Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
I. LATAR BELAKANG
Corporate governance (CG) telah menjadi salah satu frasa yang banyak digunakan dalam kosa kata
bisnis global saat ini. Kasus kehancuran Enron di tahun 2001 semakin menarik perhatian internasional
terhadap peran penting CG untuk mencegah kegagalan perusahaan. Banyak negara di dunia, termasuk di
Asia (Wallace and Zinkin 2005), telah mendorong program-program reformasi CG yang ditunjukkan
dengan berkembangnya peraturan serta kebijakan CG yang dihasilkan.
Arti penting CG diprediksi semakin meningkat di masa datang seiring dengan kompleksitas
perusahaan dan dinamika globalisasi. Di Indonesia, CG bukan lagi dilihat sebagai asesoris semata tetapi
diterapkan sebagai suatu sistem nilai dan best practices yang fundamental (Arafat dan Waluyo, 2008).
Pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Negara BUMN No. 117/2002 tentang penerapan CG di
badan usaha milik negara (BUMN) berupaya untuk mengimplementasikan good corporate governance
(GCG). Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) juga dibentuk untuk menyiapkan rerangka
dasar pelaksanaan GCG. Pada tahun 2006 KNKG menerbitkan Pedoman Umum Good Corporate
Governance Indonesia “untuk mendorong terciptanya iklim usaha yang sehat di Indonesia dan menjadi
bagian dari upaya penegakan good governance yang sedang dilaksanakan oleh Pemerintah.” (Boediono
selaku Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia dalam KNKG 2006, hal. i). Masih
banyak lembaga maupun asosiasi yang juga terlibat aktif dalam pengembangan CG di Indonesia (lihat
Institute on Directors 2005).
Berbagai model CG dikembangkan di banyak lembaga dan negara. Model-model CG yang
dikembangkan lazimnya disesuaikan dengan kondisi dimana perusahaan tersebut berdomisili. Demikian
pula, banyak lembaga mengembangkan model peratingan CG (Solomon 2007; Rezaee 2007). Oleh karena
itu banyak ahli berpendapat bahwa model CG bervariasi antar industri maupun negara (Luo 2007).
Namun demikian, usaha-usaha untuk mengembangkan model CG yang dapat mengkonvergensi banyak
kepentingan selalu diusahakan (O’Brien 2005; Rezaee 2007). Konvergensi model CG seharusnya selalu
didukung karena konvergensi dapat membantu penciptaan CG yang universal dan mudah
diimplementasikan oleh banyak perusahaan. Sebagai analogi, International Accounting Standard Boards
(IASB) dan Financial Accounting Standard Boards (FASB) sejak beberapa tahun ini bekerjasama melalui
1
pembentukan Joint Program dalam rangka mengkonvergensikan rerangka konseptual pelaporan
keuangan.
Meskipun banyak pihak terlibat dalam pengembangan CG, sebagian besar riset menunjukkan
bahwa kualitas CG perusahaan-perusahaan Indonesia relatif rendah (Institute of Directors 2005). Center
for Good Corporate Governance (CGCG) Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada yang
memperoleh Program Hibah Kompetitif (PHK B) dari Departemen Pendidikan Nasional merasa perlu
untuk berperan serta meningkatkan kualitas CG di perusahaan-perusahaan Indonesia. Salah satu tujuan
pembentukan CGCG ini adalah mengembangkan model CG sekaligus model peratingan CG yang setidak-
tidaknya dapat diaplikasikan untuk perusahaan-perusahaan di Indonesia.
Definisi CG berbasis perspektif pemangku kepentingan ini didasarkan pada persepsi bahwa perusahaan
dapat memaksimalkan penciptaan nilai (value creation) dalam jangka panjang dengan cara menunaikan
tanggung jawab mereka terhadap seluruh kelompok pemangku kepentingan, dan dengan mengoptimalkan
sistem CG.
Menggunakan definisi-definisi di atas sebagai titik awal, CGCG mendefinisikan CG sebagai
sebuah sistem yang terdiri dari berbagai fungsi dan berbagai pihak yang terlibat untuk memaksimalkan
penciptaan nilai oleh perusahaan melalui prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang berterima umum.
