan terjadinya defisiensi platelet. Epistaksis yang disebabkan
faktor sistemik atau konstitusional lebih jarang daripada faktor lokal.
Gangguan nutrisi atau defisiensi dapat menyebabkan epistaksis. Seorang pecandu alkohol dengan
asupan makan yang buruk dapat menyebabkan kekurangan vitamin (khususnya vitamin C dan K) dan
menurunkan sintesis semua faktor pembekuan, kecuali Von Willebrand Faktor.
Berbagai obat-obatan mempengaruhi mekanisme pembekuan normal, termasuk asam asetilsalisilat,
antikoagulan (heparin, dicumarol), kloramphenikol, penicillin dan derivatnya.
Rinitis atrofi yang dikenal dengan ozaena disebabkan infeksi kronis bakteri Klebsiella ozaenae, dengan
karakteristik krusta nasal dengan mukosa nasal atrofi, fibrotik dan terdapat jaringan parut. Infeksi terutama
penyakit infeksi akut seperti influenza, campak, tipus, dapat menyebabkan epistaksis,

4
biasanya bersifat ringan, tidak lama, khususnya pada anak-anak dan dewasa muda.
Penyakit vaskuler dan sirkulasi seperti arteriosklerosis dan hipertensi menyebabkan epistaksis arterial,
sering pulsatil dan menyembur. Pada keadaan ini terjadi perubahan dinding pembuluh darah
sehubungan dengan usia, khususnya fibrosis tunika media otot arteri. Cenderung mengenai usia
pertengahan dan usia lanjut.
KELAINAN HEMOSTASIS DAN PEMBEKUAN: Hemostasis dan pembekuan adalah serangkaian
kompleks reaksi yang mengakibatkan pengendalian perdarahan melalui pembentukan bekuan
trombosit dan fibrin pada tempat cedera. Pembekuan disusul oleh resolusi atau lisis bekuan dan
regenerasi endotel. Pada keadaan homeostasis, hemostasis dan pembekuan melindungi individu dari
perdarahan masif sekunder akibat trauma.
Pada saat cedera, ada 3 proses utama yang bertanggung jawab atas hemostasis dan pembekuan:
1. Vasokonstriksi sementara
2. Reaksi trombosit yang terdiri dari adhesi, reaksi pelepasan dan
agregasi trombosit
3. Pengaktifan faktor- faktor pembekuan
Gangguan perdarahan herediter yang paling sering dijumpai adalah hemofilia, suatu penyakit X-
linked resesif. Semua anak perempuan dari pria penderita hemofilia menjadi karier. Anak lelaki dari
wanita karier hemofilia mempunyai kemungkinan 50% menjadi penderita. Dapat ditemukan wanita
homozigot dengan hemofilia (ayah hemofilia,ibu karier), tetapi sangat jarang.
Defisiensi faktor plasma didapat dikaitkan dengan menurunnya pembentukan faktor pembentukan
seperti yang ditemukan pada penyakit hati atau defisiensi vitamin K.
Karena hati merupakan tempat utama sintesis faktor II, V, VII, IX, dan X, maka kerusakan hati yang
berat (sirosis) akan merubah respon hemostasis.
Adanya gangguan pada trombosit yaitu trombositopenia dan juga trombastenia dapat menyebabkan
terjadinya epistaksis.
Akut ITP biasanya terjadi pada anak-anak yang terjadi setelah infeksi virus pada saluran pernafasan.
Biasanya akan sembuh spontan dalam 4-6.minggu pada 60% pasien, dan lebih dari 90% pasien akan
sembuh pada 3-6 bulan.
Anemia aplastik terjadi karena adanya kerusakan pada seluruh populasi stem cell di sumsum tulang.
Leukemia adalah neoplasma dari sel-sel hematopoietik. Leukemia diklasifikasikan berdasarkan asal
sel menjadi jenis myeloid dan limfoid. Selain itu leukemia juga diklasifikasikan menurut waktu
menjadi akut dan kronik. Pada saat ini leukemia juga diklasifikasikan menurut sifat biologis,
antigenik, dan karakteristik molecular.

Penatalaksanaan
Pasien yang mengalami epistaksis ringan, pada saat penanganan, terutama pada pasien anak-anak,
dalam posisi duduk tegak. Ada beberapa tindakan ringan yang dapat mengurangi terjadinya

5
perdarahan pada epistaksis ringan, diantaranya:
a) Melakukan tekanan yang kuat, kontinu pada kedua sisi hidung tepat di atas kartilago ala nasi.
b) Kantung es atau dingin, sebagai kompres, sehingga dapat menyebabkan terjadinya reflek
vasokonstriksi.
Penentuan sumber epistaksis: Epistaksis anterior terjadi primer di regio Little's area dan sering berasal
dari pembuluh vena. Epistaksis posterior terjadi primer di regio septum posterior, diikuti sesuai
frekuensi di dinding posterolateral nasal yang mengandung pleksus naso-nasofaringeal Woodruff;
sering berasal dari pembuluh arteri.
Kemudian lokasi perdarahan diidentifikasi dengan hati-hati sehingga ditempatkan suatu nasal pack
(tampon).
Pasien harus dalam posisi duduk. Identifikasi dari kebanyakan epistaksis anterior dapat dilengkapi
dengan iluminasi, lampu kepala atau kaca, spekulum hidung, forcep bayonet, suction Frazier untuk
hidung dan suction Yankauer untuk bekuan darah kavum oris.
Bila sebelumnya telah dipasang tampon atau balon tetapi tidak berhasil mengontrol perdarahan,
mungkin mukosa telah mengalami ekskoriasi dan penentuan asal perdarahan akan lebih sulit.
Identifikasi sumber perdarahan dilakukan setelah pemberian agen vasokonstriktif topikal secara spray,
drop atau pada kapas (oxymetazoline hydrochloride 0,05%, phenylephrine hydrochloride 0,25%.
Pemberian agen ini mungkin akan menghentikan perdarahan sebelum identifikasi.
Bila dengan tindakan di atas lokasi perdarahan masih tersembunyi, dilakukan injeksi submukosa
(lidokain 1% plus epinefrin 1:100.000) di daerah yang diduga merupakan sumber perdarahan sering
akan memperlambat atau menghentikan perdarahan untuk memudahkan visualisasi.
Bila perdarahan terjadi di bagian yang lebih posterior, endoskopi dengan sudut 30° akan menolong
atau suatu otoskop standar dengan spekulum telinga ukuran terbesar memberikan magnifikasi dan
iluminasi yang tidak dimungkinkan dengan suatu lampu kepala.
Bila tidak teridentifikasi sumber perdarahan, dilakukan usaha untuk menentukan pembuluh darah
yang terlibat. Ini dilakukan dengan menemukan pembuluh darah yang paling menonjol atau robek,
kemudian menghapusnya dengan aplikator kapas untuk menginduksi perdarahan ulang.
Tampon hidung menyebabkan edema mukosa hidung, menurunkan transport mukus normal dan dapat
menyebabkan sinusitis. Pemberian antibiotik profilaksis menolong bila dipasang tampon hidung.
Tampon hidung anterior
Tampon hidung anterior dilakukan jika terdapat perdarahan yang aktif, yang tidak berhenti
perdarahanya dengan penekanan, pemberian kompres dingin ataupun pemberian obat-obatan
vasokonstriktor.
Tampon hidung anterior dapat merupakan 'traditional ribbon gauze pack atau balon intranasal yang
ditempatkan pada perdarahan yang dapat atau tidak dapat teridentifikasi. Sebagai alternatif, dapat
dipasang 'mini pack yang ditempatkan langsung pada sumber perdarahan, sehingga menurunkan
ketidaknyamanan pasien.

6
Perdarahan nasal anterior umumnya mudah ditentukan dan ditangani, tetapi bila terdapat septum
deviasi berat dan lokasi perdarahan tidak dapat diidentifikasi, dapat ditempatkan tampon hidung
tradisional untuk hemostasis.
Sebelum dilakukan pemasangan tampon anterior hidung, sebaiknya kita melakukan pemasangan
tampon dari kassa yang diberi zat vasokonstriktor. Pemasangan ini dilakukan selama 3-5 menit. Jika
setelahnya masih didapatkan sumber perdarahan aktif maka dapat dilaniutkan dengan pemasangan
tampon hidung anterior. Perlu diperhatikan bahwa jangan sampai terlalu menekan daerah kolumella
sehingga dapat mengakibatkan terjadinya trauma pada kolumella.
Tampon hidung anterior tradisional dari gauze (kasa) steril oli bervaselin (0.5 x 72 inch) dilapisi salep
anti bakteri ditempatkan secara halus lapis demi lapis ke arah khoana dimulai dari inferior sejajar
lantai sampai menampon bagian superior. Hati-hati pada saat mendorong kassa oli di bawah konkha
inferior. Penempatan kassa oli bagian posterior tidak sampai menggantung atau turun ke arah
nasofaring. Pemberian anestesi lokal sebelum pemasangan tampon akan mengurangi
ketidaknyamanan, menurunkan resiko apnea, bradikardi dan hipotensi dengan menghambat refleks
naso-vaqal.
Beberapa hal yang perlu dilakukan pada saat pemasangan tampon anterior, adalah:
1) Observasi, terutama terhadap PO2 dan PCO2.
2) Humidifikasi oksigen dan bila perlu pemberian obat sedasi.
3) Jika pemasangan tampon tersebut sampai 2 hari, maka sebaiknya dilakukan pemberian antibiotika
spectrum luas.
4) Pemasangan infus dan cross-match darah.

TAMPON HIDUNG POSTERIOR


Tampon hidung posterior diindikasikan untuk pasien yang gagal dengan tampon hidung anterior atau
pada evaluasi perdarahan diketahui dari bagian posterior. Beberapa keadaan yang patut dicurigai
untuk dilakukan pemasangan tampon posterior adalah :
1) Sebagian besar perdarahan terjadi ke dalam faring
2) Suatu tampon anterior yang gagal untuk mengontrol perdarahan.
3) Dari hasil pemeriksaan hidung, didapatkan sumber perdarahan pada
daerah posterior.
Suatu spons atau kassa padat berukuran 4x4 inci yang berbentuk bulat atau kubus yang digulung erat
dan diikat benang sutera NO 1 merupakan tampon yang baik. Pada tampon ini terdapat 3 buah
benang, yaitu 2 buah pada satu sisi dan sebuah benang pada sisi lainya.
Pemasangan tampon hidung posterior memerlukan instruksi khusus kepada pasien sebelum tindakan
karena ketidaknyamanan dan manipulasi jalan nafas. Dianjurkan sedasi ringan intravena bila tidak
ada kontraindikasi.

7
Tehnik pemasangan tampon posterior:
A. Pasien dipersiapkan dalam posisi duduk atau setengah duduk.
B. Suatu kateter karet diarahkan ke posterior hidung kiri dan kanan dan setelah tampak dalam
orofaring, kateter tersebut ditarik melalui rongga mulut.
C. Dua dari tiga tali yang terdapat pada tampon posterior diikatkan pada kateter yang selanjutnya
ditarik kembali melalui hidung, sehingga tampon ikut tertarik dan tertambat pada posisi
postnasal.
D. Kedua ujung benang tampon yang sudah keluar melalui nares anterior kemudian ditarik dan
dengan bantuan ujung jari telunjuk, tampon didorong kearah nasofaring dan ditempatkan pada
daerah post nasal.
E. Jika perdarahan masih tampak dari rongga hidung, maka dilakukan pemasangan tampon anterior
ke dalam kavum nasi.
F. Kedua benang yang keluar dari nares anterior kemudian diikat pada sebuah gulungan kain kassa
di depan lubang hidung, supaya tampon yang terletak di nasofaring tidak bergerak. Benang yang
terdapat pada rongga mulut terikat pada sisi lain dari tampon belloqc, dilikatkan pada pipi pasien.
Guna dari benang tersebut adalah untuk menarik tampon posterior melalui mulut setelah 3-5 hari.

Tampon yang ideal ditempatkan dengan halus di kavum nasi posterior berlawanan dengan septum dan
lantai hidung. Tampon tidak boleh mengisi nasofaring atau menekan palatum molle karena dapat
meningkatkan ketidaknyamanan, menyumbat jalan nafas hidung kontralateral dan meningkatkan
resiko hipoventilasi.
Untuk distribusi tekanan optimum dibagian posterior nasal, Fairbanks merekomendasikan tampon
yang digulung berbentuk kerucut dengan orientasi ke arah posterior dan di luar nasofaring.
Tampon posterior pada umumnya dikombinasi dengan tampon anterior untuk stabilisasi. Bila pasien
dengan tampon hidung anterior yang terpasang baik tetapi masih timbul perdarahan di sekelilingnya,
direkomendasikan teknik blok foramen palatina major yang memberikan efek anestesi dan
tamponade, diikuti dengan tampon posterior.
Pasien yang memerlukan pemasangan tampon posterior harus dirawat. Hal-hal berikut perlu
dipertimbangkan saat pasien masuk rumah sakit.
1. Pemantauan tanda-tanda vital, termasuk tekanan darah, nadi dan pernafasan.
2. Penggunaan oksigen bila perlu karena komplikasi akibat kehilangan darah akut dan penurunan
p02 arteri sehubungan dengan pemasangan tampon. Pulse Oxymetri dianjurkan untuk memeriksa
saturasi oksigen.
3. Elektrokardiogram (pada pasien dengan penyakit jantung).
4. Pemantauan analisa gas darah arteri .

5. Hemoglobin dan hematokrit sedikitnya setiap 12 jam


6. Pemeriksaan kelainan perdarahan

8
7. Pemberian cairan intravena, karena adanya disfagia yang menyebabkan asupan oral yang buruk.
8. Obat antinyeri
9. Pemeriksaan faring untuk mencari perdarahan aktif
10. Kepala ditinggikan 45 derajat
11. Antibiotik spektrum luas profilaksis karena terputusnya pola drainase hidung dan sinus
12. Penentuan jenis dan ketidakcocokan {cross-match) darah bila kehilangan darah cukup bermakna
Tampon posterior dibiarkan pada posisinya selama 3-5 hari. Untuk mengangkat tampon, lidah ditekan
dengan spatel sementara benang atau tampon pada bagian posterior faring dijepit dengan klem
lengkung dan diangkat.

PENCEGAHAN EPISTAKSIS
 Edukasi pasien dapat mencegah banyak episode epistaksis

 Humidifikasi pada iklim kering, mencegah manipulasi digital, menghindari iritan udara, asap dan
kontrol alergi.

 Salep petrolatum atau antibiotik mencegah keringnya mukosa intranasal.

 Penggunaan nasal spray (nasal steroid) harus ditappering-off untuk mempertahankan efek
terapeutik maksimal tetapi menurunkan resiko kekeringan mukosa nasal dan epistaksis.

9
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Kunci pengobatan yang tepat adalah aplikasi tekanan pada pembuluh darah yang mengalami
perdarahan.
Pasien epistaksis yang pada tahap awal perdarahan membutuhkan suatu penanganan yang tepat,
sehingga epistaksis tidak dapat menjadi kelainan yang lebih berat. Pasien dengan perdarahan berat
yang tidak terkontrol dan tidak memberikan respon adekuat dengan penanganan awal harus dirujuk ke
seorang ahli THT.
Derajat, lokasi dan etiologi epistaksis, dan juga status klinis pasien harus ditentukan untuk kecepatan
dan ketetapan penanganan awal.

10
DAFTAR PUSTAKA

1. Yang DZ, Cheng JN. Management of intactable epistaxis and bleeding points
localization. Zhonghua Er Bi, 2005. Vol. 40(5):360-2.12.
2. Adam GL, Boies LR, Higler PA. Boies buku ajar penyakit THT. Alih bahasa: Caroline W.
Edisi VI.Jakarta. EGC Penerbit buku kedokteran, 1993: 224-37. 13.
3. Paparella MM, Shumrick DA, Glucman JL, Meyerhoff WL. Otolaryngology. Vol. III. Ed. 3rd.
4. Thornton MA, Mahest BN, Lang J. Posterior epistaxis: Identification of common bleeding
sites. Laryngoscope, 2005. Vol.115 (4): 588-90. 7.
5. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Ear, nose, and throat disease, a pocket reference.
Second Edition. New York, Thieme Medical Publisher, Inc, 1994: 170-80 dan 253-60. 6.

11
RHINOSINUSITIS
M. Ivan Djajalaga, dr., M.Kes., Sp T.H.T.K.L

PENDAHULUAN

Sinusitis adalah peradangan pada satu atau lebih mukosa sinus paranasal dengan gejala berupa hidung
tersumbat, nyeri pada wajah dan pilek kental. Penyakit ini cukup sering diketemukan yaitu sekitar 20
% dari penderita yang ke dokter. Di Amerika tahun 1995, sinusitis merupakan salah satu dari 10
penyakit terbanyak yang datang ke praktek dokter dengan estimasi 25 juta kunjungan. Sayangnya,
cukup banyak kasus sinusitis yang tidak dapat diatasi dengan pengobatan konservatif sehingga harus
ditangani dengan cara operasi. Sampai sekarang sinusitis masih merupakan masalah kesehatan utama,
baik di negara berkembang maupun negara maju. Pada tahun 1996, American Academy of
Otolaryngology - Head and Neck Surgery mengusulkan untuk mengganti terminologi sinusitis dengan
rhinosinusitis. Istilah rhinosinusitis dianggap lebih tepat karena menggambarkan proses penyakit
dengan lebih akurat. Beberapa alasan lain yang mendasari perubahan sinusitis menjadi rhinosinusitis
adalah mukosa hidung dan sinus secara embriologis berhubungan satu sama lain dan sebagian besar
penderita sinusitis juga menderita rhinitis dengan gejala seperti pilek, hidung tersumbat dan
berkurangnya penciuman ditemukan. Hal ini mendukung konsep "one airway disease", yaitu penyakit
di salah satu bagian saluran napas akan cenderung berkembang ke bagian yang lain. Inflamasi mukosa
hidung akan di ikuti inflamasi mukosa sinus paranasal dengan atau tanpa disertai terbentuknya cairan
sinus. Diperkirakan sebanyak 13,4 - 25 juta kunjungan ke dokter per tahun dihubungkan dengan
rhinosinusitis. Meskipun rhinosinusitis kebanyakan disebabkan oleh infeksi virus dan sebagian besar
sembuh tanpa terapi antibiotika, penyakit ini dilaporkan sebagai salah satu dari lima penyakit
terbanyak yangmenggunakan antibiotika. Oleh karena itu diperlukan pengetahuan mengenai etiologi
dan patofisiologi penyakit ini agar pengobatan lebih efektif.

ANATOMI

Sinus paranasal adalah serangkaian rongga yang mengeliling rongga hidung. Ada empat pasang sinus
paranasal yaitu sinus ethmoid, sinus maksila, sinus frontal dan sinus sphenoid. Sinus paranasal
dilapisi epitel silindris berlapis semu bersilia dengan sejumlah sel goblet. Dibawahnya terdapat tunika
propria yang merupakan jaringan fibroelastik dan kelenjar serosanguinus. Kelenjar ini dan sel goblet
secara konstan memproduksi mukus. Pada sekresi mukus ini terdapat enzim lisozim yang mampu
membunuh mikroorganisma. Palut lendir yang berada di permukaan epitel bersilia berfungsi untuk
melembabkan dan menghangatkan udara yang dihirup serta untuk membersihkan polutan dan
berbagai material yang merugikan. Mukus selanjutnya oleh pergerakan silia akan di dorong dengan
gerakan ritmis menuju ostia dengan kecepatan 700 gerakan setiap menit. Gerak silia ini diatur secara
genetik sehingga tetap menuju ostium alamiah. Patensi ostium sangat diperlukan agar berbagai bahan
hasil proses metabolisme dapat dialirkan keluar sinus. Oleh gerakan silia, mukus yang ada di setiap
sinus akan dialirkan seluruhnya keluar melalui ostium dalam waktu 20-30 menit. Mukus yang berasal
dari sinus frontal, maksila dan ethmoidalis anterior selanjutnya akan nenuju kompleks ostiomeatal di
meatus media. Sedangkan mukus dari sinus ethmoidalis posterior dan sphenoid akan mengalir menuju
meatus superior melalui resesus sphenoethmoidalis. Selanjutnya mukus menuju nasofaring dengan
mengelilingi tuba eustachius.

Sinus Ethmoid

Sinus ethmoid terdiri dari 3 - 16 sel dengan volume total sekitar 3 ml. Dipisahkan dari orbita oleh
selapis tulang tipis yang disebut lamina papirasea. Lamina basalis konka media membagi sinus
ethmoid menjadi kompleks ethmoidalis anterior dan posterior. Kompleks ethmoidalis

12
anterior mengalirkan sekret kearah anterior dan inferior menuju lamela basalis. Kompleks
etmoidalis posterior mengalirkan sekret kearah posterior menuju lamela dari konka media,
selanjutnya ke dasar tengkor, dan dinding medial orbita. Kompleks osteomeatal (KOM) adalah
unit drainase fungsional yang terdiri atas bula ethmoidalis, prosesus uncinatus, infundibulum
ethmoidalis, hiatus semilunaris, ostium sinus maksila. KOM berperan sangat penting dalam
mempertahankan kondisi fisiologis sinus paranasal. Mukus atau sekret yang berasal dari sinus frontal,
etmoid anterior dan maksila akan mengalir melalui daerah ini.

Sinus Maksilaris

Sinus maksilaris merupakan sinus yang paling besar dengan bentuk seperti piramid terbalik, volume
pada dewasa antara 15-30 ml. Ostium alami dari sinus maksilaris berdiameter 1- 3 mm (rerata 2,5
mm). Lokasi ostium di meatus media, letaknya paling rendah dibandingkan ostium sinus paranasal
lainnya. Mukus atau sekret yang keluar dari ostium sinus maksila akan mengalir ke bagian inferior
infundibulum, kemudian keluar melalui hiatus semilunaris menuju meatus mediua.

Sinus Frontalis

Sinus frontalis mempunyai variabilitas dalam perkembangan jumlah dan ukuran. Bagian dari sinus ini
yang meluas ke meatus mediua membentuk penonjolan yang disebut resesus frontalis. Sinus frontalis
terbagi oleh septa tak beraturan dan memiliki batas tulang yang juga tak beraturan. Pada dinding
posterior dan inferior berbatasan dengan anyaman pembuluh vena besar yang menuju otak dan orbita.
Sekret yang berasal dari sinus frontalis mengalir ke dalam resesus frontalis melalui ostium
nasofrontalis. Dari resesus frontalis, sekret langsung menuju meatus media.

