Anda di halaman 1dari 11

PENINGKATAN MINAT BELI ULANG (REPURCHASE INTENTION) PADA ERA

REVOLUSI 4.0 DI MASA PANDEMI COVID-19

Siti Anisah Rahmadinah


201920280211033 / (sitianisarahmadinah@gmail.com)
Program Studi Magister Manajemen
Universitas Muhammadiyah Malang

PENDAHULUAN

Perkembangan teknologi dan informasi membuat internet menjadi salah satu media yang
digemari oleh masyarakat. Hingga kuartal dua 2020, jumlah pengguna internet tercatat telah
menembus angka 196 juta dari total 266 juta penduduk Indonesia. Survei APJII ini menunjukkan
betapa keberadaan internet telah sangat mendominasi mengingat kemudahan yang diberikan
kepada konsumen untuk melakukan berbagai aktivitas seperti mencari informasi, berkomunikasi
dan sebagai sarana berbelanja. Pertumbuhan penggunaan internet di Indonesia sebagian besar
berasal dari para anak muda yang merupakan penduduk Indonesia yang dinamis dan tinggal di
kota urban seperti Jakarta, maupun kota-kota tingkat dua dan tiga seperti Semarang dan Makasar.
Selain itu, 81 persen dari milenial Indonesia terhubung dengan media sosial seperti Facebook,
Twitter dan Instagram [1] sehingga mereka semakin mudah mendapatkan informasi yang
dibutuhkan.
Semakin ketatnya persaingan antar para pelaku bisnis, mendorong para pelaku bisnis
selalu berusaha memajukan bisnis mereka dengan memperluas jaringan bisnis menggunakan
internet sebagai salah satu media untuk menawarkan produknya kepada masyarakat. Internet
sangat memudahkan para pelaku bisnis untuk memperluas jaringan atau pangsa pasar mereka.
Dengan bantuan internet para pelaku bisnis dapat mempromosikan produk dan jasa
menggunakan iklan yang merupakan suatu proses komunikasi serta promosi yang bertujuan
untuk membujuk atau mengajak orang untuk mengambil tindakan yang menguntungkan bagi
pihak perusahaan seperti memutuskan untuk membeli. Periklanan menjadi salah satu saluran
komunikasi pemasaran yang dinilai efektif untuk meningkatkan kesadaran (awareness)
masyarakat tentang suatu produk dan jasa. Dengan demikian dalam memilih media periklanan,
pemasar harus teliti dan jeli terhadap perkembangan teknologi yang ada.
Perkembangan teknologi ini juga dideterminasi dengan hadirnya era revolusi industri 4.0
yang merupakan tingkat organisasi dan kendali baru atas seluruh rantai nilai siklus hidup produk
yang mana diarahkan menuju kebutuhan pelanggan yang semakin individual. Industri 4.0
dianggap cukup visioner dengan konsep realistik Internet of Things, Industrial Internet, Smart
Manufacturing and Cloud based Manufacturing. Industri 4.0 menyangkut ketat integrasi
manusia dalam proses manufaktur sehingga memiliki peningkatan berkelanjutan dan fokus pada
aktivitas nilai tambah dan menghindari pemborosan [2].
Pergesaran revolusi industri tersebut lantas juga menuntut para pelaku bisnis untuk
mencari tau melalui research and developement (R&D) tentang perubahan pola perilaku
