Anda di halaman 1dari 24

Makalah Agama Islam

Budaya Akademik dan Budaya Kerja

Disusun Oleh :
Dany Arief Herlambang (P17451213037)
Fatih Syawqi Mubarok (P17451213039)
Galih Yudhanta (P17451213040)

PROGRAM STUDI KESELAMATAN DAM KESEHATAM KERJA


FAKULTAS KESEHATAN TERAPAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadihat allah swt yang telah rahmat dan karunia-nya,
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah yang berjudul “
budaya akademik dan budaya kerja ” dengan lancar.

Adapun tujuan dari punulisan makalah ini untuk memenuhi tugas mata
kuliah agama islam. Selain itu, makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan
tentang budaya akademik dan budaya kerja dalam pandangan agama islam.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
Sebagian pengetahuannya sehingga penulis dapat menyelesainkan makalah ini.

Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, baik dari segi penyusunan, ataupun penulisannya. Oleh karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran agar makalah ini menjadi lebih baik lagi.

Situbondo, 7 Agustus 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................2
DAFTAR ISI......................................................................................................................3
BAB 1..................................................................................................................................4
PENDAHULUAN..............................................................................................................4
1.1 Latar Belakang......................................................................................................4
1.2 Tujuan..................................................................................................................4
1.3 Batasan Masalah...................................................................................................5
BAB 2................................................................................................................................6
PEMBAHASAN............................................................................................................6
2.1 BUDAYA AKADEMIK......................................................................................6
2.2 BUDAYA KERJA.............................................................................................13
BAB 3..............................................................................................................................24
PENUTUP...................................................................................................................24
3.1 KESIMPULAN..................................................................................................24

3
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Islam adalah agama yang universal, karena itu masalah-masalah yang ada
dalam masyarakat sudah barang tentu diatur di dalam ajaran Islam. Kajian tentang
Al Quran serta kandungan ajarannya tampaknya tidak akan pernah selesai dan
akan berlanjut sepanjang zaman. Keajaibannya akan senantiasa muncul
kepermukaan bagaikan mata air yang tidak pernah kering dan akan selalu menjadi
inspirasi kehidupan ummat Islam. Al Quran akan selalu hadir dalam kehidupan
yang sarat dengan berbagai persoalan hidup yang dialami oleh umat Islam. Di
sinilah letak salah satu keunikan Al Quran itu dan dari sini kita dapat memahami
mengapa orang yang mempercayainya tidak akan pernah meragukan validitas
ajarannya dan menganggapnya sebagai kebenaran mutlak dan final meski dipihak
lain orang yang meragukan dan tidak mempercayainya selalu berupaya untuk
meruntuhkan kebenaran Al Quran baik dengan cara halus atau kasar, dibungkus
dengan metode ilmiah yang mengandung distorsi atau bahkan hanya dengan
hujatan, tanpa mengandung ilmiah yang layak dalam kajian akademis.

Islam sebagai agama rahmatan lil alamin sudah representatif untuk


mewujudkan pendidikan multikultural(beragam budaya). Budaya merupakan
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat.

Dalam makalah ini, penulis akan membahas lebih jauh tentang Budaya
Akademik menurut Islam, Budaya Kerja menurut Islam, Budaya Sikap Terbuka
dan Adil menurut Islam

1.2 Tujuan
Melalui makalah ini, kami berharap dapat berbagi pengetahuan tentang
Budaya Akademik menurut Islam, Budaya Kerja menurut Islam sehingga makalah
ini dapat dijadikan sebagai salah satu bacaan alternatif bagi mahasiswa yang ingin
menambah pengetahuan tentang pandangan Islam terhadap beberapa budaya.

4
1.3 Batasan Masalah
Karena keterbatasan dalam materi serta informasi yang didapat, maka
makalah ini dititik beratkan hanya pada pengertian budaya, serta pandangan islam
terhadap beberapa budaya seperti budaya akademik dan etos kerja.

5
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 BUDAYA AKADEMIK
a. Pengertian Budaya Akademik
Budaya Akademik dapat dipahami sebagai suatu totalitas dari kehidupan
dan kegiatan akademik yang dihayati, dimaknai dan diamalkan oleh warga
masyarakat akademik, di lembaga pendidikan tinggi dan lembaga penelitian.

Kehidupan dan kegiatan akademik diharapkan selalu berkembang,


bergerak maju bersama dinamika perubahan dan pembaharuan sesuai tuntutan
zaman. Perubahan dan pembaharuan dalam kehidupan dan kegiatan akademik
menuju kondisi yang ideal senantiasa menjadi harapan dan dambaan setiap insan
yang mengabdikan dan mengaktualisasikan diri melalui dunia pendidikan tinggi
dan penelitian, terutama mereka yang menggenggam idealisme dan gagasan
tentang kemajuan. Perubahan dan pembaharuan ini hanya dapat terjadi apabila
digerakkan dan didukung oleh pihak-pihak yang saling terkait, memiliki
komitmen dan rasa tanggungjawab yang tinggi terhadap perkembangan dan
kemajuan budaya akademik.

Budaya akademik sebenarnya adalah budaya universal. Artinya, dimiliki


oleh setiap orang yang melibatkan dirinya dalam aktivitas akademik.
Membanggun budaya akademik bukan perkara yang mudah. Diperlukan upaya
sosialisasi terhadap kegiatan akademik, sehingga terjadi kebiasaan di kalangan
akademisi untuk melakukan normanorma kegiatan akademik tersebut.

