Anda di halaman 1dari 7

Tugas Hukum Bisnis Internasional

Kelas Bisnis Internasional B

Anas Nur Syaiful Aziz


Dicky Pratama
D Mugi Ramdhani

Sengketa Bisnis Internasional antara PT Newmont dengan


Pemerintah Indonesia

Sebuah siaran pers dikeluarkan DESDM (1/4), United Nation Commission on


International Trade Law (UNCITRAL), Majelis Arbitrase (Arbitral Tribunal)
pada tanggal 31 Maret 2009 telah mengeluarkan putusan akhir (final award),
yang pada pokoknya memenangkan Pemerintah Republik Indonesia.

Setelah 2 tahun terombang-ambing, inilah sesuatu yang amat melegakan


pemerintah Indonesia. Betapa tidak, siaran pres itu menjelaskan lima poin
yang menguntungkan, pertama, memerintahkan PT NNT untuk
melaksanakan ketentuan pasal 24.3 Kontrak Karya, kedua, menyatakan PT
NNT telah melakukan default atau pelanggaran perjanjian.

Ketiga, memerintahkan kepada PT NNT untuk melakukan divestasi 17%


saham, yang terdiri dari divestasi tahun 2006 sebesar 3% dan tahun 2007
sebesar 7% kepada Pemerintah Daerah. Sedang untuk tahun 2008 sebesar
7%, kepada Pemerintah Republik Indonesia. Semua kewajiban tersebut
diatas harus dilaksanakan dalam waktu 180 hari sesudah tanggal putusan
Arbitrase;

Keempat, saham yang didivestasikan harus bebas dari gadai (”Clean and
Clear”) dan sumber dana untuk pembelian saham tersebut bukan menjadi
urusan PT NNT. Terakhir, memerintahkan PT NNT untuk mengganti biaya-
biaya yang sudah dikeluarkan oleh Pemerintah untuk kepentingan Arbitrase
dalam perkara ini, dan harus dibayar dalam tempo 30 hari sesudah tanggal
putusan Arbitrase.

***

Tanda-tanda sengketa mulai terlihat menjelang masa eksplorasi 10 tahun


berakhir divestasi itu PT Newmont Minahasa terkait dengan kewajiban
divestasi yang harus dilaksanakan sesuai dengan Kontrak Karya yang
ditandatangani PT Newmont Nusa Tenggara dengan Pemerintah Indonesia.
Saat itu upaya mencapai kesepakatan antara PT Newmont Nusa Tenggara
dengan 3 (tiga) calon investornya yaitu Pemprov NTB, Pemkab Sumbawa
Barat dan Pemkab Sumbawa terganjal. Uluran tangan Pemerintah Pusat
memfasilitasi negosiasi pun mentok.

Jengkel dengan perkembangan tersebut, pemerintah menetapkan pihak PT


Newmont Nusa Tenggara dalam keadaan lalai default. Dalam waktu 180
hari perusahaan itu harus menyelesaikan penjualan sahamnya. Bila
perintah ini tidak dilaksanakan resikonya adalah pemutusan atau terminasi
kontrak karya.

Tentu saja sang lawan jadi meradang mendengar kabar itu. perusahaan
yang berinduk di Amerika Serikat itu balikmengancam. Pemerintah diminta
mencabut kembali status lalai (default) tersebut dan memberi waktu yang
lebih layak untuk menuntaskan proses divestasi. Bila status itu tak dicabut,
mereka akan mengajukan gugatan melalui arbitrase internasional.
Pemerintah melalui Dirjen Minerbapabum ESDM menyatakan siap
menghadapinya.

***

Singkat cerita proses arbitrase pun berjalan. Kemudian proses penyelesaian


itu pun mesti dijalankan mengikuti prosedur yang ditetapkan oleh United
Nation Commission on International Trade Law (UNCITRAL). Hal itu digelar di
Jakarta antara tanggal 8 sampai dengan 13 Desember 2008. Akhirnya,
Majelis Arbitrase (Arbitral Tribunal) pada tanggal 31 Maret 2009 telah
mengeluarkan putusan akhir (final award), yang pada pokoknya
memenangkan Pemerintah Republik Indonesia tersebut.

Kemenangan ini di satu sisi membuyarkan keraguan banyak kalangan,


termasuk pakar hukum pertambangan yang menyakini pemerintah Indonesia
akan kalah. Menurut, Bisnis Indonesia (2/4) hal itu merupakan cerminan
sikap traumatik akibat kekalahan PT Pertamina (Persero) melawan Karaha
Bodas Company (KBC). Atau serangkaian kasus lainnya seperti kasus Amco
Asia. Dalam tajuknya harian ekonomi itu menggambarkan bahwa putusan
ini membawa implikasi positif, baik bagi pemerintah maupun bangsa
Indoneisa. Kemenangan tersebut mengembalikan wibawa Pemerintah
Indonesia di mata perusahaan asing, yang selama ini terpuruk.