konsumen. Pemahaman perilaku konsumen dimulai dengan memahami bahwa konsumen
memutuskan melakukan pembelian online didasari argumen yang kuat. Teori tindakan beralasan
(theory of reasoned action) menjelaskan bahwa tindakan (perilaku) konsumen ditentukan adanya
niat (intention) yang kuat dan niat ditentukan oleh sikap dan norma sosial (Fishbein and Ajzen,
1975). Oleh karena itu, niat konsumen untuk melakukan tindakan berbelanja online ditentukan
oleh sikap konsumen terhadap belanja online dan norma sosial yang melingkupi konsumen [3].
Ditambah lagi, situasi saat ini di masa-masa pandemi yang luar biasa mengubah tatanan pola
hidup masyarakat bahkan hingga lini terkecil termasuk dalam pola konsumsi dan berbelanja.
Kondisi semacam ini lantas menarik untuk ditelaah lebih jauh bagaimana perilaku konsumen
dalam hal ini merujuk pada minat pembelian ulang mereka pada era revolusi industri 4.0
ditengah sulitnya situasi pandemi Covid-19.
Berbagai penelitian terdahulu telah mengemukakan banyak temuan model guna
peningkatan minat beli ulang (repurchase intention). Pada jurnal bertajuk “Determinants of
Repurchase Intentions at Online Stores in Indonesia” diketahui menampilkan model minat beli
ulang berupa E-Customer Satisfaction; Perceived Website Quality; E-Customer Trust →
Repurchase Intention [4]. Perceived value; Perceived ease of use; Perceived usefulness;
Firm’s reputation; Privacy; Trust; Reliability; Fuctionality → Online Repurchase Intention
menjadi model minat beli ulang secara online pada jurnal berjudul “Analyzing Key Determinants
of Online Repurchase Intentions” [5]. Model lainnya dipaparkan oleh [6] pada jurnal mereka
dengan judul “The effect of site quality on repurchase intention in Internet shopping through
mediating variables: The case of university students in South Korea”. Diketahui kualitas situs
(Site Quality) menjadi indikator penting pada minat beli ulang selain kepuasan dan kepercayaan
serta komitmen konsumen (Customer Satisfaction; Customer Trust; Customer
Commitment) → Repurchase Intention. Model lainnya yang cukup menarik dikemukakan
pada jurnal “The Relationship between Loyalty Program, Customer Satisfaction and Customer
Loyalty in Retail Industry: A Case Study”. Peneliti menggambarkan bahwa Loyalty Program
(berupa Shopping Partner, Gift, Insurance, Member’s day, Magazine, Vouchers, Special Price);
Customer Satisfaction, Customer Loyalty bersama-sama akan memberikan peningkatan minat
beli ulang pada konsumen [7]. Dan yang terakhir mengacu pada jurnal bertajuk “Does the
Importance of Value, Brand and Relationship Equity for Customer Loyalty Differ between
Eastern and Western Cultures?” yang menyatakan bahwa beberapa indikator equity akan
berpengaruh pada niat untuk loyal atau setia. Equity Driver (Value driver, Brand Equity,
Relationship Equity) → Loyalty Intention (moderasi perbedaan Budaya) [8].

