Anda di halaman 1dari 31

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sarcoptes scabiei

2.1.1 Etiologi

Skabies adalah infestasi kulit yang disebabkan oleh tungau Sarcoptes

scabiesi var. Hominis. Penyakit ini menyebar melalui kontak antar kulit dan

melalui kontak seksual dewasa muda (Goodheart, 2013).

Taksonomi Sarcoptes scabiei

Phylum : Arthopoda

Class : Arachnida

Subclass : Acari

Ordo : Ackarina

Family : Sarcoptidae

Genus : Sarcoptes

Spesies : Sarcoptes scabiei var. Hominis

2.1.2 Epidemiologi

Prevalensi penyakit Skabies di seluruh dunia sekitar 300 juta kasus

sebagian besar terjadi di negara berkembang. Menurut Departemen Kesehatan

RI prevalensi skabies di seluruh Indonesia adalah 5.6% - 12.95% (Putri et al,

2016). Skabies di Indonesia menduduki urutan ke 3 dari 12 penyakit kulit

tersering Saat ini angka kejadian skabies meningkat lebih tinggi dari 20 tahun

yang lalu, dan banyak ditemukan pada panti asuhan, asrama (pondok

pesantren), penjara, rumah sakit, serta tempat-tempat dengan sanitasi buruk

6
7

yang beresiko mudah tertular penyakit skabies (Parman, et al , 2017). Skabies

dapat terjadi pada semua ras maupun golongan pria dan wanita, pada semua

umur (Djuanda, 2013)

2.1.3 Morfologi

Morfologi tungau Sarcoptes scabiei var, hominis adalah Tungau kecil,

bentukya oval pungungnnya cembung dan bagian perutnya rata Tugau ini

translusen, berwarna putih kotor, dan tidak bermata. sebagai berikut

(Sungkar, 2016) :

1. Larva: Mempunyai tiga pasang kaki

2. Nimfa: Mempunyai empat pasang kaki

3. Tungau Dewasa:

a. Tungau betina berkisar antara 330 - 450 mikron x 250-350

mikron berukuran lebih besar

b. Tungau jantan lebih kecil 200-240 mikron x 150-200 mikron

c. Bentuk dewasa pada betina memiliki empat pasang kaki, dua

pasang kaki di bagian depan untuk melekat dan dua pasang

kaki di bagian belakang

d. Kedua pasang kaki bagian belakang tungau betina dilengkapi

dengan rambut

e. Pada kaki tungau jantan memiliki pasangan kaki ketiga saja

yang berakhir dengan rambut dan pasangan kaki keempat di

lengkapi dengan (ambulakral) alat perekat


8

(Siregar, 2012)
Gambar 2.1
Morfologi sarcoptes scabiei

(Salgado, 2017)
Gambar 2.2
What’s Eating You Scabies in the Developing World

2.1.4 Siklus Hidup

S.scabiei memiliki metamorfosis lengkap dalam lingkaran hidupnya yaitu:

telur, larva, nimfa dan tungau dewasa Infestasi dimulai ketika tungau betina

gravid berpindah dari penderita skabies ke orang sehat. Tungau dewasa ini

setelah kopulasi atau perkawinan yang terjadi diatas kulit, yang jantan akan

mati, kadang-kadang masih dapat hidup beberapa hari dalam terowongan

yang digali oleh yang betina ( Djuanda, 2013).

Menurut Sungkar (2016) Tungau betina dewasa berjalan di permukaan

kulit untuk mencari tempat dan menggali terowo ngan. Setelah menemukan

lokasi yang sesuai, tungau menggunakan kakinya (ambulakral) untuk


9

melekatkan diri di permukaan kulit kemudian membuat lubang di kulit.

Selanjutnya tungau masuk ke dalam kulit dan membuat terowongan sempit

dengan permukaan yang sedikit terangkat dari kulit. Biasanya tungau betina

menggali stratum korneum dalam waktu 30 menit setelah kontak pertama

dengan menyekresikan saliva yang dapat melarutkan kulit. Terowongan

tungau biasanya terletak di daerah lipatan kulit seperti pergelangan tangan

dan sela-sela jari tangan. Tempat lainnya adalah siku, ketiak, bokong, perut,

genitalia, dan payudara. Pada bayi, lokasi predileksi berbeda dengan dewasa.

Predileksi khusus bagi bayi adalah telapak tangan, telapak kaki, kepala dan

leher. Tungau berkopulasi di dalam terowongan. Setelah itu tungau betina

akan membuat terowongan di kulit sampai perbatasan stratum korneum dan

stratum granulosum dengan kecepatan 0,5-5mm per hari. Lokasi biasanya di

stratum korneum kulit yang tipis. Tungau betina hidup selama 30-60 hari di

dalam terowongan dan selama waktu tersebut tungau terus memperluas

terowongannya. Penggalian terowongan biasanya pada malam hari dan

tungau menggali terowongan sambil bertelur atau mengeluarkan feses.

Tungau betina bertelur sebanyak 2-3 butir setiap hari. Seekor tungau betina

dapat bertelur sebanyak 40-50 butir semasa hidupnya. Dari seluruh telur yang

dihasilkan tungau betina, kurang lebih hanya 10% yang menjadi tungau

dewasa dan pada seorang penderita biasanya hanya terdapat 11 tungau betina

dewasa. Telur menetas menjadi larva dalam waktu 3-5 hari. Larva berukuran

110x140 mikron, mempunyai tiga pasang kaki dan segera keluar dari

terowongan induknya untuk membuat terowongan baru atau hidup di


10

permukaan kulit. Larva menggali terowongan dangkal agar mudah untuk

makan dan mengganti kulit luar (ekdisis/pengelupasan kulit) untuk berubah

menjadi nimfa. Dalam waktu 3-4 hari, larva berubah menjadi nimfa yang

mempunyai 4 pasang kaki. Nimfa betina mengalami dua fase perkembangan.

