Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

Pembangunan kesehatan pada hakekatnya adalah upaya yang dilaksanakan

oleh semua komponen Bangsa Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan

kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud

derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi

pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis.

Juga merupakan bagian dari pembangunan nasional yang bertujuan meningkatkan

kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud

derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Pembangunan kesehatan

tersebut merupakan upaya seluruh potensi bangsa Indonesia, baik masyarakat,

swasta maupun pemerintah. Keberhasilan pembangunan kesehatan sangat

ditentukan oleh kesinambungan antar upaya program dan sektor, serta

kesinambungan dengan upaya-upaya yang telah dilaksanakan oleh periode

sebelumnya.

Kesehatan beberapa kali dibahas di dalam UUD 1945, dimulai dari pasal

28 H ayat 1 tentang hak untuk memperoleh hidup yang baik dan sehat. Selain itu,

dalam UUD 1945 pasal 34 ayat 3 pemerintah bertanggung jawab atas penyediaan

fasilitas pelayanan kesehatan bagi seluruh warga Negara. Undang-Undang Nomor

36 Tahun 2009 tentang Kesehatan juga menjadi pondasi dasar dari regulasi

pelaksanaan layanan kesehatan di Indonesia. Dalam undang-undang tersebut

secara garis besar menyatakan bahwa setiap individu, keluarga, dan masyarakat

berhak memperoleh perlindungan terhadap kesehatannya dan negara bertanggung


1
jawab mengatur agar hak hidup sehat bagi seluruh penduduknya dapat terpenuhi

tanpa terkecuali.

Untuk menjamin tercapainya tujuan pembangunan kesehatan, diperlukan

dukungan dari Sistem Kesehatan Nasional (SKN) yang tercantum dalam

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2012. SKN berperan

besar sebagai acuan dalam penyusunan UU tentang Kesehatan, juga dalam

penyusunan berbagai kebijakan, pedoman dan arah pelaksanaan pembangunan

kesehatan. Supra Sistem SKN adalah Sistem Penyelenggaraan Negara, SKN

dengan berbagai Subsistem lainnya diarahkan untuk mencapai tujuan bangsa

Indonesia seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945.

Dalam SKN terdapat subsistem upaya kesehatan terdiri dari Upaya

Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP).

Penyelenggaraan pelayanan kesehaan di rumah sakit termasuk dalam UKP Strata

kedua dan ketiga yaitu yang mendayagunakan ilmu pengetahuan dan teknologi

kedokteran spesialistik dan subspesialistik.

2
BAB 2

PEMBAHASAN

Secara umum rumah sakit didefinisikan sebagai sebuah fasilitas kesehatan,

sebagai suatu entitas, yang terdiri dari fasilitas fisik dan fungsi pelayanan, yang

didirikan untuk memberikan pelayanan kesehatan perorangan dengan

menggunakan sumber daya yang tersedia (tenaga dan lainnya) secara efektif dan

efisien. Rumah sakit menyediakan pelayanan kesehatan 24 jam untuk memenuhi

kebutuhan penduduk yang tidak pasti (uncertainty), khususnya dalam waktu

pelayanan.

Dalam Sistem Kesehatan Nasional, rumah sakit dijabarkan sebagai

institusi (suatu kesatuan fungsi yang di dalam UUD 45 disebut fasilitas kesehatan)

yang memberikan pelayanan medis sekunder atau rujukan, baik yang sifatnya

relatif sederhana yaitu perawatan maupun pelayanan medis yang kompleks atau

sering disebut pelayanan tersier, seperti bedah jantung dan bedah otak.

Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan

pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan

rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Rumah Sakit mempunyai tugas

memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna. Untuk

menjalankan tugasnya, rumah sakit mempunyai fungsi (UU 44/2009 Tentang

Rumah Sakit):

1. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai

dengan standar pelayanan rumah sakit.

3
2. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan

kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan

medis.

3. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam

rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan.

4. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi

bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan

memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.

Dalam menyelenggarakan fungsinya, maka Rumah Sakit umum

menyelenggarakan kegiatan (UU 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit):

1. Pelayanan medis.

2. Pelayanan dan asuhan keperawatan.

3. Pelayanan penunjang medis dan nonmedis.

4. Pelayanan kesehatan kemasyarakatan dan rujukan.

5. Pendidikan, penelitian dan pengembangan.

6. Administrasi umum dan keuangan.

Rumah sakit diklasifikasikan berdasarkan berbagai kriteria sebagai berikut :

1. Berdasarkan kepemilikan, terdiri atas:

a. Rumah sakit pemerintah.

b. Rumah sakit swasta.

2. Berdasarkan jenis pelayanan, terdiri atas:

4
a. Rumah sakit umum.

b. Rumah sakit khusus.