PEMBAHASAN

Revolusi Industri 4.0

Istilah industri 4.0 adalah merupakan era revolusi industri keempat yang didefinisikan
sebagai tingkat organisasi dan kendali baru atas seluruh rantai nilai produk. Hal ini ditujukan
untuk meningkatkan kebutuhan pelanggan individu [2]. Dalam perkembangan ekonomi digital
ini, revolusi industri menjadi sangat penting. Di era ini, industri semacam UMKM sedang dalam
keadaan bisnis, karyawan dan pengusaha yang menikmati kemudahan. Revolusi industri 4.0 ini
telah menciptakan peluang melalui terobosan yang berkelanjutan.
Dalam perkembangannya, dunia telah mengalami tiga revolusi industri besar. Yang
pertama adalah Industri 1.0, yang dimulai dengan penemuan mesin uap untuk pertama kalinya
dalam pengertian industri dan bertujuan untuk meningkatkan produksi. Revolusi ini diikuti oleh
Industri 2.0, yang ada sebagai transisi ke produksi massal di awal abad ke-20 dan membuka jalan
untuk mendapatkan keuntungan dari energi listrik. Selanjutnya, Industri 3.0, di mana sistem
produksi tidak lagi menjadi sistem analog dan digital terjadi di industry. Ketiga revolusi industri
yang terjadi didasarkan pada peningkatan produktivitas dalam produksi (Can & Kıymaz, 2016).
Seiring perkembangan teknologi informasi yang meningkat dan dunia berubah, pemasaran dan
industri juga berubah. Diferensiasi ekspektasi dan keinginan pelanggan yang hanya membeli
produk yang ada pada tahun 1960-an mempersulit proses produksi perusahaan. Jadi, meskipun
bisnis sekarang membutuhkan pekerjaan interdisipliner, mereka telah memperkenalkan Industri
4.0, di mana semua objek berkomunikasi dan berinteraksi satu sama lain melalui internet.
Industri 4.0 direncanakan bahwa semua unit yang memiliki hubungan langsung atau tidak
langsung dengan produksi akan bekerja sama dan membayangkan bahwa perangkat lunak dan
teknologi informasi data digital akan bekerja secara terintegrasi. Tujuan utama industri 4.0
adalah pembuatan produk, prosedur, dan proses pintar. Persyaratan prioritas utama dalam
industri 4.0 mencakup pemantauan data waktu nyata, memiliki instruksi untuk mengontrol
proses produksi, dan memantau status produk yang terlibat. Industri 4.0 tidak hanya terdiri dari
komunikasi mesin, tetapi juga memiliki jangkauan yang lebih luas. Hal ini merupakan proses
komprehensif yang mempengaruhi berbagai bidang ilmiah dari genetika hingga teknologi
informasi. Fitur yang membedakan revolusi ini dari revolusi lainnya adalah interkoneksi
perkembangan teknologi dengan saling memicu, bertindak dalam koordinasi dan pengembangan
semua area di bawah pengaruh satu sama lain [9].

Repurchase Intention
Niat membeli kembali merupakan wujud dari loyalitas pelanggan [10]. Loyalitas
konsumen sangat penting untuk kelangsungan hidup jangka panjang perusahaan. Niat membeli
kembali dalam konteks transaksi online adalah kecenderungan konsumen untuk mengunjungi
situs web dan mempertimbangkan untuk membeli produk atau layanan dari toko online yang
sama dan berkomitmen ke toko online tersebut. Niat membeli kembali ini merupakan sikap
berperilaku yang menguntungkan perusahaan atas konsekuensi pembelian yang berkelanjutan di
masa depan. Ukuran keberhasilan toko fisik (tradisional) dan toko online juga tidak berbeda,
yaitu loyalitas pelanggan diwujudkan dengan pembelian berulang. Peran loyalitas pelanggan
sangat penting dalam saluran distribusi online, karena bisnis mendapatkan pelanggan di toko
online bisa menjadi sangat mahal [11].
Customer Trust
Kepercayaan pelanggan memainkan peran mendasar dalam menjaga hubungan jangka
panjang dengan pengecer. Menurut [12], kepercayaan secara umum dipandang sebagai
sekumpulan keyakinan khusus yang berhubungan dengan kebajikan, kompetensi, dan integritas
pihak lain. Kepercayaan pelanggan menyiratkan bahwa niat baik perusahaan tidak dipertanyakan
oleh konsumen, bahwa janji yang dibuat tidak menimbulkan ketidakpastian pada pembeli, dan
bahwa komunikasi antara para pihak tersebut jujur. Ketidakpastian pelanggan dapat menyiratkan
potensi kegagalan layanan dan hasil negatif. Oleh karena itu, kepercayaan menjadi penting untuk
hubungan jangka panjang. Kurangnya kepercayaan mengurangi peluang pembeli untuk terlibat
dalam belanja online karena mereka tidak mau berurusan dengan vendor yang tidak mereka
percayai.
Lebih dari itu, selanjutnya [13] mendefinisikan kepercayaan sebagai harapan hasil positif
yang dapat diterima seseorang berdasarkan tindakan yang diharapkan dari pihak lain.
Kepercayaan didefinisikan sebagai ekspektasi para pihak dalam transaksi dengan organisasi
mana pun selama pengalaman layanan dan bahkan berkaitan dengan risiko yang terkait dengan
asumsi dan tindakan sesuai ekspektasi tersebut oleh organisasi terkait.

