Anda di halaman 1dari 2

Nama : Lingga Prasetya Jum’at, 3 April 2020

Kelas : XI IPS 4

Diary Sejarah
Hallo kawan perkenalkan namaku Muhammad Shahab, aku lahir di Bonjol, Pasaman,
Sumatra Barat pada tahun 1772, gileee udah lama banget kan hehe. Apa, kenapa, gimana gak
kenal saya? Aduh kalian kurang baca baca berarti. Yaudah aku kasih tau, aku itu Imam
Bonjol kawan. Gimana pada kenal kan? Pasti kenal lah….

Oh ya kawan aku mau cerita tentang hidupku nih. Aku ini adalah putra dari pasangan
Bayanuddin Shahab dan Hamatum. Ayahku ini seorang alim ulama yang berasal dari Sungai
Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota. Dan aku sebagai anak yang berbakti dan penurut,
akhirnya mengikuti jejak ayahku sebagai alim ulama. Sebagai alim ulama dan aku pun
menjadi pemimpin masyarakat didaerahku, aku memperoleh beberapa gelar. Bukannya
sombong nich, aku sebutin ya yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan yang terakhir paling dikenal
yakni Tuanku Imam. Lalu aku ditunjuk sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum paderi di
Bonjol oleh Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam yaitu salah seorang pemimpin dari
Harimau nan Salapan. Dari situlah aku lebih dikenal masyarakat dengan sebutan Tuanku
Imam Bonjol. Kalian tau kaum paderi? Enggak? Oke aku kasih tau nih. Kaum paderi adalah
kelmpok penganut agama Islam yang menginginkan pelaksanaan hukum Islam secara
menyeluruh di kerajaan Pagaruyung. Keterlibatan aku sendiri dalam perang padri bermula
saat aku dipercaya untuk menjadi pemimpin sekaligus panglima perang setelah Tuanku nan
Renceh meninggal dunia.

Oke kawan kita lanjut, dengan ditunjuknya sebagai seorang pemimpin, maka sekarang
komando kaum paderi ada di tanganku. Aduh kurang keren apa lagi aku ini kawan, hehe..
sebagai pemimpin juga aku harus mewujudkan cita-cita yang diimpikan oleh pemimpin
Kaum paderi sebelumnya walaupun harus berperang. Perang kaumku ini kaum padri muncul
sebagai sarana kaum padri/kaum ulama dalam menentang perbuatan tidak sesuai dengan
ajaran Islam yang marak waktu itu dikalangan kaum adat. Tidak ada kata sepakat dari kaum
adat yang telah memeluk islam untuk meninggalkan kebiasaan tersebut sehingga memicu
kemarahan kaumku, lalu pecahlah peperangan pada tahun 1803. Perang ini dapat dibilang
juga sebagai perang saudara kawan, mengapa? Karena perang ini itu melibatkan sesama
Minang dan Mandailing. Singkat cerita kaumku hampir menang nih lawan kaum adat, tapi
ketika kaum adat terdesak dia malah minta bantuan ke Belanda pada tahun 1821 yang justru
memperumit keadaan. Ah dasar mainnya minta bantuan kek anak kecil aja yang lagi
berantem kalah terus ngadu ke bapaknya, hehe.. Dalam hal ini, kompeni melibatkan diri
dalam perang karena di undang oleh kaum adat. Tapi tenang kawan aku dan pasukanku
pantang menyerah, perlawanan yang dilakukan pasukanku cukup tangguh sehingga sangat
menyulitkan Belanda untuk mengalahkannya. Oleh sebab itu, Belanda mengajakku untuk
berdamai dengan maklumat perjanjian Masang pada tahun 1824. Hal ini disetujui olehku,
karna sebebarnya aku kurang suka dengan peperangan. Tetapi belanda malah mengkhianati
perjanjian itu dengan melanggarnya dia malahan menyerang nagari pandai sikek.

Namun sejak awal tahun 1833, perang berubah menjadi perang antara kaum adat dan
kaumku kaum padri melawan Belanda. Cieee akhirnya kita bersatu kawan. Kedua kaum
tersebut saling membantu satu sama lain untuk melawan Belanda. Kita bersatu itu karena
kaum adat telah sadar dengan mengundang belanda kedalam konfik malah akan lebih
menyengsarakan masyarakat Minang itu sendiri. Perang pun dimulai dengan penyerangan
dan pengepungan benteng kaumku di Bonjol oleh Belanda tetapi dengan tentara sebagian
besar adalah bangsa pribumi, selama sekitar enam bulan. Dari Batavia didatangkan terus
tambahan kekuatan tentara mereka, maka Belanda mulai melanjutkan kembali pengepungan.
Dan pada masa-masa selanjutnya kedudukanku bertambah sulit, namun aku masih tak ingin
untuk menyerah pada mereka. Sehingga setelah beberapa kali Belanda mengganti komandan
perangnya untuk merebut bonjol, barulah pada tanggal 16 agustus 1837 benteng bonjol dapat
dikuasai setelah sekian lama dikepung mereka. Aku pun menyerah kepada Belanda pada
oktober 1837 (sebenarnya aku bukan menyerah pada belanda kawan, aku hanya rela
diasingkan daripada harus berkhianat pada bangsaku). Lalu aku dibuang ke Cianjur, Jawa
Barat. Kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotta, Minahasa, dekat Manado.
Aku wafat ditempat aku terakhir diasingkan yaitu di Lotta pada 8 November 1864 dan aku
dimakamkam disana. Terimakasih kawan telah membaca dan menyimak ceritaku ini.

(PERLAWANAN IMAM BONJOL)

Anda mungkin juga menyukai