Nimfa pertama panjangnya 160µm dan nimfa kedua panjangnya 220-250µm.

Nimfa kedua bentuknya menyerupai tungau dewasa, tetapi alat genitalnya

belum terbentuk sempurna. Nimfa jantan hanya mengalami satu fase

perkembangan. Nimfa berkembang menjadi tungau dewasa dalam waktu tiga

hari. Waktu sejak telur menetas sampai menjadi tungau dewasa sekitar 10-14

hari. Tungau jantan hidup selama 1-2 hari dan mati setelah kopulasi.

(Sungkar, 2016)
Gambar 2.3
Skabies Etiologi Patogenesis Pengobatan Pemberantasan dan Pencegahan

2.1.5 Patogenesis

a. S.scabiei hidup di stratum korneum epidermis manusia dan

mamalia lainnya. Seluruh tahapan hidup tungau, yaitu telur, larva,

nimfa dan tungau dewasa


11

b. Pada manusia, gejala klinis berupa inflamasi kulit baru timbul 4-8

minggu setelah terinfestasi. Respons imun yang lambat tersebut

merupakan dampak dari kemampuan tungau dalam memodulasi

berbagai aspek respons imun dan inflamasi hospes

c. Sel epidermis seperti keratinosit dan sel langerhans merupakan

sel pertama yang menghadapi tungau skabies dan produknya.

Respons inflamasi tersebut berperan sebagai pertahanan lini pertama

terhadap invasi, kelangsungan hidup dan reproduksi tungau di

dalam kulit. Tungau merangsang keratinosit dan sel dendritik

melalui molekul yang terdapat di dalam telur, feses, ekskreta,

saliva, dan cairan sekresi lain seperti enzim dan hormon, serta

aktivitas organ tubuh seperti chelicerae, pedipalps dan kaki selama

proses penggalian terowongan. Sel langerhans dan sel dendritik

memproses antigen tungau dan membawa antigen tersebut ke jaringan

limfe regional yaitu tempat respons imun didapat diinisiasi melalui

aktivasi sel limfosit T dan limfosit B (Sungkar, 2016). Dengan proses

tersebut timbulah rasa gatal dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat

terjadi setelah 30 hari setelah infestasi (Goodheart, 2013).

2.1.6 Gejala Klinis

Menurut Harahap (2000) Dengan garukan dapat timbul erosi, ekskorasi,

krusta, dan infeksi sekunder. Di daerah tropis hampir setiap kasus skabies

terinfeksi sekunder oleh streptococus aureus atau Staphylococcus pyogenes

Diagnosis skabies di tegakkan atas dasar:


12

1. Adanya terowongan yang meninggi Terowongan yang digali tungau

tampak sebagai lesi berupa garis halus yang berwarna putih keabu-abuan

sepanjang 2-15 mm, berkelok-kelok dan sedikit meninggi dibandingkan

sekitarnya (Sungkar, 2016). Di ujung nya tampak vesikula, papul atau

pustula (Harahap, 2000).

2. Tempat predileksi yang khas adalah sela jari, pergelangan tangan bagian

volar, siku, lipat ketiak bagian depan, aeola mammae, sekitar umbilikus,

abdomen bagian bawah, genetelia ekterna pria, pada orang dewasa jarang

terjadi di bagian muka dan kepala, kecuali pada penderita imunosupresif,

sedangkan pada bayi, lesi dapat terjadi di seluruh permukaan kulit

3. Penyembuhan cepat setelah pemberian obat antiskabies topikal yang

efektif

4. Gatal hebat pada malam hari (pruritus noktuna) atau saat udara panas dan

penderita berkeringat. Gatal pada malam hari di sebabkan temperatur

tubuh menjadi lebih tinggi sehingga aktivitas kutu meningkat, gatal di

rasakan di sekitar lesi, gatal disebabkan oleh sensitasi kulit terhadap

ekskret dan sekret tungau yang di keluarkan saat membuat terowongan di

epidermis kulit S.scabiei biasanya memilih lokasi epidermis yang tipis

untuk menggali terowongan (Sungkar, 2016)


13

(Sungkar, 2016)
Gambar 2.4
Skabies Etiologi Patogenesis Pengobatan Pemberantasan dan
Pencegahan

(Goodheart, 2013)
Gambar 2.5
Goodheart’s photoguide to common skin disorder diagnosis and management

2.1.7 Diagnosis

Menurut (Sungkar, 2016) penyakit skabies dapat memberikan gejala yang

khas sehingga memudahkan untuk mendiagnosis. Visualisasi langsung dapat

dilakukan dengan preparasi KOH atau dengan biopsi terowongan yang

menunjukkan adanya tungau. Cara menemukan tungau (Djuanda, 2013),

sebagai berikut:

1. Carilah mula-mula terowongan, pada ujung yang terlihat papul atau

vesikel di congkel dengan jarum dan di letakkan di sebuah kaca

obyek, lalu di tutup dengan kaca penutup dan di lihat dengan

mikroskop cahaya.
14

2. Dengan cara menyikat dengan sikat dan di tampung diatas selembar

kertas putih dan dilihat kaca pembesar

3. Dengan membuat biopsi irisan. Caranya : lesi di jepit dengan 2 jari

kemudian di buat irisan tipis dengan pisau dan diperiksa dengan

mikroskop cahaya.

4. Dengan biopsi eksisional dan di periksa dengan pewarnaan H.E

Dermoskopi dan pembesaran fotografi digital merupakan metode

yang baik untuk mendiagnosis skabies, meskipun kurang definitif

apabila dibandingkan dengan memvisualisasikan tungau pada KOH

atau biopsi.