Customer Satisfaction
Kepuasan pelanggan dalam konteks transaksi online dapat diartikan sebagai evaluasi
pelanggan terhadap produk dan layanan yang ditawarkan toko online dalam memenuhi keinginan
dan kebutuhan pelanggan. Banyak penelitian berusaha menemukan anteseden dan konsekuensi
dari kepuasan pelanggan. Dalam penelitian ini kualitas website dianggap sebagai anteseden
kepuasan pelanggan, sedangkan kepercayaan dan repurchase intention adalah konsekuensinya.
Pada penelitian terdahulu, [14] telah mengungkapkan dimensi kualitas situs web yang
memprediksi kepuasan pembeli online. Dimensi kualitas layanan yang digunakan didasarkan
pada instrumen Loiacono WebQualTM dan hanya menghasilkan tiga dimensi yang menjadi
prediktor signifikan kepuasan pelanggan, yaitu informasi yang sesuai, kemampuan transaksi, dan
waktu respons [4].
Perceived Website Quality
Kualitas website yang baik dan tampilan yang menarik tentunya menjadi daya tarik
tersendiri bagi konsumen yang lantas sedikit banyak akan meningkatkan niat pembelian pada
dirinya. Hal ini menunjukkan bahwa menjaga kualitas situs web sangat penting untuk
mempertahankan pelanggan dan kunjungan kembali mereka, yang pada akhirnya akan
mengamankan loyalitas pelanggan. Karena pertumbuhan dramatis dalam jumlah pengguna
Internet, banyak penelitian telah membahas kualitas layanan situs web. Secara khusus, banyak
penelitian yang tidak hanya memeriksa aspek fungsional tetapi juga termasuk kualitas informasi,
kemudahan penggunaan dan aksesibilitas [15].
Bahkan kualitas layanan website telah menjadi isu penting bagi manajemen hotel untuk
menarik pelanggan online saat ini [16]. Kualitas web yang dirasakan sebagai pengguna
(konsumen online) adalah tentang layanan konsumen dan privasi berdasarkan antarmuka dan
fungsi situs web [17].

Technology Acceptance Model


Technology Acceptance Model (TAM) diformulakan oleh Ajzend and Fishben (1980).
Teori tersebut merupakan hasil dari penelitian mereka. Teori ini menjelaskan bahwa seseorang
dalam melakukan sesuatu didorong oleh dua faktor yaitu behavior beliefs dan normatif beliefs.
Faktor tersebut kemudian mendorong seseorang untuk memiliki outcome evaluation dan
motivation to comply. Sehingga kedua hal tersebut akan mendorong seseorang untuk berperilaku
(attitude) dan Norma-Norma Pribadi (Subjective Norms). Adanya Attitude dan Subjective Norms
akan mempengaruhi perhatian dan/atau fokus seseorang dalam berperilaku (behavior intention).
Pada akhir Behavior Intention akan mempengaruhi pada perilaku seseorang (behavior) [18].
Seiring berjalannya waktu TAM selanjutnya dikembangkan [19] untuk meneliti faktor-
faktor determinan dari penggunaan sistem informasi oleh pengguna. Hasil penelitian ini
menunjukan penggunaan sistem informasi dipengaruhi oleh minat (intention) pemanfaatan
sistem informasi, yang mana minat tersebut dipengaruhi oleh persepsi tentang kegunaan
teknologi (perceived usefulness) dan persepsi tentang kemudahan penggunaan teknologi
(perceived ease of use) [18].
Technology Acceptance Model (TAM) kemudian menjelma sebagai salah satu model
penerimaan teknologi yang paling berpengaruh dimana terdapat dua faktor utama yang
mempengaruhi niat seseorang untuk menggunakan teknologi baru yaitu persepsi kemudahan
penggunaan dan kegunaan yang dirasakan. Orang dewasa yang berusia lebih tua, yang pada
awalanya menganggap permainan digital terlalu sulit untuk dimainkan atau membuang-buang
waktu akan cenderung tidak ingin mengadopsi teknologi ini, sementara orang dewasa yang lebih
tua yang menganggap permainan digital memberikan stimulasi mental yang dibutuhkan dan
mudah dipelajari akan lebih cenderung untuk ingin mempelajari cara menggunakan game digital.
TAM berfungsi sebagai kerangka kerja umum yang berguna dan konsisten dengan sejumlah
penyelidikan tentang faktor-faktor yang memengaruhi niat orang dewasa yang lebih tua untuk
menggunakan teknologi baru [20].

