PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam dunia kesehatan kita sering mendengar kata Transisi Epidemiologi, atau beban ganda
penyakit.
Transisi epidemiologi bermula dari suatu perubahan yang kompleks dalam pola kesehatan
dan pola penyakit utama penyebab kematian dimana terjadi penurunan prevalensi penyakit
infeksi (penyakit menular), sedangkan penyakit non infeksi (penyakit tidak menular) justru
semakin meningkat. Hal ini terjadi seiring dengan berubahnya gaya hidup, sosial ekonomi
dan meningkatnya umur harapan hidup yang berarti meningkatnya pola risiko timbulnya
penyakit degeneratif seperti penyakit jantung koroner, diabetes melitus, hipertensi, dan lain
sebagainya. Ya..mungkin seperti itulah pengertian Transisi Epidemiologi yang saya ketahui.
Teori transisi epidemiologi sendiri pertama kali dikeluarkan oleh seorang pakar
Demografi Abdoel Omran pada tahun 1971. Pada saat itu ia mengamati perkembangan kesehatan di
negara industri sejak abad 18. Dia kemudian menuliskan sebuah teori bahwa ada 3 fase transisi
epidemiologis yaitu 1)The age of pestilence and famine, yang ditandai dengan tingginya mortalitas
dan berfluktuasi serta angka harapan hidup kurang dari 30 tahun, 2)The age of receding pandemics,
era di mana angka harapan hidup mulai meningkat antara 30-50 dan 3)The age of degenerative and
man-made disease, fase dimana penyakit infeksi mulai turun namun penyakit degeneratif mulai
meningkat. gambaran itu memang untuk negara Barat.
Teori ini kemudian banyak di kritik. Kritikan dari beberapa tokoh seperti Rogers dan
Hackenberg (1987) dan Olshansky and Ault(1986) membuat Omran melakukan sedikit revisi. Bagi
negara Barat, ketiga model tersebut ditambah 2 lagi yaitu: 4)The age of declining CVD mortality,
ageing, lifestyle modification, emerging and resurgent diseases ditandai dengan angka harapan hidup
mencapai 80-85, angka fertilitas sangat rendah, serta penyakit kardiovakular dan kanker, serta 5)The
age of aspired quality of life with paradoxical longevity and persistent inequalities yang
menggambarkan harapan masa depan, dengan angka harapan hidup mencapai 90 tahun tetapi dengan
karakteristik kronik morbiditas, sehingga mendorong upaya peningkatan quality of life.
Selain itu, Omran juga membuat revisi model transisi epidemiologis untuk negara
berkembang dengan mengganti fase ketiganya menjadi “The age of triple health burden” yang
ditandai dengan 3 hal yaitu: a) masalah kesehatan klasik yang belum terselesaikan (infeksi penyakit
menular), b)munculnya problem kesehatan baru dan c)pelayanan kesehatan yang tertinggal (Lagging),
Namun ketika itu dikaitkan dengan jenis penyakit beberapa pakar menggati beban ketiga itu dengan
“New Emerging Infectious Disease” Penyakit menular baru/penyakit lama muncul kembali.
Indonesia sebagai negara berkembang dekade saat ini dan kedepan diperkirakan akan berada
pada fase ketiga ini yaitu “The age of triple health burden”. Tiga beban ganda kesehatan. Kita akan
membahas beban ini satu-persatu.
Beban pertama yang dihadapi Indonesia adalah masih tingginya angka kesakitan penyakit
menular “klasik”. Penyakit ini merupakan masalah kesehatan yang besar di hampir semua Negara
berkembang apalagi negara tersebut berada pada daerah tropis dan sub-tropis. Angka kesakitan dan
kematian relatif cukup tinggi dan berlangsung sangat cepat menjadi masalahnya. Sebut saja
Tuberkulosis (TB), Kusta, Diare, DBD, Filarisisi, Malaria, Leptospirosis dan masih banyak lagi
teman-temannya. Seolah Indonesia sudah menjadi rumah yang nyaman buat mereka tinggal
(baca:endemis). Sudah berpuluh-puluh tahun pemerintah kita mencoba membuat program
memberantas bahkan mengeliminasi penyakit ini namun penyakit ini belum juga mau pergi dari
Indonesia, Sudah Trilyunan Rupiah dikeluarkan agar mereka mau meninggalkan Indonesia, Malah
trend kasusnya mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Penyakit menular ini merupakan hasil perpaduan berbagai faktor yang saling mempengaruhi.
Secara garis besar, biasa kita sebut Segitiga Epidemiologi (Epidemiological Triangle) yaitu
lingkungan, Agent penyebab penyakit, dan pejamu. Ketidakseimbangan ketiga faktor inilah yang bisa
menimbulkan penyakit tersebut. Kita tidak akan membahasnya satu persatu disini. Informasi lebih
jelsnya anda bisa membaca buku tentang Epidemiologi dan Kesehatan Lingkungan.
Pencegahan dan penanggulangan penyakit menular secara konsep sebenarnya bisa kita
lakukan dengan memutus mata rantai penularan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menghentikan
kontak agen penyebab penyakit dengan pejamu. Mengintervensi faktor risiko utama yaitu Modifikasi
lingkungan (menciptakan lingkungan yang sehat) dan mengubah perilaku menjadi hidup bersih dan
sehat. Namun kedua faktor utama inilah yang sampai sekarang tidak mampu dimodifikasi.
Masalahnya cukup kompleks, bisa disebabkan karena kebijakan pemerintah yang belum berpihak
pada upaya preventif (pencegahan), Sektor kesehatan merasa bekerja sendiri menyelesaikan masalah
kesehatan, keadaan politik, sosial dan ekonomi menjadi akar masalah kita.
Beban Kedua yang dihadapi Indonesia adalah tingginya angka kesakitan dan kematian akibat
Penyakit Tidak Menular (Non-Communicable Disease). Sebut saja Hipertensi, Diabetes Mellitus,
Penyakit Cardiovaskuler (CVD), Ischemic Heart Disese, PPOK, Kanker dan teman-temannya.
Masalah utamanya adalah angka kematian akibat penyakit tidak menular (PTM) di Indonesia sudah
lebih tinggi daripada kematian akibat penyakit menular. pada tahun 1995 kematian akibat penyakit
tidak menular sebesar 41,7 persen dan tahun 2007 meningkat menjadi 59,5 persen, ini yang tercatat di
pelayanan kesehatan bagaimana dengan yang tidak tercatat ? Ini juga menjadi salah satu masalah
PTM sekarang ini, pencatatan yang hampir tidak ada sama sekali di pelayanan kesehatan, sehingga
sulit menentukan besaran masalahnya dan menentukan kebijakan di daerah maupun pusat.
PTM dikenal dengan sebutan Silent Killer, bisa membunuh secara diam-diam, dan ketika
terdeteksi oleh penderita, sudah pada tingkat keparahan yang tinggi dan sudah sulit disembuhkan, dan
biasanya akan berakhir dengan kecacatan atau kematian. Tidak ada Faktor yang spesifik dan dominan
penyebab PTM ini. Faktor risiko penyakit ini cukup banyak dan saling berinteraksi. Berbagai
penelitian menyebutkan faktor risiko yang sering ditemukan adalah pada perilaku yaitu merokok,
minum beralkohol, makanan (Fastfood dengan kolestrol tinggi), dan kurangnya aktivitas fisik.