(Goodheart, 2013)
Gambar 2.6
Goodheart’s photoguide to common skin disorder diagnosis and management

2.1.8 Faktor Risiko

Menurut (Sungkar, 2016) Keberadaan skabies dipengaruhi oleh berbagai

hal yaitu usia, jenis kelamin, tingkat kebersihan, penggunaan alat-alat pribadi

bersamasama, kepadatan penghuni, tingkat pendidikan dan pengetahuan

tentang skabies :

1. Usia
15

Skabies dapat ditemukan pada semua usia tetapi lebih sering

menginfestasi anak-anak dibandingkan orang dewasa, karena daya tahan

tubuh anak-anak lebih rentan daripada orang dewasa, dan juga di

pengaruhi dari kurangnya kebersihan, seringnya mereka bermain bersama

anak-anak lain dengan kontak yang erat, selain itu skabies juga mudah

menginfestasi pada orang usia lanjut karena imunitas mereka yang

menurun dan perubahan fsiologi kulit menua yaitu menurunnya fungsi

sawar kuit terhadap (bakteri, virus, atau parasit) dari luar sehingga

penyembuhan lebih lambat

2. Jenis kelamin

Skabies dapat menginfestasi laki-laki maupun perempuan, tetapi

laki-laki lebih sering menderita skabies. Hal tersebut disebabkan laki-laki

kurang memerhatikan kebersihan diri dibandingkan perempuan.

Perempuan umumnya lebih peduli terhadap kebersihan dan

kecantikannya sehingga lebih merawat diri dan menjaga kebersihan

dibandingkan laki-laki.

3. Tingkat kebersihan

Skabies menimbulkan rasa gatal yang hebat terutama pada malam hari

dan pada suasana panas atau berkeringat. Karena rasa gatal yang hebat,

penderita skabies akan menggaruk sehingga memberikan kenyamanan

dan meredakan gatal walau untuk sementara. Akibat garukan, telur, larva,

nimfa atau tungau dewasa dapat melekat di kuku dan jika kuku yang

tercemar tungau tersebut menggaruk daerah lain maka skabies akan


16

menular dengan mudah dalam waktu singkat. Oleh karena itu, mencuci

tangan dan memotong kuku secara teratur sangat penting untuk

mencegah skabies. Kebiasaan menyetrika pakaian, mengeringkan

handuk, dan menjemur kasur di bawah terik sinar matahari setidaknya

seminggu sekali dapat mencegah penularan skabies. Tungau akan mati

jika terpajan suhu 50℃ selama 10 menit. Oleh karena itu, panas setrika

dan terik sinar matahari mampu membunuh tungau dewasa yang melekat

di barang-barang tersebut apabila terpajan dalam waktu yang cukup.

Kebiasaan buruk lainnya yang memudahkan penularan penyakit skabies

adalah santri sering saling meminjam handuk, pakaian dan perlengkapan

shalat (sarung, mukena, kerudung) serta sering tidur di kasur temannya.

4. Penggunaan alat-alat pribadi bersama

Ketika santri masuk pesantren, santri tidak menderita skabies akan

tetapi setelah tinggal di pesantren beberapa bulan, gejala klinis skabies

mulai timbul karena tertular dari temannya. Penggunaan alat pribadi

bersama-sama ataupun Kebiasaan tukar menukar barang pribadi dengan

temanya seperti sabun, handuk, selimut, sarung dan pakaian bahkan

pakaian dalam pakaian yang dipinjam tidak selalu pakaian yang bersih

namun juga pakaian yang telah dipakai dan belum dicuci merupakan salah

satu faktor risiko skabies. Oleh karena tungau dewasa Sarcoptes scabiei

dapat keluar dari stratum korneum dalam kulit, melekat di pakaian serta

dapat hidup di luar tubuh manusia selama tiga hari dalam waktu tersebut

cukup untuk menularkan tungau Sarcoptes scabiei. Oleh sebab itu, santri
17

tidak dianjurkan untuk saling meminjam pakaian dan peralatan shalat

terutama pakaian yang telah digunakan atau kotor dan belum dicuci.

5. Kepadatan penghuni

Prevalensi penyakit skabies banyak di temukan pada santri yang

tinggal di asrama atau pondok pesantren dengan tingkat hunian yang

tinggi. Pondok pesantren umumnya padat penghuni dengan fasilitas yang

serba terbatas. Satu ruangan tempat tidur dapat berisi 30-50 santri dengan

fasilitas yang kurang atau cukup dan tingkat kebersihan yang kurang

memadai. Kondisi tersebut dapat menyebabkan timbulnya penyakit

skabies yang mudah menular dengan cepat dan sulit diberantas.

6. Tingkat pendidikan dan pengetahuan

Secara umum semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin

bertambah pengetahuannya termasuk pengetahuan kesehatan. Materi

pendidikan yang diberikan pada santri di pondok pesantren adalah

pengetahuan umum dan pengetahuan agama tetapi lebih banyak

pengetahuan agama. Dengan meningkatnya pendidikan, diharapkan

pengetahuan mengenai skabies meningkat karena santri yang

berpendidikan lebih tinggi biasanya mempunyai inisiatif untuk mencari

informasi di luar pendidikan formal misalnya dari internet. Pada

kenyataannya berbagai survei di pesantren menunjukkan bahwa

prevalensi skabies tidak berhubungan dengan tingkat pendidikan santri.