3. Berdasarkan afiliasi pendidikan, terdiri atas:

a. Rumah sakit pendidikan.

b. Rumah sakit non pendidikan.

2.1 PERKEMBANGAN RUMAH SAKIT DI INDONESIA

Rumah sakit di Indonesia berkembang secara unik yang mungkin berbeda

dengan perkembangan rumah sakit di negara-negara lain. Di negara-negara Eropa

rumah sakit pada awalnya dikembangkan oleh kebersamaan masyarakat tanpa

campur tangan pemerintah. Setelah gagasan pembiayaan bersama muncul,

pemerintah ikut turut campur tetapi lebih kepada pengaturan mekanisme

pembiayaan bersama tersebut. Di Indonesia, pada awalnya rumah sakit didirikan

dan milik pemerintah Hindia Belanda yang merupakan lanjutan gagasan rumah

sakit militer. Sejak tahun 1919 perhatian pemerintah Hindia Belanda lebih kepada

upaya preventif dan promotif, sementara penyediaan rumah sakit diserahkan

kepada masyarakat dan kepada organisasi berlatar belakang agama lainnnya.

Kebijakan itu rencananya akan dilanjutkan oleh pemerintah RI. Pada tahun 1957,

Pemerintah RI mengambil alih Rumah Sakit dan bahkan Apotek. Sejak saat itu

pemerintah harus mengelola banyak rumah sakit dan juga membangun rumah

sakit baru di berbagai daerah. Perbedaan rumah sakit dan fasilitas pelayanan

kesehatan lainnya, biasanya pada jam pelayanan dimana rumah sakit umumnya

berfokus pada pelayananan rawat inap dan karenanya menyediakan pelayanan

5
selama 24 jam. Namun demikian, untuk menunjang kebutuhan pelayanan

kesehatan masyarakat di sekitarnya, rumah sakit dapat menyediakan pelayanan

rawat jalan.

2.2 ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI NASIONAL

Arah kebijakan dan strategi pembangunan kesehatan nasional dari tahun

2015-2019 merupakan bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang bidang

Kesehatan (RPJPK) 2005-2025, yang bertujuan meningkatkan kesadaran,

kemauan, kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat

kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud, melalui terciptanya

masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang ditandai oleh penduduknya yang

hidup dengan perilaku dan dalam lingkungan sehat, memiliki kemampuan untuk

menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu, secara adil dan merata, serta

memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya di seluruh wilayah Republik

lndonesia. Sasaran pembangunan kesehatan yang akan dicapai pada tahun 2025

yaitu, meningkatnya derajat kesehatan masyarakat yang ditunjukkan oleh

meningkatnya Umur Harapan Hidup, menurunnya Angka Kematian Bayi,

menurunnya Angka Kematian Ibu, menurunnya prevalensi gizi kurang pada

balita. Untuk mencapai tujuan dan sasaran pembangunan kesehatan, maka strategi

pembangunan kesehatan 2005- 2025 meliputi;

1) pembangunan nasional berwawasan kesehatan;

2) pemberdayaan masyarakat dan daerah;

3) pengembangan upaya dan pembiayaan kesehatan;

4) pengembangan dan dan pemberdayaan sumber daya manusia kesehatan; dan


6
5) penanggulangan keadaan darurat kesehatan.

2.3 KONDISI LAYANAN KESEHATAN TINGKAT LANJUT

2.3.1 Jumlah dan Distribusi

Dalam 7 tahun terakhir, yaitu dari tahun 2012-2018, jumlah rumah sakit

(RS) meningkat sekitar 35% dari 2.083 (2012) menjadi 2.822 (2018) atau sekitar

5% per tahun. Peningkatan jumlah RS swasta lebih banyak dibandingkan RS

pemerintah, dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 7% per tahun, sedangkan

pertumbuhan RS pemerintah hanya sebesar 2% per tahun. Walaupun demikian,

jumlah tempat tidur yang tersedia pada RS pemerintah (53%) lebih besar

dibandingkan RS swasta (SIRS Kemkes, Januari 2019). Ini mengindikasikan ada

potensi besar pada industri kesehatan di Indonesia yang membuat pihak swasta

tertarik terutama pada daerah perkotaan. Dengan demikian, peran pemerintah

perlu lebih besar pada daerah pedesaan dan DTPK. Apabila melihat dari sisi

regionalisasi sejak tahun 2012 terlihat adanya ketimpangan pertumbuhan rumah

sakit antar regional. Pertumbuhan rumah sakit yang paling besar ada di Pulau

Jawa. Sedangkan dari jenis pelayanan, terjadi pelambatan pertumbuhan jumlah

rumah sakit khusus dari 551 buah (2014) menjadi 578 (2017), dibandingkan

peningkatan pada rumah sakit umum dari 1.855 buah menjadi 2.198 buah di tahun

2017 (Kemenkes, 2018). Rumah sakit juga dikelompokkan berdasarkan fasilitas

dan kemampuan pelayanan menjadi Kelas A, Kelas B, Kelas C, dan Kelas D.