Pencegahan yang bisa kita lakukan ya..dengan mengubah perilaku kita menjadi perilaku yang
sehat,menjaga pola makan yang baik dan sehat, sering berolahraga dan hindari rokok dan minum
alkohol.
Beban ketiga yang dihadapi Indonesia adalah munculnya penyakit baru (new emerging
Infectious Disease). Sebut saja HIV (1983), SARS (2003), Avian Influenza (2004), H1N1 (2009).
Penyakit ini rata-rata disebabkan oleh virus lama yang berganti baju (baca:bermutasi) itulah yang
menyebabkan tubuh manusia sering tidak mengenalnya dengan cepat. Akibatnya angka kesakitan dan
kematian pada penyakit ini sangat tinggi dan berlangsung sangat cepat.
Adanya penyakit infeksi yang baru ataupun penyakit infeksi lama yang muncul kembali
merupakan konskuensi logis dari sebuah proses evolusi alam, selain itu kemampuan mikroba
pathogen untuk mengubah dirinya, manusia dengan perubahan teknologi dan perilakunya juga
memberikan peluang kepada mikroba untuk secara alamiah merekayasa dirinya secara genetik,
perubahan iklim global juga turut campur dalam timbul dan berkembangnya penyakit baru ini.
Pengendalian penyakit infeksi baru bermacam-macam pendekatan namun diperlukan pemahaman
teradap 2 hal yakni epidemiologi global penyakit atau dinamika penyebaran penyakit secara global
dan pemahaman terhadap cara-cara penularan lokal (Achmadi,2009).
Dengan melihat gambaran di atas, Indonesia 10-20 tahun kedepan belum mampu
mewujudkan Indonesia Sehat. Kami hanya mampu menyarankan kepada anda untuk membantu
pemerintah mempercepat terwujudnya Indonesia sehat dengan Berpikir Sehat, Berperilaku bersih dan
Sehat, dan Mengajak orang-orang untuk hidup Sehat. Karena dengan bergerak bersama-sama Kita
bisa mewujudkan mimpi itu, melihat indonesia sehat.
Transisi epidemiologi yang dimaksud adalah perubahan distribusi dan faktor-faktor
penyebab terkait yang melahirkan masalah epidemiologi yang baru. keadaan transisi
epidemiologi ini ditandai dengan perubahan pola frekuensi penyakit.
Transisi epidemiologi bermula dari suatu perubahan kompleks dalam pola kesehatan
dan pola penyakit utama penyebab kematian dimana terjadi penurunan prevalensi penyakit
infeksi (penyakit menular), sedangkan penyakit non infeksi (penyakit tidak menular) justru
semakin meningkat. Hal ini terjadi seiring dengan berubahnya gaya hidup, sosial ekonomi
dan meningkatnya umur harapan hidup yang berarti meningkatnya pola risiko timbulnya
penyakit degeneratif seperti penyakit jantung koroner, diabetes melitus, hipertensi dan lain-
lain.
Jaman semakin modern, globalisasi terjadi di berbagai bidang. Perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi semakin pesat. Hidup manusia kini dipermudah dengan berbagai
akses. Adanya lift, pesawat telephone, internet, sarana transportasi membuat orang semakin
sedikit bergerak. Televisi, play station, game online menghilangkan permainan tradisional
dari dunia bermain anak-anak. Padahal permainan tradisional sangat baik untuk sosialisasi,
menumbuhkan sikap toleransi dan memupuk kerjasama anak.
Selain berbagai kemudahan, disisi lain jaman modern menyuguhkan berbagai stresor
bagi masyarakat. Polusi udara, pola makan yang tidak teratur dan tidak sehat, kurang olah
raga, bad behavior, menjadi beberapa dari bayak sebab timbulnya transisi epidemiologi.
Transisi Epidemiologi adalah keadaan yang ditandai dengan adanya perubahan dari
mortalitas dan morbiditas yang dulunya lebih disebabkan oleh penyakit infeksi (infectious
disease) atau penyakit menular (communicable disease) sekarang lebih sering disebabkan
oleh penyakit-penyakit yang sifatnya kronis atau tidak menular (non-communicable disease)
dan penyakit-penyakit degeneratif.
Dunia medis mengenal penyakit degeneratif sebagai satu istilah yang digunakan untuk
menjelaskan penyakit yang muncul akibat kemunduran fungsi sel tubuh, yaitu dari keadaan
normal menjadi lebih buruk. Adapun beberapa jenis penyakit yang masuk dalam kelompok
penyakit degeneratif diantaranya adalah Diabetes melitus, Jantung koroner, Kardiovaskuler,
Dislipidemia/kelainan kolesterol, dan sebagainya.
Bukan isapan jempol belaka jika penyakit degeneratif berpeluang menjadi pembunuh
utama yang menghantui masyarakat mengingat pola pikir masyarakat yang masih
menggambarkan kecenderungan tidak peduli terhadap status kesehatan. Kebayakan orang
baru akan peduli dengan kesehatan mereka jika telah jatuh sakit. Sehingga yang terjadi adalah
saat seseorang memeriksakan diri, kondisi kesehatannya sudah sangat buruk. Hal ini
sangatlah berbahaya, karena sekali divonis oleh dokter bahwa seseorang terkena penyakit
degeneratif maka tidak ada obat yang dapat meyembuhkan secara total. Lain halnya dengan
penyakit infeksi atau penyakit menular yang disebabkan oleh mikroorganisme patogen atau
virus. Penyakit infeksi akan segera hilang setelah penderita diberikan obat. Namun hal ini
tentu tidak berlaku bagi penyakit infeksi yang berat dan belum ditemukan obatnya seperti TB
paru dan HIV/AIDS.
Penurunan fungsi sel seperti yang terjadi pada penyakit degeneratif memang sudah
pasti akan dialami oleh setiap orang. Karena setiap orang pasti mengalami satu fase yang
tidak akan dapat dihindari yaitu penuaan. Namun yang dimaksud dengan penyakit degeneratif
disini adalah penurunan fungsi sel sebelum waktunya.
Sebagai orang yang bijak, seharusnya kita menghargai kesehatan yang saat ini kita
miliki. “Health is nothing but without health everything is nothing” disadari atau tidak, istilah
tersebut benar adanya. Jangan menunggu sakit untuk menghargai kesehatan, karena bisa jadi
setelah sakit, kesehatan tidak akan kembali secara utuh. Untuk itu, menjaga kesehatan
menjadi hal yang sangat penting.
1.2 Tujuan
1. Agar mahasiswa mengetahui apa itu transisi epidemiologi.
2. Agar mahasiswa memahami apa itu transisi demografi epidemiolog.
3. Agar mahasiswa mengetahui apa faktor penyebab transisi epidemiologi.
4. Agar mahasiswa mengetahui bagaimana perubahan yang terjadi pada transisi epidemiologi.
5. Agar mahasiswa mengetahui bagaiman perubahan penduduk akibat transisi epidemiologi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Transisi Demografis
Kebijakan otonomi daerah menyebabkan institusi Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional tidak lagi sekuat di zaman Orde Baru. Dampaknya, ledakan penduduk
akibat baby booming. tahun 2015, populasi Indonesia akan menjadi 273 juta jiwa.