3
Beberapa fungsi penting yang terkait dengan CG adalah fungsi oversight, enforcement, supervisory &
advisory, assurance, dan monitoring. Fungsi-fungsi tersebut dijalankan oleh dewan direksi (board of
directors), pejabat eksekutif (executive officers), dewan komisaris/komite (board of
commissioners/committees), auditor, dan para pemangku kepentingan (stakeholders). Selanjutnya, pihak-
pihak tersebut menjalankan fungsi masing-masing untuk memenuhi prinsip-prinsip CG yang berterima
umum, yaitu transparency, accountability & responsibility, responsiveness, independency, dan fairness.
Berikut ini dibahas sekilas tentang partisipan CG dan fungsi-fungsi CG.
4
Salah satu organisasi internasional yang ikut mengembangkan CG adalah OECD (Organization
for Economic Co-operation Development). Penetapan CG dalam OECD dipengaruhi oleh hubungan
antara partisipan dan sistem tatakelola. Pemegang saham pengendali yang dapat berupa individu,
keluarga, aliansi, atau perusahaan lain yang beraktivitas melalui perusahaan atau antar perusahaan dapat
mempengaruhi secara signifikan perilaku korporat. Sebagai pemegang ekuitas maka terdapat keinginan
untuk meningkatkan kekuatannya di pasar melalui CG. Berikut ini prinsip CG menurut OECD (2004):
1. Perlindungan terhadap hak-hak pemegang saham; yaitu menjamin keamanan metoda pendaftaran
kepemilikan, mengalihkan atau memindahkan saham yang dimiliki, memperoleh informasi yang
relevan tentang perusahaan secara berkala dan teratur, ikut berperan dan memberikan suara dalam
RUPS, memilih anggota dewan komisaris dan direksi, serta memperoleh pembagian keuntungan
perusahaan.
2. Persamaan perlakuan terhadap seluruh pemegang saham; yaitu berlaku fair termasuk pemegang
saham asing dan minoritas.
3. Peranan pemangku kepentingan yang terkait dengan perusahaan; yaitu mendorong kerjasama
antara perusahaan dengan pemangku kepentingan agar tercipta kesejahteraan, lapangan kerja, dan
kesinambungan usaha.
4. Keterbukaan dan transparansi; yaitu menyajikan informasi keuangan, kinerja perusahaan,
kepemilikan, dan pengelolaan perusahaan. Informasi yang diungkapkan harus disusun, diaudit,
dan disajikan sesuai dengan standar yang berkualitas tinggi.
5. Akuntabilitas dewan komisaris; yaitu menjamin adanya pedoman strategi perusahaan,
pemantauan yang efektif terhadap manajemen yang dilakukan oleh dewan komisaris dan
akuntabilitas dewan komisaris terhadap perusahaan dan pemegang saham.
Mengadopsi prinsip-prinsip CG yang ditetapkan OECD, International Corporate Governance Network
(ICGN) juga menambahkan prinsip-prinsip Honesty, Resilience, Responsiveness, dan transparency
sebagai best practices untuk meningkat CG lembaga tersebut.
Di Indonesia, Komite Nasional Kebijakan Good Corporate Governance (KNKGCG) yang
dibentuk tahun 1999 berdasarkan SK Menko Ekuin Nomor: KEP/31/M.EKUIN/08/1999 telah
mengeluarkan pedoman good corporate governance (GCG). Pedoman tersebut telah beberapa kali
disempurnakan, terbaru pada tahun 2006 oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) sebagai
pengganti KNKGCG. KNKG mengeluarkan Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia.
Lima prinsip dasar GCG menurut KNKG (2006) adalah sebagai berikut:
1. Transparansi; yaitu perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan
cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus
mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan
5
perundang-undangan, tetapi juga hal penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang
saham, kreditur, dan pemangku kepentingan lainnya.
2. Akuntabilitas; yaitu perusahaan harus dapat mempertanggungjelaskan kinerjanya secara
transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai
dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham
dan pemangku kepentingan lain.
3. Responsibilitas; yaitu perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta
melaksanakan tanggungjawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara
kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapatkan pengakuan sebagai good
corporate citizen.
4. Independensi; yaitu perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ
perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.
5. Kewajaran dan Kesetaraan; yaitu perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan
pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.
Selain Pedoman Pokok Pelaksanaan, KNKG juga mengeluarkan pedoman perilaku yang dapat
menjadi acuan bagi organ perusahaan (terdiri dari RUPS serta dewan komisaris dan direksi) dan semua
karyawan dalam menerapkan nilai-nilai dan etika bisnis sehingga menjadi bagian dari budaya perusahaan.