Sinus Sphenoid

Sinus ini terletak paling posterior dari sinus paranasal lainnya. Pada dinding lateral berbatasan dengan
beberapa struktur penting seperti sinus kavernosus, arteri karotis, syaraf kranial I, III, IV, V dan VI.
Sekret yang berasal dari sinus sphenoid mengalir melalui ostium ke resesus sfenoetmoidalis.

ETIOLOGI

Penyebab utama dari rhinosinusitis adalah obstruksi ostium. Berbagai faktor baik lokal maupun
sistemik dapat menyebabkan inflamasi atau kondisi yang mengarah pada obstruksi ostium sinus.
Berbagai faktor tersebut meliputi infeksi saluran napas, alergi, paparan bahan iritan, kelainan anatomi
dan defisiensi imun. Infeksi bakteri atau virus, alergi dan berbagai bahan iritan hirupan dapat
menyebabkan inflamasi mukosa hidung.
Infeks i akut s aluran napas atas yang dis ebabkan virus merupakan fakto r penyebab terbanyak da ri rhi nos inus itis . Rhinovirus dapat mas uk ke dalam s el karena berikatan dengan intercellula r adhes ion molecule-1 (ICAM -1) yang terdapat di pe rmukan s el yang ber fungs i s ebagai res eptor

virus. Udem mukosa hidung dan sinus yang berakibat penyempitan ostium sinus diketemukan pada
80% pasien. Adanya cairan di sinus dapat di ikuti pertumbuhan bakteri sekunder.

Berbagai variasi atau kelainan anatomi seperti kurvatur paradoksikal dari konka media, bula
etmoidalis yang mengadakan kontak di bagian medial, deformitas prosesus unsinatus, konka bulosa
dan septum deviasi dapat menyebabkan penyempitan ostiomeatal secara mekanik.

Gangguan klirens mukosilier sering ditemukan pada fibrosis kistik dan sindrom diskinesi. Pasien
dengan defisiensi imun misalnya defisiensi produksi antibodi terhadap bakteria atau penderita dengan
imunosupresi cenderung mengalami infeksi sinus. Kelainan yang tersering adalah defisiensi IgA
selektif dan kelainan pada produksi IgG, termasul hypogammaglobulinemia . Pasien yang terinfeksi
HIV juga mengalami peningkatan insiden sinusitis.

13
Beberapa faktor yang lain seperti alergi dan berbagai bahan iritan lingkungan sering menyebabkan
penyakit berkembang menjadi kronik atau berulang. Faktor penting lainnya adalah interaksi imun dan
mikroba. Rhinosinusitis juga dapat disebabkan oleh karena penggunaan obat-obatan seperti obat
antihipertensi. Rhinosinusitis kronik juga dapat disebabkan oleh karena adanya kelainan struktur
hidung. Beberapa faktor lainnya yang mempunyai kontribusi pada patogenesis dan kronisitas sinusitis
adalah gangguan silia, ostium asesoris, patogenitas mikroba.

Harus difahami bahwa etiologi rhinosinusitis ini tidak berdiri sendiri-sendiri. Alergi atau polutan
lingkungan dapat memperburuk rinosinusitis virus atau bakteri, baik akut, kronik atau rekuren,
demikian pula sebaliknya.

PATOFISIOLOGI

Kegagalan transpor mukus dan menurunnya ventilasi sinus merupakan faktor utama berkembangnya
rhinosinusitis. Patofisiologi rhinosinusitis digambarkan sebagai lingkaran tetutup, dimulai dengan
inflamasi mukosa hidung khususnya kompleks ostiomeatal. Secara skematik patofisiologi
rhinosinusitis diawali dengan terjadinya inflamasi mukosa hidung sehingga mukosa mengalami
pembengkakan, keadaan ini mengakibatkan obstruksi ostium sinus sehingga fungsi ventilasi dan
drainase sinus menjadi terganggu. Selanjutnya terjadi resorpsi oksigen yang terdapat dalam rongga
sinus sehingga kadar oksigen akan menurun yang selanjutnya akan diikuti dengan penurunan tekanan
dalam rongga sinus. Keadaan ini memicu terjadinya peningkatan eksudasi cairan yang berakibat
menurunnya fungsi silia. Peningkatan jumlah cairan dalam sinus mengakibatkan terjadinya
pertumbuhan kuman.

Sebagian besar kasus rhinosinusitis disebabkan karena inflamasi akibat infeksi virus. Infeksi virus
yang menyerang hidung dan sinus paranasal menyebabkan udem mukosa dengan tingkat keparahan
yang berbeda. Virus penyebab tersering adalah coronavirus, rhinovirus, virus influenza A dan
respiratory syncytial virus (RSV). Selain jenis virus, keparahan udem mukosa bergantung pada
kerentanan individu. Infeksi virus influenza A dan RSV biasanya menimbulkan udem berat. Udem
mukosa akan menyebabkan obstruksi ostium sinus sehingga sekresi sinus normal menjadi terhambat.
Pada keadaan ini ventilasi dan drainase sinus masih mungkin dapat kembali normal, baik secara
spontan atau efek dari obat-obat yang diberikan. Apabila obstruksi ostium sinus tidak segera diatasi
maka dapat terjadi pertumbuhan bakteri sekunder pada mukosa dan cairan sinus paranasal. Bakteri
yang paling sering dijumpai pada rhinosinusitis akut dewasa adalah streptococcus pneumoniae dan
haemofiilus influenzae, sedangkan pada anak moraxella catarrhalis. Bakteri ini kebanyakan
ditemukan di saluran napas atas, dan umumnya tidak menjadi patogen kecuali bila lingkungan
disekitarnya menjadi kondusif untuk pertumbuhannya. Pada saat respons inflamasi terus berlanjut
maka lingkungan sinus berubah ke keadaan yang lebih anaerob. Flora bakteri menjadi semakin
banyak dengan masuknya kuman anaerob. Infeksi menyebabkan mukosa kolumnar bersilia
mengalami metaplasia sehingga efusi sinus makin meningkat.

Pada pasien rhinitis alergi, alergen menyebabkan respons inflamasi dengan memicu rangkaian
peristiwa yang berefek pelepasan mediator kimia dan mengaktifkan sel inflamasi. Limfosit T-helper 2
(Th-2) menjadi aktif dan melepaskan sejumlah sitokin yang berefek aktivasi sel mastosit, sel B dan
eosinofil. Berbagai sel ini kemudian melanjutkan respons inflamasi dengan melepaskan lebih banyak
mediator kimia yang menyebabkan udem mukosa dan obstruksi ostium sinus. Rangkaian reaksi alergi
ini akhirnya membentuk lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan bakteri sekunder seperti
halnya pada infeksi virus. Kliren dan ventilasi sinus yang normal memerlukan mukosa yang sehat.
Inflamasi yang berlangsung iama sering berakibat penebalan mukosa disertai kerusakan silia sehingga
ostium sinus makin menutup. Mukosa yang tidak dapat kembali normal setelah inflamasi akut dapat
menyebabkan gejala persisten dan-mengarah pada rhinosinusitis kronik.

Faktor - faktor yang telah diuraikan diatas dan interaksi imun-mikroba berkontribusi pada kronisitas
sinusitis. Patensi ostium sinus merupakan hal yang sangat penting. Dikatakan bahwa kesehatan sinus
pada pasien bergantung pada keadaan sekresi mukosa yang meliputi viskositas,

14
volume, dan komposisi yang normal, aliran mukosilier yang normal untuk mencegah stasis mukus,
ostium sinus yang selalu terbuka untuk drainase dan humidifikasi yang memadai. Obstruksi ostium
sinus yang berlangsung lama oleh karena berbagai sebab sering menyebabkan penebalan mukosa,
disfungsi silia, kerusakan mukosa, penurunan klirens mukosilier dan pembentukan jaringan patologis.

Inflamasi

Sangat jelas pentingnya peranan inflamasi pada patogenesis rhinosinusitis kronik. Keberhasilan
pengobatan dalam mengatasi inflamasi akan mengembalikan klirens mukus dan ventilasi menjadi
normal. Kegagalan mengatasi inflamasi akut akan menyebabkan proses berlanjut menjadi inflamasi
kronik. Ada dua jenis inflamasi yang berkontribusi secara berbeda pada ekspresi klinis rhinosinusitis
yaitu inflamasi infeksius dan non infeksius. Inflamasi infeksius berhubungan dengan rinosinusitis akut
yang disebabkan infeksi bakteri atau virus. Pada jaringan sinus dari pasien rinosinusitis akut bakterial
ditemukan IL-6 dan IL-8. Demikian pula di beberapa lokasi jaringan sinus dijumpai neutrofil dalam
jumlah banyak. Sebaliknya, kadar GM-CSF dan IL-5 tidak mengalami peningkatan. Peningkatan IL-
6, IL-8 dan TNF-a diduga berkaitan dengan kemampuan sel epitel jalan napas menghasilkan berbagai
sitokin tersebut sebagai respons terhadap stimulus bakteri. Berbagai sitokin pro-inflamasi tersebut
kemungkinan berperan penting dalam penebalan mukosa akut yang berkaitan dengan eksaserbasi
sinusitis. Inflamasi non-infeksius dihubungkan dengan tingginya penebalan mukosa sinus tanpa
disertai rasa tidak enak atau nyeri pada sinus, atau tanda infeksi lain. Karena itu, tipe inflamasi ini
dianggap non-infeksius. Inflamasi non-infeksius terutama dijumpai pada rhinosinusitis kronik.
Dinamakan inflamasi non-infeksius karena terdapat dominasi eosinofil dan sel sel mononuklear serta
relatif sedikitnya neutrofil yang biasa dijumpai pada rhinosinusitis kronik. Gambaran patologi yang
dijumpai pada mukosa rhinosinusitis kronik kemungkinan merupakan akibat tumpang tindih stimuli
inflamasi infeksius dan non-infeksius.

Pada cairan lavase sinus maksilaris pasien dengan rhinosinusitis kronik ditemukan peningkatan
jumlah neutrofil dan kadar IL-8. Kadar IL-8 tertinggi dan persentase neutrofilia tertinggi dijumpai
pada pasien dengan rhinoosinusitis non alergik. Sedangkan pasien dengan rhinosinusitis kronik
yang disebabkan faktor alergi, ditemukan peningkatan neutrofil dan IL-8 dalam jumlah sedang.
Fenomena ini menunjukkan, neutrofil merupakan sel imunokompeten yang berperan aktif dalam
regulasi proses inflamasi dengan mensekresi berbagai macam sitokin seperti IL-la, IL-6, IFN-a,
TNF, dan IL-8. Analisis imunohistokimia menunjukkan bahwa IL-8 berlokalisasi dalam sel
polimorfonuklear yang beremigrasi dalam sekresi nasal pasien rhinosinusitis kronik. IL-8
merupakan faktor kemotaktik neutrofil yang potensial. Neutrofil menghasilkan IL-8 sebagai
respons terhadap beberapa macam stimuli. Ada kemungkinan neutrofil yang telah bermigrasi ke
dalam efusi sinus menghasilkan IL-8. Karena itu, dalam efusi sinus terjadi akumulasi neutrofil.
Ini menunjukkan bahwa neutrofil pada sekresi nasal pasien dengan sinusitis kronik memang
benar-benar menghasilkan IL-8, dan hal ini mendukung mekanisme umpan balik positif
rekrutmen neutrofil.

Kelainan Anatomi

Kelainan anatomi di beberapa atau seluruh struktur kompleks ostiomeatal dapat menyebabkan
obstruksi mekanis drainase sinus paranasal yang berlangsung lama. Variasi anatomi yang sering
dijumpai adalah septum deviasi, prosesus unsinatus menekuk kearah lateral, double middle turbinate,
konka bulosa, bula etmoidalis yang besar, sel Haller yang menyempitkan infundibulum ethmoidalis.

Mukosilier

Hipoksia, produk mikroba, dan inflamasi kronik dapat menyebabkan penurunan fungsi mukosilier
sinus paranasal. Faktor lain yang berkontribusi pada kelambatan klirens mukosilier yaitu perubahan
sifat viskoelastik mukus, penurunan jumlah silia, dan kerusakan epitel. Penelitian

15
yang dilakukan pada pasien sebelum dan sesudah operasi, menunjukkan bahwa perbaikan ventilasi
sinus mempengaruhi fungsi mukosilier, mukosilier berangsur kembali normal dalam waktu 1 sampai
6 bulan pasca operasi. Pasien dengan mukosa sinus hiperplasia menunjukkan laju perbaikan yang
lambat dan pemulihan klirens mukosilier yang tidak lengkap setelah operasi sinus.

Resirkulasi Mukus

Sekitar 10-30% orang dewasa ditemukan ostium asesorius sinus maksila yang menyebabkan
terjadinya resirkulasi mukus. Sekret mukus yang keluar dari sinus melalui ostium sinus naturalis
biasanya menuju meatus medius. Sejumlah mukus akan memasuki lagi sinus maksilaris melalui
ostium asesoris yang biasanya terletak inferior terhadap ostiomeatal unit, pada dinding nasalis
lateralis.

Osteitis

Pemeriksaan histologik dari tulang ethmoidalis yang diambil dari pasien dengan rhinosinusitis kronik
menunjukkan adanya osteitis. Hal ini dapat terjadi sebagai akibat langsung infeksi atau akibat
tindakan operasi sinus yang kurang preservasi mukosa. Temuan histologik meliputi peningkatan
akselerasi turnover tulang disertai pembentukan tulang baru, fibrosis, dan keberadaan sel inflamasi.
Berbagai perubahan ini menyerupai osteomielitis rahang. Osteitis merupakan salah satu penyebab
utama kekambuhan penyakit meskipun sudah dilakukan operasi atau pemberian antibiotik.

Mikroba

Sebagian besar penelitian menunjukkan perbedaan antara rhinosinusitis akut dan kronik berkenaan
dengan kuman patogen. Organisme yang dominan pada rhinosinusitis akut adalah streptococcus
pneumoniae, hemofilus influenzae dan pada anak moraxella catarrhalis. Sedangkan pada
rhinosinusitis kronik yang tersering ditemukan adalah kuman tersebut diatas ditambah dengan
staphylococcus aureus dan kuman anaerob. Pertumbuhan kuman anaerob ini sebagai akibat dari
berbagai faktor yaitu stasis mukus, obstruksi ostium sinus, dan hipoksia. Keterbatasan utama pada
pengobatan rhinosinusitis kronik adalah kesulitan mendapatkan kultur mikroba. Kultur bakteri
biasanya dilakukan setelah kegagalan satu atau dua kali pemberian antibiotik. Hanya sekitar 5% kasus
yang berhasil dibiakkan, bakteri anaerob lebih sukar dibiakkan. Hal ini menyebabkan ketidakpastian
dalam pemberian antibiotika khususnya untuk kuman anaerob.

KLASIFIKASI

Rhinosinusitis Akut (RSA)

Bila gejala rhinosinusitis berlangsung sampai 4 minggu. Gejala timbul mendadak dan sembuh
sebelum 4 minggu. Setelah itu seluruh gejala akan menghilang. Gejala RSA viral yang memburuk
setelah 5 hari atau gejala yang menetap setelah 10 hari menunjukkan adanya infeksi kuman (RSA
bakterial).

Rhinosinusitis Akut Berulang

Kriteria gejala untuk RSA berulang identik dengan kriteria untuk RSA. Episode serangan berlangsung
selama 7-10 hari. Selanjutnya episode berulang terjadi sampai 4 atau lebih dalam
1 tahun. Diantara masing-masing episode terdapat periode bebas gejala.

Rhinosinusitis Subakut (RSSA).

Rhinosinusitis dengan gejala yang berlangsung antara 4 sampai 12 minggu. Kondisi ini merupakan
kelanjutan perkembangan RSA yang tidak menyembuh dalam 4 minggu. Gejala lebih ringan dari
RSA. Penderita RSSA mungkin sebelumnya sudah mendapat terapi RSA tetapi mengalami kegagalan
atau terapinya tidak adekuat.

16
Rhinosinusitis Kronik (RSK).

Bila gejala rhinosinusitis berlangsung lebih dari 12 minggu.

Rhinosinusitis Kronik Eksaserbasi Akut

RSK pada umumnya mempunyai gejala yang menetap. Pada suatu saat dapat terjadi gejala yang tiba-
tiba memburuk karena infeksi yang berulang. Gejala akan kembali seperti semula setelah pengobatan
dengan antibiotik akan tetapi tidak menyembuh.

DIAGNOSIS

Gejala klinis rhinosinusitis dapat digolongkan menjadi gejala mayor dan minor. Gejala mayor yaitu
gejala yang banyak dijumpai serta mempunyai faktor prediksi yang tinggi. Termasuk dalam gejala
mayor adalah : sakit pada daerah wajah, hidung tersumbat, ingus kental berwarna dan gangguan
penciuman. Sedangkan gejala minor diantaranya berupa batuk, demam, tenggorok berlendir , nyeri
kepala dan halitosis. Persangkaan adanya rhinosinusitis didasarkan atas adanya 2 gejala mayor atau
lebih atau 1 gejala mayor disertai 2 gejala minor.

Anamnesis

Anamnesis yang cermat diperlukan terutama dalam menilai gejala-gejala yang disebutkan di atas. Hal
ini penting terutama pada RSK karena diperlukan pengetahuan kemungkinan faktor
penyebab yang lain selain inflamasi itu sendiri. Adanya penyebab infeksi baik kuman maupun virus,
riwayat alergi atau kelainan anatomis di dalam rongga hidung. Untuk RSA gejala yang ada mungkin
cukup jelas karena berlangsung mendadak dan seringkali didahului oleh infeksi
akut saluran nafas atas. Penderita dengan latar belakang alergi mempunyai riwayat yang khas
terutama karakteristik gejala pilek sebelumnya, riwayat alergi dalam keluarga serta adanya
faktor lingkungan yang mempengaruhi.

Pemeriksaan Fisik

Pada RSA terlihat adanya hiperemi dan sembab sekitar rongga hidung. Gejala nyeri tekan di
daerah sinus terutama sinus frontal dan maksila kadang dapat ditemukan, akan tetapi nyeri
tekan di sinus tidak selalu identik dengan sinusitis. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dapat

dijumpai mukosa hiperemi, sekret, mukosa udem, krusta, septum deviasi, polip atau tumor.
Sedangkan pada rinoskop posterior dapat diketahui kelainan yang terdapat di belakang rongga hidung
dan nasofaring

Traniluminasi

Transiluminasi merupakan pemeriksaan yang sederhana terutama untuk menilai adanya kelainan pada
sinus maksila. Pemeriksaan ini dapat memperkuat diagnosis rhinosinusitis apabila terdapat perbedaan
hasil transiluminasi antara sinus maksila kiri dan kanan.

Radiologi

Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah foto sinus paranasal, CT scan dan MRI. Foto sinus
paranasal cukup informatif pada RSA akan tetapi CT scan merupakan pemeriksaan radilogis yang
mempunyai nilai objektif yang tinggi. Indikasi pemeriksaan CT scan adalah untuk evaluasi penyakit
lebih lanjut apabila pengobatan medikamentosa tidak memberi respon seperti yang diharapkan.
Kelainan pada sinus maupun kompleks ostiomeatal dapat terlihat dengan jelas melalui pemeriksaan
ini.

Endoscopi

Pemeriksaan endoskopi nasal merupakan pemeriksaan tambahan yang sangat berguna dalam
memberikan informasi tentang penyebab RSK. Dengan endoskopi nasal dapat diketahui lebih

17
jelas kelainan di dalam rongga hidung dan kita dapat memeriksa keadaan kompleks
ostiomeatal.

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan rhinosinusitis tergantung dari jenis, derajat serta lamanya perjalanan penyakit.
Pada RSA terapi medikamentosa merupakan terapi utama, sedangkan pada RSK terapi
pembedahan menjadi pilihan yang lebih baik dibandingan dengan medikamentosa saja. Pada
dasarnya tujuan dari terapi medikamentosa adalah mengembalikan kondisi normal di dalam
rongga sinus. Hal ini dapat dilakukan dengan mengurangi udem mukosa serta mengembalikan fungsi
transpor mukosiliar. Irigasi dengan larutan garam fisiologis dapat membersihkan rongga hidung dari
krusta dan sekret yang kental sedangkan humidifikasi dapat mencegah kekeringan dan pembentukan
krusta.

Terapi Medikamentosa

Obat dekongestan dapat digunakan dalam pengobatan rhinosinusitis untuk merangsang reseptor α-
adrenergik, sehingga terjadi vasokonstriksi pembuluh darah kapiler mukosa rongga hidung. Keadaan
ini dapat mengurangi udem pada mukosa rongga hidung sehingga ostium sinus menjadi terbuka.
Dekongestan dapat diberikan dalam bentuk topikal maupun oral. Dekongestan topikal dapat diberikan
dalam bentuk tetes maupun semprot hidung. Penggunaannya dibatasi tidak lebih dari 5 hari karena
pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan timbulnya rhinitis medikamentosa. Pada pemberian
dekongestan sistemik harus berhati-hati dan sebaiknya tidak digunakan pada penderita dengan
kelainan kardiovaskular. Kortikosteroid topikal (semprot hidung) dilaporkan bermanfaat pada
pengobatan RSA maupun RSK baik dengan atau tanpa latar belakang alergi. Beberapa kortikosteroid
yang tersedia dalam bentuk semprot hidung diantaranya adalah : beklometason, flutikason dan
mometason. Pada RSA pemberian kortikosteroid bermanfaat untuk menghilangkan udem dan
mencegah inflamasi pada mukosa hidung dan sinus. Pemberian antihistamin pada rhinosinusitis akut
masih kontroversial. Antihistamin memang merupakan obat yang efektif untuk mencegah terjadinya
serangan alergi sehingga penggunaannya pada rhinosinusitis lebih bermanfaat pada RSK dengan
adanya riwayat alergi. Antihistamin klasik mempunyai efek anti kolinergik yang dapat mengurangi
sekresi kelenjar sehingga mukus menjadi lebih kental. Unt uk menghindari efek kolinergik dapat
digunakan antihistamin generasi II atau turunannya. Antibiotik merupakan terapi medikamentosa
yang penting pada rhinosinusitis disamping terapi medikamentosa lainnya. Untuk memilih antibiotik
yang tepat perlu pengetahuan tentang kuman penyebab serta kepekaannya terhadap antibiotik yang
tersedia. Berdasarkan kuman penyebab maka pilihan pertama antibiotik pada RSA adalah amoksisilin
karena obat ini efektif terhadap streptococcus pneumoniae dan haemophilus influenzae yang
merupakan dua kuman terbanyak ditemukan sebagai penyebab RSAB. Antibiotik diberikan 10-14 hari
agar dapat dicapai hasil pengobatan yang maksimal. Meningkatnya kuman yang resisten terhadap
berbagai antibiotik menjadi perhatian serius para ahli sehingga berbagai uji coba antibiotik baru
dilakukan untuk mencari alternatif pilihan antibiotik. Pilihan antibiotik yang bisa digunakan seperti
golongan kuinolon, cefixim, cefdinir, cefprozil dan cefuroxim dengan efektifitas klinik yang tidak
jauh berbeda satu dengan yang lainnya. Pilihan lain adalah golongan makrolid baru yang mempunyai
potensi antibakterial yang tinggi seperti klaritromisin, roxitromisin serta azitromisin . Terapi
medikamentosa bukanlah terapi satu-satunya pada RSK. Eliminasi penyebab RSK seperti kelainan
pada daerah KOM harus diupayakan agar tercapai hasil terapi yang memuaskan. Disamping itu perlu
evaluasi terhadap faktor penyebab lainnya seperti alergi dan penyakit sistemik lainnya.

