Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena limpahan rahmat dan karunia-Nya serta
kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menyusun makalah Bank Syariah sebagai salah
satu tugas mata kuliah Bank dan Lembaga Keuangan yang harus dipenuhi.
Penulis menyadari bahwa makalah inipun jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis tetap
berharap kepada bapak dosen dan kepada teman-teman, masukan baik berupa kritikan atau saran-
saran yang sifatnya membangun guna kesempurnaan makalah berikutnya.
Penulis,
Daftar isi
Kata pengantar ………………………………………………………………….i
Daftar isi ……………………………………………………………...........……ii
BAB I PENDAHULUAN …………………………..………………………….1
1.1 Latar belakang …………………………………………………..…..........1
1.2 Rumusan masalah ……...………………………………………………..2
1.3 Tujuan penelitian ………..………………………………………………2
BAB II PEMBAHASAN ………………………………………………………3
3.1 Pengertian Bank Syari’ah …………………………………………….…3
3.2 Sejarah Singkat Munculnya Bank Syari’ah …………………………..…4
3.3 falsafah operasional bank syari’ah ………………………………...…….6
3.4 Prinsip-Prinsip Bank Syariah ……………………………………………8
3.5 Dasar Hukum Bank Syari’ah di Indonesia …………………………...…9
3.6 Produk-Produk Bank Syari’ah …………………………………………12
3.7 Pandangan Ulama Mengenai Bank Syari’ah …………………………..18
BAB III STUDI KASUS ………………………………………………………20
4.2 Studi Kasus …………………………………………….……............…20
BAB IV KESIMPULAN …………………………………………..…………22
5.1 Kesimpulan ……………………………………………….………...…22
5.2 Saran ………………………………………………………………….23
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Melakukan kegiatan ekonomi adalah merupakan tabiat manusia untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Dengan kegiatan itu ia memperoleh rizki, dan dengan rizki ia dapat melangsungkan
kehidupannya. Bagi orang Islam, Al Qur’an adalah petunjuk untuk memenuhi kebutuhn hidupnya
yang berkebenaran absolute. Sunnah Rasulullah Muhammad SAW berfungsi menjelaskan
kandungan Al Qur’an. Terdapat banyak ayat Al Qur’an dan hadits Nabi yang merangsang manusia
untuk rajin bekerja dan mencela orang menjadi pemalas. Tetapi tidak setiap kegiatan ekonomi
dibenarkan oleh Al Qur’an. Apabila kegiatan itu punya watak yang merugikan banyak orang dan
menguntungkan sebagian kecil orang pasti akan ditolak seperti halnya riba.
Al Qur’an telah jelas melarang riba. Selain itu juga agama –agama lainpun melarangnya, bukan
hanya etika agama yang mengutuknya, tetapi juga etika filosofis, seperti filsafat yunani. Dengan
demikian, disamping diketahui bahwa Al Qur’an tidak sendirian dalam menampilkan sikap kerasnya
terhadap riba.
Salah satu lembaga perekonomian yang sampai saat ini menggunakan sistem riba ialah Bank.
Menurut catatan sejarah, usia perbankan sudah dikenal kurang lebih 2500 SM dalam masyarakat
Mesir Purba dan Yunani Kuno, kemudian masyarakat Romawi. Istilah perbankan dalam masyarakat
modern pada umumnya disebut dengan Bank Konvesional. Bank Konvensional melaksanakan
pembagian keuntungan dengan sistem bunga (persentase) tetap. Bank tidak mau melihat, apakah
wiraswastawan peminjam mendapat kerugian atau laba. Hal ini membuat sekelompok orang islam
untuk mendirikan Bank islam dengan ciri tanpa bunga yang disebut dengan Bank Syari’ah, seperti
apakah Bank Syari’ah? Berikut akan diulas dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
3.1 Pengertian Bank Syari’ah
Bank syariah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip Syari’ah Islam, maksudnya
adalah bank yang dalam operasinya mengikuti ketentuan-ketentuan Syari’ah Islam, khususnya yang
menyangkut tata cara bermuamalah secara islam.