7. Budaya setempat
18

Budaya masyarakat dapat mempengaruhi prevalensi penyakit di suatu

daerah. Di daerah tertentu, orang sakit tidak boleh dimandikan karena

khawatir akan memperparah penyakitnya. Oleh karena itu, jika seseorang

menderita skabies, maka tidak boleh mandi dan cuci tangan bahkan tidak

boleh terkena air sama sekali. Budaya seperti itu perlu dihentikan dengan

memberikan penyuluhan kepada masyarakat terutama santri. Oleh karena

itu, santri dan pengelola pesantren mengganggap skabies adalah hal biasa

dan baru mencari pertolongan ke dokter jika penyakit sudah parah.

Kepercayaan yang salah tersebut perlu diluruskan karena skabies adalah

penyakit yang dapat diobati dan dicegah.

2.1.9 Jenis-jenis Skabies

Gatal yang terjadi disebabkan oleh sesitisasi terhadap sekreta dan ekspreta

tungau yang memerlukan waktu kira-kira sebulan setelah infestasi. Pada saat

itu kelainan kulit menyerupai dermatitis dengan ditemukannya papul, vasikel,

urtika, dan lain-lain. Dengan garukan dapat timbul erosi ekskoriasi, krusta

dan infeksi sekunder (Djuanda, 2013). Skabies mempunyai tiga presentasi

klinik yaitu klasik, krusted, dan nodular antara lain:

1. Skabies in cognito

Skabies yang diobati dengan kortikosteroid gejala dan tanda klinis akan

membaik, tetapi tungau tetap ada dan masih dapat menularkan skabies.

Pengobatan steroid topikal jangka panjang mengakibatkan lesi bertambah

parah karena penurunan respons imun seluler. Kortikosteroid topikal

menghalangi produksi dan pelepasan sitokin seperti interleukin IL-1,2,3,6


19

dan TNFα. Penggunaan steroid topikal menghambat fagositosis dan

stabilisasi membran sel fagosit lisosom sehingga respons pro-inflamasi dan

fagositosis terhambat dan akhirnya tidak dapat mengontrol infestasi

skabies. ditandai dengan erupsi pustular di kulit normal atau sedikit

kemerahan. Erupsi pustular tipikal terdapat di daerah fleksor dan

proksimal anggota gerak, menimbulkan rasa gatal dan iritasi. Pustul

terletak di permukaan kulit, mudah pecah dan menimbulkan krusta

superfisial, berbentuk anular seperti lingkaran atau berpola serpiginosa

(Karaca Semsettin et al, 2015)


Gambar 2.7
Scabies Incognito Presenting as a Subcorneal Pustular Dermatosis-like Eruption

2. Crusted scabies (skabies berkerak)

Terjadi pada pasien dengan sistem imunitas yang kurang

(immunocompromised host), Pada skabies krustosa penderita

umumnya mengalami defisiensi imunologi sehingga sistem imun tidak

mampu menghambat proliferasi sehingga tungau berkembang biak

dengan mudah dan cepat. Skabies krustosa hampir selalu menyerang

orang yang mengalami immunocompromised seperti orang berusia

lanjut, penderita AIDS, retardasi mental, limfoma, dan segala kondisi

yang dapat menurunkan efektivitas sistem imun (Sungkar, 2016).


20

Pasien dengan cacat mental atau fisik, seperti mereka yang memiliki

anggota tubuh lumpuh, neuropati sensorik, atau kusta, karena dalam

kondisi tersebut tidak dapat merasakan gatal atau goresan. Gejala yang

di rasaakan pada pasien skabies klasik berbeda dengan gejala yang di

rasakan pada pasien crusted skabies pada gejala crusted skabies rasa

gatal yang dirasakan ringan hingga tidak terasa sama sekali sehingga

penderita tidak merasakan keluhan akibat diagnosisnya terlambat.

Dengan keterlambatan diagnosis sering menimbulkan wabah karena

banyaknya tungau pada crusted skabies jauh lebih besar dan bisa

berkisar antara ribuan hingga jutaan per pasien, sedangkan pada

skabies klasik hanya 10-12 tungau. Perbedaan ini menyebabkan

crusted skabies jauh lebih menular dibandingkan skabies klasik.

Pengobatan pada pasien yang menderita crusted skabies cukup sulit

dikarenakan pemberantasan tungau dan berat telur dari daerah kulit

yang sangat banyak dan sulit dilakukan. (Dewi & Nasrul, 2017).

(Thomas Lauren, 2016)


Gambar 2.8
Crusted scabies
21

3. Skabies Nodular

Skabies Nodular adalah jenis skabies yang jarang terjadi yang

ditandai dengan nodul cokelat kemerahan yang sangat pruritus di

daerah tertutup pakaian, nodus memilki diameter setinggi 2 cm yang

biasanya ditemukan pada alat kelamin, bokong, selangkangan, dan

aksila. Terbentuknya nodul disebabkan oleh hasil reaksi

hipersensitivitas kulit terhadap S.scabiei karena tungau hampir tidak

pernah diidentifikasi pada lesi ini (Dewi & Nasrul, 2017). Setelah

terapi penampilan kulit mirip dengan kondisi penyembuhan erupsi

eksematosa. Nodus skabies dapat bertahan selama beberapa bulan atau

bahkan beberapa tahun walaupun telah diberikan obat anti skabies.

Penyebabnya nodus persisten tersebut belum diketahui dengan pasti

namun diduga sebagai akibat reaksi hipersensitivitas tipe lambat

terhadap komponen tungau skabies. Karena obat antiskabies tidak

efektif untuk skabies nodularis, maka terapinya adalah dengan

menyuntikkan kortikosteroid intralesi. Meskipun demikian, nodus

skabies dapat menetap selama beberapa bulan bahkan hingga satu

tahun walaupun telah diberi skabisida dan kortikosteroid.