Terapi Bedah

Pada umumnya RSA tidak memerlukan tindakan bedah, kecuali beberapa kasus yang mengalami
komplikasi atau tidak memberikan respon dengan terapi medikamentosa. Tindakan bedah bisa berupa
irigasi sinus, operasi Caldwell-Luc dan Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS). Kegagalan
sinus maksilaris untuk membersihkan sekret atau produk infeksi dengan

18
terapi medis yang adekuat mengakibatkan rusaknya fungsi silia atau obstruksi pada ostium sinus. Hal
ini mengakibatkan retensi mukopus dan produk infeksi lain di dalam antrum. Pada kondisi ini irigasi
sinus maksilaris akan membuang produk-produk infeksi. Juga dapat dilakukan pemeriksaan kultur
dan sitologi. Tindakan irigasi ini akan membantu ventilasi dan oksigenasi sinus. Nasal Antrostomy
dapat dilakukan pada keadaan infeksi kronis, atau adanya oklusi ostium sinus. Adanya lubang yang
cukup lapang pada antrostomy memungkinkan drainase secara gravitasi. Tindakan ini biasanya
dilakukan melalui meatus inferior. Operasi Caldwell-Luc yaitu tindakan operasi membuka dinding
depan sinus maksila pada daerah fossa
canina dan membuat nasoantral window melalui meatus inferior. Dengan cara ini memungkinkan
visualisasi yang lebih baik ke dalam sinus maksila,

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Fokken WJ, Lund VJ, Mullol J, Bachert C. European position paper on rhinosinusitis and
nasal polyps 2012. Rhinol Suppl (23):3-196.
2. Elizabet K, Hodderson, Sarah K. Acute Rhinosinusitis. In : Bailey‟s Otolaryngology Head
and Neck Surgery. Ed : Johnson TJ, Rosen CA. Philadelphia. Lippincol Wilkins & Wilkins.
2014:509-522.

20
GANGGUAN PENDENGARAN
Bekti Darmastuti, dr., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L

Gangguan Dengar Konduktif


Ada beberapa karakteristik yang ditemukan pada tuli konduktif, yang paling utama adalah pasien
dapat mendengar lebih baik dengan hantaran tulang dibandingkan dengan hantaran udara, dan
biasanya hantaran tulang mendekati normal. Pada tuli konduktif murni hantaran tulang normal atau
mendekati normal karena tidak ada kerusakan di telinga dalam atau jaras pendengaran.

Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik bisa didapatkan beberapa karakteristik dari tuli konduktif, yaitu
:
1. Anamnesis menunjukkan adanya riwayat keluar cairan dari telinga, atau pernah mengalami
infeksi telinga, bisa disertai dengan gangguan pendengaran, atau tuli mendadak sesaat setelah
mencoba membersihkan telinga dengan jari.
2. Tinitus, digambarkan sebagai dengungan nada rendah
3. Apabila tuli bilateral, penderita biasanya berbicara dengan suara pelan, terutama pada tuli yang
disebabkan oleh otosklerosis.
4. Mendengar lebih baik pada tempat yang ramai (paracusis of willis).
5. Pada saat mengunyah, pendengaran menjadi lebih terganggu.
6. Treshold hantaran tulang normal atau mendekati normal
7. Ditemukan Air bone gap (ABG)
8. Pada pemeriksaan otologis ditemukan adanya kelainan di canalis acusticus externus, gendang
telinga, atau telinga tengah. Kadang ditemukan gambaran gelembung dan „fluid level‟ di
belakang gendang telinga.
9. Tidak ada kesulitan dalam komunikasi terutama bila suara cukup keras.
10. Tuli konduktif murni, maksimum sampai 70 dB

Apabila pada pemeriksaan aodiologis ditemukan adanya tuli konduktif, dan di temukan obstruksi
pada CAE, kemungkinan penyebab hal itu adalah:
- Aplasia congenital, tidak terbentuknya CAE pada saat lahir, akibat defek pada pertumbuhan
janin
- Traecher collins syndrome, tidak terbentuk daun telinga, CAE, gendang telinga, dan tulang2
pendengaran
- Stenosis CAE
- Exostosis CAE, adanya penonjolan tulang yang menimbulkan obstruksi CAE
- Serumen

21
- Karsinoma CAE
- Kolaps CAE saat pemeriksaan audiometri
Apabila tidak ditemukan adanya obstruksi dari CAE, dan masih di temukan adanya penurunan
hantaran udara, segera di curigai keadaan dibawah ini :
- Infeksi : otitis eksterna, OMA, OMSK, perforasi membran tympani, tympanosclerosis,
otosklerosis
- Trauma : Hemotympanum
- Tumor di nasofaring
- alergi
Dari semua penyebab tuli konduktif, sebagian besar memiliki prognosis yang baik. Cukup dengan
pemberian medikamentosa dan tindakan pembedahan apabila diperlukan, hampir semua keadaan
tersebut bisa diperbaiki.
Hasil pemeriksaan pada tuli konduktif dapat ditemukan:
Audiometri : BC normal, AC menurun
ATAU
GANGGUAN DENGAR CAMPURAN
Audiometri : terdapat gap antara AC & BC > 10 dB, AC & BC menurun
Tympanometer untuk memastikan ada tidaknya patologi telinga tengah.
Apabila pada penderita ditemukan gambaran tuli konduktif dan tuli sensorineural, dikatakan penderita
mengalami tuli campur. Penurunan pendengaran biasanya diawali dengan tuli konduktif seperti
otosklerosis lalu diikuti dengan penurunan komponen sensorineural.

Gangguan Dengar Sensorineural


Tuli sensorineural menjadi masalah yang cukup menyulitkan bagi para dokter. Berjuta-juta pekerja
industri dan usia tua menderita jenis gangguan dengar ini. Secara umum tuli ini bersifat irreversibel
dan sangat menganggu komunikasi sehari-hari.
Kerusakan jaras pendengaran dapat terjadi, baik di telinga dalam (sensory loss) ataupun di syaraf
pendengaran (neural loss). Ditekankan bahwa kerusakan biasanya terjadi pada keduanya (sesuai
namanya sensorineural). Tetapi ada juga yang membuat diagnosis lebih spesifik tipe sensori atau tipe
neural, tergantung dimana ditemukan kerusakannya.
Ciri-ciri utama dari tuli sensori, kerusakan pada telinga tengah terutama pada cairan labyrin dan sel
rambut:
- adanya riwayat serangan vertigo yang berulang dengan rasa penuh ditelinga, bunyi tinitus seperti
suara ombak, dan intermitten hearing loss . Sangat mungkin hal ini disebabkan oleh beberapa
macam syndrom yang di sebut : menierre disease, hipertensi kohlear, atau hydrops labyrynth.
- Pada menierre disease biasanya tuli unilateral
- Pemeriksaan otologis biasanya normal

22
- Penurunan hantaran tulang dan udara, tanpa ada ABG
- Apabila terdapat tuli sedang atau tuli pada frekwensi percakapan, kemampuan berbicara menjadi
sangat berkurang, terutama suara yang keras
- Ditemukan „recruitment‟
- Normal tone decay dan stapedius reflex decay, bakesy audiometri type II
- Dengan pengecualian, tes garpu tala lateralisasi ke telinga yang lebih sehat

- riwayatnya bermacam-macam, ketulian bisa mendadak terjadi unilateral oleh karena fraktur yang
melibatkan meatus auditori interna, atau bisa juga bertahap dan bilateral karena tuli progresive
herediter. Usia pasien tidak begitu membantu menegakkan diagnosis karena kelainan ini bisa
terjadi pada usia kapan saja.
- Hantaran tulang dan udara menurun, tanpa ABG
- Tidak ditemukan „rekruitment‟, bila ada biasanya minimal.
- Bakesy audiometri type III atau IV
-
Klasifikasi Tuli sensorineural
Penyebab Tuli sensorineural dengan onset gradual:
 presbikusis

 occupasional hearing loss

 otosklerosis dan OMSK aspek sensorineural

 paget‟s dan Van der Hoeve‟s disease aspek sensorineural

 pengaruh dari penguatan alat bantu dengar

 neritis syaraf auditori dan penyakit systemik (DM)

Penyebab Sudden bilateral sensoryneural hearing loss:


 Infeksi : meningitis

 Tuli fungsional

 Obat-obatan ototoksik

 Multiple sklerosis

 Syphillis

 Penyakit otoimun

Penyebab Sudden unilateral sensoryneural hearing loss:


 Mumps

 Trauma kepala dan taruma akustik

 Infeksi virus

23
 Ruptur membran foramen rotundum atau membran telinga tengah

 Kelainan pembuluh darah

 Komplikasi setelah tindakan pembedahan telinga

 Fistula di foramen ovale

 Komplikasi tindakan anestesi

 Syphillis

Penyebab Congenital sensoryneural hearing loss:


 Herediter

 Kern

 ikterus

 Anoksia

 Virus

 Penyebab lain yang tidak diketahui

Walaupun sangat sulit dalam menentukan penyebab spesifik dari tuli sensori neural, klasifikasi diatas
memberikan informasi yang sangat penting dalam menentukan tindakan yang akan kita pilih.
Klasifikasi diatas juga bisa untuk menentukan prognosis dari kelainan tersebut Jadi hasil pemeriksaan
pada tuli sensorineural dapat ditemukan :
- Audiometri : AC dan BC menurun
- Tympanogram : normal
- BERA
Dilakukan apabila pemeriksaan biasa tidak dapat dipercaya atau tidak mungkin dilaksanakan, seperti
pada tuna grahita berat atau kasus pura-pura tuli (malingering)

Tuli Campur
Apabila pada penderita ditemukan gambaran tuli konduktif dan tuli sensorineural, dikatakan penderita
mengalami tuli campur. Penurunan pendengaran biasanya diawali dengan tuli konduktif seperti
otosklerosis lalu diikuti dengan penurunan komponen sensorineural.

Central Auditory Processing Disorder


Suatu kelainan yang ditandai dengan adanya defisit dalam memproses informasi yang berhubungan
dengan modalitas pendengaran.

24
Central Auditory Processing (CAP) adalah suatu system yang aktif, kompleks yang dilakukan
susunan saraf pusat terhadap input auditori. Sistem ini melibatkan sinyal auditori, telinga luar samapi
kohlea, N VIII dan susunan saraf pusat.

Gejala CAPD, diantaranya:


- salah pengertian atau salah interpretasi
- sulit berkonsentrasi
- sulit membedakan kata
- sulit mengeja
- gangguan berbahasa, baik reseptif meupun ekspresif
- reduksi auditory memory
Pasien dengan CAPD sering gejalanya overlapping dengan gangguan dengar perifer, karena itu kita
harus menyingkirkan kemungkinan adanya gangguan dengar perifer dengan melakukan permeriksaan
audiometric, speech audiometry, akustik refleks, BERA.

Auditory Neuropathy
Kriteria Diagnostik
1. Terbukti adanya fungsi auditori (pendengaran) terganggu
2. Terbukti adanya fungsi saraf auditori terganggu
3. Terbukti fungsi sel rambut normal

- Anoksia
- Hiperbilirubinemia
- Proses infeksi (mis. Mumps)
- Kelainan imunologi (mis. Guillain Barre syndrome)
- Genetik dan beberapa sindroma:
1. Hereditary sensory motor neuropathy
2. Mitochondrial enzymatic deficit
3. Olivo-pontine- cerebellar degeneration
4. Freidrichs‟s ataxia
5. Steven Johnson syndrome
6. Ehlers-Danlos syndrome
7. Charcot-Marie-Tooth syndrome
Hal tersebut di atas dapat menyebabkan auditory neuropathy yang permanent, sedangkan yang
transient bisa disebabkan anoksia dan hiperbilirubinemia, yang intermitten bisa disebabkan oleh
anoksia

25
Hasil pemeriksaan pendengaran pada beberapa jenis gangguan dengar, tercantum pada tabel di bawah
ini:

Pemeriksaan CHL Tuli T.Retro- CAPD A.N


Cochlear Coclear
Pure Tone BC>AC BC=AC BC=AC Normal ~SNHL
Audiometri menurun menurun ringan –
berat
OAE Abnormal Abnormal Abnorma Normal Normal
l
BERA Abnormal Abnormal Abnorma No No respons
l respons
Tympanometri Reduced Normal Normal Normal Normal
compliance
Acoustic Negatif Positif Negatif Positif Negatif
Reflex
Recruitment Positif Negatif
Speech baik Buruk Sangat Buruk Buruk
Discrimination Buruk
Tone Decay negatif positif

Penatalaksanaan Gangguan Dengar


Pasien dengan gangguan dengar, biasanya datang dengan keluhan utama hearing loss/ketulian atau
tinitus.
Sesuai tipe dan derajat gangguan dengar, penatalaksanaan gangguan dengar adalah penggunaan:
1. Hearing Aid
2. Assistive device (FM system)
3. Cochlear implant
4. Terapi bicara & mendengar (pada anak)

26
Alat bantu mendengar

Cochlear Implant

27
Deteksi dini gangguan bicara dan dengar pada anak

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Canalis.F Rinaldo. The Ear Comprehensive Otology. Lippincott Williams & Wilkins.
Philadelphia. 2000;559-570.
2. Katz, J. The Acoustic Reflex. Handbook of Clinical Audiology. Fifth edition. Lippincott Williams
& Wilkins. Philadelphia. 2000; 205- 232.
3. Cummings,W Charles. Auditory Function Test. Otolaryngology Head and Neck Surgery.
Second edition. Mosby Year Book. St Louis. 1993;2698-2715
4. Lee.KJ. Audiology. Essential Otolaryngology. Eight edition. Mc Graw Hill Companies. United
States. 2003;24-64.
5. Sininger, Yvonne. Auditory Neuropathy A New Perspective on Hearing Disorders. Singular
Thomson Learning. Canada. 2001;1-50.
6. Lassman,FM. Audiology. Adam GL. BOIES Fundamentals of Otolaryngology. Sixth edition.
W.B. Saunders Company. Philadelphia. 1989; 46 – 66.
7. Hendarmin,H. Gangguan Pendengaran Pada Bayi dan Anak. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorokan. Edisi ke 5. FKUI. Jakarta. 2001; 28-30.
8. Skurr,B. Pemeriksaan Otology. Kumpulan Kuliah. Pada Kursus Audiologi Praktis. Bandung. 13-
14 Mei 1991; 12-63.

29
INFEKSI TELINGA
Richard F Nanlohy, dr., Sp.T.H.T.K.L

Anatomi Telinga

Gambar 1. Anatomi telinga

1. Telinga Luar
a. Daun Telinga

Gambar 2. Daun telinga

b. Liang Telinga
Panjang  2,5 cm dengan 1/3 lateral tulang rawan dan 2/3 bagian dalam berupa tulang.
Terdapat bagian yang menyempit pada batas pertemuan bagian tulang rawan dan bagian
tulang. PH kulit liang telinga sekitar 6,5 – 6,8. Kulit liang telinga bersifat water resistant.
Liang telinga kaya akan pembuluh darah dan kelenjar limfe.
Di tulang rawan terdapat rambut, kelenjar sebacea, kelenjar serumen (serumen mengandung
lisosim). Liang telinga dilapisi oleh epitel berlapis gepeng. Epitel berlapis gepeng akan terus-
menerus mengelupas digantikan oleh lapisan baru. Sel epitel tersebut selalu bermigrasi ke
arah liang telinga sambil membawa debris.

30
c. Membran Timpani
Berbentuk elips dengan panjang 9 – 10 mm / 8 - 9 mm. Dibagi atas Pars Flasida dan Pars
Tensa. Tebal membrane timpani 0,1 mm. Pars Tensa mempunyai 4 lapisan (Epitel
berskuamosa, lapisan fibrosa circular & radiating, dan lapisan mukosa). Pars Flasida terdiri
dari 2 lapis.

Gambar 3. Membran Timpani Kanan


2. Telinga Tengah
a. Kavum Timpani
b. Tulang Pendengaran (Maleus, Inkus, Stapes)
c. Tuba Eustachius
d. Antrum Mastoid

Gambar 4. Kavum Timpani


Kavum Timpani berisi udara yang tekanannya sama dengan tekanan udara di luar. Keseimbangan
tekanan udara di kavum timpani diatur dengan mekanisme difusi vaskularisasi mukosa. Mukosa
kavum timpani umumnya epitel silindris bertingkat bersilia. Silia berfungsi untuk mendorong
lendir ke nasofaring (drainase).
Tuba Eustachius sangat berperan dalam menyamakan tekanan udara di kavum timpani. Pada
dewasa panjang tuba  36 mm dan membentuk sudut 30 – 40 derajat, sedangkan pada bayi  31
18 mm dan sudutnya hampir horisontal. Tuba Eustachius membuka dan menutup oleh musculus
Tensor Veli Palatini dan Levator Veli Palatini. Sedangkan pada anak yang aktif hanya Tensor
Veli Palatini.
Tuba Eustachius 2/3 bagiannya berupa tulang rawan dengan muara di nasopharynx dan 1/3
bagiannya berupa tulang. Dalam keadaan istirahat tuba eustachius tertutup. Tuba Eustachius
terbuka waktu menelan dan valsava. Diameter tuba  1 – 1,25 cm. Pada perbatasan antara tulang
rawan dan tulang terdapat bagian yang menyempit dengan diameter 1,5 mm. Fungsi tuba
eustachius :
- Ventilasi
menyamakan tekanan udara di kavum timpani sama dengan
tekanan di luar (atmosfir)
- Drainase
- Proteksi

Gambar 5. Ilustrasi funsi tuba Eustachius

3. Telinga Dalam
a. Kohlea
b. Vestibulum

32
Mengandung sakulus, utrikulus dan kanalis semisirkularis.

Gambar 6. Telinga dalam

INFEKSI TELINGA LUAR

Otitis Eksterna
1. Otitis Eksterna Sirkumskripta (Furunculosis)
Hanya terjadi pada 1/3 luar liang telinga dan daun telinga oleh karena infeksinya terjadi pada
adneksa kulit.
Kuman penyebab : Staphylococcus aureus
Terapi : Salep antibiotic
2. Otitis Eksterna
Difusa a. Akut
Nyeri hebat.
Lubang telinga eritema dan edema serta ulseratif.

Gambar 7. Otitis Eksterna Difusa


b. Kronik
Berlangsung lebih dari 6 minggu dan biasanya berlatar belakang alergi.
Kuman penyebab terbanyak Pseudomonas aeruginosa

33
Terapi : - Penatalaksanaan nyeri
- Pembersihan liang telinga
- Antibiotik tetes telinga dengan atau tanpa antibiotik sistemik.
3. Otitis Eksterna Maligna (Necrotizing external
otitis) Kuman penyebab Pseudomonas aeruginosa.
Biasanya diderita pada usia tua dengan riwayat diabetes, pemberian steroid jangka panjang,
setelah kemoterapi, daya tahan tubuh yang buruk.
Infeksi dimulai dengan luka sekitar perbatasan kartilago dan tulang CAE (Fissura Santorini) yang
terus menyebar bersifat infeksi agresif.
Penyakit ditandai dengan nyeri hebat terus-menerus di telinga yang tidak sesuai dengan lesinya
yang ringan pada otoskopi, sekret purulen dan jaringan granulasi di dasar liang telinga.
Terapi : - Liang telinga dibersihkan
- Analgesik
- Antibiotik sistemik
Ciprofloxasin/Ceftazidime dan Meropenem dosis tinggi selama 6 – 8 minggu
- Bila karena jamur amfoterisin B > 12 minggu
4. Otomikosis
Tersering disebabkan oleh Aspergilus nigra dan Candida
albicans. Gejala seperti rasa gatal dan rasa penuh di telinga.
Pada otoskopi tampak gumpalan jamur dengan dinding CAE hiperemis dan edem ringan.

Gambar 8. Otomikosis
Terapi : Telingan dicuci dengan larutan cuka 2% dan Clotrimazole atau Nistatin selama 7 – 10
hari.

5. Miringitis Bulosa

34
Disebabkan oleh virus dan berhubungan dengan infeksi saluran nafas atas. Sering timbul
bersamaan dengan otitis media. Tampak memberan timpani reddish vesicle yang akan menjadi
bula.
Terapi : antibiotika bila timbul otitis media.
6. Herpes Zoster Oticus (Ramsay Hunt Syndrome)
Penyakit mengenai N.VII dan N.VIII sehingga tampak facial paralisis, vertigo, sensori neural
hearing loss, severe otalgia.
Vesikel herpetic terlihat pada CAE dan cavum conchae.
Terapi dengan acyclovir dan steroid untuk 3 minggu.

INFEKSI TELINGA TENGAH

Otitis Media Akut (OMA)


Peradangan telinga tengah yang berlangsung kurang dari 3 minggu dengan penimbunan cairan
infeksi.
Dianggap berat bila demam  39oC dan terjadi pada bayi berumur < 6 bulan.
OMA rekuren bila OMA berulang dalam waktu 3x dalam 6 bulan atau 4x dalam 12
bulan. Kuman penyebab terbanyak : - Streptococcus pneumonia
- Haemophilus influenza
- Moraxella catarrhalis
Perjalanan penyakit :
1. Stadium oklusi tuba
Rasa penuh di telinga, nyeri ringan.
Membran timpani suram sedikit hiperemis dan tidak bergerak pada pneumootoskopi.
2. Stadium presupurasi
Tanda stadium oklusi bertambah.
3. Stadium supurasi
Tanda stadium presupurasi bertambah. Terjadi mastoiditis koalesens dan abses retroaurikuler.
4. Stadium resolusi.

