Anda di halaman 1dari 20

Laporan Problem Based Learning I

TROPICAL MEDICINE

Tutor : dr. Mustofa, M.Sc

Disusun Oleh :
Kelompok 9

G1A010101 ELMA LAENI BAROKAH


G1A010103 HAYIN NAILA N
G1A010103 YANITA GEA NURILLAH
G1A010104 IRFANI RYAN ARDIANSYAH
G1A010105 RIZKA AMALIA FULINDA
G1A010106 KHOIRUR RIJAL A
G1A010107 GRETTA AYUDHA
G1A010108 YESSY D. OKTAVIA
G1A009079 YANUAR FIRDAUS

KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO

2013
INFO 1
An. Cici usia 9 tahun dibawa ibunya ke RS dengan keluhan diare bercampur lendir
dan darah, keluhan ini dirasakan sejak 3 bulan yang lalu dan kambuh-kambuhan. BAB ± 3
kali sehari, konsistensi lembek, kurang lebih 3 sendok makan setiap BABnya. Karena
keluhan tersebut, anak ajdi sering tidak masuk sekolah. Menurut ibunya, ada beberapa teman
sepermainan An.Cici yang mengalami hal serupa. An. Cici dan teman-temannya tersebut
sering bermain dikebun belakang rumah tanpa menggunakan alas kaki dan jarang mencuci
tangan menggunakan sabun sebelum makan dan setelah BAB.
INFO 2
Anamnesis lanjutan didapatkan An. Cici sering terlihat lesu, tidak bergairah, dan
kurang konsentrasi belajar. Keluhan ini dirasakan sejak 6 bulan ini dan semakin berat
sehingga prestasi belajarnya menurun. An. Cici terlihat pucat dn tubuhnya lebih kecil
dibandingkan dengan anak lain seusianya, nafsu makannya menurun karena perutnya sering
terasa tidak nyaman. Menurut ibunya, sekitar 11 bulan yang lalu aAn, cici juga sering batuk
yang kambuh-kambuhan dan tidak sembuh dengan meminum obat batuk yang dibeli
diwarung. Ia juga sering mengeluhkan kakinya terasa gatal setiap habis bermain dikebun
tanpa alas kaki sejak 1 tahun yang lalu. An. Cici tidak pernah mengeluhkan demam, tidak ada
keringat dimalam haru, anusnya tidak seperti bunga kol, perutnya tidak membuncit dan tidak
pernah keluar cacing saat BAB.
Karena keterbatasa ekonomi, An.cici belum pernah dibawa untuk periksa dokter sebelumnya.
Anggota keluarga lain yang memiliki keluhan serupa ada yaitu sepupunya yang sering
bermain bersama dengannya dikebun belakang rumah An. Cici.
An. Cici tinggal didaerah perkampungan yang padat penduduk dan masyarakatnya belum
banyak yang memiliki jamban sehingga terbiasa BAB di kebun, halaman rumah, di sawah
atau sungai. Rumah keluarga An. Cici masih berlantaikan tanah dan tidak memiliki jamban
sendiri. Status ekonomi keluarganya yang kurang menyebabkan keluarganya kurang
memperhatikan kebersihan lingkungannya, kesehatan dan gizi keluarga.
INFO 3
Pemeriksaan Fisik
KU/kesadaran : tampak pucat dan kurus / compos mentis
Vital sign : TD 110/70
RR 24X/menit
N : 92x/menit
S : 36,7 C
BB : 23 kg
TB : 135 cm
Mata : CA (+/+), SI (-/-)
Mulut : bibir pucat (+), sianosis (-)
KGB : tidak teraba
Thorax : dalam batas normal
Abdomen : BU (+) N, supel, NT (+) disekitar umbilikus
Ekstremitas : tampak UKK makula, papula hiperemis di tungkai kanan dan kiri, kuku tangan
dan kaki tampak pucat, akral dingin(-)

A. Klarifikasi Istilah
1. Diare
Diare adalah keluarnya feses dengan konsistensi lembek atau cair sebanyak tiga kali atau
lebih dalam sehari, atau lebih sering daripada frekuensi yang biasanya (WHO, 2013).
2. Batuk
Batuk adalah refleks protektif yang disebabkan oleh iritasi pada percabangan
trakheobronkhial (Asih & Christantie, 2003). Refleks batuk sangat penting untuk
menjaga jalan nafas tetap tebuka (paten) dengan cara menyingkirkan hasil sekresi
lendir yang menumpuk pada jalan napas (Djojodibroto, 2009).