22

(Barry Megan et all, 2019)


Gambar 2.9
What is the presentation of nodular scabies

4. Skabies pada bayi dan anak

Lesi skabies pada anak dapat mengenai seluruh tubuh termasuk

seluruh kepala, leher, telapak tangan, telapak kaki dan sering terjadi

infeksi sekunder impetigo, ektima (Harahap, 2000).

2.1.10 Terapi

Menurut Sungkar (2016) Prinsip pengobatan penyakit skabies diikuti

dengan perilaku hidup bersih dan sehat baik pada penderita dan lingkungan.

Pengobatan skabies dapat dilakukan secara oral maupun topikal. Pengolesan

obat topikal umumnya selama 8-12 jam namun ada yang perlu digunakan

sampai lima hari berturut-turut, bergantung pada jenis skabisida. Pada bayi

dan anak kecil absorbsi obat lebih tinggi sehingga pengolesan tidak

dianjurkan saat kulit dalam keadaan hangat atau basah setelah mandi. Apabila

terdapat infeksi sekunder oleh bakteri, perlu diberikan antibiotik topikal atau

oral terlebih dahulu sesuai indikasi dengan memerhatikan interaksi antar

obat. Untuk menentukan apakah terapi skabies harus diulang perlu

diperhatikan apakah obat yang digunakan bersifat ovisida (membunuh telur)

dan skabisida (membunuh tungau) atau hanya bersifat skabisida. Selain itu,
23

perlu diperhatikan waktu dimulainya terapi awal, kemajuan kesembuhan

selama terapi, dan menghubungkannya dengan siklus hidup tungau. Telur

tungau menetas pada hari ketiga dan memerlukan waktu sekitar delapan hari

untuk menjadi tungau dewasa yang akan bertelur lagi. Bila terapi hanya

bersifat skabisida dan tidak ovisida maka telur yang sempat diproduksi

sebelum terapi dimulai, akan menetas dan menginfestasi kembali setelah hari

ketiga. Jika terapi bersifat skabisida dan ovisida, maka terapi akan efektif

membunuh semua stadium tungau baik telur, larva, nimfa maupun tungau

dewasa. Meskipun demikian, karena terdapat periode laten klinis pengolesan

skabisida perlu diulang pada hari ketiga atau keempat sehingga dapat

membunuh tungau dari telur yang baru menetas dan belum sempat terbasmi

pada terapi pertama. Kekurangan obat topikal adalah tidak nyaman digunakan

karena terasa lengket di kulit dan memiliki efek samping (misalnya rasa panas

atau rasa terbakar) sehingga dapat menurunkan kepatuhan menggunakan obat.

Penderita skabies yang sedang menjalani terapi dengan obat topikal harus

menerapkan gaya hidup bersih dan sehat. Agar pengobatan berhasil maka

perlu diperhatikan hal-hal berikut. Penderita perlu dijelaskan cara pemakaian

obat yang benar karena kesalahan pemakaian obat dapat menyebabkan

kegagalan pengobatan. Pengobatan topikal diantaranya permetrin, lindane,

benzyl benzoate, crotamiton dan sulfur yang diendapkan. Obat skabies topikal

memiliki efek neurotoksik pada tungau dan larva . Obat skabies oral yaitu

ivermektin yang bekerja dengan cara mengganggu neurotransmisi asam


24

gamma-aminobutyric yang disebabkan oleh banyak parasit termasuk tungau

(Dewi & Nasrul, 2017). Jenis obat topikal antara lain:

1. Permetrin

Permentrin adalah piretroid sintetis dan insektisida yang efektif untuk

mengobati skabies, Krim permetrin menggunakan konsentrasi 5%

merupakan obat yang effikasinya sebesar 90%. Permetrin dioleskan pada

tubuh yang terkena skabies selama 8-12 jam sebelum tidur, bila krim

terhapus sebelum waktunya yang ditentukan maka krim harus di oleskan

lagi (Dewi & Nasrul, 2017). Permetrin memiliki keamanan yang sangat

baik tetapi memiliki rasa lengket ketika di oleskan di kulit. Efek samping

yang muncul adalah rasa panas, kemerahan, dan iritasi pada sebagian

kecil penderita skabies. Permetrin memiliki kontraindikasi terhadap orang

yang memiliki hipersensitivitas terhadap permetrin (Sungkar, 2016).

2. Lindane

Terdapat empat penelitian yang menyebutkan bahwa tingkat

penyembuhan dari lindane berkisar antara 49% sampai 96% bila diukur

pada 4 minggu setelah satu aplikasi topikal lindane. Kegagalan pengobatan

sebagian besar disebabkan oleh resistensi. Masalah keamanan terkait

potensi neurotoksisitas dapat membatasi penggunaan Lindane. Efek

samping neurologis meliputi iritabilitas, vertigo, kejang, muntah, diare,

dan sinkop. Penggunaan lindane dilarang di beberapa negara. Hal ini

dikarenakan persistennya di lingkungan (Dewi & Nasrul, 2017).


25

3. Krotamiton

Krotamiton merupakan skabisida yg cukup efektif , obat tersebut tersedia

dalam bentuk krim atau losio dengan konsentrasi 10%. Cara pemakaian

dengan mengoleskan dari dagu ke bawah, dengan berulang 24 jam

kemudian. Pengolesan selama 5 hari berturut-turut dapat memberikan

tingkat penyembuhan yang lebih baik. Keamanan penggunaan krotamiton

pada bayi baru lahir dan infant belum dapat dibuktikan. Efek samping

berupa iritasi di kulit yang erosif sensitisasi pada pemakaian yang lama,

harus di jauhkan dari mata, mulut , uretra dapat terjaadi efek samping

termasuk eritema dan konjungtivitis (Sungkar, 2016)

4. Benzyl Benzoate

Benzil benzoat efektif untuk mengatasi crusted scabies. Terdapat dalam

bentuk emulsi atau losio dengan konsentrasi 20-25% , efektif untuk semua

stadium benzil benzoat membunuh tungau skabies lebih cepat daripada

permetrin. Benzyl benzoat harus dicuci dalam waktu 24 jam setelah

pengaplikasian karena merupakan iritan yang diketahui yang dapat

menyebabkan dermatitis kontak. Analgesik dan antihistamin dapat

digunakan sebagai pre-treatment untuk mengurangi ketidaknyamanan

aplikasi. Benzil benzoat tidak boleh di gunakan pada ibu hamil dan

menyusui, bayi, dan anak-anak kurang dari 2 tahun (Sungkar, 2016).