Bank Islam atau biasa disebut dengan bank tanpa bunga, adalah lembaga keuangan/perbankan
yang operasional dan produknya dikembangkan berlandaskan pada Al Qur’an dan Hadits Nabi
SAW. Dengan kata lain, Bank Islam adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan
pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang
pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip Syari’at Islam.
Antonio dan perwataadmadja membedakannya menjadi dua pengertian, yaitu Bank Islam dan Bank
yang beroperasi dengan prinsip Syari’at Islam.
Bank Syari’ah yaitu :
1. Bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip Syari’at Islam.
2. Bank yang tata cara beroperasinya mengacu pada ketentuan-ketentun Al Qur’an dan Hadits.
Menurut Sudarsono (2004), Bank Syari’ah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya
memberikan kredit dan jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang
beroperasi dengan prinsip prinsip syari’ah.
Menurut Siamat, Dahlan (2004) “Bank Syari’ah adalah yang dalam menjalankan usahanya
bedasarkan pada prinsip-prinsip hukum atau syari’ah dengan mengacu kepada Al-Quran dan Al-
Hadist.
Menurut Gozali (2004) Bank Syari’ah adalah bank yang berdasarkan, antara lain kemitraan,
keadilan, transparansi dan universal, serta melakukan kegiatan usaha perbankan berdasarkan
prinsip islam syari’ah, (Gozali, 2004).
Berdasarkan pendapat para ahli diatas kami menarik kesimpulan, Bank Syari’ah merupakan
lembaga keuangan yang berfungsi memperlancar ekonomi di sektor riil melalui aktivitas kegiatan
usaha (investasi, jual beli atau lainnya) yang berdasarkan prinsip syari’ah.
Sementara Bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip Syari’ah Islam adalah Bank yang dalam
operasinya itu mengikuti ketentuan-ketentuan Syari’at Islam, khususnya yang menyangkut tata cara
bermuamalah secara Islam. Dikatakan lebih lanjut, dalam tata cara bermuamalah itu harus dijahui
oleh hal-hal dan praktek-praktek yang dikhawatirkan mengandung unsur riba untuk diisi dengan
kegiatan-kegiatan investasi atas dasar bagi hasil dan pembiayaan perdagangan.
3.2 Sejarah Singkat Munculnya Bank Syari’ah
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa jenis Bank jika dilihat dari cara menentukan harga
terbagi menjadi 2 macam , yaitu Bank yang berdasarkan Konvensional dan Bank yang berdasarkan
prinsip Syari’ah. Dalam Bank Konvensional penentuan harga selalu didasarkan kepada bunga,
sedangkan dalam Bank Syari’ah didasarkan kepada konsep islam, yaitu kerja sama dalam skema
bagi hasil, baik untung maupun rugi.
Sejarah, awal mula kegiatan Bank Syari’ah yang pertama sekali dilakukan adalah di Pakistan dan
Malaysia pada sekitar tahun 1940-an. Dibelahan negara lain pada kurun 1970-an, sejumlah bank
berbasis islam kemudian muncul. Di Timur Tengah antara lain berdiri Dubai Islamic Bank (1975),
Faisal Islamic Bank of Sudan (1977), Faisal Islamic Bank of Egypt (1977) serta Bahrain Islamic Bank
(1979). Dia Asia-Pasifik, Phillipine Amanah Bank didirikan tahun 1973 berdasarkan Dekrit Presiden,
dan di Malaysia tahun 1983 berdiri Muslim Pilgrims Savings Corporation yang bertujuan membantu
mereka yang ingin menabung untuk menunaikan ibadah haji.
Kehadiran bank yang didasarkan Syari’ah di Indonesia masih relatif baru yaitu pada awal tahun
1990-an, meskipun masyarakat Indonesia merupakan masyarakat Muslim terbesar di dunia.
Prakarsa lebih khusus mengenai pendirian Bank Islam di Indonesia baru dilakukan tahun 1990.
Pada tanggal 18-20 Agustus tahun tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan
lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut
kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22-25 Agustus
1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian Bank Islam di
Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk
melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang terkait.
Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah berdirinya PT Bank Muamalat Indonesia
(BMI), yang sesuai akte pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 November 1991. Sejak tanggal 1 Mei
1992, BMI resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp 106.126.382.000,- . Sampai bulan
September 1999, BMI telah memiliki lebih dari 45 outlet yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Kelahiran Bank Islam di Indonesia relatif terlambat dibandingkan dengan negara-negara lain
sesama anggota OKI.
Hal tersebut merupakan ironi, mengingat pemerintah RI yang diwakili Menteri Keuangan Ali
Wardana, dalam beberapa kali sidang OKI cukup aktif memperjuangkan realisasi konsep Bank
Islam, namun tidak di implementasikan di dalam negeri. KH Hasan Basri, yang pada waktu itu
sebagai Ketua MUI memberikan jawaban. Bahwa kondisi keterlambatan pendirian Bank Islam di
Indonesia karena political-will belum mendukung.
Selanjutnya sampai diundangkannya undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas
undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, BMI merupakan satu-satunya bank umum
yang mendasarkan kegiatan usahanya atas Syari’at Islam di Indonesia.
Baru setelah itu berdiri beberapa Bank Islam lain, yakni Bank IFI membuka cabang Syari’ah pada
tanggal 28 Juni 1999, Bank Syari’ah Mandiri yang merupakan konversi dari Bank Susila Bakti (BSB),
anak perusahaan Bank Mandiri, serta pendirian lima cabang baru berupa cabang syari’ah dari PT
Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk.
Perbulan Februari 2000, tercatat di Bank Indonesia bank-bank yang sudah mengajukan
permohonan membuka cabang syari’ah, yakni: Bank Niaga, Bank BTN, Bank Mega, Bank BRI, Bank
Bukopin, BPD Jabar dan BPD Aceh.
3.3 Falsafah Operasional Bank Syari’ah
Setiap lembaga keuangan syari’ah mempunyai falsafah mencari keridhoan Allah SWT untuk
memperoleh kebajikan di dunia dan akhirat . Oleh karena itu , setiap kegiatan lembaga keuangan
yang di khawatirkan menyimpang dari tuntutan agama, yang harus di hindari.
6. kondisi umum dari kredit ( meliputi: pertama peminjam yang mengalami kesulitan keuangan
sebaiknya diperlakukan secara baik, diberi tangguh waktu, bahkan akan lebih baik bila diberi
keringanan, dan kedua, terdapat beberapa perbdaan mengenai hukum selisih antara kredit dan
harga spot, ada yang berpendapat bahwa itu adalah suku bunga implisit dan ada yang berpendapat
suku bunga tersebut diperbolehkn untuk mengakomodasi biaya transaksi, bukan biaya dari
pembiayaan,dan dualiti resiko di satu isi sebagai persetujuan kredit ( liability ) usaha produktif.
3.5 Dasar Hukum Bank Syari’ah di Indonesia
Melalui Pasal 6 huruf Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Pasal 6 huruf m
beserta penjelasannya tidak mempergunakan sama sekali istilah Bank Islam atau Bank Syariah
sebagaimana dipergunakan kemudian sebagai istilah resmi dalam UUPI, namun hanya
menyebutkan:
“menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan
yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.”
Di dalam Pasal 5 ayat (3) PP No. 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum pun hanya disebutkan frasa
“Bank Umum yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil” dan di penjelasannya disebut “Bank
berdasarkan prinsip bagi hasil”. Begitu pula dalam Pasal 6 ayat (2) PP No. 71 Tahun 1992 tentang
Bank Perkreditan Rakyat hanya menyebutkan frasa “Bank Perkreditan Rakyat yang akan melakukan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil” yang dalam penjelasannya disebut “Bank
Perkreditan Rakyat yang berdasarkan bagi hasil”.
Kesimpulan bahwa “bank berdasarkan prinsip bagi hasil” merupakan istilah bagi Bank Islam atau
Bank Syariah baru dapat ditarik dari Penjelasan Pasal 1 ayat (1) PP No. 72 Tahun 1992 tentang
Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.