Pemilikan budaya akademik ini seharusnya menjadi idola semua insan


akademisi perguruaan tinggi, yakni dosen dan mahasiswa. Derajat akademik
tertinggi bagi seorang dosen adalah dicapainya kemampuan akademik pada
tingkat guru besar (profesor). Sedangkan bagi mahasiswa adalah apabila ia
mampu mencapai prestasi akademik yang setinggi-tingginya.

6
Khusus bagi mahasiswa, faktor-faktor yang dapat menghasilkan prestasi
akademik tersebut ialah terprogramnya kegiatan belajar, kiat untuk berburu
referensi actual dan mutakhir, diskusi substansial akademik, dsb. Dengan
melakukan aktivitas seperti itu diharapkan dapat dikembangkan budaya mutu
(quality culture) yang secara bertahap dapat menjadi kebiasaan dalam perilaku
tenaga akademik dan mahasiswa dalam proses pendidikan di perguruaan tinggi.

Oleh karena itu, tanpa melakukan kegiatan-kegiatan akademik, mustahil


seorang akademisi akan memperoleh nilai-nilai normative akademik. Bias saja ia
mampu berbicara tentang norma dan nilai-nilai akademik tersebut didepan forum
namun tanpa proses belajar dan latihan, norma-norma tersebut tidak akan pernah
terwujud dalam praktik kehidupan sehari-hari. Bahkan sebaliknya, ia tidak segan-
segan melakukan pelanggaran dalam wilayah tertentu baik disadari ataupun
tidak.Kiranya, dengan mudah disadari bahwa perguruan tinggi berperan dalam
mewujudkan upaya dan pencapaian budaya akademik tersebut. Perguruan tinggi
merupakan wadah pembinaan intelektualitas dan moralitas yang mendasari
kemampuan penguasaan IPTEK dan budaya dalam pengertian luas disamping
dirinya sendirilah yang berperan untuk perubahan tersebut.

b. Pembahasan Tentang Budaya Akademik

Dari berbagai Forum terbuka tentang pembahasan Budaya Akademik yang


berkembang di Indonesia, menegaskan tentang berbagai macam pendapat di
antaranya :

1) Konsep dan Ciri-Ciri Perkembangan Budaya Akademik

Dalam situasi yang sarat idealisme, rumusan konsep dan pengertian


tentang Budaya Akademik yang disepakati oleh sebagian besar (167/76,2%)
responden adalah“Budaya atau sikap hidup yang selalu mencari kebenaran ilmiah
melalui kegiatan akademik dalam masyarakat akademik, yang mengembangkan
kebebasan berpikir, keterbukaan, pikiran kritis-analitis; rasional dan obyektif oleh
warga masyarakat akademik” Konsep dan pengertian tentang Budaya Akademik

7
tersebut didukung perumusan karakteristik perkembangannya yang disebut “Ciri-
Ciri Perkembangan Budaya Akademik” yang meliputi berkembangnya

1. Penghargaan terhadap pendapat orang lain secara obyektif


2. Pemikiran rasional dan kritis analitis dengan tanggung jawab moral
3. Kebiasaan membaca
4. Menambah ilmu dan wawasan
5. Kebiasaan meneliti dan mengabdi kepada masyarakat
6. Penulis artikel, makalah, buku
7. Diskusi ilmiah
8. Proses belajar mengajar
9. Menejemen perguruan tinggi yang baik
2) Tradisi Akademik

Pemahaman mayoritas responden (163/74,4%) mengenai Tradisi


Akademik adalah,“Tradisi yang menjadi ciri khas kehidupan masyarakat
akademik dengan menjalankan proses belajar-mengajar antara dosen dan
mahasiswa; menyelenggarakan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat,
serta mengembangkan cara-cara berpikir kritis-analitis, rasional dan inovatif di
lingkungan akademik”

Tradisi menyelenggarakan proses belajar-mengajar antara guru dan murid,


antara pandito dan cantrik, antara kiai dan santri sudah mengakar sejak ratusan
tahun yang lalu, melalui lembaga-lembaga pendidikan seperti padepokan dan
pesantren. Akan tetapi tradisi-tradisi lain seperti menyelenggarakan penelitian
adalah tradisi baru. Demikian pula, tradisi berpikir kritis-analitis, rasional dan
inovatif adalah kemewahan yang tidak terjangkau tanpa terjadinya perubahan dan
pembaharuan sikap mental dan tingkah laku yang harus terus-menerus
diinternalisasikan dan disosialisasikan dengan menggerus sikap mental
paternalistik dan ewuh-pakewuh yang berlebih-lebihan pada sebagian masyarakat
akademik yang mengidap tradisi lapuk, terutama dalam paradigma patron-client
relationship yang mandarah-daging.

8
3) Kebebesan Akademik

Pengertian tentang “Kebebasan Akademik” yang dipilih oleh 144 orang


(65,7%) responden adalah

Kebebasan yang dimiliki oleh pribadi-pribadi anggota sivitas akademika


(mahasiswa dan dosen) untuk bertanggungjawab dan mandiri yang berkaitan
dengan upaya penguasaan dan pengembangan Iptek dan seni yang mendukung
pembangunan nasional. Kebebasan akademik meliputi kebebasan menulis,
meneliti, menghasilkan karya keilmuan, menyampaikan pendapat, pikiran,
gagasan sesuai dengan bidang ilmu yang ditekuni, dalam kerangka akademis
(Kistanto, et. al., 2000: 86).