B. Batasan Masalah
Identitas pasien :
Nama : Cici
Usia : 9 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan utama : diare lendir disertai darah
Onset : 3 bulan
Kualitas : konsistensi lembek
Kuantitas : 3 kali sehari, 3 sendok makan
Progresifitas : kambuh-kambuhan
Gejala penyerta : -
Riwayat Penyakit Dahulu :-
Riwayat Penyakit Keluarga: -
Riwayat Sosial Ekonomi : sering bermain bersama teman dibelakang rumah tanpa
menggunakan alas kaki dan jarang mencuci tangan menggunakan sabun sebelum
makan dan setelah BAB.

C. Identifikasi Masalah
1. Etiologi diare berdarah dan diare tidak berdarah
2. Mekanisme terjadinya diare lendir dan darah
3. Mekanisme batuk
4. DD beserta alasan diagnosis

D. Analisis Masalah
1. Etiologi diare
Menurut World Gastroenterology Organization global guidelines 2005, etiologi
diare akut dibagi atas empat penyebab:
1. Bakteri : Shigella, Salmonella, E. Coli, Gol. Vibrio, Bacillus cereus, Clostridium
perfringens, Stafilokokus aureus, Campylobacter aeromonas
2. Virus : Rotavirus, Adenovirus, Norwalk virus, Coronavirus, Astrovirus
3. Parasit : Protozoa, Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Balantidium coli,
Trichuris trichiura, Cryptosporidium parvum, Strongyloides stercoralis
4. Non infeksi : malabsorpsi, keracunan makanan, alergi, gangguan motilitas,
imunodefisiensi, kesulitan makan, dll.
2. Mekanisme terjadinya diare lendir dan darah