Pertambahan penduduk akan memengaruhi kemampuan bangsa menyediakan pangan,
layanan kesehatan, dan pendidikan. Karena itu, seluruh elemen bangsa harus bersiap
menyambut lahirnya bayi-bayi baru yang mungkin akan mewarisi kemiskinan dan segala
keterbelakangan yang kini melanda kita.
Mencermati transisi demografis yang terjadi global, kita tahu sampai tahun 1800 total
populasi dunia satu miliar. Hingga abad ke-18, penduduk dunia mempunyai laju pertambahan
yang amat lambat. Hal ini disebabkan kematian yang tinggi akibat perang, wabah, dan
kelaparan.
Pada masa itu, industri belum menjadi tulang punggung ekonomi negara, pertanian
belum modern, dan pelayanan kesehatan masih amat kurang. Produksi pangan sering tidak
mencukupi kebutuhan manusia sehingga kelaparan terjadi. Sampai-sampai Malthus
pesimistis terhadap nasib manusia karena pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur,
sementara produksi pangan mengikuti deret hitung.
Fase awal transisi demografis juga ditandai tingginya angka kelahiran. Keluarga
berencana belum muncul, tiap orang berpikir beranak banyak agar ada yang tersisa hidup
sampai dewasa, menggantikan orangtuanya. Dengan angka kelahiran dan kematian yang
tinggi, pertumbuhan penduduk relatif lambat.
Memasuki abad ke-19, laju kematian dapat ditekan. Kemajuan di bidang kesehatan
dapat mengurangi kematian akibat wabah maupun infeksi. Negara-negara Eropa dan Amerika
lebih dulu memasuki fase kedua ini, sementara negara-negara sedang berkembang agak
tertunda. Pada periode ini, laju kelahiran masih amat tinggi sehingga pertambahan penduduk
berlangsung cepat. Diperkirakan tahun 1900 populasi dunia 1,7 miliar jiwa.
Tahap ketiga adalah angka kelahiran mulai rendah, berbagai penyakit infeksi dapat
dikendalikan, tetapi mulai muncul penyakit-penyakit degeneratif, seperti penyakit jantung,
diabetes, hipertensi, stroke, dan kanker. Penyakit-penyakit ini juga menyebabkan kematian.
Fase terbaru nantinya adalah ditemukannya berbagai obat untuk mengatasi penyakit
degeneratif dan mulai bermunculan gaya hidup sehat yang mendorong peningkatan kualitas
hidup. Ketika fase ini terjadi, angka kelahiran dan kematian telah stabil pada tingkat rendah,
usia harapan hidup kian meningkat sehingga populasi lansia akan semakin banyak, sementara
populasi anak balita agak mengerucut dalam jumlah relatif rendah.
Jadi, transisi demografis yang terjadi di berbagai belahan dunia adalah wujud
pergeseran angka kematian dan kelahiran yang memicu tinggi rendahnya laju pertumbuhan
penduduk. Sementara itu, transisi epidemiologis lebih menyoroti aspek pergeseran pola
penyakit yang diawali wabah dan aneka penyakit infeksi bergeser ke penyakit degeneratif.
Indonesia sebenarnya telah memasuki fase ketiga dengan berhasilnya jajaran
kesehatan menekan angka kematian akibat infeksi. Namun, kita bisa mundur lagi ke fase
sebelumnya manakala laju pertumbuhan penduduk tidak terkendalikan dan cenderung naik
karena kegagalan KB. Fakta menunjukkan, kita melalaikan program KB. Jumlah penyuluh
lapangan KB yang pada zaman Orde Baru mencapai 35.000 petugas kini menjadi 21.000
orang. Institusi BKKBN di tingkat daerah digabung dengan kantor lain.
Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini, beberapa fenomena menarik dapat kita
amati baik di bidang sosial, ekonomi, budaya maupun politik. Dari fenomena yang ada itu,
perlu di amati bahwa perubahan yang terjadi pada bidang-bidang tersebut mempunyai
implikasi kebijakan bagi aktifitas dunia bisnis. Sebagai contoh, keberhasilan pemerintah
Indonesia dalam mengendalikan jumlah penduduk melalui program keluarga berencana,
dalam banyak hal sangat mempengaruhi pola kegiatan masyarakat tidak hanya terbatas pada
bidang ekonomi saja, tapi juga pada bisang-bidang lainnya yang terkait.
Analisis lingkungan eksternal mencakup pemahaman berbagai faktor di luar perusahaan yang
mengarah pada munculnya kesempatan bisnis (Opportunities) atau bahkan
ancaman (Threats) bagi perusahaan. di dalam analisis lingkungan ekstern juga berupaya
untuk memilah permasalahan global yang dihadapi perusahaan kedalam bentuk yang lebih
rinci untuk menemukan bentuk, fungsi, dan keterkaitan antar bagian. bagi pengembangan
strategi pemasaran, analisis ini dibutuhkan tidak hanya terbatas pada rincian analisis
kesempatan dan ancaman saja, tetapi juga untuk menentukan darimana dan untuk apa hasil
analisis itu digunakan. Dengan kata lain, manajer pemasaran membutuhkan diagnosis lebih
lanjut atas hasil analisis lingkungan eksternal.
Faktor demografi adalah salah satu dari sekian banyak faktor eksternal dari
lingkungan pemasaran. Tren Demografi yang terbentuk sangat andal digunakan sebagai dasar
pengambilan keputusan jangka pendek dan menengah. Ada masalah bagi perusahaan yang
tiba-tiba terkejut karena perkembangan demografi. kekuatan demografi utama yang selalu
dipantau Marketer adalah populasi, Karena orang membentuk pasar. Para marketer benar-
benar tertarik pada besarnya jumlah penduduk dan angka pertumbuhan penduduk di kota,
bauran umur populasi, etnis dan pasar lain, kelompok pendidikan, pola rumah tangga,
pergeseran geografis dan populasi.
Demografi merupakan istilah yang berasal dari dua kata Yunani, yaitu demos yang
berarti rakyat atau penduduk dan graphein yang berarti menggambar atau menulis. Oleh
karena itu, demografi dapat diartikan sebagai tulisan atau gambaran tentang penduduk ,
terutama tentang kelahiran, perkawinan, kematian dan migrasi. Demografi meliputi studi
ilmiah tentang jumlah, persebaran geografis, komposisi penduduk, serta bagaimana faktor
faktor ini berubah dari waktu kewaktu. Istilah ini pertama kali dikemukakan oleh Archille
Guillard pada tahun 1855 dalam karyanya yang berjudul “elements de statistique humaine, ou
demographie comparree” atau elements of human statistics or comparative demography
(dalam Iskandar,1994).
Pengertian tentang demografi berkembang dengan seiring dengan perkembangan
keadaan penduduk serta penggunaan statistic kependudukan pada zamannya. Berikut
beberapa contoh tentang perkembangan definisi demografi :
Johan Sussmilch (1762, dalam Iskandar ,1994) berpendapat bahwa demografi adalah
ilmu yang mempelajari hukum tuhan yang berhubungan dengan perubahan-perubahan
pada umat manusia yang terlibat dari jumlah kelahiran, kematian, dan
pertumbuhannya.
Achille Guillard (1855) memberikan definisi demografi sebagai ilmu yang
mempelajari segala sesuatu dari keadaan dan sikap manusia yang dapat diukur ,yaitu
meliputi perubahan secara umum, fisiknya, peradabannya, intelektualitasnya, dan
kondisi moralnya (lihat juga Iskandar, 1994).