Dalam penjelasan ayat tersebut ditetapkan bahwa yang dimaksud dengan prinsip bagi hasil adalah
prinsip muamalat berdasarkan Syari’at dalam melakukan kegiatan usaha bank.
Melihat ketentuan-ketentuan yang ada dalam PP No. 72 Tahun 1992,
keleluasaan untuk mempraktekkan gagasan perbankan berdasarkan syariat Islam terbuka seluas-
luasnya, terutama berkenaan dengan jenis transaksi yang dapat dilakukan. Pembatasan hanya
diberikan dalam hal :
1. Larangan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil (maksudnya
kegiatan usaha berdasarkan perhitungan bunga) bagi Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat
yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil. Begitu pula Bank Umum atau
BPR yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil dilarang melakukan kegiatan
usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil.
2. Kewajiban memiliki Dewan Pengawas Syariah yang bertugas melakukan pengawasan atas
produk perbankan baik dana maupun pembiayaan agar berjalan sesuai dengan prinsip Syari’at,
dimana pembentukannya dilakukan oleh bank berdasarkan hasil konsultasi dengan Majelis Ulama
Indonesia (MUI).
Pada saat berlakunya UU No. 7 Tahun 1992, selain ketiga PP tersebut di atas tidak ada lagi
peraturan perundangan yang berkenaan dengan Bank Islam. Oleh karena itu dapat dikatakan
bahwa eksistensi Bank Islam yang telah diakui secara hukum positif di Indonesia, belum
mendapatkan dukungan secara wajar berkenaan dengan praktek traksaksionalnya. Hal ini dapat
dilihat misalnya dari tidak seimbangnya jumlah dana yang mampu dikumpulkan dibandingkan
dengan penyalurannya di masyarakat.
Bagi BMI tidak ada kesulitan untuk mengumpulkan dana berupa tabungan dan investasi dari
masyarakat, namun untuk penyalurannya masih sangat terbatas, mengingat belum adanya
instrumen investasi yang berdasarkan prinsip syariah yang diatur secara pasti, baik instrumen
investasi di Bank Indonesia, Pemerintah, atau antar-bank. Tidak mengherankan bilamana dalam
Laporan Keuangan BMI pada masa tersebut dapat ditemukan satu pos anggaran atau account yang
diberi istilah sebagai “Pendapatan Non Halal”, yakni pendapatan yang didapat dari transaksi yang
bersifat perbankan konvensional. Perkembangan lain yang patut dicatat berkaitan dengan
perbankan syariah pada saat berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
adalah berdirinya Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). BAMUI berdiri secara resmi
tanggal 21 Oktober 1993 dengan pemrakarsa MUI dengan tujuan menyelesaikan kemungkinan
terjadinya sengketa muamalat dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain
di kalangan umat Islam di Indonesia.
Dengan demikian dalam transaksi-transaksi atau perjanjian-perjanjian bidang perbankan syariah
lembaga BAMUI dapat menjadi salah satu choice of forum bagi para pihak untuk menyelesaikan
perselisihan atau sengketa yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan transaksi atau perjanjian
tersebut. Perkembangan kemudian berkenaan dengan BAMUI, melalui Surat Keputusan Majelis
Ulama Indonesia No. Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 menetapkan di antaranya
perubahan nama BAMUI menjadi Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) dan mengubah
bentuk badan hukumnya yang semula merupakan Yayasan menjadi ‘badan’ yang berada di bawah
MUI dan merupakan perangkat organisasiMUI. Meskipun pada saat berlakunya Undang-undang No.
7 Tahun 1992 perkembangan perbankan syariah masih sangat terbatas, namun sebagaimana
disebutkan oleh Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman,
SH merupakan salah satu tonggak sejarah yang sangat penting khususnya di dalam kehidupan
umat Islam dan pada umumnya bagi perkembangan Hukum Nasional. Dalam makalahnya yang
berjudul “Peranan BAMUI Dalam Pembangunan Hukum Nasional” beliau mengatakan sebagai
berikut :“Undang-undang Perbankan No. 7 Tahun 1992 membawa era baru dalam sejarah
perkembangan hukum ekonomi di Indonesia. Undang-undang tersebut memperkenalkan “sistem
bagi hasil” yang tidak dikenal dalam Undang-undang tentang Pokok Perbankan No. 14 Tahun 1967.