Pedoman perilaku sejalan dengan tujuan ditetapkannya GCG, dan untuk mencapai keberhasilan dalam
jangka panjang maka diperlukan pelaksanaan GCG dengan dilandasi integritas yang tinggi. Pedoman
etika mencakup nilai-nilai perusahaan yang merupakan landasan moral dalam mencapai visi dan misi
perusahaan yang menggambarkan karakter perusahaan, serta etika bisnis yang merupakan acuan bagi
perusahaan dalam melaksanakan kegiatan usaha termasuk dalam berinteraksi dengan pemangku
kepentingan.
Mempertimbangkan prinsip-prinsip yang telah disebutkan di muka, CGCG mendasarkan diri pada
5 prinsip yang seharusnya dipenuhi CG, yaitu:
1. Transparency (transparansi); dalam menjalankan fungsinya, semua partisipan harus
menyampaikan informasi yang material sesuai dengan substansi yang sesungguhnya, dan
menjadikan informasi tersebut dapat diakses dan dipahami secara mudah oleh pihak-pihak lain
yang berkepentingan.
2. Accountability & responsibility (pertanggungjelasan & pertanggungjawaban); dalam menjalankan
fungsinya, setiap partisipan CG harus mempertanggung-jelaskan amanah yang diterima sesuai
dengan hukum, peraturan, standar moral/etika maupun best practices berterima umum, dan
menyiapkan pertanggungjawaban jika pertanggungjelasan yang diajukan ditolak.
6
3. Responsiveness (ketanggapan); dalam menjalankan fungsinya, setiap partisipan CG harus
menanggapi, meliputi juga kegiatan antisipatif, terhadap permintaan (requests) maupun umpan-
balik (feedback) pihak-pihak yang berkepentingan dan terhadap perubahan-perubahan dunia
usaha yang berpengaruh signifikan terhadap perusahaan.
4. Independence (independensi); dalam menjalankan fungsinya, setiap partisipan harus
membebaskan diri dari kepentingan pihak-pihak lain yang berpotensi memunculkan konflik
kepentingan, dan menjalankan fungsinya sesuai kompetensi yang memadai.
5. Fairness (kewajaran); dalam menjalankan fungsinya, setiap partisipan memperlakukan pihak lain
secara wajar berdasar ketentuan-ketentuan berterima umum.
7
B. Partisipan Corporate Governance
Perspektif pertama yang digunakan dalam perancangan model CG UGM adalah terkait dengan
pihak-pihak yang seharusnya berpartisipasi dalam penerapan CG. Terdapat 5 kelompok partisipan beserta
fungsinya masing-masing, yaitu:
1. Dewan direksi (oversight)
2. Pejabat eksekutif (enforcement)
3. Dewan komisaris/komisi (supervisory and advisory)
4. Auditor (assurance)
5. Pemangku kepentingan (monitoring)
C. Prinsip-prinsip GCG
Perspektif kedua yang digunakan adalah prinsip-prinsip CG. Model CG UGM mendasarkan diri
pada 5 prinsip CG, yaitu:
1. Transparency (transparansi)
2. Accountability & responsibility (pertanggungjelasan & pertanggungjawaban)
3. Responsiveness (ketanggapan)
4. Independence (independensi)
5. Fairness (kewajaran)
8
Deskripsi singkat:
Songkok mencerminkan prinsip-prinsip CG, sedangkan tombak mencerminkan para partisipan CG.
Warna yang melekat di songkok dan tombak mencerminkan karakteristik dominan yang seharusnya
dipenuhi oleh masing-masing prinsip/pihak. Pemaknaan warna sesuai dengan yang digunakan Edward de
Bono (1985) dalam buku terkenalnya yang berjudul Six Thinking Hats.