David v. Glass(1953) menekankan bahwa demografi terbatas pada studi penduduk
sebagai akibat pengaruh dari proses demografi ,yaitu fertilitas,mortalitas,dan migrasi.
United Nations(1958) dan International Union for the Scientific Study of
Population/IUSSP (1982) mendefinisikan demografi sebagai studi ilmiah masalah
penduduk yang berkaitan dengan jumlah, struktur, serta pertumbuhannya
Philip m. Hauser dan Otis Dudley Duncan(1959) berpendapat bahwa demografi
merupakan ilmu yang mempelajari jumlah, persebaran territorial, komposisi
penduduk, serta perubahannya dan sebab-sebab perubahan tersebut.
Donald j. Bougue(1969) mendefinisikan demografi sebagai ilmu yang mempelajari
secara statistik dsan matematik jumlah,komposisi,distribusi penduduk,dan perubahan-
perubahannya sebagai akibat bekerjanya komponen-komponen pertumbuhan
penduduk, yaitu kelahiran (fertilitas), kematian(mortalitas), perkawinan, migrasi, dan
mobilitas social.
George w. Brclay(1970) mendefinisikan demografi sebagai ilmu yang memberikan
gambaran secara statistik tentang penduduk. Demografi mempelajari perilaku
penduduk secara menyeluruh bukan perorangan. Dengan definisi-definisi diatas, dapat
disimpulkan bahwa ilmu demografi merupakan suatu ilmu untuk mempelajari
perubahan-perubahan kependudukan dengan memanfaatkan data dan statistik dari
data penduduk terutama mengenai perubahan jumlah, persebaran pada kommponen-
komponen utama pertumbuhan penduduk, yaitu = fertilitas, mortalitas, migrasi, yang
pada gilirannya menyebabkan perubahan pada jumlah, struktur, dan persebaran
penduduk.
Secara singkat , ilmu demografi sangat bermanfaat untuk :
Mempelajari kuantitas, komposisi, dan distribusi penduduk dalam suatu daerah
tertentu serta perubahan-perubahannya.
Menjelaskan pertumbuhan masa lampau dan mengestimasi pertumbbuhan penduduk
pada masa datang.
Mengembangkan hubungan sebab akibat antaraperkembangan penduduk dan
bermacam- macam aspek pembangunan sosial, ekonomi, budaya, politik, lingkungan,
dan keamanan.
Mempelajari dan mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan konsekuensi
pertumbuhan penduduk pada masa mendatang.
Faktor – Faktor Demografi
Faktor-faktor demografi yang mempengaruhi tinggi rendahnya pertumbuhan penduduk :
1. Struktur umur
2. Struktur perkawinan
3. Umur kawin pertama
4. Paritas
5. Disrupsi perkawinan
6. Proporsi yang kawin
Usia harapan hidup
Usia harapan hidup (UHH) bangsa kita membaik. Contoh, untuk wanita, tahun 1980
UHH sekitar 54 tahun, meningkat menjadi 65 tahun (1995) dan mencapai 70 tahun (2000).
Usia harapan hidup lelaki umumnya lebih rendah 2-3 tahun. Dalam waktu dekat, ada 20 juta
lansia yang memerlukan layanan kesehatan lebih baik seiring kian kompleksnya jenis
penyakit yang dihadapi. Puskesmas dianggap tidak memadai untuk memberikan layanan
kesehatan yang baik bagi lansia.
Baby booming akibat tidak optimalnya BKKBN pascaotonomi daerah akan kian
merepotkan pemerintah dengan aneka masalah, seperti gizi buruk, diare, serta angka
kematian bayi dan anak balita. Hingga kini relatif lambat upaya menekan angka kekurangan
gizi. Tahun 2007 ada 4 juta anak balita menderita kekurangan gizi, 700.000 di antaranya
adalah penderita gizi buruk.
Baby booming dalam situasi ekonomi negara seperti saat ini akan menjadikan
generasi muda mendatang kian tidak berkualitas, tidak mampu bersaing, dan berotak kosong
karena kurang gizi. Program gizi yang sudah mapan, seperti posyandu, harus direvitalisasi.
Disinyalir 50 persen dari 250.000 posyandu yang tersebar di seluruh Indonesia tidak aktif.
Penyakit degeneratif sebagai penyebab kematian utama di Indonesia mengindikasikan
kurang sadarnya bangsa ini akan gaya hidup sehat. Jika tahun 1970-an kematian akibat
penyakit jantung hanya lima persen dari kematian total, tahun 2000 kontribusinya mencapai
25 persen. Suatu peningkatan yang bermakna dan menekankan terjadinya transisi
epidemiologis yang sedang berlangsung.
Kemoderenan suatu bangsa dicirikan rendahnya pengeluaran energi tubuh untuk
gerak karena pekerjaan yang mengandalkan otot kian berkurang (sedentary life styles). Di sisi
lain, pola makan kaya lemak dan kaya energi menjadi gaya hidup baru. Istilah
communicational diseases sering digunakan untuk menggambarkan pola hidup yang hanya
meniru Barat, yang diperkenalkan ke negara-negara berkembang dengan iklan-iklan menarik.
Kita menutup mata atas dampak pola makan tak seimbang, yang memicu berbagai penyakit
kronis. Kita tidak mau mengerti, penyakit yang kini dihadapi bangsa Barat adalah akibat pola
makan dan gaya hidup yang telah mereka praktikkan selama ini.
2.2 Faktor Penyebab Transisi Epidemiologi
Transisi kesehatan terjadi karena adanya transisi demografi dan transisi
epidemiologi(henry,1993). transisi demografi merupakan akibat adanya
urbanisasi,industrialisasi,meningkatnya pendapatan, tingkat pendidikan, teknologi kesehatan
dan kedokteran di masyarakat. Hal ini akan berdampak pada terjadinya transisi epidemiologi
yaitu perubahan pola kematian yaitu akibat infeksi,angka fertilitas total,umur harapan hidup
penduduk dan meningkatnya penyakit tidak menular atau penyakit kronis.
Transisi epidemiologi bermula dari suatu perubahan yang kompleks dalam pola
kesehatan dan pola penyakit utama penyebab kematian dimana terjadi penurunan prevalensi
penyakit infeksi (penyakit menular), sedangkan penyakit non infeksi (penyakit tidak menular)
justru semakin meningkat.Hal ini terjadi seiring dengan berubahnya gaya hidup, sosial
ekonomi dan meningkatnya umur harapan hidup yang berarti meningkatnya pola risiko
timbulnya penyakit degeneratif seperti penyakit jantung koroner, diabetes melitus, hipertensi,
dan lain sebagainya.
Transisi epidemiologi dan demografi, juga perkembangan ekonomi
mengakibatkannegara-negara menghadapi peningkatan beban akibat Penyakit Tidak Menular
(PTM).Pada 1999, PTM diperkirakan bertanggung jawab terhadap hampir 60% kematian di
dunia dan 43% dari beban penyakit dunia (WHO, 2000a). Diprediksikan pada tahun 2020
penyakit ini akan mencapai 73 persen kematian di dunia dan 60 persen dari bebanpenyakit
dunia (WHO, 2002).