35
OMA

Anak berumur < 6 bulan, Anak 6-24 bulan dengan


diagnosis jelas, infeksi berat, sepsis, Immunocompromised

Tidak Ya

Opsi pengobatan: sistemik atau


topikal analgesik, observasi

Sembuh Gejala Tetap

Follow-up sampai Antibiotik lini I: Amoksisilin 80-90 mg/KgBB /hari selama 10 hari atau Makrolid.
efusi hilang Bila suhu >39oC, berikan lini ke II: seftriakson atau amoksisilin + asam klavulanat

Perbaikan Gejala Tetap

Follow-up sampai Antibiotik lini II: Amoksisilin + asam klavulanat 90


efusi hilang mg/kgBB /hari selama 10 hari atau sefuroksim 30
mg/kgBB 10 hari atau seftriakson 50 mg/kg /hari.

Tetap Perbaikan

Klindamisin 30-40 mg/kgBB /hari, timpanosentesis


dan kultur, tukar antibiotic bila perlu. Timpanostomi
untuk OMA berulang, kurang dengar ABD >30 dB,
gangguan neurologic atau keseimbangan, sepsis

Perbaikan Tetap

Follow-up sampai Perforasi membran


efusi hilang

Ya Tidak

OMA dengan perforasi Parasintesis dan kultur

Antibiotik sesuai kultur

Menutup Perforasi tetap >3 bulan

Penatalaksanaan OMSK
36
Otitis Media Efusi (OME)
Nama lainnya : Glue Ear, Otitis Media Sekretoria, Otitis Media Serosa.
Merupakan pengumpulan cairan di telinga tengah tanpa gejala radang akut.
Ada 2 patogenesis utama terjadinya OME yaitu :
1. Gangguan fungsi tuba eustachius
2. Inflamasi telinga tengah
Gejala utama adalah gangguan pendengaran.
Deteksi dengan pneumootoskopi dan timpanometri.
Terapi : - Steroid intranasal < 6 minggu pada yang alergi dan hipertrofi adenoid
- Timpanotomi

Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK)


 Ciri : - Radang kronik ( 2 bulan) telinga tengah dan perforasi membrane timpani. Bila ada otorea
termasuk fase aktif sebaiknya bila kering disebut OMSK fase tenang.
 Prevalensinya 1 -3,1%

 Merupakan 25% pasien THT di poliklinik

 Hampir selalu karena OMA berulang pada anak.

Klasifikasi :
1. OMSK tipe jinak
alias tipe tubotimpanik / tipe mukosa.
2. OMSK tipe bahaya
alias tipe atikoantral / tipe tulang
alias OMSK dengan kolesteatoma; membran timpani perforasi di atik atau marginal atau total.
Kolesteatoma adalah epitel berlapis gepeng dan debris pengelupasan keratin. Kolesteatoma
mengerosi tulang oleh karena penekan dan aktivasi enzim osteoklas.
Terapi : kolesteatomi adalah
operasi. Terapi OMSK tipe jinak
1. Antiseptik Topikal
Asam asetat 1 – 2%, H2O2 3%, povidon iodine 5% atau garam fisiologis.
2. Antibotik Topikal
3. Antibiotik Sistemik
Kuman penyebab utama adalah Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aeureus.
Warna dan bau secret bisa membantu memperkirakan kuman.
Sekret hijau kebiruan : Pseudomonas aureginosa

37
Sekret kuning keemasan : Stafilokokus
Antibiotik untuk : - Pseudomonas : - Flourokuinolon
- Amikasin, metilmisin, tobramisin
Stafilokokus : - Kotrimoksazol
- Amoksisilin
- Klavulanat
- Anaerob : - Metronidazol
- Klindamisin
- Kloramfenikol
Bila : - 7 hari tidak ada perbaikan klinis dilakukan kultur dan resistensi
- 2 minggu otorea menetap beri antibiotik parenteral
- Otorea tidak kambuh dalam 1 tahun dan kurang pendengaran dilakukan operasi
rekonstruksi atau alat bantu dengar.

INFEKSI TELINGA DALAM

Neurotritis Vestibuler
Umumnya karena virus influenza.
Vertigo mendadak tanpa gangguan pendengaran dan vertigo bisa berlangsung berbulan-bulan setelah
serangan akut.
Terapi : antivertigo.

Labirinitis
Mengenai sistem pendengaran dan keseimbangan.
Penyakit terjadi karena mikroorganisme atau mediator inflamasi mengenai labirin.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Helmi A. Balfos. Pengobatan Penyakit Telinga dan Jaringan Lunak di sekitarnya. EGC
Kedokteran. 2018 : 22-86.
2. M. Thaufiq S. Boesorie. Miringoplasti pasca radang Telinga Tengah. Bag Ilmu Kedokteran
Telinga, Hidung, Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. FK Universitas Padjadjaran. 2000 : 4-20.
3. Byron J. Bailey et al. Head and neck Surgery – Otolaringology Second edition. Ouippincote Rave.
1998; 1297-1300; 1965-1980.
4. Walter Becker et al. Ear, Nose and Throat Diseases. Thieme Flexibook. 1994; 70-138.
5. K. J. Lee. Essensial Otolaringology sixth Edition. Appleton & Lange. 1995; 637-645.

39
OBSTRUKSI SALURAN NAPAS ATAS
Erlina Julianti, dr., M.Kes., Sp.T.H.T.K.L

BAB I
PENDAHULUAN

Obstruksi pada saluran nafas atas dapat menyebabkan kematian, penting dilakukan diagnosis awal
dan penatalaksanaan yang tepat. Salah satu kegawatdaruratan di bidang THT adalah obstruksi pada
saluran nafas atas (OSNA). Gejala penyakit ini sering dijumpai pada praktek sehari-hari, baik yang
datang dalam keadaan sesak ringan maupun hebat.
Obstruksi yang terjadi pada saluran nafas atas disebabkan oleh berbagai macam sebab baik
kelainan bawaan, proses inflamasi, trauma, dan tumor yang dapat timbul segera atau perlahan dan
memberat. Derajat berat ringannya obstruksi pada saluran nafas atas ini bervariasi tergantung etiologi,
faktor usia dan lokasi obstruksi (besarnya sumbatan dibanding struktur anatomi). Kejadian OSNA
dapat terjadi pada semua usia dan jenis kelamin.
Akibat adanya obstruksi ini menimbulkan gejala sesak yang hebat yang dapat mengancam nyawa
apabila tidak ditangani secara cepat dan tepat sehingga diperlukan penanganan yang tepat untuk
mengoreksi obstruksinya. Tindakan tersebut dapat berupa medika mentosa ataupun tindakan segera
diantaranya dengan menggunakan perasat Heimlich, intubasi endotrakea, laringoskopi, trakeostomi
dan krikotiroidostomi, sehingga didapatkan kondisi yang aman dari jalan nafas serta mencegah
komplikasi lanjut bahkan kematian.

40
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Saluran Nafas Atas


Saluran napas bagian atas terdiri dari hidung, faring dan laring. Dari sudut klinik, rongga mulut
sering kali juga diikut sertakan dalam struktur saluran pernapasan bagian atas. Bagian yang kedua adalah
saluran napas bagian bawah yang terletak di leher dan batang badan (trakea, bronkus, dan paru-paru).

2.1.1 Hidung
Terdiri dari bagian eksternal dan internal, bagian eksternal menonjol dari wajah dan disangga oleh
tulang hidung dan kartilago. Bagian internal hidung adalah rongga berlorong yang dipisahkan menjadi
rongga hidung kanan dan kiri oleh pembagi vertikal yang sempit yang disebut septum. Rongga hidung
dilapisi membran mukosa yang sangat banyak mengandung vaskular yang disebut mukosa hidung.
Permukaan mukosa hidung dilapisi oleh sel-sel goblet yang mensekresi lendir secara terus menerus
dan bergerak ke belakang ke nasofaring oleh gerakan silia. Hidung berfungsi sebagai saluran untuk
udara mengalir ke dan dari paru paru. Hidung juga berfungsi sebagai penyaring kotoran dan
melembabkan serta menghangatkan udara yang dihirup ke dalam paru paru. Hidung juga bertanggung
jawab terhadap olfaktori (penghidu) karena reseptor olfaktori terletak dalam mukosa hidung, dan
fungsi ini berkulang sejalan dengan bertambahnya usia.

Gambar 1. Hidung

2.1.2 Faring
Faring merupakan suatu tabung fibromuskular, yang memanjang dari basis kranii sampai tepi
bawah kartilago krikoidea ( sekitar 10 – 14 cm pada dewasa ) atau setinggi vertebrae cervikalis ke-6,
dengan diameter superior lebih lebar dari inferior. Secara anatomis, faring terbagi menjadi :

41
1. Nasofaring ( epifaring )
2. Orofaring ( mesofaring )
3. Laringofaring ( hipofaring )
Batas antara nasofaring dan orofaring adalah tepi bebas dari palatum molle, sedangkan batas antara
orofaring dan hipofaring adalah garis melintang yang ditarik setinggi epiglotis. Dinding posterior
faring pada ketiga bagian tersebut saling berkesinambungan dan terdiri dari fascia, otot-otot dan
mukosa. Pada batas setinggi vertebrae cervikalis ke-6, faring melanjutkan diri menjadi esophagus di
bagian posterior dan trachea di bagian anterior.

Gambar 2. Faring

2.1.3 Laring
Laring terletak didepan bagian terendah faring yang memisahkannya dari kolumna vertebra,
berjalan dari faring sampai ketinggian vertebra servikalis dan masuk ke dalam trakea dibawahnya.
Laring terdiri atas kepingan tulang rawan yang diikat bersama oleh ligament dan membran. Yang
terbesar diantaranya adalah tulang rawan tiroid dan disebelah depannya terdapat benjolan subkutaneus
yang dikenal sebagai jakun (Adam’s apple). Laring terdiri atas dua lempeng (lamina) yang
bersambung digaris tengah ditepi atas terdapat lekukan berupa V. Tulang rawan krikoid terletak
dibawah tiroid dan berbentuk sepperti cincin. Terkait dipuncak tulang rawan tiroid terdapat epiglotis,
yang berupa katuptulang rawan dan membantu menutup laring sewaktu menelan. Laring dilapisi
selaput lendir yang sama dengan yang ada ditrakea, kecuali pita suara dan bagian epiglotis yang
dilapisi sel epitel berlapis.
Laring atau organ suara merupakan struktur epitel kartilago yang menghubungkan faring dan
trakea. Laring sering disebut sebagai kotak suara dan terdiri dari :
a. Epiglotis : daun katup kartilago yang menutupi ostium kearah laring selama menelan
b. Glotis : ostium antara pita suara dalam laring
c. Kartilago tiroid : kartilago terbesar pada trakeasebagian dari kartilago ini membentuk jakun
(Adam’s apple)

42
d. Kartilago krikoid : satu-satunya cincin kartilago yang komplit dalam laring (terletak dibawah
kartilago tiroid)
e. Kartilago aritenoid : digunakan dalam gerakan pita suara dengan kartilago tiroid
f. Pita suara : ligamen yang dikontrol oleh gerakan otot yang menghasilkan bunyi suara
Fungsi utama laring adalah untuk memungkinkan terjadinya vokalisasi, juga berfungsi melindungi
jalan nafas dari obstruksi benda asing dan memudahkan batuk.

Gambar 3. Laring

43
BAB III
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Obstruksi Saluran Napas Atas


Obstruksi saluran napas atas adalah suatu kondisi dimana terjadi sumbatan pada jalan nafas
bagian atas baik secara komplit atau parsial yang menyebabkan gangguan ventilasi. Obstruksi
saluran napas atas dapat disebabkan oleh adanya radang, benda asing, trauma, tumor dan
kelumpuhan nervus rekuren bilateral sehingga ventilasi pada saluran pernapasan terganggu.

2.2 Penyebab Obstruksi Saluran Napas Atas


Penyebab obstruksi saluran napas atas cukup bervariasi, diantaranya adalah kelainan
kongenital hidung atau laring, radang, infeksi akut, trauma, tumor, paralysis satu atau kedua plika v o
kalis,pangkallidahjatuhkebelakangpadapenderitayangtidaksadar
k a r e n a penyakit, cedera, atau narkose maupun karena benda asing.

2.2.1 Obstruksi Jalan Napas Atas


Kongenital : Laringomalacia, atresia koana, stenosis supraglotis, glottis dan infraglotis, kista duktus
tiroglosus, kista bronkiegen yang besar, kista laring, laringokel yang besar dan hemangioma
kongenital.
Laringomalacia : suatu keadaan disfungsi fisiologis sementara yang diakibatkan abnormalitas
kelenturan jaringan lunak laring atau adanya inkoordinasi pada struktur supralaring. Gejalanya berupa
stridor inspirasi yang membaik apabila dilakukan perubahan posisi leher (miring atau telungkup).
Atresia koana : terdapat obstruksi baik itu total atau sebagian pada satu sisi atau dua sisi koana akibat
dari kegagalan absorpsi membran bukofaringeal. Obstruksi dapat berupa membran atau tulang.
Gejalanya adalah kesulitan bernafas dan keluar sekret hidung terus menerus. Diagnosis dibuat dengan
timbulnya sianosis pada waktu diam yang menghilang pada waktu menangis, dengan endoskopi
terlihat sumbatan dibelakang rongga hidung. Pengobatannya dengan pembedahan.
Kista duktus tiroglosus : timbul akibat gagalnya obliterasi dari duktus tiroglosus yang terbentang
antara foramen sekum lidah ke kaudal ke arah ismus/lobus piramidalis tiroid sehingga bisa terisi
sekret dan membentuk suatu kista yang tidak nyeri terletak di midline setinggi tulang rawan hyoid.
Terapi yang adekwat adalah dilakukan eksisi dengan modifikasi prosedur Sistrunk.
Laringokel : terdiri dari dua jenis yaitu eksternal dan internal. Laringokel eksternal adalah herniasi
dari sakulus ventrikel laring yang berisi udara, yang meluas melalui membran tirohioid sampai ke
lateral kartilago tiroid yang memberikan gambaran klinis adanya benjolan pada lateral leher, anterior
dari otot sternokleidomastoideus. Gejala klinis berupa batuk, suara serak dan adanya sensasi benda
asing pada laring. Laringokel internal adalah adanya benjolan kistik pada plika aryepiglotika.

44
Subglottic Hemangioma : kelainan biasanya sekunder, lesi primer di kulit, bila terjadi di
subglotis(distres pernapasan, stridor dicetuskan oleh menangis atau inflamasi). Gejala lain dyspneu
dan harsh cry. Dari pemeriksaan radiologi tampak penyempitan yang asimetris, Endoskopi: Lesi
lunak, kebiruan, konfirmasi dengan biopsi.

Radang/ Infeksi : laringotrakeitis, epiglotitis, abses peritonsiler, angina ludwig, abses parafaring atau
retrofaring.
Laringotrakeitis : disebabkan oleh infeksi virus dengan gejala stridor, batuk menggonggong, dan
demam. Derajat beratnya penyakit bervariasi bergantung pada derajat beratnya edema pada daerah
subglottis. Tindakan intubasi atau trakeostomi diperlukan pada kasus gagal nafas, hiperkarbia,
oksigenasi yang tidak adekuat atau status neurologis yang memburuk.
Abses peritonsiler : Merupakan penyebab terbanyak dari infeksi ruang leher (deep neck space).
Kemungkinan besar disebabkan karena infeksi kripta pada bagian superior yang menembus kapsul
tonsil dan meluas ke jaringan ikat diantara kapsul dan dinding posterior fossa tonsilaris. Gejala klinis
berupa nyeri tenggorokan yang makin hebat dan biasanya satu sisi, nyeri dan sukar menelan, demam,
sekresi ludah berlebihan (drooling), sukar bicara dan bicara seperti “hot potato voice”, tonsil bergeser
ke tengah, keatas dan kebawah, uvula bergeser ke sisi kontralateral.
Abses Retrofaring : sumber infeksi paling sering adalah proses infeksi di daerah hidung, adenoid,
nasofaring dan sinus parasinalis yang mengalir ke kelenjar getah bening retrofaringeal. Gejala klinis
demam, pembengkakan leher dengan disertai nyeri, bulging dinding posterior faring unilateral (sesuai
dengan lokasi KGB), odinofagia dan disfagia, sepsis.
Angina Ludwig : dikenal juga dengan nama Angina Ludovici, merupakan salah satu bentuk abses
leher dalam) berupa peradangan selulitis dari bagian superior ruang suprahioid, yang ditandai dengan
pembengkakan (edema) pada bagian bawah ruang submandibular, yang mencakup jaringan yang
menutupi otot-otot antara laring dan dasar mulut, tanpa disertai pembengkakan pada limfonodus,
penyebabnya akibat infeksi akar gigi, yakni molar dan premolar, dapat juga karena trauma bagian
dalam mulut, karies gigi, dan tindik lidah, Gejala klinis yang timbul adalah demam, nyeri tenggorokan
dan leher disertai pembengkakan di daerah submandibular yang tampak hiperemis, drooling, dan
trismus. Pada dasarnya prinsip utama jika adanya sumbatan jalan nafas, maka sebaiknya di atasi.
Penanganan yang utama adalah menjamin jalan nafas yang stabil melalui trakeostomi. Trakeostomi
dilakukan tanpa harus menunggu terjadinya dispnea atau sianosis karena tanda-tanda obstruksi jalan
nafas yang sudah lanjut. Jika terjadi sumbatan jalan nafas maka pasien dalam keadaan gawat darurat.
Pengobatan dengan antibiotik intravena, antibiotik yang digunakan adalah Penicilin G dosis tinggi,
kadang-kadang dapat dikombinasikan dengan obat anti staphylococcus atau metronidazole. Jika
pasien alergi pinicillin, maka clindamycin hydrochloride adalah pilihan yang terbaik. Dexamethasone
yang disuntikkan secara intravena, diberikan dalam 48 jam untuk mengurangi edem dan perlindungan
jalan nafas

45
Traumatik : ingesti kaustik, patah tulang wajah atau mandibula, cedera laringotrakeal, intubasi
lama: udem/stenosis, dislokasi krikoaritenoid, paralysis n. laringeus rekurens bilateral
Ingesti kaustik : temuan klinis dapat bervariasi tergantung dari jumlah dan jenis bahan kaustik yang
tertelan (asam/basa). Gejalanya adalah nyeri pada daerah mulut, leher bahkan sampai dada, disfagia
dan drooling. Masalah pernafasan berupa batuk, mengi, stridor atau bahkan gagal nafas.
Cedera laringotrakeal : dari anamnesis didapatkan riwayat trauma pada daerah leher anterior akibat
dari tindak kejahatan, percobaan bunuh diri atau kecelakaan kendaraan. Tanda dan gejala berupa
disfonia, afonia, stridor, batuk darah, disfagia dan nyeri. Dari pemeriksaan fisik didapatkan jejas pada
kulit leher atau adanya emfisema subkutan pada daerah leher. Pemeriksaan laringoskopi fiberoptik
dan CT Scan dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis pada kasus ini.

Paralisis bilateral n. Laringeus rekurens : evaluasi diagnostik dengan anamnesis (adanya riwayat
trauma leher atau pembedahan terutama bedah tiroid, penyakit viral atau bakterial), pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium, endoskopi ( direct laryngoscope, bronchoscopy, esophagoscopy dan
evaluasi fungsi vokal). Tatalaksana non bedah dengan terapi wicara atau dengan pembedahan.
Tumor : hemangioma, higroma kistik, papiloma laring rekuren, limfoma, tumor ganas tiroid,
karsinoma sel skuamosa laring, faring atau oesofagus

Tumor ganas laring : keluhan dan gejala karsinoma laring tergantung dari lokasi dan besarnya tumor,
seperti serak, sesak, nyeri tenggorokan, gangguan menelan, rasa mengganjal, batuk, dan benjolan di
leher . Pemeriksaan laring dapat dilakukan dengan
menggunakan laringoskopi langsung ( d irect) dan laringoskopi tidak langsung
(in d irect), radiologi konvensional yang dapat dilakukan seperti thorak foto dan soft tissue leher. CT
scan/ PET CT dan MRI merupakan pemeriksaan yang lebih canggih lagi untuk determinasi klinis dan
ekstensi tumor primer. Pemeriksaan histopatologis didapat melalui biopsy. Pengelolaan penderita
tumor ganas laring dapat bersifat single modality atupun combined-modality. Dimana dapat dengan
oeperatif, radioterapi, kemoterapi serta terapi kombinasi. Terapi kombinasi yang sering digunakan
adalah operatif dengan diikuti radioterapi.
Lain-lain : benda asing,
Udem angio neurotik : dapat disebabkan oleh irritatif pollen (alergi) yang mengubah permeabilitas
kapiler dan menyebabkan udem pada pita suara. Gejala klinis suara serak, dari pemeriksaan tampak
laring udem difus. Terapi udem angioneurotik : epinefrin 0,3 ml subkutan, antihistamin :
dipenhidramin 25 – 50 mg intra vena, kortikosteroid : dexamethason 5 – 10 mg intra vena, bila tidak
ada respon dilakukan intubasi endotrakea untuk stabilisasi jalan nafas.

2.3 Diagnosis Obstruksi Saluran Napas Atas

46
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan hasil pemeriksaan fisik serta pemeriksaan
penunjang.
Gejala dan tanda obstruksi saluran nafas atas adalah :
(disfoni) sampai afoni.
napas (dispnea).
(nafas berbunyi) yang terdengar pada waktu inspirasi.
inspirasi di suprasternal, epigastrium, supraklavikula dan inter kostal.
karena pasien haus udara (air hunger).
muka pucat dan terakhir menjadi sianosis karena hipoksia
Pemeriksaan penunjang yang biasa dilakukan pada obstruksi saluran nafas atas diantaranya adalah
:
a. Nasoendoskopi
b. Laringoskopi baik secara direk atau indirek, dilakukan bila terdapat sumbatan pada laring.
c. Pemeriksaan radiologi leher – thoraks, apabila dicurigai adanya benda asing metal dapat
dilakukan pemeriksaan foto polos posisi PA (Posterior Anterior) dan lateral, foto dengan
teknik jaringan lunak digunakan pada kasus dengan densitas rendah, dan untuk benda asing
dengan gambaran radiolusen dapat dilakukan foto pada akhir inspirasi dan ekspirasi.
d. CT Scan kepala dan leher
e. Biopsi
f. Pemeriksaan leukosit darah tepi
g. Analisis Gas darah

2.4 Stadium Obstruksi Saluran Napas Atas


Klasifikasi gejala obstruksi saluran napas atas menurut Jackson :

Stadium 1

a. Cekungan tampak pada waktu inspirasi di suprasternal


b. Stridor pada waktu inspirasi
c. Pasien masih tampak tenang
Stadium 2

a. Cekungan pada waktu inspirasi didaerah suprasternal makin dalam


b. Cekungan didaerah epigastrium
c. Stridor terdengan pada waktu inspirasi
d. Pasien mulai tampak gelisah
Stadium 3

47
a. Cekungan selain di suprasternal, epigastrium juga terdapat di infraklavikula dan di sela-sela
iga
b. Stridor terdengar pada waktu inspirasi dan ekspirasi
c. Pasien sangat gelisah dan dispnea
Stadium 4

a. Cekungan di suprasternal, epigastrium, infraklavikula dan di sela-sela iga bertambah jelas,


pasien sangat gelisah, tampak sangat ketakutan dan sianosis
b. Pasien dapat kehabisan tenaga, pusat pernapasan paralitik karena hiperkapnea
c. Pasien lemah dan tertidur, akhirnya meninggal karena asfiksia.