Loyalty Program
Peningkatan minat beli ulang dapat dijaga salah satunya dengan adanya program loyalitas
(loyalty program). Kegiatan program loyalitas semacam ini dirancang untuk meningkatkan
kepuasan dan komitmen pelanggan dimana efektivitas dan relevansi program loyalitas diukur
melalui pencapaian tingkat tertentu dari ambang batas kepuasan pelanggan [21]. Program
loyalitas memberi anggota manfaat atau nilai yang dirasakan untuk mengungkapkan rasa terima
kasih atas loyalitas pada organisasi. Dalam penelitian yang dilakukakn (Bolton, Kannan, dan
Bramlett, 2000) menunjukkan bahwa ketika pelanggan berpartisipasi dalam program loyalitas,
manfaat yang mereka terima akan mengarah pada loyalitas mereka [7].
Dalam peneletian terdahulu, ditemukan bahwa terdapat hubungan yang positif dan
signifikan antara program loyalitas dengan kepuasan pelanggan di JUSCO AEON AU2 Taman
Setiawangsa, Kuala Lumpur. Temuan tersebut menegaskan bahwa Program Shopping Partners,
Gift Redemptions, Perlindungan Asuransi, dan Harga Spesial mempengaruhi kepuasan
pelanggan secara signifikan. Dalam hal loyalitas pelanggan, terdapat pula hubungan yang positif
dan signifikan antara program loyalitas dengan kesetiaan pelanggan, dalam hal ini pada objek
JUSCO AEON AU2 Taman Setiawangsa, Kuala Lumpur [7].
Selain itu, pada penelitian lainnya ditemukan bahwa peran variabel mediasi kepuasan
pelanggan terhadap niat membeli kembali. Temuan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
ide terkait pembentukan model yang memperkuat niat membeli kembali pelanggan toko online.
Hal ini berimplikasi pada desainer website untuk mendesain toko online yang mampu
meningkatkan kepercayaan dan memperkuat niat membeli kembali [4].
Hal ini tentunya perlu untuk menjadi pertimbangan bagi perusahaan untuk fokus dalam
pengembangan dan inovasi dalam program loyalitas. Dimana dengan program serupa tentunya
diharapkan pelanggan akan timbul rasa lebih percaya dan setia yang nantinya juga akan
berdampak pada peningkatan minat membeli ulang mereka.

Model yang Diusulkan


Berdasarkan berbagai penelitian terdahulu yang telah ada, penulis dalam hal ini
mengusulkan model baru dalam peningkatan niat beli ulang pada Era Revolusi 4.0 di masa
pandemi Covid-19 sebagai berikut:

Loyalty Program (Voucher, Special Price, Member’s Day); Site Quality (Design, Simplicity);
Perceived Value (Safety, Hygiene, Functional); Customer Satisfaction; Customer Trust →
Repurchase Intention.

Dalam hal ini penulis mengajukan kegiatan loyalty program berupa pemberian voucher,
harga istimewa dan keistimewaan keanggotaan akan meningkatkan ketertarikan pelanggan yang
selanjutnya meningkatkan keinginan melakukakan pembelian ulang. Selanjutnya adalah kualitas
situs berupa desain visual yang eye catching dan atraktif namun sederhana dan mudah
dioperasikan akan menimbulkan kenyamanan dalam bertransaksi. Lalu yang sangat meningkat
adalah tentu saja tingkat awareness dikala pandemi. Maka pada kondisi seperti saat ini adalah
berupa rasa aman dan nyaman, kebersihan dan nilai daya fungsi yang kemudiaanya akan
mencapai pada titik kepuasasan dan kepercayaan pelanggan dengan tindakan klimaks berupa niat
membeli ulang.

