Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

KAIDAH FIQIH DALAM AKAD BAI’U ATAU JUAL BELI

Disusun guna memenuh tugas semester pendek :


Mata Kuliah : Qawaid Fiqiyah Muamalah
Dosen Pengampu : Dr.Hj.Neni Nuraeni, M.Ag

Disusun oleh:
Amir Nuruddin (1183020015)

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH (MUAMALAH)


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kami haturkan kepada Allah Swt yang telah
memberikan kekuatan kepada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah ini
tanpa halangan suatu apapun.
Penulis telah berupaya menyusun makalah ini semaksimal mungkin
dengan bantuan dari berbagai pihak. Penulis menyadari adanya banyak
kekurangan dan kelemahan dalam makalah ini. Maka, masukan berupa saran dan
kritik pembaca sangat diharapkan bagi kesempurnaan makalah ini.

Cirebon, 14 Agustus 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
KATA PENGANTAR...................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................. 1
C. Tujuan Makalah.................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Bai’u/ jual beli....................................................................
B. Dasar Hukum Bai’u/ jual beli...............................................................
C. Hukum Bai’u/ jual beli.........................................................................
D. Kaidah-Kaidah Bai’u/ jual beli Dalam Muamalah...............................
E. Penerapan Kaidah Bai’u Dalam Muamalah.........................................
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan...........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama Islam mengatur setiap segi kehidupan umatnya. Mengatur
hubungan seorang hamba dengan Tuhannya yang biasa disebut dengan muamalah
ma’allah dan mengatur pula hubungan dengan sesamanya yang biasa disebut
dengan muamalah ma’annas. Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari, setiap
muslim pasti melaksanakan suatu transaksi yang biasa disebut dengan Bai’u
(perdagangan). Si penjual menjual barangnya, dan si pembeli membelinya dengan
menukarkan barang itu dengan sejumlah uang yang telah disepakati oleh kedua
belah pihak.
Jual beli merupakan akad yang umum digunakan oleh masyarakat, karena
dalam setiap pemenuhan kebutuhannya, masyarakat tidak bisa berpaling untuk
meninggalkan akad ini. Untuk mendapatkan makanan dan minuman misalnya,
terkadang ia tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan itu dengan sendirinya, tapi
akan membutuhkan dan berhubungan dengan orang lain, sehingga kemungkinan
besar akan terbentuk akad jual beli.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka perumusan masalah yang
dikaji dalam makalah ini adalah:
1. Apa pengertian bai’u/ jual beli?
2. Apa dasar hukum bai’u/ jual beli?
3. Bagaimana hukum bai’u/ jual beli?
4. Apa saja kaidah-kaidah bai’u/ jual beli?
5. Bagaimana penerapan kaidah bai’u/ jual beli?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengertian dan dasar hukum bai’u/jual beli
2. Untuk mengetahui kaidah dan penerapan kaidah bai’u/jual beli

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Bai’u / Jual Beli


Jual beli atau perdagangan dalam istilah fiqh disebut al-ba’i yang menurut
etimologi berarti menjual atau mengganti. Wahbah al-Zuhaily mengartikan secara
bahasa dengan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Kata al-Ba’i dalam
Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yaitu kata al-Syira
(beli).Dengan demikian, kata al-ba’i berarti jual, tetapi sekalius juga berarti beli.
Secara terminologi, terdapat beberapa definisi jual beli yang masing
definisi sama.1
Sebagian ulama lain memberi pengertian :
1. Ulama Sayyid Sabiq
Ia mendefinisikan bahwa jual beli ialah pertukaran harta dengan harta
atas dasar saling merelakan atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat
dibenarkan. Dalam definisi tersebut harta dan, milik, dengan ganti dan dapat
dibenarkan.Yang dimaksud harta harta dalam definisi diatas yaitu segala yang
dimiliki dan bermanfaat, maka dikecualikan yang bukan milik dan tidak
bermanfaat.Yang dimaksud dengan ganti agar dapat dibedakan dengan hibah
(pemberian), sedangkan yang dimaksud dapat dibenarkan (ma’dzun fih) agar
dapat dibedakan dengan jual beli yang terlarang.  2

2. Ulama hanafiyah
Ia mendefinisikan bahwa jual beli adalah saling tukar harta dengan
harta lain melalui Cara yang khusus. Yang dimaksud ulama hanafiyah dengan
kata-kata tersebut adalah melalui ijab qabul, atau juga boleh melalui saling
memberikan barang dan harga dari penjual dan pembeli.3
3. Ulama Ibn Qudamah
Menurutnya jual beli adalah saling menukar harta dengan harta dalam
bentuk pemindahan milik dan pemilikan.Dalam definisi ini ditekankan kata