2.5 Tatalaksana OSNA


Pada prinsipnya penanggulangan pada obstruksi saluran nafas atas adalah diusahakan supaya jalan
nafas lancar kembali.
Tindakan konservatif : pemberian anti inflamasi, anti alergi, antibiotika serta oksigen intermitten,
yang dilakukan pada obstruksi saluran nafas atas stadium I yang disebabkan oleh peradangan.
Tindakan operatif/resusitasi : memasukan pipa endotrakeal melalui mulut (intubasi orotrakeal) atau
melalui hidung (intubasi nasotrakea), membuat trakeostomi yang dilakukan pada obstruksi laring
stadium II dan III, atau melakukan krikotirotomi pada obstruksi laring stadium IV.

2.5.1 Intubasi
Intubasi dilakukan dengan memasukkan pipa endotrakeal lewat mulut atau hidung. Intubasi
endotrakea merupakan tindakan penyelamat (life saving procedure) yang dapat dilakukan tanpa atau
dengan analgesia topikal dengan xylocain 10%.
Indikasi intubasi endotrakea :
a. Untuk mengatasi obstruksi saluran nafas bagian atas
b. Membantu ventilasi
c. Memudahkan mengisap sekret
d. Mencegah aspirasi sekret yang ada di rongga mulut atau berasal dari
lambung. Keuntungan intubasi, yaitu:
a. Tidak cacat karena tidak ada jaringan parut.
b. Mudah dikerjakan.

a. Dapat terjadi kerusakan lapisan mukosa saluran napas atas.


b. Tidak dapat digunakan dalam waktu lama. Orang dewasa 1 minggu, anak-anak 7-10 hari.
c. Tidak enak dirasakan penderita.
d. Tidak bisa makan melalui mulut.

48
e. Tidak bisa bicara.
Komplikasi yang dapat timbul yaitu stenosis laring atau trakea.

2.5.2. Laringotomi (Krikotirotomi)


Laringotomi dilakukan dengan membuat lubang pada membran tirokrikoid (krikotirotomi). Krikotirotomi merupakan

tindakan penyelamat pada pasien dalam keadaan gawat nafas. Bahayanya besar tetapi mudah dikerjakan , dan harus

dikerjakan cepat walaupun persiapannya darurat. Krikotirotomi merupakan kontra indikasi pada anak dibawah usia 12 tahun,

demikian juga pada tumor laring yang sudah meluas ke subglotik dan terdapat laringitis. Bila kanul dibiarkan terlalu lama

maka akan timbul stenosis subglotik karena kanul yang letaknya tinggi akan mengiritasi jaringan jaringan di sekitar

subglotik, sehingga terbentuk jaringan granulasi, dan sebaiknya diganti dengan trakeostomi dalam waktu 48 jam.

2.5.3. Trakeostomi
Trakeostomi adalah suatu tindakan dengan membuka dinding depan/anterior trakea untuk
mengatasi gangguan pernapasan bagian atas agar udara dapat masuk ke paru-paru dan memintas jalan
nafas bagian atas. Indikasi trakeostomi adalah :
a. Mengatasi obstruksi laring
b. Mengurangi ruang rugi (dead space) disaluran pernapasan atas
c. Mempermudah pengisapan sekret dari bronkus
d. Untuk memasang alat bantu pernapasan
e. Untuk mengambilbenda asing di subglotis, apabila tidak memiliki fasilitas
bronkoskopi. Keuntungan trakeostomi adalah :
a. Dapat dipakai dalam waktu lama.
b. Trauma saluran napas tidak ada.
c. P e n d e r i t a m a s i h d a p a t b e r b i c a r a sehingga kelumpuh
an otot laring
d a p a t dihindari.
d. Penderita merasa enak dan perawatan lebih mudah
e. Penderita dapat makan seperti biasa.
f. Menghindari aspirasi, menghisap sekret bronkus.
g. Jalan napas lancar, meringankan kerja paru.
Kerugian trakeostomi yaitu:
a. Tindakan lama.
b. Cacat dengan adanya jaringan sikatrik.

a. Kelembaban udara masuk. Dapat dilakukan dengan uap air basah hangat, nebulizer, dengan
kassa steril yang dibasahi diletakkan di permukaan stoma.
b. Kebersihan dalam kanul harus diperhatikan, jangan sampai tersumbat oleh sekret dianjurkan
disedot tiap ½ - 1 jam pada 24 jam pertama dan tidak boleh terlalu lama tiap sedotannnya

49
(suction), biasanya 10-15 detik, bila lama penderita bisa sesak atau hipoksia bahkan cardiac
arrest. Hal ini dilakukan berkali-kali sampai sekret bersih.
Pada anak kanul dibersihkan setiap hari kemudian pasang kembali. Pengangkatan kanul dilakukan
secepatnya, atau dengan indikasi berikut:
a. Tutup lubang trakeostomi selama 3 menit, penderita tidak sesak.
b. Dalam 24 jam tidak ada keluhan sesak bila lubang trakeostomi ditutup waktu tidur, makan
dan bekerja.
c. Penderita sudah dapat bersuara.
Komplikasi trakeostomi dapat terjadi pada saat operasi yaitu perdarahan, dapat menimbulkan cedera
pada organ sekitarnya, apnea dan shock. Sedangkan pasca operasi dapat terjadi infeksi, sumbatan,
kanul lepas, erosi ujung kanul atau desakan cuff pada pembuluh darah, fistel trakeokutan, sumbatan
subglotis dan trakea, disfagia, dan granulasi.

2.5.4 Perasat Heimlich (Heimlich Manuever )


Perasat Heimlich adalah suatu cara mengeluarkan benda asing yang menyumbat laring secara total
atau benda asing ukuran besar yang terletak di hipofaring. Prinsip mekanisme perasat Heimlich adalah
memberi tekanan pada paru. Diibaratkan paru sebagai botol plastik berisi udara yang tertutup oleh
sumbatan, dengan memencet botol plastik itu sumbatan akan terlempar keluar. Perasat Heimlich ini
dapat dilakukan pada orang dewasa dan juga pada anak. Komplikasi yang dapat terjadi adalah ruptur
lambung, ruptur hati dan fraktur tulang iga.
Teknik perasat heimlich:
a. Penolong berdiri di belakang pasien sambil memeluk badannya.
b. Tangan kanan dikepalkan dan dengan bantuan tangan kiri, ked ua tangan diletakan pada perut
bagian atas
c. Kemudian dilakukan penekanan pada rongga perut ke arah dalam dan ke arah atas dengan
hentakan beberapa kali. Diharapkan dengan hentakan 4-5 kali benda asing akan terlempar
keluar.
Pada anak penekanan cukup dengan memakai jari telunjuk dan jari tengah kedua tangan. Pada
pasien tidak sadar atau terbaring dapat dilakukan dengan cara penolong berlutut dengan kedua kaki
pada kedua sisi pasien. Kepalan tangan diletakan dibawah tangan kiri didaerah epigastrium. Dengan
hentakan tangan kiri ke bawah dan ke atas beberapa kali udara dalam paru akan mendorong benda
asing keluar.

50
BAB III
PENUTUP

Sumbatan atau obstruksi saluran napas atas merupakan

kegawatdaruratanyangharussegeradiatasiuntukmencegahkematian.O
bstruksisalurannapasatasdapatdisebabkanolehradangakutdanradang
kronis,bendaasing,traumaakibatkecelakaan,perkelahian,percobaanb
unuhdiridengansenjatatajamdantraumaakibattindakanmedikyangdila
kukandengangerakantangankasar,tumorpadalaringberupatumorjinak
maupuntumorganas,sertakelumpuhannervusrekurenbilateral.
Prinsippenanggulanganpadaobstruksisalurannapasatasadalahm
enghilangkanpenyebabsumbatandengancepatataumembuatjalannafas
baruyangdapatmenjaminventilasi.Tindakankonservatifberupapember
ianantiinflamasi,antialergi,antibiotikasertapemberianoksigenint er
miten,yangdilakukanpadasumbatanlaringyangdisebabkanolehperada
ngan.Tindakanoperatifatauresusitasidenganmemasukanpipaendotrak
ealmelaluimulut(intubasiorotrakea)ataumelaluihidung(intubasinaso
trakea)membuattrakeostomayangdilakukanpadasumbatanlaringstadi
umIIdanIIIataumelakukankrikotirotomiyangdilakukanpadasumbatan
laringstadiumIV.Penanggulanansumbatansalurannapasatasyangtepat
dancepatsangatdibutuhkanuntukmencegahkematian.

51
DAFTAR PUSTAKA

1. Ballenger JJ, Snow jr JB. Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 16th ed. BC Decker inc. Ontario 2003.

2. Borgstein J. Acute airway obstruction in The Basic Ear Nose Throat


3. Soepardi EA, Iskandar N. Editor. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok. Edisi 5.
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2005.
4. D Gerard MD. Epiglotitis. Dalam : Daniel J kelley MD, Francisco Talavera, Harm D, phD,
Gregory CC Allen MD, Christoper L Slack, MD, Arlen D Meyers MD, MBA (editor).
http://www.emedicine.com
5. Adams GL, Boeis LR, jr. Highler PA. Boeis Buku ajar THT. Edisi 6. Effendi H Santoso
RAK. Editor. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1993
6. Hermani B, Abdurrachman. Penanggulangan sumbatan laring. Dalam: S.A Efiaty I Nurbaiti,
B Jenny, R D Ratna (editor). Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan
leher. Edisi VI. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta 2003.

52
FRAKTUR MIDFACIAL
M. Bima Mandraguna, dr., Sp.T.H.T.K.L., FICS

Maksila merupakan jembatan antara dasar tengkorak di superiorr dan bidang oklusal gigi di
inferior. Hubungan yang erat dengan rongga mulut, rongga hidung, mata, dan banyak struktur yang
terkandung dalamnya, membuat maksila sebagai struktur fungsional dan kosmetik yang penting.
Fraktur tulang-tulang ini berpotensi mengancam nyawa serta mengubah bentuk wajah. Terapi yang
segera dan sistematis memberikan kesempatan terbaik untuk memperbaiki deformitas dan mencegah
gejala sisa.
Fraktur maksila terjadi pada 625% fraktur wajah. Penyebab tersering adalah kecelakaan lalu
lintas, perkelahian, dan terjatuh.
Pemahaman mengenai fraktur maksila ini banyak bersumber pada penelitian René Le Fort.
Pada 1901, ia menjelaskan 3 jenis fraktur maksila :

Fraktur Le Fort I
Disebabkan trauma yang mengarah ke bawah ke tepi maksiloalveolar. Frakturnya memanjang dari
septum hidung ke rima lateral piriformis, berjalan horizontal di atas apeks gigi geligi menyilang di
bawah zygomaticomaxillary junction dan pterygomaxillary junction menuju lempeng pterigoideus.

Gambar 1. Fraktur LeFort I (transversal)

Fraktur Le Fort II (piramidal)


Disebabkan benturan ke arah bawah atau tengah wajah. Fraktur ini berbentuk piramid, memanjang
dari nasala bridge pada atau di bawah sutura nasofrontal melalui prosesus frontalis maksila,

53
inferolateral melalui tulang lakrimal inferior dinding dan lantai orbita atau dekat foramen orbita
inferior, dan di bawahnya lagi melalui dinding anterior sinus maksila.

Gambar 2. Fraktur LeFort II (piramidal)

Fraktur Le Fort III


Dikenal juga dengan craniofacial disjunction terjadi karena benturan di atas nasal bridge atau maksila
sebelah atas. Fraktur dimulai dari sutura nasofrontal dan frontomaksilar, memanjang ke belakang
sepanjang dinding medial orbita melalui nasolacrimal groove dan tulang etmoid. Tulang sfenoid yang
menebal di belakang mencegah fraktur mengarah ke kanalis optikus. Fraktur justru berlanjut
sepanjang lantai orbita sepanjang fisura orbita inferior dan berlanjut superolateral melalui dinding
lateral orbita, ke zygomaticofrontal junction dan arkus zigoma. Di dalam rongga hidung, garis fraktur
memanjang melalui perpendicular plate etmoid, vomer, pterygoid plate ke dasar sfenoid.

Gambar 3. Fraktur LeFort III (craniofacial dysjunction)

Pemeriksaan Radiologi

54
Untuk diagnosis penderita yang mengalami trauma orofasial hanya diperlukan radiograf
oklusal dan periapikal saja. Detail dari cedera gigi (luksasi dan avulsi), dan sebagian besar fraktur
prosessus alveolaris paling baik dirontgen dengan cara ini. Meskipun demikian, tidak dibenarkan
untuk melakukan pembuatan radiografis untuk mengetahui adanya fraktur bila bukti klinis kurang
mendukung. Film panoramik merupakan film skrining pilihan untuk kasus fraktur maksila dan
mandibula (Pedersen, 1996).
Pemeriksaan radiograf mandibula secara umum memerlukan dua atau lebih gambaran
radiograf dari empat gambaran radiograf berikut, yaitu (1) panoramik, (2) proyeksi Towne, (3)
proyeksi posteroanterior , dan (4) proyeksi oblik lateral kiri dan kanan (Hupp dkk, 2008).

Gambar 4 . Berbagai proyeksi radiografi untuk fraktur mandibula(Hupp dkk, 2008).


A. Proyeksi posterior-anterior menunjukkan fraktur pada daerah angle mandibula (panah)
B. Proyeksi oblik lateral menunjukkan fraktur pada daerah angle mandibula (panah).
C. Proyeksi Towne menunjukkan adanya pergeseran fraktur kondilar (panah).
D. Foto panoramik menunjukkan fraktur yang bergeser pada sebelah kiri corpus
mandibula dan
fraktur subkondilar kanan (panah)

55
Rontgen yang paling baik untuk fraktur wajah bagian tengah adalah proyeksi Waters,
proyeksi wajah lateral, proyeksi wajah posteroanterior, dan proyeksi submental verteks. Fraktur pada
arkus zygomatikus ditunjukkan dengan baik oleh proyeksi submentoverteks (Hupp dkk, 2008)

Gambar 5. Berbagai proyeksi radiografi untuk fraktur wajah bagian tengah


(Hupp dkk, 2008).
A. Proyeksi Waters menunjukkan fraktur pada daerah dasar orbita,
B. Proyeksi wajah lateral menunjukkan fraktur Le Fort III atau terjadi pemisahan
kraniofasial. Garis fraktur (panah) memisahkan wajah bagian tengah dari kranium.
C. Proyeksi submental verteks menunjukkan fraktur arkus zygomatikus (panah)

Apabila terjadi fraktur multipel pada wajah yang perluasannya dan kemungkinan keterlibatan
struktur penting disekitarnya masih dipertanyakan, maka bisa dilakukan CT scan. CT mempunyai
keunggulan dalam hal tidak adanya gambaran yang tumpang tindih dan bisa mempertahankan detail
jaringan lunak. Kedua sifat tersebut merupakan penunjang yang sangat penting dalam melakukan
diagnosis yang akurat dari fraktur fasial. Melakukan CT pada kepala merupakan prosedur
penyaringan standar untuk menentukan adanya fraktur kepala dan dapat menunjukkan adanya trauma
intrakranial, misalnya hematom intra- atau extra-serebral, daerah kontusio, dan edema cerebral
(Pedersen, 1996).

56
Gambar 6. CT Scan (Hupp dkk, 2008).
A. Gambaran tomografi menunjukkan kerusakan dasar orbita (panah).
B. CT scan menunjukkan kerusakan dari dinding medial dan dasar orbita kanan

Dengan kemajuan teknologi saat ini, dengan dikembangkannya CT Scan tiga dimensi akan
memberikan peran yang lebih baik dalam menentukan keadaan fraktur dalam hal ada atau tidaknya
displacement tulang (Tawfilis, 2006)

Gambar 7. Radiografi digital imaging 3D (Tawfilis, 2006)

Manajemen Trauma Midfacial


Perbaikan kondisi umum pasien harus diperhatikan. Fiksasi fragmen yang tidak stabil
merupakan tujuan utama dalam terapi bedah untuk kasus ini. Diharapkan dengan fiksasi ini hubungan
anatomis antar segmen akan kembali normal, khususnya sistem butress, bentuk wajah, oklusi, dan
fungsi mengunyah. Pemasangan MMF akan akan memeperbaiki oklusi. Untuk fiksasi segmen lainnya
dapat digunakan metode plate and screw.

Perawatan Definitif
Perawatan definitif fraktur maksilofasial dilakukan setelah keadaan umum pasien lebih baik,
terkontrol dan telah melewati masa kritis melalui perawatan gawat darurat. Tujuan dari perawatan
fraktur maksilofasial adalah merehabilitasi jaringan yang terlibat, mengurangi rasa sakit,
penyembuhan tulang, serta perbaikan oklusi gigi. (Fonseca, 2005)

57
Koreksi definitif pada pasien dengan trauma kraniofasial yang kompleks secara ideal
dilakukan dalam 5-7 hari. Beberapa penulis menganjurkan untuk fiksasi primer pada 12-48 jam paska
trauma. Namun dalam jangka waktu tersebut seringkali tidak cukup untuk memperoleh pemeriksaan
radiologis, dan pengelolaan gigi geligi yang adekuat terutama pada pasien dalam keadaan koma dan
tidak kooperatif. Pada periode tersebut jaringan lunak berada dalam keadaan pembengkakan sehingga
pengelolaan operatif pada saat itu akan menyebabkan proyeksi wajah dan kesimetrisan wajah sulit
dicapai. Selain itu adanya rhinorrhoea serebrospinal atau aerocele intrakranial merupakan alasan lain
keterlambatan perawatan. (Miloro, 2004)
Seringkali pasien tersebut membutuhkan waktu lebih dari tiga minggu untuk pengelolaan life-
saving yang ekstensi terhadap trauma ekstrakranial. Pada banyak kasus keterlambatan koreksi
seringkali menyebabkan telah terjadinya union pada tulang dan kontraktur jaringan lunak sehingga
diperlukan diseksi jaringan lunak yang ekstensif untuk mendapatkan pemaparan tulang yang baik
dalam rangka reduksi dan fiksasi fraktur tulang. Selain itu diperlukan osteotomi pada garis fraktur
akibat telah terjadinya penyatuan tulang. (Tawfilis, 2006)
Kunci utama dalam penatalaksanaan fraktur panfasial adalah untuk mendapatkan fiksasi dan
stabilisasi yang cukup stabil pada daerah-daerah yang tidak stabil. Rekonstruksi harus meliputi arah 3
dimensi yaitu vertikal, horisontal dan transversal. Terdapat dua prinsip umum untuk penatalaksanaan
fraktur panfasial yaitu dengan tehnik bottom to top (dari bawah ke atas) atau top to bottom (dari atas
ke bawah). (Miloro, 2004)
Apabila kranium frontalis masih intak atau terdapat fraktur pada fossa kranial anterior atau
fronto-orbital bar tanpa adanya kehilangan tulang atau dimana struktur-struktur tulang tersebut di atas
telah terekonstruksi dengan kuat, regio midfasial dapat direkonstruksi dalam arah atas ke bawah.
Namun bila terdapat diskontinuitas pada lengkung mandibula, hilangnya tulang pada tulang kranial
dan diskontinuitas pada dasar fosa kranial anterior atau hilangnya titik referensi, pendekatan
dilakukan dalam arah bawah ke atas. Hal ini dilakukan agar rekonstruksi pada mandibula dapat
menghasilkan hubungan yang intak dalam mereposisi maksila. Selain itu bila basis kranial frontalis
diperbaiki dan dilekatkan terhadap tengah wajah dapat menaikkan resiko kerusakan atau perubahan
letak terhadap fosa kranialis anterior yang telah diperbaiki. (Miloro, 2004)
Pada tehnik bottom to top, rekonstruksi dimulai dari mandibula. Bila lengkung mandibula
terganggu harus diperbaiki terlebih dahulu. Fraktur pada kondilus baik unilateral maupun bilateral
memerlukan reduksi segera dan fiksasi internal untuk mempertahankan ketinggian fasial. Setelah
mandibula terkoreksi dengan baik, maksila yang mengalami disimpaksi dapat dikoreksi dengan
menyesuaikan oklusi pada rahang bawah dan dilakukan fiksasi intermaksilaris. Perbaikan dapat
dilanjutkan dalam arah atas ke bawah dan bertemu dengan segmen maksilomandibula yang telah terfiksasi.
Bila terdapat fraktur sagital pada maksila dilakukan reduksi dan fiksasi untuk mendapatkan kembali
lengkung maksila sehingga koreksi terhadap lebar wajah tengah dapat tercapai. Fiksasi dapat dilakukan
dengan menempatkan miniplate secara transversal pada maksila. Kerugian pada tehnik bottom

58
to up adalah untuk rekonstruksi dilakukan dimulai dari jarak yang cukup jauh dari elemen simetris
yang stabil yaitu basis kranial. Ketidakakuratan dalam mereduksi dan mereposisi fraktur kondilus
akan menyebabkan asimetri wajah. (Miloro, 2004)

Gambar 8. Teknik Bottom up (Miloro, 2004)


Pada teknik top to bottom, rekonstruksi pertama-tama pada bagian luar rangka fasial (outer
facial frame) pada fraktur panfasial yaitu meliputi lengkung zygomatik, kompleks malar dan tulang
frontalis. Kemudian rekonstruksi dilakukan pada bagian dalam rangka fasial (inner facial frame) atau
pada kompleks naso-orbitho-ethmoidal, sutura zygomatikofrontalis dan orbital rim. Setelah itu
dilakukan rekonstruksi pada maksila pada Le Fort I dengan menggunakan plat pada buttress.
Kemudian reposisi pada fraktur mandibula dan diakhiri dengan fiksasi intermaksilaris. (Miloro, 2004)

59
Gambar 9. Teknik top to bottom (Miloro, 2004)

Cangkok tulang biasanya dilakukan untuk merekonstruksi dinding orbital dan hidung. Selain
itu cangkok tulang dilakukan untuk koreksi sekunder bila dibutuhkan untuk menambah kontur pada
regio tertentu dan memperbaiki kesimetrisan wajah. (Miloro, 2004)

Gambar 10. Bone graft pada dinding sinus maksila anterior (Miloro, 2004)

60
DETEKSI DINI KEGANASAN KEPALA LEHER
Aditya Arifianto, dr., Sp.T.H.T.K.L., FICS

ABSTRAK
Keganasan daerah kepala leher merupakan masalah kesehatan yang meningkatkan mortalitas dan
morbiditas. Penderita biasanya datang dengan stadium lanjut, kondisi ini akan menurunkan kualitas
hidup. Kesintasan dan kualitas hidup penderita keganasan kepala leher berhubungan langsung dengan
ukuran tumor primer pada saat terdeteksi pertama kali. Pencegahan primer dan sekunder dapat
dilakukan. Dibutuhkan peningkatan pengetahuan yang berhubungan dengan deteksi dini pada saat
ukuran tumor masih kecil. Sejauh ini bukan hanya mengenai kekurangan infrastruktur di Indonesia,
melainkan terjadi juga di seluruh dunia. Perkembangan teknik dan pengetahuan mengenai deteksi dini
masih rendah terutama mengenai program skrining untuk keganasan daerah kepala leher. Pencegahan
sekunder sudah mengalami perkembangan berupa pemakaian endoskopi dan analisis kuantitatif di
bidang biologi molekuler. Semua pemeriksaan ini harus selalu ditunjang dengan biopsi yang
merupakan langkah awal untuk menentukan jenis terapi.
Keganasan kepala leher terdiri dari keganasan di daaerah sinonasal, faring, laring, kelenjar liur,
telinga, leher, dan tiroid.
Dibutuhkan peningkatan pengetahuan dan keterampilan untuk melakukan deteksi dini oleh
dokter umum dan tenaga kesehatan sebagai lini pertama kesehatan Indonesia.