Manusia terinfeksi cacing tambang dengan cara tidak sengaja menginjak


larva filariform dari tanah. Larva filariform kemudian menguraikan protease
sehingga mampu melubangi kulit di telapak kaki dan berpindah ke vena (Dhawan,
2012). Ketika parasit memasuki aliran darah, makrofag kurang mampu memerankan
fungsinya karena ukuran parasit yang terlalu besar. T helper 2 kemudian diproduksi
yang kemudian akan meningkatkan produksi CD 4+. CD 4+ akan menghasilkan dua
sitokin, yaitu IL-4 yang akan memicu pengeluaran IgE dan IL-5 yang akan memicu
perkembangan dan aktivasi eosinofil. Saat inilah pada darah akan terjadi eosinofilia
dan peningkatan IgE. Eosinofil lebih dominan berperan karena memiliki granul yang
lebih toksik dibandingkan dengan enzim proteolitik dan ROI (Reactive Oxygen
Intermediate) yang dimiliki neutrofil dan makrofag (Baratawidjaja et al., 2010). Dari
vena, cacing lalu mengikuti peredaran darah ke jantung dan sampai di paru, alveoli,
kemudian melalui gerakan mukosilia di bronkus parasit akan terbawa ke atas dan
timbullah respon batuk. Parasit yang dibatukkan akan tertelan dan masuk ke saluran
pencernaan (Dhawan, 2012).
Ketika parasit memasuki saluran cerna, pertama-tama dia akan
diserang oleh IgG, IgE, dan ADCC (Antibody Dependent Cell Cytotoxic). Terjadi
peningkatan produksi sitokin seperti IL-4, IL-5, IL-9, IL-10, dan IL-13 yang akan
meningkatkan proliferasi sel goblet. Produksi mukus akan meningkat yang akan
menyelubungi cacing yang akan dirusak. Sementara itu, terjadi pula aktivasi sel mast
oleh IgE yang kemudian berdegranulasi dan menghasilkan senyawa histamin,
prostaglandin, dan LTD 4 (Leukotrien 4). Histamin dan prostaglandin akan
menurunkan absorbsi Na+ yang tergantung glukosa. Sedangkan LTD 4 akan
meningkatkan gerakan usus dan menghasilkan spasme usus. Hal ini menyebabkan
diare yang berlendir (Baratawidjaja et al., 2010).
Cacing tambang sendiri memiliki beberapa mekanisme untuk mampu
bertahan hidup di dalam usus manusia. Untuk dapat menginvasi lapisan mukosa dan
submukosa usus, cacing dewasa melepas beberapa hidrolase seperti :
metalloprotease (MTP-2), cysteinylprotease (CP-1), aspartic protease (APR-1), dan
hyaluronidase. Enzim-enzim tersebut dikeluarkan bersamaan dengan pengeluaran
platelet inhibitor, terutama oleh ancylostoma dan beberapa inhibitor faktor koagulan
yaitu : nematode anticoagulant protein (NAP c2) yang akan menghambat keluarnya
faktor VII a dan NAP 5 yang menghambat pengeluaran faktor koagulan X a. Dengan
dikeluarkannya zat-zat tersebut, maka cacing dewasa akan mampu menghisap darah
dan menimbulkan perdarahan pada saluran cerna sehingga timbullah diare yang
mengandung lendir dan darah (Watson, 2012).
Ancylostoma menghisap darah sebesar 0,2 ml/hari dengan menggunakan
buccal capsule dan giginya yang runcing, sedangkan necator menghisap darah
dengan cutting plate sebesar 0,03 ml/hari. Jelas bahwa ancylostoma paling banyak
menyebabkan anemia dibandingkan necator. Anemia berat pada anak dapat
menyebabkan gangguan intelektual dan gangguan perkembangan. Selain menghisap
darah, cacing dewasa juga memakan protein yang terdapat di saluran cerna sehingga
dapat terjadi protein-losing enteropathy yang nantinya menyebabkan anak akan
rentan terhadap infeksi (Dhawan, 2012).
Peran eosinofil dalam infeksi parasit itu sendiri adalah mengeluarkan
protein kationik, myelin basic protein (MBP), dan zat neurotoksik yang akan
membunuh cacing. Makrofag dan sel-sel polimorfonuklear yang menempel lewat
IgG atau IgA juga akan menghasilkan superoksid, oksid nitrit, dan enzim yang pada
akhirnya juga akan membunuh cacing (Baratawidjaja et al., 2010).
3. Mekanisme batuk
Mekanisme terjadinya batuk dimulai dari terangsangnya bagian-bagian yang peka
pada saluran pernapasan. Rangsangan ditangkap oleh sensor taktil dan
kemoteseptor arefen melalui Nervus Vagus menuju pusat pernafasan (medulla
oblongata). Selanjutnya pusat pernapasan memerintahkan tubuh untuk melakukan
refleks batuk. Mekanisme terjadinya batuk terdiri dari 3 fase, yaitu (Somantri,
2007) :
a. Fase 1 (Inspirasi), paru memasukkan kurang lebih 2,5 liter udara, menutup
glotis oleh epiglotis, pita suara menutup, sehingga udara terjerat di dalam paru.
b. Fase 2 (Kompresi), otot-otot abdomen berkontraksi, diafragma naik dan
menekan paru, diikuti pula kontraksi interkostalis interna yang pada akhirnya
akan menyebabkan tekanan paru meningkat hingga 100 mmHg.
c. Fase 3 (Ekspirasi), ekspirasi yang kuat mendadak membuat epiglotis dan pita
suara terbuka yang menyebabkan udara dengan cepat melewati bronkus besar
dan trakea sehingga benda-benda asing terbawa keluar.
Secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut :
Benda asing