Pada tahun 2017, terdapat 3% RS Kelas A, 14% Kelas B, 48% RS Kelas C, 27%

RS Kelas D dan kelas D Pratama, dan 8% RS lainnya belum ditetapkan kelas.


7
Gambar 1. Perkembangan Jumlah Rumah Sakit
Pemerintah dan Swasta sejak tahun 2012-2018

Dalam konteks JKN, jumlah rumah sakit yang telah tergabung dengan BPJS

Kesehatan sekitar 86% atau ada 2419 dari 2822 rumah sakit (BPJS, 2018).

Dampak JKN terhadap rumah sakit swasta di antaranya: 1) Kapasitas fasilitas

rumah sakit swasta meningkat dan menawarkan lebih banyak layanan; 2) 81%

rumah sakit swasta melaporkan peningkatan rawat inap dan rawat jalan; 3)

Indikator keuangan menunjukkan pengeluaran out-ofpocket menurun secara

signifikan pada rumah sakit yang dikontrak BPJS-K.

8
Gambar 2. Perkembangan Rumah Sakit yang Tergabung
dengan BPJS Kesehatan, 2014-2018

2.3.2 Ketersediaan SDM.

Agar pemberian pelayanan kesehatan kepada masyarakat dapat berjalan dengan

baik, maka perlu ditentukan pola organisasi Rumah Sakit yang terdiri dari unsur-

unsur:

 Pimpinan

 Pembantu Pimpinan

 Tenaga Medis

9
 Tenaga Para Medis

 Tenaga Administratif

 Tenaga Penunjang Lainnya

Unsur-unsur ketenagaan tersebut ada yang sifatnya sebagai full timer, part timer,

konsulen maupun karyawan tetap. Mereka ini harus dapat bekerja sama, saling

bantu membantu demi kebaikan pasien sebagai penerima layanan kesehatan RS

serta upaya mencapai tujuan rumah sakit.

Total SDM Kesehatan di rumah sakit pada tahun 2017 adalah 665.826

orang yang terdiri dari 69% tenaga kesehatan dan 31% tenaga penunjang

kesehatan. Tenaga kesehatan terbesar adalah perawat sebesar 48%, sedangkan

yang terendah tenaga kesehatan tradisional sebesar 0,01%. Sedangkan jumlah

dokter spesialis ada sebanyak 55.924 orang, terdiri atas dokter spesialis dasar

(45%) dan yang terkecil dokter gigi spesialis (3%). Menurut jenis spesialisasinya,

dokter spesialis terbanyak adalah dokter spesialis obstetri dan ginekologi

sebanyak 7.512 orang (13%). Provinsi dengan jumlah dokter spesialis terbanyak

di Jawa Barat dan DKI Jakarta, sedangkan provinsi dengan jumlah dokter

spesialis paling sedikit adalah Kalimantan Utara dan Sulawesi Barat. Diperkirakan

ada 54% dari rumah sakit kabupaten/kota kelas C yang telah memiliki empat

dokter spesialis dasar dan tiga dokter spesialis penunjang.

2.3.3 Pengelolaan Limbah Medis

Cakupan Rumah Sakit yang telah melakukan pengelolaan limbah sesuai standar

terus meningkat dari 15% di tahun 2015 menjadi 17% (2016) dan terus meningkat

menjadi 22% di tahun 2017. Provinsi Lampung, DI Yogyakarta, dan Kalimantan


10
Utara merupakan provinsi pengelolaan limbah terbaik dengan proporsi antara

67% sampai 95%, sedangkan yang terendah berkisar antara 2% sampai 4%, yaitu

di Papua, Sulawesi Tengah, dan Jawa Timur. Kendala yang dihadapi dalam

pengelolaan limbah medis, seperti masih sedikitnya fasilitas pelayanan kesehatan

yang melakukan pengelolaan limbah medis sesuai standar, masih banyak fasilitas

pelayanan kesehatan yang menggunakan alat kesehatan yang bermerkuri, serta

hambatan teknis dan perizinan dalam pengolahan limbah medis.

2.3.4 Obat

Rencana Kebutuhan Obat (RKO) dan e-katalog mulai melibatkan RS sejak

dimulai penerapan kebijakan Kemkes dalam pengadaan obat menggunakan

Formularium Nasional, RKO dan e-katalog. Beberapa kebijakan efisiensi obat

berjalan, namun masih terjadinya gangguan perencanaan dukungan logistik

farmalkes, stock-out farmalkes, obat dan vaksin. Penyebabnya antara lain

penetapan harga yang terlalu menekan keuntungan produsen, sehingga

menghambat pengadaan atau pengiriman obat di daerah yang membutuhkannya.