Kata Kunci: Deteksi Dini, Dokter Umum dan Tenaga Kesehatan, Keganasan Kepala Leher,
Kualitas Hidup, Stadium Lanjut

61
Hari Kanker Kepala Leher Sedunia jatuh setiap tanggal 27 Juli. Hari ini diperingati agar dapat
digaungkan mengenai kesadaran gejala secara dini dan berobat dalam stadium dini sehingga angka
harapan hidupnya semakin bagus.
Tumor merupakan pertumbuhan massa abnormal pada jaringan yang berlebihan dan tidak
terkoordinasi. Berdasarkan penilaian klinisnya, tumor dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok
besar, yaitu tumor jinak dan ganas. Tumor dapat dinilai jinak apabila tampilan mikroskopis dan
makroskopis menunjukkan bahwa tumor tersebut terlokalisasi dan tidak menyebar ke jaringan lain.
Sedangkan tumor dapat dinilai ganas apabila tumor tersebut menyerang serta menghancurkan struktur
jaringan, kemudian menyebar ke jaringan lain, atau biasa disebut dengan karsinoma. Karsinoma
terjadi karena adanya mutasi pada sel dalam tubuh yang berproses tahunan, satu sel yang tidak
dikenali oleh sel imunologi tubuh akan terus berkembang.1
Karsinoma kepala dan leher adalah berbagai tumor ganas yang berasal dari saluran aerodigestive atas,
meliputi rongga mulut, nasofaring, orofaring, hipofaring dan laring, sinus paranasal, dan kelenjar liur.
Karsinoma pada lokasi berbeda memiliki jenis histopatologi berbeda dan karsinoma sel skuamosa
paling sering ditemukan (> 90%).2
Sayangnya di Indonesia berbagai keterbatasan menyebabkan penanganan karsinoma kepala-leher
yang optimal tidak tercapai. Tidak meratanya akses informasi bagi semua kalangan masyarakat
mengenai tanda dan gejala dini karsinoma menyebabkan pasien-pasien seringkali mendapatkan
informasi yang salah. Sehingga terlambat untuk mendapatkan pengobatan yang tepat. Tingkat
pengenalan masyarakat mengenai gaya hidup sehat juga masih harus diupayakan.
Karsinoma kepala leher merupakan jenis karsinoma terbanyak ketiga di Indonesia setelah karsinoma
payudara dan karsinoma serviks berdasarkan data registrasi karsinoma berbasis hepatologi 2011.
Jumlah orang dengan karsinoma kepala leher ada banyak namun biasanya diketahui ketika sudah di
stadium lanjut hingga tingkat kematian tinggi. Sehingga pengobatan yang dilakukan makin kompleks
dan biaya dikeluarkan pun makin banyak.
Jika karsinoma kepala leher ditemukan dalam stadium dini angka keberhasilan terapi bisa mencapai
80 persen.
Insidensi umum karsinoma kepala leher menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun
2012 adalah sekitar 10% per 100.000 penduduk per tahun dengan angka kematian sebanyak 7% per
100.000 penduduk per tahun.2
WHO memperkirakan angka kematian karsinoma rongga mulut dan orofaring di seluruh dunia pada
tahun 2008 sekitar 371.000 dan akan meningkat menjadi 595.000 pada tahun 2030.2
Selama 30 tahun terakhir, tingkat kelangsungan hidup penderita karsinoma sel skuamosa kepala dan
leher relatif tetap. Tingkat kelangsungan hidup 5 tahun untuk semua stadium, berdasarkan
Surveillance Epidemiologi dan Data Hasil Akhir sekitar 60%. Dua pertiga pasien mengalami
penyakit lokal lanjut, dengan tingkat ketahanan hidup 5 tahun <50%, dengan kualitas perawatan yang
62
buruk.2
Insidensi karsinoma kepala leher di Indonesia pada tahun 2012 adalah 15% per 100.000 ribu
penduduk per tahun (pada pria) dengan angka kematian sebanyak 13% per 100.000 ribu penduduk per
tahun (pada pria).2
Prevalensi karsinoma kepala leher di RSHS pada tahun 2008-2012 secara berurutan adalah karsinoma
nasofaring (KNF) sebanyak 38,2%, sinonasal 17,3%, laring 13%, limfoma 9,3%, orofaring 6,3%,
tiroid 6,2%, rongga mulut 3,9%, hipofaring 2,2%, kelenjar liur 2,2%, dan leher 1%. Kebanyakan
penderita datang dengan stadium lanjut yaitu stadium IV sebanyak 54,7%, stadium III 24,4%, stadium
II 13,5%, dan stadium I 7,4%. Sangat disayangkan yang banyak terjadi adalah pasien yang berobat
sudah dalam stadium yang lanjut.1
Saat ini usia muda sudah banyak yang terkena karsinoma yang disebabkan oleh gaya hidup yang tidak
sehat seperti merokok, minuman beralkohol, seringnya mengkonsumsi ikan asin atau makanan yang
diasapkan, polusi udara atau paparan radiasi, dan infeksi Virus Epstein Barr (VEB), Human Papilloma
Virus (HPV), serta faktor genetika. Mereka yang mempunyai riwayat karsinoma di keluarga harus
mempunyai kewaspadaan lebih tinggi dan lebih waspada terhadap gejala dini karsinoma. Pengobatan
pada karsinoma kepala leher adalah pembedahan, kemoterapi, dan radioterapi atau kombinasi.
Pada karsinoma stadium dini, angka keberhasilan pengobatan lebih tinggi dan kualitas hidup lebih
baik.
Untuk mencegah terjadi karsinoma adalah dengan menerapkan pola hidup sehat dengan cara
CERDIK. C = Cek kesehatan secara rutin, E = Enyahkan asap rokok, R = Rajin aktifitas fisik, D =
Diet seimbang, I = Istirahat cukup, dan K = kelola stress. Sosialisasi dan edukasi kepada pasien dan
keluarga harus dilakukan sebagai bentuk kepedulian terhadap kanker.
Pencegahan bisa dilakukan dengan primer dan sekunder. Pencegahan primer yakni dengan
menghindari rokok dan alkohol, rajin aktivitas fisik, diet seimbang, istirahat cukup, kelola stres.
Berbagai masalah dalam mengobati kanker kepala leher adalah:
1. Gejala awal yang sulit dikenali
2. Menyerupai infeksi saluran nafas atas
3. Pengobatan yang tertunda baik dari dokter maupun pasien
4. Jarak pengobatan yang jauh dari rumah
5. Pengobatan alternatif
6. Jarang datang untuk control
7. Asuransi

1. Genetik
2. Virus Epstein Barr (VEB) / Papiloma Virus (HPV)

63
3. Gaya hidup: rokok dan alkohol, makanan, RAS, herbal
4. Kebersihan mulut

1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik
3. Biopsi
4. Pemeriksaan penunjang
a. Endoskopi
b. Imaging
Terapi utama untuk karsinoma kepala leher adalah dengan melakukan pembedahan, radioterapi,
kemoterapi ataupun kombinasi.

Gambar 1. Anatomi Kepala Leher

Karsinoma nasofaring
Karsinoma nasofaring tersembunyi dan sulit terlihat karena muncul di belakang hidung atau atas
mulut, hingga timbul gejala barulah diketahui ada karsinoma bersarang. Meski demikian, gejala awal
yang bisa dikenali adalah ada rasa penuh di telinga karena tumor menutup muara tuba. Telinga juga
akan terasa sakit dan berdenging. Kemudian hidung terasa tersumbat, keluar lendir yang bercampur
dengan darah. Bukan mimisan tapi ketika lendir keluar ada garis-garis merah.3
Hidung juga akan mengalami gangguan penciuman. Kemudian karsinoma yang sudah lanjut akan
mengenai otak sehingga akan menimbulkan sakit kepala hebat dan sulit menelan. Jika mengenai saraf
penglihatan, bisa menyebabkan mata juling atau kelopak mata tertutup.3

64
Gambar 2. Karsinoma Nasofaring

Terdapat jenis lain dari tumor nasofaring yaitu angiofibroma nasofaring belia yang merupakan tumor
jinak tetapi mempunyai sifat seperti tumor ganas. Tumor ini banyak menyerang remaja laki-laki dan
mempunyai gejala epistaksis yang progresif, hidung tersumbat. Pada pemeriksaan fisik akan terlihat
massa yang kebiruan dan mudah berdarah.4

Gambar 3. Angiofibroma Nasofaring Belia

Karsinoma sinonasal
Gejala dini karsinoma ini adalah hidung tersumbat pada satu sisi. Keluar mimisan atau darah dari
rongga hidung. Karena tumor menyumbat, maka ingus akan berbau dan membuat pipi bengkak.
Kemudian, sakit kepala juga akan timbul jika massa tumor menekan ke atas. Jika menekan ke bawah,
akan membuat gigi goyah dan langit-langit mulut banyak tumor.5

65
Gambar 4. Karsinoma Sinonasal

Karsinoma pita suara atau laring


Gejala karsinoma laring adalah pasien mengalami suara serak yang tak kunjung reda hingga lebih dari
dua minggu. Meski sudah diberi obat serak tapi tidak juga hilang.
Harus dibedakan pula serak karena vocal abuse, yang biasanya dialami orang dengan pekerjaan yang
banyak menggunakan suara seperti penyanyi atau pengajar. Jika tumor sudah memenuhi hampir
seluruh rongga pita suara, bisa menyebabkan sesak napas.5

Gambar 5. Karsinoma Laring

Karsinoma rongga mulut atau lidah


Gejalanya sakit karena adanya benjolan. Biasanya akan dilihat apakah ada gigi yang menimbulkan
gesekan sehingga menimbulkan luka. Selain itu, terlihat juga sariawan yang tidak sembuh selama
lebih dari dua minggu.5
Ada rasa nyeri yang menjalar hingga ke telinga karena saraf dari rongga mulut paling sering adalah ke
telinga. Terdapat pula luka gaung yang sering berdarah meski tidak banyak, tidak mau makan, dan
berat badan turun.5

66
Gambar 6. Karsinoma Rongga Mulut

Karsinoma orofaring
Sering muncul pada amandel atau tonsil, dan gejala yang paling sering dikeluhkan adalah rasa
mengganjal di mulut, lesi atau luka, sakit di bawah lidah, dan menyebabkan berbicara bergumam.
Selain itu, terasa juga nyeri.5

Gambar 7. Karsinoma Orofaring

Karsinoma tiroid
Seringkali muncul benjolan di leher depan atau samping kanan atau kiri. Untuk mengenali benjolan
itu tiroid atau bukan, coba perhatikan benjolan ketika menelan. Jika benjolan ikut bergerak, artinya itu
tiroid. Biasanya benjolan ini tidak terlihat, kecuali jika sudah membesar. Ada rasa menekan dan
mengganjal sehingga membuat sesak dan jika muncul di bagian belakang, akan membuat susah proses
menelan.6

Gambar 8. Karsinoma Tiroid

Karsinoma parotis atau kelanjar air liur


Benjolan biasanya akan muncul di belakang telinga. Nyeri bisa muncul tergantung dari perluasan
penekanan pada jaringan sekitar. Semakin besar, maka semakin terasa nyeri. Tumor juga timbul di

67
dekat saraf wajah, yang jika membesar bisa menekan saraf wajah sehingga membuat mencong dan
mata tidak bisa menutup.5

Gambar 9. Karsinoma Parotis

Karsinoma telinga
Dari luar seringkali tidak terlihat, namun di dalam liang telinga mungkin saja sudah ada massa tumor.
Gejala awalnya adalah pendengaran yang mulai menurun, ada cairan berbau darah, benjolan di dalam
telinga, karena letaknya dekat dengan dasar otak, maka bisa menimbulkan sakit kepala hebat.5

Gambar 10. Karsinoma Telinga

Kesimpulan
1. Gejala dini penting untuk diketahui
2. Stadium dini mempunyai prognosis yang lebih baik
3. Diperlukan diagnosis sedini mungkin
4. Penundaan terapi menyebabkan hasil yang tidak maksimal

Saran
Hidup sehat: kendali stress, olahraga teratur, hindari makanan yang tidak sehat dan berpengawet
Diperlukan peningkatan pengetahuan dan keterampilan mengenai karsinoma kepala leher untuk
dokter umum dan tenaga kesehat

68
DAFTAR PUSTAKA

1. Rakhmawulan IA, Dewi YA, Nasution N. Profile of Head and Neck Cancer Patients at
Departement ORL-HNS Hasan Sadikin General Hospital Bandung. AMJ. 2015;2(4):474-9.
2. Adham M, Kurniawan AN, Muhtadi AI, Roezin A, Hermani B, Gondhowiardjo S, et al.
Nasopharyngeal carcinoma in Indonesia: epidemiology, incidence, signs, and symptoms at
presentation. Chinese journal of cancer. 2012;31(4):185-96.
3. Thompson LD. Update on nasopharyngeal carcinoma. Head and neck pathology. 2007;1(1):81-6.
4. Siba PD, Bernhard S. Juvenile Angiofibroma. Switzerland. Springer. 2017. p:43-52.
5. Shah J. Head and Neck Surgery and Oncology. 4th Edition. Philadelphia. Elsevier. 2012.
6. David JT, William SD. Thyroid and Parathyroid Disease. 2nd Edition. New York. Thieme. 2016.
p:77-86.

69
KEGAWATDARURATAN DI BIDANG THT-KL
Ichsan Juliansyah Juanda, dr., Sp.T.H.T.K.L

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Angka kunjungan pasien ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) mengalami peningkatan.1 Salah satu
penyebab peningkatan kunjungan tersebut adalah kegawatdaruratan di bidang telinga, hidung,
tenggorok, bedah kepala, dan leher (THT-KL). Beberapa kasus di kegawatdaruratan THT-KL dapat
menimbulkan kematian sehingga membutuhkan intervensi yang cepat.2
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa wanita lebih sering masuk ke IGD seperti penelitian
yang dilakukan oleh Agency for Healthcare Research and Quality (AQHRC), United States pada
tahun 2011 dan penelitian di Brazil tahun 2012. Penelitian yang dilakukan di Yunani pada tahun
2001-2006 menunjukkan bahwa dari 33.792 pasien yang datang ke IGD, insiden tertinggi terjadi pada
pria dengan angka kejadian 52,6%.1,3,4
Data menunjukkan usia yang datang ke IGD bermacam-macam. Penelitian oleh AQHRC 2011
menunjukkan bahwa usia yang sering mengunjungi IGD adalah kurang dari 1 tahun dan lebih dari 85
tahun (816 dan 935 kasus dari 1000 populasi). Penelitian di Brazil menunjukkan rentang usia yang
sering datang ke IGD adalah 20-40 tahun. Penelitian oleh National Ambulatory Care Reporting
System (NACRS) tentang kunjungan pasien ke IGD tahun 2014-2015 di Kanada menggambarkan
kunjungan ke IGD meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Persentase pasien yang mengunjungi
IGD bawah 18 tahun sebesar 7 persen dan pasien yang mengunjungi IGD di atas 85 tahun sebesar 15
persen.1,3,5
Diagnosis yang sering ditegakkan berbeda-beda di setiap penelitian. Penelitian yang telah dilakukan di
Korle Bu Teaching Hospital, Ghana didapatkan diagnosis yang sering ditegakkan di IGD THT-KL
adalah benda asing esofagus (41.3%). Infeksi telinga merupakan salah satu diagnosis yang sering
ditegakkan pada penelitian di United States (2011) dan Kanada tahun 2014-2015 (0-4 tahun).
Penelitian di Brazil tahun 2012 menunjukkan bahwa infeksi saluran pernapasan atas (24.55%)
merupakan penyebab tersering pasien datang ke IGD THT-KL. Penelitan di Yunani pada tahun 2001-
2006 menggambarkan bahwa usia pasien yang kurang dari 14 tahun didominasi oleh penyakit
faringitis akut, laringitis, otitis media, dan

70
otitis eksterna, sedangkan usia yang lebih dari 30 tahun didominasi oleh penyakit stomatitis, rhinitis,
dan sinusitis. Data dari Mount Elizabeth Medical Centre Singapura, menggambarkan bahwa
kegawatdaruratan THT-KL dibagi menjadi kegawatdaruratan telinga, hidung, dan kegawatdaruratan

tenggorok. 1,3,4,5,6,7
Mulai tanggal 1 Januari 2014, Indonesia sudah memasuki era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).8 Penyakit gawat darurat
yang mendapat pelayanan kesehatan di rumah sakit sesuai dengan sistem pelayanan kesehatan
Indonesia saat ini dimuat dalam surat edaran Direktur Pelayanan Nomor 038 Tahun 2014 tentang
petunjuk teknis surat edaran Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor HK/Menkes/32/I/2014
tahun 2014.9 Daftar penyakit gawat darurat di bidang THT- KL yang termasuk di dalamnya adalah
abses di bidang THT-KL, benda asing laring/trakea/bronkus, dan benda asing tenggorok, benda asing
telinga dan hidung, disfagia, obstruksi jalan napas atas grade II/III kriteria Jackson, obstruksi jalan
nafas atas grade IV kriteria Jackson, otalgia akut (apapun penyebabnya), paresis fasialis akut,
perdarahan di bidang THT-KL, syok karena kelainan di bidang THT- KL, trauma (akut) di bidang
THT-KL, tuli mendadak, dan vertigo (berat).10
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa gangguan di bidang THT-KL dapat menjadi
salah satu kondisi yang meningkatkan kunjungan pasien ke Instalasi Gawat Darurat. Kondisi tersebut
dapat menyebabkan kematian sehingga perlu adanya perhatian khusus terhadap kegawatdaruratan di
bidang THT-KL.

71
BAB II
KEGAWATDARURATAN DI BIDANG THT-KL

Kegawatdaruratan di bidang THT-KL yang tersering ditemukan di layanan kesehatan adalah


epistaksis, abses leher dalam, obstruksi saluran napas atas, benda asing saluran napas, trauma laring

2.1 Epistaksis
Epistaksis adalah perdarahan dari hidung yang dapat terjadi akibat sebab lokal atau sebab kelainan
sistemik. Epistaksis seringkali merupakan gejala atau manifestasi penyakitlain.
Kebanyakan ringan dan sering berhenti sendiri tanpa perlu bantuan medis, tetapiepistaksis yang
berat dan sulit ditangani merupakan suatu kedaruratan yang harus segeraditanggulangi

2.1.1 Etiologi
Penyebab lokal:
a) Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung, benturan ringan, bersin
atau mengeluarkan ingus terlalu keras atau sebagai akibattrauma yang lebih hebat seperti kena
pukulan, jatuh, atau kecelakaan lalu lintas. Selain itu juga bisa terjadi akibat adanya benda asing tajam
atau trauma pembedahan.

b) Infeksi
Infeksi hidung dan sinus paranasal, seperti rhinitis, sinusitis serta granuloma spesifik seperti lepra
dan sifilis.

c) Tumor
Epistaksis dapat timbul pada hemangioma dan karsinoma. Yang lebih sering terjadi pada
angiofibroma, dapat menyebabkan epistaksis berat.

d) Faktor Lingkungan
Pengaruh lingkungan, misalnya perubahan tekanan atmosfir mendadak seperti pada penerbang dan
penyelam atau lingkungan udara yang sangat dingin.
e) Benda asing
Benda asing dan rinolit dapat menyebabkan epistaksis ringan disertai ingus berbau busuk.

f) Idiopatik
Idiopatik, biasanya merupakan epistaksis yang ringan dan berulang pada anak danremaja.Penyebab

72
sistemik:

g) Penyakit kardiovaskular
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti yang terjadi pada arteriosklerosis,nefritis kronik,
sirosis hepatik atau diabetes mellitus dapat menyebabkane pistaksis. Epistaksis yang terjadi pada
penyakit hipertensi seringkali hebat dandapat berakibat fatal.

h) Kelainan darah
Penyebab epistaksis antara lain leukemia, trombositopenia, bermacam- macamanemia serta hemofilia.

i) Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah teleangiektasis hemoragik herediter
(penyakit Osler).

2.1.2 Sumber Perdarahan

Melihat asal perdarahannya, epistaksis dibagi menjadi epistaksis anterior dan epistaksis posterior.

a) Epistaksis anterior
Pada epistaksis anterior, perdarahan berasal dari pleksus kiesselbach (yang paling banyak terjadi
dan sering ditemukan pada anak-anak), atau dari arteri etmoidalis anterior. Biasanya perdarahan tidak
begitu hebat dan bila pasien duduk darah akankeluar melalui lubang hidung. Sering kali dapat
berhenti spontan dan mudah diatasi

73
Gambar 2.1 Perdarahan Hidung

b) Epistaksis posterior
Pada epistaksis posterior, perdarahan berasal dari arteri sfenopalatina dan arterietmoidalis
posterior. Epistaksis posterior sering terjadi panda pasien usia lanjut yang menderita hipertensi,
arteriosclerosis atau penyakit kardiovaskular. Perdarahan biasanya hebat dan jarang dapat berhenti
spontan.