1 Abdul Aziz, Fqh Muamalat Sstem Transaksi Dalam Islam, Amzah, Jakarta, 2010, hlm 69
2 Ibid.
3 Ibid.

2
milik dan pemilikan, karena ada juga tukar menukar harta yang sifatnya tidak
haus dimiliki seperti sewa menyewa.4
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa jual beli ialah
suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai
secara ridha di antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda
dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang
telah dibenarkan syara’ dan disepakati.Inti dari beberapa pengertian tersebut
mempunyai kesamaan dan mengandunghal-hal antara lain :
a. Jual beli dilakukan oleh 2 orang (2 sisi) yang saling melakukan tukar
menukar.
b. Tukar menukar tersebut atas suatu barang atau sesuatu yang dihukumi
seperti barang, yakni kemanfaatan dari kedua belah pihak.
c. Sesuatu yang tidak berupa barang/harta atau yang dihukumi sepertinya
tidak sah untuk diperjualbelikan.
d. Tukar menukar tersebut hukumnya tetap berlaku, yakni kedua belah
pihak memilikisesuatu yang diserahkan kepadanya dengan adanya
ketetapan jual beli dengan kepemilikan abadi.5

B. Dasar Hukum Bai’u/ Jual Beli


Jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama umat manusia
mempunyai landasan yang kuat dalam al-quran dan sunah Rasulullah saw.
Terdapat beberapa ayat al-quran dan sunah Rasulullah saw, yang berbicara
tentang jual beli, antara lain :6
1. Al-Qur’an

 Allah berfirman dalam Q. S. Al-Baqarah ayat 275 :

4 Ibid.
5 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2007, hlm 111
6 Suhendi Hendi, Fiqh Muamalah, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm 78

3
Yang artinya:”Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila)
Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama
dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Barang siapa mendapat peringatan dari Rabbnya
lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperoleh dahulu menjadi
miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barang siapa
mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di
dalamnya.”7
 Allah berfirman dalam Q. S. Al-Baqarah ayat 198 :
Yang Artinya :”Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki
hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari
A’rafat, berdzkirlah kepada Allah dari Masy’arilharam. Dan
berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukan –
Nya kepadamu; dan seseungguhnya kamu sebelum itu benar-benar
termasuk orang yang sesat.” 8
 Allah berfirman dalam Q. S. An-Nisa ayat 29:

Yang artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling


memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali denga suka

7 Ibid.
8 Ibid. hlm 79

4
sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu;
sesungguhnya Allah adalah maha penyayang kepadamu.”9
2. Al-Hadits
Dasar hukum jual beli dalam sunnah Rasulullah saw, diantaranya
adalah:
 Hadits dari Rifa’ah ibn Rafi’ bahwa :
Rasulullah saw ditanya salah seorang sahabat mengenai pekerjaan
(profesi) apa yang baik. Rasulullah ketika itu menjawab; Usaha tangan
manusia sendiri dan setiap jual beli yang diberkati.10
 Hadits riwayat at-Tirmidzi
“Pedagang yang jujur dan terpercaya itu sejajar (tempatnya di surga)
dengan para Nabi, para siddqin, dan para syuhada.”11

C. Hukum Bai’u/ Jual Beli


Dari kandungan ayat-ayat Al-quran dan sabda-sabda Rasul di atas, para
ulama fiqh mengatakan bahwa hukum asal dari jual beli yaitu mubah
(boleh).Akan tetapi, pada situasi-situasi tertentu.Menurut Imam al-Syathibi (w.
790 h), pakar fiqh Maliki, hukumnya boleh berubah menjadi wajib.Imam al-
Syathibi memberi contoh ketika terjadi praktik ihtikar (penimbunan barang
sehingga stok hilang dari pasar dan harga melonjak naik).Apabila seorang
melakukan ihtikar dan mengakibatkan melonjaknya harga barang yang ditimbun
dan disimpan itu, maka menurutnya, pihak pemerintah boleh memaksa pedagang
untuk menjual barangnya itu sesuai dengan harga sebelum terjadinya pelonjakan
harga.12
Dalam hal ini menurutnya, pedagang itu wajib menjual barangnya sesuai
dengan ketentuan pemerintah. Hal ini sama prinsipnya dengan al-Syathibi bahwa
yang mubah itu apabila ditinggalkan secara total , maka hukumnya boleh menjadi
wajib. Apabila sekelompok pedagang besar melakukan boikot tidak mau menjual