Reseptor batuk di carina

n. laryngeus superior

n. vagus

medulla oblongata

DRG 1

Inspirasi

Tekanan intrathorax meningkat

Ekspirasi

Glotis terbuka

Batuk

Bagan 1. Mekanisme Refleks Batuk

4. DD
a. Ankilostomiasis
Alasan diagnosis :
Dari anamnesis pada Info 1 dan Info 2, perjalanan penyakit sesuai
dengan perjalanan penyakit Ankilostomiasis. Kebiasaan sejak 1 tahun yang
lalu ketika An. Cici bermain di kebun tangoa alas kaki menjadi faktor
predisposisi dari larva stadium infektif cacing tambang (larva filariform) yang
akan menembus kulit, penetrasi dari larva akan menyebabkan rasa gatal.
Dalam beberapa jam, reaksi alergi terhadap cacing tambang atau produknya
akan menyebabkan pruritus, rash, papula eritematosus yang dapat menjadi
vesikel. Reaksi ini disebut sebagai “Ground Itch”. Larva infektif tersebut akan
menembus jaringan yang lebih dalam masuk ke aliran darah melewati jantung
dan ke paru, ketika keluar dari kapiler paru dan menuju alveoli paru, larva
dapat menyebabkan reaksi batuk. Ketika batuk, larva dapat tertelan dan masuk
ke dalam usus halus. Larva menjadi cacing dewasa dan melekatkan diri pada
mukosa usus halus dengan kapsul temporer kemudian berubah menjadi kapsul
permanen. Kemudian menghisap darah dari jaringan, tetapi lebih banyak darah
yang hilang akibat perdarahan di tempat perlekatan. Dan pada tempat
perlekatan sering mengakibatkan terbentuknya ulkus sehingga menyebabkan
rasa nyeri perut dan rasa terbakar. Gejala klinis yang sering terjadi bergantung
pada derajat infeksi, gangguan GIT yang biasanya muncul adalah anoreksia,
mual, muntah, nyeri di daerah sekitar usus halus, penurunan berat badan, dan
diare dengan feses yang bervariasi warnanya dari hitam sampai merah
bergantung pada banyaknya darah yang hilang (Rampengan, 2007).

b. Ascariasis
Definisi
Askariasis atau infeksi cacing gelang adalah penyakit ik yang disebabkan oleh
Ascaris lumbricoides. Askariasis adalah penyakit kedua terbanyak yang
disebabkan oleh parasit.
Penyebab
Ascaris lumbricoides.
Gambaran klinis
 Infeksi cacing gelang di usus besar gejalanya tidak jelas. Pada infeksi
masif dapat terjadi gangguan saluran cerna yang serius antara lain obstruksi
total saluran cerna. Cacing gelang dapat bermigrasi ke organ tubuh lainnya
misalnya saluran empedu dan menyumbat lumen sehingga berakibat fatal.
 Telur cacing menetas di usus menjadi larva yang kemudian menembus
dinding usus, masuk ke aliran darah lalu ke paru dan menimbulkan gejala
seperti batuk,bersin, demam, eosinofilia, dan pneumonitis askaris. Larva
menjadi cacing dewasa di usus dalam waktu 2 bulan.
 Cacing dewasa di usus akan menyebabkan gejala khas saluran cerna
seperti tidak napsu makan, mual dan muntah
 Bila cacing masuk ke salura n maka dapat menyebabkan obstruksi .
Bila menembus dapat menyebabkan infeksi berat, terutama pada anak dapat
terjadi malabsorbsi sehingga memperberat keadaan malnutrisi. Sering kali
infeksi ini baru diketahui setelahcacing keluar spontan bersama tinja atau
dimuntahkan.
 Bila cacing dalam jumlah besar menggumpal dalam usus dapat terjadi
obstruksi usus (ileus), yang merupakan kedaruratan dan penderita perlu
dirujuk ke rumah sakit.
Diagnosis
Diagnosis askariasis ditegakkan dengan menemukan Ascaris dewasa atau telur
Ascaris pada pemeriksaan tinja.