5. Belerang endap (sulfur presipitatum)


26

Dengan kadar 5-10% dalam bentuk salap atau krim. Prepaat ini di

gunakan sebagai skabisida. Dengaan konsentrasi 10% mampu membunuh

larva, nimfa dan tungau skabies tetapi tidak efektif pada stadium telur,

maka penggunaannya tidak boleh kurang dari 3 hari atau di gunakan 3 hari

berturut-turut dan di ulangi seminggu kemudian. Bentuk aktif sulfur

adalah H2S dan asam pentationik Kekuragan yang lain ialah berbau,

lengket, mengotori pakaian dan kadang-kadang menimbulkan iritasi.

Dosisi sulfur untuk anak-anak adalah setengah dosis dewasa, sedangkan

pada bayi seperempat dosis dewasa (Sungkar, 2016). Aman di gunakan

pada bayi berumur kurang dari 2 tahun, anak balita , ibu hamil dan

menyusui, serta usia lanjut (Djuanda, 2013).

6. Ivermektin

Ivermektin oral efektivitasnya setara dengan permetrin sebagai

skabisida sehingga menjadi alternatif untuk terapi skabies karena lebih

mudah ditoleransi tubuh, tidak menyebabkan iritasi kulit, dan tidak

menunjukkan efek samping sistem saraf pusat karena molekulnya tidak

menembus sawar darah otak. Ivermektin oral efektif untuk mengobati

skabies dan biasanya digunakan untuk skabies krustosa atau pada saat

terjadi wabah di suatu wilayah seperti podok pesantren . Ivermektin

memiliki potensi baik dalam menggantikan terapi topikal skabies untuk

penderita yang tidak nyaman dengan pengobatan topikal atau dengan

tingkat kepatuhan pemakaian yang rendah atau tidak teratur dalam

pemakaian pada pengobatan topikal (Sungkar, 2016). Konsentrasi puncak


27

ivermektin dalam plasma dicapai dalam 4 jam pemberian oral. Waktu

paruh ivermektin setelah pemberian oral adalah 28 ± 10 jam. Target

obat di S. scabiei belum teridentifikasi. Penggunaan dosis bisa tunggal

atau dikombinasikan dengan agen topikal. Sebagian besar penelitian

menunjukkan bahwa satu atau dua dosis ivermektin (200 mg/kg, 3-9 hari)

menghasilkan tingkat penyembuhan setara dengan pengobatan obat

topikal konvensional (benzil benzoat, lindane, permetrin) (Dewi & Nasrul,

2017).

2.1.11 Pencegahan

Pencegahan penyakit skabies di bagi dalam 3 katagori yang saling berurutan

menurut Sungkar (2016) :

1. Pencegahan Primer

Penyuluhan kesehatan perlu di berikan kepada masyarakat awam

khususnya subjek yang beresiko tinggi untuk meningkatkan pengetahuan

mengenai skabies , penyuluhan tersebut berisi tentang penyebab, gejala

dan tanda, pengobatan, penularan, dan pencegahan skabies . Penyuluhan

kesehatan ini dapat melalui media buku saku, dan pamflet

2. Pencegahan sekunder

Pencegahan sekunder merupakan tahap awal penyembuhan penyakit

skabies dan pencegahan dampak berikutnya, dilakukan dengan mengobati

penderita secara langsung agar tungau tidak menginfestasi orang yang

berda di sekitarnya . Untuk sementara masa penyembuhan, hindari kontak

tubuh misalnya melakukan hubungan seksual, berpelukan, dan tidur satu


28

ranjang dengan penderita. Orang yang pernah melakukan kontak langsung

dengan penderita atau yang sering berada di sekitar penderita perlu

diperiksa.

3. Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier berupa rehabilitasi dan mencegah berulangnya

penyakit skabies , setelah penderita sembuh dari penyaki skabies , pakaian,

handuk dan sprei yang digunakan lima hari terakhir oleh penderita harus

dicuci bersih dengan deterjen dengan air panas dan dijemur di bawah terik

sinar matahari agar seluruh tungau mati. Barang-barang yang tidak dapat

dicuci tetapi diduga terinfestasi tungau diisolasi dalam kantong plastik

tertutup di tempat yang tidak terjangkau manusia selama seminggu sampai

tungau mati.

2.2 Konsentrasi Belajar

2.2.1 Definisi

Konsentrasi merupakan pemusatan perhatian dalam proses perubahan

tingkah laku yang dinyatakan dalam bentuk penguasaan, penggunaan, dan

penilaian terhadap sikap dan nilai-nilai, pengetahuan dan kecakapan dasar

yang terdapat dalam berbagai bidang studi. jika konsentrasi siswa rendah,

maka akan menimbulkan aktivitas yang berkualitas rendah pula serta dapat

menimbulkan ketidakseriusan dalam belajar (Aviana, 2015).

Dalam belajar konsentrasi berarti pemusatan pikiran terhadap suatu mata

pelajaran dengan menyampingkan semua hal lainnya yang tidak berhubungan

degan pelajaran (Slameto, 2013). Belajar ialah suatu proses usaha yang di
29

lakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang

baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi

dengan lingkungannya. (Slameto, 2013).