Dengan adanya sistem bagi hasil itu maka Perbankan dapat melepaskan diri dari usaha-usaha yang
mempergunakan sistem “bunga”.
3.6 Produk-Produk Bank Syari’ah
Produk perbankan syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
1. Penyaluran dana
Dalam menyalurkan dana pada nasabah, secara garis besar produk pembiayaan syariah terbagi ke
dalam tiga kategori yang dibedakan berdasarkan tujuan penggunaannya yaitu:
• Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk memiliki barang dilakukan dengan prinsip jual beli.
• Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk mendapatkan jasa dilakuakan dengan prinsip sewa.
• Transaksi pembiayaan untuk usaha kerjasama yang ditujukan guna mendapatkan sekaligus
barang dan jasa, dengan prinsip bagi hasil.
Pada kategori pertama dan kedua, tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi bagian
harga atas barang atau jasa yang dijual. Produk yang termasuk dalam kelompok ini adalah produk
uang menggunakan prinsip jual beli seperti murabahah, salam, dan istishna serta produk yang
menggunakan prinsip sewa yaitu ijiarah.
Sedangkan pada kategori ketiga, tingkat keuntungan bank ditentukan dari besarnya keuntungan
usaha sesuai dengan prinsip bagi hasil. Pada produk bagi hasil keuntungan ditentukan oleh nisbah
bagi hasil yang disepakati dimuka. Produk perbankan yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah
musyarakah dan mudharabah.
1. Prinsip Jual Beli (Ba’i)
Prinsip jual-beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan kepemilikan barang atau
benda (transfer of property). Tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi bagian
harga atas barang yang dijual. Transaksi jual – beli dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya
a. Pembiayaan Murabahah
Murtabahah bi tsaman ajil atau lebih dikenal sebagai murabahah berasal dari kata ribhu
(keuntungan) yaitu transaksi jual-beli di mana bank menyebut jumlah keuntungannya. Bank
bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah harga beli bank
dari pemasok ditambah keuntungan.kedua belah pihak harus menyepakati harga jual dan jangka
waktu pembayarannya.
b. Salam
Salam adalah transaksi jual beli di mana barang yang diperjualbelikan belum ada. Oleh karena itu
barang diserahkan secara tangguh sedangkan pembayaran dilakukan tunai. Bank bertindak sebagai
pembeli, sementara nasabah sebagai penjual. Sekilas transaksi ini mirip jual beli ijon, namun dalam
transaksi ini kuantitas, harga, dan waktu penyerahan barang harus ditentukan secara pasti.
Ketentuan umum salam.
c. Istishna
Produk ini menyerupai produk salam, namun dalam istihna pembayarannya dapat dilakukan oleh
bank dalam beberapa kali (termin) pembayaran. Skim istihna dalam bank syariah umumnya
diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi.
2. Prinsip Sewa (Ijarah)
Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat. Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama
saja dengan prinsip jual beli, namun perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual
beli objek transaksinya adalah barang, maka pada ijiriah objek transaksinya adalah jasa.
3. Prinsip Bagi Hasil (Syirkah)
Produk pembiayaan syariah yang didasarkan prinsip bagi hasil adalah musyarakah dan
mudharabah.
a. Musyrakah
Musyarakah adalah semua bentuk usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih dimana mereka
secara bersama-sama memadukkan seluruh bentuk sumber daya (aset) baik yang berwujud
maupun tidak berwujud berupa dana, barang perdagangan [trading asset], kewiraswaataan
[entrepreneurship], kepandaian [skill], kepemilikan [property], peralatan[equipment], atau intangible
asset [seperti hak paten atau goodwill], kepercayaan/reputasi [credit worthiness] dan barang-barang
lainnya yang dapat dinilai dengan uang.
b. Mudharabah
Mudhrabah adalah bentuk kerjasama antara dua atau lebih pihak dimana pemilik modal (shahibul
maal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian
pembagian keuntungan.