c. Trichuriasis
Trichuriasis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh T. trichiura
(cacing cambuk) yang hidup di usus besar manusia khususnya caecum yang
penularannya melalui tanah. Cacing ini tersebar di seluruh dunia,
prevalensinya paling tinggi berada di daerah panas dan lembab seperti di
negara tropis dan juga di daerah-daerah dengan sanitasi yang buruk, cacing
ini jarang dijumpai di daerah yang gersang, sangat panas atau sangat dingin.
Cacing ini merupakan penyebab infeksi cacing kedua terbanyak pada
manusia di daerah tropis (; Beaver dkk, 1984; Markell dkk, 1999).
Siklus hidup cacing ini langsung dan menjadi dewasa pada satu inang.
Cacing dewasa masuk ke mukosa caecum dan colon proximal manusia dan
dapat hidup di saluran pencernaan selama bertahun-tahun. Cacing betina
diperkirakan memproduksi lebih dari 1000 telur perhari. Telur yang keluar
melalui tinja menjadi infektif dalam waktu 10-14 hari (lebih kurang tiga
minggu) di tanah yang hangat dan lembab. Manusia mendapat infeksi karena
menelan telur infektif dari tanah yang mengkontaminasi tangan, makanan,
dan sayuran segar. Selanjutnya larva cacing tumbuh dan berkembang
menjadi dewasa dalam waktu 1-3 bulan setelah infeksi. Telur ditemukan
dalam tinja setelah 70-90 hari sejak terinfeksi (Beaver dkk, 1984; Strikland,
G.T. dkk, 2000).
Infeksi ringan pada manusia biasanya tanpa gejala. Kelainan patologi
disebabkan oleh cacing dewasa. Bila jumlah cacing cukup banyak dapat
menyebabkan colitis dan apendisitis akibat blokade lumen appendics. Infeksi
yang berat menyebabkan nyeri perut, tenesmus, diare berisi darah dan lendir
(disentri), anemia, prolapsus rektum, dan hipoproteinemia. Pada anak, cacing
ini dapat menyebabkan jari tabuh (clubbing fingers) akibat anemia dan
gangguan pertumbuhan (Tanaka dkk, 1980; Beaver dkk, 1984; Strikland,
G.T. dkk, 2000).
INFO 4
Pemeriksaan Laboratorium
Darah rutin :
Hb : 8 g/dl
Eritrosit : 4,2 juta/mm3
HJL : eosinofil 10, basofil 0, batang 3, segmen 60, limfosit 20, monosit 7
Trombosit : 252.000/mm3
Ht : 26%
Leukosit : 15.400/mm3

INFO 5
Hasil pemeriksaan tinja ditemukan gambaran sebagai berikut :

INFO 6
Dari pemeriksaan tinja juga ditemukan cacing dengan gambaran kepala seperti di bawah ini :
E. Menentukan Sasaran Belajar
1. Interpretasi pemeriksaan laboratorium
2. Metode pemeriksaan telur dan larva
3. Epidemiologi STH
4. Etiologi STH
5. Cara penularan STH
6. Faktor resiko STH
7. Pencegahan STH
8. Penegakan diagnosis STH
9. Patomekanisme STH
10. Penatalaksanaan STH
11. Prognosis STH

F. Jawaban Sasaran Belajar


1. Interpretasi pemeriksaan laboratorium

Interpretasi lab
Hb: rendah ---- normal Hb anak 10-16 g/dl
Eritrosit : normal
HJL :
Eosinofil tinggi ---- normal 1-4
Basofil  normal
Batang  normal
Segmen  normal
Limfosit  normal
Monosit  normal
Trombosit : normal
Ht: normal
Leukosit  tinggi ---- normal 4.000-12.000/mm3