Dari pengertian konsentrasi belajar di atas dapat disimpulkan bahwa

konsentrasi seseorang yaitu memusatkan pikiran terhadap proses usaha yang

di lakukan untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku , pemahaman

sehingga dapat memperoleh hasil yang di inginkan dengan menyampingkan

semua hal yang tidak berhubungan dengan proses yang di usahakan. Dengan

berkonsentrasi, anak tidak mudah mengalihkan perhatian pada masalah lain di

luar yang di pelajarinya ( Susanto, 2006).

2.3 Indikator Konsentrasi Belajar

Menurut Kuswana (2012) dalam buku Taksonomi Kognitif, indikator

konsentrasi belajar meliputi memahami pembelajaran yaitu membangun

pengertian dari pesan pembelajaran diantara nya oral, tulisan,

komunikasi grafis meliputi:

1. Mengartikan yaitu klarifikasi, menguraikan dengan kata-kata sendiri,

menggambarkan, menerjemahkan. Dapat mengubah dari satu bentuk

gambaran (numerik) ke bentuk yang lain (verbal), sebagai contoh: dapat

menguraikan dengan kata-kata sendiri dalam pidato.

2. Memberikan contoh yaitu ilustrasi, menemukan contoh khusus atau

ilustrasi konsep atau prinsip, sebagai contoh: dapat memberikan contoh

macam-macam gaya lukisan artistik

3. Mengkarifikasi yaitu mengkatagorikan, menggolongkan dan


30

menentukan sesuatu sesuatu ke dalam kategori, sebagai contoh:

mengamati atau menggambarkan kasus kekacauan mental

4. Menyimpulkan yaitu meringkas, menggeneralisasikan, meringkas

tema umum atau khusus, sebagai contoh: menulis kesimpulan pendek dari

kejadian yang di tayangkan di video

5. Menduga yaitu menyimpulkan, meramal, menyisipkan dan

memprediksi. Menggambarkan kesimpulan logika dari informasi yang

ada, sebagai contoh: mengambil kesimpulan dasar-dasar contoh dari

pembelajaran bahasa asing

6. Membandingkan yaitu membedakan, memetakan, mencocokan.

Mendeteksi korespondensi anatara dua ide objek dan semacamnya,

sebagai contoh: membandingkan peristiwa-peristiwa sejarah dengan

situasi sekarang

7. Menjelaskan yaitu menciptakan model, menciptakan sistem model

penyebab dan pengaruh, sebagai contoh: menjelaskan penyebab peristiwa

penting di Prancis abad ke 18

Tingkat merespon merupakan keterampilan mereaksi dan berpartisipasi

secara aktif dalam kelompok diskusi, berpartisipasi secara aktif dalam

sebuah kegiatan, tertarik akan hasil, antusias untuk bertindak,

mempertanyakan dan memperdalam gagasan, dan menyarankan

penafsiran. Pada tingkat ini siswa dituntut untuk dapat mereaksi,

merespon, mencari klarifikasi, menafsirkan, menjelaskan, memberi

rujukan dan contoh lain, memberikan kontribusi, mempertanyakan,


31

menyajikan, mengutip, bergairah dan merasa senang, membantu

kelompok, menulis dan mempertunjukkan (Nuriyah, 2014)

2.4 Faktor Yang Mempengaruhi Konsentrasi Belajar

Menurut Syah (2006) Faktor yang mempengaruhi konsentrasi belajar

dibagi menjadi dua faktor internal dan faktor ekternal, yakni :

1. Faktor Internal

Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam tubuh,

terdiri dari :

a. Faktor Jasmaniah

Faktor jasmaniah adalah sesuatu yang mempengaruhi fisik. Faktor

jasmaniah terbagi menjadi dua, yaitu faktor kesehatan dan cacat tubuh.

Faktor kesehatan sangat berpengaruh dalam konsentrasi belajar. Proses

belajar seseorang akan terganggu jika kesehatan seseorang terganggu

(Slameto, 2013) serta proses belajar mengajar ikut terganggu. Menjaga

kesehatan badan merupakan salah satu cara untuk mempertahankan

konsentrasi belajar yaitu dengan istirahat, tidur yang cukup, makan

yang bergizi, ibadah dan rekreasi. Cacat tubuh seperti buta, tuli, patah

tangan dan patah kaki akan menganggu pada saat proses belajar dan

mengajar (Slameto, 2013).

b. Inteligensi

Inteligensi adalah Kemampuan psiko-fisik untuk mereaksi

rangsangan atau menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan cara

yang tepat (Syah, 2006). Inteligensi besar pengaruhnya terhadap


32

konsentrasi belajar. Pada saat proses belajar dan mengajar siswa

dengan inteligensi yang tinggi akan berhasil mengikuti proses belajar

dari pada siswa yang inteligensinya rendah (Slameto,2013)

c. Minat

Minat adalah kegiatan yang di perhatikan lebih di sertai dengan rasa

senang sehingga memudahkan dalam proses belajar, Minat

berpengaruh terhadap konsentrasi belajar, apabila siswa tidak minat

dengan materi pelajaran siswa tidak akan belajar dengan sebaik-

baiknya (Slameto, 2013). Karena adanya pemusatan perhatian yang

intensif terhadap materi pelajaran maka memugkinkan siswa lebih giat

belajar dan mencapai prestasi belajar yang baik (Syah, 2006)

d. Bakat

Bakat adalah kemampuan yang di miliki seseorang untuk mencapai

keberhasilan dalam cita-citanya , sehingga bakat dapat mempengaruhi

tinggi rendahnya konsentrasi belajar dan prestasi belajar (Syah, 2006).