3. Akad Pelengkap
Untuk mempermudah pelaksanaan penghimpunan dana. Biasanya diperlukan juga akad pelengkap.
Akad pelengkap ini tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, namun ditujukan untuk
mempermudah pelaksanaan pembiayaan. Meskipun tidak ditujukan untuk mencari keuntungan,
dalam akad pelengkap ini dibolehkan untuk meminta pengganti biaya-biaya yang dikeluarkan untuk
melaksanakan akad ini. Besarnya pengganti biaya ini sekedar untuk menutupi biaya yang benar-
benar timbul.
a) Sharf (Jual Beli Valuta Asing)
Pada prinsipnya jual-beli valuta asing sejalan dengan prinsip sharf. Jual beli mata uang yang tidak
sejenis ini penyerahannya harus dilakukan pada waktu yang sama (spot). Bank mengambil
keuntungan dari jual beli valuta asing ini.
b) Ijarah (sewa)
Jenis kegiatan ijarah antara lain penyewaan kotak simpanan buka tutup (safe deposit box) dan jasa
tata-laksana administrasi dokumen (custodian). Bank dapat imbalan sewa dari jasa tersebut.
c) Jasa Perbankan
Bank syari’ah dapat melakukan berbagai pelayanan jasa perbankan kepada nasabah dengan
mendapatkan imbalan berupa sewa atau keuntungan. Jasa perbankan tersebut antara lain berupa:
a) Hiwalah (Alih Utang – Piutang)
Hiwalah adalah transaksi mengalihkan utang piutang.
b) Rahn (Gadai)
Tujuan akad rahn adalah untuk memberikan jaminan pembayaran kembali kepada bank dalam
memberikan pembiayaan. Barang yang digadaikan harus milik sendiri, jelas ukuran,sifat dan nilainya
ditentukan berdasarkan nilai riil pasar,dapat dikuasai namun tidak boleh dimanfaatkan oleh bank.
17
c) Qardh
Qardh adalah pinjaman uang.
d) Wakalah
Wakalah dalam aplikasi perbankan terjadi apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk
mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti pembukuan L/C, inkaso dan transfer
uang.
e) Kafalah (Garansi Bank)
Garansi bank dapat diberikan dengan tujuan untuk menjaminpembayaran suatu kewajiban
pembayaran.
3.7 Pandangan Ulama Mengenai Bank Syari’ah
1. Majlis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah
Majlis Tarjih Muhammadiyah pada tahun 1968 memutuskan bahwa bunga bank milik pemerintah
termasuk masalah shubhat dan bahkan pada tahun 2006 memutuskan fatwa haram. Adapun
masalah keputusan Tarjih sebagai berikut:
1. Hasil keputusan hukum harus ditaati namun keputusan masalah sosial ekonomi, Majlis Tarjih
harus melibatkan pada para ekonom supaya hasilnya bisa membumi dan fatwa haramnya bunga
bank tidak perlu ditanfidh.
2. Bank dibutuhkan dalam dunia perekonomian, berfungsi sebagai intermediary tetapi tidak setuju
dengan sistem bunga karena riba dan menimbulkan eksploitasi. Sedangkan adanya bank syari’ah
sangat ditunggu umat Islam untuk menghindari bunga.
3. Masih dibolehkannya menjadi nasabah bank konvensional selama bank syari’ah belum benar-
benar siap dan dengan dasar keterpaksaan/dharurat.
BAB IV
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Bank syariah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip Syari’ah Islam,
maksudnya adalah bank yang dalam operasinya mengikuti ketentuan-ketentuan Syari’ah Islam,
khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalah secara islam.
2. Sejarah, awal mula kegiatan Bank Syari’ah yang pertama sekali dilakukan adalah di Pakistan dan
Malaysia pada sekitar tahun 1940-an. Dibelahan negara lain pada kurun 1970-an, sejumlah bank
berbasis islam kemudian muncul. Di Timur Tengah antara lain berdiri Dubai Islamic Bank (1975),
Faisal Islamic Bank of Sudan (1977), Faisal Islamic Bank of Egypt (1977) serta Bahrain Islamic Bank
(1979).