Namun, catatan yang perlu diingat sebenarnya kasus yang berkaitan dengan
investasi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asing di Indonesia,
khusus di bidang pertambangan, kasus Newmont Nusa Tenggara ini bukan
merupakan kasus yang pertama. Sebelumnya ada kasus Divestasi dan
Tailing PT Freeport; kasus pencemaran Teluk Buyat yang dituduhkan kepada
PT Newmont Minahasa Raya; Kasus Monsanto; PT Kaltim Prima Coal; dll.

Perulangan kasus demi kasus seharusnya menjadi bahan pembelajaran. Satu


hal yang pokok, terdapat kelemahan yang harus segera dibenahi dalam
perundangan kita.

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi Pri


Agung Rakhmanto, seperti dilansir Kompas (4/4) menyatakan, untuk
menghindari kerugian negara lebih jauh, sudah waktunya kontrak
pertambangan diperbaiki. Dalam kasus divestasi saham PT Newmont Nusa
Tenggara, misalnya, pemerintah harus ke arbitrase untuk menyatakan
perusahaan telah lalai (default). Hal ini baru untuk menyatakan lalai, belum
sampai ke terminasi. Sementara, perusahaan bisa mengakhiri kontrak
sepihak jika mereka mengajukan. Dan perlu untuk diketahui, sebagian besar
kontrak pertambangan yang berakhir sejak 1998 umumnya berakhir karena
permintaan perusahaan.
Dalam jangka pendek ini, agenda pemerintah menetapkan RPP Minerba
menjadi momentum penting untuk berkaca terhadap segala kasus
pertambangan. Keempat RPP itu adalah RPP Wilayah Pertambangan, RPP
Kegiatan Usaha Minerba, RPP Pembinaan dan Pengawasan Pertambangan,
dan RPP Reklamasi dan Pasca-Tambang.

Ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Irwandy Arif


seperti dilansir oleh beberapa media menyatakan, empat RPP tersebut sudah
mencakup 22 isu yang diamanatkan UU Minerba. Ia menjelaskan, RPP
Wilayah Pertambangan mencakup isu yang diangkat Pasal 12, Pasal 19,
Pasal 33, dan Pasal 89 UU Minerba

Lalu RPP Kegiatan Usaha Minerba mengatur tentang isi Pasal 34 (3), Pasal
63, Pasal 49, Pasal 65 (2), Pasal 76 (3), Pasal 84, Pasal 86 (2), Pasal 5 (5),
Pasal 103 (3), Pasal 109, Pasal 112 (2), Pasal 116, Pasal 111 (2), dan Pasal
156. Kemudian RPP Pembinaan dan Pengawasan Pertambangan didasarkan
pada Pasal 144 dan Pasal 71 (2). Sementara RPP Reklamasi dan Pasca-
Tambang dilandasi Pasal 101.

Sementara itu, Direktur Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi


Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (Dirjen Minerbabum DESDM)
Bambang Setiawan menjelaskan dalam rangka persiapan ketentuan
peralihan, akan disampaikan Surat Edaran Menteri ESDM kepada pemegang
Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan
Batubara (PKP2B). Isinya tentang penyampaian rencana kegiatan pada
seluruh wilayah kontrak/perjanjian. Edaran ini sesuai dengan Pasal 171 UU
Minerba.

Penjelasan yang diberikan pemerintah kiranya perlu mendapat perhatian


besar. Tranparansi dan sosialisasi RPP Minerba yang akan dirumuskan perlu
melibatkan masyarakat pertambangan. Pasalnya, kegiatan investasi dapat
berjalan baik apabila terdapat kepastian hukum dan memenuhi rasa keadilan
yang didasarkan atas kemakmuran rakyat.
Rumusan Masalah

1. Analisa Permasalahan terkait

2. Subyek Hukumnya

3. Justifikasi mengapa terkait dengan Bisnis Internasional

4. Apa yang disengketakan

5. Mengapa bisa menjadi sengketa

1. Analisa Permasalahan Terkait


Sengketa ini terjadi karena setelah 10 tahun ekplorasi Pt.NNT sangat
lambat dalam melakukan divestasi(penjualan atau pengurangan asset
perusahaan yang dapat berbentuk financial atau barang),pemerintah
Indonesia menuntut agar Pt.NNT menyelesaikan proses divestasi saham-
sahamya dalam jangka waktu 180 hari.