10
3. Pertanyaan yang jawabannya diperoleh melalui wawancara, diskusi, observasi lapangan melalui
analisis konten, dan metoda-metoda lain yang relevan untuk pengumpulan data (pertanyaan
kontinyu)
Selanjutnya, pertanyaan-pertanyaan tersebut diklasifikasi berdasar arti penting pertanyaan tersebut
bagi pencapaian CG. Terdapat 2 kelompok, yaitu:
1. Pertanyaan yang seharusnya terpenuhi (necessary questions)
2. Pertanyaan yang sebaiknya terpenuhi (sufficient questions)
G. Kategori Peratingan
Berdasar akumulasi skor dari semua sel yang terdapat di matriks pengukuran maka hasil
pengukuran CG dapat dikelompokkan menjadi 5 status. Dengan asumsi menggunakan peratingan Third-
party assessment, ketentuan tentang penetapan status peratingan adalah sebagai berikut:
1. Great (Sangat Baik); jika total skor minimal 950 dari total maksimal 1000.
2. Good (Baik); jika total skor adalah antara 850 sampai dengan 949 dari total maksimal 1000.
3. Fair (Cukup); jika total skor adalah antara 750 sampai dengan 849 dari total maksimal 1000.
4. Bad (Buruk); jika total skor adalah antara 650 sampai dengan 749 dari total maksimal 1000.
5. Ugly (Sangat buruk); jika total skor kurang dari 650 dari total maksimal 1000.
H. Aplikasi Peratingan
Model peratingan CG UGM dirancang agar dapat diaplikasikan secara mudah oleh entitas. Untuk
mencapai tujuan tersebut maka aplikasi peratingan CG UGM dibagi menjadi 2 jenis, yaitu:
1. Peratingan sendiri (self-assessment); aplikasi ini pada dasarnya mengukur kualitas CG entitas
yang dilakukan oleh entitas itu sendiri tanpa harus menggunakan bantuan pihak lain untuk
melakukan peratingan. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada dasarnya adalah yang bersifat
obyektif, dan mudah diverifikasi keberadaannya. Hasil peratingan ini dimaksudkan untuk self-
evaluation bagi entitas yang ingin mengetahui sejauh mana kualitas CG entitas tersebut pada
waktu tertentu.
2. Peratingan pihak ketiga (third-party assessment); aplikasi ini pada dasarnya mengukur kualitas
CG entitas yang dilakukan oleh pihak ketiga, yaitu pihak eksternal yang kompeten dan
independen. Di samping menggunakan alat-alat ukur yang digunakan dalam aplikasi peratingan
13
sendiri, peratingan pihak ketiga ini juga menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya
diperoleh melalui riset yang detail oleh lembaga yang kompeten dan independen. Pihak ketiga
mengumpulkan jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan Kontinyu yang membutuhkan
jawaban melalui riset, dan mengecek kesesuaian antara jawaban dari pertanyaan-pertanyaan
dikotomi dan diskrit dengan kondisi praktik yang sesungguhnya.
Oleh karena aplikasi peratingan self-assessment (sendiri) merupakan sebagian dari peratingan pihak
ketiga maka penetapan skor untuk aplikasi peratingan sendiri lebih kecil dibanding skor untuk peratingan
pihak ketiga. Juga, status peratingan antara aplikasi peratingan sendiri dan aplikasi pihak ketiga berbeda.
Total skor maksimal dari pengukuran kualitas GCG untuk aplikasi peratingan sendiri adalah 600
poin yang merupakan 60% dari total skor maksimal dari aplikasi peratingan pihak ketiga (1000 poin).
Dengan demikian, penetapan skor maksimal untuk masing-masing sel juga disesuaikan, yaitu 10 sel
utama yang masing-masing sel terdiri dari total skor maksimal sebesar 42 (60% dari 70), dan 15 sel
penunjang yang masing-masing sel terdiri dari total skor maksimal sebesar 12 (60% dari 20).
Status final untuk aplikasi peratingan sendiri dapat diklasifikasi sebagai berikut:
a. Look great (nampak bagus sekali); jika total skor yang dicapai minimal 570 poin.
b. Look good (nampak bagus); jika total skor yang dicapai 510 sampai dengan 569 poin.
c. Look fair (nampak cukup); jika total skor yang dicapai 450 sampai dengan 509 poin.
d. Look bad (nampak buruk); jika total skor yang dicapai 390 sampai dengan 449 poin.
e. Look ugly (nampak buruk sekali); jika total skor yang dicapai kurang dari 390 poin.
Pengembangan model Taktis juga mendasarkan kelima dimensi cakupan alat ukur CG di atas.
Namun demikian, pencapaian yang ingin dicapai harus disesuaikan dengan tingkat kesadaran entitas atas
CG di masa sekarang ini. Oleh karena itu, fokus model Taktis pengukuran CG perusahaan-erusahaan di
Indonesia ditetapkan sebagai berikut:
1. Pihak yang memperoleh manfaat adalah stakeholders, terutama adalah pemegang saham, pihak
internal, dan pengguna langsung jasa/produk perusahaan.