Program penyediaan obat generik dan esensial belum berjalan dalam basis paket

simultan. Bentuk-bentuk pendanaan paket terpadu dangan peningkatan

sinkronisasi lintas program perlu terus dilakukan untuk keberadaan dan

pemerataan pelayanan kesehatan rumah sakit.

2.3.5 Pendapatan dan Beban Rumah Sakit

Jumlah klaim biaya pelayanan yang telah dibayarkan oleh BPJS mencapai Rp 250

triliun dari tahun 2014 sampai 2017. Biaya klaim tersebut dibayarkan untuk
11
layanan tingkat pertama sebesar Rp 47 triliun dan layanan tingkat kedua dan

ketiga mencapai Rp 203 triliun. Biaya klaim yang harus dibayarkan tersebut

cenderung meningkat dari tahun ke tahun, dari Rp 42 triliun di tahun 2014

menjadi hampir 2 kali lipatnya, yaitu Rp 82 triliun di tahun 2017 (BPJS, 2018).

Sementara itu, dari sisi pendapatan BPJS lebih rendah dari beban biaya klaim

tersebut. Akibatnya setiap tahun terjadi defisit pembiayaan JKN. Solusi yang

diambil pemerintah dengan memberikan dana talangan ke BPJS pada tahun

berikutnya. Hal ini mengakibatkan BPJS telat melakukan pembayaran klaim ke

rumah sakit. Rumah sakit mengalami kesulitan lukuiditas keuangan sehingga

berdampak terhadap industry yang terkait seperti farmasi. Puncak kesulitan

pembayaran BPJS terjadi pada tahun 2018 karena jumlah tagihan klaim dari pihak

rumah sakit telah lebih besar dari asset yang dimiliki BPJS.

2.4 RUMAH SAKIT SWASTA

Jumlah RS swasta lebih tinggi dibandingkan RS pemerintah. Sayangnya

perkembangan RS swasta tidak menyebar di seluruh provinsi di Indonesia.

Pertumbuhan RS swasta terkonsentrasi di Pulau Jawa karena populasi

penduduknya besar. Dalam 6 tahun terakhir, di Jawa Timur paling tinggi

kenaikannya mencapai 4 kali lipat, diikuti Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Jawa

Tengah (Laksono T & Elisabeth L, 2018). Sementara itu, di wilayah Indonesia

Timur terutama di regional 5 justru cenderung menurun pertumbuhannya. Kondisi

ini dapat dipahami karena pihak swasta lebih berorientasi profit. Oleh karena itu,

peran pemerintah harus lebih banyak pada provinsi yang dianggap kurang dengan

memberikan insentif kepada pihak swasta jika mau membangun RS di wilayah


12
tersebut. Prospek ke depan pihak RS swasta masih akan membangun bisnisnya

terkonsentrasi di Pulau Jawa karena rasio jumlah tempat tidur (TT) per 100ribu

penduduk masih tidak jauh berbeda dengan regional lainnya, yaitu sekitar 1.000-

an orang/100 ribu penduduk kecuali di regional 3 (2.652 orang). Ini

mengindikasikan kebutuhan pasar untuk membangun rumah sakit masih cukup

terbuka. Dengan demikian, pertumbuhan RS swasta masih memprioritaskan pada

provinsi yang memiliki populasi cukup besar dengan angka tingkat kesakitan

tinggi. Oleh karena itu, pemerintah perlu membuat regulasi yang mengatur dengan

mekanime berdasarkan kebutuhan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah

(certification of need) ketika akan membangun sebuah rumah sakit termasuk jenis

penyediaan alatnya. Apabila pengaturan ini tidak dibuat, ada kemungkinan terjadi

persaingan yang tidak sehat yang pada akhirnya akan merugikan RS swasta.

2.5 RUMAH SAKIT KHUSUS

Rumah sakit khusus adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan utama pada

satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan

umur, organ, jenis penyakit atau kekhususan lainnya. Rumah sakit khusus ada

sekitar 20% dari seluruh rumah sakit yang ada di Indonesia. Setiap tahun jumlah

rumah sakit khusus cenderung meningkat sekitar 18% dari tahun 2012 sampai

2017. Peningkatan tersebut pada rumah sakit yang dimiliki oleh swasta yang

mencapai 2 kali lipat dalam 6 tahun terakhir. Jumlah rumah sakit yang dimiliki

oleh organisasi not profit semakin berkurang, tinggal separuhnya.