Tentu saja sang lawan jadi meradang mendengar kabar itu.


perusahaan yang berinduk di Amerika Serikat itu balikmengancam.
Pemerintah diminta mencabut kembali status lalai (default) tersebut dan
memberi waktu yang lebih layak untuk menuntaskan proses divestasi. Bila
status itu tak dicabut, mereka akan mengajukan gugatan melalui arbitrase
internasional.

2. Subyek Hukumnya
Subyek hukum ialah pemegang hak dan kewajiban menurut hukum.
ialah individu (orang) dan badan hukum (perusahaan, organisasi, institusi).

Ada 2 pihak yang terkait dengan sengketa ini yaitu Pemerintah Republik
Indonesia dan Pt.Newmont Nusa Tenggara yang juga menjadi subyek hukum.

Serta United Nation Commission on International Trade Law (UNCITRAL), dan


Majelis Arbitrase (Arbitral Tribunal) yang juga menjadi subyek hukum
sebagai badan hukum yang dapat mempunyai hak dan kewajiban.
3. Mengapa Terkait dengan bisnis Internasional
Dalam sengketa ini kita dapat melhat jika Pt.NNT yang berpusat di New
York Amerika Serikat adalah sebuah perusahaan dalam bidang
pertambangan. Menjadi terkait dengan bisnis dengan bisnis internasional
karena karena PT NNT merupakan perusahaan milik Amerika yang
melakukan sebuah bisnis di Negara Indonesia dalam bentuk kontrak kerja
dibidang pertambangan.

4. Apa yang disengketakan


Aset/ saham PT. NNT yang dalam kontrak karya tersebut
mengharuskan PT. NNT melakukan Divestasi atau Penjualan asset/ saham
terhadap investor lain.

5. Mengapa bisa menjadi sengketa


Indonesia berargumen karena Newmont melanggar kontrak atau lalai
(default) karena mengulur waktu divestasi. Sebenarnya argument ini sangat
lemah, sebab, mengacu pada klausul kontrak, perusahaan hanya diwajibkan
menawarkan saham asingnya pada periode yang sudah ditetapkan.

Tetapi Pemerintah diminta mencabut kembali status lalai (default) tersebut


dan memberi waktu yang lebih layak untuk menuntaskan proses divestasi.
Bila status itu tak dicabut, mereka akan mengajukan gugatan melalui
arbitrase internasional. Dan terjadilah proses arbitrase.

Sebenernya menjadi sengketa karena terdapat ketidakjelasan isi kontrak


yang mengakibatkan masing-masing pihak berupaya untuk menafsirkan
sesuai dengan kepentingannya. Masing-masing merasa benar sesuai dengan
penafsiran dan justifikasinya.

Beberapa kelemahan rumusan Kontrak Karya tersebut. Pertama, ketentuan


Kontrak Karya tidak menjelaskan bagaimana mekanisme divestasi , apakah
melalui pasar modal atau melalui private placement dengan mengundang
strategic partner. Kedua, ketentuan kontrak karya tidak menjelaskan peran
Pemerintah dalam proses divestasi. Ketiga, tidak ada ketentuan tentang apa
kriteria yang digunakan dalam penetapan harga saham.

Dan hal ini menyebabkan terjadinya proses divestasi hukum mengalami


ketidakjelasan.
Kelemahan lain terletak pada mekanisme penyelesaian sengketa.
Ketentuan Kontrak Karya mengenai mekanisme penyelesaian sengketa pada
dasarnya menekankan pada penyelesaian melalui cara-cara perundingan,
konsultasi dan konsiliasi. Jika cara-cara tersebut telah dilakukan melebihi
jangka waktu 90 hari dan tetap tidak dapat menyelesaikan sengketa , maka
para pihak akan menyelesaikannya melalui arbitrase.

Sayang sekali ketentuan tentang arbitrase tersebut juga sangat umum


sehingga dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda, baik mengenai
forum penyelesaian sengketa, rules and procedures yang diterapkan,
keanggotaan maupun sifat keputusan arbitrase.

Ketentuan tentang penyelesaian sengketa Kontrak Karya sendiri sama sekali


tidak mengacu kepada forum arbitrase dimana sengketa tersebut harus
diselesaikan. Bagaimana sifat keputusan yang diambil, apakah final and
binding ataukah hanya bersifat rekomendasi, juga tidak jelas. Demikian pula
susunan dan keanggotaan majelisnya, apakah tunggal atau terdiri dari 3
orang juga tidak dijelaskan. Ketidakjelasan ketentuan kontrak karya tersebut
menimbulkan persoalan baru dalam penyelesaian sengketa ini. Dan jalan
terakhir adalah proses arbitrase yang dimenangkan oleh pihak pemerintah
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai