Anda di halaman 1dari 5

KASUS 2 (An.

Arsakha)
Diagnosis : KDK, Skabies, Infeksi sekunder

KEJANG DEMAM
1. Definisi Kejang Demam
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas
380C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium (IDAI, 2016).

2. Klasifikasi Kejang Demam


1) Kejang Demam Sederhana (KDS)
Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, dan umumnya akan berhenti sendiri.
Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam
waktu 24 jam. Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam.

2) Kejang Demam Kompleks (KDK)


Kejang demam dengan salah satu ciri berikut ini:
1. Kejang lama > 15 menit
2. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial
3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam

3. Patofisiologi Kejang Demam


1) Kejang Demam Sederhana (KDS)
2) Kejang Demam Kompleks (KDK)
4. Penatalaksanaan Kejang Demam
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang kejang
sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang paling cepat untuk
menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Dosis diazepam
intravena adalah 0,3-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau
dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 20 mg.
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah adalah diazepam
rektal (level II-2, level II-3, rekomendasi B). Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau
diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk berat
badan lebih dari 10 kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3
tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak di atas usia 3 tahun (lihat bagan penatalaksanaan kejang
demam).

Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi dengan
cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit.
Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah
sakit. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg.
Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis awal 10-
20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila
kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal.
Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang rawat
intensif. Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang
demam apakah kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor risikonya.

Terapi Penyakit Kejang Demam √) di Word


5.
 Farmakologi

Anti Piretik
* Parasetamol 10-15 mg/kgbb/kali
* Ibuprofen 5 -10 mg/kgbb/kali
Anti Konvulsan
* Diazepam oral 0.3-0.5 mg/kgbb
* Diazepam rectal 0.5 mg/kgbb
BB<10Kg:5mg; >10Kg:10mg

 Non-Farmakologi

SKABIES dan INFEKSI SEKUNDER


1. Definisi Skabies dan Infeksi Sekunder
Skabies adalah penyakit yang disebabkan infestasi dan sensitisasi kulit oleh
tungau Sarcoptes scabiei dan produknya. Penyakit ini berhubungan erat
dengan hygiene yang buruk (PB IDI, 2017).
Penyakit kulit Skabies adalah kondisi dimana kulit mengalami rasa gatal yang dikarenakan
hewan kecil (tungau yang disebut Sarcoptes scabiei Tungau ini menggali lubang pada kulit
dan menyebabkan rasa gatal pada area tersebut (Saleha, 2016).
2. Klasifikasi Skabies

Klasifikasi Scabies
Pada umunya semua jenis penyakit memiliki jenis dan klasifikasinya masing-masing, berikut
klasifikasi scabies berdasarkan yang dipaparkan oleh Nanda(2014) yaitu:
1. Scabies pada orang bersih yaitu ditandai dengan lesi berupa papul dan terowongan yang
sedikit jumlahnya sehingga jarang dijumpai.

2. Scabies nodular, yaitu lesi berupa nodus coklat kemerahan yang gatal. Nodus biasanya
terdapat didaerah tertutup, terutama pada genetila laki-laki. Nodus ini timbul sebagai reaksi
hipersensitivitas terhadap tungau scabies.
3. Scabies pada bayi dan anak, yaitu lesi scabies pada anak dapat mengenai seluruh tubuh
termasuk seluruh kepala, leher, telapak tangan dan kaki dan sering terjadi infeksi sekunder
impetigo sehingga terowongan jarang ditemukan.

4. Scabies terbaring ditempat tidur, yaitu kelainan yang sering menyerang penderita penyakit
kronis dan pada orang yang lanjut usia yang terpaksa harus tinggal ditempat tidur terus.
Sehingga orang itu dapat menderita scabies dengan lesi yang terbatas.

5. Scabies Norwegia atau scabies krustosa, ini ditandai dengan lesi yang luas dengan krusta,
skuama generaisata dan hyperkeratosis

Nanda, IWH. (2014). Hubungan Karakteristik, Faktor Lingkungan


dan Perilaku dengan Kejadian Scabies di Pondok Pesantren
Darul Amanah Desa Kabunan Kecamatan Sukorejo Kabupaten
Kendal. Jurnal Kesehatan. Semarang: Fakultas Kesehatan,
Universitas Dian Nuswantoro.
Diakses : http://eprints.dinus.ac.id/6714/1/jurnal_14002.pdf
yang tebal. Tempat predileksi biasanya kulit kepala yang berambut, telinga, bokong, siku,
lutut, telapak tangan dan kaki yang disertai distrofi kuku, namun rasa gatal tidak terlalu
menonjol tetapi sangat menular akrena jumlah tungau yang menginfeksi sangat banyak.

3. Patofisiologi Skabies dan Infeksi Sekunder

Cara Penularan (Transmisi) dan Daur Hidup Sarcoptes Scabiei

Skabies ditularkan melalui migrasi tungau betina yang telah dibuahi dari satu orang ke
orang lain yang dapat terjadi melalui kontak langsung maupun tidak langsung. Kontak
langsung dapat terjadi melalui jabat tangan, tidur bersama, skin-to-skin attachment, dan
hubungan seksual. Kontak tidak langsung terjadi bila individu yang menderita skabies
bertukar benda dengan individu sehat, seperti handuk, pakaian, selimut, bantai dan seprei.
[1-4]

Tungau betina yang telah dibuahi menggali terowongan dalam stratum korneum kulit
dengan kecepatan 2-3 mm sehari sambil meletakkan 2-4 butir telur sehari, hingga
mencapai jumlah 40 hingga 50 telur. Telur-telur ini akan menetas biasanya dalam waktu
3-5 hari dan menjadi larva dengan tiga pasang kaki. Larva dapat tinggal di dalam
terowongan maupun keluar ke permukaan kulit. Setelah 2-3 hari, larva akan berubah
menjadi nimfa dan mempunyai 2 bentuk yaitu jantan atau betina. Secara keseluruhan,
siklus hidup skabies mulai dari telur hingga dewasa memerlukan 8-12 hari. [1] Literatur
lain menyatakan bahwa hanya membutuhkan 10-17 hari untuk menciptakan tungau betina
infeksius baru yang dapat bermigrasi ke individu lain. Periode inkubasi pada orang tanpa
paparan terhadap skabies sebelumnya hingga akhirnya menimbulkan gejala berkisar
antara 2-6 minggu. [2,5]

4. Penatalaksanaan Skabies dan Infeksi sekunder


a) Melakukan perbaikan higiene diri dan lingkungan, dengan:
1) Tidak menggunakan peralatan pribadi secara bersama-sama dan
alas tidur diganti bila ternyata pernah digunakan oleh penderita
skabies.
2) Menghindari kontak langsung dengan penderita skabies.
b) Terapi tidak dapat dilakukan secara individual melainkan harus
serentak dan menyeluruh pada seluruh kelompok orang yang ada
di sekitar penderita skabies. Terapi diberikan dengan salah satu
obat topikal (skabisid) di bawah ini:
1) Salep 2-4 dioleskan di seluruh tubuh, selama 3 hari berturut-
turut, dipakai setiap habis mandi.
2) Krim permetrin 5%di seluruh tubuh. Setelah 10 jam, krim
permethrin dibersihkan dengan sabun.

5. Terapi Penyakit Skabies dan Infeksi Sekunder


 Farmakologi
STUDI KASUS
1. Data Pasien
2. Intro
3. Data Lab
4. Diagnosa
5. Analisis SOAP

KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA
PERMENKES RI No.5 Tahun 2014 Tentang Panduan Klinis Bagi Dokter di fasilitas Pelayanan Kesehatan
Primer

Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Buku ajar ilmu penyakit kulit dan kelamin edisi keenam. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI. 2010

Ikatan Dokter Indonesia. Skabies. Dalam: Panduan praktik klinis bagi dokter di fasilitas pelayanan
kesehatan primer edisi pertama. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013

James WD, Berger TD, Elston DM. Andrew’s disease of the skin: clinical dermatology edisi 10.
Kanada: Saunders Elsevier. 2000.

Sungkar, S. (2016). Skabies Etiologi, Patogenesis, Pengobatan, Pemberantasan, dan Pencegahan. Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal. 7-25.

Anda mungkin juga menyukai