2. Metode pemeriksaan telur dan larva


Pemeriksaan telur :
Pemeriksaan tinja metode apung
Bahan dan Alat
Bahan yang dipergunakan adalah air kran, garam dapur, dan tinja.
Alat-alat yang digunakan terdiri dari timbangan, botol kaca 60 ml,pipet, ember,
erlemeyer, densy meter, gelas ukur, spidol/label, mesin pengocok(mixer), vaccum
pump, baki, mesin hitung (counter), lemari es, timer, alathitung kaca universal
(Whitlock glass), dan mikroskop .
Prosedur
1. Larutan garam jenuh
Sediakan erlemeyer volume 2 liter, kemudian isi dengan air sebanyak 1liter,
selanjutnya masukkan garam dapur sebanyak 400 gram dan aduk sampailarut dan
mencapai titik jenuh yang diinginkan yaitu BJ 1,2 ; dengan cara diukur
menggunakan alat pengukur kejenuhan yang di sebut densy meter.
a. Sampel tinja
Timbang sampel tinja sebanyak 3 gram dalam botol kaca 60 ml dantambahkan air
keran sebanyak 17 ml sehingga volumenya menjadi 20 ml.Kemudian simpan
dalam lemari es pada suhu 4° C selama minimal 4 jam atausampai tinja menjadi
lunak. Selanjutnya tinja dihancurkan menggunakan mesinpengocok (mixer)
sampai menyerupai larutan yang halus. Supaya larutan tinjatersebut sedikit lebih
jernih, dapat ditambahkan air keran sampai penuh dan diaduk, kemudian diamkan
selama 15 - 20 menit, lalu supernatannya dibuang dengan hati-hati dengan
menggunakan vaccum pump sampai pada batas volume awal, yaitu 20 ml.
b. Uji apung
Tambahkan larutan garam jenuh ke dalam larutan tinja sebanyak 40 ml sehingga
volume seluruhnya menjadi 60 ml. Larutan tinja tersebut diambil/disedot sambil
diaduk sampai merata/homogen menggunakan pipetkhusus yang pada bagian
ujungnya telah di pasang saringan dengan ukuran 250~L sesuai dengan ukuran
telur cacing terbesar dengan garis diameter melintang 130 - 200 p (THIENPONT
et al., 1979), sehingga sampah/kotoran dari larutan tinja tidak terbawa dan tidak
mengganggu pandangan pada waktu dilakukanpemeriksaan dan penghitungan
telur cacing. Larutan tinja yang diambil menggunakan pipet tersebut dengan cepat
dimasukkan ke dalam kamar alat hitung kaca Universal dari Whitlock yang
mempunyai 4 kamar hitung, masingmasing kamar mempunyai volume 0,5 ml;
kemudian diamkan selama 2-3 menit
agar semua telur cacing mengapung dipermukaan larutan .Periksa jenis telur
cacingnya dan hitung jumlah telur cacing dari setiapkelompok dan jenisnya yang
berlainan seperti kelompok Strongyles (terdiri dariHaemonchus sp., Cooperia sp.,
Oesophagostomum sp., Trichostrongylus sp.,Bunostomum sp.), kelompok
Strongyloides dan kelompok yang lainnya seperti Trichuris sp., Capillaria sp.,
Ascaris sp. dan Moniezia sp. Identifikasi dan penghitungan telur cacing
Semua jenis telur cacing di identifikasi berdasarkan pedoman ManualMAFF
(ANONYMOUS, 1978), THIENPONT et al. (1979) dan SOULSBY (1982).
Setelah semua telur cacing yang ada dalam 4 kamar alat hitung kaca Universal
diperiksa dan dihitung jumlahnya untuk masing-masing kelompok, kemudian
dikalikan 10 (sepuluh), maka hasil yang didapat adalah jumlah telur cacing dalam
satu gram tinja (tpg). Berdasarkan penghitungan menurut WHITLOCK (1948)
telur cacing yang terdapat pada 4 kamar hitung (n) dikalikan 10(tpg = n X 10)
(Gandahusada, 2006).

Pemeriksaan Larva :
Mencari larva dapat dilakukan ketika larva infeksif melakukan penetrasi di kulit.
Dari ujung ruam yang menjalar diambil dengan jarum untuk mendapatkan larva
cacing tambang tersebut (Siregar, 2005).

3. Definisi, Etiologi dan Epidemiologi STH

Soil Transmitted Helminths adalah sekelompok cacing parasit (kelas Nematoda)


yang dapat menyebabkan infeksi pada manusia melalui kontak dengan telur
ataupun
larva parasit itu sendiri yang berkembang di tanah yang lembab yang terdapat di
negara yang beriklim tropis maupun subtropis (Bethony,et al.2006)
Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) masih merupakan endemik di
banyak daerah di dunia, terutama di negara yang sedang berkembang dengan
sanitasi lingkungan dan kebersihan diri yang sangat kurang. Menurut WHO
(2002), Soil Transmitted Helminths yang paling sering menginfeksi manusia
adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, dan hookworm. Diperkirakan
sekitar 807 juta manusia di dunia terinfeksi Ascaris lumbricoides, sekitar 604 juta
menderita trikuriasis dan hookworm (A.duodenale dan N. americanus)
menginfeksi sekitar 576 juta manusia di seluruh dunia. Jumlah infeksi Soil
Transmitted Helminths sangat banyak di Asia Tenggara termasuk Indonesia.
Letak geografis Indonesia yang beriklim tropis sesuai untuk perkembangan
parasit. Geographical Information System (GIS) menyatakan distribusi Soil
Transmitted Helminths di Indonesia mencakup seluruh pulau yang ada di
Indonesia, dimana prevalensi tertinggi terdapat di Papua dan Sumatera Utar
dengan prevalensi antara 50% hingga 80% (Brooker, 2002). Daerah yang
panas,kelembaban tinggi dan sanitasi yang kurang, sangat menguntungkan bagi
Soil Transmitted Helminths (A.lumbricoides, T.trichiura, hookworm dan
S.stercoralis) untuk dapat melangsungkan siklus hidupnya. (Gandahusada,2006)
Sebagai parasit yang ditularkan melalui tanah, maka tidak menutup kemungkinan
Soil Transmitted Helminths mencemari tanaman melalui air tanah yang
digunakan dalam proses penyiraman. Penelitian pada air dan lumpur yang dipakai
untuk menyiram dan menanam sayuran di Bandung positif mengandung telur
A.lumbricoides, T.trichiura, dan hookworm. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan di Ghana, ditemukan telur A.lumbricoides dan T.trichiura pada
tanaman selada yaitu sekitar 1-6 telur per 100gr selada yang diperiksa. Tercatat,
selada yang disiram dengan air yang tercemar lebih tinggi kontaminasi Soil
Transmitted Helminths daripada sumber air irigasi yang menggunakan pipa.
(Amoah, Drechsel, Abaidoo, Henseler; 2007).