3. Setiap lembaga keuangan syari’ah mempunyai falsafah mencari keridhoan Allah SWT untuk
memperoleh kebajikan di dunia dan akhirat . Oleh karena itu , setiap kegiatan lembaga keuangan
yang di khawatirkan menyimpang dari tuntutan agama, yang harus di hindari.
4. Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum islam antara bank dan pihak lain
untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan usaha atau kegiatan lainya yang sesuai dengan
syariah.
5. Melalui Pasal 6 huruf Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Pasal 6 huruf m
beserta penjelasannya tidak mempergunakan sama sekali istilah Bank Islam atau Bank Syariah
sebagaimana dipergunakan kemudian sebagai istilah resmi dalam UUPI.
6. Produk perbankan syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
• Penyaluran dana
• Prinsip sewa
• Prinsip bagi hasil
7. Pandangan Ulama Mengenai Bank Syari’ah
• Majlis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah
• Nahdatul Ulama
• Majlis Ulama Indonesia
3.2 Saran
Setelah kita semua mengetahui apa itu bank syari’ah, bagaimana prinsip dan falsafah operasional
bank syari’ah, diharapkan agar kita lebih memilih menggunakan jasa bank syari’ah dan alangkah
baiknya yang sudah menggunakan bank konvensional pindah ke bank syari’ah.
DAFTAR PUSTAKA
1. Al Khotib, Muhammad ‘Ajaj. 1989. Ushul Al Hadits Wa Musthalahu. Beirut: Dar al.
2. Ascarya.2006. akad dan produk bank syariah. Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada
3. Muhammad. 2005. Konstruksi Mudharabah Dalam Bisnis Syari’ah. Yogyakarta: BPFE-
Yogyakarta
4. Zuhri, Muh, Dr. 1996. Riba dalam al- Qur’an dan Masalah Perbankan. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada
5. www.voa-islam.com/news/indonesia/2010/04/05/4722
6. Http://eprints.sunan-ampel.ac.id/id/eprint/54
STRUKTUR ORGANISASI BANK SYARIAH
Sumber utama dari modal perusahaan adalah saham. Sumber dana ini hanya akan timbul apabila
pemilik menyertakan dananya pada bank melalui pembelian saham, dan untuk penambahan dana
berikutnya dapat dilakukan oleh bank dengan mengeluarkan dan menjual tambahan saham baru.
b. Cadangan,
yaitu sebagian laba bank yang tidak dibagi, yang disisihkan untuk menutup timbulnya
resiko kerugian di kemudian hari;
c. Laba ditahan,
yaitu sebagian laba yang seharusnya dibagikan kepada para pemegang saham, tetapi oleh
para pemegang saham sendiri (melalui Rapat Umum Pemegang Saham) diputuskan untuk
ditanam kembali dalam bank. Laba ditahan ini juga merupakan cara untuk menambah dana
modal lebih lanjut.
3. Pendirian Bank Umum Syariah ( BUS )
BUS hanya dapar didirikan dan melakukan kegiatan usaha setelah memperoleh izin Bank
Indonesia.Persyaratan modal disetor untuk mendirikan BUS minimak sebesar Rp 1 triliun. Apabila modal
disetor tersebut di-equivalent-kan sama dengan US$ 110 juta. Modal disetor dimaksud adalah setoran
yang dilakukan dalam setoran tunai. Modal disetor yang berasal dari warga negara asing dan/atau badan
hukum asing maksimal sebesar 99% dari modal disetor BUS. Diperbolehkan pihak asing memiliki saham
mayoritas pada BUS dimaksudkan untuk membuka kesempatan yang lebih luas kepada berbagai pihak,
baik Indonesia maupun asing untuk turut serta memiliki BUS.
b. Warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan/atau
badan hukum asing secara kemitraan
c. Pemerintah daerah.