Di Indonesia, berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, data
Pola Penyebab Kematian Umum di Indonesia, penyakit jantung dan pembuluh darah
dianggap sebagai penyakit pembunuh nomor satu di Indonesia.
Gangguan jantung dan pembuluh darah seringkali bermula dari hipertensi, atau tekanan darah
tinggi. Selain itu, hipertensi yang merupakan suatu kelainan vaskuler awal, dapat
menyebabkan gangguan ginjal, merusak kerja mata, dan menimbulkan kelainan atau
gangguan kerja otak sehingga dapat menghambat pemanfaatan kemampuan intelegensia
secara maksimal.
Hipertensi atau yang disebut the silent killer merupakan salah satu faktor risiko paling
berpengaruh sebagai penyebab penyakit jantung (kardiovaskular). Penderita penyakit jantung
kini mencapai lebih dari 800 juta orang di seluruh dunia. Kurang lebih 10-30% penduduk
dewasa di hampir semua negara mengalami penyakit hipertensi, dan sekitar 50-60%
penduduk dewasa adalah mayoritas utama yang status kesehatannya akan menjadi lebih baik
bila tekanan darahnya dapat dikontrol.
Kondisi kesehatan di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat berarti dalam
beberapa tahun terakhir. Perkembangan ini meperlihatkan dampak dari ekspansi penyediaan
fasilitas kesehatan publik di tahun 1970 dan 1980, serta dampak dari program keluarga
berencana. Meski demikian masih terdapat tantangan baru sebagai akibat perubahan sosial
dan ekonomi:
1. Pola penyakit yang semakin kompleks, Indonesia saat ini berada pada pertengahan transisi
epidemiologi dimana penyakit tidak menular meningkat drastis sementara penyakit menular
masih menjadi penyebab penyakit yang utama. Kemudian saat ini penyakit kardiovaskuler
(jantung) menjadi penyebab dari 30 persen kematian di Jawa dan Bali. Indonesia juga berada
diantara sepuluh negara di dunia dengan penderita diabetes terbesar. Di saat bersamaan
penyakit menular dan bersifat parasit menjadi penyebab dari sekitar 22 persen kematian.
Angka kematian ibu dan bayi di Indonesia juga lebih tinggi dibandingkan dengan kebanyakan
negara tetangga. Satu dari dua puluh anak meninggal sebelum mencapai usia lima tahun dan
seorang ibu meninggal akibat proses melahirkan dari setiap 325 kelahiran hidup. Perubahan
yang diiringi semakin kompleksnya pola penyakit merupakan tantangan terbesar bagi sistem
kesehatan di Indonesia.
2. Tingginya ketimpangan regional dan sosial ekonomi dalam sistem kesehatan. Dibanyak
propinsi, angka kematian bayi dan anak terlihat lebih buruk dibandingkan dengan situasi di
beberapa negara Asia termiskin. Kelompok miskin mendapatkan akses kesehatan yang paling
buruk dan umumnya mereka sedikit mendapatkan imunisasi ataupun mendapatkan bantuan
tenaga medis yang terlatih dalam prosesmelahirkan.
Kematian anak sebelum mencapai usia lima tahun dari keluarga termiskin mencapai sekitar
empat kali lebih tinggi dibandingkan anak dari keluarga terkaya. Tingginya tingkat terkena
penyakit, baik yang disebabkan dari penyakit menular maupun penyakit tidak menular, telah
mengurangi kemampuan orang miskin untuk menghasilkan pendapatan, dan hal ini
berdampak pada lingkaran setan kemiskinan.
3. Menurunnya kondisi dan penggunaan fasiitas kesehatan publik serta kecenderungan penyedia
utama fasilitas kesehatan beralih ke pihak swasta. Angka penduduk yang diimunisasi
mengalami penurunan semenjak pertengahan 1990, dimana hanya setengah dari anak-anak di
Indonesia yang diimunisasi. Indonesia bahkan telah tertinggal dibandingkan dengan negara-
negara seperti Filiphina dan Bangladesh. Program kontrol penyakit tuberkulosis (TB)
diindikasikan hanya mengurangi kurang dari sepertiga penduduk yang diperkirakan
merupakan penderita baru tuberkulosis. Secara keseluruhan, pengunaan fasiitas kesehatan
umum terus menurun dan semakinbanyak orang Indonesia memiih fasiitas kesehatan yang
disediakan oleh pihak swasta ketika mereka sakit. Di sebagian besar wilayah Indonesia,
sektor swasta mendominasi penyediaan fasilitas kesehatan dan saat ini terhitung lebih dari
dua pertiga fasiitas ambulans yang ada disediakan oleh pihak swasta. Juga lebih dari setengah
rumah sakit yang tersedia merupakan rumah sakit swasta, dan sekitar 30-50 persen segala
bentuk pelayanan kesehatan diberikan oleh pihak swasta (satu dekade yang lalu hanya sekitar
10 persen). Dalam masalah kesehatan kaum miskin cenderung lebih banyak menggunakan
staf kesehatan non-medis, sehingga angka pemanfaatan rumah sakit oleh kaum miskin masih
amat rendah.
4. Pembiayaan kesehatan yang rendah dan timpang. Pembiayaan kesehatan saat ini lebih
banyak dikeluarkan dari uang pribadi, dimana pengeluaran kesehatan yang harus dikeluarkan
oleh seseorang mencapai sekitar 75-80 persen dari total biaya kesehatan dan kebanyakan
pembiayaan kesehatan ini berasal dari uang pribadi yang dikeluarkan ketika mereka
memanfaatkan pelayanan kesehatan. Secara keseluruhan, total pengeluaran untuk kesehatan
di Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan sejumlah negara tetangga (US $ 16 per orang
per tahun pada 2001). Hal ini disebabkan oleh rendahnya pengeluaran pemerintah maupun
pribadi untuk kesehatan. Lebih lanjut, cakupan asuransi amat terbatas, hanya mencakup
pekerja di sektor formal dan keluarga mereka saja, atau hanya sekitar sepertiga penduduk
dilindungi oleh asuransi kesehatan formal. Meski demikian mereka yang telah diasuransikan
pun masih harus mengeluarkan sejumlah dana pribadi yang cukup tinggi untuk sebagian
besar pelayanan kesehatan. Akibatnya kaum miskin masih kurang memanfaatkan pelayanaan
kesehatan yang dibiayai oleh pemerintah. Dampaknya, mereka menerima lebih sedikit subsidi
dana pemerintah untuk kesehatan dibandingkan dengan penduduk yang kaya. Sebanyak 20
persen penduduk termiskin dari total penduduk menerima kurang dari 10 persen total subsidi
kesehatan pemerintah sementara seperlima penduduk terkaya menikmati lebih dari 40 persen.
5. Desentralisasi menciptakan tantangan dan memberikan kesempatan baru. Saat ini,
pemerintah daerah merupakan pihak utama dalam penyediaan fasiitas kesehatan. Jumlah
pengeluaran daerah untuk kesehatan terhadap total pengeluaran kesehatan meningkat dari 10
persen sebelum desentralisasi menjadi 50 persen pada tahun 2001. Hal ini dapat membuat
pola pengeluaran kesehatan menjadi lebih responsif terhadap kondisi lokal dan keragaman
pola penyakit. Akan tetapi hal ini akan berdampak juga pada hilangnya skala ekonomis,
meningkatnya ketimpangan pembiayaan kesehatan secara regional dan berkurangnya
informasi kesehatan yang penting.
6. Angka penularan HIV/AIDS meningkat namun wabah tersebut sebagian besar masih
terlokalisir. Diperkirakan sekitar 120. 000 penduduk Indonesia terinfeksi oleh HIV/AIDS,
dengan konsentrasi terbesar berada di propinsi dengan penduduk yang sedikit (termasuk
Papua) dan di kota kecil maupun kota besar yang terdapat aktifitas industri, pertambangan,
kehutanan dan perikanan. Virus tersebut menyebar lebih lambat dibandingkan dengan yang
diperkirakan sebelumnya. Akan tetapi penularan virus tersebut meningkat pada kelompok
yang berisiko tinggi, yaitu penduduk yang tidak menerapkan perilaku pencegahan terhadap
virus tersebut, seperti menggunakan kondom pada aktivitas seks komersial atau
menggunakan jarum suntik yang bersih dalam kasus pecandu obat-obatan.
2.3 Perubahan Yang Terjadi Pada Transisi Epidemiologi
Saat ini, secara umum muncul anggapan bahwa peningkatan pertumbuhan ekonomi di
negara-negara berkembang akan diikuti oleh perubahan pola perkembangan penyakit. Situasi
seperti ini juga dialami oleh banyak negara-negara maju di Eropa dan Amerika Utara. Pola
tersebut dikenal dengan transisi epidemiologi yaitu pergeseran pola penyakit. Transisi ini
dimulai dengan peningkatan status kesehatan secara umum pada akhir abad ke 19 dan
berkembang terus sampai awal abad ke 20. Sejalan dengan penurunan kematian dan
peningkatan harapan hidup, penduduk di negara-negara berkembang mengalami pergeseran
pola penyakit. Dimulai dengan dominasi penyakit menular, lalu bergeser ke pola penyakit
kronis seperti gangguan cardio vasculer dan kanker.
Terjadinya transisi pola penyakit sebagian dapat dijelaskan dengan fakta bahwa masih
banyak manusia yang bertahan hidup sampai saat penyakit khronis mulai menyerang mereka.
Meskipun transisi pola penyakit sudah terjadi, munculnya permasalahan yang baru tidaklah
sesederhana seperti yang dibayangkan yaitu terjadi penggantian satu penyakit dengan
penyakit lainnya. Situasi ini sudah terjadi ketika terjadi peningkatan secara menyeluruh dari
kesehatan masyarakat. Elemen transisi epidemiologi yang terjadi saat ini sangat bervariasi
kejadiannya di banyak negara berkembang. Beberapa negara yang berpenghasilan menengah
di Amerika Latin dan Asia, penyakit khronisnya malah berkembang lebih pesat dari penyakit
infeksi. Tetapi proses transisinya sampai saat ini belum selesai. Banyak negara, terutama
negara-negara miskin masih sedang bergulat dengan masalah besar yaitu penuntasan
pengendalian penyakit infeksi. Tetapi bersamaan dengan itu, penyakit khronis juga sudah
mulai berkembang. Kelompok-kelompok masyarakat di negara miskin saat ini dihadapkan
dengan tekanan ganda penyakit (double burden of disease). Dengan gambaran seperti itu,
transisi pola penyakit sudah pasti terjadi di semua negara, seperti revolusi sanitasi yang sudah
berhasil seperti yang dijelaskan di muka. Untuk itu, kebijakan dan investasi yang relevan
memang sangat dibutuhkan saat ini untuk terus bisa meningkatkan kualitas lingkungan dan
kesehatan masyarakat.
Pada awalnya masyarakat memandang penyakit terjadi karena adanya pengaruh roh
jahat dan kekuatan supranatural. Lalu konsep ini berkembang, yang ditandai dengan adanya
pemikiran-pemikiran dari Hipocrates - seorang ahli filsafat dan juga tabib Yunani (460-377
SM). Dalam bukunya , dia mengajukan konsep tentang hubungan penyakit dengan faktor
tempat (geografi), penyediaan air, iklim, kebiasaan makan dan perumahan. Selain itu,
Hipocrates juga menyebutkan teorinya bahwa tubuh manusia terdiri dari empat substansi
yang disebut humours (cairan). Cairan tersebut yaitu darah, lendir, empedu kuning, dan
empedu hitam. Jika terjadi ketidakseimbangan antara keempat substansi ini, maka dapat
menyebabkan terjadinya penyakit.
Selanjutnya muncul teori Gallen (melanjutkan teori Hipocrates) - dokter Romawi,
lahir 130 M - yang melihat faktor kepribadian seseorang sebagai penentu rentan atau tidaknya
terhadap penyakit. Contohnya, seseorang yang kelebihan empedu hitam akan bersifat
melankonis, cenderung merasa sedih, depresi, dan badannya terlihat kurus.
Pada abad ke-14 dan 15 terjadi epidemik sampar, cacar, dan demam tifus di Eropa.
Hal ini mendorong lahirnya teori Seminaria Contagium oleh Girilamo Fracastoro (1478 –
1553 M) yang menyebutkan bahwa penyakit ditularkan dari seorang pengidap kepada orang
lain yang sehat melalui contagion (kontak). Terdapat tiga jenis contagion. Pertama, bentuk
dasar yang ditularkan lewat kontak langsung. Kedua, ditularkan lewat perantara seperti
pakaian, bahan kayu dan barang lainnya. Ketiga, ditularkan dari jarak jauh. Namun, dalam
teori ini belum dapat dijelaskan mengapa kontak antara penderita dan orang sehat dapat
menyebabkan penyakit, karena belum seorang pun dapat membuktikan atau melihat benda
kecil penyebab penyakit.
Kemudian, sejak ditemukannya mikroskop oleh Antonie van Leeuwenhoek (1632-
1723), muncul teori jasad renik atau mikroorganisma (kuman). Kuman inilah yang dianggap
sebagai penyebab tunggal penyakit. Lalu pada abad 18 terjadi revolusi industri dan
kapitalisme sehingga perkembangan ilmu pengetahuan termasuk epidemiologi berkembang
dengan pesat. Namun di pihak lain, struktur sosial ekonomi yang baru membawa implikasi
berupa letusan wabah infeksi usus, demam tifus dan tuberculosis di daerah kumuh perkotaan.
Di Eropa pun juga muncul penyakit baru, seperti kolera dan demam kuning.
Munculah tokoh John Snow (1813-1858) - seorang dokter dan ahli anastesi – yang
mulai mempelajari wabah kolera yang terjadi di daerah Square kota London. Dia melakukan
pengamatan terhadap tiga perusahaan air minum di London (Lambeth, Southwark dan
Vauxhall) dan menyimpulkan bahwa penyebab kolera bukan faktor udara, tetapi air minum
yang dikonsumsi. Yang perlu dicatat di sini adalah bahwa John Snow dalam menganalisis
masalah penyakit kolera, mempergunakan pendekatan epidemiologi dengan menganalisis
faktor tempat, orang, dan waktu. Dia dianggap sebagai the Father of Field Epidemiology.
Pengaruh teori kuman sebagai agen penyakit begitu kuat sampai beberapa dasawarsa,
dimana para peneliti berpikiran bahwa pengetahuan tentang mikroorganisma dapat dipakai
untuk menjelaskan etiologi semua penyakit. Lalu pada tahun 1950, teori kuman yang
berlebihan mendapat kritik. Hal ini karena tidak semua penyakit, yaitu berbagai penyakit
kronik, disebabkan oleh kuman, seperti penyakit jantung dan kanker.