4. Cara penularan STH


Penularan STH dapat melalui 2 cara, yaitu :
a. Infeksi langsung
Penularan langsung dapat terjadi bila telur cacing dari tepi anal masuk ke
mulut tanpa pernah berkembang dulu di tanah, contohnya pada cacing
kremi (Oxyuris vermicularis) dan trikuriasis (Trichuris trichuria).
b. Larva yang menembus kulit
Penularan melalui kulit terjadi pada cacing tambang, ankilostomiasis dan
strongiloidiasis dimana telur terlebih dahulu menetas di tanah baru
kemudian larva yang sudah berkembang menginfeksi melalui kulit (Pohan,
2009).
5. Pencegahan STH
a. A.lumbricoides
Pencegahan dilakukan dengan memperbaiki cara dan sarana pembuangan
feses, mencegah kontaminasi tangan dan juga makanan dengan tanah yait
dengan cara cuci bersih sebelum makan, mencuci sayur-sayuran dan buah-
buahan dengan baik, menghindari pemakaian feses sebagai pupuk dan
mengobati penderita (Anonim, 2008).
b. N.americanus dan A.duodenale
Pencegahan dapat dilakukan dengan memutus rantai lingkaran hidup cacing
dengan cara : terhadap sumber infeksi dengan mengobati penderita,
memperbaiki cara dan sarana pembuangan feses dan memakai alas kaki.
c. T.trichiura
Pencegahan dilakukan dengan memperbaiki cara dan sarana pembuangan
feses, mencegah kontaminasi tangan dan juga makanan dengan tanah dengan
cara cuci bersih sebelum makan, mencuci dan memasak sayur-sayuran dengan
baik, menghindari pemakaian feses sebagai pupuk dan mengobati
penderita(Agustin D., 2008).
6. Penegakan diagnosis STH
Untuk kepentingan diagnosis infeksi cacing tambang dapat dilakukan secara klinis
dan epidemiologis. Secara klinis dengan mengamati gejala klinis yang terjadi pada
penderita sementara secara epidemiologis didasarkan atas berbagai catatan dan
informasi terkait dengan kejadian infeksi pada area yang sama dengan tempat
tinggal penderita periode sebelumnya. Pemeriksaan penunjang saat awal infeksi
(fase migrasi larva) mendapatkan: a) eosinofilia (1.000-4.000 sel/ml), b) feses
normal, c) infiltrat patchy pada foto toraks dan d) peningkatan kadar IgE.
Pemeriksaan feses basah dengan fiksasi formalin 10% dilakukan secara langsung
dengan mikroskop cahaya. Pemeriksaan initidak dapat membedakan N.
Americanus dan A. duodenale. Pemeriksaan yang dapatmembedakan kedua
spesies ini ialah dengan faecal smear pada filter paper stripHarada-Mori. Kadang-
kadang perlu dibedakan secara mikroskopis antara infeksi larva rhabditiform (L2)
cacing tambang dengan larva cacing strongyloides stercoralis.
Diagnosis pasti penyakit ini adalah dengan ditemukannya telur cacing tambang di
dalam tinja pasien. Selain tinja, larva juga bisa ditemukan dalam sputum. Kadang-
kadang terdapat darah dalam tinja (Gandahusada, 2006).