2. Tingkat kedisiplinan yang diukur adalah masih pada tingkat compliance terhadap ketentuan,
hukum, maupun best practices yang berlaku sekarang dan yang memberi kontribusi jangka
panjang.
3. Intensitas pemanfaatan TI ditetapkan pada tingkatan Sedang Menuju Tinggi.
4. Jenis informasi yang diukur bersifat non-keuangan ditambah sebagian kecil informasi keuangan.
5. Fleksibilitas implementasi ketentuan GCG masih menggunakan rules-based approach, kecuali
untuk beberapa ketentuan yang penting dan krusial menggunakan principles-based approach.
B. Keterbatasan Model
CGCG menawarkan model peratingan CG yang universal yang diharapkan dapat berlaku di
berbagai entitas yang berbeda-beda. Karena pertimbangan skala prioritas, model pengukuran CG UGM
yang dibahas di sini lebih memfokuskan pada pengukuran CG untuk perusahaan-perusahaan yang
terdaftar di pasar modal (perusahaan publik) di Indonesia. Sebagai konsekuensinya, model pengukuran
CG UGM ini menuntut dilakukannya pengembangan dan penyesuaian, tanpa harus mengubah rerangka
dasar, jika organisasi selain perusahaan publik berharap untuk dapat mengukur CG menggunakan model
peratingan CG UGM ini.
Kami berpendapat bahwa sebagai sebuah sistem, pengembangan CG seharusnya mendasarkan pada
3 pilar utama, yaitu pilar pengetahuan yang mapan (bisa jadi salah satunya adalah matematika), pilar
kedua yang disebut prinsip-prinsip dasar, dan pilar ketiga yang disebut rancang-bangun. Namun
demikian, model pengukuran CG UGM masih lebih memfokuskan pada pilar prinsip-prinsip dasar dan
dalam beberapa hal pada pilar rancang-bangun. Sejauh ini CGCG berusaha untuk menemukan pilar
pertama. Oleh karena itu, model peratingan CG UGM harus dikembangkan secara lebih optimal untuk
dapat mengukur CG perusahaan secara komprehensif yang sesungguhnya. Namun demikian, penggunaan
riset empiris yang komprehensif diharapkan dapat mengkompensasi kekurangan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Anand, S. 2008. Essentials of Corporate Governance. First Edition. John Wiley & Sons, Inc.
16
Arafat, W. dan E. Waluyo. ”Filbert-Deo” Governance Indexing & Rating System: Model Integratif
Pengukuran Indeks dan Peringkat Tata Kelola Perusahaan. Arsip CGCG.
Harvard Business Review. 2000. Harvard Business Review on Corporate Governance. Fifth Edition.
Harvard Business School Press.
Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG). 2006. Pedoman Umum Good Corporate Governance
Indonesia.
Lawrence, A.T., dan Weber, J. 2008. Business and Society: Stakeholders, Ethics, Public Policy. Twelfth
Edition. New York: McGraw-Hill Irwin.
Leblanc, R. and J. Gillies. 2005. Inside the Boardroom: How Boards Really Work and the Coming
Revolution in Corporate Governance. First Edition. John Wiley & Sons Canada, Ltd.
Luo, Y. 2007. Global Dimensions of Corporate Governance. First Edition. Blackwell Publishing Ltd.
O’Brien, J. 2005. Governing the Corporation: Regulation and Corporate Governance in an Age of
Scandal and Global Markets. First Edition. John Wiley & Sons, Ltd.
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). 2004. “OECD principles of
corporate governance.” Journal of Economic Literature. Dec 2004; 42, 4; Academic Research
Library pg. 1199.
Parkinson, J.E. 1994. Corporate Power and Responsibility. Oxford: Oxford University Press.
Rezaee, Z. 2007. Corporate Governance Post – Sarbanes Oxley. First Edition. John Wiley & Sons, Inc.
Solomon, J. 2007. Corporate Governance and Accountability. Second Edition. John Wiley & Sons.
Tricker, R.I. 1984. Corporate Governance: Practices, Procedures and Powers in British Companies and
Their Boards of Directors. Aldershot, UK: Gower Press.
Wallace, P. and J. Zinkin. 2005. Mastering Business in Asia: Corporate Governance. First Edition. John
Wiley & Sons (Asia) Pte Ltd.
17