Epidemiologi modern berkembang tidak hanya berdasarkan teori kuman, tetapi juga
teori-teori yang diangkat dari berbagai disiplin Ilmu: sosial, biomedik, kuantitatif (Kleinbaum
et all, 1982).
Dalam perkembangannya, epidemiologi mengalami transisi atau perubahan, baik pada
ditribusi maupun faktor-faktor penyebab terkait yang melahirkan masalah epidemiologi yang
baru. Perubahan ini ditandai dengan menurunnya penyakit menular (infeksi) dan
meningkatnya penyakit tidak menular. Ada beberapa penyebab terjadinya transisi
epidemiologi, seperti perkembangan demografi, ekonomi, dan era globalisasi terkait gaya
hidup. Selain itu, transisi ini juga disebabkan karena berkembangnya teknologi medis,
peningkatan taraf hidup, kelahiran yang terkontrol, peningkatan gizi, pengontrolan sanitasi
dan vektor, serta perbaikan dalam gaya hidup. Sebagai contoh, peningkatan taraf hidup setiap
orang menyebabkan semakin baik pola hidupnya, gizi tercukupi dan aktivitas yang dijalani
lebih kompleks. Hal ini telah membuat umur harapan hidup mereka lebih panjang. Namun,
seiring berjalannya waktu terjadi penurunan fungsi tubuh atau dapat juga disebabkan oleh
perubahan gaya hidup sehingga mereka terserang penyakit tidak menular seperti Diabetes
Melitus, penyakit jantung koroner, dan kanker.
2.4 Perubahan Penduduk Akibat Transisi Epidemiologi
Terjadinya transisi epidemiologi yang paralel dengan transisi demografi dan transisi
teknologi di Indonesia dewasa ini telah mengakibatkan perubahan pola penyakit dari penyakit
infeksi ke penyakit tidak menular (PTM) meliputi penyakit degeneratif dan man made
diseases yang merupakan faktor utama masalah morbiditas dan mortalitas. Transisi
epidemiologi ini disebabkan karena terjadinya perubahan sosial ekonomi, lingkungan dan
perubahan struktur penduduk, saat masyarakat telah mengadopsi gaya hidup tidak sehat,
misalnya merokok, kurang aktivitas fisik, makanan tinggi lemak dan kalori, serta konsumsi
alkohol yang diduga merupakan faktor risiko PTM. WHO memperkirakan, pada tahun 2020
PTM akan menyebabkan 73% kematian dan 60% seluruh kesakitan di dunia. Diperkirakan
negara yang paling merasakan dampaknya adalah negara berkembang termasuk Indonesia
(Depkes RI, 2006 dalam Rahajeng E & Tuminah, S., 2009).
Salah satu PTM yang menjadi masalah kesehatan sangat serius saat ini adalah
hipertensi yang disebut sebagai the silent killer. Dari beberapa penelitian dilaporkan bahwa
penyakit hipertensi yang tidak terkontrol dapat menyebabkan peluang 7 kali lebih besar
terkena stroke, 6 kali lebih besar terkena congestive heart failure, dan 3 kali lebih besar
terkena serangan jantung (WHO, 2005 & JNC-7, 2003 dalam Rahajeng E & Tuminah, S.,
2009).
Hipertensi merupakan suatu keadaan terjadinya peningkatan tekanan darah yang
memberi gejala berlanjut pada suatu target organ tubuh sehingga timbul kerusakan lebih berat
seperti stroke (terjadi pada otak dan berdampak pada kematian yang tinggi), penyakit jantung
koroner (terjadi pada kerusakan pembuluh darah jantung) serta penyempitan ventrikel kiri/
bilik kiri (terjadi pada otot jantung). Selain penyakit-penyakit tersebut, hipertensi dapat pula
menyebabkan gagal ginjal, penyakit pembuluh lain, diabetes mellitus dan lain-lain
(Kearney, et. al, 2002 dalam Sugiharto, A., 2007). Menurut WHO dan the International
Society of Hypertension (ISH), saat ini terdapat 600 juta penderita hipertensi di seluruh
dunia, dan 3 juta di antaranya meninggal setiap tahunnya. Tujuh dari setiap 10 penderita
tersebut tidak mendapatkan pengobatan secara adekuat (WHO, 2005 dalam Rahajeng E &
Tuminah, S., 2009).
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Nasional tahun 2007 menunjukkan
prevalensi hipertensi di Indonesia adalah 32,2%, sedangkan prevalensi hipertensi berdasarkan
diagnosis oleh tenaga kesehatan dan riwayat minum obat hanya 7,8% atau hanya 24,2% dari
kasus hipertensi di masyarakat. Berarti 75,8% kasus hipertensi di Indonesia belum
terdiagnosis dan terjangkau pelayanan kesehatan.
Saat ini terdapat kecenderungan pada masyarakat perkotaan lebih banyak menderita
hipertensi dibandingkan masyarakat pedesaan. Hal ini antara lain dihubungkan dengan
adanya gaya hidup masyarakat kota yang berhubungan dengan risiko hipertensi seperti stress,
obesitas (kegemukan), kurangnya olah raga, merokok, alkohol, dan makan makanan yang
tinggi kadar lemaknya. Perubahan gaya hidup seperti perubahan pola makan menjurus
kesajian siap santap yang mengandung banyak lemak, protein, dan garam tinggi tetapi rendah
serat pangan, membawa konsekuensi sebagai salah satu faktor berkembangnya penyakit
degeneratif seperti hipertensi (Sugiharto, A., 2007).
Dalam menurunkan dan mengontrol tekanan darah, pendekatan dietetic Dietary
Approaches to Stop Hypertension (DASH) sangat direkomendasikan. Karena DASH lebih
menekankan pada diet buah dan sayur kaya serat serta rendah garam. Uji klinis di Amerika
Serikat dan Eropa Utara menunjukkan bahwa mengurangi natrium klorida dapat menurunkan
tekanan darah (Sacks FM, et al, 2001).
Dietary Approacch to Stop Hypertension (DASH) merupakan diet bagi pasien-pasien
hipertensi. Salah satu penanggulangan hipertensi yang direkomendasikan adalah pendekatan
dietetik untuk menghentikan hipertensi atau dikenal dengan sebutan DASH sebab selama ini
dilakukan hanya dengan pengaturan garam dan natriumnya saja (diet rendah garam), namun
tidak memperhitungkan kualitas suatu susunan hidangan. DASH umumnya mencakup diet
sayuran serta buah yang banyak mengandung serat pangan (30 gram/hari) dan mineral
tertentu (kalium, magnesium serta kalsium) sementara asupan garamnya dibatasi (Hartono,
A., 2012).
Penelitian tentang DASH menunjukkan bahwa diet tinggi buah, sayur dan produk
susu rendah lemak (susu skim, yoghurt), mengurangi saturated fatty acid (SAFA) dan total
lemak seperti daging yang berlemak dapat menurunkan tekanan sistolik rata-rata 6-11 mmHg.
Kombinasi DASH dan rendah garam memberikan dampak positif pada perubahan tekanan
darah (Katz, D.L., 2001).