9 Ibid.
10 Ibid. hlm 81
11 Ibid.
12Nasrun Haroen , Op Cit., hlm 114

5
beras lagi, pihak pemerintah boleh memaksa mereka untuk berdagang beras dan
pedagang ini wajib melaksanakannya .demikian pula, pada kondisi-kondisi
lainnya.13

D. Kaidah-Kaidah Bai’u / Jual Beli


1. Kaidah pertama tentang riba.
Al Qur`an, hadits dan ijma ulama Islam telah menetapkan haramnya
riba. Ketetapan ini bersesuaian dengan asas keadilan dan qiyas (analogi) yang
shahih. Yang dimaksud dengan riba adalah, setiap tambahan yang ada dalam
barang-barang tertentu. Riba terbagi menjadi tiga. Yaitu: riba fadhl, riba
nasiah dan riba al qordh.14
a. Bila jual beli dalam satu jenis barang (jenis, macam dan illahnya sama)
yang berkategori riba, maka diharamkan tafadhul (tambahan atau selisih
jumlah barang) dan nasi-ah (menunda penyerahan barang). Misalnya,
kurma dengan kurma, maka harus sama jumlahnya dan tidak boleh nasi-
ah.15
b. Bila dalam dua jenis yang serupa illah riba fadhlnya (misal, kurma dan
gandum illahnya sama, yaitu timbangan atau takaran dan makanan),
maka diharamkan nasi-ah dan dibolehkan terjadinya tafadhul. Misal,
kurma 2 kg dengan gandum 1 kg, emas 10 gr dengan perak 30 gr. Hal ini
boleh tafadhul, tapi dilarang nasi-ah.16
c. Bila di antara dua jenis berbeda yang masih dalam kategori riba yang
tidak serupa illahnya (jenisnya berbeda tapi masih dalam jenis barang
yang masuk dalam kategori riba), maka boleh tafadhul dan nasi-ah.
Misal, kurma dengan emas. Illah kurma takaran dan makanan, illah emas
karena emas barang yang sangat bernilai.17

13 Ibid.
14 Ahmad Djazuli, Qaidah-Qaidah Fikih,Kencana, Jakarta, 2007, hlm 98-102
15 Ibid.
16 Ibid.
17 Ibid.

6
d. Bila di antara barang yang tidak dalam kategori riba (baik salah satunya
atau keduanya), maka boleh nasi-ah dan tafadhul. Semisal, emas dengan
pakaian, atau pakain dengan buku.18
2. Kaidah kedua tentang haramnya mu’amalah yang mengarah Kepada tipu daya
dan bahaya Al Qur`an, as Sunnah dan kaum Muslimin sepakat tentang
haramnya judi.
Yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum)
khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah,
adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-
perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu
bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu
dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat;
maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”.[Q.S. Al- Maidah :
90-91]19
3. Kaidah ketiga tentang jual beli berupa penipuan
Transaksi model ini diharamkan di dalam Kitabullah, Hadits dan Ijma
ulama. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Barangsiapa yang
berbuat tipu muslihat, maka ia bukan dari golongan kami.” Tipu muslihat
yang dimaksud, yaitu mencakup segala jenis mu’amalah, baik dalam
perdagangan, musyarokah (syarikat) dan sebagainya. Baik dengan cara
penyamaran atau dengan menyembunyikan kondisi barang yang sebenarnya,
ia poles luarnya sehingga menjadi kelihatan baik dan bagus, padahal di
dalamnya atau barang lainnya penuh dengan cacat.20
4. Kaidah ke empat tentang ridha syar’i dari kedua belah pihak
Kaidah ini berlandaskan al Qur`an, Sunnah dan Ijma’ ulama. Kaidah
ini berlaku dalam segala jenis, baik dalam akad transaksi jual beli, sewa-
menyewa, musyarokah, hadiah, wakaf, dan sebagainya. Ridha seseorang
dapat diketahui melalui perkataannya, atau segala sesuatu yang
mengisyaratkan sikap ridhanya, baik lisan ataupun tindakan.