2.1.3 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaannya ialah memperbaiki keadaan umum, mencari sumber perdarahan,
menghentikan perdarahan, mencari faktor penyebab untuk mencegah berulangnya perdarahan.
Anamnesis yang lengkap sangat membantu dalam menentukansebab perdarahan.Pasien dengan
epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, biarkan darah mengalir keluar dari hidung sehingga bisa
dimonitor. Kalau keadaannya lemah sebaiknya setengah duduk atau berbaring dengan kepala
ditinggikan, dan perlu juga diperhatikan jangansampai darah mengalir ke saluran napas bawah. Untuk
pasien anak, pasien duduk dipangku, badan dan tangan dipeluk, kepala dipegangi agar tegak dan tidak
bergerak- gerak. Setelah itu mencari sumber perdarahan, membersihkan hidung dari darah dan bekuan
darah dengan bantuan alat pengisap. Kemudian memasang tampon sementarayaitu kapas yang sudah
dibasahi adrenalin 1/5000-1/10.000 dan pantocain atau lidocain 2% dimasukkan kedalam rongga
hidung untuk menghentikan perdarahan dan mengurangirasa nyeri panda saat dilakukan tindakan
selanjutnya. Tampon tersebut dibiarkan selama10-15 menit, setelah terjadi vasokontriksi dapat dilihat
apakah perdarahan berasal dari bagian anterior atau posterior hidung.

74
a) Menghentikan perdarahan anterior
Perdarahan anterior seringkali berasal dari pleksus kisselbach di septum bagiandepan. Apabila
tidak berhenti dengan sendirinya, perdarahan anterior terutama pada anak dapat dicoba hentikan
dengan menekan hidung dari luar selama 10-15 menit. Kemudian area tersebut diberi krim antibiotik.
Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung, maka diperlukan pemasa ngan tampon
anterior yang dibuat dari kapas atau kasa yang diberi pelumas vaselin atau salep antibiotik. Tujuan
pemberian pelumas agar tampon mudah dimasukkandan tidak menimbulkan perdarahan baru saat
dimasukkan atau dicabut. Tampon dimasukkan sebanyak 2-4 buah, disusun dengan teratur dan harus
dapat menekan
asal perdarahan. Tampon dipertahankan selama 2 x 24 jam, harus dikeluarkan untuk menceg ah
infeksi hidung. Selama 2 hari ini dilakukan pemeriksaan penunjang untuk mencari faktor penyebab
epistaksis, serta dipasang tampon baru apabila perdarahan masih belum berhenti. Evaluasi sumber
perdarahan dapat dilakukan dengan nasoendoskopi, jika sumber perdarahan dapat teridentifikasi maka
dapat dilakukan kauterisasi.

Gambar 2.2 Pemasangan Tampon Anterior

b) Menghentikan perdarahan posterior


Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi daripada perdarahan anterior karena biasanya
perdarahannya hebat dan sulit dicari sumbernya dengan pemeriksaanrinoskopi anterior.Untuk
mengatasi perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon posterior yang disebut tampon
Bellocq. Tampon ini dibuat dari kasa padat dibentuk kubus atau bulat dengan diameter 3 cm. Pada
tampon ini terikat 3 utas benang, 2 buah disatu sisi dansebuah disisi yang berlawanan.Pada perdarahan
satu sisi, untuk memasang tampon posterior digunakan bantuankateter karet yang dimasukkan dari
lubang hidung sampai tampak di orofaring, lalu ditarik keluar dari mulut.Pada ujung kateter ini
diikatkan 2 benang tampon Bellocq tadi, kemudian kateter ditarik kembali melalui hidung sampai
benang keluar dan dapat ditarik.Tampon perlu didorong dengan bantuan jari telunjuk untuk dapat
melewati palatum molemasuk ke nasofaring. Bila masih ada perdarahan, maka dapat ditambah

75
tampon anterior kedalam kavum nasi. Kedua benang yang keluar dari hidung diikat pada sebuah
gulungan kain kasa di depan nares anterior, supaya tampon yang terletak di nasofaring tetap
ditempatnya. Benang lain yang keluar dari mulut diikatkan secara longgar pada pipi pasien, hal ini
bermanfaat untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari. Bila perdarahan berat dari
kedua sisi, misalnya pada kasus angiofibroma,digunakan bantuan dua kateter masing-masing melalui
kavum nasi kanan dan kiri, dantampon posterior terpasang ditengah-tengah nasofaring. Sebagai
pengganti tampon Bellocq, dapat digunakan kateter Folley dengan balon. Metode ini menggunakan
kateter yang dipasang didasar hidung sampai nasofaring. Balon kateter kemudian diisi dan kateter
ditarik ke anterior sehingga balon menutupikoana. Keuntungan dari metode ini adalah mudah untuk
dimasukkan, sedikit traumatik bagi pasien dan aliran udara hidung masih ada sebagian.

Gambar 2.3 Pemasangan Tampon Posterior

2.1.4 Komplikasi dan pencegahan


Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksisnya sendiri atau sebagaiakibat dari usaha
penanggulangan epistaksis.Pada perdarahan yang hebat dapat menyebabkan terjadinya aspirasi
darahkedala m saluran napas bawah, juga dapat menyebabkan syok, anemia dan gagal ginjal.
Turunnya tekanan darah secara mendadak dapat menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebri,
insufisiensi koroner sampai infark miokard sehingga dapat menyebabkan kematian. Dalam hal ini
pemberian infus atau transfusi darah harus dilakukan secepatnya. Akibat pembuluh darah yang
terbuka dapat menyebabkan terjadinya infeksi,seh ingga perlu diberikan antibiotik. Pemasangan
tampon dapat menyebabkan rinosinusitis, otitis media, septikemia,atau toxic shock syndrome. Oleh
karena itu, harus selalu diberikan antibiotik pada setiap pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3
hari tampon harus dicabut. Bila perdarahanmasih berlanjut dipasang tampon baru.Pemasangan tampon
posterior (tampon Bellocq) dapat menyebabkan laserasi palatum mole atau sudut bibir, jika benang
yang keluar dari mulut terlalu ketat dilekatkan pada pipi. Kateter balon atau tampon balon tidak boleh
dipompa terlalu keras karenadapat menyebabkan nekrosis mukosa hidung atau septum.

76
2.2 Abses Leher Dalam
Nyeri tenggorok dan demam disertai dengan terbatasnya gerakan membuka mulutdan leher harus
dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam. Abses leher dalam terbentuk di dalam
ruang potensial diantara fasia leher dalam sebagai akibat p enjalaran infeksi dari berbagai sumber
seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal,telinga tengah dan leher. Gejala dan tanda klinik
biasanya berupa nyeri dan pembe ngkakan di leher dalam yang terlibat. Kebanyakan kuman penyebab
adalah golongan Streptococcus, Staphylococcus, kuman anaerob Bacteroides atau kuman campuran.
Abses leher dalam dapat berupa abses peritonsil, abses retrofaring, abses parafaring, abses
submandibula dan angina ludovici.

2.2.1 Abses Peritonsil


a) Etiologi
Proses ini terjadi sebagai komplikasi tonsilis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mukus
Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebabsama dengan penyebab tonsillitis.

b) Patologi
Daerah superior dan lateral fossa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar,oleh karena itu
infiltrasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerahtersebut, sehingga tampak palatum
mole membengkak. Pada stadium permulaan (stadium infiltrate), selain pembengkakan tampak per
mukaannya hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerahtersebut lebih lunak.
Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula kearah kontralateral. Bila proses
berlangsung terus, peradangan jaringan di sekitarnya akanmenyeb abkan iritasi pada m.pterigoid
interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, mungkin dapat terjadi aspirasi ke paru.

c) Gejala dan Tanda


 Odinofagia hebat

 Otalgia

 Muntah (regurgitasi)

 Mulut berbau (foeter ex ore)

 Hipersalivasi

 Suara sengau (rinolalia)

 Sukar membuka mulut (trismus)

 Pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan


d) Pemeriksaan fisik

77
 Palatum mole membengkak dan menonjol ke depan

 Uvula membengkak dan terdorong ke kontra lateral

 Tonsil bengkak dan hiperemis

Gambar 2.4 Abses Peritonsiler

e) Terapi
Stadium infiltrasi dapat diberikan antibiotika dosis tinggi, obat simtomatik,kumur2 dengan cairan
hangat, & kompres dingin pada leher.
 Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi di daerah abses, kemudian diinsisiuntuk
mengeluarkan nanah. Tempat insisi adalah tempat yang paling menonjoldan lunak, atau pada
pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir pada sisi
yang sakit.

 Tonsilektomi, pada umumnya dilakukan sesudah infeksi tenang, 2-3 minggusetelah drainase
abses.


f) Komplikasi
 Abses pecah spontan, dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru atau piremia

 Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring. Pada
penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum, sehingga terjadimediastinitis.

 Bila terjadi penjalaran ke daerah intracranial, dapat mengakibatkan thrombus
sinuskavernosus, meningitis, dan abses otak.

2.2.2 Abses Retrofaring

78
a) Etiologi
Secara umum abses retrofaring terbagi 2 jenis yaitu :
• Akut
Sering terjadi pada anak- anak berumur dibawah 4 – 5 tahun. Keadaan ini terjadiakibat infeksi
pada saluran nafas atas seperti pada adenoid, nasofaring, rongga hidung,sinus paranasal dan tonsil
yang meluas ke kelenjar limfe retrofaring ( limfadenitis )sehingga menyebabkan supurasi pada daerah
tersebut. Sedangkan pada orang dewasa terjadi akibat infeksi langsungoleh karena trauma akibat
penggunaan instrumen (intubasi endotrakea, endoskopi,sewaktu adenoidektomi ) atau benda asing.
• Kronis.
Biasanya terjadi pada orang dewasa atau anak-anak yang lebih tua. Keadaan initerjadi akibat
infeksi tuberkulosis ( TBC ) pada vertebra servikalis dimana pus secaralangsung menyebar melalui
ligamentum longitudinal anterior. Selain itu abses dapat terjadi akibat infeksi TBC pada kelenjar limfe
retrofaring yang menyebar dari kelenjar limfe servikal. Pada banyak kasus sering dijumpai adanya
kuman aerob dan anaerob secara bersam aan.

Beberapa organisme yang dapat menyebabkan abses retrofaring adalah


• Kuman aerob :
Streptococcus beta –hemolyticus group A
(paling sering), Streptococcus pneumoniae, Streptococcus non – hemolyticus, Staphylococcusaureus,
Haemophilus sp

• Kuman anaerob :
Bacteroides sp, Veillonella, Peptostreptococcus, Fusobacteria

b) Gejala dan tanda klinis


Dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas atas. Gejala dantanda klinis yang
sering dijumpai pada anak :
 Demam

 sukar dan nyeri menelan

 suara sengau

 dinding posterior faring membengkak ( bulging ) dan hiperemis pada satu sisi.

 pada palpasi teraba massa yang lunak, berfluktuasi dan nyeri tekan

 pembesaran kelenjar limfe leher ( biasanya unilateral ).
Pada keadaan lanjut keadaan umum anak menjadi lebih buruk, dan bisa dijumpai adanya :
 kekakuan otot leher (neck stiffness) disertai nyeri pada pergerakan

 air liur menetes (drooling)

79
 obstruksi saluran nafas seperti mengorok, stridor, dispnea

Gejala yang timbul pada orang dewasa pada umumnya tidak begitu berat bila dibandingkan pada
anak. Dari anamnesis biasanya didahului riwayat tertusuk benda asing pada dinding posterior faring,
pasca tindakan endoskopi atau adanya riwayat batuk kronis. Gejala yang dapat dijumpai adalah :
 demam

 sukar dan nyeri menelan

 rasa sakit di leher (neck pain)

 keterbatasan gerak leher

 dispnea
Pada bentuk kronis, perjalanan penyakit lambat dan tidak begitu khas sampai terjadi
pembengkakan yang besar dan menyumbat hidung serta saluran nafas.

c) Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat infeksi saluran napas atas atautrauma, gejala
dan tanda klinik serta pemeriksaan penunjang foto rontgen jaringanlunak leher lateral. Pada foto
rontgen akan tampak pelebaran ruang retrofaring lebihdari 7 mm pada anak dan dewasa serta
pelebaran retrotrakeal lebih dari 14 mm padaanak dan lebih dari 22 mm pada dewasa. Selain itu juga
dapat terlihat berkurangnya lordosis vertebral servikal.

d) Diagnosis Banding
 Adenoiditis

 Tumor

 Anuerisma aorta

 

e) Penatalaksanaan
1. Mempertahankan jalan nafas yang adekuat :- posisi pasien supine dengan leher ekstensi-
pemberian O2- intubasi endotrakea dengan visualisasi langsung / intubasi fiber optik-
trakeostomi / krikotirotomi
2. Medikamentosa
• Antibiotik ( parenteral)
Pemberian antibiotik secara parenteral sebaiknya diberikan secepatnya tanpamenunggu
ha sil kultur pus. Antibiotik yang diberikan harus mencakup terhadap kuman aerob dan
anaerob, gram positip dan gram negatif. Dahulu diberikan kombinasi Penisilin G dan
Metronidazole sebagai terapi utama, tetapi sejak dijumpainya peningkatan kuman yang
menghasilkan B – laktamase kombinasi obat ini sudah banyak ditinggalkan. Pilihan utama

80
adalah clindamycin yang dapat diberikan tersendiri atau dikombinasikan dengan
sefalosporin generasi kedua (seperti cefuroxime) atau beta – lactamase – resistant
penicillin seperti ticarcillin / clavulanate, piperacillin / tazobactam, ampicillin /
sulbactam. Pemberian antibiotik biasanya dilakukan selama lebih kurang 10 hari.
• Simtomatis
• Bila terdapat dehidrasi, diberikan cairan untuk memperbaiki keseimbangancairan
elektrolit.
• Pada infeksi Tuberkulosis diberikan obat tuberkulostatika.
3. Operatif
• Aspirasi pus (needle aspiration)
• Insisi dan drainase :
- Pendekatan intra oral ( transoral ) : untuk abses yang kecil dan terlokalisir. Pasien
diletakkan pada “posisi Trendelenburg”, dimana leher dalam keadaan hiper-ekstensi dan
kepala lebih rendah dari bahu. Insisi vertikal dilakukan pada daerah yang paling
berfluktuasi dan selanjutnya pus yang keluar harus segera diisap dengan alat penghisap
untuk menghindari aspirasi pus. Lalu insisi diperlebar dengan forsep atau klem arteri
untuk memudahkan evakuasi pus.
- Pendekatan eksterna ( external approach ) baik secara anterior atau posterior : untuk
abses yang besar dan meluas ke arah hipofaring.
- Pendekatan anterior dilakukan dengan membuat insisi secara horizontal mengikutigaris
kulit setingkat krikoid atau pertengahan antara tulang hioid dan klavikula. Kulit dan
subkutis dielevasi untuk memperluas pandangan sampai terlihat m.sternokleidomas
toideus. Dilakukan insisi pada batas anterior m.sternokleidomastoideus. Dengan
menggunaka n klem erteri bengkok, m.sternokleidomastoideus dan selubung karotis
disisihkan ke arah lateral. Setelah absesterpapar dengan cunam tumpul abses dibuka dan
pus dikeluarkan. Bila diperlukaninsisi dapat diperluas dan selanjutnya dipasang drain
(Penrose drain).
- Pendekatan posterior dibuat dengan melakukan insisi pada batas posterior m.sternokleido
mastoideus. Kepala diputar ke arah yang berlawanan dari abses. Selanjutnya fasia
dibelakang m. sternokleidomastoideus diatas abses dipisahkan. Dengan diseksi tumpul pus
dikeluarkan dari belakang selubung karotis.

f) Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah :
- Penjalaran ke ruang parfaring, ruang vaskular visera

- Penjalaran ke mediastinum mediastinitis-Obstruksi jalan napas-asfiksia

81

- Abses pecah spontan pneumonia aspirasi dan abses paru.

2.2.3 Abses Parafaring


Abses parafaring adalah penumpukan nanah atau pus pada ruang parafaring dengan insidesi pada
semua umur, tinggi pada dewasa muda dan remaja serta biasanya unilateral
a) Etiologi :
 Tertanam langsung jarum operasi

 Melalui pembuluh darah

 Saluran limfatik/ supurasi dari kelenjar servikal dalam, gigi, tonsil, faring, hidung,sinus
paranasal, mastoid, vertebra servikal.

 Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring atau submandibula.


b) Patologi :
Dimulai dari daerah prastiloid sebagai selulitis, jika tidak diobati berkembangmenjadi suatu abses
dan akhirnya menjadi suatu trombosis dari vena jugularis interna.Abses dapat mengikuti m.
stiloglossus ke dasar mulut dimana terbentuk abses.Infeksi dapat menyebar ke anterior ke bagian
posterior, dengan perluasan ke bawah sepanjang sarung pembuluh- pembuluh darah besar, disertai
oleh trombosis v. jugularis/mediastinitis. Infeksi bagian posterior : meluas ke atas sepanjang
pembuluh- pembuluh darah dan mengakibatkan infeksi intrakranial erosi a. karotis interna.

c) Gejala dan Tanda


Gejala dan tanda yang utama ialah trismus, indurasi atau pembengkakan
sekitar angulus mandibula, demam tinggi, dan pembengkakan dinding lateral faring,sehingga
menonjol ke arah medial.

d) Pentalaksanaan
 Antibiotik dosis tinggi parenteral kuman aerob dan anaerob

 Evakuasi abses jika dalam 24-48 jam tidak ada perbaikan dengan pemberian antibiotik. Insisi
abses terdiri dari :

o Insisi dari luar

Dilakukan 2 ½ jari di bawah dan sejajar mandibula. Secara tumpul eksplorasi di
lanjutkan dari batas anterior m. Sternokleidomastoideus ke arah atas belakang menyusuri
bagian medial mandibula dan m. Pterigoid interna mencapai ruang parafaring deng an
terabanya prosesus stiloid. Bila pus terdapat di dalam selubung karotis, insisi dilanjutkan
vertikal dari pertengahan insisi horizontal ke bawah dengan m. Sternokleidomastoideus.
o Insisi intraoral

82
Dilakukan pada dinding lateral faring. Dengan memakai klem arteri eksplorasi
dilakukan dengan menembus m. Konstriktor faring superior ke dalam ruang parafaring
anterior. Insisi intraoral dilakukan bila perlu dan sebagai terapitambahan insisi eksternal.
e) Komplikasi
 Penjalaran ke intrakranial

 Penjalaran ke mediastinum

 Kerusakan dinding pembuluh darah

 Nekrosis

 Flebitis, tromboflebitis dan septikemia.

2.2.4 Abses Submandibula
Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila. Ruang sublingual dan
submandibula terpisahkan oleh otot milohioid. Ruang submaksila selanjutnya dibagi lagi atas ruang
submental dan submaksila(lateral) oleh otot digastrikus
anterior. Abses dapat terbentuk di ruang submandibula atau salah satu komponennya sebagai
kelanjutan infeksi dari daerah kepala leher.

a) Etiologi
Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur, kelenjar limfe submandibula.
Kuman penyebab biasanya campuran kuman aerob dan anaerob.

b) Gejala dan tanda


 Nyeri leher

 Pembengkakan di bawah mandibula dan atau di bawah lidah

83
Gambar 2.5 Abses Submandibula

c) Terapi
 Antibiotika dosis tinggi yang diberikan secara parenteral

 Abses dangkal & terlokalisasi evakuasi abses

 Abses dalam & luas eksplorasi dalam narkosis

2.2.5 Angina Ludovici
Infeksi ruang submandibula berupa selulitis dengan pembengkakan seluruh ruang submandibula &
tidak membentuk abses.
a) Etiologi
Infeksi dari gigi atau dasar mulut.

b) Gejala dan tanda


 Nyeri tenggorok & lehe

 Pembengkakan di daerah submandibula

 Dasar mulut membengkak

 mendorong lidah ke atas belakang

 sumbatan jalan napas

 sesak napas


c) Diagnosis
Riwayat sakit gigi, mengorek atau cabut gigi, gejala & tanda klinik.

84
d) Terapi
 Antibiotika dosis tinggi

 Dekompresi dan evakuasi pus / jaringan nekrosis

 Pengobatan terhadap penyebab infeksi (gigi)


e) Komplikasi
 Sumbatan jalan napas

 Penjalaran abses ke ruang leher dalam lain & mediastinum

 Sepsis

2.3 Obstruksi Saluran Napas Atas


Obstruksi dapat bersifat sebagian, dapat juga sumbatan total. Obstruksi ringanmengakibat kan
sesak sedangkan obstruksi yang lebih berat namun masih ada sedikit celah menyebabkan sianosis
(berwarna biru pada kulit dan mukosa membran yangdise babkan kekurangan oksigen dalam darah),
gelisah bahkan penurunan kesadaran. Obstruksi total bila tidak ditolong dengan segera dapat
menyebabkan kematian. Obstruksi Saluran Nafas Atas (OSNA) menyebabkan terjadinya
Hipoventilasi Alveolar dan perubahan biokimia yaitu hipoksemia arteri, retensi CO [hiperkapnea],
dan asidosisrespiratori dan metabolik [karena PH yg Rendah]. Ketiga faktor ini akan menyebabkan
keadaan asfiksia. Keadaan Asphyxia menstimulasi Kemoreseptor pada Carotid & Aortic Bodies.
Keadaan Hipoksemia menstimuli: Chemoreceptor & Symphatetic nervous system. Perangsangan
Chemoreceptor & Symphathetic Nervous System ini menyebabkan peningkatan usaha respirasi,
takikardia, vasokontriksi perifer hipertensi, peningkatanresistensi Vascular Pulmonar, peningkatan
aktivitas adrenal, peningkatan aktivitas Cerebral Cortical. Obstruksi saluran napas atas yang akan
dibahas kali ini adalah obstruksi pada laring. Prinsip penanggulangan obstruksi laring ialah
menghilangkan penyebab sumbatan dengan cepat atau membuat jalan napas baru yang dapat
menjamin ventilasi.
Sumbatan pada laring atau saluran napas atas dapat disebabkan oleh : radang akut dan kronis, benda
asing, trauma akibat kecelakaan, trauma akibat tindakan medik, umor saluran napas atas (tumor jinak
maupun ganas), kelumpuhan nervus rekuren bilateral

a) Gejala dan tanda


 Serak (disfoni) sampai afoni

 Sesak napas (dispnea)

 Stridor (nafas berbunyi) yang terdengar pada waktu inspirasi.