13
Gambar 14. Jumlah Rumah Sakit Khusus menurut Kepemilikan
dari Tahun 2012 Sampai 2017

Rumah sakit khusus yang tidak memiliki teknologi canggih dan sumber daya yang

berkualitas sepertinya akan kalah dalam persaingan bisnis. Rumah sakit khusus

tersebut untuk tetap mempertahankan bisnisnya lebih memilih untuk memperluas

pasar, dengan berubah menjadi rumah sakit umum yang memberikan layanan

lebih banyak sehingga mendapatkan potensi pendapatan yang lebih besar. Di sisi

lain, perubahan peran rumah sakit khusus menjadi rumah sakit umum untuk

menjawab kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat akibat adanya program

JKN yang diluncurkan tahun 2014.

Di era JKN ini, jumlah rumah sakit khusus sepertinya akan semakin

berkurang, kecuali bagi rumah sakit swasta yang mengusung teknologi canggih

atau memang menyasar ceruk pasar yang kecil (niche). Dengan

mempertimbangkan aspek epidemiologi penyakit di Indonesia, diprediksi jumlah

rumah sakit khusus yang menangani kasus-kasus yang terkait kesehatan jiwa dan

penyakit tidak menular akan terus bertumbuh, tetapi tidak untuk penyakit yang

menular seperti kusta atau paru. Hal yang perlu dipikirkan apabila rumah sakit

khusus ini banyak yang menyediakan teknologi canggih dengan biaya yang mahal
14
perlu diatur regulasi jumlah pengadaan alatnya di suatu daerah. Tujuannya untuk

mencegah tindakan diagnostik berlebihan kepada pasien yang menyebabkan biaya

pengobatan menjadi mahal atau dari sisi rumah sakit akan mengalami kesulitan

menutup biaya pembelian alat diagnostik tersebut karena volume penggunaan alat

yang rendah.

2.6 Pengembangan Rumah Sakit Melalui Kemitraan Swasta Publik

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mendorong

pemerintah daerah untuk menginisiasi pembangunan proyek infrastruktur melalui

skema Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (KPBU) atau dulu dikenal dengan

Kemitraan Pemerintah Swasta (Public Private Partnership/PPP). Untuk itu,

Kementrian Kesehatan telah mengeluarkan regulasi yang tertuang di dalam

Permenkes No. 40 Tahun 2018 tentang Pedoman Kerjasama Pemerintah Dengan

Badan Usaha dalam penyediaan infrastruktur kesehatan. Permenkes tersebut

merupakan acuan bagi instansi pemerintah pusat, instansi pemerintah daerah, dan

pemangku kepentingan terkait dalam melaksanakan kerjasama antara pemerintah

dengan BUP dalam Penyediaan Infrastruktur Kesehatan. Infrastruktur kesehatan

yang dimaksud adalah rumah sakit, puskesmas/klinik, labolatorium kesehatan,

dan poliklinik kesehatan, yang meliputi penyediaan bangunan, prasarana,

peralatan medis, dan/atau sumber daya manusia.

Kementerian Kesehatan menyiapkan 4 proyek pengembangan rumah sakit

kepada badan usaha pada 2019. Skema kerja sama pemerintah dengan badan

usaha (KPBU) ini melanjutkan skema serupa yang diterapkan di tiga rumah sakit

pada 2018. Tahun ini kementerian memulai inovasi pengembangan rumah sakit
15
dengan pola KPBU di RS Dharmais Jakarta, RS Pirngadi Medan, dan RSUD

Sidoarjo. RS Dharmais merupakan rumah sakit vertikal pertama yang akan

dikembangkan dengan skema KPBU. Proyek ini mendapat bantuan penyiapan

proyek dari Kementerian Keuangan.

Di tingkat daerah konsep KBPU juga direspon sangat positif. Provinsi

Gorontalo menawarkan pengembangan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr

Hasri Ainun Habibie (HAH) Gorontalo dengan nilai investasi sebesar Rp 841,8

miliar. Saat ini merupakan rumah sakit tipe D, direncanakan sebagai rumah sakit

rujukan (tipe B). Di Provinsi Gorontalo sendiri belum tersedia rumah sakit yang

melayani khusus untuk penanganan seperti penyakit ginjal, mata, jantung, dan

kanker. Skema KPBU dipilih karena Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki

keterbatasan dana dalam pengembangan dan pembangunan rumah sakit tersebut.