7. Penatalaksanaan STH
Non medikamentosa
a. Putuskan rantai daur hidup cacing
b. Defekasi di jamban yang layak
c. Jaga kebersihan dan cukup air di jamban serta kamar mandi
d. Cuci tangan secara teratur
e. Penyuluhan kepada masa tentang sanitasi lingkungan yang baik dan cara
menghindari infeksi cacing
f. Menghindari daerah kumuh di perkotaan
g. Hindari defekasi di kebun, sungai, ladang
h. Hindari penggunaan tinja yang mengandung telur hidup untuk pupuk sayuran
i. Pakai alas kaki ketika mengolah tanah untuk pertanian, perkebunan,
pertambangan
j. Biasakan cuci tangan sebelum dan sesudah makan, pegang makanan, sebelum
dan sesudah BAB (gunakan sabun dan bersihkan bagian kuku yang kotor)
k. Biasakan gunting kuku teratur setiap minggu
l. Jangan menghisap kuku/jempol
m. Jangan biasakan anak bermain di tanah
n. Jangan makan makanan yang tidak tertutup atau telah dipegang oleh banyak
orang
o. Periksakan diri secara rutin ke puskesma pada daerah endemik
p. Cuci sayuran hingga bersih sebelum dimasak/makan

Medikamentosa
a. Albendazol (400mg dosis tunggal)
b. Mebendazol (500mg dosis tunggal/ 2x100mg 3hari berturut-turut
c. Levimisole
d. Pirantel pamoat
e. Sulfas ferosus 2x100mg

8. Prognosis STH
Dengan pengobatan yang adekuat walaupun sudah terjadi komplikasi, prognosis
baik (Gandahusada, 2006).

INFO 7
Diagnosis :
- Infeksi cacing tambang
- Anemia
Penatalaksanaan :
- Albendazole 400 mg dosis tunggal
- Thiabendazole topikal
- Ferro sulfat 1x100 mg/hari selama 1-2 bulan

Edukasi :
1. Pendidikan kesehatan, sehingga ibu bisa mengerti bagaimana penyakit ini bisa terjadi
dan melarang anaknya bermain/berjalan pada tanah yang tercemar.
2. Membuat jamban yang sehat dan penggunaan yang baik.
3. Menggunakan alas kaki.
4. Menggunting kuku.
5. Mencuci tangan sebelum makan.
6. Makan jangan di lantai.
7. Tanah dapat dibersihkan dari larva dengan pemberian garam dapur.
8. Diet tinggi protein dan kaya zat besi.
DAFTAR PUSTAKA

Rampengan, T. H. 2007. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak. Jakarta : EGC.

Asih, Niluh Gede Yasmin, Christantie Effendy. 2003. Keperawatan Medikal Bedah : Klien
dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta : EGC.

Baratawidjaja, Karnen Garna., Iris Rengganis. 2010. Imunologi Dasar Edisi Ke-9. Jakarta :
Balai Penerbit FK UI.

Dhawan, Vinod K. 2012. Ancylostoma Infection. (Online).


http://emedicine.medscape.com/article/996361-overview#a0104. Diakses pada 3
September 2013.

Djojodibroto, R. Darmanto. 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta : EGC.

Gandahusada, S., Herry D.I, Wita Pribadi, 2006, Parasitologi Kedokteran, Cetakan ke-VI,
FKUI, Jakarta.

Isaulauri E. Probiotics for Infectious Diarrhoea. Gut 2003; 52: 436-7.

Natadisastra D & Agoes R. 2005. Parasitologi Kedokteran. Jakarta: EGC.

Pohan, Herdiman T. 2009. Penyakit Cacing yang Ditularkan Melalui Tanah dalam Ilmu
Penyakit Dalam Jilid 3. Jakarta : Interna Publishing.

Siregar, R.S. 2005. Atlas Berwarna. Saripati Penyakit Kulit. Jakarta : EGC.

Somantri, Irman. 2007. Keperawatan Medikal Bedah : Asuhan Keperawatan pada Pasien
dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta : Salemba Medika.

Watson, Christopher M. 2012. Pediatric Hookworm Infection. (Online).


http://emedicine.medscape.com/article/998401-overview#a0104. Diakses pada 3
September 2013.

World Health Organization. 2013. Diarrhoea. (Online)


http://www.who.int/topics/diarrhoea/en/. Diakses pada 2 September 2013.

Anda mungkin juga menyukai