KESIMPULAN

Pesatnya penggunaan internet serta munculnya era revolusi 4.0 sebagai tingkat organisasi
dan kendali baru atas seluruh rantai nilai produk, dimana revolusi industri 4.0 ini ditujukan untuk
meningkatkan kebutuhan pelanggan individu dan telah membawa perubahan yang sangat nyata
dan signifikan pada pola perilaku konsumen. Dewasa ini persaingan antar pelaku bisnis semakin
ketat, dan para pelaku bisnis didorong untuk selalu berusaha menggunakan internet untuk
memperluas jaringan bisnisnya guna mendorong perkembangan bisnis. atau dengan kata lain
men-digitalisasi lini bisnis sebagai salah satu media untuk menawarkan produk. Ditambah
dengan situasi sulit di masa pandemi Covid-19 yang mana mengharuskan masyarakat untuk
cepat beradaptasi dengan kondisi yang ada tak terkecuali dalam hal konsumsi dan berbelanja
yang harus cepat ditangkap kebutuhan dan keinginannya oleh para pelaku bisnis demi eksistensi
usaha mereka. Artikel konseptual ini ditujukan untuk mengusulkan model baru dalam upaya
peningkatan minat beli ulang masyarakat dalam era revolusi industri 4.0 dimasa pandemi Covid-
19. Dimana kepuasan konsumen, rasa kepercayaan pelanggan, kualitas pelayanan termasuk
kualitas situs dan tampilan web, hingga dimensi equity dan komitmen akan berdampak pada
loyalty intentition yang selanjutnya akan memberi pengaruh terhadap repurchase intention
(minat beli ulang).