Kedepannya konsep pembiayaan KBPU akan menjadi pilihan menarik di

kalangan pemerintah daerah, karena adanya keterbatasan kemampuan kapasitas

fiskal daerah. Proses pembelajaran penting dalam mengimplementasi KBPU

yaitu;

1) Proyek yang akan dilakukan dengan KPBU perlu dikaji secara transparan

yang menggambarkan kelayakan sebagai proyek KPBU;

2) Secara terus bersama dan berkonsultasi untuk mendapatkan model KPBU

yang tepat dan dokumen pelelangan yang standar;

3) Tentukan kriteria pengadaan yang tidak rumit dan memudahkan bilamana

terdapat audit;

4) Selalu tetap menjaga minat swasta dan lakukan dialog dengan pelaku

investasi maupun industri;


16
5) Pengadaan tanah masih menjadi salah satu masalah utama, efektivitas dari

UU. Sebab pengadaan tanah untuk kepentingan umum belum teruji. Untuk

itu, proses pengadaan tanah perlu secara efektif dilakukan, idealnya

dilakukan sebelum tender dimulai;

6) Perlu dukungan terpadu dari unsur pemerintah dalam memproses perizinan,

sehingga dapat efisien dan efektif.

2.7. PENGEMBANGAN KUALITAS MUTU LAYANAN

2.7.1 Akreditasi Rumah Sakit

Akreditasi rumah sakit adalah pengakuan resmi dari pemerintah kepada

rumah sakit yang telah memenuhi standar pelayanan kesehatan. Akreditasi wajib

dilakukan oleh semua rumah sakit di Indonesia, dan dilakukan minimal 3 tahun

sekali. Tujuannya untuk mengevaluasi mutu suatu rumah sakit dengan penetapan

standar mutu pelayanan. Penilaian akreditasi rumah sakit dilakukan oleh lembaga

independen, yaitu Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS), yang telah diakui

pemerintah. Pada tahun 2017 telah ada sekitar 53% dari 2.770 rumah sakit yang

terakreditasi, yaitu 22% milik pemerintah dan 32% milik swasta. Jumlah tersebut

meningkat lagi pada bulan Juni 2018, mencapai 57% dari 2.835 rumah sakit

(Kemenkes, 2018). Peningkatan jumlah akreditasi yang meningkat terus karena

sebagai salah satu persyaratan faskes untuk dikontrak BPJSK dalam

pelayananpeserta JKN, menjadi pendorong kuat atas hal ini. Dalam rangka

meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit maka Pemerintah telah

mengalokasikan Dana Alokasi Khusus Non Fisik (DAK NF) akreditasi rumah

sakit sebanyak 195 rumah sakit (RS) pada tahun 2016, 97 RS pada tahun 2017
17
dan 85 RS pada tahun 2018. Beradasarkan hasil evaluasi Direktorat Mutu dan

Akreditasi Pelayanan Kesehatan menunjukkan bahwa 521 RS pemerintah yang

berada di 360 Kabupaten/Kota telah terakreditasi nasional. Jumlah RS penerima

DAK NF Tahun 2016-2017 yang belum terakreditasi sebanyak 48 RS, sedangkan

2 RS penerima DAK NF 2018 telah terakreditasi. Oleh karna itu perlu dilakukan

monitoring dan evaluasi percepatan pelaksanaan akreditasi RS (Kemenkes, 2018).

Studi USAID bersama Puslit Keluarga Sejahtera UI 2016-17 menemukan

bahwa akreditasi mendorong berkembangnya budaya mutu, namun memerlukan

upaya peningkatan mutu yang berlanjut dan berkesinambungan. Sejumlah RS

berhasil mengelola peningkatan mutu dengan pelatihan, penerapan metode lean

management dan bentuk-bentuk perasat peningkatan mutu dengan terus

mengembangkan keselamatan pasien, continuous quality improvement

berdampingan dengan tata kelola klinis dan korporat yang baik. Kursus-kursus

yang dikembangkan berbagai asosiasi rumah sakit dan perguruan tinggi dalam

manajemen rumah sakit memperoleh banyak peserta.

2.7.2 Kredensialing

Pengertian kredensial dapat dilihat pada 2 tingkatan, yaitu secara internal

rumah sakit terhadap calon/karyawannya dan rumah sakit sebagai institusi untuk

kontrak kerjasama dengan BPJS. Pada konteks internal rumah sakit, Kredensial

adalah proses evaluasi terhadap tenaga kesehatan untuk menentukan kelayakan

pemberian kewenangan klinis. Rekredensial adalah proses re-evaluasi terhadap

tenaga kesehatan yang telah memiliki kewenangan klinis untuk menentukan

18
kelayakan pemberian kewenangan klinis tersebut. Merujuk pada Permenkes No.

755 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Komite Medik di

Rumah Sakit. Untuk peran kredensial/rekredensial dilakukan oleh Komite Medik

rumah sakit, dengan melakukan pemeriksaan dan pengkajian atas: a) kompetensi,

b) kesehatan fisik dan mental; c) perilaku; d) etika profesi. Dengan mekanisme

tersebut diharapkan rumah sakit mendapatkan dan memiliki tenaga kesehatan

yang qualified sehingga kualitas dan mutu layanan dapat terjaga.