18 Ibid.
19 Ibid.
20 Ibid.

7
Kata ridha diiringi dengan sifat syar’i. Tujuannya, dimaksudkan untuk
meniadakan ridha anak kecil, orang dungu, orang gila dan orang-orang yang
tidak dibebani dengan kewajiban hukum. Karena ridha mereka tidak berarti,
dan setiap transaksi mereka diwakilkan oleh walinya. Penting untuk
diketahui, bahwa ridha yang dianggap benar dan sah dari kedua belah pihak
yang bertransaksi, harus bersesuaian dengan syari’at. Bila syari’at melarang
transaksi tersebut, maka tetap haram walaupun manusia meridhainya.21
5. Kaidah ke lima akad harus berasal dari pemilik barang, pemilik hak atau
wakilnya.
Kaidah ini berdasarkan dalil al Qur`an, Sunnah dan Ijma’ serta Qias
yang shahih untuk berlaku adil. Pemilik barang atau jasa dan wakilnya,
merekalah yang berhak untuk menentukan segalanya, baik untuk meneruskan
transaksi atau membatalkannya. Atas dasar itu, seseorang yang ingin menjual
barang, meminjamkan, menghadiahkan, mewasiatkan, mewakafkan, atau
menggadaikannya dan sebagainya, tetapi dia bukan sebagai pemiliknya, maka
mu’amalah tersebut tidak sah, sampai mendapatkan ia izin dari pemiliknya.
Masih berkaitan dengan kaidah ini, seseorang tidak berwenang dengan barang
yang belum sempurna akad transaksinya, sampai ia telah resmi menjadi
pemilik barang tersebut, baik dengan meletakkan barang di rumahnya atau
dalam genggaman tangannya, dan tanda kepemilikan lainnya. 22

E. Penerapan Kaidah Dalam Muamalah


1. Masalah zakat barang yang ingin dijual
Ada banyak barang yang dimiliki oleh seseorang, selain emas dan
perak. Salah satu diantara aturan zakat adalah adanya zakat barang dagangan.
Dan barang dagangan wajib dizakati, sejak dia diniatkan untuk dijual. Jika
barang tidak ada keinginn untuk dijual, tidak wajib dizakati.

21 Ibid.
22 Ibid.

8
Misalnya, orang beli rumah untuk dihuni, maka rumah ini tidak wajib
dizakati. Berbeda dengan orang yang beli rumah dengan rencana, akan dijual
lagi jikalaku lebih tinggi. Maka jika memenuhi haul, rumah ini wajib
dizakati.23
2. Jual beli benda yang berpotensi untuk digunakan maksiat
Seperti pisau untuk membunuh, racu tikus untuk meracuni orang, lem
aibon untuk bikin teller, dst. Jika penjual tidak tahu, barang yang dia jual
akan digunakan pembeli untuk maksiat maka jual belinya halal dan jika
penjual tahu, barang yang dia jual akan digunakan pembeli untuk maksiat
maka jual belinya tidak sah.24
3. Orang yang meletakkan barang di tempat orang lain ada beberapa
kemungkinan. Bisa karena dia ingin memberi sedekah atau hadiah. Atau
ditaruh sebatas dititipkan, karena dia buru-buru sehingga tidak sempat
meninggalkan pesan. Yang menentukan adalah niat dari orang yang
meletakkannya.25
4. Menemukan barang hilang (luqathah)
Orang yang mengambil barang hilang dengan niat untuk dimiliki
pribadi maka statusnya ghasab (menguasai harta orang lain tanpa izin).
Sehingga ketika barang hilang atau rusak, dia wajib ganti rugi. Sementara
orang yang mengambil barang hilang dengan niat untuk diumumkan dan
dikembalikan ke pemilik maka statusnya orang yang amanah. Sehingga jika
barang hilang atau rusak, dia tidak wajib ganti rugi.26

23 Toha Andiko, Ilmu Kaidah Fiqhiyah, Teras, Yogyakarta, 2011, hlm 110-113
24 Ibid.
25 Ibid.
26Ibid.

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa jual beli itu
diperbolehkan dalam Islam. Hal ini dikarenakan jual beli adalah sarana manusia
dalam mencukupi kebutuhan mereka, dan menjalin silaturahmi antara
mereka.Namun demikian, tidak semua jual beli diperbolehkan.Ada juga jual beli
yang dilarang karena tidak memenuhi rukun atau syarat jual beli yang sudah
disyariatkan. Rukun jual beli adalah adanya akad (ijab kabul), subjek akad dan
objek akad yang kesemuanya mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi, dan
itu semua telah dijelaskan di atas.Walaupun banyak perbedaan pendapat dari
kalangan ulama dalam menentukan rukun dan syarat jual beli, namun pada intinya
terdapat kesamaan, yang berbeda hanyalah perumusannya saja, tetapi inti dari
rukun dan syaratnya hampir sama.

10
DAFTAR PUSTAKA

Aziz, Abdul. 2010. Fqh Muamalat Sstem Transaksi Dalam Islam.Jakarta: Amzah.
Djazuli, Ahmad. 2007. Qaidah-Qaidah Fikih. Jakarta: Kencana.
Haroen, Nasrun. 2007. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Hendi, Suhendi. 2010. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Andiko, Toha. 2011. Ilmu Kaidah Fiqhiyah. Yogyakarta: Teras.

Anda mungkin juga menyukai