“Kebebasan Akademik” berurat-berakar mengiringi tradisi intelektual


masyarakat akademik – tetapi kehidupan dan kebijakan politik acapkali
mempengaruhi dinamika dan perkembangannya. Dalam rezim pemerintahan yang
otoriter, kiranya kebebasan akademik akan sulit berkembang. Dalam kepustakaan
internasional kebebasan akademik dipandang sebagai inti dari budaya akademik
dan berkaitan dengan kebebasan berpendapat.

Dalam masyarakat akademik di Indonesia, kebebasan akademik yang


berkaitan puluhan tahun diwarnai oleh pelarangan dan pembatasan kegiatan
akademik di era pemerintahan Suharto (lihat Watch 1998). Kini kebebasan
akademik telah berkembang seiring terjadinya pergeseran pemerintahan dari
Suharto kepada Habibie, dan makin berkembang begitu bebas pada pemerintahan
Abdurrahman Wahid, bahkan hampir tak terbatas dan “tak bertanggungjawab,”
sampai pada pemerintahan Megawati, yang makin sulit mengendalikan
perkembangan kebebasan berpendapat.

Selain itu, kebebasan akademik kadangkala juga berkaitan dengan sikap-


sikap dalam kehidupan beragama yang pada era dan pandangan keagamaan
tertentu menimbulkan hambatan dalam perkembangan kebebasan akademik,
khususnya

9
kebebasan berpendapat. Dapat dikatakan bahwa kebebasan akademik suatu
masyarakat-bangsa sangat tergantung dan berkaitan dengan situasi politik dan
pemerintahan yang dikembangkan oleh para penguasa. Pelarangan dan
pembatasan kehidupan dan kegiatan akademik yang menghambat perkembangan
kebebasan akademik pada lazimnya meliputi

1. Penerbitan buku tertentu


2. Pengembangan studi tentang ideologi tertentu
3. Pengembangan kegiatan kampus, terutama demontrasi dan diskusi yang
bertentangan dengan ideologi dan kebijakan pemerintahan atau negara.

c. Otonomi keilmuan

Dalam PP No. 30 Th. 1990 terdapat konsep mengenai “Otonomi


Keilmuan” yang disebut “merupakan pedoman bagi perguruan tinggi dan sivitas
akademika dalam penguasaan dan pengembangan IPTEK dan seni.” PP tersebut
tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai “Otonomi Keilmuan” tetapi
memberikan arahan yang penjabarannya tampaknya diserahkan kepada PT
masing-masing, antara lain:

1. Pelaksanaan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan


otonomi
keilmuan berpedoman pada norma dan kaidah keilmuan, diarahkan untuk
memantapkan terwujudnya penguasaan, pengembangan IPTEK dan seni.
2. Senat perguruan tinggi berkewajiban merumuskan peraturan pelaksanaan
kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan perwujudan
otonomi
keilmuan dalam kerangka pemantapan terwujudnya penguasaan,
pengembangan
IPTEK, seni, dan pembangunan nasional. Empat pilihan jawaban yang
diajukan

10
dalam butir kuesioner tentang “Otonomi Keilmuan” tidak secara eksplisit
memungut dari PP No. 30/Th. 1990, melainkan lebih dari hasil survei
pendahuluan yang dilaksanakan sebelumnya pada tingkat lokal yang
berbunyi
sebagai berikut:
 Kewenangan perguruan tinggi untuk merumuskan pelaksanaan
pengembangan kegiatan-kegiatan akademik di kampus masing-
masing.
 Otonomi lembaga-lembaga keilmuan (perguruan tinggi) untuk
menggali menemukan mengembangan IPTEK.
 Otonomi pengembangan keilmuan yang dimiliki dosen dan
mahasiswa sesuai kaidah-kaidah dan norma-norma keilmuan.

d. Kesadaran Kritis Dan Budaya Akademik

Merujuk pada redaksi UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab


VI bagian ke empat pasal 19 bahwasanya mahasiswa itu sebenarnya hanya
sebutan akademis untuk siswa/ murid yang telah sampai pada jenjang pendidikan
tertentu dalam masa pembelajarannya. Sedangkan secara harfiah, mahasiswa”
terdiri dari dua kata, yaitu Maha yang berarti tinggi dan Siswa yang berarti subyek
pembelajar sebagaimana pendapat Bobbi de porter, jadi kaidah etimologis
menjelaskan pengertian mahasiswasebagai pelajar yang tinggi atau seseorang
yang belajar di perguruan tinggi/ universitas.

Namun jika kita memaknai mahasiswa sebagai subyek pembelajar saja,


amatlah sempit sebab meski diikat oleh suatu definisi study, akan tetapi
mengalami perluasan makna mengenai eksistensi dan peran yang dimainkan
dirinya. Kemudian pada perkembangan selanjutnya, mahasiswa tidak lagi
diartikan hanya sebatas subyek pembelajar (study), akan tetapi ikut mengisi
definisi learning. Mahasiswa adalah seorang pembelajar yang tidak hanya duduk
di bangku kuliah kemudian mendengarkan tausiyah dosen, lalu setelah itu pulang
dan menghapal di rumah untuk menghadapi ujian tengah semester atau Ujian
Akhir semester. Mahasiswa dituntut untuk menjadi seorang simbol pembaharu

11
dan inisiator perjuangan yang respect dan tanggap terhadap isu-isu sosial serta
permasalahan umat manusia.