Penelitian tentang DASH yang bertujuan untuk menilai efek pola diet terhadap
tekanan darah membuktikan bahwa kombinasi diet DASH dan diet rendah garam mempunyai
pengaruh yang sangat besar terhadap penurunan tekanan darah yaitu menurunkan tekanan
darah sistolik pada kelompok hipertensi sebesar 11,5 mmHg dan diastolik sebesar 5 mmHg.
Diet DASH ini dapat lebih efektif dilakukan daripada hanya menambah diet sayuran dan
buah untuk pola diet rendah lemak (Appel et al., 2006 dalam Mahan , LK et al., 2012). Diet
DASH baik digunakan untuk mencegah ataupun mengontrol hipertensi dan sangat
bergantung pada bagaimana perencanaannya. Ada 5 prinsip yang terkandung pada
perencanaan pola makan/diet DASH, yakni :
1. Konsumsi buah dan sayur yang mengandung kalium, fitoesterogen dan serat.
Konsumsi kalium (potassium) yang bersumber dari buah-buahan seperti pisang,
mangga, air kelapa muda bermanfaat untuk mengendalikan agar tekanan darah
menjadi normal dan terjadi keseimbangan antara natrium dan kalium dalam tubuh.
Konsumsi kalium yang banyak akan meningkatkan konsentrasinya didalam cairan
intraseluler, sehingga cenderung menarik cairan dari bagian ekstraseluler dan
menurunkan tekanan darah. Fitoestrogen bersumber pada pangan nabati seperti susu
kedele, tempe dan lain-lain, mempunyai kemampuan untuk berperan seperti hormon
estrogen. Fitoestrogen dapat menghambat terjadinya menopause, menghindari
gejala hotflaxes (rasa terbakar) pada wanita manapouse dan menurunkan risiko
kanker. Sedangkan serat dibutuhkan tubuh terutama untuk membersihkan isi perut
dan membantu memperlancar proses defekasi. Serat juga mempengaruhi penyerapan
zat gizi dalam usus, manfaat serat terutama dapat mencegah kanker colon.
2. Low-fat dairy product (menggunakan produk susu rendah lemak). Pada diet hipertensi
diberikan produk susu rendah lemak, dimana susu mengandung banyak kalsium.
Didalam cairan ekstra selular dan intraseluler kalsium memegang peranan penting
dalam mengatur fungsi sel, seperti untuk mengatur transmisi saraf, kontraksi otot,
penggumpalan darah dan menjaga permeabilitas membran sel. Kalsium mengatur
pekerjaan hormon-hormon dan faktor pertumbuhan. Susu rendah lemak baik
diberikan kepada wanita manula, tidak hanya untuk mendapat tambahan kalsium tapi
juga protein, vitamin dan mineral.
3. Konsumsi ikan, kacang dan unggas secukupnya. Intake protein yang cukup dapat
membantu pemeliharaan sel, untuk membantu ikatan essential tubuh, mengatur
keseimbangan air, memelihara netralitas tubuh, pembentukan antibody dan
mengangkut zat-zat gizi.
4. Kurangi SAFA seperti daging berlemak. Lemak jenuh bersifat arterogenik, lemak
jenuh yaitu asam urat, asam palmitat, asam stearate. Seseorang dengan penyakit
pembuluh darah umumnya harus membatasi konsumsi lemak jenuh berlebihan
terutama dari sumber hewani seperti daging merah, lemak babi, minyak kelapa,
coklat, keju, krim, susu krim dan mentega. Penimbunan SAFA dalam pembuluh darah
menyebabkan timbulnya arteriosclerosis yang artinya meningkatkan tekanan darah.
5. Membatasi gula dan garam. Membatasi garam bertujuan untuk menurunkan tekanan
darah, mencegah odema dan penyakit jantung. Adapun yang disebut diet rendah
garam adalah rendah sodium dan natrium. Garam dapur mempunyai nama kimia
Natrium Klorida (NaCl) yang didalamnya terkandung 40% sodium. Dalam diet
rendah garam, selain membatasi konsumsi garam dapur juga harus membatasi sumber
sodium lainnya, antara lain makanan yang mengandung soda kue, baking powder,
mono sodium glutamate (MSG) atau penyedap masakan, pengawet makanan atau
natrium benzoate (biasanya terdapat dalam saos, kecap, selai, jeli).
Pada diet DASH, kalori yang akan dikonsumsi berkisar 2.000 kkal/hari. Kalori ini
berasal dari berbagai jenis makanan yaitu whole grains (6 sampai 8 sajian/hari), sayuran (4
sampai 5 sajian/hari), buah-buahan (4 sampai 5 sajian/hari), susu dan produk susu rendah
atau tanpa lemak (2 sampai 3 sajian/hari), daging, unggas dan ikan (maksimal 6 sajian/hari),
kacang-kacangan, biji-bijian dan polong-polongan (4 sampai 5 sajian/minggu), lemak dan oil
(2 sampai 3 sajian/hari), manisan terutama yang rendah atau tanpa lemak (maksimal 5
sajian/minggu), sodium (maksimal 2,300 mg/hari).
Terdapat beberapa penelitian terkait dengan DASH dimana memaparkan bahwa diet
DASH ini memiliki faktor yang besar dalam mengurangi risiko penyakit jantung koroner
(Obarzanek et al., 2013). Penelitian lain yang dilakukan oleh Malloy J et al (2010)
menjelaskan bahwa pemberian diet DASH sangat berpengaruh terhadap tekanan darah
sistolik. Diet DASH baik menurunkan tekanan darah substantial dengan pengurangan asupan
natrium yang direkomendasikan sebesar 100 mmol/hari atau setara dengan 2,3 gram natrium
atau 5,8 gram natrium klorida (Sacks FM, et al, 2001).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Transisi epidemiologi yang dimaksud adalah perubahan distribusi dan faktor-faktor
penyebab terkait yang melahirkan masalah epidemiologi yang baru. keadaan transisi
epidemiologi ini ditandai dengan perubahan pola frekuensi penyakit.
Transisi epidemiologi bermula dari suatu perubahan kompleks dalam pola kesehatan
dan pola penyakit utama penyebab kematian dimana terjadi penurunan prevalensi penyakit
infeksi (penyakit menular), sedangkan penyakit non infeksi (penyakit tidak menular) justru
semakin meningkat. Hal ini terjadi seiring dengan berubahnya gaya hidup, sosial ekonomi
dan meningkatnya umur harapan hidup yang berarti meningkatnya pola risiko timbulnya
penyakit degeneratif seperti penyakit jantung koroner, diabetes melitus, hipertensi dan lain-
lain.
Transisi epidemiologi ini disebabkan karena terjadinya perubahan sosial ekonomi,
lingkungan dan perubahan struktur penduduk, saat masyarakat telah mengadopsi gaya hidup
tidak sehat, misalnya merokok, kurang aktivitas fisik, makanan tinggi lemak dan kalori, serta
konsumsi alkohol yang diduga merupakan faktor risiko PTM. WHO memperkirakan, pada
tahun 2020 PTM akan menyebabkan 73% kematian dan 60% seluruh kesakitan di dunia.
Diperkirakan negara yang paling merasakan dampaknya adalah negara berkembang termasuk
Indonesia (Depkes RI, 2006 dalam Rahajeng E & Tuminah, S., 2009).