DAFTAR PUSTAKA

[1] P. Pengguna and I. Indonesia, “Laporan survei internet apjii 2019 – 2020,” vol. 2020,
2020.
[2] S. Vaidya, P. Ambad, and S. Bhosle, “Industry 4.0 - A Glimpse,” Procedia Manuf., vol.
20, pp. 233–238, 2018, doi: 10.1016/j.promfg.2018.02.034.
[3] F. Ekonomi, D. A. N. Bisnis, and U. M. Malang, “INDONESIA MENGHADAPI.”
[4] R. Wijaya, N. Farida, and Andriyansah, “Determinants of repurchase intentions at online
stores in Indonesia,” Int. J. E-bus. Res., vol. 14, no. 3, pp. 95–111, 2018, doi:
10.4018/IJEBR.2018070106.
[5] N. Oly Ndubisi, C. Har Lee, U. Cyril Eze, and N. Oly Ndubisi, “Analyzing key
determinants of online repurchase intentions,” Asia Pacific J. Mark. Logist., vol. 23, no. 2,
pp. 200–221, 2011, doi: 10.1108/13555851111120498.
[6] J. I. Shin, K. H. Chung, J. S. Oh, and C. W. Lee, “The effect of site quality on repurchase
intention in Internet shopping through mediating variables: The case of university students
in South Korea,” Int. J. Inf. Manage., vol. 33, no. 3, pp. 453–463, 2013, doi:
10.1016/j.ijinfomgt.2013.02.003.
[7] I. Zakaria, B. A. Rahman, A. K. Othman, N. A. M. Yunus, M. R. Dzulkipli, and M. A. F.
Osman., “The Relationship between Loyalty Program, Customer Satisfaction and
Customer Loyalty in Retail Industry: A Case Study,” Procedia - Soc. Behav. Sci., vol.
129, pp. 23–30, 2014, doi: 10.1016/j.sbspro.2014.03.643.
[8] S. (Sandy) Zhang, J. Van Doorn, and P. S. H. Leeflang, “Does the importance of value,
brand and relationship equity for customer loyalty differ between Eastern and Western
cultures?,” Int. Bus. Rev., vol. 23, no. 1, pp. 284–292, 2014, doi:
10.1016/j.ibusrev.2013.05.002.
[9] H. Guven, “Industry 4.0 and Marketing 4.0: In Perspective of Digitalization and E-
Commerce,” Agil. Bus. Leadersh. Methods Ind. 4.0, pp. 25–46, 2020, doi: 10.1108/978-1-
80043-380-920201003.
[10] Y. Zhang, Y. Fang, K. K. Wei, E. Ramsey, P. McCole, and H. Chen, “Repurchase
intention in B2C e-commerce - A relationship quality perspective,” Inf. Manag., vol. 48,
no. 6, pp. 192–200, 2011, doi: 10.1016/j.im.2011.05.003.
[11] P. Jiang and B. Rosenbloom, “Customer intention to return online: Price perception,
attribute-level performance, and satisfaction unfolding over time,” Eur. J. Mark., vol. 39,
no. 1–2, pp. 150–174, 2005, doi: 10.1108/03090560510572061.
[12] C. M. Chiu, H. Y. Lin, S. Y. Sun, and M. H. Hsu, “Understanding customers’ loyalty
intentions towards online shopping: An integration of technology acceptance model and
fairness theory,” Behav. Inf. Technol., vol. 28, no. 4, pp. 347–360, 2009, doi:
10.1080/01449290801892492.
[13] J. Thomas and I. Kozhikode, “‘ Trust ’ In Customer Relationship : Addressing The
Impediments In Research,” Adv. Consum. Res., vol. VIII, no. Volume VIII, pp. 346–350,
2008.
[14] S. Kim and L. Stoel, “Apparel retailers: Website quality dimensions and satisfaction,” J.
Retail. Consum. Serv., vol. 11, no. 2, pp. 109–117, 2004, doi: 10.1016/S0969-
6989(03)00010-9.
[15] J. M. Myunghee and J. Miyoung, “Customers’ perceived website service quality and its
effects on,” Int. J. Contemp. Hosp. Manag., vol. 29, no. Unit 07, pp. 1–5, 2017.
[16] M. Jeong, H. Oh, and M. Gregoire, “Conceptualizing Web site quality and its
consequences in the lodging industry,” Int. J. Hosp. Manag., vol. 22, no. 2, pp. 161–175,
2003, doi: 10.1016/S0278-4319(03)00016-1.
[17] Y. Hwang and D. J. Kim, “Customer self-service systems: The effects of perceived Web
quality with service contents on enjoyment, anxiety, and e-trust,” Decis. Support Syst.,
vol. 43, no. 3, pp. 746–760, 2007, doi: 10.1016/j.dss.2006.12.008.
[18] F. Sayekti and P. Putarta, “Penerapan Technology Acceptance Model (TAM) Dalam
Pengujian Model Penerimaan Sistem Informasi Keuangan Daerah,” J. Manaj. Teor. dan
Ter. J. Theory Appl. Manag., vol. 9, no. 3, pp. 196–209, 2016, doi:
10.20473/jmtt.v9i3.3075.
[19] F. D. Davis, “Perceived usefulness, perceived ease of use, and user acceptance of
information technology,” MIS Q. Manag. Inf. Syst., vol. 13, no. 3, pp. 319–339, 1989, doi:
10.2307/249008.
[20] V. Deslonde and M. Becerra, “The Technology Acceptance Model (TAM): Exploring
School Counselors’ Acceptance and Use of Naviance,” Prof. Couns., vol. 8, no. 4, pp.
369–382, 2018, doi: 10.15241/vd.8.4.369.
[21] H. T. Keh and Y. H. Lee, “Do reward programs build loyalty for services?. The
moderating effect of satisfaction on type and timing of rewards,” J. Retail., vol. 82, no. 2,
pp. 127–136, 2006, doi: 10.1016/j.jretai.2006.02.004.

Anda mungkin juga menyukai