Apabila kita melakukan kilas balik, melihat sejarah, peran mahasiswa


acapkali mewarnai perjalanan bangsa Indonesia, mulai dari penjajahan hingga kini
masa reformasi. mahasiswa bukan hanya menggendong tas yang berisi buku, tapi
mahasiswa turut angkat senjata demi kedaulatan bangsa Indonesia. Dan telah
menjadi rahasia umum, bahwasanya mahasiswa lah yang menjadi pelopor
restrukturisasi tampuk kepemimpinan NKRI pada saat reformasi 1998. Peran yang
diberikan mahasiswa begitu dahsyat, sehingga sendisendi bangsa yang telah
rapuh, tidak lagi bisa ditutup-tutupi oleh rezim dengan status quonya, tetapi bisa
dibongkar dan dihancurkan oleh Mahasiswa.

Mencermati alunan sejarah bangsa Indonesia, hingga kini tidak terlepas


dari peran mahasiswa, oleh karena itu mahasiswa dapat dikategorikan sebagai
Agent of social change ( Istilah August comte) yaitu perubah dan pelopor ke arah
perbaikan suatu bangsa. Kendatipun demikian, paradigma semacam ini belumlah
menjadi kesepakatan bersama antar mahasiswa (Plat form ), sebab masih ada
sebagian madzhab mahasiswa yang apriori ( cuek ) terhadap eksistensi dirinya
sebagai seorang mahasiswa, bahkan ia tak mau tahu menahu tentang keadaan
sekitar lingkungan masyarakat ataupun sekitar lingkungan kampusnya sendiri.
Yang terpenting buat mereka adalah duduk dibangku kuliah menjadi kambing
conge dosen, lantas pulang duluan ke rumah.

Inikah mahasiswa ? Padahal, mahasiswa adalah sosok yang semestinya


kritis, logis, berkemauan tinggi, respect dan tanggap terhadap permasalahan umat
dan bangsa, mau bekerja keras, belajar terus menerus, mempunyai nyali
(keberanian yang tinggi) untukmenyatakan kebenaran, aplikatif di lingkungan
masyarakat serta spiritualis dan konsisten dalam mengaktualisasikan nilai-nilai
ketauhidan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dengan Konsep itulah, mahasiswa semestinya bergerak dan menyadari


dirinya akan eksistensi ke-mahahasiswaan nya itu. Belajar tidaklah hanya sebatas

12
mengejar gelar akademis atau nilai indeks prestasi ( IP ) yang tinggi dan mendapat
penghargaan cumlaude, lebih dari itu mahasiswa harus bergerak bersama rakyat
dan pemerintah untuk membangun bangsa, atau paling tidak dalam lingkup yang
paling mikro, ada suatu kemauan untuk mengembangkan civitas/ perguruan tinggi
dimana ia kuliah. Misalnya dengan ikut serta/ aktif di Organisasi Mahasiswa, baik
itu Organisasi intra kampus ( BEM dan UKM ) ataupun Organisasi Ekstra
kampus, serta aktif dalam kegiatan-kegiatan lain yang mengarah pada
pembangunan bangsa

2.2 BUDAYA KERJA


a. Pengertian Budaya Kerja

Suatu keberhasilan kerja, berakar pada nilai-nilai yang dimiliki dan


perilaku yang menjadi kebiasaannya. Nilai-nilai tersebut bermula dari adat
kebiasaan, agama, norma dan kaidah yang menjadi keyakinannya menjadi
kebiasaan dalam perilaku kerja atau organisasi. Nilai-nilai yang telah menjadi
kebiasaan tersebut dinamakan budaya. Oleh karena budaya dikaitkan dengan
mutu atau kualitas kerja, maka dinamakan budaya kerja.

Kata budaya itu sendiri adalah sebagai suatu perkembangan dari bahasa
sansekerta ‘ budhayah’ yaitu bentuk jamak dari buddhi atau akal, dan kata
majemuk budi- daya, yang berarti daya dari budi, dengan kata lain ”budaya
adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa. Sedangkan kebudayaan
merupakan pengembangan dari budaya yaitu hasil dari cipta, karsa dan rasa
tersebut”

Pengertian kebudayaan banyak dikemukakan oleh para ahli seperti


Koentraningrat, yaitu; ”kebudayaan adalah keseluruhan manusia dari kelakuan
dan hasil kelakukan yang teratur oleh tatakelakuan yang harus didapatnya dengan
belajar dan semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat”.

Budaya kerja, merupakan sekumpulan pola perilaku yang melekat secara


keseluruhan pada diri setiap individu dalam sebuah organisasi. Membangun
budaya berarti juga meningkatkan dan mempertahankan sisi-sisi positif, serta

13
berupaya membiasakan (habituating process) pola perilaku tertentu agar tercipta
suatu bentuk baru yang lebih baik.

Adapun pengertian budaya kerja menurut Hadari Nawawi dalam bukunya


Manajemen Sumber Daya Manusia menjelaskan bahwa:

udaya Kerja adalah kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang oleh


pegawai dalam suatu organisasi, pelanggaraan terhadap kebiasaan ini memang
tidak ada sangsi tegas, namun dari pelaku organisasi secara moral telah
menyepakati bahwa kebiasaan tersebut merupakan kebiasaan yang harus ditaati
dalam rangka pelaksanaan pekerjaan untuk mencapai tujuan.

Dari uraian di atas bahwa, budaya kerja merupakan perilaku yang


dilakukan berulang-ulang oleh setiap individu dalam suatu organisasi dan telah
menjadi kebiasaan dalam pelaksanaan pekerjaan.

Adapun Menurut Triguno dalam bukunya Manajemen Sumber Daya


Manusia menerangkan bahwa:

Budaya Kerja adalah suatu falsafah yang didasari oleh pandangan hidup
sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan, dan kekuatan pendorong,
membudaya dalam kehidupan suatu kelompok masyarakat atau organisasi yang
tercermin dari sikap menjadi perilaku, kepercayaan, cita-cita, pendapat dan
tindakan yang terwujud sebagai kerja atau bekerja.

Taliziduhu Ndraha dalam buku Teori Budaya Kerja, mendefinisikan


budaya

kerja, yaitu; ”Budaya kerja merupakan sekelompok pikiran dasar atau program
mental yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan efisiensi kerja dan
kerjasama manusia yang dimiliki oleh suatu golongan masyarakat”

Sedangkan Menurut Osborn dan Plastrik dalam bukunya Manajemen


Sumber Daya Manusia menerangkan bahwa: “Budaya kerja adalah seperangkat
perilaku perasaan dan kerangka psikologis yang terinternalisasi sangat mendalam
dan dimiliki bersama oleh anggota or ganisasi”.

14
Dari uraian-uraian di atas bahwa, budaya kerja merupakan falsafah
sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan, dan kekuatan pendorong yang
dimiliki bersama oleh setiap individu dalam lingkungan kerja suatu organisasi.

Jika dikaitkan dengan organisasi, maka budaya kerja dalam organisasi


menunjukkan bagaimana nilai-nilai organisasi dipelajari yaitu ditanam dan
dinyatakan dengan menggunakan sarana (vehicle) tertentu berkali-kali, sehingga
agar masyarakat dapat mengamati dan merasakannya

b. Terbentuknya Budaya Kerja

Budaya kerja berbeda antara organisasi satu dengan yang lainnya, hal itu
dikarenakan landasan dan sikap perilaku yang dicerminkan oleh setiap orang
dalam organisasi berbeda. Budaya kerja yang terbentuk secara positif akan
bermanfaat karena setiap anggota dalam suatu organisasi membutuhkan sumbang
saran, pendapat bahkan kritik yang bersifat membangun dari ruang lingkup
pekerjaaannya demi kemajuan di lembaga pendidikan tersebut, namun budaya
kerja akan berakibat buruk jika pegawai dalam suatu organisasi mengeluarkan
pendapat yang berbeda hal itu dikarenakan adanya perbedaan setiap individu
dalam mengeluarkan pendapat, tenaga dan pikirannya, karena setiap individu
mempunyai kemampuan dan keahliannya sesuai bidangnya masing-masing.

Untuk memperbaiki budaya kerja yang baik membutuhkan waktu


bertahun-tahun untuk merubahnya, maka itu perlu adanya pembenahan-
pembenahan yang dimulai dari sikap dan tingkah laku pemimpinnya kemudian
diikuti para bawahannya, terbentuknya budaya kerja diawali tingkat kesadaran
pemimpin atau pejabat yang ditunjuk dimana besarnya hubungan antara
pemimpin dengan bawahannya sehingga akan menentukan suatu cara tersendiri
apa yang dijalankan dalam perangkat satuan kerja atau organisasi.

Maka dalam hal ini budaya kerja terbentuk dalam satuan kerja atau
organisasi itu berdiri, artinya pembentukan budaya kerja terjadi ketika lingkungan
kerja atau organisasi belajar dalam menghadapi permasalahan, baik yang
menyangkut masalah organisasi.

15
Cakupan makna setiap nilai budaya kerja tersebut, antara lain:

a) Disiplin; Perilaku yang senantiasa berpijak pada peraturan dan norma yang
berlaku di dalam maupun di luar perusahaan. Disiplin meliputi ketaatan
terhadap peraturan perundang-undangan, prosedur, berlalu lintas, waktu
kerja, berinteraksi dengan mitra, dan sebagainya.
b) Keterbukaan; Kesiapan untuk memberi dan menerima informasi yang
benar dari dan kepada sesama mitra kerja untuk kepentingan perusahaan.
c) Saling menghargai; Perilaku yang menunjukkan penghargaan terhadap
individu, tugas dan tanggung jawab orang lain sesama mitra kerja.
d) Kerjasama; Kesediaan untuk memberi dan menerima kontribusi dari dan
atau kepada mitra kerja dalam mencapai sasaran dan target perusahaan

Kesuksesan organisasi bermula dari adanya disiplin menerapkan nilai-nilai


inti perusahaan. Konsistensi dalam menerapkan kedisiplinan dalam setiap
tindakan, penegakan aturan dan kebijakan akan mendorong munculnya kondisi
keterbukaan, yaitu keadaan yang selalu jauh dari prasangka negatif karena segala
sesuatu disampaikan melalui fakta dan data yang akurat (informasi yang benar).
Selanjutnya, situasi yang penuh dengan keterbukaan akan meningkatkan
komunikasi horizontal dan vertikal, membina hubungan personal baik formal
maupun informal diantara jajaran manajemen, sehingga tumbuh sikap saling
menghargai.

Pada gilirannya setelah interaksi lintas sektoral dan antar karyawan


semakin baik akan menyuburkan semangat kerjasama dalam wujud saling
koordinasi manajemen atau karyawan lintas sektoral, menjaga kekompakkan
manajemen, mendukung dan mengamankan setiap keputusan manajemen, serta
saling mengisi dan melengkapi. Hal inilah yang menjadi tujuan bersama dalam
rangka membentuk budaya kerja.

Pada prinsipnya fungsi budaya kerja bertujuan untuk membangun


keyakinan sumberdaya manusia atau menanamkan nilai-nilai tertentu yang
melandasi atau mempengaruhi sikap dan perilaku yang konsisten serta komitmen

16
membiasakan suatu cara kerja di lingkungan masing-masing. Dengan adanya
suatu keyakinan dan komitmen kuat merefleksikan nilai-nilai tertentu, misalnya
membiasakan kerja berkualitas, sesuai standar, atau sesuai ekpektasi pelanggan
(organisasi), efektif atau produktif dan efisien.

Tujuan fundamental budaya kerja adalah untuk membangun sumber daya


manusia seutuhnya agar setiap orang sadar bahwa mereka berada dalam suatu
hubungan sifat peran pelanggan, pemasok dalam komunikasi dengan orang lain
secara efektif dan efisien serta menggembirakan. Budaya kerja berupaya
mengubah komunikasi tradisional menjadi perilaku manajemen modern, sehingga
tertanam kepercayaan dan semangat kerjasama yang tinggi serta disiplin.

Dengan membiasakan kerja berkualitas, seperti berupaya melakukan cara


kerja tertentu, sehingga hasilnya sesuai dengan standar atau kualifikasi yang
ditentukan organiasi. Jika hal ini dapat terlaksana dengan baik atau membudaya
dalam diri pegawai, sehingga pegawai tersebut menjadi tenaga yang bernilai
ekonomis, atau memberikan nilai tambah bagi orang lain dan organisasi. Selain
itu, jika pekerjaan yang dilakukan pegawai dapat dilakukan dengan benar sesuai
prosedur atau ketentuan yang berlaku, berarti pegawai dapat bekerja efektif dan
efisien.

Melaksanakan budaya kerja mempunyai arti yang sangat mendalam,


karena akan merubah sikap dan perilaku sumber daya manusia untuk mencapai
produktivitas kerja yang lebih tinggi dalam menghadapi tantangan masa depan.
Disamping itu masih banyak lagi manfaat yang muncul seperti kepuasan kerja
meningkat, pergaulan yang lebih akrab, disiplin meningkat, pengawasan
fungsional berkurang, pemborosan berkurang, tingkat absensi menurun, terus
ingin belajar, ingin memberikan terbaik bagi organisasi, dan lain-lain.

Berdasarkan pandangan mengenai manfaat budaya kerja, dapat ditarik


suatu deskripsi sebenarnya bahwa manfaat budaya kerja adalah untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia, kualitas hasil kerja, kuantitas hasil
kerja sehingga sesuai yang diharapkan.

17
c. Unsur Unsur Budaya kerja

Budaya kerja adalah berpijak dari nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa
atau masyarakat Indonesia yang diolah sedemikian rupa menjadi nilai-nilai baru
yang akan menjadi sikap dan perilaku manajemen yang diharapkan dalam upaya
menghadapi tantangan baru. Budaya kerja tidak akan muncul begitu saja, akan
tetapi harus diupayakan dengan sungguh-sungguh melalui proses yang terkendali
dengan melibatkan semua sumber daya manusia dalam seperangkat sistem, alat-
alat dan teknik-teknik pendukung.

Budaya kerja akan menjadi kenyataan melalui proses panjang, karena


perubahan nilai-nilai lama menjadi nilai-nilai baru akan memakan waktu untuk
menjadi kebiasaan dan tak henti-hentinya terus melakukan penyempurnaan dan
perbaikan.

Menurut Taliziduhu Ndraha, budaya kerja dapat dibagi menjadi dua unsur, yaitu:

I. Sikap terhadap pekerjaan, yakni kesukaan akan kerja dibandingkan dengan


kegiatan lain, seperti bersantai, atau semata-mata memperoleh kepuasan
dari kesibukan pekerjaannya sendiri, atau merasa terpaksa melakukan
sesuatu hanya untuk kelangsungan hidupnya.
II. Perilaku pada waktu bekerja, seperti rajin, berdedikasi, bertanggung
jawab, berhati-hati, teliti, cermat, kemauan yang kuat untuk mempelajari
tugas dan kewajibannya, suka membantu sesma pegawai, atau sebaliknya.

Budaya kerja merupakan suatu organisasi komitmen yang luas dalam


upaya untuk membangun sumber daya mnusia, proses kerja dan hasil kerja yang
lebih baik. Untuk mencapai tingkat kualitas yang makin baik tersebut diharapkan
bersumber dari perilaku setiap individu yang terkait dalam organisasi kerja itu
sendiri. Setiap fungsi atau proses kerja mempunyayi perbedaan cara kerja, yang
mengakibatkan berbeda nilai-nilai yang cocok untuk diambil dalam kerangka
kerja organisasi. Setiap nilai-nilai apa yang sepatutnya dimiliki oleh pemimpin

18
puncak dan pemimpin lainnya, bagaimana perilaku setiap orang akan
mempengaruhi kerja mereka.

Menurut Triguno unsur-unsur dalam budaya organisasi, antara lain:

1. Falsafah, berupa nilai-nilai luhur Pancasila, UUD 1945, agama, tradisi,


dan teknologi.
2. Kualitas, yakni dimensi yang meliputi performance, features,
conformance, durability, serviceability, aesthetics, perseived quality,
value, responveness, humanity, security, dan competency.
3. Nilai-nilai instrumen, yakni standar mutu, hubungan pemasok-pelanggan,
orientasi pencegahan, mutu dan setiap sumber, dan penyempurnaan terus-
menerus.

Adapun indikator-indikator budaya kerja menurut Taliziduhu Ndraha dapat


dikategorikan tiga Yaitu :

1) Kebiasaan

Kebiasaan-kebiasaan biasanya dapat dilihat dari cara pembentukan


perilaku berorganisasi pegawai, yaitu perilaku berdasarkan kesadaran akan hak
dan kewajiban, kebebasan atau kewenangan dan tanggungjawab baik pribadi
maupun kelompok di dalam ruang lingkup lingkungan pekerjaan. Adapun istilah
lain yang dapat dianggap lebih kuat ketimbang sikap, yaitu pendirian (position),
jika sikap bisa berubah pendiriannya diharapkan tidak berdasarkan keteguhan
atau kekuatannya. Maka dapat diartikan bahwa sikap merupakan cermin pola
tingkah laku atau sikap yang sering dilakukan baik dalam keadaan sadar ataupun
dalam keadaan tidak disadar, kebiasaan biasanya sulit diperbaiki secara cepat
dikarenakan sifat yang dibawa dari lahiriyah, namun dapat diatasi dengan adanya
aturan-aturan yang tegas baik dari organisasi ataupun perusahaan.

2) Peraturan

Untuk memberikan ketertiban dan kenyamanan dalam melaksanakan tugas


pekerjaan pegawai, maka dibutuhkan adanya peraturan karena peraturan

19
merupakan bentuk ketegasan dan bagian terpenting untuk mewujudkan pegawai
disiplin dalam mematuhi segala bentuk peraturan-peraturan yang berlaku di
lembaga pendidikan. Sehingga diharapkan pegawai memiliki tingkat kesadaran
yang tinggi sesuai dengan konsekwensi terhadap peraturan yang berlaku baik
dalam organisasi perusahaan maupun di lembaga pendidikan.

3) Nilai-Nilai

Nilai merupakan penghayatan seseorang mengenai apa yang lebih penting


atau kurang penting, apa yang lebih baik atau kurang baik, dan apa yang lebih
benar atau kurang benar. Untuk dapat berperan nilai harus menampakkan diri
melalui media atau encoder tertentu. Nilai bersifat abstrak, hanya dapat diamati
atau dirasakan jika terekam atau termuat pada suatu wahana atau budaya kerja.
Jadi nilai dan budaya kerja tidak dapat dipisahkan dan keduanya harus ada
keselarasan dengan budaya kerja searah, keserasian dan keseimbangan. Maka
penilaian dirasakan sangat penting untuk memberikan evaluasi terhadap kinerja
pegawai agar dapat memberikan nilai baik secara kualitas maupun kuantitas.

d. Model-Model Budaya Kerja

Berikut adalah contoh-contoh model budaya kerja berdasarkan Kajian-


kajian yang dilakukan mengenai budaya kerja organisasi telah menampilkan
beberapa model tertentu yaitu budaya autoritarian, budaya birokratik, budaya
tugas, budaya individualistik, budaya tawar- menawar dan budaya kolektiviti
yaitu :

1) Budaya Kerja Autoritarian

Budaya kerja jenis ini menumpukan kepada ‘command and control’.


Kuasa dan autoriti dalam organisasi biasanya terpusat kepada pemimpinnya yang
seringkali disanjung sebagai , hero’ .Pekerja akan diharapkan untuk
memperlihatkan kesetiaan yang tinggi kepada pemimpin. Arahan dan peraturan
dihantar dari atas menuju ke dasar organisas.

20
Budaya bentuk ini seringkali diamalkan dengan berkesan dalam organisasi
yang bersaiz kecil seperti pemiagaan keluarga, syarikat kecil dan firma sederhana.
Bagaimanapun terdapat agensi swasta yang melaksanakan budaya kerja ini
dimana keputusan ditentukan oleh pengasas atau pemegang saham utama,
manakala pekerja tidak mempunyai suara kecuali sebahagian kecil individu
dalam organisasi yang diberi kepercayaan oleh pemilik atau pemegang saham
utama tadi. Asas kepercayaan boleh berdasarkan kepada unsure nepotisme,
kronisme, peribadi atau mungkin juga kecekapan.

Dengan demikian hubungan personal yang rapat dengan pihak atasan


adalah faktor penting dalam kelancaran pekerjaan dan kenaikan pangkat. Oleh itu
bagi menjaga kepentingan, pekerja cenderung untuk bersikap ‘yes man , dan ‘play
safe’ dari pada memberi pandangan kritikal bagi menjaga kedudukan dan
kepentingan masing-masing.

2) Budaya kerja Birokratik

Budaya kerja birokratik ini berasaskan kepada konsep bahawa organisasi


boleh diurus dengan cekap menerusi kaedah pengurusan bersifat impersonal,
rasional, autoriti dan formaliti. Impersonal bermaksud setiap pekerja tertakluk
kepada peraturan dan prosedur yang sama dan harus menerima layanan yang
sama. Peraturan dan prosedur tersebut adalah dilaksanakan secara formal untuk
mengingatkan pekerja akan etika dan keperluan yang dikehendaki daripada
mereka.

Jawatan dalam organisasi adalah disusun mengikut hierarki supaya


tanggungjawab, penyeliaan, autoriti dan akauntabiliti jelas dan mudah diikuti.
Manakala untuk mempastikan kelancaran dan kecekapan kerja, pengkhususan
tugas dilakukan iaitu dengan memecah- mecahkan kerja menjadi lebih spesifik
supaya pekerja mudah menguasai dan cekap melakukannya. Dalam masa yang
sama, faktor meritokrasi digunapakai dalam organisasi iaitu pengambilan pekerja,
kenaikan pangkat dan pemberian ganjaran diberi berdasarkan kebolehan dan
prestasi kerja masing-masing.

21
3) Budaya Kerja Fungsional

Organisasi-organisasi kerja yang berjaya di Barat sering mengamalkan


budaya kerja fungsional atau ‘project- based’ ini. Dalam konsep fungsional, kerja
dalam organisasi dibagi dan ditugaskan kepada individu atau pasukan tertentu.
Projek yang paling penting akan diserahkan kepada pekerja atau sekumpulan
pekerja yang paling berkemampuan. Apabila projek tersebut selesai, maka tugas
individu atau kumpulan akan selesai dan kumpulan baru pula akan dibentuk bagi
melaksanakan projek yang lain.

Oleh itu, struktur kumpulan adalah fleksibel dan interaksi adalah


berasaskan kemahiran dan hormat-menghormati. Keputusan akan diperolehi
selepas perbincangan, perundingan dan persetujuan para anggota projek. Oleh itu
kejayaan dinilai berasaskan kebolehan menyempurnakan projek yang memuaskan
pelanggan. Bekerja secara bersama bagi menjayakan sesuatu projek ini
membentuk solidariti pekerja dan mendorong penyesuaian antara personaliti yang
berbeza kerana mereka sama-sama bertanggungjawab kepada kejayaan
organisasi.

4) Budaya Kerja Individualistik

Dalam organisasi yang mengamalkan budaya kerja ini, individu tertentu


menjadi tumpuan utama. Terdapat universiti yang bergantung kepada profesor
ternama untuk menarik pelajar dan mendapatkan tajaan. Begitu juga firma
konsultansi atau guaman biasanya bergantung penuh kepada individu (konsultan
atau peguam) tertentu yang popular bagi menarik pelanggan. Dalam organisasi
seperti ini segelintir kecil pekerja adalah tulang belakang kejayaan syarikat kerana
mereka mempunyai reputasi, kredibiliti, kepandaian dan keterampilan. Kebolehan
mendapatkan pelanggan seringkali menyebabkan mereka kurang terikat kepada
peraturan dan prosedur. Kenaikan pangkat sepenuhnya bergantung kepada
meritokrasi kerana setiap orang perlu membuktikan bahawa mereka memberi
sumbangan yang lebih daripada orang lain kepada organisasi.

5) Budaya Kerja Tawar Menawar

22
Dalam organisasi jenis ini, kesatuan pekerja diiktiraf sebagai bagian utama
dalam organisasi. Kesatuan sekerja berfungsi untuk menjaga kepentingan pekerja
dan membantu pengurusan mencapai matlamat organisasi. Perundingan dan tawar
menawar berlangsung berdasarkan perundangan dan prosedur yang diakui oleh
kedua-dua belah pihak. Meskipun pertikaian dan pertentangan pendapat
kadangkala berlaku antara kesatuan sekerja dan majikan, tetapi ia sering dapat
diselesaikan di meja rundingan. Dari satu segi pihak pengurusan boleh mendapat
pandangan wakil kesatuan sekerja bagi melaksanakan peraturan, sistem dan
ganjaran. Manakala kesatuan sekerja akan mempastikan hak, kepentingan dan
kebajikan pekerja diberi jaminan. Secara keseluruhannya pendekatan ini yang
berkonsepkan hubungan rapat majikan pekerja bertujuan untuk mewujudkan
situasi menang-menang antara kedua belah pihak.

6) Budaya Kerja Kolektif

Dikatakan bahawa antara kunci kejayaan organisasi Jepun adalah


kebolehan mereka untuk menggunakan idea dan cadangan pekerja bawahan. Ini
karena pekerja adalah ‘pemilik proses kerja’ dan mereka lebih mengetahui tentang
sistem dan tatacara melaksanakan kerja berbanding orang lain. Dengan itu pekerja
diberi peluang untuk mengemukakan cadangan dan kreativitas bagi memperbaiki
proses kerja, sistem dan prosedur.

23
BAB 3
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah,
yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-
hal yang berkaitan dengan budi dan akal.

3.1.1 BUDAYA AKADEMIK


Dari uraian di atas “hakekat” penyikapan IPTEK dalam kehidupan sehari-
hari yang islami adalah memanfaatkan perkembangan IPTEK untuk
meningkatkan martabat manusia dan meningkatkan kualitas ibadah kepada Allah
SWT.

3.1.2 BUDAYA KERJA


Budaya Kerja adalah kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang oleh
pegawai dalam suatu organisasi, pelanggaraan terhadap kebiasaan ini memang
tidak ada sangsi tegas, namun dari pelaku organisasi secara moral telah
menyepakati bahwa kebiasaan tersebut merupakan kebiasaan yang harus ditaati
dalam rangka pelaksanaan pekerjaan untuk mencapai tujuan. Budaya kerja yang
terbentuk secara positif akan bermanfaat karena setiap anggota dalam suatu
organisasi membutuhkan sumbang saran, pendapat bahkan kritik yang bersifat
membangun dari ruang lingkup pekerjaaannya demi kemajuan di lembaga
pendidikan tersebut, namun budaya kerja akan berakibat buruk jika pegawai
dalam suatu organisasi mengeluarkan pendapat yang berbeda hal itu dikarenakan
adanya perbedaan setiap individu dalam mengeluarkan pendapat, tenaga dan
pikirannya, karena setiap individu mempunyai kemampuan dan keahliannya
sesuai bidangnya masing-masing.

24

Anda mungkin juga menyukai