Sementara kredensialing yang dilakukan BPJS bertujuan untuk

mengetahui kapasitas dan kualitas fasilitas kesehatan yang akan bekerjasama

dengan BPJS sehingga peserta dapat dilayani. Fasyankes yang sudah bekerjasama

dengan badan penyelenggara akan dimonitor dan dievaluasi oleh badan

penyelenggara secara berkala untuk menjaga standar dan kualitas pelayanan.

BPJS Kesehatan melakukan seleksi dan kredensialing melibatkan Dinas

Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dan/atau Asosiasi Fasilitas Kesehatan.

Kriteria teknis yang menjadi pertimbangan BPJS Kesehatan untuk menyeleksi

fasilitas kesehatan yang ingin bergabung antara lain sumber daya manusia (tenaga

medis yang kompeten), kelengkapan sarana dan prasarana, lingkup pelayanan, dan

komitmen pelayanan. Fasilitas kesehatan swasta yang bekerja sama dengan BPJS

Kesehatan wajib memperbaharui kontraknya setiap tahun. Namun pada dasarnya

kontrak sifatnya sukarela. Hakekat dari kontrak adalah semangat mutual benefit.

Dalam proses memperbarui kontrak kerja sama, dilakukan rekredensialing untuk

memastikan benefit yang diterima peserta berjalan dengan baik sesuai kontrak

selama ini. Dalam proses ini juga mempertimbangkan pendapat Dinas Kesehatan

setempat dan memastikan bahwa pemutusan kontrak tidak mengganggu pelayanan


19
kepada masyarakat dengan melalui pemetaan analisis kebutuhan faskes di suatu

daerah. BPJS Kesehatan mengakhiri kerja sama dengan 65 rumah sakit swasta di

berbagai daerah di Indonesia terhitung mulai 1 Januari 2019. Pemutusan itu

dilakukan karena puluhan rumah sakit tersebut belum mendapatkan sertifikat

akreditasi. Sementara itu 15 rumah sakit lain putus kerja sama karena tidak

memenuhi syarat rekredensialing atau uji kelayakan ulang.

2.8. UTILIZATION REVIEW

Peningkatan utilisasi layanan terjadi dari tahun ke tahun, pada semua

tingkatan layanan. Pada faskes tingkat pertama jumlah kunjungan sekitar 66,8 juta

kali (2014) meningkat lebih dari 2.5 kali lipatnya menjadi 150,3 juta kali (2017).

Demikian pula yang terjadi di faskes tingkat lanjut Pada layanan poliklinik sekitar

21,3 juta (2014) meningkat 3 kali lipatnya dalam 3 tahun menjadi 64,4 juta

kunjungan (2017). Demikian pula rawat inap dari 4,2 juta kasus (2014) menjadi

8,7 juta kasus (2017). Dengan beban layanan yang begitu besar tentu kualitas

layanan akhirnya menjadi tidak optimal bila tidak diimbangi dengan jumlah

fasyankes dan kapasitas yang cukup. Kondisi ini yang memicu terjadinya antrian

pendaftaran dan waktu tunggu layanan lama.

Dalam lima tahun ke depan jumlah pasien masih akan terus meningkat dan

berimplikasi terhadap beban biaya kesehatan yang semakin membesar. Jumlah

pasien akan semakin meningkat karena tingkat utilisasi masih belum pada tingkat

yang matur atau stabil baik pada rawat jalan dan rawat inap. Kedua, angka

kesakitan Penyakit Tidak Menular (PTM) cenderung meningkat. Padahal

pengobatan PTM berbiaya mahal. Apabila pemerintah tidak segera merubah


20
strategi lebih ke arah preventif dan promotif terutama melalui intervensi kebijakan

tentunya angka prevalensi PTM akan terus naik. Contoh intervensi kebijakan

misalkan membatasi penggunaan gula dan garam atau pengenaan pajak tinggi

pada produk yang berakibat terhadap kesehatan.

2.9. Pengelolaan Keuangan Rumah Sakit

Undang Undang No. 1/2004 memberi peluang pada RSUD untuk

berkembang menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) yaitu suatu Satuan

Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di lingkungan pemerintah daerah yang dibentuk

untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang

dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam

melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Hal

ini tentunya memberikan paradigma baru sebagai sebuah Badan Layanan Umum

Daerah juga harus seimbang antara Enterprising The Government dalam arti

mewiraswastakan instansi pemerintah dengan pengelolaan instansi pemerintah ala

bisnis, dengan Public Service Oriented yaitu tetap berorientasi pada peningkatan

pelayanan kepada masyarakat.

Jumlah rumah sakit yang tercatat telah memiliki status PPK-BLUD ada

sebanyak 279 rumah sakit di tahun 2014, yang terdiri atas 260 telah BLUD penuh,

dan sisanya 19 BLUD bertahap. Dari salah satu studi diketahui, bahwa penerapan

Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) telah sesuai dengan Permendagri No.