 Retraksi (Cekungan yang terdapat pada waktu inspirasi) di suprasternal, epigastrium,

85
supraklavikula dan interkostal.
 Gelisah karena pasien haus udara (air hunger)

 Warna muka pucat dan terakhir menjadi sianosis karena hipoksia.


b) Derajat (Kriteria Jackson)
• Stadium I: Cekungan sedikit pada inspirasi didaerah suprasternal, kadang-kadang belum ada
stridor.
• Stadium II: Cekungan di suprasternal dan epigastrium dan stridor mulaiterdengar.
• Stadium III: Cekungan terdapat di suprasternal, epigastrium, intercostals, dansuprakalvikula.
Stridor jelas terdengar dan pasien tampak
• gelisah.
• Stadium IV: Cekungan bertambah dalam,sianosis,pasien yang mula-mulagelisah mulai
tampak lemah dan akhirnya diam dan kesadaran menurun.

c) Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan foto leher dengan posisi tegak untuk menilai jaringan lunak leher serta thorak
postero-anterior dan lateral.
 Endoskopi dilakukan atas indikasi diagnostic dan terapi.
 Pemeriksaan laboratorium darah berguna untuk mengetahui gangguan keseimbangan asam
basa dan tanda infeksi traktus trakeobronkial.

d) Penatalaksanaan
 Stadium I: Tindakan konservatif dengan pemberian antiinflamasi, anti alergi, anti biotik serta
pemberian oksigen intermiten jika disebabkan oleh peradangan.
 Stadium II: Intubasi endotrakea dan trakeostomi 
Stadium III: Intubasi endotrakea dan trakeostomi 
Stadium IV: Krikotiroidektomi 

• Intubasi Endotrakeal
Indikasi :
- Untuk mengatasi sumbatan saluran napas bagian atas
- Membantu ventilasi
- Memudahkan menghisap sekret dari traktus trakeobronkial-Mencegah aspirasi sekret yang
ada di rongga mulut yang berasal dari lambung
Teknik Intubasi :
- Posisi pasien tidur telentang, leher sedikit fleksi dan kepala ekstensi.

86
- Laringoskop dengan spatel bengkok di pegang dengan tangan kiri, dimasukkanmelalui
mulut sebelah kanan sehingga ligah terdorong ke kiri.-Spatel diarahkan menelusuri pangkal
lidah ke valekula, lalu laringoskop diangkatke atas sehingga terlihat pita suara.
- Dengan tangan kanan pipa endotrakeal dimasukkan melalui dua celah dantara pitasuara ke
dalam trakea.
- Balon diisi dengan udara lalu pipa endotrakeal difiksasi dengan benar.
- Harus berhati-hati dalam memasukkan pipa endotrakeal karena dapat menyebabkan trauma
pita suara, laserasi pita suara sehingga timbul granuloma dan stenosis laring atau trakea.

• Trakeostomi
- Tindakan membuat lubang pada dinding depan/anterior trakea untuk bernapas.
- Menurut letak stoma trakeostomi dibedakan letak yang tinggi dan letak yangrendah dan
batas letak ini adalah cincin trakea ke tiga
- Menurut waktu dilakukan tindakan dibagi dalam :
 Trakeostomi darurat dan segera dengan persiapan sarana sangat kurang

 Trakeostomi berencana (persiapan sarana cukup) dan dapat dilakukansecara baik
(legal artis)

 Indikasi :

- Mengatasi obstruksi laring
- Mengurangi ruang rugi (dead air space) disaluran napas bagian atas sepertidaerah
rongga mulut, sekitar lidah dan faring.
- Mempermudah pengisapan sekret dari bronkus pada pasien yang tidak
dapatmengeluarkan sekret secara fisiologik, misalnya pada pasien dalam keadaan
koma
- Untuk memasang respirator atau alat bantu pernapasan
- Untuk mengambil benda asing dari subglotik, apabila tidak mempunyai fasilitas
untuk bronkoskopi.

• Krokotiroidektomi
- Dilakukan dengan cara membelah membran krikotiroid.
- Kontraindikasi :
 Anak < 12 tahun.

 Tumor laring yang sudah meluas ke subglotis dan terdapat laringitis.

2.4 Benda Asing Saluran Napas


Benda asing adalah benda yang berasal dari luar atau dalam tubuh yang padakeadaan normal tidak

87
ada. Ada yang eksogen (organik (kacang-kacangan, tulang), anorganik (paku, jarum,peniti, batu
baterai dll), zat kimia cair, makanan di esophagus)dan endogen (sekret kental, bekuan darah,
membran difteri, mekonium dlm saluran nafas)

a) Gejala dan Tanda


 Tergantung lokasi : Batuk hebat, rasa tercekik, tersumbat di tenggorok, bicaragagap, obstruksi
jalan nafas yang terjadi segera.

 Nyeri daerah leher, rasa tidak enak di substernal, nyeri punggung, disfagia, nyerimenelan,
perforasi esofagus

b) Etiologi dan Faktor Predisposisi
Faktor yang mempermudah terjadinya aspirasi benda asing ke dalam saluran napas antara lain,
faktor personal (umur, jenis kelamin, pekerjaan, kondisi sosial, tempatting gal), kegagalan mekanisme
proteksi yang normal (antara lain keadaan tidur, kesadarnmenurun, alkoholisme, dan epilepsi), faktor
fisik (yaitu kelainan dan penyakitneurol ogik), proses menelan yang belum sempurna pada anak,
faktor dental, medikal dansurgical (antara lain tindakan bedah, ekstraksi gigi, belum tumbuhnya gigi
molar padaanak yang berumur < 4 tahun), faktor kejiwaan (antara lain emosi, gangguan
psikis),ukuran dan bentuk serta sifat benda asing, faktor kecerobohan (antara lain meletakkan benda
asing di mulut, persiapan makanan yang kurang baik, makan atau minum tergesa-gesa, makan sambil
bermain, memberikan kacang atau permen pada anak yang gigimolarnya belum lengkap).

c) Gejala
Gejala awal aspirasi akut dapat ditandai dengan episode yang khas yaitu:
 Choking (rasa tercekik)

 Gagging (tersumbat)

 Sputtering (gagap), „

 Wheezing (napas berbunyi),

 Paroxysmal coughing, serak, disfonia sampai afonia dan sesak napas tergantung dari derajat
sumbatan.
Benda asing yang tersangkut di trakea akan menyebabkan stridor, dapat ditemukan dengan
auskultasi (audible stridor) dan palpasi di daerah leher (palpatory thud).
Jika benda asing menyumbat total trakea akan timbul sumbatan jalan napas akut yang memerlukan
tindakan segera untuk membebaskan jalan napas.

d) Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan radiologik leher dalam posisi tegak untuk menilai jaringan lunak leher dan

88
pemeriksaan toraks postero anterior dan lateral (STL)
 Video fluoroskopi

 Bronkogram

 Pemeriksaan laboratorium


e) Penatalaksaan
Bronkoskop kaku dengan kontrol pernapasan merupakan pilihan utama untuk kasus bendaasing di
traktus trakeobronkial. Kebanyakan pasien yang datang ke pelayanan tertier telah melewati fase
darurat akut. Bila terdapat gangguan jalan napas berat atau adanya obstruksi totaldan benda asing
tidak tajam lakukanlah back blows, abdominal thrusts atau Heimlich. Metode ini tergantung umur
penderita.
Persiapan ekstraksi benda asing harus dilakukan sebaik-baiknya dengan tenagamedis/operator,
kesiapan alat yang lengkap. Besar dan bentuk benda asing harus diketahui danmengusahakan duplikat
benda asing serta cunam yang sesuai benda asing yang akan dikeluarkan.Benda asing yang tajam
harus dilindungi dengan memasukkan benda tersebut ke dalam lumen bronkoskop. Bila benda asing
tidak dapat masuk ke lumen alat maka benda asing kita tarik secara bersamaan dengan
bronkoskop.Pemberian steroid dan antibiotik preoperatif dapat mengurangi komplikasi seperti
edemasaluran napas dan infeksi. Metilprednisolon 2 mg/kg IV dan antibiotik spektrum luas yang
cukup mencakup Streptokokus hemolitik dan Staphylococcus aureus dapat dipertimbangkan
sebelumtindakan bronkoskopi.Untuk sumbatan jalan napas bila terdapat benda asing di hidung cara
mengeluarkannyaialah dengan memakai pengait (haak) yang dimasukkan ke dalam hidung bagian
atas, menyusuriatap kavum nasi sampai menyentuh nasofaring. Setelah itu pengait diturunkan sedikit
dan ditarik ke depan. Sedangkan benda asing di tonsildan dasar lidah digunakan cunam untuk me
ngambilnya. Untuk benda asing yang terletak di dasar lidah, dapat digunakan kaca tenggorok yang
besar untuk membantu pengembilan benda asing tersebut. Pasien diminta menarik lidahnya sendiri
dan pemeriksa memegang kaca tenggorok dengan tangan kiri, sedangkan tangan kananmemegang
cunam untuk mengambil benda tersebut. Gunakan Xylocain terlebih dahulu jika pasien merasa
sensitif

2.5 Trauma Laring


Ballanger membagi penyebab trauma laring atas:
1. Trauma mekanik eksternal (trauma tumpul, trauma tajam, komplikasi trakeostomi atau
krikotirotomi) dan mekanik internal (akibat tindakan endoskopi, intubasiendotrakea atau
pemasangan pipa nasogaster).
2. Trauma akibat luka bakar oleh panas (gas atau cairan yang panas) dan kimia(cairan alcohol,
amoniak, natrium hipoklorit dan lisol) yang terhirup.

89
3. Trauma akibat radiasi pada pemberian radioterapi tumor ganas leher.
4. Trauma otogen akibat penggunaan suara yang berlebihan (vocal abuse) misalnyaakibat
berteriak, menjerit keras, atau bernyanyi dengan suara keras.

a) Patofisiologi
 Trauma dapat menyebabkan edem dan hematoma plika ariepiglotika dan ventrikularis oleh
karena jaringan submukosa di daerah ini mudah membengkak. Selain itu Mukosa faring dan
laring mudah robek kemudian diikuti terbentuknya emfisema subkutis di daerah leher yang
akan menyebabkan infeksi sekunder .

 Tulang rawan laring dan persendiannya dapat mengalami fraktur dandislokasi.


b) Gejala klinik
Stridor, suara serak, emfisema subkutis, krepitasi kulit, hemoptisis,disafgia.

c) Penatalaksanaan
• Luka terbuka : emfisema adanya gelembung udara pada daerah luka
 Trakeostomi dengan kanul trakea

 Eksplorasi : jahit mukosa dan tulangrawan yang robek

 Antibiotik utk mencegah tetanus

• Luka tertutup : fraktur & dislokasi tulang rawan, laserasi mukosa laring
 Konservatif : istirahat suara, humidifikasi, kortikosteroid

 Indikasi untuk melakukan eksplorasi ialah: sumbatan jalan napas yangmemerlukan
trakesotomi, emfisema subkutis progresif, laserasi mukosaluas, tulang krikoid terbuka,
paralisis bilateral terbuka

 Eksplorasi dengan insisi kulit horisontal , untuk mereposisi tulang rawanatau sendi yang
mengalami fraktur atau dislokasi, menjahit mukosa yangrobek dan menutup tulang rawan
yang terbuka.


d) Komplikasi
Dapat terjadi apabila penatalaksanaannya kurang tepat dan cepat. Komplikasi yang dapat timbul
antara lain:
 Terbentuknya jaringan parut disekitar luka dan terjadinya stenosis laring

 Paralisis nervus rekuren

 Infeksi luka dengan akibat terjadinya perikondritis, jaringan parut, dan stenosis laring dan
trakea.

90
DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunkosumo E, Wardani R. 2007. Perdarahan Hidung dan Gangguan Penghidu.Dalam :


Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorokan Kepaladan Leher. Ed.6. Balai
Penerbit FKUI. Jakarta. Hal : 155-159.Shumrick KA, Sheft SA. Deep Neck Infections In :
Paparella Otolaryngology, Head andneck. Vol III. Ed. 3. Philadelphia. W.B. Saunders. 1991
:p. 2545-62.
2. Cicameli GR dan Grillone GA. Inferior Pole Peritonsillar Abcess. Otolaryngology Headneck
Surgery. 1998 ; 118: 99-101.
3. Goldenberg D, Golz dan Joachims HZ. Retrofaringeal Abcess a Clinical Review. J.Laryngol
Otol. 1997; 111 : 546-50.
4. Adams Gl, Boies LR, Paparella MM. Trecheostomy. In : Adams GC, Boies LR, Higer PA.
Fundamentals of Otolaryngology. Ed. 6. Philadelphia, WB Saunders Co.1989 : p. 705-16.
5. Hadiwikarta A, Rusmarjono, Soepardi EA. Penanggulangan Sumbatan laring. Dalam :Buku
Ajar Ilmu kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala dan leher.Ed. 6. Balai Penerbit
FKUI. Jakarta. Hal : 243-253.
6. Darraw DH, Holinger LD. Foreign Bodies of The larynx, Trachea and Bronchi. In :Bluestrone
CD, Stool SE, Kenna MA, ads. Pediatric Otolaryngology, Vol. 2.Philadelphia, Pa. WB.
Saunders. 1996. p; 39-401.
7. Munir M, hadiwikarta A, Hutauruk SM. 2007. Trauma laring. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorokan, kepala dan leher. ED.6. Balai Penerbit FKUI.
Jakarta. Hal ; 209-211

91
KOMPETENSI DI BIDANG THT-KL UNTUK DOKTER UMUM
R. Ayu Hardianti Saputri, dr., Sp.T.H.T.K.L

PENDAHULUAN
Daftar penyakit ini dibuat berdasarkan Daftar penyakit SKDI 2006. Daftar penyakit ini penting
untuk diketahui oleh dokter umum maupun instansi atau institusi pendidikan dokter dengan tujuan
agar dokter yang dihasilkan memiliki kompetensi yang memadai untuk membuat diagnosis yang
tepat, memberi penanganan awal atau tuntas, dan melakukan rujukan secara tepat dalam rangka
penatalaksanaan pasien. Tingkat kompetensi setiap penyakit merupakan kemampuan yang harus
dicapai pada akhir pendidikan dokter.

I. TINGKAT KEMAMPUAN KLINIS YANG HARUS DICAPAI


Tingkat kemampuan yang harus dicapai terdiri dari 4 tingkat, yaitu:
1. Tingkat kemampuan 1 : mengenali dan menjelaskan
Dokter umum mampu mengenali dan menjelaskan gambaran klinik penyakit, dan memngetahui
cara yang paling tepat untuk mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai penyakit tersebut.
Selanjutnya menentukan rujukan yang paling tepat bagi pasien. Lulusan dokter juga mampu
menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.

2. Tingkat kemampuan 2 : mendiagnosis dan merujuk


Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik terhadap penyakit tersebut dan menentukan
rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu
menindaklanjuti seudah kembali dari rujukan.

3. Tingkat kemampuan 3: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan awal, dan merujuk


3A. Bukan gawat darurat
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada
keadaan yang bukan gawat darurat. Dokter umum dapat mampu menentukan rujukan yang paling
tepat bagi penaganan pasien selanjutnya. Dokter umum juga mampu menindaklanjuti sesudah
kembali dari rujukan.

3B. Gawat darurat


Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan
gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan dan/atau kecacatan

92
pada pasien. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan
pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindak lanjuti sesudah kembali dari rujukan.

4. Tingkat kemampuan 4: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara mandiri dan


tuntas.
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan penyakit
tersebut secara mandiri dan tuntas.
4A. Kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter.
4B. Profisiensi (kemahiran) yang dicapai stelah selesai intership dan/atau Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan (PKB)

No Jenis Penyakit
Telinga, Pendengaran dan Keseimbangan Kompetensi
1 Tuli kongenital 4
2 Inflamasi pada aurikula 3A
3 Herpes zoster otikus 3A
4 Fistula pre-aurikular 3A
5 Labirintitis 4
6 Otitis eksterna 3A
7 Akut otitis media 3A
8 Akut otitis serosa (glue ear) 3A
9 Otitis media kronik 3A
10 Mastoiditis 3A
11 Miringitis bullosa 3A
12 Benda asing di telinga 3A
13 Perforasi membran timpani 3A
14 Otosklerosis 3A
15 Timpano sclerosis 3A
16 Presbiakusis 3A
17 Serumen 4
18 BPPV (benign paroxysmal positional vertigo) 4
19 Gangguan keseimbangan 4
20 Meniere‟s disease 1
21 Neuritis vestibularis 1
22 Akustik neuroma 3A

93
23 Akut akustik neuroma 4
24 Trauma pada telinga 2
25 Gangguan dengar sensorineural 2
26 Gangguan dengar konduktis 4
27 Paralisis fasialis 3A
28 Kolesteatoma 1
Sistem Respirasi
29 Influenza 4A
30 Pertusis 4A
31 Acute Respiratory distress syndrome (ARDS) 3B
32 SARS 3B
33 Flu burung 3B
Hidung dan Sinus Paranasal
34 Septum deviasi 2
35 Atresia koana 2
36 Sinusitis 2
37 Furunkel hidung 4
38 Rinitis akut 4
39 Sinusitis frontalis akut 2
40 Sinusitis maksilaris kaut 2
41 Sinusitis etmoidalis akut 1
42 Sinusitis kronik 3A
43 Benda asing di hidung 4
44 Rinitis vasomotor 4
45 Rinitis alergi 4
46 Sinusitis kronis 3A
47 Rinits medikamentosa 2
48 Epistaksis 4
49 Polip 2
Laring Faring
50 Nasofaringitis 4
51 Faringitis 4
52 Tonsilitis 4
53 Laringitis 4
54 Hipertrofi adenoid 2

94
55 Abses peritonsiler 3A
56 Akut Epiglotitis (pseudo-croop) 3A
57 Difteri 3B
58 Obstruksi Saluran Nafas Atas (OSNA) 3B
59 Karsinoma Laring 2
60 Karsinoma Nasofaring 2
Trakea
61 Trakeitis 2
62 Aspirasi 3B
63 Benda asing 2
Paru
64 Obstruksi Sleep Apnea (OSA) 1
Kepala Leher
65 Fistula, kista brakhialis medial dan lateral 3A
66 Higroma kistik 3A
67 Tortikalis 3A

68 Parotitis supuratif 4
69 Adenitis servikalis supuratif 4
70 Angina ludwig 3A
71 Mumps 4
72 Abese bezold 3A
73 Hidradenitis supuratif 4
74 Leukoplakia 3A
75 Karsinoma nasofaring 3A
76 Pleomorfik adenoma 1
77 Tumor warthin 1
78 Karsinoma laring 2
79 Benjolan di leher 2
80 Fistula, kista lateral, medial 2
81 Tumor nasal 1
82 Tumor sinonsal 1
Kelenjar Tiroid
83 Kista 3A
84 Goiter 3A
85 Hipertiroid 3A

95
86 Hiperparatiroid 3A
87 Hipotiroid 3A
88 Hipoparatiroid 3A

II. TINGKAT KETERAMPILAN KLINIS


Tingkat keterampilan 1 : Mengetahui teori keterampilan
Lulusan dokter menguasai pengetahuan teoritis dari keterampilan ini.

Tingkat keterampilan 2 : Pernah melihat atau didemonstrasikan


Lulusan dokter menguasai pengetahuan teoritis dari keterampilan ini dengan penekanan pada clinical
reasoning dan problem solving serta berkesempatan untuk melihat dan mengamati keterampilan
tersebut dalam bentuk demonstrasi atau pelaksanaan langsung pada pasien/masyarakat.

Tingkat keterampilan 3 : pernah melakukan atau pernah menerapkan dibawah supervise


Lulusan dokter menguasai pengetahuan teori keterampilan ini termasuk latar belakang biomedik dan
dampak psikososial keterampilan tersebut, berkesempatan untuk melihat dan mengamati keterampilan
tersebut dalam bentuk demonstrasi atau pelaksanaan langsung pada pasien/masyarakat, serta berlatih
keterampilan tersebut pda alat peraga dan/atau standardized patient.

Tingkat keterampilan 4 : Mampu melakukan secara mandiri


Lulusan dokter dapat memperlihatkan keterampilan tersebut dengan menguasai seluruh teori, prinsip,
indikasi, langkah-langkah cara melakukan, komplikasi dan pengendalian komplikasi.

No Jenis Penyakit
Telinga, Pendengaran, dan Keseimbangan Kompetensi
1 Inspeksi aurikula, posisi telinga, dan mastoid 4
2 Pemeriksaan meatus auditorius eksternus dengan otoskopi 4
3 Pemeriksaan membran timpani dengan otoskopi 4
4 Menggunakan kaca laring 4
5 Menggunakan lampu kepala 4
6 Tes pendengaran, pemeriksaan garpu tala (weber, rinne, schwabach) 4
7 Tes pendengaran sederhana: tes bisik, dan tes suara 4
8 Audiometri nada murni 2
9 Audiometri tutur 2

96
10 Pemeriksaan pendengrana pada anak-anak 2
11 Pneumatik otoskopi 1
12 Melakukan dan mengintrepretasika timpanometri 2
13 Pemeriksaan vestibular 2
14 Tes Ewing 2
15 elektronistagmografi 1
Indra penciuman
16 Inspeksi bentuk hidung dan lubang hidung 4
17 Penilaian obstruksi hidung 4
18 Uji penciuman 2
19 Rinoskopi anterior 4
20 Transiluminasi sinus 3
21 Nasoendoskopi 2
22 USG sinus 1
23 Radiologi sinus, interpretasi 2
Indra Pengecap
24 Menilai suara dan bicara 3
25 Penilaian bicara 1
26 Inspeksi bibir dan kavitas oral 4
27 Inspeksi tonsil 4
28 Penilaian pergerakan lidah 4
29 Penilaian pergerakan otot-otot hipoglosus 4
30 Inspeksi leher 4
31 Indirek laringoskopi 4
32 Direk laringoskopi 2
33 Inspeksi kavitas nasofaring 2
34 Inspeksi hipofaring 2
35 Palpasi kelenjar ludah 4
36 Palpasi nodus limfatikus brakialis 4
37 Palpasi kelenjar tiroid 4
38 Uji sensasi indra pencecap 1
39 Apus tenggorok 3
40 Esofagoskopi 2
41 Panilaian kemampuan menelan 3

Keterampilan Terapeutik

97
42 Manuver Politzer 2
43 Manuver Valsava 2
44 Pemasangan probe wool katun didalam telinga 3
45 Pembersihan meatus auditorius eksternus dengan usapan 3
46 Pengambilan serumen menggunakan kait atau kuret 3
47 Pengambilan benda asing dengan cara spoeling telinga 3
48 Parasintesis 2
49 Pengambilan benda asing di telinga 3
50 Insersi grommet 2
51 Menyesuaikan alat bantu dengar 2
52 Menghentikan perdarahan hidung 3
53 Pemasangan tampon anterior hidung 4
54 Pengambilan benda asing dari hidung 2
55 Bilas sinus 2
56 Pungsi sinuses 2
57 Antroskopi 2
58 trakeostomi 2

98

Anda mungkin juga menyukai