Apabila bahan yang di pelajari siswa sesuai bakat, maka hasil

konsentrasinya akan lebih baik karena ia senang melakukannya

sehingga lebih giat dalam belajar (Slameto, 2013).

e. Kesiapan

Kesiapan merupakan kesediaan untuk memberi respon atau

bereaksi dan melaksanakan kecakapan . Pentingnnya kesiapan pada

saat proses belajar akan menimbulkan konsentrasi yang baik pada saat

menerima informasi baru (Slameto, 2013).


33

f. Kelelahan

Kelelahan terdiri dari dua jenis yaitu kelelahan jasmani dan rohani.

Kelelahan jasmani adalah respon objektif yang di alami oleh tubuh

manusia, bisa dilihat dari lemahnya tubuh dikarenakan darah kurang

lancar pada bagian tertentu sehingga menyebabkan kurang konsentrasi

pada saat proses belajar dan mengajar. Kelelahan rohani bisa dilihat

dengan adanya kebosanan, kelesuan, terus menerus memikirkan

maasalah yang dianggap berat sehingga menurunkan minat dan

konsentrasi belajar (Slameto, 2013).

2. Faktor Eksternal

Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar tubuh

terdiri dari :

a. Lingkungan sosial

Lingkungan sosial sekolah seperti para guru, para staf administrasi

dan teman-teman sekelas dapat mempengaruhi semangat belajar

seorang siswa . Para guru yang menunjukan sikap dan perilaku yang

simpatik suri teladan yang baik dan raji dapat menjadi daya dorong

yang baik bagi kegiatan belajar siswa (Syah, 2006). Keluarga

merupakan media pendidikan paling utama. Orang tua yang kurang

memperhatikan pendidikan anaknya dapat berdampak buruk terhadap

proses belajar sehingga anak akan menjadi malas (Slameto, 2013)

Orang tua sering sekali menginginkan anaknya mencapai prestasi yang

sangat baik, sehingga anak dituntut menjadi sempurna.


34

b. Lingkungan Non Sosial

Faktor yang termasuk lingkungan non sosial yaitu gedung sekolah

dan letaknya, rumah tempat tinggal, keadaan cuaca dan waktu belajar

yang di gunakan. Faktor ini yang mempengaruhi keberhasilan

konsentrasi belajar dan hasil belajar pada siswa (Syah, 2006).

2.5 Pengaruh Penyakit Skabies

1. Pengaruh Penyakit Skabies Terhadap Kualitas Tidur

Gangguan tidur diartikan sebagai gangguan dalam jumlah, kualitas,

atau waktu tidur pada seorang individu (Haryono et al., 2009). Skabies

bukan menjadi penyebab langsung terjadinya gangguan tidur, namun

banyak beberapa literatur yang menyebutkan bahwa skabies mengganggu

aktivitas tidur penderita secara signifikan. Menurut Djuanda (2013) salah

satu gejala penyakit skabies ini yaitu Pruritus Nokturna, artinya gatal pada

malam hari yang disebabkan karena aktivitas tungau Sarcoptes scabiei

var. hominis ini lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas. Gatal

pada malam hari ini berhubungan dengan ritme sikardian dari mediator

gatal atau di sebabkan oleh perubahan fisiologis kulit seperti suhu kulit

dan juga fungsi pertahanan kulit (Patel et al. 2007). Gejala tersebut

menggangu aktivitas tidur yang akan mempengaruhi berkurangnya

kebutuhan tidur. Sehingga menyebabkan penderita merasakan lelah dan

lesu ketika terbangun, rasa kantuk pada siang hari, tidak bersemangat, dan

daya ingat serta konsentrasi menurun (Dinges, 2005).

2. Pengaruh Penyakit Skabies Terhadap Konsentrasi Belajar


35

Gatal merupakan gejala utama pada penyakit skabies. Gatal yang

terjadi dapat berlangsung lama (kronis) dan melibatkan seluruh permukaan

kulit atau hanya sebagian, seperti pada kulit kepala, lengan, punggung

bagian atas maupun selangkangan (Stander et al. 2010). Gatal yang terjadi

karena adanya sensitasi terhadap sekreta dan ekspreta tungau sehingga

kelainan kulit tersebut menyerupi dermatitis (Djuanda, 2013). Akumulasi

kotoran dan material sekresi lainnya dari tungau ketika membuat

terowongan sehingga menyebabkan iritasi dan aktivasi reaksi

hipersensitifitas (Garcia 2007). Gatal biasanya semakin hebat terjadi pada

malam hari dan menyebabkan gangguan tidur, sehingga menyebabkan

penderita merasakan lelah dan lesu ketika terbangun (Patel et al. 2007).

Gangguan tidur menyebabkan kebutuhan tidur berkurang dan berdampak

pada penurunan kemampuan untuk berkonsentrasi, membuat keputusan

dan berpartisipasi dalam aktivitas sehari-hari (Susanto 2006).

Berkurangnya kebutuhan tidur akan berdampak pada menurunnya

kemampuan untuk berkonsentrasi, terganggunya fokus dalam suatu

pekerjaan dan berpartisipasi dalam aktivitas sehari-hari. Seseorang yang

mengalami hambatan dalam proses belajar salah satunya yang disebabkan

oleh rasa mengantuk dan lelah akibat kurang tidur, sehingga berpengaruh

terhadap konsentrasi belajar menurun. Hal ini perlu mendapatkan

perhatian yang serius karena gangguan tidur (sleep deprivation) dapat

mempengaruhi proses belajar, gangguan memori dan kesehatan emosi.


36

Konsentrasi yang baik dapat memperoleh hasil prestasi belajar yang

memuaskan (Nilifda, 2016).

Anda mungkin juga menyukai