61/2007 dan telah dijalankan dengan baik. Pertama, Pola Tata Kelola, Rencana

Strategis Bisnis dan Laporan Pengelolaan Keuangan penerapannya telah sesuai

dengan Permendagri. Namun, masih ditemuan penerapan BLUD yang belum


21
sesuai dengan aturan, yaitu penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) belum

sesuai indikator dan kriteria. Kedua, peran Dinas Kesehatan sebagai dewan

pengawas belum dilaksanakan sesuai dengan Undang Undang Rumah Sakit No.

44/2009 dan Permendagri No. 61/2007 (Surianto & Laksono T, 2013). Sementara

studi lain menunjukkan pola sebaliknya bahwa pelaksanaan tata kelola, capaian

standar pelayanan minimal, serta perencanaan dan penganggaran belum

sepenuhnya sesuai dengan Permendagri 61/2007. Kinerja Rumah sakit setelah

menerapkan PPK-BLUD dilihat dari perspektif keuangan, perspektif pelanggan,

serta perspektif pertumbuhan dan pembelajaran mengalami peningkatan, namun

jika dilihat dari perspektif proses bisnis internal tidak seluruhnya mengalami

peningkatan kinerja (Sunandar,A, 2017). Pendapat lain disampaikan bahwa rumah

sakit yang belum mengimplementasikan PPK-BLUD dengan benar sesuai amanah

Permendagri disebabkan faktor internal dan eksternal. Faktor internal karena SOP

keuangan masih terlalu rigid sehingga RSUD belum bisa sepenuhnya

memanfaatkan fleksibilitas pengelolaan keuangan BLUD. Faktor eksternal karena

SIMDA belum bisa memfasilitasi kebutuhan perencanaan BLUD (RBA) dan

Peraturan Kepala Daerah yang masih rigid khususnya dalam masalah jenjang nilai

pengadaan.

22
BAB 3
PENUTUP

1. Pembangunan kesehatan adalah bagian dari pembangunan nasional yang

bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat

bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang

setinggi-tingginya. Pembangunan kesehatan tersebut merupakan upaya

seluruh potensi bangsa Indonesia, baik masyarakat, swasta maupun

pemerintah.

2. Penyelenggaraan pelayanan kesehaan di rumah sakit termasuk dalam

Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) Strata kedua dan ketiga atau tingkat

lanjut, yaitu yang mendayagunakan ilmu pengetahuan dan teknologi

kedokteran spesialistik dan subspesialistik.

3. Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan

pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan

pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.

4. Rumah sakit bertujuan untuk pemberian pelayanan kesehatan secara

merata serta memenuhi kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan

serta pendidikan tenaga medis dan tenaga kesehatan lainnya.

5. Rumah sakit mempunyai berbagai fungsi, antara lain:

 Memberikan pelayanan kesehatan berupa upaya pemulihan,

peningkatan, pencegahan, penyembuhan dan pemeliharaan

kesehatan.

23
 Sebagai sarana pendidikan tenaga medis dan tenaga kesehatan

lainnya.

 Sebagai tempat penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi bidang kesehatan.

 Sebagai sarana penyuluhan kepada masyarakat tentang pemeliharaan

kesehatan, pencegahan penyakit serta pengobatannya.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan RI. Pembangunan kesehatan menuju Indonesia

sehat. 2015.

2. Arifin, syamsul, dkk,. Buku Ajar Dasar-Dasar Manajemen Kesehatan.

Pustaka Banua, Banjarmasin. 2016.

3. Presiden Republik Indonesia. Peraturan Presiden Republik Indonesia

Nomor 72 Tahun 2012 Tentang Sistem Kesehatan Nasional.

4. Presiden Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit.

5. USAID Indonesia. Kebijakan kesehatan dan reformasi kesehatan sistem

kesehatan yang berkelanjutan. 2013.

6. Murti B. Strategi untuk mencapai cakupan universal pelayanan

kesehatan di Indonesia. Universitas Sebelas Maret. 2014.

7. Herlambang,Susantyo,. Manajemen Pelayanan Rumah

Sakit.GosyenPublishing, Yogyakarta. 2016.

8. Hatta, Gemala, R,.Pedoman Manajemen Informasi Kesehatan di Sarana

PelayananKesehatan. Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta. 2017.

9. Mu’ah, 2014. Kualitas Layanan Rumah Sakit. Zifatama, Taman

Sidoarjo.

10. Pohan, Imbalo ,S,.Jaminan Mutu Layanan Kesehatan. Buku

KedokteranEGC, Jakarta. 2015.

25

Anda mungkin juga menyukai